1. Asal-usul
Rumah Panggung Kayu adalah salah satu rumah tradisional Bugis yang berbentuk persegi
empat memanjang ke belakang. Konstruksi bangunan rumah ini dibuat secara lepaspasang (knock down) sehingga dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Konsep
empat persegi panjang ini bermula dari pandangan hidup masyarakat Bugis pada zaman
dahulu tentang bagaimana memahami alam semesta secara universal. Dalam falsafah dan
pandangan hidup mereka terdapat istilah sulapa ppa, yang berarti persegi empat, yaitu
sebuah pandangan dunia empat sisi yang tertujuan untuk mencari kesempurnaan ideal dalam
mengenali dan mengatasi kelemahan manusia (Elizabeth Morrell, 2005: 240). Menurut
mereka, segala sesuatu baru dikatakan sempurna dan lengkap jika memiliki sulapa
ppa. Demikian
pula
pandangan
mereka
tentang
rumah,
yaitu
sebuah
rumah
akan
dikatakan bola gnn atau rumah sempurna jika berbentuk segi empat, yang berarti memiliki
empat kesempurnaan (http://www.sabahforum.com).
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang dapat mempengaruhi bentuk rumah
mereka, yang ditandai dengan simbol-simbol khusus. Berdasarkan pelapisan sosial tersebut,
maka
bentuk
rumah
tradisional
orang
Bugis
dikenal
dengan
istilah Saoraja
(Sallasa) dan Bola. Saoraja berarti rumah besar, yakni rumah yang ditempati oleh keturunan
raja atau kaum bangsawan, sedangkan bola berarti rumah biasa, yakni rumah tempat tinggal
bagi rakyat biasa (Izarwisma Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 24).
Dari segi struktur dan konstruksi bangunan, kedua jenis rumah tersebut tidak memiliki
perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran rumah dan status sosial
penghuninya. Pada umumnya, Saoraja lebih besar dan luas daripada Bola yang biasanya
ditandai oleh jumlah tiangnya. Saoraja memiliki 40 48 tiang, sedangkan Bola hanya memiliki
20 30 tiang. Sementara perbedaan status sosial penghuninya dapat dilihat pada bentuk
tutup
bubungan
atap
rumah
yang
disebut
dengan timpak
laja. Bangunan
Saoraja
memiliki timpak laja yang bertingkat-tingkat yaitu antara 3 - 5 tingkat, sedangkan timpak
laja pada bangunan Bola tidak bertingkat alias polos (Izarwisma, dkk., [ed.], 1985: 27).
Semakin banyak jumlah tingkat timpak laja sebuah Saoraja, semakin tinggi pula status sosial
penghuninya.
Rumah bagi orang Bugis tidak sekedar tempat tinggal atau obyek materiil yang indah dan
menyenangkan.
diarahkan
Menurut
Y.B.
Mangunwijaya,
kepada
pendirian
kelangsungan
rumah
hidup
tradisional
Bugis
manusia
lebih
secara
maka
konstruksi
rumah
atas), al
tradisional
bola (alam
Bugis
harus
tengah), awa
terdiri
bola (alam
tiga
bawah),
tingkatan,
di
mana
masyarakat
Bugis
di
Sulawesi
Selatan
mendirikan
rumah
senantiasa
mempertimbangkan keselamatan. Mereka percaya bahwa hidup selaras dan harmoni dengan
tatanan kehidupan alam akan mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, dan kedamaian.
Sebaliknya, manusia yang menyimpang dari tatanan dan aturan tersebut niscaya akan
mendapatkan sangsi atau hukuman berupa malapetaka. Untuk itulah, mereka senantiasa
menjaga keselarasan dengan alam melalui tanda-tanda atau simbol, yaitu berupa mitos asal
dan upacara-upacara ritual. Menurut Waterson (dalam Robinson, 2005: 273), praktik-pratik
ritual tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bugis telah menyatu dengan kosmos makhluk
lainnya.
Aju panasa (kayu nangka). Kayu ini biasanya khusus digunakan untuk tiang pusat
rumah (posi bola).
