BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Imun
Sistem Imun
Non-spesifik Spesifik
Gambar 2.2 Perbedaan Fungsi Sistem Imun Nonspesifik Dan Spesifik (Baratawidjaja et
al, 2009)
Tabel 2.1 Perbedaan sifat-sifat imun nonspesifik dan spesifik (Baratawidjaja et al,
2009)
Non Spesifik Spesifik
Resistensi Tidak berubah oleh infeksi Membaik oleh infeksi
berulang (memori)
Spesifitas
Umumnya efektif terhadap Spesifik untuk mikroba
semua mikroba. Spesifik yang sudah mesensitasi
untuk molekul dan pola sebelumnya.
molekuler berhubungan Sangat spesifik mampu
dengan patogen membedakan perbedaan
minor dalam struktur
molekul, detile struktur
mikroba atau monomikroba
dikenali dengan spesifitas
tinggi.
Sel yang penting
Fagosit, sel NK, Th, Tdth, Tc, Sel B
monosit/makrofag, neutrofil,
basofil, sel mast, eusinofil,
dan sel dendrik
Molekul yang penting
Lisozim, sitokinin,
5
Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik ini, kulit, selaput lendir,
silia saluran napas, batuk dan bersin akan mencegah masuknya berbagai
kuman patogen ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar
dan selaput lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan risiko
infeksi (Baratawidjaja et al, 2009).
2. Pertahanan Biokimia
3. Pertahanan Humoral
a. Komplemen
b. Interferon
Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi
makrofag yang diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang
mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus.
Jdi interferon merupakan pertahanan pertama pada invasi virus. IFN
mempunyai sifat antivirus dan dapat menginduksi sel-sel sekitar sel yang
terinfeksi virus menjadi resisten terhadap virus. Di samping itu, IFN juga
dapat mengaktifkan sel NK. Sel yang diinfeksi virus atau menjadi ganas
akan menunjukkan perubahan pada permukaannya yang akan dikenal dan
dihancurkan sel NK. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah
(Darwin, 2005), (Baratawidjaja, 2009).
c. C-Reactive Protein
CRP merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan
protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai
respons imunitas non-spesifik. CRP mengikat berbagai mikroorganisme
yang membentuk kompleks dam mengaktifkan komplemen jalur klasik.
Pengukuran CRP berguna untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP
dapat meningkat 100x atau lebih dan berperan pada imunitas non-spesifik
yang dengan bantuan Ca+ dapat mengikat berbagai molekul antara lain
fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur dan dapat
mengaktifkan komplemen (jalur klasik). CRP juga mengikat protein C dari
pneumokok dan berupa opsonin. Peningkatan sintesis CRP akan
meningkatkam viskositas plasma sehingga laju endap darah juga akan
meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukan infeksi yang
persisten (Darwin, 2005), (Baratawidjaja, 2009).
d. Sitokin
Sitokin adalah golongan protein/glikoprotein/polipeptida yang larut
dan diproduksi oleh sel limfosit dan sel-sel lain seperti makrofag,
eusinofil, sel mast dan sel endotel. Sitokin berfungsi sebagai sinyal
interseluler yang mengatur hampir semua proses biologis penting seperti
halnya aktivasi, pertumbuhan, poliferasi, diferensiasi, proses inflamasi
10
4. Pertahanan Seluler
a. Fagosit
dikenal sebagai sel penyaji atau APC. Monosit dan makrofag tersebut
Tabel 2.2 lama sel imun nonspesifik dalam darah (Baratawidjaja et al, 2009)
Darah Jaringan
Neutrofil 10 jam 1-2 hari
Eosinofil 2 hari 4-10 hari
Monosit / makrofag 1 hari 4-12 hari s/d bulan
b. Makrofag
Jumlah sel NK sekitar 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45%
dari limfosit dalam jaringan. Sel tersebut berfungsi dalam imunitas
nonspesifik terhadap virus dan sel tumor. Secara morfologis sel NK
merupakan limfosit dengan granul besar dengan glikoprotein spesifik
pada permukaanya seperti limfosit T. Ciri-cirinya yaitu memiliki banyak
sekali sitoplasma (limfosit T dan B hanya sedikit), granul sitoplasma
azurofilik, pseudopodia dan nukleus eksentris. Sel NK mensekresikan
sitokin seperti IFN- γ dan TNFα yang mengaktifkan makrofag dan
Dendritik berfungsi dalam imunitas non spesifik terhadap virus dan sel
tumor yang (Baratawidjaja et al, 2009).
