Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini
membahas tentang "Suku Bugis".Kami menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pengantar Arsitektur 2 yang diampu oleh Bapak

Dalam pembuatan makalah ini, kami memperoleh banyak bantuan dari


berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan untuk
menyempurnakan makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca


terutama diri kami pribadi dan dapat menambah wawasan tentang suku dan budaya
yang ada di Indonesia, khususnya suku bugis.

1|Page
PENDAHULUAN

Rumah Adat Bugis Makassar adalah rumah panggung kayu. Menurut Robinson
(1993), Rumah Panggung kayu mewakili sebuah tradisi yang bertahan lama, tradisi
yang juga tersebar luas di dunia Melayu. Bentuk dasar rumah adalah sebuah kerangka
kayu dimana tiang menahan lantai dan atap dari berbagai bahan. Keanekaragaman
bahan kian meningkat dalam dunia kontemporer setelah pendirian rumah menjadi
kian dikomoditikan. Keunikan Rumah Bugis dibanding rumah panggung Sumatera
dan Kalimantan adalah bentuknya yang memanjang ke belakang dengan tambahan
disamping bangunan utama dan bagian depan (orang bugis menyebutnya lego –
lego, makassar : dego - dego)

Rumah adat Bugis mencerminkan sebuah estetika tersendiri yang menjadikannya


obyek budaya materil yang indah. Bagian – bagian utama rumah terdiri dari Tiang
utama (alliri), terdiri dari 4 batang setiap barisnya. Jumlahnya tergantung jumlah
ruangan yang akan dibuat, tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi
totalnya ada 12 batang alliri, Padongko, yaitu bagian rumah yang menjadi
penyambung dari alliri di setiap barisnya, serta Pattoppo, yaitu bagian rumah yang
menjadi pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.

Rumah Panggung kayu khas Bugis Makassar mengacu pada anutan kepercayaan
bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas (botting langi), bagian
tengah (alang tengnga / ale kawa) dan bagian bawah ( awa sao / peretiwi / bori liu).
Itulah sebabnya rumah tradisional Bugis Makassar juga terdiri atas tiga bagian, yaitu
Rakkeang, bagian atap rumah. Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi
yang baru di panen. Yang kedua, Ale Bola, yaitu bagian tengah rumah. dimana kita

2|Page
tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ),
dan Awa bola, yaitu bagian bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.

Rumah dengan arsitektur berkolong rumah bagi banyak orang Bugis Makassar
dipandang sangat aman dan nyaman, selain itu karena berbahan dasar kayu rumah ini
dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan
kayu. Uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah. Bentuk rumah orang
Bugis Makassar haruslah persegi empat. Ini berhubungan dengan falsafah hidup
Sulapa EppaE (atau Persegi empat).

Selain menganut konsep tentang alam / kepercayaan tentang pusat dunia atas, dunia
tengah dan dunia bawah maka pada rumahpun ada pusat rumah yang disebut possi
bola, yaitu salah satu tiang yang kedua dari depan dan terletak disamping kanan. Itu
pula sebabnya mengapa pada upacara adat menre baruga (menre bola), sesajen -
sesajen seringkali diletakkan di “possi bola” karena disitulah roh-roh (atau makhluk
gaib) dianggap berkumpul, terutama jika ada kejadian dan peristiwa khusus dalam
keluarga.

Terkait arah rumah, boleh saja memilih salah satu diantara empat penjuru mata angin.
Tetapi setelah pengaruh Islam masuk maka timbullah anggapan baru, bahwa arah
rumah yang paling baik ialah menghadap ke Timur yang berarti tampingnya berada di
sebelah utara. Rumah yang menghadap ke selatan berarti tampingnya berada di
sebelah timur. Karena ada ketentuan di kalangan masyarakat bahwa tidur di rumah
itu, kepala harus ke bagian kanan rumah dan kaki mesti ke arah tamping (bagian kiri)
dan tidak boleh ke arah Ka’bah (kiblat shalat). Dengan kata lain tidak boleh ke arah
barat karena Ka’bah berada di sebelah barat.

3|Page
A. KEPERCAYAAN DAN SIMBOL - SIMBOL TENTANG RUMAH

Pada zaman dahulu, orang Bugis – Makassar memiliki kepercayaan


bahwa letak rumah tempat tinggal diusahakan supaya berdekatan dengan
tempat tinggal bekerja (sawah, ladang atau pantai) atau dekat dengan rumah
famili / kerabat. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya Kampung
Pallaonruma dan Kampung Pakkaja, tetapi sekarang sudah tidak menjadi
syarat lagi. Ciri yang menonjol pada sebagian besar orang Bugis Makassar
adalah bahwa mereka selalu akan menetap dan menjadi penduduk asli di suatu
tempat dimana mereka menggantungkan hidupnya. Mereka akan membangun
disitu dan akan mati disitu pula. Hal ini sangat berhubungan dengan mata
pencaharian mereka, seperti seorang petani akan bermukim atau membangun
rumahnya dekat dengan lahan atau kawasan pertanian mereka. Petambak

