Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini
membahas tentang "Suku Bugis".Kami menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pengantar Arsitektur 2 yang diampu oleh Bapak
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan untuk
menyempurnakan makalah ini.
1|Page
PENDAHULUAN
Rumah Adat Bugis Makassar adalah rumah panggung kayu. Menurut Robinson
(1993), Rumah Panggung kayu mewakili sebuah tradisi yang bertahan lama, tradisi
yang juga tersebar luas di dunia Melayu. Bentuk dasar rumah adalah sebuah kerangka
kayu dimana tiang menahan lantai dan atap dari berbagai bahan. Keanekaragaman
bahan kian meningkat dalam dunia kontemporer setelah pendirian rumah menjadi
kian dikomoditikan. Keunikan Rumah Bugis dibanding rumah panggung Sumatera
dan Kalimantan adalah bentuknya yang memanjang ke belakang dengan tambahan
disamping bangunan utama dan bagian depan (orang bugis menyebutnya lego –
lego, makassar : dego - dego)
Rumah Panggung kayu khas Bugis Makassar mengacu pada anutan kepercayaan
bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas (botting langi), bagian
tengah (alang tengnga / ale kawa) dan bagian bawah ( awa sao / peretiwi / bori liu).
Itulah sebabnya rumah tradisional Bugis Makassar juga terdiri atas tiga bagian, yaitu
Rakkeang, bagian atap rumah. Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi
yang baru di panen. Yang kedua, Ale Bola, yaitu bagian tengah rumah. dimana kita
2|Page
tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ),
dan Awa bola, yaitu bagian bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.
Rumah dengan arsitektur berkolong rumah bagi banyak orang Bugis Makassar
dipandang sangat aman dan nyaman, selain itu karena berbahan dasar kayu rumah ini
dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan
kayu. Uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah. Bentuk rumah orang
Bugis Makassar haruslah persegi empat. Ini berhubungan dengan falsafah hidup
Sulapa EppaE (atau Persegi empat).
Selain menganut konsep tentang alam / kepercayaan tentang pusat dunia atas, dunia
tengah dan dunia bawah maka pada rumahpun ada pusat rumah yang disebut possi
bola, yaitu salah satu tiang yang kedua dari depan dan terletak disamping kanan. Itu
pula sebabnya mengapa pada upacara adat menre baruga (menre bola), sesajen -
sesajen seringkali diletakkan di “possi bola” karena disitulah roh-roh (atau makhluk
gaib) dianggap berkumpul, terutama jika ada kejadian dan peristiwa khusus dalam
keluarga.
Terkait arah rumah, boleh saja memilih salah satu diantara empat penjuru mata angin.
Tetapi setelah pengaruh Islam masuk maka timbullah anggapan baru, bahwa arah
rumah yang paling baik ialah menghadap ke Timur yang berarti tampingnya berada di
sebelah utara. Rumah yang menghadap ke selatan berarti tampingnya berada di
sebelah timur. Karena ada ketentuan di kalangan masyarakat bahwa tidur di rumah
itu, kepala harus ke bagian kanan rumah dan kaki mesti ke arah tamping (bagian kiri)
dan tidak boleh ke arah Ka’bah (kiblat shalat). Dengan kata lain tidak boleh ke arah
barat karena Ka’bah berada di sebelah barat.
3|Page
A. KEPERCAYAAN DAN SIMBOL - SIMBOL TENTANG RUMAH
4|Page
akan cenderung membangun rumahnya pada suatu lokasi yang tidak terlalu
jauh dari kawasan empangnya.
Ruang dan simbolisme yang terlihat pada rumah tradisional merupakan
fokus spiritual dan fisik bagi penghuninya, dengan asosiasi metafisik yang
mencari vitalitas, perlindungan dan harmoni. Sebagaimana telah dijelaskan
oleh Bourdieu, ‘ruang hunian’, terutama rumah, merupakan alat prinsipil dalam
mengartikulasikan dan memahami struktur sosial. Pembagian ruang pada
rumah menjadi sebuah ‘sistem klasifikasi nyata (yang) terus menerus
melahirkan dan mendorong prinsip – prinsip taksonomi yang mendasari semua
ketentuan budaya yang arbitrer’.