Aju bitti, aju amara, dan aju jati. Ketiga jenis kayu ini dapat digunakan untuk
keseluruhan tiang, selain tiang pusat rumah. Namun jika menggunakan kayu jati,
jumlahnya harus lebih dari satu, karena kata jati oleh orang Bugis ditafsirkan
sebagai maja ati (berhati jelek atau jahat). Selain itu, banyak orang yang akan iri dan
dengki kepada si pemilik rumah jika menggunakan kayu jati.
Aju ipi, aju seppu, dan batang kelapa. Ketiga jenis kayu ini digunakan untuk arateng,
yaitu balok pipih panjang berderet ke belakang yang berfungsi mengikat tiang pada
bagian tengah rumah. Ketiga jenis kayu ini juga digunakan untuk membuat pattolo
riawa, yaitu balok pipih panjang yang berfungsi mengikat deretan tiang bagian tengah
dari arah kanan ke kiri; dan aju lekke, yaitu balok panjang yang terletak paling atas
dan berfungsi untuk menyangga atau menahan kerangka atap.
Aju tippulu dan batang lontar. Kedua jenis kayu ini digunakan untuk membuat pare,
yaitu balok pipih panjang berderet ke belakang sejajar dengan arateng yang berfungsi
mengikat tiang-tiang sebelah atas. Panjangnya sama dengan panjang aju lekke. Selain
itu, jenis kayu ini juga digunakan untuk membuat pattolo riase/padongko, yaitu balok
pipih panjang yang mengikat ujung tiang bagian atas sejajar dengan pattolo
riawa; dan tanebba, yaitu balok berukuran kecil sebagai dasar dari lantai rumah dan
berfungsi menahan papan yang akan menjadi lantai rumah.
Aju cendana. Jenis kayu ini digunakan untuk membuat barakkapu, yaitu balok kecil
yang merupakan dasar dari lantai rakkeang (loteng).
Bambu,
digunakan
untuk
membuat addeneng (tangga), salima (lantai),
dan rnring (dinding).
Daun rumbia, ijuk, nipah, ilalang, digunakan untuk membuat atap. Ijuk dan nipah
biasanya digunakan khusus untuk Saoraja, sedangkan daun rumbia dan ilalang
digunakan untuk Bola. Dalam perkembangannya, saat ini sudah banyak yang
menggunakan seng, sirap, dan genteng.
b. Tenaga
yang mengerti
seluk-beluk
adat istiadat
mendirikan
rumah agar
terhindar
dari
malapetaka. Secara garis besar, tenaga yang terlibat dalam kegiatan mendirikan Rumah
Panggung Kayu dibagi atas tiga macam (Mardanas, dkk. [ed.], 1985: 53), yaitu:
Sanro Bola (dukun rumah), yaitu orang yang dianggap ahli tentang tipe-tipe
bangunan, nilai-nilai yang terkandung dalam bangunan itu, serta mengetahui jenisjenis kayu yang cocok untuk digunakan. Keahlian Sanro Bola tersebut diperoleh
melalui pengalaman yang ditopang oleh ilmu yang diwarisi secara turun-temurun dari
nenek moyang. Pewarisannya bisa melalui praktek langsung ataupun secara tertulis
berupa naskah Lontarak khusus mengenai rumah. Sanro Bola bertugas mempimpin
pendirian rumah dari awal hingga selesai. Secara rinci, tugasnya adalah mengetahui
jumlah bahan, biaya, dan tukang yang dibutuhkan, tipe-tipe kayu yang cocok, serta
waktu dan tempat yang baik.
Panre Bola (tukang), yaitu orang yang terampil dan mengetahui teknik membuat
rumah, yang biasanya tanpa menggunakan gambar. Namun, ia bekerja berdasarkan
petunjuk Sanro Bola.
Tenaga pembantu umum, yaitu tenaga pembantu yang terdiri dari keluarga dekat
pemilik rumah, baik dari pihak suami maupun istri, dan tetangga terdekat. Tenaga
pembantu umum ini hanya bekerja pada waktu-waktu tertentu, yaitu ketika ada
pekerjaan yang membutuhkan tenaga yang banyak,
seperti mappakkatang (menyerut), mappatama arateng dan pattolo (mamasang
kerangka rumah), dan mappatettong bola (mendirikan kerangka rumah). Tenaga
pembantu ini bekerja secara sukarela sebagai bentuk solidaritas tanpa mengharapkan
balasan, yang dalam bahasa Bugis disebut dengan situru-turungi.
panjang pattolo
riase, lalu
ditambah
dua
jari
dari
istri
penghuni
rumah.
Misalnya,
panjang pattolo riase 7 m, maka tinggi puncak rumah itu 7/2 + 2 jari istri penghuni rumah.
Secara
spasial
horizontal,
ukuran
panjang
dan
lebar
rumah
biasanya
baik,
di
antaranya mappongngi
Arabae (hari
Rabu
pertama
pada
setiap
bulan), cappu Kammisi (setiap hari Kamis terakhir setiap bulan). Adapun waktu-waktu yang
dianggap
buruk,
yaitu mula
Kammisi (hari
Kamis
pertama
pada setiap
bulan), cappu
Araba (hari Rabu terakhir setiap bulan), hari Senin yang bertepatan hari ke-13 sampai ke-16
setiap bulan, dan uleng taccipi atau bulan terjepit (bulan yang diapit oleh Hari Raya Idul Fitri
dan Idul Adha, yaitu bulan Zulkaidah). Menurut Robinson, bulan-bulan yang dianggap buruk
dalam
penanggalan
Islam
rumah). Bagi masyarakat Bugis, posi bola merupakan soko guru bagi sebuah rumah. Oleh
karena itu, bahannya harus dipilih dari pohon atau kayu yang kuat, buahnya enak dimakan,
mudah didapatkan, dan memiliki nilai filosofi yang tinggi, misalnya aju panasa (kayu
nangka). Panasa dalam bahasa Bugis ditafsirkan sebagai ripomanasai, yaitu dicita-citakan.
Hal ini mengandung harapan agar apa yang dicita-citakan oleh si penghuni rumah dapat
tercapai. Namun, jika kayu untuk tiang pusat ini dibeli dari pedagang, maka yang dipilih
adalah kayu nangka yang disebut kalole, yaitu kayu yang masih utuh (belum pernah dibelah).
Hal ini juga mengandung harapan agar si penghuni rumah senantiasa dalam keadaan utuh
atau sempurna dan tidak pernah kekurangan selama menempati rumah itu (Mardanas, dkk.,
(ed.), 1985: 41).
Setelah
tiang
untuk posi
bola diperoleh,
barulah
dimulai
mencari
kayu
untuk
tiang-
tiang lainnya, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan arateng, pattolo, dan lain-lain.
Namun yang perlu diperhatikan ketika memilih bahan-bahan tersebut adalah harus kayu yang
berkulitas tinggi dan bernilai filosifis, misalnya kayu yang tidak pernah kena petir, ujung atau
dahannya tidak bergesekan dengan dahan pohon lain, tidak menindih makhluk hidup (apalagi
manusia) saat kayu itu ditebang, tidak dililit oleh tumbuhan lain, dan tidak dilobangi oleh
kumbang.
c. Tahap Pembangunan
Setelah bahan-bahan yang diperlukan terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan
kerangka rumah, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu awa bola (bagian bawah), al bola (bagian
tengah), dan rakkeang (loteng). Kerangka rumah merupakan bagian terpenting karena
merupakan bagian yang menentukan kokoh atau tidaknya sebuah Rumah Panggung Kayu.
Bahan untuk bagian bawah meliputi aliri, aratng, pattolo riawa; bagian tengah meliputi par,
tanebba,
pattolo
riase; dan
bagian
atas
meliputi aju
lekk,
barakkapu, patteppo
barakkapu, dan aju te. Untuk itu, sebelum dilicinkan dengan menggunakan serut, bahanbahan untuk kerangka ini biasanya direndam dalam air sungai atau rawa-rawa dalam waktu
berminggu-minggu, yang dalam istilah Bugis disebut ibellang. Hal ini bertujuan agar bahanbahan tersebut menjadi kuat dan padat sehingga tidak mudah dimakan rayap atau serangga
lainnya selama rumah tersebut ditempati.
Pembuatan aliri dimulai dari membuat aliri posi bola (tiang pusat rumah). Posisi tiang pusat
rumah ini terletak pada baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kiri. Posi bola ini
menyimbolkan wanita, yaitu sebagai pemegang kendali dalam rumah tangga. Oleh karena itu,
kayu yang digunakan tidak boleh asal pilih. Bagian penting lain yang perlu diperhatikan ketika
memilih kayu untuk posi bola adalah pasu, yaitu bekas cabang dari pohon itu. Dalam
keyakinan orang Bugis, pasu tersebut dapat mendatangkan manfaat ataupun malapetaka bagi
penghuninya. Menurut Robinson (2005: 294), sebagian besar pasumengarah kepada hal-hal
negatif yang dapat mendatangkan malapeta.
Di antara pasu yang mendatangkan manfaat adalah pasu parekkuseng, yang berarti gadisgadis di rumah itu mudah mendapat jodoh, dan pasu cabberu (tersenyum), yaitu membuat
penghuni
senantiasa
antaranya: pasu
bergembira.
wuju (mayat),
rumah
sering
membawa
menyebabkan
malapetaka
di
kematian; pasu
tomalasa (orang sakit), menyebabkan penghuni sering sakit; pasu garppu (menghancurkan),
menyebabkan tuan rumah sakit-sakitan; dan pasu panga (pencuri), menyebabkan rumah
tersebut dimasuki pencuri (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 42).
2. Pembuatan Tiang Pakka (Cabang)
Tiang pakka atau cabang adalah tiang yang berfungsi sebagai penyangga tangga depan. Tiang
ini menyimbolkan laki-laki, yaitu sebagai pencari nafkah yang setiap hari harus melewati
tangga dan pintu depan. Setelah kedua tiang tersebut selesai, maka dilanjutkan dengan
pembuatan tiang-tiang lainnya yang berjumlah sekitar 20 buah untuk bangunan Bola (rumah
orang biasa). Deretan tiang ke samping dan ke belakang masing-masing berjumlah lima buah.
Jarak deretan tiang ke belakang harus lebih besar daripada deretan tiang yang ke samping.
Itulah sebabnya, meskipun jumlah tiang ke samping dan ke kanan sama, rumah ini tetap
berbentuk persegi empat panjang.
3. Pembuatan Parewa Mallepang
Parewa mallepang adalah bahan-bahan yang berbentuk pipih, misalnya arateng, par, pattolo,
aju lekk, pattepo barakkapu, tanbba, aju te, dan termasuk pula balok-balok kecil. Oleh
karena membuat parewa mallepang memerlukan tenaga yang banyak, maka si pemilik rumah
biasanya mengundang sanak saudara atau tetangga dalam acara mappakkatang, yaitu
melicinkan kayu dengan menggunakan serut. Namun, dengan perkembangan teknologi yang
semakin canggih, kini pekerjaan ini hanya dilakukan oleh para tukang dengan menggunakan
mesin serut.
merangkai
kerangka
rumah
dengan
cara
memasukkan aratng dan pattolo pada tiang-tiang yang telah dilubangi, dan semuanya harus
dimulai dari posi bola. Yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah semua pangkal kayu
untuk aratng harus berada di depan, sedangkan untuk pangkal kayu pattolo harus berada di
samping kanan.
5. Mappatettong Bola (Mendirikan Kerangka Rumah)
Untuk mendirikan kerangka rumah, si pemilik rumah harus mengundang sanak keluarga dan
tetangga karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang banyak. Mendirikan kerangka rumah
harus dimulai dari deretan tiang di mana terdapat posi bola yang dipimpin oleh Sanro
Bola, dan
kemudian
disusul
oleh
deretan
tiang-tiang
lainnya.
Setelah
itu,
mulailah
dipasang pattolo riawa dan pattolo riase untuk menahan deretan tiang agar tidak rebah.
Setelah kerangka rumah berdiri, maka dipasanglah barakkapu, yaitu balok kecil-kecil yang
merupakan
lantai rakkeang.
