Anda di halaman 1dari 31

PRAKTIKUM PENGGORENGAN

LAPORAN PRAKTIKUM
MATA KULIAH REKAYASA PROSES AGROINDUSTRI

Oleh
NAMA : Linda Puspita Sari
NIM : 161710301005

Asisten Laboratorium : 1. Viko Nurluthfiyadi Ni’maturrakhmat


2. Fresty Nurmala Sari

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggorengan merupakan salah satu metode pengeringan bahan pangan


dengan menggunakan minyak sebagai media pindah panas dan berkontribusi
terhadap tekstur dan rasa makanan yang digoreng.. Terjadinya perpindahan panas
dan massa minyak, makanan, dan udara selama penggorengan menghasilkan
kualitas yang diinginkan dari makanan yang digoreng. Sistem penggorengan celup
merupakan salah satu cara penggorengan yang paling banyak dilakukan dalam
kegiatan pengeringan bahan pangan. Sistem penggorengan celup merupakan salah
satu cara penggorengan yang paling banyak dilakukan dalam kegiatan
pengeringan bahan pangan. Penggorengan dilakukan dengan memasukkan
makanan dalam minyak panas dengan kontak antara minyak, udara, dan
makanan pada suhu 1500C hingga 1900C.

Pada saat penggorengan terutama pada penggorengan konvensional,


produk-produk hasil pertanian (seperti: buah-buahan dan sayuran) yang dihasilkan
akan bermutu rendah, karena penggorengan dilakukan pada suhu yang cukup
tinggi (±160-180 °C) yaitu pada suhu didih minyak. Penggorengan pada suhu
tinggi akan berdampak terhadap warna produk (mengalami reaksi pencokelatan
atau browning) sehingga sayuran maupun buah-buahan yang digoreng secara
konvensional akan kehilangan sebagian besar vitamin yang dikandungnya. Untuk
mempertahankan warnanya agar tetap menarik dan mengurangi kehilangan
vitaminnya, buah atau sayur digoreng pada suhu didih minyak serendah mungkin,
tidak perlu sampai ±160 °C. Titik didih minyak akan rendah jika tekanan di dalam
ruang goreng divakumkan. Pada tekanan 66 cmHg vakum, minyak sudah
mendidih pada suhu ±82-85 °C.

Namun perubahan positif pada produk yang digoreng ternyata mengalami


beberapa perubahan yang tidak diinginkan pada media penggoreng. Selama
penggorengan terjadi reaksi oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi sehingga
perubahan fisik dan kimia dalam minyak dapat terjadi. Reaksi oksidasi minyak
telah diidentifikasi sebagai faktor terpenting yang mempengaruhi mutu minyak
goreng, dan adanya oksigen menjadi faktor utama pemacu terjadinya degradasi
oksidatif minyak selama penggorengan. Oleh karena itu, dalam praktikum ini
dilakukan proses penggorengan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang
terjadi akibat proses penggorengan pada bahan yang digoreng dan minyak yang
digunakan dan untuk mengevaluasi pengaruh frekuensi penggorengan terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi pada bahan dan minyak.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari praktikum ini adalah sebagai
berikut:

1. Mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses


penggorengan pada bahan yang digoreng dan minyak yang digunakan.
2. Mengevaluasi pengaruh frekuensi penggorengan terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi pada bahan dan minyak.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Goreng

Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan biasanya
digunakan untuk menggoreng bahan makanan. Minyak goreng berfungsi sebagai
pengantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan.
Minyak dan lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan
dengan karbohidrat dan protein (Ketaren, 2005). Minyak merupakan golongan
lipida sederhana yang berwujud cair pada suhu kamar (250C). Minyak adalah
trigliserida, yaitu hasil kondensasi satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam
lemak yang membentuk satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak
yang membentuk satu molekul trigliserida dan tiga molekul air. Pada umumnya
trigliserida alam mengandung lebih dari satu jenis asam lemak. Reaksi hidrolisis
trigliseridadapat digambarkan sebagai berikut:

Minyak goreng yang sudah mengalami proses pemanasan berulang kali


sering disebut sebagai minyak jelantah. Selama proses penggorengan, minyak
goreng akan mengalami reaksi degradasi yang disebabkan oleh panas, udara, dan
air, sehingga mengakibatkan terjadinya oksidasi. 25 Bila suhu pemanasan lebih
tinggi dari suhu normal (1680C – 1960C), akan terjadi percepatan proses degradasi
dan oksidasi minyak goreng. Pada proses oksidasi dalam minyak goreng, akan
terjadi reaksi antara oksigen dengan lemak tidak jenuh dalam minyak, dimana
ikatan rangkap cis (struktur bengkok) asam lemak tidak jenuh akan terisomerisasi
menjadi konfigurasi trans (struktur lebih linier) yang secara termodinamik
sifatnya lebih stabil daripada cis, seperti asam oleat menjadi asam elaidat
(Luciana, 2005).

Minyak goreng mempunyai sifat fisik dan sifat kimia yaitu, pada sifat fisik
terdapat warna yang terdiri dari 2 golongan pertama yaitu zat warna alamiah, yang
secara alamiah terdapat bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak
bersama minyak pada proses ekstraksi. Golongan kedua yaitu zat warna dari hasil
degradasi zat warna alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi
terhadap tokoferol (vitamin E), warna cokelat disebabkan oleh bahan untuk
membuat minyak yang telah busuk atau rusak, warna kuning umumnya terjadi
pada minyak tidak jenuh. Flavor pada minyak atau lemak selain terdapat secara
alami, juga terjadi karena dari pembentukan asam-asam yang berantai sangat
pendek sebagai hasil penguraian dari kerusakan minyak atau lemak, akan tetapi
umumnya flavor ini disebabkan oleh komponen bukan minyak, sebagai contoh
bau khas dari minyak kelapa sawit dikarenakan terdapatnya betaionone,
sedangkan bau khas dari minyak kelapa ditimbulkan oleh nonyl methylketon.
Minyak tidak dapat larut dalam air kecuali minyak jarak (castor oil), dan minyak
sedikit larut dalam alkohol etil eter, karbon disulfide dan pelarut-pelarut halogen.