Sel NK mengekspresikan suatu kelas khusus reseptor penghambar
pembunuh (killer inhibitory receptor, KIR) polimorfik yang mengikat
mengenal MHC-1 yang di ekspresikan semua sel sehat dan tidak oleh sel
yang terinfeksi virus dan kanker. Sel NK yang memiliki aktivasi dapat
merupakan pembunuh poten sel terinfeksi virus, jamur dan tumor secara
langsung tanpa bantuan komplemen. Sel NK memproduksi IFN-γ dan
TNF-α yang merupakan dua sitokin pro inflamasi dan dapat merangsang
pematangan sel dendritik yang merupakan sel kooerdinator imunitas
nonspsifik. Sel NK bekerja sama dengan imunitas spesifik (Baratawidjaja
et al, 2009), (Playfair dan Chain, 2009).
Sel NK diaktivasi oleh sitokin IL-15 dan IL-12. IL-12 adalah
penting untuk perkembangan dan pematangan dari sel NK dan IL-12
untuk meningkatkan fungsi pembunuh pada sel NK (Abbas et al. 2016).
Pertemuan antara hospes dengan benda asing menimbulkan respon
elemen fagosit ke daerah tempat benda asing tersebut masuk. Hal ini
dapat terjadi sebagai bagian dari respon inflamatoris (Baratawidjaja et al,
2009).
17
Sel Dendrik (SD) atau APC berasal dari sum-sum tulang atau
prekursor monosit dalam darah atau dari monosit sendiri. SD berfungsi
sebagai APC yang berperan pada awal pengenalan protein asing, dapat
mempresentasikan antigen dan humoral yang mengaktifkan sel T naif,
Th, CTL, dan sel B (Darwin, 2005) (Baratawidjaja et al, 2009).
SD merupakan APC paling efektif karena terletak di tempat-tempat
makroba dan antigen asing masuk. SD ditemukan di kulit, limpa, tonsil,
epitel hampir semua organ, kelenjar limfoid sebagai sel interdigit, dan
sedikit didalam darah. SD yang merupakan APC profesional terpenting
mempresentasikan fragmen peptida dengan bantuan molekul konstimulator
B7 yang secara terus menerus diekspresikan dalam kadar tinggi dapat
mempresentasikan ke sel T. Konstimulator/koreseptor adalah protein
permukaan sel yang meningkatkan sensitivitas reseptor antigen melalui
ikatan dengan ligan yang sesuai dan memfasilitasi aktivitas sinyal. APC
mempresentasikan peptida ke sel T CD4+ melalui MHC-II atau ke sel T
18
CD8+ melalui MHC-I, sehingga dapat mengaktifkan sel CD4 dan CD8
secara langsung (Baratawidjaja et al, 2009).
Sebanyak 20% dari semua leukosit dalam sirkulasi darah orang dewasa
adalah limfosit yang terdiri atas sel T dan sel B yang merupakan kunci
pengontrol sistem imun. Sel-sel tersebut dapat mengenal benda asing dan dapat
membedakannya dari sel jaringan sendiri. Dalam rubuh ada sekitar 1012 triliyun
limposit yang disirkulasi terus menerus dalam darah dan limfe, dapat
bermigrasi kerongga jaringan dan organ limfoid serta merupakan perantara
berbagai macam sistem imun. Sel limfosit merupakan sel yang berperan utama
dalam sistem imun spesifik, sel T pada imunitas seluler, dan sel B pada
imunitas humoral (Baratawidjaja et al, 2009).
Sel B dan sel T yang matang mengekspresikan reseptor (BCR dan TCR)
pada permukaan sel yang berperan dalam diversitasm spesifisitas, dan memori.
Sel B menggunakan antibodi sengaai reseptor sel yang dapat mengenal antigen
bebas, sedangkan TCR hanya dapat mengenal antigen yang diikat molekul
MHC. Ada 2 jenis MHC yaitu MHC-I yang diekspresikan hampir semua sel
yang bernukleus dan MHC-II yang diekspresikan APC (Baratawidjaja, Karnen
Garna & Rengganis, 2009).
