Anda di halaman 1dari 32

Tugas Mata Kuliah Fisika Forensik

Analisa Blast Injury (Trauma Ledakan)


Akibat Bom Mengunakan CT- Scan
(Computed Tomography Scan)

DISUSUN OLEH
AHMAD KUSAIRI
0917146530007

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FORENSIK


SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Mempelajari Ilmu forensik mempunyai pengertian pengenalan lebih jauh terhadap


sebuah penerepan berbagi ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan yang
penting untuk sebuah sistem hukum yang berkaitan dengan tindak pidana. Ilmu
forensik umumnya lebih mengarah ke suatu motode-modote ilmiah atau keilmuan dan
juga aturan yang di bentuk dari fakta-fakta berbagai kejadian , untuk melakukan
pengenalan terhadap bukti-bukti fisik baik itu tindak kekerasan, pemeriksaan orang
hidup maupun meninggal.
Identifikasi dan deskripsi luka mungkin memiliki implikasi medikolegal yang
serius pada tahap berikutnya, dan sering setelah beberapa waktu yang cukup telah
berlalu sejak perlukaan tersebut berlaku.Oleh karena itu penting bahwa berbagai jenis
luka dapat diidentifikasi dan dijelaskan dengan benar, dengan deskripsi lengkap yang
dibuat dalam catatan yang diambil pada saat, atau segera setelah pemeriksaan (catatan
kontemporer). Luka adalah istilah yang diberikan untuk kerusakan jaringan yang
disebabkan oleh kekuatan mekanik (juga disebut cedera atau trauma). Ini termasuk
luka akibat tusukan, trauma tumpul (ditinju, ditendang, dipukul dll), cekik, gigit,
tembak, jatuh dari ketinggian, ditabrak oleh kendaraan, dan trauma ledakan dari bahan
peledak.
Luka ledakan bom terhadap warga sipil menjadi semakin umum selama dua dekade
terakhir terutama karena serangan teroris dan tidak hanya terbatas pada perang tetapi
juga menjadi pandemi dengan aksi terorisme yang semakin meningkat meskipun
insiden tersebut bersifat sporadis. Cedera ledakan adalah hasil dari trauma fisik yang
diderita dalam sebuah ledakan. Ledakan menyebabkan jenis cedera unik yang
membahayakan kehidupan yang melibatkan sistem multi organ terutama paru-paru &
sistem saraf pusat pada korban tunggal atau ganda secara bersamaan sehingga
menghasilkan korban massal.
Pada kasus seperti ini perlu kesigapan serta data penunjang yang cepat dan akurat
untuk bisa mengevalusi dampak ledakan yang mengenai tubuh demi keselamatan
nyawa dan tindakan darurat yang akan diambil. Keterkaitan pemeriksaan penunjang
yang efektif, memberikan gambaran yang paling sesuai untuk bisa mengevaluasi
dampak ledakan yang terjadi pada korban.
Salah satu teknologi yang diusulkan dan digunakan adalah penggunaan alat CT-
Scan (Computed tomography scanning). CT-Scan merupakan alat kedokteran yang
digunakan untuk menampilkan penampang tubuh yang dideteksi menggunakan Sinar-
X yang hasil pencitraannya diolah dalam sebuah komputer. Hasil gambar yang didapat
memungkinkan seorang ahli radiologi untuk melihat bagian dalam tubuh pasien tanpa
melakukan sayatan bedah. Organ yang sering dievaluasi menggunakan CT-Scan antara
lain otak, leher, tulang belakang, dada, perut, panggul, dan sinus. Penggunaan CT-
Scan makin lazim dalam dunia kedokteran saat ini.
Istilah yang muncul dalam penyelidikan dengan menggunakan teknologi
identifikasi korban meninggal adalah Post Mortem Computed Tomography (PMCT)
telah memberikan peran dalam proses penyelidikan suatu kematian tidak wajar. Juga
sudah diusulkan dalam penanganan kematian massal. PMCT dapat diaplikasikan pada
manusia, hewan dan material lingkungan. PMCT dapat digunakan sebagai
pemeriksaan tambahan, atau dalam beberapa kasus, sebagai pengganti autopsi.
Beberapa rekomendasi yang dapat menggunakan PMCT antara lain: 1)
Mengidentifikasi penyebab kematian, 2) DVI, 3) Mengidentifikasi material berbahaya
yang ada dalam tubuh dan 4) Membantu mengumpulkan bukti dalam prosedur
penegakan hukum (Morgan, et al., 2014).
Adanya teknologi ini sangat membantu bidang medis dan penyidik dalam
menganalisa dampak ledakan dan organ yang bisa terkena material yang ada pada bom
di tunjang Sifat pemeriksaan CT-Scan yang non-invasif, aman, dan dapat ditoleransi
dengan baik oleh tubuh sangatlah menguntungkan.
Teknologi CT-Scan juga semakin berkembang, generasi terbarunya yaitu MSCT-
Scan 128 Slice (Multi Slice Computed tomography scanning 128 Slice), mampu
menghasilkan gambar lebih rinci dari penampang tubuh manusia seperti kepala, dada,
perut, pembuluh darah dan sebagainya. MSCT-Scan 128 Slice merupakan peningkatan
kecepatan yang secara signifikan dari generasi terdahulu, sehingga penegakkan
diagnosis dapat lebih akurat.
Asas manfaat dan tersedianya layanan dibeberapa rumah sakit rujukan korban
ledakan memungkinkan pengunaan CT- Scan, oleh karena itu perlu dipelajari dan
diketahui prinsip kerja secara fisika dan pengaplikasian alat tersebut dalam dunia
forensik terutama pada kasus blast injury (Luka Ledakan).

1.2. Rumusan Masalah

a) Apa yang dimaksud dengan CT-Scan?

b) Bagaimana prinsip kerja secara fisika CT-Scan?

c) Bagaimana pengaplikasian penggunaan CT-Scan pada proses


pembuktian kasus blast injury akibat bom dalam dunia forensik ?

