Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah sekelompok penyakit jamur kulit superfisial yang


menyerang jaringan dengan zat tanduk, misalnya stratum korneum pada
epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita.
Infeksi dermatofitosis dikenal dengan nama tinea dan dibagi berdasarkan lokasi.1

Tinea kruris adalah salah satu dermatofitosis yang ditemukan pada


pangkal paha, genital, pubis, serta perineum dan kulit perianal.2

Tinea kruris adalah jenis kedua dari dermatofitosis yang paling umum di
seluruh dunia, namun lebih sering terjadi pada zona tropis, seperti Indonesia.2,4,5

Penyakit ini merupakan salah satu bentuk klinis tersering di Indonesia dan
ditemui terutama pada musim panas dengan tingkat kelembaban tinggi.3

Tinea kruris dapat bersifat akut ataupun kronis, dan dapat diderita seumur
hidup.1 Tinea kruris lebih sering diderita oleh orang dewasa dibanding anak dan
menyerang laki-laki tiga kali lebih sering dibanding wanita, salah satu alasannya
karena skrotum menciptakan kondisi yang hangat dan lembab. Penularan tinea
kruris dapat melalui kontak langsung, baik dengan manusia maupun binatang, dan
dari serpihan jamur pada pakaian, handuk, dan lain-lain.2,4,5

Faktor predisposisi lain yang mempengaruhi terjadinya tinea kruris, antara


lain obesitas dan derajat perspirasi yang berlebih.5

Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita.


Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Menurut
Budimulja tahun 2010, dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi
dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton,
mempunyai sifat mencerna keratin.1 Penyebab tersering tinea kruris adalah
Epidermophyton floccosum, diikuti Tricophyton rubrum dan Tricophyton
mentagrophytes.2,4

Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke keratinosit,


penetrasi melewati dan di antara sel, dan perkembangan respon pejamu.5 Pertama
adalah berhasil melekatnya artrokonidia, spora aseksual yang dibentuk dari hasil
fragmentasi hifa, ke permukaan jaringan berkeratin setelah melewati beberapa
pertahanan pejamu, antara lain asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea
yang bersifat fungistatik dan kompetisi dengan flora normal.2 Dalam beberapa
jam, secara in vitro 2 jam setelah terjadinya kontak, pertumbuhan dan invasi spora
mulai berlangsung.2,4

Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang lebih dalam. Tahap ini
dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi
nutrisi bagi jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke
keratinosit. Selain itu, manans, suatu zat yang terkandung dalam dinding sel
dermatofita ini, dapat menghalangi proliferasi dari keratinosit dan respon imunitas
seluler yang memperlambat penyembuhan epidermis.2,8

Proses ketiga adalah perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di


pengaruhi oleh status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memegang
peranan yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Respon inflamasi dari
reaksi hipersensitivitas ini berkaitan dengan penyembuhan pasien. Respon
imunitas seluler yang rusak akan mengakibatkan proses penyakit yang kronis dan
berulang. Pengaruh adanya atopi dan kadar IgE yang tinggi juga diduga
berpengaruh terhadap kronisitas.2,3

Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh


sel Langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe.
Sel Langerhans bekerja sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang mampu
melakukan fungsi fagosit, memproduksi IL-1, mengekspresikan antigen, reseptor
Fe dan reseptor C3. Sel Langerhans berkumpul di dalam kulit membawa antigen
ke dalam pembuluh getah bening dan mempertemukannya dengan limfosit yang
spesifik. Selain oleh sel Langerhans, peran serupa dilakukan pula oleh sel endotel
pembuluh darah, fibroblast, dan keratinosit. Limfosit T yang telah aktif ini
kemudian menginfiltrasi tempat infeksi dan melepaskan limfokin. Limfokin inilah
yang mengaktifkan makrofag sehingga mampu membunuh jamur patogen.5,9
Faktor host yang berperan pada dermatofitosis yaitu genetik, jenis
kelamin, usia, obesitas, penggunaan kortikosteroid dan obat-obat imunosupresif.
Kulit di lipat paha yang basah dan tertutup menyebabkan terjadinya peningkatan
suhu dan kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi. Penjalaran infeksi dari
bagian tubuh lain juga dapat menyebabkan terjadinya tinea kruris, misalnya tinea
pedis pada daerah kaki. Faktor lingkungan, berupa higiene sanitasi dan lokasi
geografis beriklim tropis, merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit
jamur.2,4

Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk (polimorfik), baik primer


maupun sekunder.1 Tinea kruris mempunyai lesi yang khas berupa plak
eritematosa berbatas tegas meluas dari lipat paha hingga ke paha bagian dalam
dan seringkali bilateral. Skrotum biasanya jarang terlibat.3 Lesi disertai skuama
selapis dengan tepi yang meninggi.2

Apapun penyebab tinea kruris, keluhan gatal merupakan salah satu gejala
umum yang menonjol. Nyeri juga sering dirasakan pada daerah yang terjadi
maserasi dan infeksi sekunder.2,5 Peradangan di bagian tepi lesi lebih terlihat
dengan bagian tengah tampak seperti menyembuh (central clearing). Pada tepi
lesi dapat disertai vesikel, pustul, dan papul, terkadang terlihat erosi disertai
keluarnya serum akibat garukan. Pada lesi kronis dapat ditemukan adanya
likenifikasi disertai skuama dan hiperpigmentasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. Dalam Sri Luniwih, Menaldi,Hamzah M, dan


Aisah, Kusmarinah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. Hal. 89-100

2. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In:


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Ed: Volume 2. New York:
McGraw-Hill; 2015. p.2277-97

3. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ Disease of the Skin,
Clinical Dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2015.

4. Sobera JO, Elewski BE. 2015. Infections, investations, and bites: fungal
disease. In: Bolognia, Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2 nd
Ed: Volume 1. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier. p.1135-62

5. Hay JR, Ashbee HR. 2014. Mycology: superficial mycoses. Burns T,


Breathnach S, Cox N, Griffiths C, eds. In: Rook’s Textbook of Dermatology.
8th Ed: Volume 2. Australia: Blackwell Publishing. p 36.20-34

6. Budimuldja U. Mycotic diseases in Indonesia, with emphasis on skin


fungal infection. Kor J Med Mycol, 4(1); 2014. Hal. 1-5

7. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.


Edisi Ke-2. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2012.

8. Kurniati CRSP. Etiopatogenesis dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan


Kulit dan Kelamin, 20(3):2013, Hal 243-50

9. Mulyaningsih S. Tingkat kekambuhan tinea kruris dengan pengobatan krim


ketokonasol 2% sesuai lesi klinis dibandingkan dengan sampai 3 cm di luar
batas lesi klinis (Laporan Penelitian). Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro; 2014
10.Wolff K, Johnson RA. Fungal infection of the skin and hair. In:
Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th Ed. New
York: McGraw Hill; 2015.

11.Siswati AS, Ervianti E. Tinea korporis dan tinea kruris. Dalam. Bramono,
Kusmarinah, dkk. (Editor). Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. Hal. 58-74

12.Yosella T. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J MAJORITY, 4(2):


2015. Hal. 122-28

13.Kelly BP, Superficial fungal infections. Pediatrics in Review, 33(4): 2014.


p.22-37

Anda mungkin juga menyukai