Anda di halaman 1dari 27

Referat

Karsinoma Kolorectal

Penyaji :
Adelina Vilia, S.Ked
(1018011002)

Pembimbing :
dr. Pirma Hutauruk, Sp. B (K) Trauma

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


SMF BEDAH
RSUD Dr. Hj. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
MARET 2014
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak di dunia


dan penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari gender) di Amerika
Serikat. Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi
belum ada angka yang pasti berapa insiden karsinoma kolorektal. Sjamsuhidajat
(1986) dari evaluasi data-data di Departemen Kesehatan mendapatkan 1,8 per
100.000 penduduk.

Meskipun perkembangan pengobatan adjuvan akhir-akhir ini


berkembang secara cepat dan sangat maju, akan tetapi hanya sedikit saja
meningkatkan survival pasien karsinoma kolorektal dalam stadium lanjut.

Kunci utama keberhasilan penanganan karsinoma kolorektal adalah


ditemukannya karsinoma dalam stadium dini, sehingga terapi dapat dilaksanakan
secara bedah kuratif. Namun sayang sebagian besar penderita di Indonesia datang
dalam stadium lanjut sehingga angka survival rendah, terlepas dari terapi yang
diberikan. Penderita datang ke rumah sakit sering dalam stadium lanjut karena
tidak jelasnya gejala awal dan tidak menganggap penting gejala dini yang terjadi.

Terapi bedah paling efektif bila dilakukan pada penyakit yang masih
terlokalisir. Bila sudah terjadi metastasis, prognosis menjadi buruk, karena pilihan
terapi mungkin hanya paliatif saja. Berkembangnya kemoterapi dan radioterapi
pada saat ini memungkinkan kesempatan untuk terapi adjuvan untuk penderita
stadium lanjut atau pada kejadian kekambuhan.

Skrining karsinoma kolorektal memegang peranan yang sangat penting.


Pengalaman di berbagai negara memperlihatkan bahwa skrining yang adekuat
terbukti menurunkan angka kematian akibat dari karsinoma kolorektal, karena
dengan program skrining yang baik akan lebih banyak ditemukan kasus dini
sehingga terapi dapat secara kuratif.

Karsinoma kolorektal memerlukan penanganan multimodalitas dan


belum terdapat keseragaman secara nasional dalam pendekatan terapinya. Selain
terdapat kesenjangan dalam hal fasilitas skrining dan terapi dari berbagai daerah
di Indonesia, juga belum adanya panduan terapi karsinoma kolorektal yang
aplikatif untuk keadaan di Indonesia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI KOLON DAN RECTUM

Gambar 1. Anatomi kolon-rectum

Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon


transversum, kolon descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus.
Mukosa usus besar terdiri dari epitel selapis silindris dengan sel goblet dan
kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan submukosa tidak mempunyai
kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar longitudinal yang
terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli. Lapisan serosa membentuk
tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang disebut appendices
epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar limfa,
terdapat lipatan-lipatan yaitu plica semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan
lapisan submukosa ikut pula lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica semilunares
terdapat saku yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh adanya
taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat berpindah
pindah atau menghilang.

Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterica


superior dan arteri mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti
periarcaden, yang memberi cabang-cabang vasa recta pada dinding usus. Yang
membentuk marginal arteri adalah arteri ileocolica, arteri colica dextra, arteri
colica media, arteri colica sinistra dan arteri sigmoidae. Hanya arteri ciloca
sinistra dan arteri sigmoideum yang merupakan cabang dari arteri mesenterica
inferior, sedangkan yang lain dari arteri mesenterica superior. Pada umumnya
pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali arteri colica media dan arteri
sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon transversum dan mesosigmoid.
Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama dengan arteri colica
media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena mengikuti pembuluh
darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri mesenterica
inferior yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe mengalir menuju ke
Lnn. ileocolica, Lnn. colica dextra, Lnn. colica media, Lnn. colica sinistra dan
Lnn. mesenterica inferior. Kemudian mengikuti pembuluh darah menuju truncus
intestinalis.

Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada


fossa iliaca dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen
sebelah kanan, terletak di sebelah ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup
peritoneum visceral. Jadi letak colon ascendens ini retroperitoneal, kadang kadang
dinding dorsalnya langsung melekat pada dinding dorsal abdomen yang ditempati
muskulus quadratus lumborum dan ren dextra. Arterialisasi colon ascendens dari
cabang arteri ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal dari arteri mesentrica
superior.
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli
dextra sampai flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan
duodenum dan pankreas di sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas.
Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi daripada yang kanan yaitu pada polus
cranialis ren sinistra, juga lebih tajam sudutnya dan kurang mobile. Flexura coli
dextra erat hubunganya dengan facies visceralis hepar (lobus dextra bagian
caudal) yang terletak di sebelah ventralnya. Arterialisasi didapat dari cabang
cabang arteri colica media. Arterialisasi colon transversum didapat dari arteri
colica media yang berasal dari arteri mesenterica superior pada 2/3 proksimal,
sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat arterialisasi dari arteri
colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior.

Gambar 2. Arteri Mesenterica Superior


Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi
colon transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal. Pangkal mesokolon
transversa disebut radix mesokolon transversa, yang berjalan dari flexura coli
sinistra sampai flexura coli dextra. Lapisan cranial mesokolon transversa ini
melekat pada omentum majus dan disebut ligamentum gastro (meso) colica,
sedangkan lapisan caudal melekat pada pankreas dan duodenum, didalamnya
berisi pembuluh darah, limfa dan syaraf. Karena panjang dari mesokolon
transversum inilah yang menyebabkan letak dari colon transversum sangat
bervariasi, dan kadangkala mencapai pelvis.

Gambar 3. Arteri Mesenterica Inferior

Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli


sinistra sampai fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak
retroperitoneal karena hanya dinding ventral saja yang diliputi peritoneum,
terletak pada muskulus quadratus lumborum dan erat hubungannya dengan ren
sinistra. Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri colica sinistra dan cabang
arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior.

Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya


intraperi toneal, dan terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid
mempunyai perlekatan yang variabel pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid
membentuk lipatan-lipatan yang tergantung isinya didalam lumen, bila terisi
penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis melalui aditus pelvis,
bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan
akhirnya ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada
dinding mediodorsal pada aditus pelvis di sebelah depan os sacrum. Arterialisasi
didapat dari cabang- cabang arteri sigmoidae dan arteri haemorrhoidalis superior
cabang arteri mesenterica inferior. Aliran vena yang terpenting adalah adanya
anastomosis antara vena haemorrhoidalis superior dengan vena haemorrhoidalis
medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang bermuara kedalam vena porta
melalui vena mesenterica inferior hanya vena haemorrhoidalis superior,
sedangkan yang lain menuju vena iliaca interna. Jadi terdapat hubungan antara
vena parietal (vena iliaca interna) dan vena visceral (vena porta) yang penting bila
terjadi pembendungan pada aliran vena porta misalnya pada penyakit hepar
sehingga mengganggu aliran darah portal. Mesosigmoideum mempunyai radix
yang berbentuk huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan
percabangan arteri iliaca communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan
diantara kaki-kaki huruf V ini terdapat reccessus intersigmoideus.
Gambar 4.

Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, yang disebut
tenia* (tenia; taenia = pita) yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga
kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus* (sakulus; saculus=saccus kecil;
saccus=kantong), yang disebut haustra*(haustra; haustrum=bejana).

Kolon transversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan


dilengkapi dengan mesenterium.

DEFINISI

Karsinoma kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kankeryang ganas di


dalam permukaan usus besar atau rektum.