1.3. Tujuan

a) Mengetahui tentang CT-Scan

b) Mengetahui prinsip kerja secara fisik CT-Scan

c) Mengetahui pengaplikasian CT-Scan pada proses pembuktian kasus blast


injury akibat bom dalam dunia forensik.
1.4. Manfaat
Manfaat dari penulisan tugas ini adalah dapat memberikan informasi dan
pembelajaran tentang analisis Blast Injury (Trauma Ledakan ) akibat Bom
mengunakan pemeriksaan radiodiagnostik CT-Scan .
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Blast Injury

Berdasarkan salah satu organisasi kesehatan pusat kontrol penyakit (CDC), blast
injury atau trauma ledakan didefinisikan sebagai trauma yang disebabkan oleh
gelombang overpressure atau gelombang kejut yang mengakibatkan perbedaan
tekanan positif secara cepat. Ledakan ini dapat mengancam jiwa karena menyebabkan
kerusakan organ yang multipel terutama paru, sistem saraf pusat, dan organ yang rusak
akibat ledakan ini dapat hanya satu atau beberapa. Ledakan di ruang tertutup seperti
bangunan atau mobil serta ledakan yang menyebabkan struktur bangunan runtuh
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih besar (CDC, 2008)
Klasifikasi Blast Injury Menurut Burlian (2008) dalam buku bahan ledak dan
klasifikasi dampak ledakan, blast injury dapat dibagi dalam 4 kategori :
1. Cedera primer

Cedera primer disebabkan oleh gelombang ledakan overpressure, atau gelombang


kejut. Ini sangat mungkin ketika seseorang dekat dengan amunisi meledak, seperti
ranjau darat. Telinga yang paling sering dipengaruhi oleh overpressure. Cedera
dari overpressure ledakan adalah tekanan dan fungsi tergantung waktu. Dengan
meningkatkan tekanan atau durasi, tingkat keparahan cedera juga akan meningkat.
2. Cedera sekunder

Cedera sekunder adalah orang-orang yang terluka karena pecahan peluru oleh
objek dan didorong oleh ledakan. Cedera ini dapat mempengaruhi setiap bagian
dari tubuh dan kadang-kadang menyebabkan trauma tembus dengan pendarahan
terlihat.
3. Cedera tersier

Cedera tersier ini disebabkan kekuatan dinamis dari blast wind itu sendiri yang
mengakibatkan terlemparnya tubuh manusia yang kemudian menabrak dinding
atau benda stasioner lainnya. Cedera ini terutama terjadi pada pasien yang dekat
dengan sumber ledakan.
4. Cedera kuarter

Cedera kuarter yaitu semua luka lain yang tidak termasuk dalam tiga kelas
pertama.Ini termasuk luka bakar flash dan cedera yang menghancurkan
pernapasan.

2.2. Pengertian CT- Scan


CT-Scan (computed tomography scan) adalah proses penggunaan komputer
untuk memperoleh gambaran tiga-dimensional dari ribuan gambar sinar-X dua-
dimensional. CT-Scan dapat menghasilkan gambar-gambar yang sangat akurat dari
objek-objek di dalam tubuh seperti tulang, organ, dan pembuluh darah. Gambar-
gambar ini sangat berguna dalam mendiagnosa berbagai penyakit, seperti kanker,
penyakit jantung, stroke, kelainan organ reproduktif, dan kelainan gastrointestinal.
Citra yang dihasilkan CT-Scan jauh lebih detail dibanding citra yang diperoleh sinar-
X biasa (Corno & Festa, 2009).
Mesin CT Scan berbentuk pipa dengan tempat pasien berbaring di tengahnya.
Pemroses citra (scanner) sendiri terdapat dalam frame pipa tersebut. Saat mesin
bekerja, pipa pemroses citra itu berputar sambil menembakkan sinar rontgen ke arah
pasien dari berbagai sudut. Untuk setiap putaran, sekitar 1.000 gambar bagian dalam
pasien diambil. Gambar-gambar ini kemudian di-compile oleh komputer sehingga
menghasilkan gambar cross-sectional bagian dalam tubuh pasien yang dapat
digunakan dalam menganalisa dan mendiagnosa pasien.
Prinsip dasar CT scan mirip dengan perangkat radiografi yang sudah lebih
umum dikenal. Kedua perangkat ini sama-sama memanfaatkan intensitas radiasi
terusan setelah melewati suatu obyek untuk membentuk citra/gambar. Perbedaan
antara keduanya adalah pada teknik yang digunakan untuk memperoleh citra dan pada
citra yang dihasilkan. Tidak seperti citra yang dihasilkan dari teknik radiografi,
informasi citra yang ditampilkan oleh CT scan tidak overlap (tumpang tindih)
sehingga dapat memperoleh citra yang dapat diamati tidak hanya pada bidang tegak
lurus berkas sinar (seperti pada foto rontgen), citra CT scan dapat menampilkan
informasi tampang lintang obyek yang diinspeksi. Oleh karena itu, citra ini dapat
memberikan sebaran kerapatan struktur internal obyek sehingga citra yang dihasilkan
oleh CT scan lebih mudah dianalisis daripada citra yang dihasilkan oleh teknik
radiografi konvensional.
CT Scanner menggunakan penyinaran khusus yang dihubungkan dengan
komputer berdaya tinggi yang berfungsi memproses hasil scan untuk memperoleh
gambaran panampang-lintang dari badan. Pasien dibaringkan diatas suatu meja khusus
yang secara perlahan – lahan dipindahkan ke dalam cincin CT Scan. Scanner berputar
mengelilingi pasien pada saat pengambilan sinar rontgen. Waktu yang digunakan
sampai seluruh proses scanning ini selesai berkisar dari 45 menit sampai 1 jam,
tergantung pada jenis CT scan yang digunakan( waktu ini termasuk waktu check-in
nya).
Proses scanning ini tidak menimbulkan rasa sakit. Sebelum dilakukan scanning
pada pasien, pasien disarankan tidak makan atau meminum cairan tertentu selama 4
jam sebelum proses scanning. Bagaimanapun, tergantung pada jenis prosedur, adapula
prosedur scanning yang mengharuskan pasien untuk meminum suatu material cairan
kontras yang mana digunakan untuk melakukan proses scanning khususnya untuk
daerah perut.
CT Scan memiliki beberapa kelebihan dibanding x-ray biasa: citra yang
diperoleh CT Scan beresolusi lebih tinggi, sinar rontgen dalam CT Scan dapat
difokuskan pada satu organ atau objek saja, dan citra perolehan CT Scan menunjukkan
posisi suatu objek relatif terhadap objek-objek di sekitarnya sehingga dokter dapat
mengetahui posisi objek itu secara tepat dan akurat. Kelebihan-kelebihan tersebut
telah membuat CT Scan menjadi proses radiografis medis yang paling sering
direkomendasikan oleh dokter dan, dalam banyak kasus, telah menggantikan proses x-
ray biasa secara total (Bushong, 2012).
Gambar 2.2. Contoh alat CT-Scan (Bushong, 2012).
2.3. Sejarah CT-Scan

Awal perkembangan CT-Scan bermula dari tanggal 11 Agustus 1895, yaitu


dengan ditemukannya radiasi Sinar-X oleh seorang ahli fisika berkebangsaan Jerman
yang bernama Wilhem Conrad Rontgen (1845-1923) (Gambar 2.3.1). Gambar Sinar-
X tubuh manusia pertama yang pernah diambil dan paling terkenal yakni gambar
tangan istri Roentgen (Gambar 2.3.2).
Meskipun kekuatan Sinar-X bertumpu pada kemampuan mereka untuk menembus
bahan padat dan punya karakteristik redaman tergantung bahan yang dilewati, tidak
mungkin untuk memvisualisasikan struktur tertentu sepanjang jalur yang dilewati
tanpa mempertimbangkan pelemahan yang disebabkan oleh struktur lain sepanjang
jalur tersebut. Tumpang tindih ini diilustrasikan dalam hasil gambar Tangan Mrs.
Roentgen, di mana bayangan cincin kawin tumpang tindih dengan struktur tulang di
dalam cincin. Keinginan untuk menghapus dampak dari struktur tumpang tindih
tersebut menjadi awal perkembangan tomografi konvensional (Hendee, 2014).
Gambar 2.3.1 Wilhem C. Roentgen (Hendee, 2014).

Gambar 2.3.2 Hasil citra Sinar-X tangan istri Roentgen (Hendee, 2014).
Sinar-X adalah merupakan gelombang electromagnet yang mempunyai panjang
gelombang berkisar antara 10 nm – 100 pm (Gambar 2.2.3). Sinar-X mempunyai sifat-
sifat sebagai berikut (Kartawiguna, 2014):
1. Memiliki daya tembus yang besar.
2. Dapat diserap oleh materi (tergantung nomor atomnya).
3. Memiliki efek fotografi (dapat menghitamkan film).
4. Dapat menimbulkan efek fluorosensi (memendarkan fosfor).
5. Dapat dibelokkan / dihamburkan (difraksi Sinar-X) ·
Menimbulkan ionisasi.
Gambar 2.3.3 Spektrum elektromagnetik umumnya dibagi menjadi tujuh area, dalam
proses penurunan panjang gelombang dan peningkatan energi dan
frekuensi: gelombang radio, gelombang mikro, inframerah, cahaya
tampak, ultraviolet, sinar-X dan sinar gamma. (Lucas, 2015)

Oleh karena sinar-X memiliki daya tembus yang besar dan dapat menghitamkan
kertas atau plat foto maka sinar ini banyak diaplikasikan dalam teknik radiologi
konvensional. Sinar-X memungkinkan orang pertama kali untuk melihat struktur dari
tubuh manusia bagian dalam tanpa melakukan operasi / pembedahan. Namun Sinar-X
pada masa ini juga memiliki keterbatasan, yaitu, gambar yang dihasilkan merupakan
superimposisi (overlap) dari obyek yang diamati dan juga tidak dapat menggambarkan
jaringan lunak. Selain itu ada juga masalah lainnya yaitu, pada teknik radiografi
konvensional, jika dua buah obyek yang memiliki besar yang berbeda, dapat tampak
sama besar jika hanya dilhat dari satu sudut pandang saja. Dan masalah lainnya, jika
dua buah obyek yang berbeda ukuran dan terletak dalam satu garis lurus Sinar-X, maka
organ yang kecil tidak dapat terlihat, karena tertutup obyek yang lebih besar
(Kartawiguna, 2014). Solusi dari 2 masalah ini adalah dengan teknik pemeriksaan
tomografi. Gambar tomogram yang dihasilkan oleh peralatan sinar-X konvensional
diperoleh dengan tomografi bergerak. Tomogram adalah sebuah gambar dari bidang
atau irisan bagian tubuh.
Salah satu pelopor tomografi konvensional adalah E. M. Bocage (1922). Pada
awal tahun 1921, Bocage melakukan suatu teknik yang berusaha memisahkan
gambaran overlapping dari suatu organ yang diperiksa yang dinamakan Tomografi.
Komponen utama dari penemuannya mencakup tabung sinar-X, sebuah film sinar-X,
dan koneksi mekanik untuk memastikan gerakan sinkron dari tabung dan film
(Gambar 2.3.4). Teknik yang dikembangkan adalah dengan menggerakkan tabung
Sinar-X dan film dalam kaset secara bersamaan, dan menggunakan fulcrum sebagai
titik focus dari organ yang akan diperiksa. Organ yang ada di bagian atas dan bawah
obyek yang diperiksa akan tampak blur (samar) sedangkan objek yang diperiksa akan
tampak lebih jelas. Teknik Tomografi ini digunakan pertama kali pada tahun 1935.
Namun demikian teknik ini masih mempunyai beberapa kekurangan, yaitu hanya
area tertentu saja yang berada pada bidang focus yang dapat terlihat jelas, dan bidang-
bidang lainnya yang tidak berada pada bidang focus tidak dapat terlihat dengan jelas.
Sedangkan dunia ilmu pengetahuan terus berkembang dengan pesat. Ilmu kedokteran
modern membutuhkan gambaran yang mampu menampilkan organ dengan lebih jelas
tidak hanya pada organ yang diperiksa, melainkan juga organ lain disekitarnya
(Hendee, 2014).

