Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA

PERCOBAAN 8
PENETAPAN KADAR ASAM LEMAK

Disusun oleh:
Sulistia Rahmawati (10060321092)
Irma Darmawati (10060321093)
Syahla Mutiara (10060321094)
Fadira Crysta Ratu F (10060321095)

Shift / Kelompok :C/5

Tanggal Praktikum : 17 Oktober 2022

Tanggal Laporan : 24 Oktober 2022

Nama Asisten : Salsabila Soedrajat, S.Farm

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT B


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2022 M/ 1444 H
PERCOBAAN 8
PENETAPAN KADAR ASAM LEMAK

I. Tujuan Percobaan
Mahasiswa dapat melakukan penetapan kadar asam lemak bebas dengan
metode titrasi asam basa.
II. Prinsip Percobaan
Penetapan jumlah asam lemak dengan reaks netralisasi asam basa.
III. Teori Dasar
3.1 Lipid
3.1.1 Pengertian Lemak
Lemak adalah zat organik hidrofobik yang bersifat sukar larut dalam
air, tetapi dapat larut dalam pelarut organik seperti kloroform, eter, dan
benzen. Unsur penyusun lemak antara lain adalah Karbon(C), Hidrogen (H),
Oksigen(O), dan kadang-kadang Fosforus (P) serta Nitrogen (N) Di dalam
tubuh kita, lemak mempunyai beberapa fungsi penting, diantaranya adalah:
sebagai pelindung tubuh dari suhu rendah, pelarut vitamin A, D, E, dan K,
pelindung alat-alat tubuh vital (antara lain jantung dan lambung), yaitu
sebagai bantalan lemak, penghasil energi tertingggi, penahan rasa lapar,
karena adanya lemak akan memperlambat pencernaan, apabila pencernaan
terlalu cepat maka akan cepat pula timbulnya rasa lapar, bahan penyusun
membran sel, bahan penyusun hormon dan vitamin (khususnya untuk
sterol), bahan penyusun empedu, asam kholat (di dalam hati), dan hormon
seks (khususnya untuk kolesterol). pembawa zat-zat makanan esensial )
(Hardinsyah, 2014).
3.1.2 Klasifikasi Lemak
Berdasarkan komposisi kimianya, lemak terbagi menjadi 3
(Hardinsyah, 2014), yaitu :
A. Lemak Sederhana / Netral (Trigliserida) Lemak sederhana tersusun oleh
trigliserida, yang terdiri dari satu gliserol dan tiga asam lemak Contoh
senyawa lemak sederhana adalah lilin (wax), malam, atau plastisin
(lemak sederhana yang padat pada suhu kamar), dan minyak (lemak
sederhana yang cair pada suhu kamar).
B. Lemak Campuran Lemak campuran merupakan gabungan antara lemak
dengan senyawa bukan lemak. Contoh lemak campuran adalah
lipoprotein (gabungan antara 10 repository.unimus.ac.id 11 lipid dan
dengan protein), fosfolipid (gabungan antara lipid dan fosfat), serta
fosfatidilkolin (yang merupakan gabungan antara lipid, fosfat, dan kolin).
C. Lemak Asli (Derivat Lemak) Derivat lemak adalah senyawa yang
dihasilkan dari proses hidrolisis lipid, misalnya kolesterol dan asam
lemak. Berdasarkan ikatan kimianya asam lemak dibedakan menjadi
yaitu:
C.1. Asam lemak Jenuh Bersifat non-esensial karena dapat disintesis oleh
tubuh dan pada umumnya berwujud padat pada suhu kamar. Asam
lemak jenuh berasal dari lemak hewani, misalnya mentega. krim,
keju, minyak samin, lemak babi, es krim , dan lemak yang menempel
pada daging.
C.2. Asam lemak tidak jenuh Bersifat esensial karena tidak dapat
disintesis oleh tubuh dan umunya berwujud cair pada suhu kamar.
Asam lemak tidak jenuh berasal dari lemak nabati, misalnya minyak
zaitun, minyak canola, minyak dari biji matahari, minyak wijen,
minyak kacang, alpukat, buah zaitun, aneka kacang ( kacang mete,
kacang tanah, almond ). Sedangkan hasil tanaman yang mengandung
banyak lemak jenuh diantaranya adalah minyak kelapa, minyak biji
kapas, minyak inti sawit, dan mentega coklat. Produk dan makanan
yang diproses dari bahan dengan lemak jenuh dipastikan akan
mengandung lemak jenuh tinggi.
3.2 Minyak Goreng
Minyak jelantah (wastecookingoil) adalah minyak yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan seperti sawit, jagung, minyak sayur dan minyak samin
yang telah digunakan sebagai minyak goreng (Hajar & Mufidah, 2016).
Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sering