22
1. SEL B
a. Imunoglobulin A (IgA)
b. Imunoglobulin D (IgD)
dengan IgM, IgD terikat membran dikaitkan dengan CD79a dan CD79b
untuk pensinyalan. IgD diekspresikan pada membran sel B saat
meninggalkan sumsum tulang dan mengisi organ limfoid sekunder.
Sebagian besar sel IgD + B juga mengekspresikan IgM dan keduanya
berpartisipasi dalam pensinyalan sel B receptor melalui CD79a dan CD79b.
IgD dapat menggantikan IgM dan sebaliknya pada sel IgD + IgM + B. Telah
diusulkan bahwa membran terikat IgD mengatur nasib sel B pada tahap
perkembangan spesifik melalui perubahan status aktivasi (Schroeder et al.
2010).
c. Imunoglobulin E (IgE)
Kosentrasi Ig E dalam serum rendah, ttapi level ini akan naik cepat
pada kondisi infeksi akibat parasit, jamur, mikroba dan virus maupun
kondisi alergi seperti atopik dan dermatitis. Fungsi imunoglobulin ini
berhubungan dengan penyakit alergi (Darwin, 2005).
d. Imunoglobulin G (IgG)
e. Imunoglobulin M (IgM)
IgM banyak diproduksi semasa janin. igM dibentuk pertama kali pada
respon imun dibanding Ig G sehingga Ig M tinggi dalam darah umbilikus
merupakan petunjuk adanya infeksi dini (Darwin, 2005). Antibodi IgM
dikaitkan dengan respon imun primer dan sering digunakan untuk
mendiagnosis paparan akut terhadap imunogen atau patogen. Mengingat
bahwa IgM diekspresikan pada awal perkembangan sel B, rantai berat μ
dengan VH dan VL yang tidak mengalami banyak mutasi somatik sebagai
respons terhadap antigen. Akibatnya, antibodi IgM cenderung lebih polim-
reaktif daripada isotip lainnya, yang memungkinkan sel B IgM untuk
merespons dengan cepat berbagai antigen. Antibodi IgM yang relatif rendah
afinitas ini juga disebut antibodi alami. Beberapa antibodi alami ini tidak
hanya berperan sebagai garis pertahanan pertama, tapi juga berperan dalam
imunisasi. Antibodi alami dapat bereaksi dengan autoantigen, namun jarang
bertanggung jawab atas penyakit autoimun atau patogenesis. Autoantibodi
patogen cenderung diambil dari populasi IgG afinitas yang bermutasi secara
alami (Schroeder et al. 2010).
Sel B dapat diaktifkan sel T melalui dua cara yaitu T dependen dan T
independen (Baratawidjaja et al, 2009):
bagian luar membran bakteri negatif-Gram dan asam nukleat bakteri yang
lebih merangsang sel B memalui TLR dibanding BCR. Antigen tipe II
adalah polisakarida kapsul yang mempunyai subunit multipel berulang dan
merangsang sel B melalui ikatan silang dengan beberapa BCR
(Baratawidjaja et al, 2009).
Gambar 2.13 Respon Sel B Terhadap Antigen Yang T Dependen dan Independen
30
2. SEL T
1. Sel T naif
Sel Th disebut juga sel T inducer yang merupakan sub sel T yang
diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen yang
ditangkap, diproses, dan dipresentasikan makrofag dalam konteks MHC-II
ke sel Th (CD4). Sel Th (CD4) diaktifkan dan mengekspresikan IL-2R
disamping memproduksi IL-2 yang autokrin dan merangsang sel CD4 untuk
berproliferasi. Sel CD4 yang berproliferasi dan berdiferensiasi berkembang
menjadi subset sel Th1,Th2, Th17, Treg (sel T regulator) yang disekresi
oleh sitokin yang berbeda, yang mengaktifkan fungsi sel imun lain seperti
CD8, sel B, makrofag dan sel NK. Sel CD4 naif yang diaktifkan dan
berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori yang dapat menetap di
organ limfoid (Baratawidjaja at al, 2009) .