4|Page
akan cenderung membangun rumahnya pada suatu lokasi yang tidak terlalu
jauh dari kawasan empangnya.
Ruang dan simbolisme yang terlihat pada rumah tradisional merupakan
fokus spiritual dan fisik bagi penghuninya, dengan asosiasi metafisik yang
mencari vitalitas, perlindungan dan harmoni. Sebagaimana telah dijelaskan
oleh Bourdieu, ‘ruang hunian’, terutama rumah, merupakan alat prinsipil dalam
mengartikulasikan dan memahami struktur sosial. Pembagian ruang pada
rumah menjadi sebuah ‘sistem klasifikasi nyata (yang) terus menerus
melahirkan dan mendorong prinsip – prinsip taksonomi yang mendasari semua
ketentuan budaya yang arbitrer’.
Pada rumah Bugis, sentralitas ditandai oleh aliri posi, atau tiang pusar,
yang menandai sumber sumange’, dan dihormati dalam ritual, sebagaimana
totalitas pusat dan pinggir, dimana setiap sudut rumah ditandai dengan
sesajen dan do’a. Kehadiran roh penjaga pada tiang pusar juga terdapat dalam
La Galigo dimana tiang pusat istana raja kerap menjadi fokus kegiatan dalam
kisah epik tersebut. Tiang ini dihiasi saat ada upacara – upacara, tarian – tarian
disajikan di sekitarnya, dan ketika dilakukan pelayaran antara Dunia Tengah
dan Dunia Atas, muncul pelangi di tiang tersebut pada saat pelayaran
dilakukan, sehingga menghubungkan dunia syurgawi dan dunia materi. Hingga
sekarang, ketika berada di luar rumah, adalah hal lazim bagi orang – orang
untuk mendapatkan perlindungan diri melalui penggunaan jimat – jimat yang
dipakai atau dibawa untuk menghindari malapetaka dan dilepas setelah
memasuki rumah.
Simetri dan keseimbangan dari pengaruh pencarian tatanan dan
harmoni yang terdapat pada sulapa eppa’, dan skema fundamental lainnya
yang dikaitkan terus menerus dan ditegaskan dalam wilayah sosial, politik, dan
spiritual. Motif – motif mungkin muncul secara sadar dari pemahaman akan

5|Page
sulapa eppa’ dan posisi sosial, seperti halnya timpa laja’ bola (Makassar :
timbassila balla’), jumlah jeluji jendela, motif – motif tertentu pada dinding
rumah, walasuji, dan lain sebagainya. Motif ini mungkin belum menjadi
refresentasi sadar dari konsep – konsep tersebut tetapi merupakan ekspresi
dari sebuah logika kultural yang melingkupinya. .

B. PEMILIHAN WAKTU YANG BAIK

Waktu penyelenggaraan upacara ini disesuaikan dengan waktu yang baik


menurut ketentuan adat untuk orang Bugis Makassar. Pemilihan waktu baik
sangat penting untuk memastikan hasil positif sebuah usaha. Bentuk
pengetahuan paling umum yang terkandung dalam kutika / pitika adalah
metode – metode penentuan hari – hari baik untuk melakukan suatu kegiatan,
termasuk mendirikan rumah. Dewasa ini, perhatian terhadap hari – hari dan
waktu – waktu baik dan buruk di Sulawesi Selatan digunakan oleh banyak
orang untuk kegiatan – kegiatan rutin seperti memulai perjalanan. Tetapi
terutama digunakan untuk kegiatan – kegiatan penting seperti waktu
pernikahan, atau tahapan dalam mendirikan rumah (Saing, 1982 atau Sunusi,
1969 menerangkan penggunaannya dalam pembangunan rumah).
Hamid (1994) mengaitkan konsep – konsep hari buruk dan hari baik
dengan kepercayaan animisme, yang ia samakan dengan kepercayaan
terhadap kesatuan manusia dengan hukum alam (sesuatu yang tersebar pada
banyak masyarakat – masyarakat Austronesia) (lihat juga Waterson, 1993 ;
Pigeaud, 1983). Manuskrip umumnya berisi daftar – daftar bulan dalam
kalender Islam, dengan keterangan – keterangan apakah waktu – waktu
tersebut baik untuk kegiatan – kegiatan tertentu, pendirian rumah dan
pernikahan seringkali dihubungkan (yaitu, bulan baik untuk pernikahan
biasanya juga baik untuk mendirikan rumah).
6|Page
Manuskrip – manuskrip memberikan keterangan yang sama tentang
bulan – bulan yang baik dan buruk, namun berbeda dalam meramalkan hasil
atau akibat bagi sang empunya rumah, jika kegiatan itu diadakan para periode
tersebut.