Gambar 2.3.4 Ilustrasi prinsip tomografi konvensional. (a) Pada waktu tertentu, objek A
(terletak pada bidang fokus) dan objek B (terletak di atas bidang fokus)
menghasilkan bayangan A'dan B' masing-masing pada film. (b) Pada
waktu Sesaat kemudian, sumber kedua sinar-X dan film yang bergerak
dalam arah berlawanan dengan kecepatan tertentu sehingga bayangan A"
dipindahkan oleh objek A tumpang tindih dengan bayangan A'. Bayangan
B" dari benda B tidak tumpang tindih dengan B'.

Perkembangan aplikasi medis Sinar-X Computed Tomography pertama kali


dikembangkan pada tahun 1963 oleh Godfrey N. Hounsfield dan A. M.
Cormack (Gambar 2.3.5 a dan b) yang bekerja di Central Research Lab of EMI,
Ltd di Inggris menghasilkan Gambar klinis pertama dengan CT-Scan (Computed
tomography scan). Dan merupakan tanda awal dari dimulainya era baru
perkembangan diagnostic imaging.
Pada tahun 1974, enam puluh unit CT terpasang. Awalnya pemeriksaan yang
dilakukan hanya terbatas pada CT kepala saja. Dan pada tahun 1975 diperkenalkan
pertama kali sebuah Whole Body scanner (CT-Scan seluruh tubuh) yang digunakan
untuk penunjang klinis . Pada tahun 1979, Hounsfield dan Cormack dianugerahi
hadiah nobel.
Pada tahun 1989, W.A. Kalender dan P. Vock melakukan pemeriksaan klinis pertama
dengan menggunakan Spiral CT. Dan pada tahun 1998 mulailah diperkenalkan alat
Multi Slice CT (MSCT) dengan 4 slice. Pada tahun 2000 dikembangkan PET/CT
sistem, kemudian di tahun 2001 telah dikembangkan CTScan 16 slice. Pada tahun
2004 dikembangkan teknik CT-Scan 64 slice dan telah lebih dari 40000 instalasi CT
untuk aplikasi klinik (Hsieh, 2014). Tahun 2017 telah di kembangkan CT Scan 128
Slie, dengan beberapa Keunggulan CT Scan 128 Slice ini adalah :
1. Mampu menghasilkan kualitas gambar yang sangat baik dengan kontras yang
lebih tajam
2. Waktu pemeriksaan yang singkat
3. Dosis radiasi yang rendah jika dibandingkan dengan CT Scan konvensional yang
lain sehingga aman bagi pasien baik dewasa maupun anak-anak
4. Mampu memenuhi kebutuhan klinis bagi dokter dan pasien karena dapat diatur
dari skala 20 sampai 128 irisan sesuai kebutuhan
5. Mendukung pemeriksaan dengan berbagai posisi yang tidak bisa dilakukan
dengan CT Scan konvensional, hal ini ditunjang dengan gantry berdiameter 80 cm
yang cukup lega serta kekuatan meja pemeriksaannya mampu menahan berat
badan sampai 397 kg
6. Mempunyai teknologi terkini rekonstruksi gambar, sehingga dengan sekali
scanning dapat diolah menjadi berbagai posisi/planes bahkan dapat membuat
rekonstruksi gambar 3D tanpa perlu melakukan scanning ulang.

Gambar 2.3.5 Penemu CT Sinar-X pertama; Godfrey N. Hounsfield (a) dan Allan M.
Cormack (b).

Teknik pencitraan CT sama sekali berbeda dengan teknik pencitraan radiologi


biasa (konvensional). Computed Tomography atau CT adalah sebuah proses radiologi
untuk menghasilkan gambaran dari potongan melintang (transaxial) tubuh pasien.
Dua buah karakteristik baru yang ada pada gambar yang dihasilkan pada CT adalah
peralatan digital yang menghasilkan gambaran digital dan gambar irisan
mempresentasikan volume / informasi 3 Dimensi.
Namun pencitraan CT-Scan juga masih mengalami kendala terhadap organ –
organ yang mempunyai densitas hampir sama. Misalnya adalah kasus tumor pada
jaringan, dimana gambaran tumor sulit dibedakan dengan jaringan sekitarnya.
Demikian juga pencitraan sistem peredaran darah, sistem urinaria (saluran kencing),
dan masih banyak lagi kasus – kasus pemeriksaan CT-Scan yang sulit divisualisasikan
secara baik dengan pemeriksaan CT-Scan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka
mulailah dilakukan penelitian untuk memperoleh hasil pencitraan CT-Scan yang dapat
membedakan suatu organ yang diperiksa dengan organ lain disekitarnya dengan
menambahkan suatu zat yang dianggap mampu memvisualisasikan organ – organ yang
mempunyai densitas hampir sama. Zat tersebut dinamakan “Contrast Media” atau
Bahan Kontras (Kartawiguna, 2014).

