TINJAUAN PUSTAKA
Warna coklat kekuning- Hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam lemak
kuningan bebas dan gliserol.
Berbau tengik Proses oksidasi berlangsung bila terjadi kontak
antara sejumlah oksigen dengan minyak.
Terdapat endapan Proses hidrogenasi bertujuan untuk menumbuhkan
ikatan rangkap dari rantai karbon asam lemak pada
minyak.
Titik didih minyak jelantah adalah 375oC, sehingga untuk merubah fasanya
menjadi uap, diperlukan temperatur yang lebih tinggi dari titik didihnya. Titik nyala
minyak jelantah terjadi pada suhu 240-300oC, densitasnya sebesar 0.898 Kg/L,
visikositasnya sebesar 7 s.d 30 Pa.s dan nilai kalor sebesar 9197.29 cal/gr (Fassenden,
1986).
Minyak goreng sangat mudah untuk mengalami oksidasi (Ketaren, 2005).
Maka, minyak goreng berulang kali atau yang disebut minyak jelantah telah mengalami
penguraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun drastis, dan bila disimpan
dapat menyebabkan minyak menjadi berbau tengik. Bau tengik dapat terjadi karena
penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu menyebabkan pecahnya ikatan
trigliserida menjadi gliserol dan FFA (free fatty acid) atau asam lemak jenuh. Selain
itu, minyak goreng ini juga sangat disukai oleh jamur aflatoksin. Jamur ini dapat
menghasilkan racun aflatoksin yang dapat menyebabkan penyakit pada hati (Aprilio,
2010).
Penggunaan minyak berkali-kali dengan suhu penggorengan yang cukup tinggi
akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan
warna coklat serta flavour yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng.
Kerusakan minyak goreng yang berlangsung selama penggorengan akan menurunkan
nilai gizi dan mutu bahan yang digoreng. Namun jika minyak goreng bekas tersebut
dibuang selain tidak ekonomis juga akan mencemari lingkungan (Ketaren, 2005).
Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan pangan yang
digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi akan
menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak,
serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak.
Oksidasi minyak akan menghasilkan senyawa aldehida, keton, hidrokarbon, alkohol,
lakton serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan rasa getir.
Pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi karena reaksi
polimerisasi, adisi dari asam lemak tidak jenuh. Hal ini terbukti dengan terbentuknya
bahan menyerupai gum (gelembung) yang mengendap di dasar tempat penggoregan
(Ketaren, 2005).
Penggunaan minyak goreng jelantah secara berulang-ulang dapat
membahayakan kesehatan tubuh. Hal tersebut dikarenakan pada saat pemanasan akan
terjadi proses degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses tersebut
dapat membentuk radikal bebas dan senyawa toksik yang bersifat racun (Rukmini,
2007).
Sehubungan dengan banyaknya minyak jelantah dari sisa industri maupun
rumah tangga dalam jumlah tinggi dan menyadari adanya bahaya konsumsi minyak
goreng bekas, perlu dilakukan upaya-upaya untuk memanfaatkan minyak goreng bekas
tersebut agar tidak terbuang dan mencemari lingkungan. Pemanfaatan minyak jelantah
dapat dilakukan dengan memanfaatkan minyak jelantah sebagai untuk pembuatan
Biodiesel.
2.2 Biodiesel
Nama biodiesel telah disetujui oleh Department of Energi (DOE),
Environmental Protection Agency (EPA) dan American Society of Testing Material
(ASTM), biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang menjanjikan yang dapat
diperoleh dari minyak tumbuhan, lemak binatang atau minyak bekas melalui
esterifikasi dengan alkohol (Gerpen, 2004). Biodiesel dapat digunakan tanpa modifikasi
ulang mesin diesel. Biodiesel juga dapat ditulis dengan B100, yang menunjukkan
bahwa biodiesel tersebut murni 100 % monoalkil ester (Zuhdi, 2002). Karena bahan
bakunya berasal dari minyak tumbuhan atau lemak hewan, biodiesel digolongkan
sebagai bahan bakar yang dapat diperbarui. Pada dasarnya semua minyak nabati atau
lemak hewan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Banyak
penelitian yang telah dilakukan untuk mendapatkan bahan baku alternatif yang dapat
dikembangkan secara luas sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Biodiesel berasal
dari minyak sawit, minyak jarak, minyak kedelai, minyak jelantah (Zuhdi, 2002).
Rumus kimia trigliserida adalah CH2COOR-CHCOOR’-CH2COOR”, dimana
R, R’, dan R” masing-masin adalah sebuah rantai alkil yang panjang. Ketiga asam
lemak RCOOH, R’COOH dan R”COOH bisa jadi semuanya sama, semuanya berbeda
ataupun hanya dua diantaranya sama.
Sifat kimia Biodiesel diantaranya merupakan cairan berwarna kuning cerah
sampai kuning kecoklatan. Biodiesel tidak dapat campur dengan air, mempunyai titik
didih tinggi dan mepunyai tekanan uap yang rendah. Biodiesel terdiri dari senyawa
campuran methyl ester dari rantai panjang asam-asam lemak dari minyak tumbuh-
tumbuhan yang memiliki flash point 150 °C (300 °F), density 0,88 g/cm³, di bawah
densitas air. Biodiesel tidak memiliki senyawa toksik dan tidak mengandung sulfur.
Biodiesel, meskipun memancarkan emisi karbon yang secara signifikan lebih aman
dibandingkan dengan diesel konvensional, masih berkontribusi terhadap pemanasan
global dan perubahan iklim.