Kemudian
disusul
dengan
pemasangan
kerangka
tempat
Rakkeang, yaitu bagian atas rumah yang berada di bawah atap atau langit-langit
(eternit). Bagian atau ruang ini biasanya digunakan untuk menyimpan hasil panen
dan benda-benda pusaka.
Al bola, yaitu badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding, yang terletak antara
lantai dan loteng. Pada bagian ini dibuat sekat-sekat sehingga terbentuk ruang-ruang
khusus seperti ruang tamu, ruang tidur, dapur, dan lain-lain.
Awa bola atau kolong rumah, yaitu bagian rumah yang berada di antara lantai dengan
tanah. Bagian ini biasanya digunakan untuk menyimpan alat-alat mata pencaharian
dan untuk berternak unggas, seperti ayam dan itik.
Dari ketiga bagian rumah tersebut, al bola atau badan rumah merupakan bagian yang
terpenting dari Rumah Panggung Kayu, karena bagian ini merupakan tempat tinggal dan
melakukan aktivitas sehari-hari. Maka secara spasial horizontal, bagian al bola ini dibagi
berdasarkan lontang atau latt (petak) menjadi tiga bagian, yaitu:
Selain
Lontang risaliwng, yaitu bagian depan yang berfungsi sebagai tempat menerima
tamu, tempat tidur tamu (biasanya dibuatkan sebuah kamar khusus), tempat
bermusyawarah, dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Sebagai
tempat berkomunikasi dengan orang luar, biasanya ruang ini dilengkapi dengan kursi
atau sofa dan perabot rumah tangga. Foto-foto keluarga juga dipajang di ruangan
untuk menambah keindahan dan kenyamanan tamu.
Lontang ritngngah, yaitu ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat tidur kepala
keluarga bersama isteri dan anak-anaknya yang belum dewasa. Ruang ini sifatnya
sangat kekeluargaan karena di ruangan inilah terjadi hubungan sosial antara sesama
anggota keluarga.
Lontang rilalng, yaitu ruang belakang yang berfungsi sebagai tempat tidur anak
gadis, nenek/kakek, atau anggota keluarga yang dianggap perlu perlindungan atau
perawatan dari seluruh keluarga.
ketiga
bagian
atau
ruang-ruang
tersebut,
rumah
tradisional
Bugis
biasanya
ditambahkan ruang khusus, seperti jongke/dapurang (dapur), tamping (serambi), dan legolego (teras). Jongke adalah ruang tambahan khusus yang dibuat untuk tempat memasak, dan
penyimpanan peralatan rumah tangga. Di ruangan ini biasanya juga dibuat sebuah kamar kecil
untuk keluarga. Ruangan ini terletak di bagian belakang rumah induk. Tamping adalah ruang
tambahan di bagian samping kiri dan kanan rumah induk dengan bentuk memanjang ke
belakang, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang atau hasil panen.
Sedangkan lego-lego adalah ruang tambahan yang dibuat di depan rumah induk. Ruang
tambahan ini berfungsi sebagai tempat keluarga bersenda gurau dan tempat duduk tamu
sebelum dipersilakan masuk ke dalam rumah.
5. Ragam Hias dan Ornamen
Ragam hias pada Rumah Panggung Kayu tidak hanya sebagai perhiasan, tetapi juga
mempunyai simbol status sosial bagi pemiliknya dan mengandung nilai-nilai filosofis yang
tinggi. Seperti halnya rumah-rumah tradisional pada umumnya, ragam hias rumah tradisional
ini mengambil pola dasar dari corak alam, flora, dan fauna. Ragam hias flora yang paling
menonjol pada rumah tradisional Bugis adalah bunga parenreng, artinya bunga yang menarik.
Jenis bunga ini hidup dengan cara melata dan menjalar ke mana-mana bagai tak ada putusputusnya. Hal ini mengandung makna bahwa si penghuni rumah akan mendapat rezeki yang
tidak ada putus-putusnya. Ragam hias ini biasanya ditempatkan pada jendela, induk tangga,
dan tutup bubung (timpak laja). Penempatan ragam hias ini pada tempat-tempat yang mudah
dilihat dimaksudkan sebagai penguat keyakinan bagi si penghuni rumah, bahwa rezeki akan
terus mengalir jika mereka senantiasa berusaha (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 55-56).