2.4. Prinsip Kerja Secara Fisika CT-Scan

2.4.1. Teori Atenuasi


Pada prinsipnya, tomografi komputer mengukur distribusi spasial (ruang) suatu
kuantitas fisik yang akan diamati dari arah yang berbeda-beda dengan tujuan untuk
merekonstruksi gambar yang bebas dari superimposisi dari data tersebut. Kuantitas
fisik yang diukur adalah koefisien atenuasi (µ) dari obyek yang menyebabkan
pelemahan intensitas sinar-X oleh obyek yang ditembus oleh sinar-X tersebut.
Teori Atenuasi ini adalah prinsip dasar yang membedakan CT-Scan dengan
peralatan radiografi yang konvensional yang juga memanfaatkan radiasi sinar-X.
Berkas sinar-X yang menembus suatu obyek akan mengalami pelemahan (kehilangan
energi) yang diakibatkan oleh:
1. Penyerapan oleh obyek
2. Penghamburan oleh obyek

Penyerapan radiasi sinar-X oleh jaringan adalah sebanding dengan densitas


jaringan yang ditembus. Jaringan tubuh dengan kepadatan yang tinggi akan
memberikan perlemahan yang lebih besar. Sedangkan jaringan tubuh dengan
kepadatan yang rendah akan memberikan perlemahan yang kecil. Berdasarkan ilmu
fisika, terjadinya atenuasi lokal dari suatu jaringan yang disinari sinar-X disebabkan
oleh sejumlah proses interaksi antara sinar-X dengan hal lain, misalnya Efek fotolistrik
dan Hamburan Compton. Masing-masing proses fisika tersebut dapat mempengaruhi
fungsi dari energi radiasi karena sinar-X yang dihasilkan oleh tabung sinar-X tersebut
terdiri atas spektrum-spektrum energi. Dengan demikian jelaslah bahwa masing-
masing karakteristik atenuasi yang dimiliki oleh suatu jaringan, disebut koefisien
atenuasi linier μ, adalah suatu fungsi kompleks yang memiliki nilai berbeda-beda
bergantung pada energi radiasi yang menyinarinya. Fungsi dari energi radiasi terhadap
koefisien atenuasi dapat dilihat pada gambar di bawah, dimana nilai μ besar untuk
energi radiasi yang kecil dan akan terus berkurang bila energi radiasinya semakin
besar. Pada CT-Scan masing-masing atenuasi sinar-X untuk tiap-tiap bagian dari suatu
jaringan dibuat rekonstruksi gambarnya secara diskrit, sedangkan pada radiografi
konvensional dilakukan proses superposisi terlebih dahulu terhadap informasi atenuasi
tersebut (Kartawiguna, 2014).
2.4.2. Cara Kerja CT- Scan
Tabung sinar-X sebagai sumber radiasi yang akan menghasilkan radiasi sinar-
X yang terkolimasi (terarah) dan diarahkan ke pasien untuk menembus tubuh pasien
(dalam gambar adalah kepala pasien). Kemudian berkas sinar-X yang telah menembus
tubuh pasien tersebut ditangkap oleh detektor menghasilkan satu proyeksi. Susunan
tabung sinar-X dan detektor ini akan bergerak mengelilingi tubuh pasien dan
menghasilkan proyeksi dari obyek yang ditembus tersebut. Hasil proyeksi ini yang
kemudian diolah oleh komputer sehingga membentuk gambar potongan melintang
dari jaringan tubuh/obyek tersebut.
Gambar 2.4.1 Prinsip kerja CT-Scan (Kartawiguna, 2014).

Berikut ini adalah diagram blok dari keseluruhan kerja sistem CT-Scan, mulai
dari sistem pembangkit radiasi Sinar-X beserta sistem kontrolnya sampai didapatkan
gambar yang diinginkan pada selembar film atau disimpan dalam cakram magnetik.

Gambar 2.4.2 Diagram Blok sistem CT-Scan secara keseluruhan (Kartawiguna,


2014).
2.4.3. Akuisis Data dan Rekonstruksi Gambar Pada CT- Scan

Akusisi data berarti kumpulan hasil penghitungan transmisi Sinar-X setelah


melalui tubuh pasien. Sekali Sinar-X menembus pasien, berkas tersebut diterima oleh
detektor khusus yang menghitung nilai transmisi atau nilai atenuasi (penyerapan).
Penghitungan transmisi yang cukup atau data harus terekam sebagai syarat
proses rekonstruksi. Pada skema kumpulan data yang pertama kali tabung Sinar-X dan
detektor bergerak pada garis lurus atau translasi melewati kepala pasien,
mengumpulkan hasil penghitungan transmisi selama pergerakan dari kiri ke kanan.
Lalu Sinar-X berotasi 1 derajat dan mulai lagi melewati kepala pasien, kali ini dari
kanan ke kiri. Proses gerak translasi-rotasi-stop-rotasi ini dinamakan scanning yang
berulang 180 kali.
Permasalahan dasar yang muncul dengan metode pengambilan data ini adalah
lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapat data yang cukup untuk rekonstruksi
gambar. Berikutnya, diperkenalkan skema scanning pasien yang lebih efisien. Sebagai
tambahan, sinyal dari detektor harus dikonversikan menjadi data yang dapat dipakai
oleh komputer untuk menghasilkan gambar.
Tahap pertama pada akuisisi data adalah proses scanning. Selama scanning
tabung Sinar-X dan detektor berputar mengelilingi pasien untuk mendapatkan data
atenuasi pasien. Detektor menangkap radiasi yang diteruskan melalui pasien dari
beberapa lokasi dan dari beberapa sudut.
Sebagai hasilnya, nilai transmisi relatif atau pengukuran atenuasi dapat
dihitung sebagai berikut:

Transmisi relatif = log I0

dengan I0 = Intensitas Sinar-X pada tabung

I = Intensitas Sinar-X pada detektor


Metode akuisisi data CT-Scan ada dua, yaitu :

1. Metode konvensional slice by slice atau metode aksial. Prinsipnya, tabung sinar–x
dan detektor bergerak mengelilingi pasien dan mengumpulkan data proyeksi
pasien. Saat pengambilan data proyeksi, posisi meja berhenti. Kemudian meja
pasien bergerak untuk menuju posisi kedua dan dilakukan proses scanning
berikutnya. Demikian seterusnya.
2. Metode spiral atau helical Pada metode ini tabung sinar–X bergerak mengelilingi
pasien yang juga bergerak. Pada metode ini, berkas Sinar-X membentuk pola spiral
atau helical. Data untuk rekonstruksi citra pada setiap slice diperoleh dengan
interpolasi. Teknik ini memiliki kelebihan dalam waktu yang relatif cepat.