Pada sifat kimia minyak goreng terdapat reaksi hidrolisa dimana dalam
reaksi ini minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan glisero. Reaksi
hidrolisa yang dapat menyebabkan kerusakan minyak atau lemak terjadi karena
terdapatnya sejumlah air dalam minyak tersebut. Pada proses oksidasi terjadi
kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi akan
mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak.Terjadi proses hidrogenasi
untuk menumbuhkan ikatan rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak.
Proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam lemak dari trigliserida dalam
bentuk ester yang mengakibatkan bau tidak enak dan dapat diukur dengan rantai
panjang yang bersifat tidak menguap (Morton dan Varela, 1988).
Sebagian besar lemak dalam makanan (termasuk minyak goreng)
berbentuk trigliserida. Jika terurai, trigliserida akan berubah menjadi satu molekul
gliserol dan tiga molekul asam lemak bebas. Semakin banyak trigliserida yang
terurai semakin banyak asam lemak bebas yang dihasilkan (Morton dan Varela.
1988), pada proses oksidasi lebih lanjut, asam lemak bebas ini akan menyebabkan
lemak atau minyak menjadi bau tengik (Ketaren,1986). Biasanya untuk
menghilangkan atau memperlambat oksidasi 7 yang menyebabkan bau tengik ini,
minyak goreng ditambah dengan vitamin A, C, D atau E (Luciana, 2005). Standar
mutu minyak goreng dapat dilihat di Tabel 1.

2.2 Proses Penggorengan

Proses menggoreng adalah salah satu cara memasak bahan makanan


mentah (raw food) menjadi makanan matang menggunakan minyak goring
sebagai media penghantar panas (Muchtadi 2008). Minyak yang berfungsi sebagai
medium penghantar panas untuk menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan
kalori dalam bahan pangan (Ketaren, 1986). Secara umum tujuan dari proses
penggorengan adalah untuk melakukan pemanasan pada bahan pangan,
pemasakan dan pengeringan pada bahan yang digoreng. Menggoreng dengan
minyak atau lemak mampu meningkatkan cita rasa dan tekstur makanan yang
spesifik sehingga makanan menjadi kenyal dan renyah, jumlah kalori makanan
meningkat setelah digoreng. Jenis makanan yang digoreng tidak mudah dicerna
karena adanya lemak yang terserap dalam makanan (Winarno, 1999). Proses
penyerapan minyak pada penggorengan terjadi ketika sejumlah massa minyak
secara perlahan masuk pada awal proses penggorengan ke dalam bahan yang
digoreng. Suhu semakin meningkat seiring dengan penuruan tekanan vakum.
Massa minyak masuk ke dalam bahan yang digoreng dengan cara difusi,
disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi massa minyak pada bagian
permukaan dengan bagian dalam bahan. Proses penyerapan minyak pada bahan
lebih cepat terjadi ketika penurunan kandungan kadar air bahan semakin rendah
(Jamaluddin.2008).

Sedangkan menggoreng hampa adalah menggoreng berbagai macam


produk dengan kondisi hampa udara. Pada umumnya proses penggorengan
dibedakan menjadi dua macam yaitu pan frying dan deep frying. Ciri dari pan
frying adalah bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam di dalam
minyak, sedangkan pada sistem deep frying dibutuhkan banyak minyak karena
bahan pangan yang digoreng harus terendam seluruhnya. Bahan pangan akan
mengalami kontak langsung dengan wajan atau pan penggorengan. Konsekuensi
dari proses penggorengan ini adalah proses pematangan dan pencoklatan tidak
terjadi secara merata di seluruh lapisan permukaan bahan yang digoreng.

Deep fat frying merupakan proses dimana makanan dimasak dengan cara
direndam dalam minyak nabati atau lemak dipanaskan di atas titik didih air.
Proses ini dilakukan secara tradisional dalam kondisi atmosfer dan suhu
penggorengan biasanya mendekati 1800C (Dobraszczyk.2006). Selama proses
penggorengan, minyak akan mengalami pemanasan pada suhu tinggi. Pemanasan
akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan alam sifat fisiko kimia
minyak sehingga akan berpengaruh terhadap mutu bahan makanan yang digoreng.
Proses penggorengan ini akan menghasilkan bahan pangan yang digoreng matang
secara merata, serta warnanya cenderung seragam. Sedangkan berdasarkan
kondisi prosesnya, penggorengan dapat dilakukan pada kondisi tekanan atmosfer,
bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer, dan pada kondisi vakum. Kondisi
proses tersebut akan mempengaruhi suhu proses penggorengan yang terjadi, dan
juga mutu produk gorengan yang dihasilkan (Muchtadi.2008).
2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan minyak

Proses kerusakan minyak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang


meliputi lamanya minyak kontak dengan panas, banyak oksigen yang akan
mempercepat oksidasi, banyaknya asam lemak tidak jenuh yang akan
mempercepat oksidasi, adanya katalis oksidasi seperti cahaya serta ion tembaga
dan besi serta antioksidan yang menahan oksidasi minyak (Ketaren, 2008).
Kerusakan minyak goreng dapat ditandai oleh terbentuknya akrolein pada minyak
goreng. Akrolein menyebabkan rasa gatal pada tenggorokan ketika
mengkonsumsi makanan yang digoreng menggunakan minyak goreng bekas
penggorengan berulang kali. Akrolein terbentuk dari hidrasi gliserol yang
membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein (Ketaren, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan minyak:

a. Penyerapan Bau

Lemak bersifat mudah menyerap bau. Apabila bahan pembungkus mudah


menyerap lemak, maka lemak yang terserap ini akan teroksidasi oleh udara
sehingga rusak dan berbau. Bau dari bagian lemak yang rusak ini akan diserap
oleh minyak yang ada dalam bungkusan yang mengakibatkan seluruh lemak
menjadi rusak.

b. Hidrolisis

Dengan adanya air, dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak.
Reaksi ini dipercepat oleh asam basa, enzim-enzim. Dalam teknologi makanan,
hidrolisis oleh enzim lipase sangat penting karena enzim tersebut terdapat pada
semua jaringan yang mengandung minyak. Dengan adanya lipase, lemak akan
diuraikan sehingga kadar asam lemak bebas lebih dari 10%. Hidrolisis sangat
mudah terjadi dalam lemak dengan asam lemak rendah (lebih kecil dari C14)
seperti pada mentega, minyak kelapa sawit, dan minyak kelapa. Hidrolisis sangat
menurunkan mutu minyak goreng. Minyak yang terhidrolisis, smoke point-nya
menurun, bahan-bahan menjadi coklat dan lebih banyak menyerap minyak.
c. Oksidasi Dan Ketengikan

Kerusakan minyak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang
disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh autooksidasi radikal asam
lemak tidak jenuh dalam lemak. Autooksidasi dimulai dengan pembentukan
radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mempercepat
reaksi seperti cahaya, panas, peroksida (Winarno, 2004).

2.4 Proses atau perubahan yang dikehendaki pada proses penggorengan

Proses atau perubahan yang dikehendaki pada saat proses penggorengan


yaitu:

1. Rasa dan tekstur


Bahan pangan yang digoreng mempunyai cita rasa yang enak,
flavour yang baik, mouthfeel yang baik, dan tekstur yang sesuai dengan
yang diinginkan. Biasanya sifat yang diinginkan adalah produk harus
bersifat renyah pada bagian luarnya. Makanan yang digoreng memiliki
rasa yang lebih gurih dan mengandung kalori lebih banyak. Cita rasa
makanan yang digoreng sering lebih enak dibandingkan dengan makanan
yang diolah dengan dikukus atau rebusan karena adanya tambahan lemak
dari minyak goreng. Aroma khas hasil penggorengan terbentuk dari
degradasi komponen bahan pangan oleh panas yang menghasilkan
komponen volatil sehingga tercium sebagai aroma yang lezat. Tekstur dan
rasa adalah salah satu sifat bahan atau produk yang dapat dirasakan
melalui sentuhan kulit ataupun pencicipan. Tekstur produk gorengan
setelah di goreng juga mengalami perubahan dikarenakan oleh reaksi
gelatinisasi pati dan/atau denaturasi/koagulasi protein. Lapisan kulit
biasanya terbentuk dipermukaan produk gorengan berukuran tebal, yang
disebabkan oleh penguapan air dan pengeringan di permukaan makanan.
Lapisan kering tersebut akan membentuk tekstur renyah di permukaan
produk gorengan. Sementara itu, pada produk yang tipis, penggorengan
akan mengeringkan seluruh bagian produk sehingga didapatkan produk
yang renyah. Selain itu rasa yang dihasilkan pada produk dengan
dilakukan penggorengan akan menjadi lebih gurih dan menjadi lebih
memiliki cita rasa yang khas. Pada bahan yang tipis, produk akan menjadi
lebih gurih dan renyah (Ketaren, 2005).
2. Pelapisan
Pada produk tertentu, penggorengan dilakukan dua kali seperti
pada nugget. Tujuannya yaitu untuk membentuk lapisan pada permukaan
produk dan persiapan untuk penggorengan yang kedua. Hasil
penggorengan dua kali tersebut yang dapat membuat bagian luar produk
menjadi renyah.
3. Memperbaiki warna
Penggorengan membentuk warna pada produk menjadi coklat
keemasan pada bagian permukaan yang disukai oleh konsumen. Biasanya
penggorengan digunakan untuk membentuk warna kecoklatan pada
produk tertentu contohnya seperti ayam dan kentang goreng.
4. Penambahan minyak

Perendaman pada minyak penggoreng menyebabkan minyak diserap oleh


produk. Jumlah minyak yang diserap berkisar 2-4% untuk produk dari
kacang-kacangan sampai 40% untuk keripik kentang. Pada kebanyakan
produk, minyak yang terserap tersebut berperan sebagai
pelumas/lubricant yang memperbaiki mouthfeel. Penyerapan minyak oleh
produk goreng dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu dan waktu
yang berbanding lurus dengan peningkatan penyerapan minyak, air yang
terkandung dalam bahan, dan kualitas minyak yang digunakan. Minyak
yang kental juga akan mengurangi laju perpindahan panas ke dalam
produk, waktu penggorengan lebih lama, terjadi perubahan warna pada
produk dan meningkatkan penyerapan minyak goreng ke dalam produk.
Selain itu perubahan juga terjadi pada proses pelapisan perubahan minyak
atau lemak menjadi bentuk polimer akibat suhu tinggi dan membentuk
lapisan tipis pada permukaan besi. Pelapisan ini dilakukan berulang kali
sampai akhirnya permukaan besi tersebut berwarna hitam, licin dan
mengkilap (Muhtadi, 2008).

5. Kepraktisan
Produk yang digoreng dapat dengan mudah direkonstitusi atau
dengan dipanaskan kembali dalam penggorengan, microwave atau oven.
6. Blanching
Suhu yang terdapat pada proses penggorengan (biasanya lebih dari
1770 C) akan memblanching produk. Blanching digunakan untuk
menginaktifkan enzim, menurunkan gas antar sel, mengurangi volume,
dan mematikan sejumlah mikroorganisme.
7. Inaktivasi mikroorganisme patogen
Suhu penggorengan akan mematikan mikroba dan beberapa proses
penggorengan telah dirancang untuk dapat mematikan mikroba
patogen.USDA telah membuat aturan bahwa pada penggorengan daging
burger, suhu bagian dalam produk harus mencapai 710 C untuk
memastikan bahwa patogen E.coli telah inaktif (Fellows.2000).
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Bahan
1. Ubi Kopong
2. Minyak Goreng

3.1.2 Alat
1. Wajan
2. Serok
3. Sutil
4. Gelas Ukur
5. Beaker Glass
6. Jangka Sorong
7. Penggaris
8. Baskom
9. Kompor
10. Tabung Reaksi
11. Rak Tabung Reaksi
12. Bola
13. Benang
14. Label
15. Gas
3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
3.2.1 Skema Kerja

Minyak Goreng 900 ml

Diambil @ 10 ml (kontrol)

Dipanaskan

Ubi kopong, Penggorengan 6 kali


Roti goreng

Penirisan

Minyak dimaksudkan ke dalam


tabung reaksi @ 10ml, dan gelas
ukur

Pengamatan Minyak Goreng


Pengamatan Produk
1. Warna
1. Warna
2. Daya kembang 2. Viskositas
3. Daya serap
3.2.2 Fungsi Perlakuan
Pada praktikum penggorengan ini menggunakan minyak goreng sebanyak
900 ml sebagai media penghantar panas. Langkah pertama yaitu menyiapkan ubi
kopong yang sudah dibentuk menjadi bulat-bulat kemudian siapkan wajan, roti
goreng dan minyak sebanyak 900 ml. Tuang minyak goreng 900 ml ke dalam
gelas beker, kemudian ambil sebanyak 10 ml untuk digunakan sebagai kontrol dan
diletakkan kedalam gelas ukur untuk diukur viskositasnya. Setelah itu masukkan
minyak yang ada dalam gelas beker kedalam wajan untuk dipanaskan. Pengisian
minyak sebanyak 900 ml kedalam wajan bertujuan untuk mengetahui berapa kali
penggorengan minyak tersebut layak untuk digunakan dan berapa kali
penggorengan minyak sudah berubah warna menjadi kecoklatan. Selanjutnya
nyalakan kompor dan panaskan minyak tunggu beberapa menit sampai minyak
benar-benar panas secara keseluruhan. Sebelum bahan dimasukkan kedalam
wajan yang sudah berisikan minyak, bahan berupa ubi kopong dan roti goreng
diukur terlebih dahulu dengan menggunakan jangka sorong, ambil salah satu
sampel ubi kopong dan roti goreng untuk diukur daya kembang volume awalnya
dan amati pada saat proses penggorengan karena ubi kopong dan roti goreng yang
sudah diukur tersebut akan menjadi acuan untuk ubi kopong dan roti goreng yang
lainnya dan akan diukur kembali daya kembangnya setelah melalui proses
penggorengan. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui berapa daya kembang
bahan sebelum melalui proses penggorengan. Kemudian masukkan bahan berupa
ubi kopong dan roti goreng yang sudah disiapkan, pada setiap kelompok
menggoreng sebanyak 2 kali penggorengan dengan jumlah bahan sebanyak 4 ubi
kopong dan 4 roti goreng dalam setiap penggorengannya. Dalam proses
penggorengannya ubi kopong dan roti goreng ditekan-tekan menggunakan sutil
agar dapat mengembang dan mempunyai diameter yang sempurna setelah itu
dapat diketahui daya kembangnya setelah melalui proses penggorengan,
kemudian tiriskan ubi kopong dan roti goreng yang sudah digoreng. Selanjutnya
lakukan penggorengan ubi kopong dan roti goreng untuk penggorengan yang
kedua sebanyak 4 buah dengan satu kali penggorengan. Lakukan penekanan pada
saat proses penggorengan yang bertujuan untuk mengetahui daya kembang pada
bahan ubi kopong dan roti goreng tersebut setelah melalui proses penggorengan.
Kemudian tiriskan pada baskom, setelah itu minyak sisa penggorengan tersebut
ditunggu hingga dingin kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur dan
dimasukkan juga kedalam tabung reaksi sebanyak 10 ml kemudian diberi label
untuk menandakan bahwa minyak yang didalam tabung reaksi tersebut
merupakan hasil dari penggorengan ketiga. Kemudian ubi kopong dan roti goreng
yang sudah ditiriskan kedalam baskom dilakukan pengamatan yaitu warna dan
daya kembang, yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada perubahan warna
pada ubi kopong dan roti goreng setelah melalui proses penggorengan, dan ukur
berapa daya kembang produk tersebut setelah melalui proses penggorengan
dengan cara ditekan-tekan tersebut. Kemudian lakukan pengamatan pada minyak
goreng yang sudah dipakai untuk menggoreng selama 6 kali tersebut, amati
perubahan warna pada minyak goreng apakah ada perbedaan setelah digunakan
untuk proses penggorengan selama 6 kali. Kemudian lakukan pengamatan
viskositas pada minyak goreng yang sudah digunakan untuk proses penggorengan
tersebut dengan cara minyak dimasukkan kedalam gelas ukur dan menggunakan
bola jatuh dengan cara menjatuhkan bola dari atas permukaan gelas ukur dan
hitung berapa waktu yang dibutuhkan bola sampai pada dasar gelas ukur, hal ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat kekentalan pada minyak yang telah digunakan
untuk proses penggorengan pertama hingga 6 kali penggorengan apakah terdapat
kekentalan yang berbeda dari penggorengan pertama hingga penggorengan yang
terakhir. Selanjutnya ukur daya serap minyak goreng setelah digunakan untuk
penggorengan sebanyak 6 kali, dimana minyak awalnya 900 ml, ukur
menggunakan gelas ukur dengan cara menggabungkan semua minyak yang tersisa
kemudian ukur sisa minyak dari proses penggorengan ubi kopong dan ukur berapa
minyak yang sudah terserap pada bahan.
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Pengamatan Warna

PERLAKUAN
BAHAN PARAMETER
P2 P4 P6
Ubi Kopong +++++ +++ +
Warna
Roti Goreng ++ +++ +
Keterangan : Semakin + Semakin Cerah

4.1.2 Pengamatan Warna Minyak

PERLAKUAN
BAHAN PARAMETER
P0 P2 P4 P6
Ubi
+++++ ++++ +++ ++
Kopong
Warna Minyak
Roti
++++ +++ ++ +
Goreng
Keterangan : Semakin + Semakin Jernih

4.1.3 Pengamatan Viskositas Minyak (detik)

PERLAKUAN
BAHAN PARAMETER
P0 P2 P4 P6
Ubi
03,69 01,51 01,96 0,85
Kopong Viskositas
Roti Minyak
5 1,9 1,2 1,1
Goreng
4.2 Hasil Perhitungan

4.2.1 Perhitungan Daya Kembang (Cm3)

PERLAKUAN
BAHAN PARAMETER VOLUME
P2 P4 P6
Vol.Awal 11,07 12,08 12,74
Ubi Kopong
Daya Kembang Vol.Akhir 22,60 21,34 24,73
Vol.Awal 74,86 58,60 60,22
Roti Goreng
Vol.Akhir 88,98 61,64 72,65

4.2.2 Perhitungan Daya Serap

Minyak yang
BAHAN Minyak Awal Sisa Minyak Terserap Dalam
Bahan

Ubi Kopong 900 ml 890 ml 10 ml

Roti Goreng 900 ml 830 ml 70 ml


BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Pengamatan Produk

Pada praktikum penggorengan ini menggunakan bahan berupa roti goreng


dan ubi kopong serta menggunakan minyak sebagai media penghantar panas. Roti
goreng sendiri merupakan makanan yang terbuat dari tepung terigu, air, ragi yang
dalam pembuatannya melalui tahap fermentasi. Bahan roti goreng sendiri terdapat
telur yang mengandung banyak protein yang akan menyebabkan penurunan kadar
protein karena pada proses penggorengan sebagian minyak goreng akan
menempati rongga-rongga bahan pangan menggantikan posisi air yang menguap,
sehingga konsentrasi protein persatuan berat bahan menjadi lebih kecil (Richana
dan Lestina, 2003). Karena penggunaan minyak goreng berulang bukan hanya
mengakibatkan minyak tersebut rusak, tetapi mempengaruhi bahan pangan yang
digoreng pula. Hal tersebut disampaikan oleh Ketaren (2008), yang menyatakan
bahwa kerusakan minyak selama proses penggorengan akan mempengaruhi mutu
dan nilai gizi dari bahan yang digoreng.

Pada praktikum penggorengan ubi kopong didapatkan data yang


menyatakan bahwa pada perlakuan kedua (P2) didapatkan hasil yang optimal
yaitu dengan simbol +++++ yang artinya warna yang dihasilkan semakin cerah.
Hal tersebut dapat terjadi karena pada kondisi (P2) minyak masih dalam tahap
awal pemanasan sehingga ubi kopong mendapatkan panas yang optimal sehingga
tidak membuat adonan mudah gosong. Pada perlakuan (P4) mendapatkan hasil
yang sedikit gelap dengan simbol +++ hal ini disebabkan karena suhu panas yang
diperoleh semakin tinggi sehingga membuat adonan cepat gosong apabila panas
pada kompor tidak dikecilkan. Sedangkan pada kondisi (P6) mendapatkan hasil
yang semakin gelap dengan simbol + hal ini dikarenakan suhu panas yang
didapatkan semakin tinggi dan minyak yang digunakan sudah terpakai beberapa
kali penggorengan sehingga cepat merubah adonan dengan kematangan tinggi.
Dimana perlakuan yang mendapatkan nilai + banyak maka warna yang dihasilkan
semakin cerah. Lama penggorengan dapat dipengaruhi oleh jenis produk itu
sendiri, suhu minyak, metode penggorengan yang digunakan, tingkat ketebalan
makanan dan kualitas produk yang diinginkan (Sulastri.2005).
Berbeda dengan hasil pengamatan dari ubi kopong, pada roti goreng ini
mendapatkan hasil bahwa pada kondisi (P4) dengan warna yang lebih cerah. Hal
ini dikarenakan pada roti goreng memiliki pori-pori lebih banyak dan lebar
sehingga sangat mudah menyerap panas sehingga warna yang dihasilkan lebih
gelap. Pada roti goreng sendiri mengandung bahan-bahan yang menyebabkan
adonan roti goreng itu sendiri mempunyai pori-pori lebih banyak sehingga sangat
mudah untuk menyerap panas. Pada perlakuan kedua (P2) warna yang dihasilkan
cerah dengan simbol ++, untuk penggorengan (P4) menghasilkan warna yang
semakin cerah dengan simbol +++ dibandingkan dengan penggorengan (P2) maka
(P4) lmenghasilkan warna yang lebih cerah karena pada (P2) suhu panas minyak
nya tinggi dan dipengaruh dari tingkat panas api pada kompor. Ketidaksesuaian
hasil praktikum untuk perlakuan (P2) dan (P4) ini mungkin terjadi karena adanya
perbedaan waktu penggorengan dan suhunya tidak sama sehingga matangnya
tidak merata. Sementara untuk penggorengan (P6) menghasilkan warna semakin
gelap dengan simbol + hal ini dikarenakan pada perlakuan (P6) suhu minyak yang
digunakan semakin panas sehingga membuat roti goreng menghasilkan warna
yang lebih gelap dan minyak yang digunakan sudah dipakai untuk menggoreng
bahan beberapa kali. Apabila pengamatan warna pada produk menghasilkan
simbol + semakin banyak artinya warna yang dihasilkan semakin cerah. Hal ini
sesuai dengan literatur (Sulastri. 2005) apabila semakin sering frekuensi
penggorengan atau semakin lama digunakan untuk menggoreng produk yang
dihasilkan akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna menjadi lebih gelap
dan tidak cerah karena zat yang telarut pada minyak semakin banyak.
Daya kembang merupakan kemampuan pada suatu bahan untuk
mengembang karena adanya proses penggorengan. Pengukuran ini dilakukan
bertujuan untuk membandingkan dan menghitung volume awal produk berupa
roti goreng dan ubi kopong sebelum digoreng dan volume akhir setelah digoreng.
Ubi kopong merupakan makanan yang terbuat dari ubi jalar kuning, putih maupun
ungu. Pembuatannya sendiri dengan cara merebus ubi jalar kemudian dibentuk
bulat-bulat. Pada produk ubi kopong telah dilakukan pengamatan daya kembang
diperoleh data hasil volume awal penggorengan kedua (P2) yaitu sebesar 11,07
cm3 dan volume akhir 22,60 cm3 sehingga terjadi kenaikan volume sebesar 11,53
cm3, penggorengan keempat (P4) volume awal 12,08 cm3 dan volume akhir 21,34
cm3, terjadi peningkatan volume sebesar 9,26 cm3. Pada penggorengan keenam
(P6) volume awal 12,74 cm3 dan volume akhir 24,73 cm3, terjadi peningkatan
volume sebesar 11,99 cm3. Secara keseluruhan daya kembang produk ubi kopong
mengalami peningkatan volumenya. Peningkatan paling banyak terjadi pada
penggorengan (P6) sebesar 11,99 cm3, selanjutnya pada penggorengan (P2)
sebesar 11,53 cm3 dan paling sedikit pada penggorengan kedua (P4) 9,26 cm3. Hal
ini diakibatkan karena pada saat proses penggorengan terdapat perbedaan
penekanan pada bahan bahan sehingga mempengaruhi daya kembang produk itu
sendiri. Produk ubi kopong ini mengalami pengembangan dikarenakan pada
proses penggorengan sebagian minyak goreng akan menempati rongga-rongga
pada ubi kopong menggantikan posisi air yang menguap, sehingga akan
mengembang. Menurut (Susanti.2010) bahwa rongga-rongga yang ada pada
bahan akan digantikan oleh minyak goreng yang panas karena air mengalami
penguapan.
Pada produk roti goreng yang telah dilakukan pengamatan daya kembang
dengan membandingkan volume awal dan volume akhir penggorengan. Hasil
yang diperoleh penggorengan kedua (P2) volume awal 74,86 cm3 dan volume
akhir 88,98 cm3, terjadi peningkatan volume sebesar 14,12 cm3, sedangkan
penggorengan keempat (P4) volume awal 58,60 cm3 dan volume akhir 61,64 cm3,
terjadi peningkatan volume sebesar 3,04 cm3, dan penggorengan keenam (P6)
volume awal 60,22 cm3 dan volume akhir 72,65 cm3, terjadi kenaikan volume
sebesar 12,43 cm3. Pada penggorengan P2, P4, dan P6, roti goreng mengalami
pengembangan ukuran. Pengembangan ini dikarenakan adanya rongga-rongga
yang ada pada ubi kopong karena air yang menguap digantikan dengan minyak
yang dipanaskan. Hasil yang didapatkan pada penggorengan (P2), (P4) dan (P6)
berbeda dan tidak mendapatkan peningkatan antara penggorengan pertama sampai
dengan terakhir dikarenakan terjadi perbedaan ukuran antara bahan satu dengan
yang lain.
Daya kembang pada ubi kopong dan roti goreng tidak sama. Hal ini terjadi
karena ukuran volume awal produk yang didapatkan tersebut tidak sama. Selain
itu, kadar air yang terkandung dalam bahan tersebut juga mempengaruhi daya
kembang produk yang digoreng. Semakin sedikit kadar air pada bahan, maka
produk yang digoreng memiliki daya kembang yang semakin besar. Selain itu
dikarenakan pada waktu pengukuran kurang teliti juga mempengaruhi hasil yang
didapatkan (Koswara, 2009).

5.2 Pengamatan Minyak Goreng

Warna minyak menjadi salah satu penentu pada proses penggorengan.


Minyak sebaiknya tidak digunakan kembali jika warnanya telah berubah secara
permanen dibandingkan dengan warna aslinya (Yuniarto.2008). Pengamatan
warna pada minyak ini dilakukan dengan perlakuan tanpa penggorengan,
penggorengan kedua, penggorengan keempat dan penggorengan keenam.
Semakin sedikit tanda (+) yang berarti semakin gelap warna yang dihasilkan
minyak. Pada penggorengan ubi kopong, warna minyak tanpa penggorengan (P0)
menghasilkan warna yang jernih dengan tanda +++++ banyak, penggorengan
kedua (P2) ++++, penggorengan keempat (P4) +++ dan penggorengan keenam
(P6) ++. Hal tersebut dapat diketahui bahwa semakin sering dilakukan
pengulangan penggorengan dengan minyak yang tidak diganti akan
mempengaruhi warna pada minyak dan minyak dipanaskan terus-menerus pada
suhu yang tinggi juga akan mempengaruhi warna minyak yang dihasilkan sesudah
proses penggorengan. Berdasarkan literatur sudah sesuai yaitu menurut Sulastri
(2005), semakin sering frekuensi penggorengan mengakibatkan terjadinya
perubahan warna menjadi lebih gelap karena zat yang telarut pada minyak
semakin banyak dan bahan-bahan yang terkandung pada produk tersebut juga
sangat mempengaruhi perubahan warna pada minyak. Perubahan warna minyak
yang semula jernih kekuningan menjadi lebih gelap dipengaruhi oleh bebrapa
faktor, seperti adanya panas akibat suhu yang tinggi 1800C-2000C, merupakan
faktor utama reaksi-reaksi kimia dalam minyak, karena pada minyak terjadi proses
oksidasi dan cracking (Rorong.2008). Selain itu, proses pemanasan minyak pada
suhu tinggi dengan adanya oksigen akan mengakibatkan rusaknya asam lemak tak
jenuh yang terdapat di dalam minyak, sehingga akan mengakibatkan perubahan
warna, kenaikan kekentalan, peningkatan kandungan asam lemak bebas, kenaikan
bilangan peroksida, dan kenaikan kandungan urea.
Pada pengamatan warna pada minyak yang digunakan untuk
penggorengan roti goreng didapatkan hasil minyak tanpa penggorengan (P0)
++++, untuk penggorengan kedua (P2) mendapatkan hasil warna dengan tanda
+++ dan untuk penggorengan yang keempat (P4) mendapatkan hasil warna
dengan tanda ++ yang artinya semakin gelap dan penggorengan keenam (P6)
mendapatkan hasil warna dengan tanda + yang artinya pada proses penggorengan
ini menghasilkan warna yang gelap. Apabila semakin banyak tanda + yang
dihasilkan maka semakin jernih warna yang dihasilkan. Berdasarkan dari
perubahan warna yang dihasilkan penggorengan (P0) pada produk ubi kopong
dan roti goreng sama-sama menghasilkan warna yang paling jernih karena minyak
tersebut belum digunakan untuk proses penggorengan. Sedangkan pada
penggorengan kedua sampai keenam (P6) warna minyak yang dihasilkan semakin
tidak cerah atau gelap. Hal ini disebabkan minyak goreng tersebut sudah
teroksidasi sehingga ikatan pada minyak rusak yang dapat menimbulkan salah
satunya perubahan warna pada minyak. Berdasarkan literatur perubahan warna
minyak yang digunakan dalam proses penggorengan juga disebabkan oleh reaksi
oksidasi (Ketaren.2008).
Perhitungan viskositas ini dilakukan dengan menghitung kecepatan bola
jatuh dari permukaan minyak hingga dasar tabung reaksi. Perhitungan ini
dilakukan dengan cara menjatuhkan bola yang sudah diikat dengan benang sampai
kedasar tabung reaksi kemudian kecepatan tersebut diukur dengan stopwatch.
Analisis viskositas pada proses penggorengan dilakukan untuk mengetahui
perubahan-perubahan yang terjadi pada minyak akibat penggorengan secara
berulang-ulang. Sebelum dilakukan penggorengan minyak pada perlakuan yang
pertama (P0) diambil sebanyak 10 ml sebagai kontrol dan didapatkan hasil dari
ubi kopong dengan waktu 3,69 detik dan 5 detik untuk roti goreng. Pengambilan
minyak ini digunakan untuk membandingkan antara minyak yang belum
digunakan dengan minyak yang sudah digunakan untuk menggoreng secara
berulang-ulang. Pada ubi kopong penggorengan kedua (P2) didapatkan hasil 1,51
detik, penggorengan keempat (P4) didapatkan 1,96 detik, dan pada penggorengan
keenam (P6) hasil yang didapat sebesar 0,85 detik. Sedangkan pada penggorengan
roti goreng penggorengan kedua (P2) didapatkan 1,9 detik, penggorengan
keempat (P4) didapatkan hasil 1,2 detik, dan pada penggorengan keenam (P6) roti
goreng ini hasil yang didapat sebesar 1,1 detik. Perbedaan waktu yang dihasilkan
ini dapat terjadi karena komponen bahan produk itu sendiri yaitu pada ubi kopong
memiliki kandungan minyak yang cukup banyak sehingga ketika dilakukan proses
penggorengan air yang terkandung pada ubi kopong akan keluar dan digantikan
oleh minyak yang berfungsi untuk mengembangkan adonan ubi sehingga volume
menjadi lebih besar. Karena adanya campuran minyak dan air sehingga dapat
menyebabkan viskositas atau kekentalan pada minyak berkurang. Hal ini dapat
dilihat dari data yang sudah diperoleh, dimana pada penggorengan roti goreng
(P0)hinggan (P6) mengalami penurunan. Pada penggorengan ubi kopong, hasil
yang didapatkan menunjukkan bahwa waktu yang didapatkan tidak stabil dan naik
turun sehingga semakin sering minyak tersebut digunakan dalam proses
penggorengan maka viskositas minyak semakin rendah pada (P6). Hal ini tidak
sesuai dengan literatur Syamsul (2013) yang menunjukkan bahwa peningkatan
viskositas pada minyak disebabkan oleh peningkatan reaksi oksidasi polimerisasi
dan viskositas akan semakin meningkat pada pengulangan penggorengan.
Perbedaan ini dapat terjadi karena waktu yang digunakan pada saat penggorengan
kurang lama dan suhu yang digunakan terlalu kecil sehingga data yang diperoleh
tidak sesuai dengan literatur.
Pada praktikum ini juga dilakukan perhitungan daya serap. Perhitungan
daya serap ini dilakukan dengan cara minyak awal proses penggorengan dikurangi
dengan minyak yang tersisa setelah proses penggorengan. Pada penggorengan ubi
kopong dan roti goreng minyak awal yang digunakan yaitu sebanyak 900 ml.
setelah dilakukan penggorengan ubi kopong minyak yang tersisa sebanyak 890
ml sehingga minyak yang terserap pada ubi kopong hanya sebanyak 10 ml. Pada
penggorengan roti goreng sisa minyak setelah penggorengan sebanyak 830 ml
sehingga minyak yang terserap pada bahan tersebut sebanyak 70 ml. Hal tersebut
dapat diketahui bahwa daya serap minyak pada ubi kopong lebih sedikit dari pada
daya serap roti goreng. Hal ini dikarenakan kadar air yang terdapat pada ubi
kopong lebih sedikit dari pada kadar roti goreng sehingga rongga-rongga yang
tergantikan oleh minyak pada ubi kopong lebih sedikit dari padaroti goreng.
Bahan berupa roti goreng memiliki pori-pori yang lebih besar dibandingkan
dengan bahan dari ubi kopong . Hasil tersebut sesuai menurut Nurhidayah (2009)
bahwa rongga-rongga yang terdapat pada bahan akan digantikan oleh minyak
goreng yang panas karena air akan mengalami penguapan.
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan maka dapat diambil


kesimpulan bahwa:
1. Penggorengan merupakan proses pemanasan bahan pangan yang
menggunakan medium berupa minyak goreng untuk mengubah kualitas bahan
pangan dan berkontribusi terhadap tekstur dan rasa makanan yang digoreng. Pada
proses penggorengan ubi kopong dan roti goreng terjadi perubahan-perubahan
baik pada bahan dan minyak. Perubahan pada bahan akibat proses penggorengan
terdiri dari perubahan warna dan daya kembang. Minyak yang digunakan secara
berulang-ulang akan menghasilkan warna yang lebih gelap, mempunyai aroma
yang tengik, dan daya kembang pada produk kecil. Bahan akan mengalami
perubahan warna akibat penggorengan berulang kali dari mulai warna yang cerah
sampai menjadi coklat hal tersebut dapat disebakan oleh adanya proses browning
atau reaksi Maillard dimana Tingkat intensitas warna bergantung dari lamanya
penggorengan dan suhu yang digunakan untuk menggoreng. Perubahan daya
kembang bahan sebelum dan sesudah penggorengan. Disebabkan karena terdapat
penggumpalan udara dan gas pada proses gelatinisasi pati. Pada saat pencampuran
adonan yang tidak homogen sehingga dapat menyebabkan penurunan gelatinisasi
pati yang mengakibatkan volume pengembangan akan menurun dan menghasilkan
karakteristik pengembangan yang jelek.
2. Pengamatan minyak goreng pada penggorengan ubi kopong dan roti
goreng perubahan warna yang terjadi apabila semakin lama minyak digunakan
maka semakin gelap dan tengik, karena ada partikel yang tersuspensi dalam
minyak sehingga minyak mengalami degradasi. Proses pemanasan mengakibatkan
susunan rantai karbon terputus sehingga terjadi kenaikan kekentalan minyak serta
kadar air dalam minyak semakin kecil. Selain itu daya serap yang dihasilkan
berbeda antara ubi kopong dan roti goreng disebabkan oleh suhu, waktu dan
kandungan air. Daya serap yang dihasilkan oleh ubi kopong dengan roti goreng
berbeda, hal ini dikarenakan bahan yang digunakan berbeda dengan ukuran yang
berbeda sehingga mempengaruhi terhadap daya serap minyak yang digunakan
untuk proses penggorengan.

6.2 Saran

Untuk praktikan seharusnya datang lebih awal sehingga pada saat prestest
bisa selesai bersama-sama dan tepat waktu. Untuk para asisten kalau para
praktikan ramai dalam laboratorium mohon diberi tau agar tidak mengganggu
praktikan lain yang belum mendapat giliran untuk praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Dobraszczyk. 2005. Baking, extrusion, and frying. In: Brennan, James G. (ed).
Food Processing Handbook (2006). Wiley-VCH Verlag GmbH & Co.
KGaA.

Fellows, P. 2000. Food Processing Technology Principles and Practice. New


York: Ellis Horwood.

Jamaluddin. 2008. Model Matematik Perpindahan Panas dan Massa Proses


Penggorengan Buah pada Keadaan Hampa. Yogyakarta:Universitas Gajah
Mada.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan


Pertama. Jakarta : UI-Press.

Ketaren, S. 2005. Minyak Dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ketaren, S. 2008 . Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta:


Universitas Indonesia Press.

Koswara. 2009. Uji Kadar Lemak Tanaman Kelapa dengan Metode Sokletasi.
Makasar: Universitas Hasanuddin.

Luciana. 2005, Minyak Goreng Bisa Melawan Kolesterol. Semarang: Jurusan


Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponogoro.

Morton. I.D., 1988. Frying Food. Principles, Changes, New Approach. Ellis
Horwood and VCH Verlaggeselscaft mbH, Weinheim, Federal Republik of
Germany.

Muchtadi. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. 3rd ed. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.

Nurhidayah. 2009. Mengenal Proses Penggorengan denan Minyak Goreng.


Depok: Agromedia Pustaka.

Richana dan Lestina. 2003. Produksi Xilanase untuk Biokonversi Limbah Biji
Kedelai. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.

Rorong.2008. Sintesis Metil Ester Asam Lemak Dari Minyak Kelapa Hasil
Pemanasan.Manado: Jurusan Kimia fakultas MIPA Unsrat.

SNI 01-3741-1995. Minyak Goreng. Badan Standarisasi Nasional.


Sulastri, Siti. 2005. Pembuatan Minyak Kelapa Secara Enzimatis dengan
Memanfaatkan Buah dan Biji Pepaya. Surabaya: Universitas Airlangga.

Susanti.2010. Pengaruh Penggunaan Minyak Goreng Berulang Terhadap


Perubahan Nilai Gizi Dan Mutu Hedonik Pada Ayam Goreng. Animal
Agriculture, 2(1):253-260.

Syamsul, M. 2013. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.

Winarno FG. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. Jakarta : Balai
Pustaka.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yuniarto, Kurniawa 2010. Penentuan Laju Kerusakan Minyak dan Bawang Putih
Kering Dalam Operasi Penggorengan Hampa (Tinjauan Aspek Teknis).
Mataram: Jurnal Teknologi Pertanian 11 (2) : 101- 108.
LAMPIRAN PERHITUNGAN

 Perhitungan Daya Kembang Ubi Kopong


a. Awal
1. Penggorengan 2
4
Volume = 3 𝜋𝑟 3
4
= 3 (3,14)(1,675)3

=11,07 cm3
2. Penggorengan 4
4
Volume = 3 𝜋𝑟 3
4
= 3 (3,14)(1,725)3

=12,08 cm3

3. Penggorengan 6
3
Volume = 𝜋𝑟 3
3
4
= 3 (3,14)(1,765)3

=12,74 cm3
b. Akhir
1. Penggorengan 2
4
Volume = 3 𝜋𝑟 3
4
= 3 (3,14)(2,125)3

=22,60 cm3

2. Penggorengan 4
4
Volume = 3 𝜋𝑟 3
4
= 3 (3,14)(2,085)3

= 21,34 cm3
3. Penggorengan 6
4
Volume = 3 𝜋𝑟 3
4
= 3 (3,14)(2,19)3

=24,73 cm3

 Perhitungan Daya Kembang Roti Goreng


a. Awal
1. Penggorengan 2
4
Volume = 3 𝜋𝑟 3
4
= 3 (3,14)(2,615)3

= 74,86 cm3
2. Penggorengan 4
4
Volume = 3 𝜋𝑟 3
4
= 3 (3,14)(2,41)3

= 58, 60 cm3
3. Penggorengan 6
4
Volume = 3 𝜋𝑟 3
4
= 3 (3,14)(2,432)3

= 60,22 cm3
b. Akhir
1. Penggorengan 2
4
Volume = 𝜋𝑟 3
3
4
= 3 (3,14)(2,77)3

= 88,98 cm3
2. Penggorengan 4
4
Volume = 3 𝜋𝑟 3
4
= 3 (3,14)(2,046)3
= 61,64 cm3
3. Penggorengan 6
4
Volume = 3 𝜋𝑟 3
4
= 3 (3,14)(2,589)3

=72,65 cm3

Anda mungkin juga menyukai