Pada rumah Bugis, sentralitas ditandai oleh aliri posi, atau tiang pusar,
yang menandai sumber sumange’, dan dihormati dalam ritual, sebagaimana
totalitas pusat dan pinggir, dimana setiap sudut rumah ditandai dengan
sesajen dan do’a. Kehadiran roh penjaga pada tiang pusar juga terdapat dalam
La Galigo dimana tiang pusat istana raja kerap menjadi fokus kegiatan dalam
kisah epik tersebut. Tiang ini dihiasi saat ada upacara – upacara, tarian – tarian
disajikan di sekitarnya, dan ketika dilakukan pelayaran antara Dunia Tengah
dan Dunia Atas, muncul pelangi di tiang tersebut pada saat pelayaran
dilakukan, sehingga menghubungkan dunia syurgawi dan dunia materi. Hingga
sekarang, ketika berada di luar rumah, adalah hal lazim bagi orang – orang
untuk mendapatkan perlindungan diri melalui penggunaan jimat – jimat yang
dipakai atau dibawa untuk menghindari malapetaka dan dilepas setelah
memasuki rumah.
Simetri dan keseimbangan dari pengaruh pencarian tatanan dan
harmoni yang terdapat pada sulapa eppa’, dan skema fundamental lainnya
yang dikaitkan terus menerus dan ditegaskan dalam wilayah sosial, politik, dan
spiritual. Motif – motif mungkin muncul secara sadar dari pemahaman akan
5|Page
sulapa eppa’ dan posisi sosial, seperti halnya timpa laja’ bola (Makassar :
timbassila balla’), jumlah jeluji jendela, motif – motif tertentu pada dinding
rumah, walasuji, dan lain sebagainya. Motif ini mungkin belum menjadi
refresentasi sadar dari konsep – konsep tersebut tetapi merupakan ekspresi
dari sebuah logika kultural yang melingkupinya. .
7|Page
Ramadhan baik untuk mendirikan rumah, juga menyelenggarakan
perkawinan. Penghuni rumah akan selalu akrab dengan tetangganya
dan akan memperoleh kebahagiaan.
Syawal tidak baik untuk mendirikan rumah dan menyelenggarakan
perkawinan. Sang empunya rumah akan tertikam dan rumahnya tidak
akan pernah sempurna.
Zulqa’idah baik untuk mendirikan rumah dan menyelenggarakan
perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu memiliki hubungan yang
baik dengan tetangga – tetangganya.
Zulhijjah baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan
perkawinan. Sang empunya rumah akan memperoleh ketenteraman.
Mereka akan memperoleh banyak emas.
Posi’bola(pusar rumah)
daun cocor bebek beserta akarnya-bitol kaca yang telah diisi air-kain
putih
8|Page
pelaksanaan upacara kemudian tempurung kelapa daun waru sekurang –
kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara makkarawa bola ini ada
tiga, yaitu
1. waktu memulai melicinkan tiang dan peralatannya disebut makkattang,
2. waktu mengukur dan melobangi tiang dan peralatannya yang disebut
mappa,
3. waktu memasang kerangka disebut mappatama areteng.
Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam yang telah
disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam tempurung kelapa yang
dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah ayam itu disapukan pada bahan
yang akan dikerjakan. Dimulai pada tiang pusat, disertai dengan niat agar
selama rumah itu dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam keadaan sehat
dan baik–baik, bila saat bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan, maka
cukuplah ayam itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan rumah itu
berlangsung dihidangkan kue–kue tradisional seperti : Suwella, Sanggara,
Onde-Onde, Roko–roko unti sering juga disebut doko-doko, Peca’ Beppa,
Barongko dan Beppa loka, dan lain – lainnya.
Bersdasarkan alat alat upacara diaatas, maka upacara ini dapat dikatakan
mengandung unsur fetishisme[3] pemujaan atau kepercayaan terhadap benda-
benda buatan manusia sendiri yang diisi dan diyakini mengandung daya-daya
kekuatan gaib atau berisikan dengan roh makluk halus.
9|Page
Tetangga dekat jauh serta orang-orang partisipan
Jalannya Upacara naik rumah baru ini dilaksanakan pada hari yang telah
ditetapkan tuan rumah untuk naik ke rumah baru. Upacara ini dipimpin oleh
panrita bola atau sanro bola. Penyelenggaraan upacara diselenggarakan oleh
tuan rumah yang dibantu oleh orang tua dari kedua belah pihak (suami isteri).