Gambar 2.4.3 Skema dasar Akuisisi Data pada CT-Scan (Kartawiguna, 2014).

Sinar-X yang mengalami atenuasi setelah menembus objek akan ditangkap


oleh detektor yang berhadapan dengan sumber sinar dan terletak di belakang objek.
Pada saat yang bersamaan detektor menerima berkas Sinar-X yang langsung berasal
dari sumber, berkas radiasi tersebut oleh detektor diubah dalam bentuk sinyal listrik
yang akhirnya oleh analog digital converter diubah dalam bentuk digital. Selanjutnya
data tersebut dikirim ke komputer dan melalui proses matematis data-data tersebut
direkonstruksi dan ditampilkan kembali pada layar monitor berupa citra dengan skala
keabuan.

Gambar 2.4.4 Prinsip CT-Scan Spiral

Dasar teori matematika yang digunakan untuk rekonstruksi gambar hasil


proyeksi pada CT-Scan adalah Transformasi Radon. Informasi yang diperoleh dari
pengukuran yang dilakukan adalah sekumpulan nilai proyeksi dari distribusi koefisien
atenuasi µ(x,y) yang tidak diketahui, yang disebut sebagai “transformasi Radon” dari
gambar atau obyek. Untuk mendapatkan masing-masing nilai µ(x,y) maka harus
dilakukan tranformasi balik dari data ini.
Gambar 2.4.5 Proyeksi obyek yang diperoleh dari satu putaran penuh
(Kartawiguna, 2014).

Gambar 2.4.6 Rekonstruksi gambar dari data mentah menjadi gambar CT-Scan
(Kartawiguna, 2014).
Hasil akuisisi seluruh proyeksi dari obyek disebut sebagai data mentah (raw
data). Bila data mentah ini ditampilkan akan membentuk suatu pola yang disebut
sebagai sinogram atau raw data. Sinogram ini sesungguhnya merupakan transformasi
Radon dari obyek.Ada beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk melakukan
tranformasi balik dari data ini, diantaranya adalah:
1. Teknik Rekonstruksi Aljabar atau Algebraic Reconstruction Techniques (ART)

2. Metode Fourier

3. Proyeksi Balik Tertapis (Filtered Backprojection)

4. Prosedur Proyeksi Balik dengan Konvolusi (ConvolutionBackprojection


Procedure).

Metode back projection banyak digunakan dalam bidang kedokteran. Metode ini
menggunakan pembagian pixel-pixel yang kecil dari suatu irisan melintang. Pixel
didasarkan pada nilai absorbsi linier. Kemudian pixel-pixel ini disusun menjadi
sebuah profil dan terbentuklah sebuah matrik. Rekonstruksi dilakukan dengan jalan
saling menambah antar elemen matrik.
Untuk mendapatkan gambar rekonstruksi yang lebih baik, maka digunakan metode
konvolusi. Proses rekonstruksi dari konvolusi dapat dinyatakan dalam bentuk
matematik yaitu transformasi Fourier.Dengan menggunakan konvolusidan
transformasi Fourier, maka bayangan radiologi dapat dimanipulasi dan dikoreksi
sehingga dihasilkan gambar yang lebih baik.
Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom dari picture element (pixel)
dalam proses perekonstruksian gambar. Rekonstruksi matriks ini merupakan salah satu
struktur elemen dalam memori komputer yang berfungsi untuk merekonstruksi
gambar. Jumlah ukuran matriks yang dapat digunakan yaitu 80 x 80, 128 x 128, 256 x
256, 512 x 512 dan 1024 x 1024. Rekonstruksi matriks ini berpengaruh terhadap
resolusi gambar yang akan dihasilkan. Semakin tinggi matriks yang dipakai, maka
semakin tinggi resolusi yang akan dihasilkan.
Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis (algorithma) yang digunakan
dalam merekonstruksi gambar. Ada 3 rekonstruksi dasar algoritma yang digunakan
pada CT kepala, cervikal dan tulang belakang. Yaitu sebagai berikut (Li, et al., 2014):
1. Algoritma standar

Standar algoritma menyediakan resolusi kontras yang baik dan oleh sebab itu
algoritma ini menjadi pilihan untuk pemeriksaan brain. Selain itu juga berguna
untuk soft tissue pada kepala, wajah, dan tulang belakang.
2. Bone algoritma
Bone algoritma membantu meningkatkan spatial resolusi tetapi menghasilkan
resolusi kontras yang buruk. Akibatnya, jenisalgoritma ini hanya digunakan pada
area dengan densitas jaringan yang tinggi seperti Sinus paranasal atau tulang
temporal.
3. Detail algoritma

Detail algoritma memberikan cukup resolusi kontras dengan batas tepi yang baik.
Oleh karena itu dapat digunakan untuk memperoleh definisi yang lebih baik antar
jaringan, terutama pada leher dan wajah.