digunakan oleh masyarakat saat ini, baik itu dalam skala rumah tangga
maupun skala industri atau pabrik. Hal ini mengakibatkan konsumsi minyak
goreng meningkat. Dengan meningkatnya konsumsi minyak goreng maka
minyak goreng tersebut akan menjadi minyak goreng bekas yang jika tidak
didaur ulang akan menjadi limbah yang mencemari lingkungan (Hajar &
Mufidah, 2016).
3.2.1 Penggunaan Minyak Goreng
Penggunaan minyak goreng secarakontinyu dan berulang-ulang pada
suhu tinggi (160OC-180OC) disertai adanya kontak dengan udara dan air
pada proses penggorengan akan mengakibatkan terjadinya reaksi degradasi
yang komplek dalam minyak dan menghasilkan berbagai senyawa hasil
reaksi. Minyak goreng juga mengalami perubahan warna dari kuning
menjadi gelap. Reaksi degradasi ini menurunkan kualitas minyak dan
akhirnya minyak tidak dapat dipakai lagi dan harus dibuang. Produk reaksi
degradasi yang terdapat dalam minyak ini juga akan menurunkan kualitas
bahan pangan yang digoreng dan menimbulkan pengaruh buruk bagi
kesehatan (Yustinah, 2011).
3.2.2 Mutu Minyak Goreng
Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu
pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan
dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Makin tinggi titik asap,
makin baik mutu minyak goreng tersebut. Titik asap suatu minyak goreng
tergantung dari kadar gliserol bebas lemak dan minyak yang digunakan
untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis,
pemanasan lemak dan minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak
terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu penggorengan adalah
177-2210C (Winarno, 2012).
Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin
tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali mengakibatkan minyak menjadi
cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavor yang
tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng. Kerusakan minyak
goreng yang berlangsung selama penggorengan juga akan menurunkan nilai
gizi dan berpengaruh terhadap mutu dan nilai bahan pangan yang digoreng
dengan menggunakan minyak yang telah rusak akan mempunyai struktur
dan penampakan yang kurang menarik serta citra rasa dan bau yang kurang
enak (Winarno, 2012).
3.2.3 Proses Kerusakan
Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu
pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan
dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Makin tinggi titik asap,
makin baik mutu minyak goreng tersebut. Titik asap suatu minyak goreng
tergantung dari kadar gliserol bebas lemak dan minyak yang digunakan
untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis,
pemanasan lemak dan minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak
terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu penggorengan adalah
177-2210C (Winarno, 2012).
Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin
tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali mengakibatkan minyak menjadi
cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavor yang
tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng. Kerusakan minyak
goreng yang berlangsung selama penggorengan juga akan menurunkan nilai
gizi dan berpengaruh terhadap mutu dan nilai bahan pangan yang digoreng
dengan menggunakan minyak yang telah rusak akan mempunyai struktur
dan penampakan yang kurang menarik serta citra rasa dan bau yang kurang
enak (Winarno, 2012).
3.3 Titrasi
Titrasi asam basa melibatkan asam maupun basa sebagai titer ataupun
titrant. Kadar larutan asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa
atau sebaliknya. Titrant ditambahkan titer tetes demi tetes sampai mencapai
keadaan ekuivalen ( artinya secara stoikiometri titrant dan titer tepat habis
bereaksi) yang biasanya ditandai dengan berubahnya warna indikator.
Keadaan ini disebut sebagai “titik ekuivalen”, yaitu titik dimana konsentrasi
asam sama dengan konsentrasi basa atau titik dimana jumlah basa yang
ditambahkan sama dengan jumlah asam yang dinetralkan : [H+] = [OH-].
Sedangkan keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat
perubahan warna indikator disebut sebagai “titik akhir titrasi” (Marzuki, H.
& R. T. Astuti. 2017).
Titik akhir titrasi ini mendekati titik ekuivalen, tapi biasanya titik
akhir titrasi melewati titik ekuivalen. Oleh karena itu, titik akhir titrasi
sering disebut juga sebagai titik ekuivalen. Pada saat titik ekuivalen ini
maka proses titrasi dihentikan, kemudian catat volume titer yang diperlukan
untuk mencapai keadaan tersebut. Dengan menggunakan data volume titran,
volume dan konsentrasi titer maka bisa dihitung konsentrasi titran tersebut
(Marzuki, H. & R. T. Astuti. 2017).
Syarat-syarat yang diperlukan untuk titrasi, yaitu: (Hardjono
Sastrohamidjojo, 2005).
1. Konsentrasi titran harus diketahui.(larutan standar.)
2. Reaksi yang tepat antara titran dan senyawa yang dianalisis harus
diketahui.
3. Titik stoikhiometri atau ekivalen harus diketahui. Indikator yang
memberikan perubahan warna, atau sangat dekat pada titik ekivalen yang
sering digunakan. Titik pada saat indikator berubah warna disebut titik
akhir.
4. Volume titran yang dibutuhkan untuk mencapai titik ekivalen harus
diketahui setepat mungkin/
3.3.1 Metode Titrasi
Titrasi asidimetri adalah titrasi terhadap larutan basa bebas dengan
larutan standard asam kuat atau itrsi terhadap larutan garam yang berasal
dari basa lemah dengan larutan standard basa kuat (Simanjuntak,2018)
Alkalimetri merupakan metode yang berdasarkan pada reaksi
netralisasi, yaitu reaksi antara ion hidrogen yang berasal dari asam dengan
ion hidroksida yang berasal dari basa yang membentuk molekul air.
Karenanya alkalimetri dapat didefinisikan sebagai metode untuk
menetapkan kadar asam dari suatu bahan dengan menggunakan larutan basa
yang sesuai. Asam menurut Arrhenius adalah senyawa yang jika dilarutkan
dengan air terurai menjadi ion hidrogen H+ dan anion. Sedangkan basa
adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air terurai menjadi ion
hidroksida OH- dan kation. Teori ini hanya berlaku untuk senyawa
anorganik yang larut dalam air. Titer yang digunakan pada alkalimetri
adalah NaOH atau KOH. NaOH mempunyai keunggulan dibandingkan
KOH dalam harga, NaOH maupun KOH mudah bereaksi dengan CO2
membentuk garam karbonat. Garam natrium karbonat lebih mudah
dipisahkan dari NaOH daripada garam kalium karbonat yang sulit
dipisahkan dari KOH, hal ini akan mengganggu reaksi yang terjadi. Titer
sebelum digunakan untuk menitrasi sampel harus dibakuan terlebih dahulu
menggunakan larutan asam baku primer. Indikator pada titrasi asam-basa
adalah asam atau basa organik lemah yang berada dalam dua macam bentuk
warna yang berbeda (Andari 2013).
IV. Alat dan Bahan
4.1 Alat
Alat yang digunakan pada percobaan kali ini yaitu buret, erlenmeyer
250 ml, gelas ukur 50 ml, hot plate / penangas, pipet tetes, timbangan
analitik.
4.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan kali ini yaitu aquadest, etanol
95%, indikator phenolftalein, minyak goreng bekas, minyak goreng baru,
NaOH 0,1 M.
V. Prosedur
Pada percobaan penetapan kadar asam lemak pada minyak goreng
baru. Disiapkan alat dan bahan. Lalu ditimbang 14gr minyak goreng baru
dan dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan 25
ml etanol 95% dan dipanaskan diatas penangas dengan suhu 60OC selama
15 menit, setelah itu ditambahkan 3 tetes indikator phenolftalein dan
dilakukan titrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 M.
Kemudian dilakukan penetapan kadar asam lemak pada minyak
goreng bekas, ditimbang 7 gr minyak goreng bekas dan dimasukkan
kedalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan 25 ml etanol 95% dan
dipanaskan diatas penangas dengan suhu 60OC selama 15 menit, setelah
itu ditambahkan 3 tetes indikator phenolftalein dan dilakukan titrasi
dengan menggunakan NaOH 0,1 M.
VI. Data Pengamatan
 gr asam oksalat

 gr NaOH

 Pembakuan
Kel. 5 24,5
Kel. 6 24,7

Rata-Rata

 Pengenceran

 Perhitungan kadar asam lemak


- BM asam palmitat = 256
- Volume titrasi minyak goreng baru (15 menit) = 0,6 ml
- Volume titrasi minyak goreng bekas (15 menit) = 11,5 ml
- Volume titrasi minyak goreng baru (30 menit) = 0,5 ml
- Volume titrasi minyak goreng bekas (30 menit) = 12,6 ml
( ) [ ]( )
( )
1. Minyak goreng baru (15 menit)

2. Minyak goreng bekas (15 menit)

3. Minyak goreng baru (30 menit)

4. Minyak goreng bekas (30 menit)

VII. Pembahasan
Pada percobaan kali ini, dilakukan penetapan kadar asam lemak dengan
tujuan untuk memahami metode hidrolisis lemak secara kimiawi dan untuk
penetapan kadar asam lemak. Prinsip pada percobaan kali ini reaksi antara ion
hidrogen yang berasal dari senyawa asam di dalam minyak dengan ion
hidroksida yang berasal dari basa yang digunakan sebagai titran (Sopianti dan
Saputra, 2017).
Pada reaksi hidrolisis minyak dan lemak akan dirubah menjadi asam
lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisis akan dapat mengakibatkan
kerusakan minyak atau lemak dan dapat terjadi karena terdapatnya sejumlah
air dalam minyak atau lemak tersebut. Reaksi ini akan mengakibatkan
ketengikan hidrolisis yang menghasilkan flavor dan bau tengik pada minyak
tersebut. (Kataren, 2012). Kerusakan pada minyak dapat diakibatkan karena
disimpan terlalu lama pada suhu ruang atau penyimpanan minyak yang
kurang tepat. Perubahan-perubahan yang terjadi pada minyak dapat
disebabkan oleh proses hidrolisis maupun oksidasi (Muchtadi, 2013).
Pada percobaan penetapan kadar asam lemak ditimbangnya minyak
goreng baru sebesar 14 gram dan minyak goreng bekas sebanyak 7 gram
dimana kedua minyak goreng ini sebagai bahan baku lemak yang akan
dibandingkan kadar hidrolisisnya. Pada minyak ditambahkannya etanol 95%.
Etanol merupakan pelarut organic pada pengujian berfungsi untuk
melarukkan lemak atau minyak sehingga reaksi hidrolisis dapat berlangsung
lebih cepat dimana etanol 95% merupakan pelarut yang baik untuk lemak
dengan memberhentikan kerja enzim lipase. Setelah itu dipanaskan pada suhu
60°C selama 15 menit dengan tujuan untuk mempercepat hidrolisis yang
terjadi dimana semakin tinggi suhunya maka semakin mudah terhidrolisis dan
semakin lama dipanaskan maka kadar dalam minyak semakin terbentuknya
asam lemak bebas. Untuk menghitung kadar asam lemak bebas yang
terbentuk dari proses hidrolisis dilakukan melalui titrasi asam basa
mengunakan pentiter NaOH. Namun sebelum dilakukannya titrasi dilakukan
pembakuan terlebih dahulu pada pentiter NaOH. Hal ini dilakukan karena
NaOH merupakan larutan baku sekunder yang belum diketahui
konsentrasinya secara pasti, tidak stabil, sukar dimurnikan dan tidak tahan
lama dalam bentuk larutannya. Oleh karena itu dilakukan pembakuan terlebih
dahulu dengan larutan baku primer seperti asam oksalat (Rohman dkk, 2020)
Kemudian ditambahkannya indikator pp sebagai asam lemah digunakan
sebagai penanda saat nanti akan di titrasi. Indikator PP (phenolphthalein)
merupakan senyawa organik yang juga digunakan dalam pengujian asam
lemak bebas sebelum sampel dititrasi dengan NaOH. Indikator pp merupakan
asam lemah yang tidak berwarna. Pada larutan asam atau netral, indikator PP
tidak berwarna sedangkan saat bercampur dengan zat yang bersifat basa
seperti NaOH maka akan mengubah warna larutan menjadi merah jambu.
Dalam hal ini penambahan ion hidroksida menghilangkan ion hydrogen dari
kesetimbangan yang mengarah ke kanan sehingga mengubah indikator
menjadi merah jambu (Cahyadi, 2013). Lalu dititrasi menggunakan NaOH
0,1 M hingga muncul warna merah jambu. Dimana NaOH merupakan larutan
basa yang digunakan pada proses akhir pengujian titrasi netralisasi asam
lemak bebas. NaOH 0,1 N yang diteteskan pada larutan minyak dapat
membentuk warna merah jambu setelah ditambahkannya indicator pp dengan
hasil akhir yang diperlukan bewarna merah jambu. Menurut Chang dkk
(2012) penambahan NaOH pada proses titrasi berfungsi untuk mengukur
beberapa besar asam lemak yang bebas dari minyak karena NaOH mampu
menghidrolisis minyak menjadi gliserol dan asam lemak yang menyatakan
bahawa Titrasi dilakukan menggunakan NaOH 0,1 M sampai terbentuk warna
merah jambu yang tidak hilang dalam 30 detik. Penggunaan NaOH berfungsi
untuk mengukur beberapa besar asam lemak yang bebas dari minyak. Basa
NaOH mampu menghidrolisis minyak (trigliserida) menjadi dan asam lemak
dan produk samping gliserol.
Pada percobaan kali ini setelah melalui 15 menit pemanasan didapati
pada minyak goreng baru terjadi penguraian asam lemak sebesar 0,10%.
Sedangkan pada minyak goreng berkas terjadi penguraian asam lemak
sebesar 4,12%. Berdasarkan peraturan pemerintah dalam SNI 7702:2012
mengenai mutu minyak goreng sawit, persyaratan minyak goreng yang boleh
diedarkan ialah memiliki kadar maksimal bilangan peroksida 10 meqO2/kg
dan kadar maksimal asam lemak bebas sebesar 0,3%. Dari perhitungan kadar
asam lemak ini maka dapat disimpulkan bahwa minyak goreng baru memiliki
kualitas yang tinggi, hal ini ditunjukkan pada rendahnya kadar asam lemak
bebas. Namun pada minyak goreng bekas memiliki kualitas yang lebih rendah
daripada minyak goreng baru, hal ini ditunjukkan pada tingginya nilai kadar
asam lemak bebas. Semakin rendah nilai asam lemak bebas maka semakin
baik/ semakin tinggi kualitas minyak goreng. Sebaliknya, semakin tinggi nilai
asam lemak bebas maka semakin banyak minyak yang terhidrolisis dan
teroksidasi maka semakin tinggi nilai angka peroksida yang menunjukkan
semakin rendahnya kualitas minyak goreng.
VIII. Kesimpulan
Pada praktikum penetapan kadar asam lemak diperoleh kadar asam
lemak pada minyak goreng baru dengan pemanasan selama 15 menit yaitu
dan pada minyak goreng bekas dengan pemanasan selama 15 menit
yaitu . Dimana pada minyak goreng bekas mengandung kadar asam
lemak yang tinggi. Maka dari itu minyak goreng baru kualitasnya lebih baik
daripada minyak goreng bekas.
DAFTAR PUSTAKA
Andari, S. (2013). Perbandingan Penetapan Kadar Ketoprofen Tablet Secara
Alkalimetri dengan Spektrofotometri-UV. Jurnal Eduhealth. 3(2): 114-
119.
Badan Standarisasi Nasional. (2012). SNI 7702:2012 Syarat Mutu Minyak
Goreng. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Cahyadi, W. (2013). Kedelai Khasiat dan Teknologi. Jakarta: Bumi Aksara.
Chang, H., Kao, M.J., Chen, T.L., Chen, C.H., Cho, K.C., and Lai, X.R. (2013).
Characterization of natural dye extracted from wormwood and purple
cabbage for dye-sensitized solar cells, Int. J. Photoenergy: 1-8
Hajar, E. dan Mufidah, S. (2016). Penurunan Asam Lemak Bebas Pada Minyak
Goreng Bekas . Jurnal Integrasi Proses Vol. 6, No. 1 (Juni 2016) 22 – 27.
Hardinsyah, Supariasa. (2014). Buku Ilmu Gizi Teori dan Aplikasi. Penerbit buku
kedokteran. Jakarta.
Ketaren, S. (2018). Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Ketaren, S. (2012). Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-
Press.
Marzuki, H. & R. T. Astuti. (2017). Analisis Titrasi Asam Basa, Jurnal
Pendidikan Kimia, 1(1).
Muchtadi, T.R., & Sugiyono. (2013). Prinsip Proses Dan Teknologi Pangan.
Bandung: Alfabeta.
Rohman, A., Martono, S., Sudjadi, & Mursyidi. (2020). Analisis Obat Secara
Volumetri. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Simanjuntak, R. (2018). Penetapan Kadar Asam Lemak Bebas Pada Sabun Mandi
Cair Merek LX dengan Metode Titrasi Asidimetri. Jurnal Ilmiah Kohesi.
2(4): 59-70.
Sopianti, D.S., & Saputra, H.T. (2017). Penetapan kadar asam lemak bebas pada
minyak goreng. J Katalisator: 100-105.
Winarno, FG. (2012). Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.
Wildan, Farihan. (2012). Penentuan Bilangan Peroksida dalam Minyak Nabati
dengan Cara Titrasi. Balai Penelitian Ternak-Ciawi. P. O. Box 221:
Bogor. Hal 63-69.
Yustinah, Hartini. (2011). Adsorbsi Minyak Goreng Bekas. Jurusan Teknik
Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai