Pembimbing :
Disusun Oleh :
Kelompok 2
1. Dina Fiktrotul M.
2. Dwi Andriyani
3. Dyahayu Shinta K.M
4. Efi Khori’ah
5. Efif Lula Fidayanti
6. Eka Puspa Marlena
7. Etiek Nafisah
8. Fenny Cahaya
9. Fikrotus Shofah
1. Latar Belakang
Hospitalisasi selama kanak-kanak adalah pengalaman yang memiliki efek
yang lama, kira-kira satu dari tiga anak pernah mengalami hospitalisasi (Foster and
Humsberger, 1998). Hospitalisasi menjadi stresor terbesar bagi anak dan keluarganya
yang menimbulkan ketidaknyamanan, jika koping yang biasa digunakan tidak mampu
mengatasi atau mengedalikan akan berkembang menjadi krisis. Tetapi besarnya efek
tergantung pada masing-masing anak dalam mempersepsikannya.
Hospitalisasi adalah kebutuhan klien untuk dirawat karena adanya perubahan
atau gangguan fisik, psikis, sosial dan adaptasi terhadap lingkungan. Hospitalisasi
terjadi apabila dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak mengalami suatu
gangguan fisik maupun mentalnya yang memungkinkan anak untuk mendapatkan
perawatan di rumah sakit.
Hospitalisasi dapat merupakan satu penyebab stres bagi anak dan keluarganya.
Tetapi tingkat stresor terhadap panyakit dan hospitalisasi tersebut berbeda menurut
anak secara individu. Mungkin seorang anak menganggap hal itu sebagai hal yang
biasa tetapi mungkin yang lainnya menganggap hal tersebut sebagai suatu stresor.
Upaya yang dilakukan adalah meminimalkan stress sebagai pengaruh negatif dari
hospitalisasi yaitu melakukan kegiatan “Terapi Bermain”. Bermain dipercaya mampu
menurunkan stress pada anak akibat lingkungan yang baru dan tindakan invasif
selama proses perawatan di rumah sakit.
Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas
bermain selalu dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjuk kepada kegiatan
bermain. Bermain dan anak sangat erat kaitannya hubungannya. Menurut Catron dan
Allen dalam bukunya Early Childhood Curriculum A Creative-Play Model (1999)
mengatakan bahwa bermain merupakan wahana yang memungkinkan anak-anak
berkembang optimal. Bermain secara langsung mempengaruhi seluruh wilayah dan
aspek perkembangan anak. Kegiatan bermain memungkinkan anak belajar tentang diri
mereka sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Dalam kegiatan bermain, anak bebas
untuk berimajinasi, bereksplorasi, dan menciptakan sesuatu.
Mewarnai gambar merupakan terapi permainan yang kreatif untuk mengurangi
stress dan kecemasan serta meningkatkan komunikasi pada anak. Menggambar atau
mewarnai bila sebagai suatu permainan yang “nondirective” memberikan kesempatan
anak untuk bebas berekspresi dan sangat “theurapeutic”(sebagai permainan
penyembuh/ “theurapeutic play”) (Whaley, 1991). Mengekpresikan perasaan dengan
menggambar/ mewarnai gambar, berarti memberikan pada anak suatu cara untuk
berkomunikasi, tanpa menggunakan kata (Veltman, 2000).
Salah satu manfaat bermain bagi anak adalah untuk meningkatkan daya
kreativitas dan membebaskan anak dari stres. Kreativitas anak akan berkembang
melalui permainan. Ide-ide yang orisinil akan keluar dari pikiran mereka. Bermain
juga dapat membantu anak untuk lepas dari stres kehidupan sehari-hari. Stres pada
anak dapat disebabkan oleh rutinitas harian selama hospitalisasi yang membosankan.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan kegiatan
terapi aktifitas bermain tentang bermain mewarnai terhadap anak usia pra sekolah di
Desa …………………………..
2. Tujuan
3. Pokok Materi
(Terlampir)
a. Metode :
b. Media :
crayon
kertas bergambar
Jam / pengukur waktu
c. Pengorganisasian:
1. Pembawa materi: mahasiswa STIKES Muhammadiyah Kudus
2. Kegiatan penyuluhan :
No. Media
Tahap Waktu Kegiatan
1. Pembukaan
P 5 menit 1. Mengucapkan salam Lisan
e 2. Memperkenalkan dir
m
3. Menjelaskan tujuan dan peraturan kegiatan
b
u 4. Menjelaskan media yang akan dijadikan
k media permainan
a
a
n
2. Pelaksanaa
K 20 menit 1. Mengumpulkan klien yang telah diseleksi
ne 2. Meminta kepada setiap anak Lisan
untuk
g dan
menyebutkan namanya masing-masing dan
i buku
a bersalaman dengan semua peserta yang lain bergamb
t 3. Menjelaskan kembali tentang permainan ar
a
n beserta alat-alatnya
4. Meminta anak-anak untuk bersiap-siap
i
memulai mengambil kertas bergambar dan
n
t mewarnai dengan kreasi masing-masing
i
3. Penutup
E 5 menit 1. Memberikan kesimpulan permainan
v 2. Mengucapkan salam penutup Lisan
a
l
u
a
s
i
6. Setting Tempat
A : penyaji A
B :peserta penyuluhan
B
8. Kriteria Evaluasi
a. Evaluasi Struktur
1. Proposal pendidikan kesehatan yang berisi satuan acara penyuluhan kelas siap
sebelum kegiatan dimulai.
2. Kontrak waktu, tempat dan topic dengan keluarga, pasien/keluarga.
3. Tempat dan media telah siap sebelum kegiatan dimulai
4. Penyaji materi telah siap member penyuluhan atau pendidikan kesehatan.
5. Waktu dan tempat sesuai dengan yang telah ditentukan.
6. Menyiapkan pertanyaan
b. Evaluasi Proses
1. Penyuluh berperan sesuai dengan perannya.
2. Kegiatan berlangsung sesuai dengan jadwal dan waktu yang telah ditentukan .
3. Adanya tanya jawab dan feedback
4. Media dapat digunakan secara efektif
5. Penyuluh mampu melakukan evaluasi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
c. Evaluasi Hasil
Yang dievaluasi dalam kegiatan ini adalah:
Persiapan
Kesiapan alat-alat permainan dan ruangan untuk bermain
Kesiapan peserta dalam mengikuti permainan
Ketepatan waktu
Proses.
Kemampuan leader memimpin permainan
Kemampuan fasilitator dalam memfasilitasi anak
Respon anak selama bermain (kontak mata, kehadiran penuh, antusiasme
anak selama bermain)
Hasil
Kesan –kesananak setelah melakukan terapi bermain
RESPON PESERTA :
1.
2.
3.
4.
5.
LAMPIRAN MATERI
A. PENGERTIAN
Bermain adalah salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan salah satu alat
paling efektif untuk mengatasi stres anak. Karena hospitalisasi menimbulkan krisis
dalam kehidupan anak, dan sering disertai stres berlebihan, maka anak-anak perlu
bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka alami sebagai alat
koping dalam menghadapi stres (Wong, et al, 2008).
C. PRINSIP BERMAIN
Menurut Supartini (2004), terapi bermain yang dilaksanakan di rumah sakit
tetap harus memperhatikan kondisi kesehatan anak. Ada beberapa prinsip permainan
pada anak di rumah sakit.
a. Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalankan anak.
Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan yang dapat dilakukan di
tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak bermain dengan kelompoknya di tempat
bermain khusus yang ada di ruang rawat.
b. Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan sederhana. Pilih jenis
permainan yang tidak melelahkan anak, menggunakan alat permainan yang ada pada
anak atau yang tersedia di ruangan (Supartini, 2004).
c. Permainan harus memperhatikan keamanan dan kenyamanan. Anak kecil perlu rasa
nyaman dan yakin terhadap benda-benda yang dikenalnya, seperti boneka yang
dipeluk anak untuk memberi rasa nyaman dan dibawa ke tempat tidur di malam hari
(Wong, et al, 2008).
D. TEKNIK BERMAIN
Menurut Whaley & Wong (2004), tehnik bermain untuk anak yang dirawat di
rumah sakit adalah menyediakan alat mainan yang merangsang anak bermain dan
memberikan waktu yang cukup pada anak untuk bermain dan menghindari interupsi
dengan apa yang dilakukan anak.
Peningkatan pengendalian anak yang meliputi mempertahankan kemandirian,
dan konsep perawatan diri dapat menjadi salah satu hal yang menguntungkan.
Meskipun perawatan diri terbatas pada usia dan kondisi fisik anak, kebanyakan anak
di atas usia bayi dapat melakukan aktivitas dengan sedikit atau tanpa bantuan.
Pendekatan lain mencakup memilih pakaian dan makanan bersama-sama, menyusun
waktu dan melanjutkan aktivitas sekolah (Wong, et al, 2008).
Meningkatkan kebebasan bergerak juga diperlukan, karena anak-anak yang
lebih muda bereaksi paling kuat terhadap segala bentuk restriksi fisik atau imobilisasi.
Meskipun imobilisasi medis diperlukan untuk beberapa intervensi seperti
mempertahankan jalur iv, tetapi sebagian besar retriksi fisik dapat dicegah jika
perawat mendapatkan kerja sama dari anak (Wong, et al, 2008).
Pemberitahuan kepada anak hak-haknya pada saat di hospitalisasi
meningkatkan pemahaman yang lebih banyak dan dapat mengurangi perasaan tidak
berdaya yang biasanya mereka rasakan (Wong, et al, 2008).