2.4.4. Penampilan Gambar

Irisan dari suatu obyek terbagi dalam elemen volume yang kecil yang disebut
dengan “voxel”. Masing-masing voxel memiliki suatu nilai tertentu yang menyatakan
atenuasi rata-rata sinar-X oleh obyek pada posisi tersebut. Sedangkan, elemen gambar
dalam bidang 2 dimensi disebut “pixel”. Satu bagian volume dari gambar yang
direkonstruksi (= voxel) diwakili oleh ukuran pixel di bidang (x, y) dan ketebalan
irisan (s) dalam sumbu-z. Teknik rekonstruksi gambar CT kemudian dapat dilakukan
dengan membagi-bagi irisan jaringan yang disinari menjadi beberapa
Pixel dimana masing-masing pixel mewakili CT Number-nya masing-masing.
Nilai koefisien pelemahan radiasi diukur kemudian dikodekan dan ditransfer ke
komputer. Oleh komputer akan ditampilkan dalam gambar 2 dimensi yang disebut
dengan matriks. Kumpulan CT Number dari ”pixel-pixel” tersebut dapat dinyatakan
dalam bentuk matriks untuk keperluan rekonstruksi dan penampilan gambar.
Nilai-nilai CT Number tersebut akan ditampilkan pada layar monitor dengan
cara mengkonversikannya ke dalam skala dari hitam ke putih (grey scale). CT Number
yang tinggi (jaringan keras, tulang) akan ditampilkan menjadi putih dan CT Number
yang rendah (lemak, udara) akan ditampilkan hitam. Karena untuk jaringan lunak (Soft
tissue) memiliki range tertentu yang kemudian masih dibagi-bagi lagi menjadi
beberapa jaringan, maka khusus untuk jaringan lunak ini dipakai teknik degradasi
warna dari hitam ke putih sesuai skala grey level agar jaringanjaringan lunak dengan
skala range kecil dapat ditampilkan dalam warna yang berbeda satu dan lainnya
(Kartawiguna, 2014).
Gambar CT dapat disimpan dalam pita magnetik dan cakram magnetik. Saat
ini, teknologi penyimpanan optik telah menambah dimensi penyimpanan informasi
dari CT-Scan. Pada penyimpanan optik, data yang terekam dibaca oleh sinar laser.
Pada kasus ini penyimpanannya biasa disebut laser storage. Media penyimpanan optik
seperti disket, pita kaset dan kartu. Pada CT, komunikasi bermakna transmisi
elektronik data berupa tulisan dan gambar dari CT-Scan ke alat lain seperti laser
printer, diagnostic workstation, layar monitor di radiologi, ICU, kamar operasi dan
trauma di RS; dan komputer di luar RS. Komunikasi elektronik pada CT perlu protokol
standar yang memungkinkan koneksitas (networking) antar modalitas (CT, MRI,
digital radiography danfluoroscopy) dan peralatan multivendor.

2.5. Keunggulan dan Kekurangan CT-Scan

1. Kelebihan CT-Scan

a. Gambar yang dihasilkan memiliki resolusi yang baik dan akurat.

b. Tidak invasive (tindakan non bedah).

c. Waktu perekaman cepat.


d. Gambar yang direkontruksi dapat dimanipulasi dengan komputer sehingga dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang.
2. Kekurangan CT-Scan

a. Paparan radiasi akibat sinar X yang digunakan yaitu sekitar 4% dari radiasi sinar X
saat melakukan foto rontgen. Jadi ibu hamil wajib memberitahu kondisi
kehamilannya sebelum pemeriksaan.
b. Munculnya artefak (gambaran yang seharusnya tidak ada tapi terekam). Hal ini
biasanya timbul karena pasien bergerak selama perekaman, pasien menggunakan
tambal gigi amalgam atau sendi palsu dari logam, atau kondisi jaringan tubuh
tertentu.
c. Reaksi alergi pada zat kontras yang digunakan untuk membantu tampilan gambar.

2.6. Aplikasi Dalam Forensik dan Medikolegal

Pada tahun 1895, Wilhelm Conrad Roentgen (1845-1923) memperkenalkan citra


pertama X-ray manusia. Dia menunjukkan gambar kerangka tangan istrinya. Pada
tahun yang sama, pemeriksaan X-ray juga diperkenalkan sebagai alat bukti di
pengadilan, berupa gambar yang menunjukkan peluru di kaki, yang ditembakan oleh
seseorang, tetapi dokter bedah tidak dapat menemukan proyektilnya. Peluru itu
terlokalisasi di kaki bagian bawah antara tibia dan fibula. Gambar itu dihadirkan di
Pengadilan, dan pelaku dijatuhi hukuman 14 tahun penjara. Tiga tahun kemudian
teknik ini digunakan dalam pemeriksaan mayat. Banyak pemeriksaan X-ray
sehubungan dengan forensik dalam autopsi, telah terbatas pada kasus-kasus tertentu
seperti luka tembak peluru, sindrom battered child dan tenggelam, serta untuk tujuan
identifikasi, dll.
Sejak awal tahun 1970 computed tomography telah dikembangkan, yang
dimungkinkan untuk membuat citra radiologi cross-sectional dari seluruh tubuh. Pada
tahun 1998, CT-Scanner generasi baru diperkenalkan. Alat ini mampu untuk
menghasilkan berbagai citra cross-sectional dari tubuh yang lengkap dalam waktu
kurang dari 1 menit. Teknik ini, bersama-sama dengan multi slice computed
tomography (MSCT), telah diterapkan dalam beberapa kasus-kasus tertentu dan
sukses besar selama beberapa tahun terakhir. Institute of Forensik Medicine di
Copenhagen pada bulan April 2002 memperoleh Spiral CT-Scanner, dan dari
Desember 2002 telah menjadi prosedur rutin di Departemen Patologi forensik untuk
melakukan scanning pada seluruh tubuh dari semua mayat sebelum dilakukan
pemeriksaan post-mortem (Poulsen & Simonsen, 2007).
Menurut Thalia, et al. (2003), penggunaan CT-scan dapat menjadi alat alternatif
dalam proses identifikasi selain menggunakan metode baku seperti DNA, Sidik jari,
dan Odontologi. Misalnya pada proses pencarian anak peluru, benda asing dalam
tubuh, dan pencitraan pada mayat yang sudah mengalami dekomposisi.

(a) (b)
Gambar 2.6. (a) Potongan axial computed tomography menunjukkan citra adanya
fragmen tulang dan otak mengalami kolaps akibat pembusukan dalam.
(b) Penampakan sepert keju Swiss otak akibat adanya gas dekomposisi
(panah) (Thalia, et al., 2003).

2.7. Kerusakan Organ Akibat Blast Injury


Organ Dampak Kerusakan
Paru-paru Konstusio pulmonum, pneumothoraks, emfisema interstisial,
pneumomediastinum dan emfisema subkutis
Gastrointestinal Perdarahan abdomen, perforasi organ abdomen dan laserasi
Neurologi Diffuse axonal injury, fraktur tengkorak, trauma coup and counter
coup dan perdarahan subarchnoid dan subdural, mild traumatic
brain injury
Pendengaran Perforasi membrane timpani dan kerusakan koklea dan kartikula,
tuli konduksi dan sensorineural
Mata Koprpus alienum, nyeri dan iritasi penurunan penglihatan dan
inflamasi penriorbital, trauma bola mata, fraktur orbital, ablasio
retina, hyphemes dan laserasi.
Musculoskeletal Fraktur, sindrom kompertemen
Table 2.6. Kerusakan Organ Akibat Blast Injury
2.7. Hasil Pencitraaan CT-Scan Trauma Akibat Blast Injury

Gambar 2.7.1. Terjadinya Fraktur Cranial (Courtesy of Anne,2003; Tony,2003)

Gambar 2.7.2. Epidural Hematom (, Courtesy of Tony,2003; Michel,2003)


Gambar 2.7.3. Sub Dural Hematoma (Courtesy of Tony,2003, Michael,2003,
Anne,2003)

Gambar 2.7.4. Blast Lung (Trauma Ledakan di Paru-Paru)


Gambar 2.7.5. Hasil CT-Scan Trauma Thoraks Akibat Blast Injury

Gambar 2.7.5. CT-Scan Trauma Pada Orbital Akibat Blast Injury


BAB III

KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. CT atau CAT-Scan merupakan alat kedokteran Radiodiagnostik yang digunakan
untuk menampilkan gambar penampang tubuh yang dideteksi menggunakan sinar
X-Ray dengan bantuan komputer.
2. Penerapan prinsip fisika pada CT Scan menggunakan teori Atenuasi dan
mempunyai cara kerja terdiri dari akuisisi data, pengolahan data, rekonstruksi,
representasi dan penyimpanan.
3. Kelebihan CT Scan adalah cepat, akurat, tidak invasive, resolusinya tinggi dan
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sedangkan kekurangan CT Scan adalah
dosisnya tinggi, biasanya terjadi movement unsharpness dan resiko alergi media
kontras.
4. CT-Scan memungkinkan digunakan pada saat situasi emergency / kedaruratan
akibat Blast Injury , sehingga mengurangi dampak kecacatan dan kemungkinan
cidera serius sampai pada kematian
DAFTAR PUSTAKA
Aflani , Iwan.dr. M.Kes., Sp.F., SH, dkk., 2017 . Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Jakarta. Rajawali Pers.

Arief Nurokhman, Faisal., 2015. Tugas Mata Kuliah Fisika Forensik Pengunaan

Computed Tomography Scaning Sebagi Alternatif Autopasi. Prodi Ilmu Forensik


Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Airlangga.

Anne G Osborn MD FACR,et al, 2003, PocketRadiologistTM BRAIN 100 Top


Diagnoses, 1st Edition, Amirsys-W.B.Saunders Company, p:3-22.

Bushong, S. C., 2012. Radiologic Science for Technologists: Physics, Biology, and
Protection. 10th ed. Missouri: Mosby.

CDC. 2008 .Explosion and Blast Injuries. http://www.cdc.gov/. Diakses tanggal 21


Mei 2018 pukul 10.30 WIB.

Corno, A. & Festa, P., 2009. Congenital Heart Defects: Decision Making for Cardiac
Surgery. 3rd ed. Jerman: Steinkopff Verlag.

Hendee, W. R., 2014. IMAGING IN MEDICAL DIAGNOSIS AND THERAPY. 1st


ed. Florida: Taylor & Francis Group.

Hsieh, J., 2014. History of x-ray computed tomography. In: W. R. Hendee, ed. Cone
Beam Computed Tomography. Florida: CRC Press, p. 1.

Kartawiguna, D., 2014. Pemindai Tomografi Komputer. 1st ed. Jakarta: Binus
University Press.

Kawasumia, Y., Onozuka, N., Kakizakia, A. & Usui, A., 2013. Hypothermic death:
Possibility of diagnosis by post-mortem computed tomography. European Journal
of Radiology, Volume 82, p. 361– 365.
Li, L., Chen, Z. & Wang, G., 2014. Reconstruction algorithms. In: W. R. Hendee, ed.
Cone Beam Computed Tomography. Florida: CRC Press, p. 21.

Micelle J.Haydel MD, et al., Indications for Computed Tomography in Patients with
Minor Head Injury,2000, N. Eng J. Med 2000;343:100-5.

Munim Idris , Abdul, dr. SpF dan Legowo Tjiptomartono, Agung., 2013. Penerapan
Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyidikan . Jakarta . Sagung Seto

Morgan, B. et al., 2014. Use of post-mortem computed tomography in Disaster Victim


Identification.. Journal of Forensic Radiology and Imaging, Volume 2, pp. 114-
116.

Pattamapaspong, N., Madla, C., Mekjaidee, K. & Namwongprom, S., 2015. Age
estimation of a Thai population based on maturation of the medial clavicular
epiphysis using computed tomography. Forensic Science International, Volume
246, pp. 123 e1 - e5.

Poulsen, K. & Simonsen, J., 2007. Computed tomography as routine in connection


with medico-legal autopsies. Forensic Science International, Volume 171, pp.
190-197.

Sidler, M. et al., 2007. Use of multislice computed tomography in disaster victim


identification—Advantages and limitations. Forensic Science International,
Volume 169, pp. 118-128.

Thalia, M. et al., 2003. Into the decomposed body—forensic digital autopsy using
multislice-computed tomography. Forensic Science International, Volume 134,
pp. 109-114.
Torimitsu, S. et al., 2014. Stature estimation in Japanese cadavers using the sacral and
coccygeal length measured with multidetector computed tomography. Legal
Medicine, Volume 16, pp. 14-19.

Tony Knigts., 2003, Head Trauma-Comparative Imaging Component, Lecture note,


Medical Imaging Science 335, Curtin University of Technology, PerthAustralia.

Anda mungkin juga menyukai