 Bulan Muharram bukan waktu baik untuk mendirikan rumah atau


menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu
menderita.
 Bulan Safar bulan bagus untuk mendirikan rumah atau
menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu
memperoleh keberuntungan.
 Rabi’ul – awal tidak baik untuk mendirikan rumah atau
menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu
tertimpa musibah kematian.
 Rabi’ul akhir baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan
perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu memperoleh
kebahagiaan.
 Jumadil awal baik untuk mendirikan rumah ; Sang empunya rumah akan
selalu memperoleh keberuntungan.
 Jumadil akhir tidak baik untuk mendirikan rumah atau
menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan sakit –
sakitan dan dilanda kesulitan – kesulitan lainnya.
 Rajab bukan bulan baik untuk mendirikan rumah. Sang empunya rumah
akan mati tertikam dan rumahnya akan terbakar.
 Sya’ban baik untuk mendirikan rumah dan menikah. Sang empunya
rumah akan selalu memiliki kekayaan.

7|Page
 Ramadhan baik untuk mendirikan rumah, juga menyelenggarakan
perkawinan. Penghuni rumah akan selalu akrab dengan tetangganya
dan akan memperoleh kebahagiaan.
 Syawal tidak baik untuk mendirikan rumah dan menyelenggarakan
perkawinan. Sang empunya rumah akan tertikam dan rumahnya tidak
akan pernah sempurna.
 Zulqa’idah baik untuk mendirikan rumah dan menyelenggarakan
perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu memiliki hubungan yang
baik dengan tetangga – tetangganya.
 Zulhijjah baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan
perkawinan. Sang empunya rumah akan memperoleh ketenteraman.
Mereka akan memperoleh banyak emas.

C. ALAT ALAT YANG DIGUNAKAN DAN SIAPA SAJA YANG TERLIBAT


Bahan-bahan utama
 Berre tudang/Piduduk
beras kuning- kelapa bakka- pisang-attello’- air putih 1 gelas

 Posi’bola(pusar rumah)
daun cocor bebek beserta akarnya-bitol kaca yang telah diisi air-kain
putih

Bahan-bahan pokok tambahan dalam prosesi upacara


Bahan–bahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri atas : ayam dua ekor,
dimana ayam ini harus dipotong karena darahnya diperlukan untuk

8|Page
pelaksanaan upacara kemudian tempurung kelapa daun waru sekurang –
kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara makkarawa bola ini ada
tiga, yaitu
1. waktu memulai melicinkan tiang dan peralatannya disebut makkattang,
2. waktu mengukur dan melobangi tiang dan peralatannya yang disebut
mappa,
3. waktu memasang kerangka disebut mappatama areteng.

Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam yang telah
disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam tempurung kelapa yang
dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah ayam itu disapukan pada bahan
yang akan dikerjakan. Dimulai pada tiang pusat, disertai dengan niat agar
selama rumah itu dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam keadaan sehat
dan baik–baik, bila saat bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan, maka
cukuplah ayam itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan rumah itu
berlangsung dihidangkan kue–kue tradisional seperti : Suwella, Sanggara,
Onde-Onde, Roko–roko unti sering juga disebut doko-doko, Peca’ Beppa,
Barongko dan Beppa loka, dan lain – lainnya.

Bersdasarkan alat alat upacara diaatas, maka upacara ini dapat dikatakan
mengandung unsur fetishisme[3] pemujaan atau kepercayaan terhadap benda-
benda buatan manusia sendiri yang diisi dan diyakini mengandung daya-daya
kekuatan gaib atau berisikan dengan roh makluk halus.

Orang-orang yang terlibat


 Sandro (tetua adat)
 Anggota keluarga yang akan mendirikan

9|Page
 Tetangga dekat jauh serta orang-orang partisipan

D. UPACARA ADAT MENRE BOLA

Jalannya Upacara naik rumah baru ini dilaksanakan pada hari yang telah
ditetapkan tuan rumah untuk naik ke rumah baru. Upacara ini dipimpin oleh
panrita bola atau sanro bola. Penyelenggaraan upacara diselenggarakan oleh
tuan rumah yang dibantu oleh orang tua dari kedua belah pihak (suami isteri).
Peserta Upacara terdiri atas suami isteri, keluarga tuan rumah, tukang dengan
kepala tukang (tetapi biasanya panitia itu juga mengepalai tukang yang
bekerja), dengan seluruh tenaga pembantunya serta tetangga – tetangga
dalam kampung itu.