Ragam hias fauna yang menonjol pada rumah tradisional Bugis terdapat tiga macam, yaitu
ragam hias ayam jantan, kepala kerbau, dan naga. Ragam hias ayam jantan merupakan
simbol keuletan dan keberanian, sedangkan kepala kerbau adalah simbol kekayaan dan
ketinggian status sosial pemiliknya. Ragam hias kepala kerbau ini biasanya terdapat pada
rumah raja/bangsawan (Saoraja). Adapun ragam hias bentuk naga merupakan simbol wanita
yang lemah lembut tapi memiliki kekuatan dahsyat (http://syahriartato.wordpress.com).
Bentuk ragam hias fauna ini pada umumnya ditempatkan pada bubungan atap rumah
atau timpak laja.
6. Nilai-Nilai
Nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur Rumah Panggung Kayu di antaranya adalah nilai
falsafah, status sosial, estetika, dan kesatuan hidup keluarga. Nilai yang paling mendasar
pada konstruksi rumah ini adalah nilai falsafah, yaitu pandangan kosmologi orang Bugis yang
menganggap bahwa makrokosmos terdiri atas tiga tingkat. Perwujudan dari pandangan ini
dapat dilihat pada konstruksi bangunan rumahnya yang dipandang sebagai mikrokosmos,
yang terdiri dari tiga tingkat yaitu rakkeang, al bola, dan awa bola. Mereka beranggapan
bahwa
menjaga
keharmonisan
makrokosmos
dengan
mikrokosmos
niscaya
akan
sempurna
jika
memiliki
dua
bola menyimbolkan
tiang
wanita
utama,
(ibu
yaitu
rumah
tiang posi
tangga)
yang
bola dan
bertugas
menyimpan dan mengelola semua nafkah yang diperoleh suami, serta menjaga keharmonisan
keluarga. Sementara tiang pakka sebagai sandaran tangga menyimbolkan laki-laki (kepala
rumah tangga) yang bertugas memikul tanggung jawab keluarga, yakni mencari nafkah. Oleh
karena itu, jika kepala rumah tangga ingin menaikkan atau memasukkan bahan kebutuhan
rumah tangga ke dalam rumah, maka ia harus melalui tangga depan.
7. Penutup
Arsitektur Rumah Panggung Kayu merupakan perwujudan nilai-nilai yang dianut dan dipelihara
oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah nilai falsafah
hidup tentang kosmologi, nilai sosial, nilai estetika, dan nilai tatanan hidup berumah tangga.
Sebagai hasil karya, rumah tradisional Bugis ini niscaya akan mengalami perubahan. Di daerah
perkotaan, arsitektur rumah ini cenderung mengalami perubahan, baik karena pengaruh dari
luar maupun bentuk topografi tanah di kota yang relatif sempit. Meski demikian, rumah-rumah
di
perkotaan
masih
menggunakan timpak
memperlihatkan
laja atau
tutup
nilai
bubungan
arsitektur
untuk
Bugis,
memberi
misalnya
identitas
sosial
masih
bagi
penghuninya. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur Rumah
Panggung Kayu masih mampu bertahan hingga zaman modern ini.
(Samsuni/bdy/01/01-10)
Referensi
Elizabeth Morrel. 2005. Simbolisme, ruang, dan tatanan sosial, dalam Tapak-tapak
waktu: kebudayaan, sejarah, dan kehidupan sosial di Sulawesi Selatan. Makassar:
ININNAWA.
Izarwisma Mardanas, dkk. 1985. Arsitektur tradisional daerah Sulawesi Selatan. Ujung
Pandang: Proyek Inventarisassi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Departemen
Pendidikan dan Kebudayan.
Kathryn Robinson. 2005. Tradisi membangun rumah di Sulawesi Selatan,
dalam Tapak-tapak
waktu:
kebudayaan,
sejarah,
dan
kehidupan
sosial
di Sulawesi Selatan. Makassar: ININNAWA.
Nurhayati Djamas. 1998. Agama orang Bugis. Jakarta: Badan dan Pengembangan
Agama Departemen Agama RI.