EPIDEMIOLOGI

Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat


insiden dan mortalitas. Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker
kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5 persen pria penderita
kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3
persen dari total jumlah penderita kanker.
Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan
Selandia baru; sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika
Selatan dan Arab Israel. Di Eropa, penyakit ini menempati urutan kedua sebagai
kanker yang paling sering terjadi pada pria dan wanita pada tingkat insidensi dan
mortalitas. Pada tahun 2004 di eropa terdapat 2.886.800 insiden kanker yang
terdiagnosa dan 1.711.000 kematian karena kanker. Insiden kanker yang paling
sering adalah kanker paru-paru (13,3%), diikuti oleh kanker kolorektal (13,2%)
dan kanker payudara (13%). Kanker paru-paru juga merupakan kanker yang
tersering menyebabkan kematian (341.800) diikuti oleh kanker kolorektal
(203.700), kanker lambung (137.900) dan kanker payudara (129.900). Dengan
estimasi 2,9 juta kasus baru (54% muncul pada pria, 46% pada wanita) dan 1,7
juta kematian (56% pada pria, 44% pada wanita) tiap tahunnya. Di Amerika
kanker kolorektal merupakan penyebab kematian tersering setelah kanker paru
paru dan menduduki peringkat ketiga pada kanker yang terdapat pria dan wanita
dengan lebih dari 130.000 kasus baru tiap tahun dan menyebabkan kematian
55.000 orang tiap tahun. Dari data berdasarkan 19 tahun follow up pada insiden
kanker kolorektal di Swedia pada tahun 1960 pada 53.377 kasus yang
diketemukan (28.003 pria dan 25.374 wanita), Didapatkan suatu hubungan yaitu
1) terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita yang berusia lanjut, yang
meningkat seiring dengan usia; 2) meningkatnya insiden kanker kolorektal seiring
dengan kepadatan penduduk; 3) rendahnya insiden pada pria yang belum pernah
menikah dibandingkan dengan pria lainnya.

Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk.


Namun, hanya 3,2% dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah
Sakit. Program yang dilaksanakan oleh proyek pengawasan kanker terpadu yang
berbasis komunitas di Sidoarjo menunjukkan kenaikan 10-20% dari kasus kanker
yang menerima perawatan dari Rumah Sakit. Dewasa ini kanker kolorektal telah
menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data yang
dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal
merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria
maupun wanita.
Gambar 5. Insiden Kanker di Indonesia

Dari berbagai laporan, di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus


kanker kolorektal, meskipun belum ada data yang pasti, namun data di
Departemen Kesehatan didapati angka 1,8 per 100 ribu penduduk. Sejak tahun
1994-2003, terdapat 372 keganasan kolorektal yang datang berobat ke RS Kanker
Dharmais (RSKD). Berdasarkan data rekam medik hanya didapatkan 247
penderita dengan catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria dan 169
(43,45%) wanita berusia antara 20-71 tahun.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Banyak faktor dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker rektal, diantaranya


adalah :
 Diet tinggi lemak, rendah serat
 Usia lebih dari 50 tahun
 Riwayat pribadi mengidap adenoma atau adenokarsinoma kolorektal
mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.
 Riwayat keluarga satu tingkat generasi dengan riwayat kanker kolorektal
mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.
 Familial polyposis coli, Gardner syndrome, dan Turcot syndrome, pada
semua pasien ini tanpa dilakukan kolektomi dapat berkembang menjadi
kanker rektal
 Resiko sedikit meningkat pada pasien Juvenile polyposis syndrome, Peutz-
Jeghers syndrome, danMuir syndrome.
 Terjadi pada 50 % pasien Kanker kolorektal Herediter nonpolyposis
 Inflammatory bowel disease
 Kolitis Ulseratif (resiko 30 % setelah berumur 25 tahun)
 Crohn disease, berisiko 4 sampai 10 kali lipat

Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan lingkungan :


 Sindroma kanker familial
Terdapat berbagai faktor genetik yang berkaitan dengan keganasan
kolorektal.Sebanyak 10-15 % kasus kanker kolorektal disebabkan oleh
faktor ini.
 Kasus sporadik
Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari seluruh
keganasan kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat
diidentifikasi, namun kekerabatan tingkat pertamadari pasien kanker
kolorektal memiliki peningkatan resiko 3-9 x untuk dapat terkena kanker.
 Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain ialah diet. Diet tinggi
lemak jenuh meningkatkan resiko. Memperbanyak makan serat
menurunkan resiko ini untuk individu dengan diet tinggi lemak. Studi
epidemiologik juga memperlihatkan bahwa orang dari negara bukan
industri lebih sedikit terkena resiko ini.
Syndrome % of Genetic basis Phenotype Extracolonic Treatment Notes
total manifestations
CRC
burden
Familial <1% Mutasi pada <100 CHRPE, osteomas, TPC with end- Variants include
adenomatous gen suppressor adenomatous epidermal cysts, ileostomy or IPAA Turcot (CNS
polyposis (FAP) tumor APC polyp; near periampullary or TAC with IRA tumors) and
(5q21) 100% with neoplasms and lifelong Gardener (desmoids)
CRC by age surveillance syndromes
40 yr

Hereditary 5%–7% Defective Polyps At risk for uterine, Genetic counseling; High microsatellite
nonpolyposis mismatch sedikit, ovarian, small consider instability (MSI-H)
colorectal repair: MSH2 predominantl intestinal, pancreatic prophylactic tumors, better
cancer and MLH1 y right-sided malignancies resections, including prognosis than
(HNPCC) (90%), MSH6 CRC, 80% TAH/BSO sporadic CRC
(10%) lifetime risk
of CRC
Peutz-Jeghers <1% Kehilangan Hamartomas Mucocutaneous Surveillance EGD Majority present
(PJS) tumor throughout pigmentation, risk and colonoscopy q3 with SBO due
suppressor GI tract for pancreatic cancer yr; resect polyps tointussuscepting
gene >1.5 cm polyp
LKB1/STK11
(19p13)
Familial <1% Mutasi Hamartomas Gastric, duodenal Genetic counseling; Presents with rectal
juvenile SMAD4/DPC throughout and pancreatic consider bleeding or diarrhea
polyposis (FJP) (18q21) GI tract; >3 neoplasms; prophylactic TAC
juvenile pulmonary AVMs with IRA for diffuse
polyps; 15% disease
with CRC by
age 35 yr
AVM, arteriovenous malformation; CHRPE, congenital hypertrophy of retinal pigmented epithelium; CNS, central nervous system;
EGD, esophagogastroduodenoscopy; GI, gastrointestinal; IPAA, ileal pouch-anal anastomosis; IRA, ileal-rectal anastomosis; TAC,
total abdominal colectomy; TAH/BSO, total abdominal hysterectomy and bilateral salpingo-oophorectomy; TPC, total
proctocolectomy.
Tabel 1. Sindroma kanker familial
PATOFISIOLOGI

Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor


genetik dan faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah
melewati rentang masa yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang
menimbulkan berbagai perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker.
Kedua jenis kanker kolorektal (herediter dan sporadik) tidak muncul secara
mendadak melainkan melalui proses yang diidentifikasikan pada mukosa kolon
(seperti pada displasia adenoma).
Faktor lingkungan yang berperan pada karsinogenesis kanker kololrektal
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Faktor Lingkungan Yang Berperan Pada Karsinogenesis Kanker Kololrektal
1. Probably related
a. Konsumsi diet lemak tinggi
b. Konsumsi diet lemak rendah
2. Possibly related
a. Karsinogen dan mutagen
b. Heterocyclic amines
c. Hasil metabolisme bakteri
d. Bir dan konsumsi alkohol
e. Diet rendah selenium
3. Probably protektif
a. Konsumsi serat tinggi
b. Diet kalsium
c. Aspirin dan OAINS
d. Aktivitas fisik (BMI rendah)
4. Possibly protekstif
a. Sayuran hijau dan kuning
b. Makanan dengan karoten tinggi
c. Vitamin C dan E
d. Selenium
e. Asam folat
5. Cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor
6. Hormone Replacement Theraphy (estrogen)
Tabel 2. Faktor lingkungan yang berpengaruh pada karsinoma kolorektal

Kanker kolon terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus
yang mengontrol pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal menjadi
jaringan adenomatosa dan akhirnya karsinoma kolon menimbulkan sejumlah
mutasi yang mempercepat pertumbuhan sel. Terdapat 2 mekanisme yang
menimbulkan instabilitas genom dan berujung pada kanker kolorektal yaitu :
instabilitas kromosom (Cromosomal Insyability atau CIN) dan instabilitas
mikrosatelit (Microsatellite Instability atau MIN). Umumnya asl kenker kolon
melalui mekanisme CIN yang melibatkan penyebaran materi genetik yang tak
berimbang kepada sel anak sehingga timbulnya aneuploidi. Instabilitas
mikrosatelit (MIN) disebabkan oleh hilangnya perbaikan ketidakcocokan atau
missmatchrepair (MMR) dan merupakan terbentuknya kanker pada sindrom
Lynch.
Gambar di bawah ini menunjukkan mutasi genetik yang terjadi pada
perubahan dari adenoma kolon menjadi karsinoma kolon.

Gambar 6. Mutasi genetik kanrsinoma kolorektal

Awal dari proses terjadinya karsinoma kolon yang melibatkan mutasi


somatik terjadi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC mengatur
kematian sel dan mutasi pada gen ini menyebabkan pengobatan proliferasi yeng
selanjutnya berkembang menjadi adenoma. Mutasi pada onkogen K-RAS yang
biasnya terjadi pada adenoma kolon yang berukuran besar akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan sel yang tidak normal.

Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen
supresor tumor p53. Dalam keadaan normal protein dari gen p53 akan
menghambat proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, mutasi gen p53
menyebabkan sel dengan kerusakan DNA tetap dapat melakukan replikasi yang
menghasilken sel-sel dengan kerusakan DNA yang lebih parah. Replikasi sel-sel
dengan kehilangan sejumlah segmen pada kromosom yang berisi beberapa alele
(misal loss of heterizygosity), hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen supresor
tumor yang lain seperti DCC (Deleted in Colon Cancer) yang merupakan
transformasi akhir menuju keganasan.1
Perubahan genetik yang terjadi selama evolusi kanker kolorektal dapat
dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 7. Perubahan genetik dan gambaran klinik

GEJALA KLINIK

Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah

 Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu
darah segar maupun yang berwarna hitam.
 Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong
saat BAB
 Feses yang lebih kecil dari biasanya
 Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa
penuh pada perut atau nyeri
 Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
 Mual dan muntah,
 Rasa letih dan lesu
 Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri
pada daerah gluteus.

E. Diagnosis dan Staging

Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi
kanker rektal, diantaranya ialah :

1) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik


Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan di
jaringan

2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan


skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada
pemeriksaan rektal pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak
sekitar 10 cm dari rektum, tumor akan teraba keras dan menggaung.

Gambar 8. Pemeriksaan colok dubur pada Ca Rekti

4) Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya.
Alat sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau
sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.
Gambar 9. sigmoidoscopy

5) Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya.
Alat colonoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau
sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.

Gambar 10. Colonoscopy

Jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus
dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling
sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah
karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan
undifferentiated tumors.

Ketika diagnosis rectal cancer sudah dipastikan, maka dilakukan


prosedur untuk menetukan stadium tumor. Hal ini termasuk computed
tomography scan (CT scan) dada, abdomen, dan pelvis, complete blood count
(CBC), tes fungsi hepar dan ginjal, urinanalysis, dan pengukuran tumor
marker CEA (carcinoembryonic antigen).

Tujuan dari penentuan stadium penyakit ini ialah untuk mengetahui


perluasan dan lokasi tumor untuk menentukan terapi yang tepat dan menentukan
prognosis. Stadium penyait pada kanker rektal hampir mirip dengan stadium pada
kanker kolon. Awalnya, terdapat Duke's classification system, yang menempatkan
klanker dalam 3 kategori stadium A, B dan C. sistem ini kemudian dimodofikasi
oleh Astler-Coller menjadi 4 stadium (Stadium D), lalu dimodifikasi lagi tahun
1978 oleh Gunderson & Sosin.

Pada perkembangan selanjutnya, The American Joint Committee on


Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM staging system, yang menempatkan kanker
menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV).

1. Stadium 0

Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum.yaitu
pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.

2. Stadium I

Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan


muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar
kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes
A rectal cancer.

3. Stadium II

Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun
tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.

4. Stadium III

Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tedak
menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV

Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru,
atau ovarium. Disebut jugaDukes D rectal cancer

Gambar 11. Stadium Ca Recti I-IV

Tabel 2. CT Staging System for Rectal Cancer*

Stadium Deskripsi

T1 Intraluminal polypoid mass; no thickening of bowel wall

T2 Thickened rectal wall >6 mm; no perirectal extension

Thickened rectal wall plus invasion of adjacent muscle or


T3a
organs

Thickened rectal wall plus invasion of pelvic side wall or


T3b
abdominal wall

T4 Distant metastases, usually liver or adrenal


Tabel 3. TNM/Modified Dukes Classification System*

Modified
TNM
Dukes Deskripsi
Stadium
Stadium

T1 N0
A Limited to submucosa
M0

T2 N0
B1 Limited to muscularis propria
M0

T3 N0
B2 Transmural extension
M0

T2 N1
C1 T2, enlarged mesenteric nodes
M0

T3 N1
C2 T3, enlarged mesenteric nodes
M0

T4 C2 Invasion of adjacent organs

Any T,
D Distant metastases present
M1

PENTATALAKSANAAN

Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah terapi
standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar
untuk kanker rektal yang digunakan antara lain ialah :
1. Pembedahan

Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama


untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III
juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam
metode penentuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-
surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi
sebelum pembedahan dikenal sebagaineoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker
rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III.
Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar
jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan
kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang
tertinggal.

Tipe pembedahan yang dipakai antara lain :

 Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor
dapat dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen.
Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip, operasinya
dinamakan polypectomy.
 Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan
anastomosis. Jiga dilakukan pengambilan limfonodi disekitan rektum
lalu diidentifikasi apakah limfonodi tersebut juga mengandung sel
kanker.

Gambar 12. Reseksi dan Anastomosi


 Reseksi dan kolostomi :

Gambar 13. Reseksi dan Kolostomi

2. Radiasi

Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III
lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan.
Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi tambahan untuk pembedahan
pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui pembedahan, dan untuk
penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam
kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan
menunjukkan telah menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46%
dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiesi telah
berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak.
Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang
memiliki tumor lokal yang unresectable.

3. Kemoterapi

Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti memiliki


penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan), dipertimbangkan
pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang
bergerombol ( Stadium II lanjut dan Stadium III). terapi standarnya ialah dengan
fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam
sampai dua belas bulan. 5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin
memperbaiki respon. Agen lainnya, levamisole, (meningkatkan sistem imun,
dapat menjadi substitusi bagi leucovorin. Protopkol ini menurunkan angka
kekambuhan kira – kira 15% dan menurunkan angka kematian kira – kira sebesar
10%.

PROGNOSIS

Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah


sebagai berikut :

 Stadium I - 72%
 Stadium II - 54%
 Stadium III - 39%
 Stadium IV - 7%

50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa kekambuhan
lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi pada.
Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahu pertama setelah
operasi. Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk
kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh
batas - batas negatif tumor.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi IV jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378
2. Jones & Schofield. 1996. Neoplasia Kolorektal dalam Petunjuk Penting
Penyakit Kolorektal. EGC : Jakarta hal :58-65
3. Roediger, WEW. 1994. Cancer of the Colon, rectum and Anus in Manual of
Clinical Oncology Sixth edition. UICC : Germany p:336-347
4. Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. Hal: 14-18, 36-42.
5. Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta. Hal: 658-667
6. Schwartz. 2000.Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
7. Doherty GM. 2006. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA :
McGraw Hill. Hal: 658-668.
8. Utama HSY. 2012. Carcinoma Colorectal (CANCER) / Keganasan
(KANKER) Kolon dan Rektum (definition, sign, symptom, etiology,
diagnosis and management). Available online at
:http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/04/carsinoma-colorectal-
defition-sign.html
9. Zieve, D. 2009. Colon Cancer. Available online
at:http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/colorectalcancer.html(diakses 30 Juni
2013)
10. Mohammad,Wehbi. 2011. Familial Adenomatous Polyposis. Available online
at:www.emedicine.medscape.com
11. Fingerote, Robert J. 2011. Colon Cancer. Available online at :
http://www.emedicinehealth.com/colon_cancer/article_em.htm

Anda mungkin juga menyukai