E. UPACARA MAKKARAWA BOLA

10 | P a g e
Makkarawa Bola terdiri dari dua kata yaitu Makkarawa (memegang) dan Bola
(rumah), jadi makkarawa bola bisa diartikan memegang, mengerjakan, atau
membuat peralatan rumah yang telah direncanakan untuk didirikan dengan
maksud untuk memohon restu kepada Tuhan agar diberikan perlindungan dan
keselamatan dalam penyelesaian rumah yang akan dibangun tersebut. Tempat
dan waktu upacara ini diadakan di tempat dimana bahan–bahan itu dikerjakan
oleh Panre (tukang) karena bahan–bahan itu juga turut dimintakan doa restu
kepada Tuhan. Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada waktu yang baik
dengan petunjuk panrita bola, yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin
upacara.
Bahan–bahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri atas : ayam dua
ekor, dimana ayam ini harus dipotong karena darahnya diperlukan untuk
pelaksanaan upacara kemudian tempurung kelapa daun waru sekurang –
kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara makkarawa bola ini ada
tiga, yaitu
1. waktu memulai melicinkan tiang dan peralatannya disebut
makkattang,
2. waktu mengukur dan melobangi tiang dan peralatannya yang disebut
mappa,
3. waktu memasang kerangka disebut mappatama areteng.

Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam yang
telah disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam tempurung kelapa
yang dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah ayam itu disapukan pada
bahan yang akan dikerjakan. Dimulai pada tiang pusat, disertai dengan niat
agar selama rumah itu dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam keadaan
sehat dan baik–baik, bila saat bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan,

11 | P a g e
maka cukuplah ayam itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan
rumah itu berlangsung dihidangkan kue–kue tradisional seperti : Suwella,
Sanggara, Onde-Onde, Roko–roko unti sering juga disebut doko-doko, Peca’
Beppa, Barongko dan Beppa loka, dan lain – lainnya.

F. UPACARA MAPPATETTONG BOLA

Tujuan upacara ini sebagai permohonan doa restu kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa agar rumah yang didirikan itu diberkahi dan dilindungi dari
pengaruh-pengaruh roh jahat yang mungkin akan menganggu penghuninya.
Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi dimana rumah itu didirikan, sebagai
bentuk penyampaian kepada roh-roh halus penjaga-penjaga tempat itu bahwa
orang yang pernah memohon izin pada waktu yang lalu sekarang sudah
datang dan mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan pembangunan
rumah baru itu, maka pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab barzanji.
Adapun bahan–bahan dan alat–alat kelengkapan upacara itu terdiri tas :
ayam ’bakka’ dua ekor, satu jantan dan satu betina. Darah kedua ayam ini
diambil untuk disapukan dan disimpan pada tiang pusat rumah, ini

12 | P a g e
mengandung harapan agar tuan rumah berkembang terus baik harta maupun
keturunannya. Selain itu, Bahan–bahan yang ditanam pada tempat posi bola
(pusat atau bagian tengah rumah) dan aliri pakka yang akan didirikan ini terdiri
atas : awali (periuk tanah atau tembikar), sung appe (sudut tikar dari daun
lontar), balu mabbulu (bakul yang baru selesai dianyam), penno-penno
(semacam tumbuh-tumbuhan berumbi seperti bawang), kaluku (kelapa), Golla
Cella (gula merah), Aju cenning (kayu manis), dan buah pala. Kesemua bahan
tersebut diatas dikumpul bersama – sama dalam kuali lalu ditanam di tempat
dimana direncanakan akan didirikan aliri posi bola itu dengan harapan agar
pemilik rumah bisa hidup bahagia, aman, tenteram, dan serba cukup.
Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula sejumlah bahan –
bahan yang akan disimpan di posi bola seperti kain kaci (kain putih) 1 m,
diikatkan pada posi bola, padi dua ikat, golla cella (gula merah), kaluku
(kelapa), saji pattapi (nyiru), sanru (sendok sayur), piso (pisau), pakkerri (kukur
kelapa). Bahan–bahan ini disimpan diatas disimpan dalam sebuah balai – balai
di dekat posi bola. Bahan ini semua mengandung nilai harapan agar kehidupan
dalam rumah itu serba lengkap dan serba cukup. Setelah kesemuanya itu
sudah dilaksanakan, barulah tiba saat Mappanre Aliri, memberi makan orang –
orang yang bekerja mendirikan tiang – tiang rumah itu. Makanan yangf
disajikan terdiri atas sokko (ketan), dan pallise, yang mengandung harapan
agar hidup dalam rumah baru tersebut dapat senantiasa dalam keadaan cukup.
Tahap Upacara Menre Bola Baru (Naik Rumah Baru).
Tujuannya sebagai pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga
dan tetangga sedesa bahwa rumahnya telah selesai dibangun, selain sebagai
upacara doa selamat agar rumah baru itu diberi berkah oleh Tuhan dan
dilindungi dari segala macam bencana. Perlengkapan upacara yang disiapkan
adalah dua ekor ayam putih jantan dan betina, loka (utti) manurung, loka / otti

13 | P a g e
(pisang) panasa (nangka), kaluku (kelapa), golla cella (gula merah), tebbu
(tebu), panreng (nenas) yang sudah tua. Sebelum tuan rumah (suami isteri)
naik ke rumah secara resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan tersebut diatas
disimpan di tempatnya masing – masing, yaitu : (1) Loka manurung, kaluku,
golla cella, tebu, panreng dan panasa di tiang posi bola. (2) Loka manurung
disimpan di masing–masing tiang sudut rumah.
Tuan rumah masing–masing membawa seekor ayam putih. Suami
membawa ayam betina dan isteri membawa ayam jantan dengan dibimbing
oleh seorang sanro bola atau orang tertua dari keluarga yang ahli tentang adat
berkaitan dengan rumah. Sesampainya diatas rumah kedua ekor ayam itu
dilepaskan, sebelum sampai setahun umur rumah itu, maka ayam tersebut
belum boleh disembelih, karena dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah
peserta upacara hadir diatas rumah maka disuguhkanlah makanan–makanan /
kue–kue seperti suwella, jompo–jompo, curu maddingki, lana–lana (bedda),
konde–konde (umba–umba), sara semmu, doko–doko, lame–lame. Pada
malam harinya diadakanlah pembacaan Kitab Barzanji oleh Imam Kampung,
setelah tamu pada malam itu pulang semua, tuan rumah tidur di ruang depan.
Besok malamnya barulah boleh pindah ke ruang tengah tempat yang memang
disediakan untuknya.

G. UPACARA MACCERA BOLA

14 | P a g e
Setelah rumah itu berumur satu tahun maka diadakanlah lagi upacara
yang disebut maccera bola. “Maccera Bola” artinya memberi darah kepada
rumah itu dan merayakannya. Jadi sama dengan ulang tahun. Darah yang
dipakai maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong untuk itu, pada
waktu menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan mantra, “Iyyapa uitta
dara narekko dara manu”, artinya nantinya melihat darah bila itu darah ayam.
Ini maksudnya agar rumah terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah
sanro (dukun) bola atau tukang rumah itu sendiri.

H. TRADISI ANGKAT RUMAH DI BANTIMURUNG

Mengangkat barang berukuran kecil adalah hal biasa. Tetapi bagaimana jika
yang diangkat adalah sebuah rumah tinggal berukuran besar? Meski pun
kejadian begini bukan hal luar biasa di Sulawesi Selatan, tetapi tradisi ini sedikit
memudar seiring merosotnya minat memiliki rumah panggung.

Tradisi mengangkat rumah di Sulawesi Selatan memang dimungkinkan


terutama karena dua hal, yaitu bentuk rumah tradisional yang berupa rumah
panggung yang didukung sifat kegotongroyongan masyarakatnya Seperti
banyak bentuk rumah di nusantara, rumah tradisional penduduk yang
mendiami jazirah selatan Pulau Sulawesi ini memang berbentuk rumah
panggung. Di beberapa daerah di Sulawesi Selatan memiliki ornamen rumah
yang khas, tetapi pola dan bentuk umumnya sama saja. Meski pun mulai
banyak ditinggalkan, secara tradisional ornamen ini juga berbeda menurut
status sosial penghuninya, seperti yang bisa terlihat dari
timpassila/timpalajayang berjumlah minimal 3 tingkat untuk kalangan
bangsawan.

15 | P a g e
16 | P a g e
Secara vertikal rumah-rumah orang Bugis-Makassar dibagi ke dalam tiga
bagian, yaitu bagian bawah (kolom), tengah, dan atas. Sebagian besar aktivitas
rumah tangga dilakukan di bagian tengah yang dalam istilah orang Bugis
disebut ale bola, atau kale balla’ dalam Bahasa Makassar. Sementara bagian
atas yang letaknya di antara langit-langit dan atap disebut rakkeang (Bugis)
atau pammakkang (Makassar). Pembagian ini berdasarkan pandangan
kosmologi orang Bugis-Makassar yang menganggap alam semesta terbagi ke
dalam tiga tingkatan, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah.
Warga yang berkumpul di sekitar rumah yang akan mereka angkat.
Kerangka rumah terdiri dari tiang dan balok yang dirangkai tanpa
menggunakan paku. Tiang-tiang penyanggah rumah biasanya dibuat dari kayu
pilihan yang kuat. Tiang-tiang rumah ini ada yang dipancang ke dalam tanah,
sementara yang lainnya hanya diletakkan di atas batu dengan perhitungan
keseimbangan yang akurat. Tentu saja ketahanan rumah sangat tergantung
dari jenis material terutama kayu yang digunakan untuk membangunnya, serta
kecakapan tukang merangkai material tersebut menjadi rumah panggung yang
utuh. Banyak dari rumah-rumah ini tetap berdiri kokoh selama puluhan tahun,
bahkan sampai penghuninya beranak-cucu di rumah tersebut.
Jika sang pemilik rumah ingin pindah ke tempat lain yang tidak begitu
jauh, biasanya rumah itu cukup diangkat oleh warga kampung secara
bergotong royong. Tetapi rumah yang dipindahkan dengan diangkat juga bisa
karena alasan rumah itu telah dijual tidak dengan tanahnya. Inilah salah satu
keistimewaan lain rumah panggung. Dengan cara diangkat, pekerjaan
memindahkan rumah bisa berlangsung lebih cepat, lebih murah, dengan
kemungkinan resiko kerusakan akibat membongkar yang lebih sedikit.

17 | P a g e
Demasa ini, karena semakin berkurangnya minat membuat rumah
panggung, tradisi mengangkat rumah juga semakin jarang ditemukan. Setelah
beberapa tahun tidak menyaksikan kejadian seperti ini, di penghujung tahun
2010 lalu saya sempat menyaksikan kembali kegiatan gotong royong
mengangkat rumah ini di Pakalu, sebuah kampung yang menjadi Ibukota
Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros. Jarak pemindahannya tidak
begitu jauh, hanya terbilang puluhan meter dengan posisi rumah yang diputar
sembilan puluh derajat. Ini berbeda saat rumah mantan imam kampung
setempat yang sebelumnya diangkat sejauh kira-kira satu kilometer menuju
tempatnya yang baru. Tetapi meski pun rumah yang akan diangkat tak begitu
jauh dari lokasi awalnya, tetapi acara angkat rumah pagi itu terlihat amat
semarak.
Pagi-pagi sekali, warga dari kampung sekeliling Pakalu sudah mulai
berdatangan. Mereka membawa sendiri perkakas yang mungkin diperlukan,
terutama parang yang menjadi alat kerja sehari-hari penduduk yang banyak

18 | P a g e
bekerja sebagai petani. Batang-batang bambu dipotong sesuai ukuran panjang
dan lebar rumah. Bambu-bambu ini lalu diikatkan ke tiang rumah untuk
membantu menahan struktur rumah dari goncangan, sekaligus akan menjadi
sandaran bahu ketika rumah diangkat.

Ketika matahari pagi makin meninggi, ratusan orang dari berbagai


penjuru kampung semakin banyak berkumpul. Lalu salah seorang kerabat
pemilik rumah memberi aba-aba melalui pengeras suara agar semua bersiap
mengangkat rumah berukuran sekitar 10 x 14 meter itu. Satu... dua... tigaaaa...
Dan rumah pun bergerak pelan. Meski pun sempat berhenti beberapa kali,
tetapi akhirnya sampai juga di tempat baru yang dituju.

Di dapur tetangga kaum perempuan juga tak kalah sibuknya


menyiapkan masakan istimewa bagi warga yang hadir. Saat pekerjaan
mengangkat rumah hampir rampung, sajian ikan bakar dengan sup saudara
yang aromanya menyengat juga mulai dihidangkan. Sup saudara adalah kuliner

19 | P a g e
khas Sulawesi Selatan yang cukup populer, meski pun namanya sepintas bisa
menimbulkan salah pengertian.
Mangkuk-mangkuk berisi sup saudara ditata rapi di atas jejeran meja.
Sementara di jejeran meja lainnya tersedia ikan bandeng bakar dengan saus
kacang yang masih mengepul. Sup saudara dan ikan bakar adalah pasangan
serasi untuk disantap ketika perut mulai keroncongan. Terlebih seusai
mengeluarkan tenaga ekstra mengangkat sebuah rumah.

Setiap orang lalu mengambil semangkuk sup dan piring berisi seekor
bandeng bakar beserta sausnya. Lauk ini dinikmati bersama nasi putih dari
beras yang belum lama dipanen dari sawah-sawah di sekeliling perkampungan.
Masing-masing orang memilih tempat di sekeliling halaman yang cukup luas.
Mereka duduk berkelompok, bercengkrama, saling melempar guyonan ala
kampung, sambil menikmati sisa makanan di piring. Mau nambah? Heheheee,
ini Bantimurung, Daeng. Tak ada kata “kehabisan” untuk menjamu tamu-tamu
agar lupa berdiri karena lahap menikmati sajian tuan rumah. Acara makan
bersama memang menjadi bagian yang selalu ada dalam setiap acara seperti
ini.

I. DAPUR ORANG BUGIS MAKASSAR

Istilah dapur (tradisional) disini mencakup pengertian dapur sebagai


ruang /bangunan, tempat menyimpan peralatan masak dan tempat
berlangsungnya kegiatan makan minum. Eksistensi dapur ini timbul bersamaan
dengan diketemukannya api oleh manusia. Dapur bagi orang Bugis-Makassar
sangat dekat dengan proses dan eksistensi keluarga. Keluarga yang masih
"hidup" dapat ditengarai dengan dapur yang masih berasap. Sebaliknya

20 | P a g e
sebuah dapur yang sudah tidak berasap lagi menandakan bahwa keluarga
pemilik dapur sudah mati.

Dapur tradisional Bugis-Makasar pada umumnya berbentuk segi empat,


mengikuti filsafat orang Sulawesi Selatan yang disebut "Sulapa Eppa" yang
artinya "Yang dianggap paling sempurna adalah yang bersegi empat". Bentuk
formasi bangunan untuk perletakan tungku ada yang terbuat dari kayu dan
ada pula yang diletakkan diatas lantai rumah secara berdampingan. Bangunan
dapur tradisional Bugis-Makasar ada yang bertingkat dua. Lantai atas
digunakan untuk tempat menyimpan dan mengeringkan kayu bakar atau
menyimpan peralatan dapur. Lantai bawah digunakan untuk memasak. Tungku
masak yang digunakan kebanyakan masih menggunakan tiga batu yang diatur
diatas lantai yang sudah diberi pasir atau tanah. Dalam satu dapur bisa
berderet dua sampai tiga buah tungku. Bila masih memerlukan tungku lagi,
dibuatlah tungku yang terpisah dengan dapur yang disebut dapo (Bugis) atau
palu (Makasar) yang mudah dipindah-pindahkan.

Di beberapa daerah di Sulawesi bagian Selatan, palu yang mempunyai


bentuk seperti perahu dengan tiga tatakan sangat dominan dipakai.
Sedangkan untuk wilayah utara cukup bervariasi, diantaranya : formasi tiga
batu, bentuk silinder, dua besi panjang sejajar, dan lain sebagainya. Dalam
perkembangan selanjutnya, dapur tersebut bergeser ke ruang belakang dan
dibuatkan bangunan tambahan khusus dibagian belakang atau bagian sebelah
kiri bangunan induk. Bangunan khusus untuk dapur ini disebut Jongke atau
Bola Dapureng. Jongke ini merupakan tempat pelaksanaan kegiatan
penyediaan makanan dan minuman keluarga atau tamu, serta tempat untuk
menyimpan makanan dan peralatan masak.

21 | P a g e
Dapur orang Bugis-Makasar [sesuai dengan pengetahuan lokal para
nenek moyang mereka] diusahakan menghadap Utara atau Selatan. Jika dapur
menghadap utara maka orang yang memasak akan menghadap ke Selatan,
begitu pula sebaliknya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari asap dapur
yang sangat dipengaruhi oleh angin musim yang bertiup dari arah barat atau
timur. Hal ini masih dipengaruhi lagi oleh letak dan posisi dapur terhadap
keadaan lingkungan sekitarnya, seperti daerah perbukitan/ pegunungan. Hal
lain yang kurang diperhatikan adalah sistem ventilasi dapur, sehingga kondisi
udara di dapur tidak sehat.

Pada umumnya peralatan dapur tradisional orang Bugis-Makasar dapat


diklasifikasikan menurut jenis material peralatan tersebut :
 Terbuat dari tanah liat: dapo/pallu (anglo), Oring tana/Uring buta
(periuk), bempa/gumbang (tempayan), dan lain – lain.
 Terbuat dari logam yaitu: oring beddi/uring bassi (periuk), panci, ceret,
pammutu bessi/pamja besi (wajan) piso/ lading (pisau), bangkung /
berang parang), baki.
 Terbuat dari bambu: pabberang api (peniup api), paccipi (penjepit),
pattapi (niru), rakki (tempat mengeringkan bahan makanan), jamba
(tempat nasi dari anyaman bambu).
 Terbuat dari kayu: dulang (tempat nasi), piring kayu.
 Terbuat dari tempurung kelapa: kaddaro innungeng/inungang (gelas
tempurung), sinru kaddaro/si'ru kaddaro (sendok tempurung), piring
kaddaro.

22 | P a g e
 Terbuat dari anyaman: assokkoreng (kukusan), baku-baku (bakul nasi),
appanatireng santang(tapisan santan), paberesse/pa'berassang (tempat
beras)
 Terbuat dari batu: pakungeng batu (lesu batu), accobereng/accebekang
(cobek)

Fungsi dan Pandangan terhadap Dapur


Fungsi dapur juga mengalami perkembangan mengikuti budaya dan
masyarakat. Fungsi dapur sekarang dapat disebutkan sebagai berikut :a.
Tempat untuk kegiatan penyediaan dan pengolahan makanan dan minuman
untuk keluarga dan tamu. Disini perempuan memegang otoritas penuh atas
ruang dan waktu.b. Tempat menyimpan peralatan dan persediaan makanan
dan minuman.c. Tempat cuci dan pembuangand. Tempat untuk sosialisasi awal
bagi anak perempuan memasuki dunia perempuan serta mempererat
hubungan kekerabatan dengan anggota keluarga lain atau tetanggae. Tempat
usaha: membuat kue, makanan dan minuman.

Sejalan dengan fungsi-fungsi dapur tersebut, tumbuh nilai-nilai atau


norma yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat setempat. Misalnya,
untuk menerima tamu (bukan famili), tidak melewati batas ruang tamu,
apalagi masuk ruang dapur. Karena dapur merupakan rahasia keluarga /
kehidupan rumah tangga, sehingga ruang dapur dibatasi hanya untuk kerabat
dekat saja. Pemanfaatan dapur sebagai salah satu bagian rumah juga
membawa nilai - nilai atau norma - norma yang harus ditaati. Oleh karena itu
ada beberapa perilaku yang tidak boleh dilanggar karena dapat membawa
bencana bagi siapa saja yang melanggarnya.

