PENDAHULUAN
2.1. Penggorengan
Penggorengan adalah salah satu cara pemasakan produk pangan yang dilakukan secara cepat,
dan cara ini dianggap paling efisien proses transfer panasnya ke produk pangan yang dimasak. Pada
umumnya, penggorengan dilakukan dengan menggunakan minyak yang berfungsi sebagai media
penghantar panas, meratakan suhu, dan berperean sebagai pemberi rasa gurih, namun pada akhir-
akhir ini banyak timbul kewaspadaan terhadap produk hasil gorengan yang menggunakan minyak,
terutama minyak yang digunakan secara berulang (Jamaluddin, 2017). Menurut Muchtadi (2008)
dalam Manurung (2011), penggorengan adalah suatu proses pemanasan bahan pangan
menggunakan medium minyak goreng sebagai pengantar panas. Pindah panas dalam proses
penggorengan merupakan pindah panas secara konduksi, yang terjadi di bagian dalam bahan dan
pindah panas secara konveksi yang banyak terjadi pada minyak dan dari minyak ke bahan. Pindah
massa dalam proses penggorengan ditandai dengan hilangnya sejumlah kandungan air bahan yang
terjadi karena menguapnya air dari bagian renyahan (Hallstrom, 1986 di Paramita, 1999 dalam
Manurung, 2011).
Proses penggorengan terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama disebut tahap pemanasan awal.
Pindah panas yang terjadi antara minyak dan bahan adalah konveksi dan belum ada penguapan dari
bahan. Tahap kedua terjadi dimana lapisan luar bahan pangan mulai mendidih. Pada tahap ini
penguapan air bahan mulai terjadi sehingga terbentuk renyahan. Tahap ketiga disebut falling rate,
ditandai dengan lebih banyak air keluar dari bahan pangan, suhu permukaan diatas 100°C,
temperatur lapisan inti mulai mencapai titik didih, lapisan renyahan terus terbentuk. Tahap keempat
disebut bubble end point, terjadi jika bahan pangan digoreng untuk waktu yang lama sehingga laju
penguapan air berkurang dan tidak ada gelembung terlihat di lapisan permukaan bahan (Manurung,
2011).
Perpindahan panas dan massa pada deep frying adalah dari minyak ke produk di permukaan
luarnya. Menurut Fellows (2000), perpindahan panas pada deep frying adalah kombinasi secara
konveksi antar minyak panas dan konduksi di dalam produk. Perpindahan panas tersebut
berlangsung secara cepat dengan reservoir panas dari volume minyak yang sangat banyak jika
dibandingkan dengan volume produk. Densitas dan jumlah minyak yang banyak mengakibatkan
kecepatan perpindahan panas pada deep frying lebih cepat daripada pemanasan dengan udara panas
atau uap sangat panas). Ketika produk dikelilingi dengan minyak, panas akan terdistribusi hampir
merata pada produknya. Hal ini akan susah terjadi jika menggunakan metode lain seperti pan frying
atau infrared heating (Sahin, 2009).
Pada penggorengan deep frying menggunakan cairan dengan titik didih yang tinggi seperti
minyak, lemak, parafin, yang initial temperaturenya diatur jauh lebih tinggi daripada titik didih air.
Hal ini menyebabkan penguapan air pada produk selama penggorengan. Suhu minyak sebagai
media penggoreng melebihi titik didih air sehingga air dalam bahan menguap. Semakin lama waktu
penggorengan dan semakin tinggi suhu minyak goreng yang digunakan, maka semakin banyak
minyak yang terserap. Hal ini disebabkan semakin banyak air yang teruapkan maka semakin besar
rongga/ruang kosong yang dapat terisi oleh minyak sebagai media penggoreng (Weiss, 1983 dalam
Ratnaningsih, 2007).
Panas dalam penggorengan terutama digunakan untuk menguapkan air. Air keluar dari produk
dalam bentuk gelembung uap melalui permukaan luar produk. Uap air saat penggorengan adalah
satu-satunya fase gas yang terdapat pada produk, sehingga penguapan air terjadi saat saturation
temperature (Tsat) dari air, dan kecepatan penguapan proporsional dengan perbedaan suhu oil bulk
dan Tsat. Jika suhu minyak diubah menjadi lebih rendah daripada suhu premukaan produk, maka
gelembung air akan hilang (Sahin, 2009). Hal ini karena pada suhu dibawah titik didih air, maka air
tidak menguap sehingga tidak ada gelembung yang terbentuk.
Gambar 3.1.2. Perpindahan panas dan massa pada shallow frying dan deep fat frying
Sumber: Fellow (2000)
Berdasarkan gambar 3.1.2., dapat dilihat bahwa pada deep frying, seluruh permukaan produk
terkena minyak sehingga perpindahan panas dan massa terjadi di seluruh permukaan produk.
Koefisien perpindahan panas deep frying adalah 250-300 W m-2 K-1 sebelum penguapan dimulai,
dan naik menjadi 800-1000 W m-2 K-1 karena gaya turbulen yang disebabkan oleh keluarnya steam
dari produk. Jika kecepatan penguapan terjadi sangat cepat, maka lapisan tipis dari air akan tetap
berada pada produk dan mengurangi koefisien pindah panas (Hallstrom, 1980 dalam Fellow, 2000).
Prinsip dari perpindahan massa dan panas pada deep frying adalah, suhu minyak
penggorengan dinaikkan sampai diatas titik didih air. Air akan menguap dalam bentuk gelembung,
dan membuat produk pangan berongga karena hilangnya air. Rongga yang terdapat pada produk
selanjutnya akan diisi dengan minyak. Perpindahan panas pertama kali adalah secara konduksi antar
alat, lalu disalurkan ke minyak dan secara konveksi antar minyak, sampai menyentuh produk, lalu
secara konduksi antar produk hingga mencapai titik tengah.
3.2. Continuous Deep Frying
1. Perpindahan panas secara konveksi terjadi pada minyak, sedangkan secara konduksi terjadi pada
produk.
2. Suhu minyak diatur sampai diatas titik didih air sehingga air menguap.
3. Minyak akan mengisi rongga pada produk.
4. Contoh alat deep frying adalah continuous deep fat frier.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, R. 2016. Perbedaan Teknik Penggorengan Terhadap Kadar Protein Terlarut Dan Daya
Terima Baon Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus), Publikasi Ilmiah, Fakultas Ilmu Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Jamaluddin, H. .Syam, dan Kadirman. 2017. Konduktivitas Panas dan Laju Pindah Panas Pasir Pada
Proses Penyangraian Kerupuk, Seminar Nasional Lembaga Penelitian UNM, 2(1).
Marunung, O. 2011. Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Hampa Terhadap Mutu Keripik Ikan
Lemuru (Sardinella longiceps), Skripsi S-1. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Primadian, K., M. Rachmawati, S. N. Irasanti. 2014. Hubungan Anatar Ajumlah Dan Jenis
Konsumsi Gorengan Dengan Indeks Massa Tubuh Pada Anggota TNI-AD Yang Merokok,
Pendidikan Dokter, 2.
Ratnaningsih, B. Rahardjo, dan Suhargo. 2007. Kajian Penguapan Air dan Penyerapan Minyak
Pada Penggorengan Ubi Jalar Dengan Metode Deep-Fat Frying, Agritech, 27(1).
Sahin, S. dan S. G. Sumnu. 2009. Advances in Deep-Fat Frying Of Foods. USA: CRC Press.
Sartika, R. A. D. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep Frying) Terhadap
Pembentukan Asam Lemak Trans, Makara Sains, 13(1).