Peserta Upacara terdiri atas suami isteri, keluarga tuan rumah, tukang dengan
kepala tukang (tetapi biasanya panitia itu juga mengepalai tukang yang
bekerja), dengan seluruh tenaga pembantunya serta tetangga – tetangga
dalam kampung itu.
10 | P a g e
Makkarawa Bola terdiri dari dua kata yaitu Makkarawa (memegang) dan Bola
(rumah), jadi makkarawa bola bisa diartikan memegang, mengerjakan, atau
membuat peralatan rumah yang telah direncanakan untuk didirikan dengan
maksud untuk memohon restu kepada Tuhan agar diberikan perlindungan dan
keselamatan dalam penyelesaian rumah yang akan dibangun tersebut. Tempat
dan waktu upacara ini diadakan di tempat dimana bahan–bahan itu dikerjakan
oleh Panre (tukang) karena bahan–bahan itu juga turut dimintakan doa restu
kepada Tuhan. Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada waktu yang baik
dengan petunjuk panrita bola, yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin
upacara.
Bahan–bahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri atas : ayam dua
ekor, dimana ayam ini harus dipotong karena darahnya diperlukan untuk
pelaksanaan upacara kemudian tempurung kelapa daun waru sekurang –
kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara makkarawa bola ini ada
tiga, yaitu
1. waktu memulai melicinkan tiang dan peralatannya disebut
makkattang,
2. waktu mengukur dan melobangi tiang dan peralatannya yang disebut
mappa,
3. waktu memasang kerangka disebut mappatama areteng.
Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam yang
telah disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam tempurung kelapa
yang dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah ayam itu disapukan pada
bahan yang akan dikerjakan. Dimulai pada tiang pusat, disertai dengan niat
agar selama rumah itu dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam keadaan
sehat dan baik–baik, bila saat bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan,
11 | P a g e
maka cukuplah ayam itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan
rumah itu berlangsung dihidangkan kue–kue tradisional seperti : Suwella,
Sanggara, Onde-Onde, Roko–roko unti sering juga disebut doko-doko, Peca’
Beppa, Barongko dan Beppa loka, dan lain – lainnya.
Tujuan upacara ini sebagai permohonan doa restu kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa agar rumah yang didirikan itu diberkahi dan dilindungi dari
pengaruh-pengaruh roh jahat yang mungkin akan menganggu penghuninya.
Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi dimana rumah itu didirikan, sebagai
bentuk penyampaian kepada roh-roh halus penjaga-penjaga tempat itu bahwa
orang yang pernah memohon izin pada waktu yang lalu sekarang sudah
datang dan mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan pembangunan
rumah baru itu, maka pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab barzanji.
Adapun bahan–bahan dan alat–alat kelengkapan upacara itu terdiri tas :
ayam ’bakka’ dua ekor, satu jantan dan satu betina. Darah kedua ayam ini
diambil untuk disapukan dan disimpan pada tiang pusat rumah, ini
12 | P a g e
mengandung harapan agar tuan rumah berkembang terus baik harta maupun
keturunannya. Selain itu, Bahan–bahan yang ditanam pada tempat posi bola
(pusat atau bagian tengah rumah) dan aliri pakka yang akan didirikan ini terdiri
atas : awali (periuk tanah atau tembikar), sung appe (sudut tikar dari daun
lontar), balu mabbulu (bakul yang baru selesai dianyam), penno-penno
(semacam tumbuh-tumbuhan berumbi seperti bawang), kaluku (kelapa), Golla
Cella (gula merah), Aju cenning (kayu manis), dan buah pala. Kesemua bahan
tersebut diatas dikumpul bersama – sama dalam kuali lalu ditanam di tempat
dimana direncanakan akan didirikan aliri posi bola itu dengan harapan agar
pemilik rumah bisa hidup bahagia, aman, tenteram, dan serba cukup.
Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula sejumlah bahan –
bahan yang akan disimpan di posi bola seperti kain kaci (kain putih) 1 m,
diikatkan pada posi bola, padi dua ikat, golla cella (gula merah), kaluku
(kelapa), saji pattapi (nyiru), sanru (sendok sayur), piso (pisau), pakkerri (kukur
kelapa). Bahan–bahan ini disimpan diatas disimpan dalam sebuah balai – balai
di dekat posi bola. Bahan ini semua mengandung nilai harapan agar kehidupan
dalam rumah itu serba lengkap dan serba cukup. Setelah kesemuanya itu
sudah dilaksanakan, barulah tiba saat Mappanre Aliri, memberi makan orang –
orang yang bekerja mendirikan tiang – tiang rumah itu. Makanan yangf
disajikan terdiri atas sokko (ketan), dan pallise, yang mengandung harapan
agar hidup dalam rumah baru tersebut dapat senantiasa dalam keadaan cukup.
Tahap Upacara Menre Bola Baru (Naik Rumah Baru).
Tujuannya sebagai pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga
dan tetangga sedesa bahwa rumahnya telah selesai dibangun, selain sebagai
upacara doa selamat agar rumah baru itu diberi berkah oleh Tuhan dan
dilindungi dari segala macam bencana. Perlengkapan upacara yang disiapkan
adalah dua ekor ayam putih jantan dan betina, loka (utti) manurung, loka / otti
13 | P a g e
(pisang) panasa (nangka), kaluku (kelapa), golla cella (gula merah), tebbu
(tebu), panreng (nenas) yang sudah tua. Sebelum tuan rumah (suami isteri)
naik ke rumah secara resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan tersebut diatas
disimpan di tempatnya masing – masing, yaitu : (1) Loka manurung, kaluku,
golla cella, tebu, panreng dan panasa di tiang posi bola. (2) Loka manurung
disimpan di masing–masing tiang sudut rumah.
Tuan rumah masing–masing membawa seekor ayam putih. Suami
membawa ayam betina dan isteri membawa ayam jantan dengan dibimbing
oleh seorang sanro bola atau orang tertua dari keluarga yang ahli tentang adat
berkaitan dengan rumah. Sesampainya diatas rumah kedua ekor ayam itu
dilepaskan, sebelum sampai setahun umur rumah itu, maka ayam tersebut
belum boleh disembelih, karena dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah
peserta upacara hadir diatas rumah maka disuguhkanlah makanan–makanan /
kue–kue seperti suwella, jompo–jompo, curu maddingki, lana–lana (bedda),
konde–konde (umba–umba), sara semmu, doko–doko, lame–lame. Pada
malam harinya diadakanlah pembacaan Kitab Barzanji oleh Imam Kampung,
setelah tamu pada malam itu pulang semua, tuan rumah tidur di ruang depan.
Besok malamnya barulah boleh pindah ke ruang tengah tempat yang memang
disediakan untuknya.
14 | P a g e
Setelah rumah itu berumur satu tahun maka diadakanlah lagi upacara
yang disebut maccera bola. “Maccera Bola” artinya memberi darah kepada
rumah itu dan merayakannya. Jadi sama dengan ulang tahun. Darah yang
dipakai maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong untuk itu, pada
waktu menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan mantra, “Iyyapa uitta
dara narekko dara manu”, artinya nantinya melihat darah bila itu darah ayam.
Ini maksudnya agar rumah terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah
sanro (dukun) bola atau tukang rumah itu sendiri.
Mengangkat barang berukuran kecil adalah hal biasa. Tetapi bagaimana jika
yang diangkat adalah sebuah rumah tinggal berukuran besar? Meski pun
kejadian begini bukan hal luar biasa di Sulawesi Selatan, tetapi tradisi ini sedikit
memudar seiring merosotnya minat memiliki rumah panggung.
15 | P a g e
16 | P a g e
Secara vertikal rumah-rumah orang Bugis-Makassar dibagi ke dalam tiga
bagian, yaitu bagian bawah (kolom), tengah, dan atas. Sebagian besar aktivitas
rumah tangga dilakukan di bagian tengah yang dalam istilah orang Bugis
disebut ale bola, atau kale balla’ dalam Bahasa Makassar. Sementara bagian
atas yang letaknya di antara langit-langit dan atap disebut rakkeang (Bugis)
atau pammakkang (Makassar). Pembagian ini berdasarkan pandangan
kosmologi orang Bugis-Makassar yang menganggap alam semesta terbagi ke
dalam tiga tingkatan, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah.
Warga yang berkumpul di sekitar rumah yang akan mereka angkat.
Kerangka rumah terdiri dari tiang dan balok yang dirangkai tanpa
menggunakan paku. Tiang-tiang penyanggah rumah biasanya dibuat dari kayu
pilihan yang kuat. Tiang-tiang rumah ini ada yang dipancang ke dalam tanah,
sementara yang lainnya hanya diletakkan di atas batu dengan perhitungan
keseimbangan yang akurat. Tentu saja ketahanan rumah sangat tergantung
dari jenis material terutama kayu yang digunakan untuk membangunnya, serta
kecakapan tukang merangkai material tersebut menjadi rumah panggung yang
utuh. Banyak dari rumah-rumah ini tetap berdiri kokoh selama puluhan tahun,
bahkan sampai penghuninya beranak-cucu di rumah tersebut.
Jika sang pemilik rumah ingin pindah ke tempat lain yang tidak begitu
jauh, biasanya rumah itu cukup diangkat oleh warga kampung secara
bergotong royong. Tetapi rumah yang dipindahkan dengan diangkat juga bisa
karena alasan rumah itu telah dijual tidak dengan tanahnya. Inilah salah satu
keistimewaan lain rumah panggung. Dengan cara diangkat, pekerjaan
memindahkan rumah bisa berlangsung lebih cepat, lebih murah, dengan
kemungkinan resiko kerusakan akibat membongkar yang lebih sedikit.
17 | P a g e
Demasa ini, karena semakin berkurangnya minat membuat rumah
panggung, tradisi mengangkat rumah juga semakin jarang ditemukan. Setelah
beberapa tahun tidak menyaksikan kejadian seperti ini, di penghujung tahun
2010 lalu saya sempat menyaksikan kembali kegiatan gotong royong
mengangkat rumah ini di Pakalu, sebuah kampung yang menjadi Ibukota
Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros. Jarak pemindahannya tidak
begitu jauh, hanya terbilang puluhan meter dengan posisi rumah yang diputar
sembilan puluh derajat. Ini berbeda saat rumah mantan imam kampung
setempat yang sebelumnya diangkat sejauh kira-kira satu kilometer menuju
tempatnya yang baru. Tetapi meski pun rumah yang akan diangkat tak begitu
jauh dari lokasi awalnya, tetapi acara angkat rumah pagi itu terlihat amat
semarak.
Pagi-pagi sekali, warga dari kampung sekeliling Pakalu sudah mulai
berdatangan. Mereka membawa sendiri perkakas yang mungkin diperlukan,
terutama parang yang menjadi alat kerja sehari-hari penduduk yang banyak
18 | P a g e
bekerja sebagai petani. Batang-batang bambu dipotong sesuai ukuran panjang
dan lebar rumah. Bambu-bambu ini lalu diikatkan ke tiang rumah untuk
membantu menahan struktur rumah dari goncangan, sekaligus akan menjadi
sandaran bahu ketika rumah diangkat.
19 | P a g e
khas Sulawesi Selatan yang cukup populer, meski pun namanya sepintas bisa
menimbulkan salah pengertian.
Mangkuk-mangkuk berisi sup saudara ditata rapi di atas jejeran meja.
Sementara di jejeran meja lainnya tersedia ikan bandeng bakar dengan saus
kacang yang masih mengepul. Sup saudara dan ikan bakar adalah pasangan
serasi untuk disantap ketika perut mulai keroncongan. Terlebih seusai
mengeluarkan tenaga ekstra mengangkat sebuah rumah.
Setiap orang lalu mengambil semangkuk sup dan piring berisi seekor
bandeng bakar beserta sausnya. Lauk ini dinikmati bersama nasi putih dari
beras yang belum lama dipanen dari sawah-sawah di sekeliling perkampungan.
Masing-masing orang memilih tempat di sekeliling halaman yang cukup luas.
Mereka duduk berkelompok, bercengkrama, saling melempar guyonan ala
kampung, sambil menikmati sisa makanan di piring. Mau nambah? Heheheee,
ini Bantimurung, Daeng. Tak ada kata “kehabisan” untuk menjamu tamu-tamu
agar lupa berdiri karena lahap menikmati sajian tuan rumah. Acara makan
bersama memang menjadi bagian yang selalu ada dalam setiap acara seperti
ini.
20 | P a g e
sebuah dapur yang sudah tidak berasap lagi menandakan bahwa keluarga
pemilik dapur sudah mati.
21 | P a g e
Dapur orang Bugis-Makasar [sesuai dengan pengetahuan lokal para
nenek moyang mereka] diusahakan menghadap Utara atau Selatan. Jika dapur
menghadap utara maka orang yang memasak akan menghadap ke Selatan,
begitu pula sebaliknya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari asap dapur
yang sangat dipengaruhi oleh angin musim yang bertiup dari arah barat atau
timur. Hal ini masih dipengaruhi lagi oleh letak dan posisi dapur terhadap
keadaan lingkungan sekitarnya, seperti daerah perbukitan/ pegunungan. Hal
lain yang kurang diperhatikan adalah sistem ventilasi dapur, sehingga kondisi
udara di dapur tidak sehat.
22 | P a g e
Terbuat dari anyaman: assokkoreng (kukusan), baku-baku (bakul nasi),
appanatireng santang(tapisan santan), paberesse/pa'berassang (tempat
beras)
Terbuat dari batu: pakungeng batu (lesu batu), accobereng/accebekang
(cobek)
23 | P a g e
Beberapa pantangan tersebut adalah :
Tidak boleh menginjak dapur (tungku), barang siapa menginjak tungku
dia akan bersifat seperti kucing (dalam masalah seksual), artinya, orang
yang suka menginjak dapur akan suka melanggar norma / nilai di bidang
seks.
Anak gadis tidak boleh menyanyi di depan dapur. Jika dilanggar dia akan
bersuamikan orang tua atau mempunyai anak tiri.
Pada saat seorang nelayan turun ke laut, api dapur tidak boleh padam.
Hal ini dimaksudkan agar nelayan/suami tersebut selamat pergi dan
pulang dari melaut.
Pada musim pengolahan tanah, istri petani tidak boleh memberi api
dapurnya kepada dapur tetangganya. Hal ini dilarang karena akan
mengakibatkan padinya habis dimakan ulat / tikus.
Laki - laki tidak boleh bekerja di dapur karena menurunkan derajat laki-
laki.
Laki - laki (suami) tidak boleh memegang Alat - alat masak. Hal ini
menandakan suami tidak percaya kepada istrinya.
Tidak boleh memukul anak-anak dengan alat-alat masak seperti sendok
dan sebagainya, hal ini menyebabkan anak tersebut menjadi bodoh.
Lambat laun ritual Pemahaman tentang Rumah Adat Bugis Makassar ini
telah terkikis, Begitupun Upacara Adat Menre Bola (Makassar : Nai’ Balla) ini
sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya karena sudah
kurang yang memahami esensi dan tata cara pelaksanaannya, Begitu pula
pemahaman tentang Dapur dengan segala etika yang harus ada didalamnya
sudah terlupakan.
24 | P a g e
Saat ini yang banyak kita saksikan apabila ada pembangunan rumah
adat (rumah kayu) atau rumah modern (rumah batu), masyarakat
melaksanakannya cukup dengan acara syukuran saja dengan mengundang
berbagai kerabat dan handai taulan. Meski begitu, semoga tulisan ini
bermanfaat, paling tidak mengingatkan budaya dan tradisi yang hilang atau
terlupakan itu.
25 | P a g e
KESIMPULAN
26 | P a g e
Kurangnya pengetahuan masyarakat Bugis terhadap dasar-dasar
filosofi bentuk disamping tidak adanya lembaga dan aturan yang
mengikat nilai-nilai ini.
3) Dari segi Struktural
Bahan bangunan utama (kayu ulin) sulit didapat di wilayah pemukiman
sehingga harganya sangat mahal.
Ketinggian kolom tidak direncanakan terhadap kemungkinan terjadinya
abrasi pantai, sehingga fungsi ruang bawah (awa bola) tidak dapat
difungsikan sebagaimana mestinya. Makin lama ketinggian ruang
bawah rumah makin berkurang karena tuntutan pengurugan.
Adanya anggapan bahwa rumah dengan bahan bata dipandang lebih
baik dalam perawatan dan daya tahan. Selain itu, rumah bata juga
dianggap menunjukkan tingkat kemampuan ekonomi penghuni yang
lebih baik.
27 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
https://telukbone.blogspot.co.id/2012/11/seputar-upacara-
naik-rumah-menre-bola.html
http://passompeugi.blogspot.co.id/2010/12/rumah-adat-
tradisi-menre-bola-dan-dapur.html
https://www.hipwee.com/travel/seru-nih-tradisi-pindah-
rumah-khas-suku-bugis-indonesia-selalu-punya-stok-
keunikan-budaya/
https://id.scribd.com/doc/94533757/5-MAKALAH-SUKU-
BUGIS
28 | P a g e