Subset CD4 yang berperan penting dalam fungsi respons imun dan
efektor sel. Setiap subset Th mensekresi sitokin spesifik yang dapat
memiliki fungsi pro-atau anti-inflamasi, dalam respon imun untuk
mempertahankan kelangsungan hidup, sebagai contoh Semua subset CD4 +
Th dibedakan dari Th-2 oleh IL-4, Treg oleh IL-10 dan TGF-β
(Golubovskaya and Wu, 2016).
a. Th 1
Gambar 2.15 Funtion of Th1 cell. Th1 cell produce the cytokin interferon-γ, which
activates macrophages to kill phagocytosed microbe (classical, pathway of macrophage
activation). In some species, interferon-γ stimulates the production of IgG antobodies, but
folicullar helper T cell may be the source of interferon-γ in this case, and a role of Th1
cytokines in isotype switching to IgG has not been estabished in humans (Abbas et al,
2016).
b. Th 2
Atas pengaruh sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang dilepas sel
mast, sel jaringan dan sel T yang terpajan dengan antigen, Th0 (naive)
berkembang menjadi sel Th2 yang merangsang sel B untuk
meningkatkan produksi antibodi. Kebanyakan sel Th adalah CD4 yang
mengenal kompleks antigen MHC-II yang dipresentasikan oleh APC
(Baratawidjaja et al, 2009) (Abbas et al, 2016)
33
Gambar 2.16 Funtion of Th2 cell. Th2 cell produce the cytokines IL-4, IL-5, and IL-13
act on B cells to stimulate production mainly of IgE antibodies, which bind to mast cell.
Help for antibody production may be provided by Tfh cells that produce Th2 cytokines
and risede in lymphoid organs, and not by classical Th2. IL-5 activates eosinophils, a
response that is important in the destruction of helminthes (Abbas et al, 2016).
c. Th17
Gambar 2.17 Funtion of Th17 cell. Th17 cells produce the cytokines IL-17, which induce
production of chemokines and other cytokines from various cell, and these recruit
neutrophils (and monocytes, not shown) into the site if inflammation. Some of the
cytokines made by Th17 cell. Notably IL-22, funtion to maintain ephitelial barrier funtion
in the intestinal tract and other tissue (Abbas et al, 2016).
35
Gambar 2.18 Development of Th1, Th2, and Th17 effector cell. Dendritic cell and other
immune cell that respond to different types of microbes secrete cytokines that induce the
development of antigen-activated CD4 T cells into Th1 (A), Th2 (B), and Th17 (C)
subset. The transcription factor that are involved in T cell diffrentiation are indicated in
boxed in the antigen-activeted T cell (Abbas et al, 2016).
a. Kontak antar sel meliputi interaksi antara TCR dengan peptida MHC I.
b. Sel Tc berikatan dengan sel sasaran
c. Substansi-substansi yang merupakan isi granul atau vesikel dilepaskan
sehingga menyebabkan kerusakan sel sasaran
d. Kematian sel secara terprogram / apoptosis.
4. Sel NKT
Sel NKT terdiri dari sel NK dan sel T, yang memiliki TCR yang
tidak seperti kebanyakan sel T. TCR pada sel NKT berinteraksi dengan
molekul serupa MHC yang disebut CD1 (bukan MHC-I/MHC-II). Sel
NKT yang diaktifkan dapat dengan cepat melepaskan sejumlah besar
sitokin yang diperlukan untuk membantu produksi antibodi, inflamasi, dan
ekspansi sel Tc. Sel NKT berfungsi menekan atau mengaktifkan respon
imun spesifik atau non spesifik. Sel NKT sering ditandai dengan
pengenalan glycolipid, galaktosilceramida (a-GalCer) prototipikal, agen
yang diturunkan dari laut, yang juga berpotensi mengaktifkannya dan
memiliki aktivitas anti-tumor yang kuat. (Baratawidjaja et al, 2009).
5. Memori sel T
terpapar kembali dengan antigen yang sama, maka sel Tc memori akan cepat
berikatan dengan antigen untuk melakukan aktivasi. Sel Tc yang sudah aktivasi
akan membunuh sel sasaran melalui kontak langsung. Interkaksi antara sel Tc
dengan sel sasaran terjadi melalui molekul leucocyte fungtion antigen (LFA-I)
dengan molekul adhesi sel sasaran. Proses pembunuhan sel sasaran oleh sel Tc
terjadi dalam beberapa fase (Darwin, 2005):
1. Kontak antar sel meliputi interaksi antara TCR dengan peptida MHC-I
2. Sel Tc berikatan dengan sel sasaran, terjadi melalui molekul leucocyte
fungtion antigen (LFA-I) dengan molekul adhesi sel sasaran.
3. Substansu-substansi yang merupakan isi granul /vesikel (TNF, perforin,
limfotoksin) yang dilepaskan dapat menyebabkan kerusakan sel sasaran,
sehingga aktivitas ini seolah-olah merupakan proses bunuh diri dari sel
sasaran.
4. Kematian sel sasaran tanpa merusak sel disekitarnya.
Gambar 2.21. Stimulasi yang terbentuk dari respon imun non-spesifik kepada
respon imun spesifik (Abbas et al, 2016).
41
BAB III
KESIMPULAN
Sistem imun merupakan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam
resistensi terhadap infeksi yang masuk kedalam tubuh. Sistem imun berdasarkan
fungsinya terdiri dari 2 tipe, yaitu respon imun alamiah atau non-spesifik (innate
immunity) dan respon imun adaptif atau spesifik (acquired immunity). Sistem
imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan karena dapat
memberikan respon langsung terhadap antigen. Sebagai elemen pertama dari
sistem imun, respon imun non-spesifik diaktifkan lebih cepat dari pada respon
imun spesifik namun dengan durasi yang lebih singkat.
Sel limfosit merupakan sel yang berperan utama dalam sistem imun
spesifik, sel T pada imunitas seluler, dan sel B pada imunitas humoral. Sistem
imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem seluler. Pada imunitas
humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba pada
ekstraselular. Imunitas seluler, sel T mengaktifkan makrofag sebagai sel
efektor untuk menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel Tc sebagai
efektor yang menghancurkan sel terinfeksi didalam sel (intrasel). Sel B dan sel T
yang teraktivasi akan mempunyai memori masing-masing sel. Jika suatu saat
mikroorganisme yang dibunuh menginfeksi tubuh, maka memori sel B dan T akan
lebih cepat merespon sel terinfeksi dari sebelumnya (Baratawidjaja et al, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Abbas et al. 2016. Basic immunology Function and Disorder of the Immune
System. Fifth edition. Canada: Elsevier.
Anonim. Sitokin. Yogyakarta: e-Lisa UGM. Diakses http:// elisa.ugm.ac.id /user
/archive/download/24233/822e78ed3fb7f3 22 September 2017
Anonim. Imunitas Humoral dan Seluler. Yogyakarta: e-Lisa UGM. Diakses
http://elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/24234/8c9a5cdaa848b3662aa20
cd13c141a76. 16 September 2017
Baratawidjaja & Rengganis. 2009. Imunologi dasar. Edisi ke-8. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
Darmono. 2006. Farmakologi Dan Toksikologi Sistem Kekebalan: Pengaruh
Penyebab Dan Akibatnya Pada Kekebalan Tubuh. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Darwin. 2005. Imunologi dan infeksi. Padang: Andalas University Press.
Golubovskaya and Wu. 2016. Different subsets of T cells, memory, effector
functions, and CAR-T immunotherap. USA: Rieview Cancers. Diakses
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26999211 4 Desember 2017
Gunawan, Josephine . 2013. Pengaruh Pemberian Gabungan Ekstrak Phaleria
macrocarpa dan Phyllanthus niruri Terhadap Persentase Limfoblas Limpa
Pada Mencit BALB/C. Semarang. Diakses http://eprints.undip.ac.id
/43998/1/Josephine_Rahma_G2A009055_Bab0KTI.pdf 20 Oktober 2017
Lima. 2006. Role of Regulatory T Cells in the Development of Skin Diseases.
Review Articel Diakses www.scielo.br/pdf/abd/v81n3/en_v81n03a10.pdf
6 Desember 2017
Moncrieffe. 2006. Regulatory T Cells . UK : University Collage London. Diakses
https://www.immunology.org/public-information/bitesized immunology/cells
/regulatory-t-cells-tregs6 Desember 2017
Playfair dan Chain. 2009. At a glance. Terjemahan Edisi ke-9. Jakarta: Penertbit
Erlangga.
44
ReRegulatory T Cells
Halima Moncrieffe, University College London,
UK Regulatory T Cells
Halima Moncrieffe, University College London,