23 | P a g e
Beberapa pantangan tersebut adalah :
 Tidak boleh menginjak dapur (tungku), barang siapa menginjak tungku
dia akan bersifat seperti kucing (dalam masalah seksual), artinya, orang
yang suka menginjak dapur akan suka melanggar norma / nilai di bidang
seks.
 Anak gadis tidak boleh menyanyi di depan dapur. Jika dilanggar dia akan
bersuamikan orang tua atau mempunyai anak tiri.
 Pada saat seorang nelayan turun ke laut, api dapur tidak boleh padam.
Hal ini dimaksudkan agar nelayan/suami tersebut selamat pergi dan
pulang dari melaut.
 Pada musim pengolahan tanah, istri petani tidak boleh memberi api
dapurnya kepada dapur tetangganya. Hal ini dilarang karena akan
mengakibatkan padinya habis dimakan ulat / tikus.
 Laki - laki tidak boleh bekerja di dapur karena menurunkan derajat laki-
laki.
 Laki - laki (suami) tidak boleh memegang Alat - alat masak. Hal ini
menandakan suami tidak percaya kepada istrinya.
 Tidak boleh memukul anak-anak dengan alat-alat masak seperti sendok
dan sebagainya, hal ini menyebabkan anak tersebut menjadi bodoh.

Lambat laun ritual Pemahaman tentang Rumah Adat Bugis Makassar ini
telah terkikis, Begitupun Upacara Adat Menre Bola (Makassar : Nai’ Balla) ini
sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya karena sudah
kurang yang memahami esensi dan tata cara pelaksanaannya, Begitu pula
pemahaman tentang Dapur dengan segala etika yang harus ada didalamnya
sudah terlupakan.

24 | P a g e
Saat ini yang banyak kita saksikan apabila ada pembangunan rumah
adat (rumah kayu) atau rumah modern (rumah batu), masyarakat
melaksanakannya cukup dengan acara syukuran saja dengan mengundang
berbagai kerabat dan handai taulan. Meski begitu, semoga tulisan ini
bermanfaat, paling tidak mengingatkan budaya dan tradisi yang hilang atau
terlupakan itu.

25 | P a g e
KESIMPULAN

Pada umumnya masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk tetap


menggunakan pola penataan fungsi dan bentuk rumahnya sesuai
dengan pakem yang ditentukan oleh adat istiadat Bugis yang telah
dikenalnya secara turun temurun, baik dari segi spatial, stilistika dan
struktural. Namun hal ini sulit dilaksanakan karena beberapa
pertimbangan berikut:

1) Dari segi Spatial


Pertautan budaya dengan lingkungan sekitar yang kurang memiliki
ikatan emosional yang kuat dengan budaya asalnya (masyarakat
heterogen).
Interaksi sosial yang menuntut perubahan bentuk secara fungsional
dan kesejamanan. Ada rasa rendah diri dari anggota keluarga
(khususnya remaja) terhadap pola rumahnya yang berbentuk
panggung.
Kebutuhan ruang aktifitas keluarga yang lebih privat, sehingga ruang-
ruang disekat sesuai jumlah anggota keluarga. Hal ini berbeda dengan
pola penataan ruang dalam yang ada pada pola spatial Arsitektur Bugis.

2) Dari segi Stilistika


Hilangnya makna simbolik terhadap elemen-elemen bentuk stilistik.
Rancangan bangunan lebih dipandang dari sudut fungsional semata.

26 | P a g e
Kurangnya pengetahuan masyarakat Bugis terhadap dasar-dasar
filosofi bentuk disamping tidak adanya lembaga dan aturan yang
mengikat nilai-nilai ini.
3) Dari segi Struktural
Bahan bangunan utama (kayu ulin) sulit didapat di wilayah pemukiman
sehingga harganya sangat mahal.
Ketinggian kolom tidak direncanakan terhadap kemungkinan terjadinya
abrasi pantai, sehingga fungsi ruang bawah (awa bola) tidak dapat
difungsikan sebagaimana mestinya. Makin lama ketinggian ruang
bawah rumah makin berkurang karena tuntutan pengurugan.
Adanya anggapan bahwa rumah dengan bahan bata dipandang lebih
baik dalam perawatan dan daya tahan. Selain itu, rumah bata juga
dianggap menunjukkan tingkat kemampuan ekonomi penghuni yang
lebih baik.

27 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

 https://telukbone.blogspot.co.id/2012/11/seputar-upacara-
naik-rumah-menre-bola.html
 http://passompeugi.blogspot.co.id/2010/12/rumah-adat-
tradisi-menre-bola-dan-dapur.html
 https://www.hipwee.com/travel/seru-nih-tradisi-pindah-
rumah-khas-suku-bugis-indonesia-selalu-punya-stok-
keunikan-budaya/
 https://id.scribd.com/doc/94533757/5-MAKALAH-SUKU-
BUGIS

28 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai