Anda di halaman 1dari 43

Konsep Pendidikan Islam

February 18, 2012 at 2:58 am (ARTIKEL, Kumpulan Teori Pendidikan)


Tags: ajaran islam, hukum islam, Pengertian Pendidikan Islam, Tujuan Pendidikan
Islam

Sebagaimana diketahui bahwa orientasi pendidikan Islam berusaha mengubah keadaan sesorang dari

tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak dapat berbuat menjadi dapat berbuat. Sehingga dengan

pendidikan orang mengerti akan dirinya plus segala potensi kemanusiaanya, lingkungan masyarakat,

alam sekitar dan yang lebih dari semua itu adalah dengan adanya pendidikan manusia dapat
menyadari sekaligus menghayati keberadaannya di hadapan khaliknya.

Berbicara pendidikan adalah berbicara keyakinan, pandangan dan cita-cita, tentang hidup dan

kehidupan manusia dari generasi ke-generasi maka pengunaan istilah “Pendidikan Islam” atau

penambahan kata Islam dibelakang kata “Pendidikan” pada kajian ini meniscayakan bahwa pendidikan

Islam tidak dapat dipahami secara terbatas hanya kepada “Pengajaran Islam” mengingat keberhasilan

pendidikan Islam tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang

bersifat kognitf atau pengetahuan tentang ajaran agama atau bentuk-bentuk ritual keagamaan

semata. Justru yang lebih penting adalah seberapa jauh tertanam nilai-nilai keagamaan tersebut dalam
jiwa dan seberapa jauh pula nilai-nilai tersebut mewujud dalam sikap dan tikah laku sehari-hari.

Berangkat dari fenomena inilah menarik untuk ulasan selanjutnya perlu dijabarkan bagaimana konsep
pendidikan Islam dalam bingkai Pengertian, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam itu sendiri :

1. Pengertian Pendidikan Islam

Berangkat dari pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti

apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentuh arah maka hasilnya adalah tak lebih dari

pengalaman selama perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga

dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan. Namun sebelum masuk pada pembahasan

mengenai fungsi dan tujuan Pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian
Pendidikan Islam.

Pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-

manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan

eksistensinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan
Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya insan kamil setelah prosespendidikan berakhir.[1]

Prof. H. Muhamad Daud Ali, S.H. berpendapat bahwa pendidkan adalah usaha sadar yang dilakukan
oleh manusia untuk mengembangkan potensi manusia lain atau memindahkan nilai-nilai yang
dimilikinya kepada orang lain dalam masyarakat. [2] Proses pemindahan nilai itu dapat dilakukan

dengan berbagai cara, diantaranya adalah, pertama melalui pengajaran yaitu proses pemindahan nilai

berupa (Ilmu) pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya dari suatu generasi kegenerasi

berikutnya. kedua melalui pelatihan yang dilaksanakan dengan jalan membiasakan seseorang

melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh keterampilan mengerjakan pekerjaan

tersebut. ketiga melalui indoktrinnasi yang diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti apa

saja yang diajarkan orang lain tanpa mengijinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai
yang diajarkan.

Terkadang apabila ingin membahas seputar Islam dalam Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat

menarik terutama dalam kaitannya dengan upaya pembangunan Sumber Daya Manusia muslim,

sebagaimana Islam di pahami sebagai pegangan hidup yang diyakini mutlak kebenarannya akan merai

arah dan landasan etis serta moral pendidikan, atau dengan kata lain hubungan antara Islam dan

pendidikan bagaikan dua sisi keping mata uang. Artinya, Islam dan pendidikan mempunyai hubungan
filosofis yang sangat mendasar baik secara ontologis, epistimologis maupun aksiologis.

Pemikiran di atas sejalan dengan falsafah bahwa sebuah usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak

akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya adalah

tidak lebih dari pengalaman selam perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang

dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakn. Namun sebelum masuk

dalam pembahasan mengenai fungsi dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa
pengertian Pendidikan Islam itu sendiri.

Zarkowi Soejati dalam makalahnya yang berjudul “Model-model Perguruan Tinggi Islam”

mengemukakan pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian. Pertama ; lembaga
pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan

nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lemabaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang

diselenggarakan.Kedua ; lembaga pendidikan memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian

tentang Islam yang tercermin dalam program sebagai ilmu yang diperlukanseperti ilmu-ilmu lain yang

menjkadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga ; mengandung kedua

pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap

dan tingkah laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian
yang tercermin dalam program kajiannya.[3]

Konsep pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan Zarkowi Soejati tersebut, terkesan sederhana dan

belum terlalu luas cakupannya, namun paling tidak konsep ini bisa diterapkan dalam upaya

peningkatan sumberdaya manusia melalui pencerminan penyelenggaraan pendidikan dan program

kajian yang bernuansa Islami dalam proses pemindahan nilai-nilai yang dimiliki dan dapat dibawah
ke-masyarakat.
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang

dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya : beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang

berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan As-sunnah, maka tujuan dan konteks ini terciptanya
manusia seutuhnya “Insan Kamil”, setelah proses pendidikan berakhir.[4]

Sebagaimana di tegaskan dalam Al-qur’an :

Artinya :

“Sesunggunya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.”

Dalam artian bahwa pendidikan Islam adalah proses penciptaan manusia yang memilki kepribadian
serta berakhlakul karimah “Akhlak Mulia” sebagai makhluk pengemban amanah di bumi.

Maka Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mampu menyiapkan kader-kaderkhalifah, sehingga

secara fungsional keberadaannya menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan

lil–‘alamin. Ditambahkan lagi bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan semesta,
berwawasan kehidupan yang utuh dan multi dimensional, yang meliputi wawasan tentang Tuhan,
manusia dan alam secara integratif.

2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam

Sebelum lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu apa sebenarnya makna dari

“tujuan” tersebut. Secara etimologi tujuan adalah “arah, maksud atau haluan.”[5] Termminologinya

tujuan berarti sesuatu diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai. Oleh H.M.

Arifin menyebutkan, bahwa tujuan proses pendidikan Islam adalah “idealitas (cita-cita) yang

mengandung nilai-nilai Islam yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan
ajaran Islam secara bertahap.

Maka secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: pertama tujuan umum adalah tujuan yag

akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik pengajaran atau dengan cara lain. kedua, tujuan

sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalamn tertentu

yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. ketiga, tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar

peserta didik menjadi manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia menghabisi sisa hidupnya.

Sementara keempat tujuan oprasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah
kegiatan pendidikan tertenru.

Sementara itu dalam Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah pada tahun
1977 merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut :
“Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara

seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional ; perasaan dan indera. Oleh karena

itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya ; spritual, intelektual,

imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individu maupun secara kolektif, dan mendorong semua

aspek ini ke arah kebaikan untuk mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak

pada perwujudan ketundukkan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun
seluruh umat manusia”.[6]

Konsep di atas sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam, yaitu meningkatkan keimanan,

pemahaman, penghayatan dan pengalaman anak tentang Islam, sehingga menjadi manusia muslim

yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingganya dalam konteks ini pendidikan Islam haruslah

senantiasa mengorientasikan diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam
masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan.

Dapat pula katakan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah kepribadian muslim, yaitu sesuatu

kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang dalam kepribadian muslim

dalam Al-qur’an disebut “Muttaqin” karena itu Pendidikan Islam berarti pula pembentukan manusia

yang bertakwa, sebagaimana konsep pendidikan nasional yang dituangkan dalam tujuan pendidikan
nasional yang akan membentuk manusia pancasilais yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian jika dilakukan rekonstruksi, maka menurut Islam ilmu yang selayaknya dikuasai

manusia merupakan perpaduan dari ilmu – ilmu yang diperoleh manusia melalui kawasan alam

semesta dengan ilmu yang dikirim melalui wahyu yang dapat ditangkap oleh para nabi dan rasul.

Dalam perspektif pendidikan Islam yang menyiapkan manusia agar dapat melakukan perannya, baik
sebagai khalifah maupun sebagai ‘abd, maka ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang sifatnya
terpadu, dan inilah ciri khas pendidikan Islam.

Dilihat dari tujuan pendidikan di atas maka dengan sendirinya terimplisit fungsi pendidikan Islam.

Dapat diartikan fungsi Pendidikan Islam adalah untuk menjaga keutuhan unsur–unsur individu anak

didik dengan mengoptimalkan potensinya dalam garis keridhaan Allah, serta mengoptimalkan

perkembangannya untuk bertahan hidup terhadap aspek keterampilan setiap anak. Pendidikan Islam

adalah pendidikan terbuka. Artinya Islam mengakui adanya perbedaan, akan tetapi perbedaannya yang

hakiki ditentukan oleh amalnya. Oleh karena itu pendidikan Islam pada dasarnya terbuka, demokratis,

dan universal. Keterbukaan tersebut ditandai dengan kelenturan untuk mengadopsi (menyerap) unsur–

unsur positif dari luar, sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya, dan tetap menjaga
dasar–dasarnya yang original yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-hadits.[7]
Singkatnya, pendidikan Islam secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan anak-anak dalam

keluarga termasuk anak didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi dan sekaligus

beriman dan beramal saleh. Oleh karena itu penjabaran materi pendidikan Islam tidak hanya berkisar

pada hal–hal yang berkaitan dengan masalah–masalah ubudiyah yang khas (khusus) seperti shalat,

puasa, zakat, haji dan lain–lain, akan tetapi ubudiyah yang lebih umum dan luas, yaitu pengembangan

ilmu sosial sehingga anak dapat berinteraksi dengan lingkungannya secara baik maupun

pengembangan pengetahuan dan teknologi yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan.

Dengan demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta perubahan-

perubahan yang terjadi. Akibat logisnya, pendidikan senantiasa mengundang pemikiran dan kajian

baik secara konseptual maupun oprasionalnya. Sehingga diperoleh relevansi dan kemampuan
menjawab tantangan serta memcahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam.

[1] Baca DR. Armai Arif, M. A. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat Pers,

2002), h. 16.

[2] Lihat, Prof. H. Muhamad Daud Ali S.H. dan Hj. Habiba Daud S.H. Lembaga-lembaga Islam di
Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 137.

[3] Baca A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta : Fajar Dunia, 1999), h. 31

[4] Armai Arif, Lok Cit, h. 16

[5] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka
1995), edisi ke-2, Cet, ke-4, h. 1077

[6] Azyumardi Azra, op. cit., h. 57

[7] Abd al- Ghani ‘Abud, Dirasat Muqaranat li Tarikh al – Tarbiyah, ( Kairo : Dar al- Fikr al – Arabi,
1987 ), h. 203
Tujuan Pendidikan Islam
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam adagium ushuliyah dinyatakan bahwa : ”al-umuru bimaqosidiha”, bahwa setiap tindakan
dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Adagium ini
menunjukan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai bukan
semata-mata berorientasi padasederetan materi. Karena itulah, tujuan pendidikan Islam menjadi
kompenen pendidikan yang harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum merumuskan kompenen-
kompenen pendidikan yang lain.

Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta mengarahkan usaha yang akan
dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Disamping itu, tujuan dapat
membatasi ruang gerak usaha, agar kegitan dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan yang
terpenting lagi adalah dapat memberi penilaian atau evaluasi pada usaha-usaha pendidikan.[1]

Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi
beberapa aspeknya, misalnya tentang:

1. Tujuan dan tugas hidup manusia

2. Memerhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia

3. Tuntutan masyarakat

4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam

B. Rumusan Masalah

1. Prinsip apa saja dalam formulasi tujuan pendidikan Islam?

2. Komponen apa saja dalam tujuan pendidikan Islam?

3. Formulasi apa saja dalam pendidikan Islam?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui Prinsip formulasi tujuan pendidikan Islam

2. Untuk mengetahui Komponen dalam tujuan pendidikan Islam

3. Untuk mengetahui Formulasi dalam pendidikan Islam

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Islam

a. Pengertian secara Terminologis

Tujuan adalah arah, haluan, jurusan maksud. Atau tujuan adalah sasaran yang akan dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu kagiatan. Atau menurut Zakiah Darajat,
tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.[2]

b. Pengertian secara Epistimologis

Tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefinisikan pendidikan itu sendiri yang
paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam dan ilmu serta dengan
pertimbangan prinsip-prinaip dasarnya. Hujair AH. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam
dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya, sebenarnya pendidikan Islam memiliki visi dan
misi yang ideal, yaitu "RohmatanLil'alamin". Mundzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan
tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan
hidup, atau keinginan-kainginan lainnya.[3]

B. Prinsip-Prinsip Dalam Formulasi Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan Islam mempunyai beberapa prinsip tertentu, guna menghantar tercapainya
tujuan pendidikan Islam. Prinsip itu adalah :[4]

1. Prinsip universal (syumuliyah)

Prinsip yang memandang keseluruhan aspek agama (akidah, ibadah dan akhlak, serta muamalah),
manusia (jasmani, rohani, dan nafsani), masyarakat dan tatanan kehidupannya, serta adanya wujud
jagat raya dan hidup.

2. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun qa iqtishadiyah).

Prinsip ini adalah keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan pada pribadi, berbagai kebutuhan
individu dan komunitas, serta tuntunan pemeliharaan kebudayaan silam dengan kebudayaan masa
kini serta berusaha mengatasi masalah-masalah yang sedang dan akan terjadi.

3. Prinsip kejelasan (tabayun).

Prinsip yang didalamnaya terdapat ajaran hukum yang memberi kejelasan terhadap kejiwaan
manusia (qalbu, akal dan hawa nafsu) dan hukum masalah yang dihadapi, sehingga terwujud tujuan,
kurikulum dan metode pendidikan.

4. Prinsip tak bertentangan.

Prinsip yang didalamnya terdapat ketiadaan pertentangan antara berbagai unsur dan cara
pelaksanaanya, sehingga antara satu kompenen dengan kompenen yang lain saling mendukung.
5. Prinsip realisme dan dapat dilaksankan.

Prinsip yang menyatakan tidak adanya kekhayalan dalam kandungan program pendidikan, tidak
berlebih-lebihan, serta adanya kaidah yang praktis dan relistis, yang sesuai dengan fitrah dan kondisi
sosioekonomi, sosopolitik, dan sosiokultural yang ada.

6. Prinsip perubahan yang diingini.

Prinsip perubahan struktur diri manusia yang meliputi jasmaniah, ruhaniyah dannafsaniyah; serta
perubahan kondisi psikologis, sosiologis, pengetahuan, konsep, pikiran, kemahiran, nili-nilai, sikap
peserta didik untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan pendidikan (QS. ar-Ra’d: 11).

7. Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu.

Prinsip yang memerhatikan perbedaan peserta didik, baikciri-ciri, kebutuhan, kecerdasan,


kebolehan, minat, sikap, tahap pematangan jasmani, akal, emosi, sosial, dan segala aspeknya. Prinsip
ini berpijak pada asumsi bahwa semua individu ‘tidak sama’ dengan yang lain.

8. Prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi pelaku pendidikan
serta lingkungan dimana pendidikan itu dilaksanakan.

C. Komponen-Komponen Tujuan Pendidikan Islam

Secara teoritis, tujuan akhir dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :[5]

1. Tujuan Normatif

Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma-norma yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai
yang hendak diinternalisasi, misalnya :

a. Tujuan formatif yang bersifat memberi persiapan dasar yang korektif.

b. Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang benar dan
yang salah.

c. Tujuan determinatif yang bersifat memberi kemampuan untuk mengarahkan dari pada sasaran-
sasaran yang sejajar dengan proses kependidikan.

d. Tujuan integratif yang bersifat memberi kemampuan untuk memadukan fungsi psikis (pikiran,
perasaan, kemauan, ingatan, dan nafsu) kearah tujuan akhir.

e. Tujuan aplikatif yang bersifat memberikan kemampuan penerapan segala pengetahuan yang telah
diperoleh dalam pengalaman pendidikan.

2. Tujuan Fungsional
Tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk memfungsikan daya
kognisi, afeksi, dan psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai dengan yang
ditetapkan. Tujuan ini meliputi :

a. Tujuan individual, yang sasarannya pada pemberian kemampuan individual untuk mengamalkan
nilai-nilai yang telah diinternalisasikan kedalam pribadi berupa moral, intelektual dan skill.

b. Tujuan sosial, yang sasarannya pada pemberian kemampuan pengamalan nilai-nilai kedalamm
kehidupan sosial, interpersonal, dan interaksional dengan orang lain dalam masyarakat.

c. Tujuan moral, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan
tuntutan moral atas dorongan motivasi yang bersumber pada agama (teogenetis), dorongan sosial
(sosiogenetis), dorongan psikologis (psikogenetis), dan dorongan biologis (biogenetis).

d. Tujuan profesional, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk mengamalkan keahliannya,
sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

3. Tujuan Operasional

Tujuan yang mempunyai sasaran teknis manajerial. Menurut langeveld, tujuan ini dibagi
menjadi enam macam, yaitu :

a. Tujuan umum (tujuan total), menurut Kohnstam dan Guning, tujuan ini mengupayakan bentuk
manusia kamil, yaitu manusia yang dapat menunjukan keselaraasn dan keharmonisan antara
jasmani dan rohani, baik dalam segi kejiwaan, kehidupan individu, maupun untuk kehidupan
bersama yang menjadikan integritas ketiga ini hakikat manusia.

b. Tujuan khusus, tujuan ini sebagai indikasi tercapainya tujuan umum, yaitu tujuan pendidikan yang
disesuaikan dengan keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita pembangunan suatu bangsa,
tugas dari suatu badan atau lembaga pendidikan, bakat kemampuan peserta didik, seperti
memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk bekal hidupnya setelah ia
tamat, dan sekaligus merupakan dasar persiapan untuk melanjutkan kejenjang pendidikan
berikutnya.

c. Tujuan tak lengkap, tujuan ini berkaitan dengan kepribadian manusia dari suatu aspek saja, yang
berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu, misalnya kesusilaan, keagamaan, keindahan,
kemasyarakatan, pengetahuan, dan sebagainya.

d. Tujuan insidental (tujuan seketika), tujuan ini timbul karena kebetulan, bersifat mendadak, dan
besifat sesaat, misalnya mengadakan sholat jenazah ketika ada orang yang meninggal.

e. Tujuan sementara, tujuan yang ingin dicapai pada fase-fase tertentu dari tujuan umum, seperti fase
anak yang tujuan belajarnya adalah membaca dan menulis, fase manula yang tujuan-tujuannya
adalah membekali diri untuk menghadap ilahi, dan sebagainya.
f. Tujuan intermedier, tujuan yang berkaitan dengan penguasaan suatu pengetahuan dan
keterampilan demi tercapainya tujuan sementara, misalnya anak belajar membaca dan menulis,
berhitung dan sebagainya.[6]

D. Formulasi Tujuan Pendidikan Islam

Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan al-Kaylani, [7]tujuan
pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu :

1. Tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah SWT. Dalam wahyu-Nya dan
ayat-ayat fisik (afaq) dan psikis (anfus).

2. Mengetahui ilmu Allah SWT, melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya.

3. Mengetahuai kekuatan (qudrah) Allah SWT melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas,dan kreativitas
makhluk-Nya.

4. Mengetahui apa yang diperbuat Allah SWT, (Sunnah Allah) tentang realitas (alam) dan jenis-jenis
perilakunya.

Abdal Rahman Shaleh Abd Allah dalam bukunya,Educational Theory, aQur’anic


outlook,[8]menyatakan tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu
:

1. Tujuan Pendidikan Jasmani (al-Ahdaf al-Jismiyah)

Mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi, melalui keterampilan-
keterampilan fisik. Ia berpijak pada pendapat dari Imam Nawawi yang menafsirkan “al-qawy”
sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik, (QS.al-Baqarah : 247, al-Anfal :60).

2. Tujuan Pendidikan Rohani (al-Ahdaf al-Ruhaniyah)

Meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada Allah SWT semata dan melaksanakan
moralitas Islami yang diteladani oleh Nabi SAW dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam al-
Qur’an (QS. Ali Imran : 19). Indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua ( QS. Al-Baqarah :
10), berupaya memurnikan dan menyucikan diri manuisa secara individual dari sikap negatif (QS al-
Baqarah : 126) inilah yang disebut dengan tazkiyah (purification) dan hikmah (wisdom).

3. Tujuan Pendidikan Akal (al-Ahdaf al-Aqliyah)

Pengarahan inteligensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-
tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan-pesan ayat-ayat-Nya yang berimplikasi kepada
peningkatan iman kepada Sang Pencipta. Tahapan akal ini adalah :
a. Pencapaian kebenaran ilmiah (ilm al-yaqin) (QS. Al-Takastur : 5)

b. Pencapaian kebenaran empiris (ain al-yaqin) (QS. Al- Takastur : 7)

c. Pencapaian kebenaran metaempiris atau mungkin lebih tepatnya sebagai kebenaran filosofis (haqq –
alyaqin) (QS. Al-Waqiah : 95).

4. Tujuan Pendidikan Sosial ( al-Ahdaf al-Ijtimaiyah)

Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian yang utuh yang menjadi bagian dari
komunitas sosial. Identitasindividu disini tercermin sebagai “al-nas” yang hidup pada masyarakat
yang plural (majemuk).

Menurut Muhammad Athahiyah al-Abrasy,[9] tujuan pendidiakn Islam adalah tujuan yang telah
ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu hidupnya, yaitu pembentukan moral
yang tinggi, karena pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam, sekalipun tanpa
mengabaikan pendidikan jasmani, akal, dan ilmu praktis. Tujuan tersebut berpijak dari sabda Nabi
SAWyang diriwayatkan oleh Malik bin Anas dari Anas bin Malik).[10]

‫مكارم األخالق عن انس بن مالك‬


َ ‫ا ْنما بُعثتُ ألتمم‬
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”

Menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman,[11] tujuan umum pendidikan
islam tercermin dalam dua segi, yaitu:

1. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat. Pandangan
dunia akhirat dalam pandangan al-Ghazali adalah menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang
sebenarnya. Kebahagiaan yan lebih emiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang
diprioritaskan.

Rumusan tujuan pendidikan Islam yang dihasilkan dari seminar pendidikan Islam sedunia tahun
1980 di Islamabad adalah:

“Education aims at the ballanced growth of total personality of man through the training of man’s
spirit, intelect, the rasional self, feeling and bodile sense. Education should , therefore, cater, for the
growth of man in all its aspects, spiritual, intelectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both
individually and collectivelly, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of
pefection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the
level of individual, the community and humanity at large”.[12]

Maksudnya, pendidikan seharusnya bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam


kepribadian manusia secara total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan, dan
pancaindra. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya pelayanan bagi pertumbuhan manusia dalam
segala aspeknya yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiyah, linguistik, baik
secara individu, maupun secara kolektif dan memotifasi semua aspek tersebut kearah kebaikan dan
pencapaian kesempurnaan. Tujuan utama pendidikan bertumpu pada terealisasinya ketundukan
kepada Allah SWT baik dalam level individu, komunitas, dan manusia secara luas.

Dari beberapa rumusan tujuan diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
:”terbentuknya insankamil yang didalamnya memiliki wawasan khaffah agar mampu menjalankan
tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris nabi”. Tujuan bisa dijabarkan dalam uraian
sebagai berikut:

1. Terbentuknya “insankamil” ( manusia paripurna ) yang mempunyai wajah-wajahqur’ani.

2. Terciptanya “insankaffah”.

3. Penyadaran fungsi manusia sebagai hamba, khalifah Allah, serta sebagai pewaris nabi
(warasatalanbiya’) dan memberikan bekal yang memadahi dalam rangka pelaksanaan fungsi
tersebut.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan di antaranya :

1. Tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia paripurna, terbaik, insan kamil atau manusia
yang bertaqwa yaitu sosok manusia yang memahami peran dan fungsinya dalam kehidupan, serta
manyandarkan semuanya pada ajaran dan hukum Allah SWT dan Rosulullah SAW.

2. Adapaun prinsip tujuan pendidikan Islam di anataranya :

a. Prinsip universal (syumuliyah)

b. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun qa iqtishadiyah).

c. Prinsip kejelasan (tabayun).

d. Prinsip tak bertentangan.

e. Prinsip realisme dan dapat dilaksankan.

f. Prinsip perubahan yang di ingini.

g. Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu.

3. Manurut Abdal Rahman Shaleh Abd Allah dalam bukunya, Educational Theory, a Qur’anic
outlook, menyatakan tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu :

a. Tujuan Pendidikan Jasmani (al-Ahdaf al-Jismiyah)

b. Tujuan Pendidikan Rohani (al-Ahdaf al-Ruhaniyah)

c. Tujuan Pendidikan Akal (al-Ahdaf al-Aqliyah)

d. Tujuan Pendidikan Sosial ( al-Ahdaf al-Ijtimaiyah)

B. Saran

Dari beberapa uraian diatas tentunya banyak sekali kesalahan dan kekurangan. Semua itu
dikarenakan keterbatasan penulis. Untuk itu, demi kemajuan bersama kami mengharap kritik dan
sarannya yang bersifat membangun untuk lebih sempurnanya dalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Rahman Shaleh Abd Allah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan la-Qur’an, terj. Arifin HM, judul asli
: Educational Theory, a Qur’anic outlook, (Jakarta:Rineka Cipta, 1991).

Abdul Mujib , Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006).

Ahamad D. Marimba, pengantar filsafat pendidikan, (Bandung;al-Ma’arif, 1989).

Arifin H M, KapitaSelektaPendidikanIslamdanUmum, (Jakarta: Bumi Aksara,1991).

Arifin HM, Op.ct., h. 127-128; Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,(Bandung:Remaja
Karya, 1988).

Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali,terj. Fathur Rahman, (Bandung: al-Ma’arif,
1986).

Majid ‘Irsan al-Kaylani, al-Fikr al-Tarbawi ‘inda Ibn Taymiyah, (al-Madinah al-Munawarah: Maktabah Dar
al-Tarats, 1986).

Muhammad Athahiyah al-Abrasy, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, (Saudi Arabiyah: Dar al-Ahya’, tt.).

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).

Sayid Muhammad al-Zarqani, syarkh al-Zarqani ‘ala Muwaththa’ al-Imam Malik,(Beirut: Dar al-Fikr, tt.).

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. Ke 5 (jakarta: Kalam Mulia, 2006).

Hamdan Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. Ke 3 (Bandung : CV. Pustaka Setia. 2007
).

[1] Ahamad D. Marimba, pengantar filsafat pendidikan, (Bandung:al-Ma’arif, 1989), hlm. 45-
46.

[2]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. Ke 5 (jakarta: Kalam Mulia, 2006) hal. 133

[3]Hamdan Ihsan dan Fuad Ihsan,Filsafat Pendidikan Islam, Cet. Ke 3 (Bandung : CV. Pustaka
Setia. 2007 ), hal. 68

[4] Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979).

[5] Abdul Mujib , Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hal. 75-77.
[6] ArifinHM, Op.ct., h. 127-128; Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan
Praktis,(Bandung:Remaja Karya, 1988), hal. 25-28.

[7] Majid ‘Irsan al-Kaylani, al-Fikr al-Tarbawi ‘inda Ibn Taymiyah, (al-Madinah al-Munawarah:
Maktabah Dar al-Tarats, 1986), hlm. 117-118.

[8]Abdal-Rahman Shaleh Abd Allah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan la-Qur’an, terj. Arifin
HM, judul asli : Educational Theory, a Qur’anic outlook, (Jakarta:Rineka Cipta, 1991), hlm. 138-
153.

[9] Muhammad Athahiyah al-Abrasy, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, (Saudi Arabiyah: Dar al-
Ahya’, tt.), hal. 30.

[10] Sayid Muhammad al-Zarqani, syarkh al-Zarqani ‘ala Muwaththa’ al-Imam Malik,(Beirut:
Dar al-Fikr, tt.), jilid IV, hal. 256.

[11]Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali,terj. Fathur Rahman,


(Bandung: al-Ma’arif, 1986), hlm.24.

[12]Arifin H M,KapitaSelektaPendidikanIslamdanUmum, (Jakarta:Bumi Aksara,1991),hlm. 4.

Jumat, 10 Januari 2014


Makalah Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam Tugas Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH : FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

DOSEN PEMBIMBING : MUH. HIDAYAT, M. Phil


KATA PENGANTAR

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Atas berkat dan hidayah-Nya-lah,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tak lupa pula Shalawat serta salam kepada junjungan nabi
besar Muhammad SAW sebagai "Uswatun Hasanah" bagi dunia pendidikan Islam.

Makalah yang berjudul “Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam” ini sengaja saya susun sebagai
tugas individu sekaligus sebagai bahan diskusi pada tatap muka perkuliahan FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM. Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
pembuatan makalah ini.

Akhirnya, saya sebagai penyusun menyadari bahwa makalah ini tak luput dari segala
kekurangan dan keterbatasan baik dari segi penulisan maupun isi di dalamnya. Untuk itu, saya
sangat mengharapkan saran ataupun kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak terutama
dari Dosen Pembimbing yang bersangkutan, demi kesempurnaan pembuatan makalah-makalah
selanjutnya.

Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi diri saya pribadi,
Amien… !!!

Minallahil Musta'an Wa'alaihit Tiklan

Majene, 7 Oktober 2012

Penyusun,

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan unsur terpenting bagi manusia untuk meningkatkan kadar
keimanannya terhadap Allah SWT, karena orang semakin banyak mengerti tentang dasar-dasar Ilmu
pendidikan Islam maka kemungkinan besar mereka akan lebih tahu dan lebih mengerti akan
terciptanya seorang hamba yang beriman. Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda
untuk dapat menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.
Pendidikan Islam adalah usaha merubah tingkah laku individu di dalam kehidupan pribadinya atau
kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitar melalui proses pendidikan.

Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mencapai suatu tujuan, tujuan pendidikan akan
menentukan kearah mana peserta didik akan dibawa. Tujuan pendidikan Islam secara umum adalah
untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk
Allah SWT agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan
beribadah kepada-Nya.

Dengan landasan yang kokoh dan kuat, tentu pada akhirnya akan dapat mewujudkan tujuan
yang maksimal yang menciptakan sosok manusia yang berkualitas yang islami menurut Al-Qur'an,
sosok teladan dalam menata kembali pendidikan Islam yang bernilai ibadah.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah yang menjadi dasar atau landasan dalam pendidikan Islam ?

2. Apakah yang menjadi tujuan dalam proses pendidikan Islam ?

3. Bagaimana kualitas manusia menurut Al-Qur'an ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. DASAR PENDIDIKAN ISLAM

Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah memberikan arah kepada
tujuan yang akan dicapai sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu. Dasar pendidikan
Islam tentu saja didasarkan kepada falsafah hidup umat Islam dan tidak didasarkan kepada falsafah
hidup suatu negara, sistem pendidikan Islam tersebut dapat dilaksanakan di mana saja dan kapan
saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

Dasar pendidikan Islam adalah sebagai berikut :

1. Al-Qur'an

Al-Quran adalah “Kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada hati
Rasulullah dengan lafadz bahasa arab dan makna hakiki untuk menjadi hujjah bagi Rasulullah atas
kerasulannya dan menjadi pedoman bagi manusia dengan petunjuknya serta merupakan ibadah bagi
yang membacanya”.

Umat islam sebagai suatu umat yang dianugerahkan Tuhan suatu kitab suci Al-Quran, yang
lengkap dengan segala petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal,
sudah barang tentu dasar pendidikan mereka adalah bersumber kepada falsafah hidup yang
berdasarkan kepada Al-Quran.

Pada masa awal pertumbuhan Islam, Nabi Muhammada Saw adalah sebagai pendidik pertama,
telah menjadikan Al-Quran sebagai dasar pendidikan Islam disamping Sunnah beliau
sendiri. Kedudukan Al-Quran sebagai sumber pokok pendidikan islam dapat dipahami dari ayat Al-
Quran itu sendiri.

Firman Allah SWT dalam surat Shad :

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
fikiran”.(Q.S. Shaad : 29)

Sehubungan dengan masalah ini, Muhammad Fadhil Al-Jamali seperti yang dikutip oleh
Ramayulis menyatakan, bahwa “Pada hakikatnya Al-Quran itu merupakan perbendaharaan yang
besar untuk kebudayaan manusia, terutama bidang kerohanian. Ia pada umumnya merupakan kitab
pendidikan kemasyarakatan, moril (akhlak) dan spiritual (kerohanian)".

2. As-Sunnah

Sunnah dapat dijadikan dasar pendidikan islam karena sunnahhakikatnya tak lain adalah
penjelasan dan praktek dari ajaran Al-Qurân itu sendiri, disamping memang sunnah merupakan
sumber utama pendidikan islam karena Allah Swt menjadikan Muhammad Saw sebagai teladan bagi
umatnya. Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya dalam surat Al-Ahzab sebagai berikut:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Allah". (Q.S.Al-Ahzab : 21)

Adapun konsepsi dasar pendidikan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW adalah sebagai
berikut :

a. Disampaikan sebagai rahmatan li al-alamin.

b. Disampaikan secara Universal

c. Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak.

d. Kehadiran Nabi sebagai evaluator atas segala aktivitas pendidikan.

e. Perilaku Nabi sebagai figur identifikasi (uswah hasanah) bagi umatnya.


Sabda Rasulullah Saw :

“Kutinggalkan kepadamu dua perkara (pusaka) tidaklah kamu akan tersesat selama-lamanya,
selama kamu masih berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnah
Rasulullah”.(H.R. Bukhari Muslim).

Ramayulis menjelaskan, bahwa prinsip menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai dasar
pendidikan islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran keyakinan semata, tetapi
juga kebenaran yang dapat diterima oleh akal yang sehat dan bukti sejarah. Adapun kebenaran yang
dikemukakan-Nya mengandung kebenaran yang hakiki, bukan kebenaran spekulatif dan relatif.

3. Ijtihad

Pendidikan sebagai lembaga sosial akan turut mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
yang tejadi di masyarakat. Kita tahu perubahan-perubahan yang ada di zaman sekarang atau
mungkin sepuluh tahun yang akan datang mestinya tidak dijumpai pada masa Rasulullah saw, tetapi
memerlukan jawaban untuk kepentingan pendidikan di masa sekarang. Untuk itulah diperlukan
ijtihad dari pada pendidik muslim. Ijtihad pada dasarnya merupakan usaha sungguh-sungguh orang
muslim untuk selalu berperilaku berdasarkan ajaran Islam, manakala tidak ditemukan petunjuk yang
jelas dari al-Qur`an ataupun Sunnah.

Dengan demikian untuk melengkapi dan lebih mempermudah terealisasinya ajaran islam itu
sangat dibutuhkan ijtihad, sebab globalisasi dari Al-Quran dan Hadits saja belum menjamin tujuan
pendidikan islam akan tercapai.

Usaha ijtihad para ahli dalam merumuskan teori pendidikan islam dipandang sebagai hal yang
sangat penting bagi pengembangan teori pendidikan pada masa yang akan datang, sehingga
pendidikan islam tidak melegitimasi status quo serta tidak terjebak dengan ide justifikasi terhadap
khazanah pemikiran para Orientalis dan Sekularis. Allah sangat menghargai atau pengapresiasi
kesungguhan para Mujtahid dalam berijtihad.

B. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai.
Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mencapai suatu tujuan, tujuan pendidikan akan
menentukan kearah mana peserta didik akan dibawa. Tujuan pendidikan Islam secara umum adalah
untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk
Allah SWT agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan
beribadah kepada-Nya.

Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai
hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang
menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah
beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 :

“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.

Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :

1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah
laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki
untuk hidup di dunia dan di akhirat.

2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu
dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.

3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni,
sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.

Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan Islam menjadi :

1. Pembinaan akhlak.

2. Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat.

3. Penguasaan ilmu.

4. Keterampilan bekerja dalam masyarakat.

Tujuan pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya.

2. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan
dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.

3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak menyalahgunakan fungsi


kekhalifahannya.

4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan
keterampilan yang semua ini dapat digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan
kekhalifahannya.

5. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

6. Tujuan pendidikan Islam adalah membina dan memupuk akhlakul karimah.

C. KUALITAS MANUSIA MENURUT AL-QUR'AN


Menurut Gordon Allport (1964), "Manusia berkualitas dipandang sebagai orang yang telah
menunjukkan kemampuan untuk memperluas lingkungan hidupnya, menghayati situasi untuk dapat
berkomunikasi dengan hangat, menerima dirinya sebagaimana adanya, mempersepsi lingkungan
secara realistik, memandang dirinya secara obyektif, serta berpegang pada pandangan hidup
secara utuh. Ciri-ciri ini dimiliki oleh manusia yang telah matang (mature)".

Manusia berkualitas itu antara lain dinamakan sebagai integrated personality, healthy
personality, normal personality, dan productive personality [M.D.Dahlan, 1990 : 2-3]. Lebih jauh lagi
ditemukan penamaan manusia berkualitas itu sebagai insan kamil, manusia yang seutuhnya,
sempurna, manusia [insan] kaffah, atau manusia yang hanief.

Manusia berkualitas hendaknya menampilkan cirri sebagai hamba Allah yang beriman,
sehingga hanya kepada Allah ia bermunajah, serta memberikan manfaat bagi sesamanya. Sekirannya
lebih dalam ditelusuri, kedua ciri utama itu kita dapatkan pada manusia taqwa, sehingga manusia
berkualitas dapat pula diartikan sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa" [M.D.Dahlan,1990:7].

Djamaludin Ancok [1998:12], mengutip Hartanto [1997], Raka & Hendroyuwono [1998], ada
empat kapital, yaitu kapital intelektual [intellect capital], kapital sosial [social capital], kapital lembut
[soft capital], dan capital spritual [spritual capital]. Empat kapital yang dikemukakan ini juga
menggambarkan ciri manusia berkualitas. Maka, karakteristik yang dikemukakan al-Qur'an, menjadi
tolak ukur kualitas manusia, karena karakteristik tersebut diturunkan dari konfigurasi nilai-nilai yang
dikemukakan al-Qur'an yang hadir bersama dengan kelahiran manusia ke dunia, dan menjadi sifat
penentu dalam pembentukan kepribadian manusia, yaitu :

1. Kualitas Iman

Keimanan merupakan kebutuhan hidup manusia, menjadi pegangan keyakinan dan motor
penggerak untuk perilaku dan amal (aktivitas kerja) manusia. Dalam keadaan beriman, manusia
dapat memperlihatkan kualitas perilaku, kualitas amal shaleh, dan kualitas sosialnya yaitu ketulusan
dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat luas. Manusia akan berperilaku, bekerja,
dan bermasyarakat sesuai dengan fitrah kejadiannya yang condong kepada hanief. Manusia
berkualitas akan berjuang melawan penindasan, tirani, dan tidak membiarkan kediktatoran atau
tindakan sewenang-wenang. Karena iman memberikan pula kedamaian jiwa, kedamaian berperilaku,
dan kedamaian beramal saleh.

Djamaludin Ancok [1998:15], pada pembahasan kapital spritual, mengatakan bahwa "Semakin
tinggi iman dan taqwa seseorang semakin tinggi pula kapital Intelektual, kapital sosial, dan kapital
lembut". Manusia yang beriman hatinya akan dibimbing Allah, jiwanya menjadi tenang dalam
melakukan aktivitas hidupnya.

2. Kualitas Intelektual

Kualitas intelektual sudah menjadi potensi awal manusia, karena ketika manusia diciptakan,
"Allah mengajarkan kepada Adam segala nama benda" [QS.al-Baqarah (2):31]. Untuk itu, manusia
sejak lahir telah memiliki potensi intelektual, kemudian potensi intelektual ini
dikembangkan. Kualitas intelektual merupakan perangkat yang sangat diperlukan untuk mengolah
alam ini.

Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian dunia, dengan ilmu
dan barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian akhirat, dengan ilmu dan barang siapa yang
ingin memperoleh kebahagian keduanya juga dengan ilmu".

Dalam al-Qur'an surat Al-Mujadalah ayat 11, Allah mengangkat derajat orang yang memiliki ilmu
pengetahuan.

Ilmu pengetahuan dibutuhkan manusia guna menopang kelangsungan peradabannya, karena


manusia diamanatkan Allah untuk mengolah dan memberdayakan alam ini. Djamaludin Ancok
[1998:12], mengatakan bahwa "Kapital Intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk
menemukan peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan
bahwa kapital intelektual sangat besar peranannya di dalam menambah nilai suatu kegiatan". Untuk
itu, Ilmu pengetahuan telah menjadikan manusia dengan berbagai keahlian (ahliha). Tiap keahlian
menjadi unsur penyempurna dalam perakitan kehidupan sosial.

3. Kualitas Amal Shaleh

Al-Qur'an surat at-Tiin ayat 5-6, menyampaikan bahwa "Manusia akan dikembalikan ke kondisi
yang paling rendah, kecuali manusia yang beriman dan mengerjakan amal salah".

Amal saleh merupakan perbuatan yang bernilai bagi manusia, dan itu pula yang akan dilihat
dalam cermin hidupnya. Amal perbuatan yang bermakna bagi kehidupan manusia, baru dapat
terwujud apabila sebelumnya ada iman dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian Iman dapat
membentuk kekuatan dalam diri manusia untuk dapat mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan,
memberikan semangat kerja. Selain itu, amal saleh juga terkait dengan kualitas ilmu, karena dengan
berilmu manusia memiliki orientasi kesanggupan melakukan perbaikan dan melakukan sesuatu
perbuatan amal untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia.

4. Kualitas Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial berfungsi terhadap masyarakatnya, artinya memiliki kemampuan
untuk melakukan hubungan dengan orang lain, karena manusia merupakan keluarga besar, yang
berasal dari satu keturunan Adam dan Hawa. Dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 2 : bahwa
manusia dalam melakukan aktivitas sosial sifat yang terbangun adalah saling "tolong menolong-
menolong dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan dilarang tolong-menolong dalam berbuat
maksiat, berbuat kejahatan". Maka, kualitas sosial sangat terkait dengan kualitas iman, ilmu, dan
amal selah.

Semakin luas pergaulan seseorang dan semakin luas jaringan hubungan sosial [social networking]
semakin tinggi nilai seseorang. "Kapital sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa
hidup dalam perbedaan dan menghargai perbedaan [diversity]. Kemampuan bergaul dengan orang
yang berbeda, dan menghargai dan memanfaatkan secara bersama perbedaan tersebut akan
memberikan kebaikan buat semua".

Dalam al-Qur'an, manusia diciptakan dalam berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling
kenal-mengenal, saling tolong-menolong. Dengan dasar ini, manusia membangun jaringan
silaturrahmi antara sesamanya sesuai dengan fitrahnya.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

1. Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu yang berfungsi memberikan arah kepada tujuan
yang akan dicapai. Dasar pendidikan Islam adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai pokok ajaran
Islam yang utama yang saling melengkapi kemudian ijtihad sebagai bentuk interpretasi di antara
keduanya agar bisa menjawab segala tantangan perkembangan jaman.

2. Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Tujuan
pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi, pendidikan haruslah
menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah dalam arti beribadah kepada-Nya.

3. Manusia berkualitas menurut Al-Qur'an adalah manusia yang memiliki iman kepada Allah, memiliki
amal shaleh, memiliki ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan sosial yang baik antara sesama
manusia dengan tidak memandang derajat, suku bangsa, dan agama.

B. IMPLIKASI

Untuk mampu menghadapi tantangan global dan arus perkembangan mental masyarakat yang
semakin kritis, saatnya untuk kembali menata pendidikan Islam khususnya di Indonesia. Tentunya,
menjadikan Al-Qur'an sebagai ajaran pokok ditambah dengan Sunnah Rasulullah sebagai "Uswatun
Hasanah", serta menyikapi segala permasalahan yang terjadi dengan jalan ijtihad, bermusyawarah
dengan kepala dingin dan dialogis, bersama-sama membangun pendidikan Islam secara nyata dalam
sistem persekolahan formal, informal, maupun nonformal disertai aplikasi yang berkelanjutan dalam
kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2010

Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2005


Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001

Zuhairini, Dra., dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Asy'arie, Musya, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur'an,Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992

Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1996

Dasar Dan Tujuan Pendidikan Islam

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan, adalah alat atau sarana bagi manusia untuk mengembangkan keilmuan dan
pengetahuan, oleh karena itu pendidikan diharapkan memiliki standard dan dasar-dasar yang tertata,
dikurikulumkan, dan jelas teori-teori dan konsep-konsep pendidikan yang diharapkan adalah konsep
dan teori yang relepan dengan keadaan yang berlaku

Islam, telah datang dengan teori dengan konsep yang memiliki syarat, tertata, dan
dikurikulumkan. Adapun teori dan konsep yang baik dari Islam antara lain Al-Qur’an, Al-Hadits atau
As-Sunnah, dan ra’yu. Al-Quran dan Al-Hadits merupakan pondasi dan tiang yang sangat kokoh
dalam pendidikan, dan ra’yu sebagai pelengkap dan memperindah dunia pendidikan Islam. Jadi,
untuk menuju pendidikan yang baik kita harus memiliki pendidikan yang memiliki dasar seperti Al-
Quran, Hadits, dan ra’yu.

1.2 Tujuan Penulisan

Dalam penulisan ini, penyusun memiliki tujuan untuk:

- Memberikan pengertian tentang dasar-dasar pendidikan Islam.

- Menjelaskan tujuan pendidikan islam.

1.3 Metode Penulisan


Dalam penyusunan ini, penyusun menggunakan metode studi kepustakaan, yakni membaca,
memahami, dan membuat resume tentang dasar pendidikan Islam.

BAB II

DASAR-DASAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

2.1 Pengertian Dasar Pendidikan Islam

Dasar (Arab, asas; Inggris: foundation; Prancis: fondement; Latin: fundamentum) secara
bahasa, berarti alas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu (pendapat, ajaran, aturan). Dasar
mengandung pengertian sebagai berikut: (1) sumber dan sebab adanya sesuatu. Umpamanya, alam
rasional adalah dasar alam inderawi. Arinya, alam rasional merupakan sumber dan sebab adanya
alam inderawi. (2) proposisi paling umum dan makna paling luas yang di jadikan sumber
pengetahuan, ajaran, atau hukum. Umpamanya, dasar induksi adalah prinsif yang membolehkan
pindah dari hal-hal yang khusus kepada hal-hal yang umum. Dasar untuk pindah dari ragu kepada
yakin adalah kepercayaan kepada Tuhan bahwa dia tidak mungkin menyesatkan hamba-hamba-Nya.

Dasar mesti ada dalam suatu bangunan. Tanpa dasar, bangunan itu tidak akan ada. Pada
pohon, dasar adalah akarnya. Tanpa akar, pohon itu mati; dan ketika sudah mati, bukan pohon lagi
namanya, melainkan kayu. Maka tak ada akar, pohon pun tak ada. Kalimat La Ilaha Illa Allah (Arab:
Tidak ada Tuhan selain Allah) yang merupakan espresi terdalam keimanan orang mungkin di
gambarkan oleh Allah SWT. Sebagai dasar yang melahirkan cabang-cabang berupa amal saleh:

     


  
  
   
   
    
  
 

Apakah Kamu tidak memperhatikan bagai mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat
yang baik seperti pohon yang baik, akar nya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu
memberikan buahnya pada setiap muslim dengan seijih tuhannya. Allah memberikan perumpamaan-
perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka ingat. (Q.s. Ibrahim/ 14:24-25)

Dasar pendidikan islam adalah islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada Al-
Qur’an, sunnah Rasulullah SAW. (selanjutnya disebut sunnah), dan ra’yu (hasil pikir manusia). Tiga
sumber ini harus digunakan secara hirarkis. Al-Qur’an harus didahulukan. Apabila suatu ajaran atau
penjelasanya tidak di temukan di dalam Al-Qur’an, maka harus di cari didalam sunnah; apabila juga
tidak di temukan di dalam sunnah, barulah digunakan rakyu. Sunnah tidak akan bertentangan dengan
Al-Qur’an, dan rakyu tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah. Tiga sumber ajaran ini
dan hirarki penggunaannya di tetapkan di dalam hadits sebagai berikut:

Rasulullah Saw, mengutus Mu’adzke Yaman. Kemudian beliau bertanya “bagai mana kamu
memutuskan (suatu masalah)? “ia menjawab” saya akan memutuskannya dengan apa yang terdapat
di dalam kitab Allah.” Beliau bertanya “Apabila putusan itu tidak terdapat di dalam kitab Allah?” ia
menjawab, “saya akan memutuskanya dengan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apabila
putusan itu tidak juga terdapat di dalam Sunnah Rasulullah?” ia menjawab, “saya berijtihad dengan
rakyu.” Kemudian beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada
utusan Rasul-nya.” (H.R. al-Turmudzi)

Dasar inilah yang membuat ilmu pendidikan disebut ilmu pendidikan Islam. Tanpa dasar ini,
tidak akan ada ilmu pendidikan Islam. Persoalan yang muncul adalah dalam bentu apa atau
bagaimana Islam mendasari ilmu pendidikannya? Ada anggapan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah berisi
teori-teori ilmu, sehingga “Pembuatan dan penulisan teori dalam ilmu pendidikan islam tidak jauh
berbeda dari pembuatan dan penulisan teori dalam fiqih”. Pembahasan tentang hakikat Al-Qur’an dan
Sunnah di bawah ini diharapkan dapat menjawab persoalan tersebut.

2.2 Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Dalam bahasa
arab yang terang guna menjelaskan jalan hidup yang bermaslahat bagi umat manusia di dunia dan di
akhirat. Terjemahan Al-Qur’an ke bahasa lain dan tafsirnya bukanlah Al-Qur’an, dan karenanya
bukan nasb yang qatb’I dan sah untuk di jadikan rujukan dalam menarik kesimpulan ajarannya.

Al-Qur’an menyatakan dirinya sebagai kitab petunjuk. Allah menjelaskan hal ini di dalam firman-
Nya:
   
   
 
  
   

Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk ke (jalan) yang lebih lurus dan memberikan
kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada
pahala yang besar. (Q.S. Al-Isra/ 17:9)

Ayat-ayat semacam ini menegaskan bahwa tujuan Al-Qur’an adalah memberikan petunjuk
kepada umat manusia. Tujuan ini hanya akan tercapai dengan memperbaiki hati dan akal manusia
dengan akidah-akidah yang benar dan akhlak yang mulia serta mengarahkan tingkat laku mereka
kepada perbuatan yang baik.

Atas dasar ini, sebagai mana dikemukakan ‘Ali Hasballah, setiap pembahasan tetang Al-Qur’an
yang bertujuan mencapai tujuan Al-Quran tersebut merupakan pembahasan yang proposional,
dibutukkan, dan berdasar pada dalil syar’i. pembahasan yang tidak bertujuan demikian tidak akan
mendapat legitimasi dari dalil syar’i.

Petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana di kemukakan Mahmud Syaltut, dapat dikelompokan menjadi


tiga pokok yang di sebutnya sebagai maksud-maksud Al-Qur’an, yaitu:

1. Petujuk tentang akidah dan kepercayan yang harus dianut oleh manusia dan tersimpul dalam
keimanan akan Keesaan Tuhan serta kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.

2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan
susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif.

3. Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus
diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.

Pengelompokkan tersebut dapat disederhanakan menjadi dua, yaitu petunjuk tentang aqidah
dan petunjuk tentang syari’ah. Penyederhanaan ini sesungguhnya di gunakan oleh Syaltut sendidri
dalam bukunya yang berjudul al-islam ‘Akidah wa syari’ab (Islam adalah aqidah dan ayariat). Yang di
maksud dengan akidah ialah:
Aspek teoritis yang menuntut pertama-tama dan sebelum apapun keimanan kepada Allah;
keimanan yang tidak terjamah oleh keraguaan (kuat) dan tidak pula dipengaruhi kekaburan (tegas).

Yang di maksud dengan syariat ialah:

Aturan-aturan atau pokok-pokoknya yang digariskan Allah untuk diterapkan manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan-nya, sesama muslim, sesama manusia, alam, dan kehidupan.

Dalam menyajikan maksud-maksud tersebut, Al-Qur’an menggunakan metode-metode sebagai


berikut:

1. Mengajak manusia untuk memperhatikan dan mengkaji segala ciptaan Allah sehingga mengetahui
rahasia-rahasia-Nya yang terdapat di dalam semesta.

2. Menceritakan umat terdahulu, baik individu maupun kelompok, baik orang-orang yang mengerjakan
kebaikan maupu orang-orang yang mengadakan kerusakan, sehingga dari kisah ini manusia dapat
mengambil pelajaran tentang hukum sosial yang di berlakukan Allah terhadap mereka.

3. Menghidupkan kepekaan batin manusia yang mendorongnya untuk bertanya dan berpikir tentang
awal dan materi kejadiannya, kehidupannya, dan kesudahannya, sehingga insyaf akan Tuhan yang
menciptakan segala kekuatan.

4. Memberi kabar gembira dan janji serta peringatan dan ancaman.

Sistematika yang di gunakan Al-Qur’an dalam menyajikan kandungannya tidak sama dengan
yang digunakan dalam penyususnan buku-buku ilmiah. Dalam buku-buku ilmiah satu masalah
dibahas dengan satu metode tertentu serta dibagi menjadi bab-bab dean pasal-pasal. Metode ini
tidak terdapat dalam Al-Qur’an yang menerangkan banyak persoalan induk secara silih berganti.
Persoalan akidah kadang-kadang bergandengan dengan persoalan hukum diterangkan, tiba-tiba
muncul persoalan lain yang sepintas tampak tidak saling berhubungan. Misalnya, apa yang terdapat
dalam surat Al-Baqarah ayat 216-221 yang mengatur hukum perang dalam Al-Asybur Al-
Burum (bulan-bulan suci) berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim,
dan perkawinan dengan orang-orang musyrik. Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan
kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hukum-hukum yang tercakup di dalamnya merupakan satu
kesatuan yang harus ditaati oleh para penganutnya secara keseluruhan tanpa pemisahan yang satu
dari yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah yang merupakan bidang kajian filsafat dan
metafisika, Al-Qur’an tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Demikian halnya dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Yang demikian membuktikan bahwa Al-Qur’an tidak dapat
dipersamakan dengan kitab-kitab karya manusia.

Al-Qur’an, dalam penegasan Allah dan keyakinan kaum muslimin, merupakan sumber pertama
ajaran-ajaran dasar Islam. Sebagai ajaran yang datang dari Allah Yang Maha Besar, kebenarannya
bersifat mutlak dan kekal. Oleh sebab itu, sikap keagamaan orang mukmin terhadap Al-Qur’an adalah
memahami kebenaran pernyataannya dengan bertitik tolak dari keyakinan; bukan memandangnya
sebagai bahan baku teori, hipotensi, atau asumsi ilmiah yang memerlukan pembuktian dengan
bertitik tolakdari keraguan. Umpamanya, di dalam Al-Qur’an terdapat firman Allah yang menyatakan
sebagai berikut:

    …..


  
…… 


… dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)keji dan
mungkar…(Q.S. al-Ankabut/29:45)

Pernyataan tersebut menunjukan kepada hubungan kausalitas antara salat dan tercegahnya
tidak kekejian dan kemungkaran. Apabila pernyataan itu dipahami dengan logika ilmiah, maka
kebenarannya akan bersifat sementara sebelum terbukti secara empiris. Apabila pendidikan muslim
berfikir demikian, maka dalam mendidik anak-anak agar tidak melakukan tindak kekejian dan
kemungkaran ia tidak akan bersandar kepada pendidikan shalat, bahkan mungkin ia akan
membiarkan anak-anak tidak melaksanakannya sampai kebenaran pernyataan di atas terbukti.
Dengan demikian, ia siap melanggar kewajiban yang di sampaikan Nabi saw, sebagai berikut:

Suruhlah anak-anak kamu melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun; dan
pukullah mereka karena meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah
tempat tidur mereka (H.R. Abu Dawud)

Al-Qur’an bukan kitab teori ilmu. Meskipun demikian, antara keduanya terdapat hubungan yang
sangat erat. Hubungan itu terlihat pada pilihan moral: obyek apa yang akan diteliti dan untuk apa
pengetahuan yang dihasilkan diterapkan. Disamping itu, sebagai mana di kemukakan M.Quraisy
Shihab, hubungan antara Al-Quran dan ilmu tidak dilihat dari adakah suatu teori tercantum di dalam
Al-Qur’an, tetapi dari adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu atau sebaliknya, serta
adakah satu ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan.
Kemajuan ilmu tidak hanya di nilai dengan apa yang dipersembahkan kepada masyarakat, tetapi juga
diukur dengan terciptanya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu itu. Al-Qur’an telah
menciptakan iklim tersebut dengan menjadikan ilmu sebagai bentuk kesadaran muslim yang amat
sentral, yang menengahi antara iman dan amal. Dalam hal ini, para ulama sering mengemukakan
perintah Allah SWT., langsung maupun tidak langsung, kepada manusia untuk berpikir, merenung,
menalar, dan sebagainya. Banyak sekali seruan dalam Al-Qur’an kepada manusia untuk mencari dan
menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan, gugatan, atau perintah supaya ia berpikir,
merenung, dan menalar. Umpamanya, terdapat firman Allah yang menganjurkan untuk menggunakan
akal pikiran dalam mencapai hasil:

   


    
   
      
     
  

Katakanlah (hai Muhammad): “sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal
saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah.” (Q.S.
Saba’ / 34:46)

Firman Allah yang menekankan betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan
cendekiawan dalam masyarakat:

   


  
  
     
   
   
  
Tanyakanlah hai Muhammad: “Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan mereka
yang tidak mengetahui?” (Q.S. Al-Zuma r/ 39:9)

Firman Allah yang mengeritik pedas orang-orang yang berbicara atau membantah suatu
persoalan tanpa data obyektif dan ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut:

  


    
    
     
 

Inilah kamu (wahai Abi Al-kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka
mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui? Allah mengetahui, sedangkan
kamu tidak mengetahui.(Q.S. Ali’Imran / 3:66)

Hubungan antar Al-Qur’an dan ilmu pendidikan Islam tampak terbatas pada segi-segi
dikemukakan di atas. Namun, ini tidak berarti bahwa Al-Qur’an tidak mempunyai hubungan yang luas
dengan pendidikan. Dalam kaitan ini, Ahmad Ibrahim Muhanna mengatakan bahwa Al-Qur’an
membahas berbagai aspek kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan terpenting yang
dibahasnya. Setiap ayatnya merupakan bahan baku bangunan pendidikan yang dibutuhkan setiap
manusia. Hal ini tidak aneh mengingat Al-Qur’an merupakan Kitab Hidayah; dan seseorang
memperoleh hidayah tidak lain karena pendidikan yang benar serta ketaatannya. Meskipun demikian,
hubungan ayat-ayatnya dengan pendidikan tidak semuanya sama. Ada yang merupakan bagian
pondasional dan ada yang merupakan bagian parsial. Dengan perkataan lain, hubungannya dengan
pendidikan ada yang langsung dan tidak ada yang tidak langsung.

Al-Qur’an di peruntukkan bagi manusia. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila manusia
merupakan tema sentral pembahasannya. Di dalamnya di terangkan hakikat manusia: siapa dirinya,
dari mana ia berasal, di mana ia berada, apa yang harus dilakukannya, dan hendak ke mana ia
pergi? Masalah hakikat hidup, padangan hidup, dan tujuan hidup merupakan masalah pendidikan.
Namun, masalah itu tidak berada dalam ruang lingkup kajian ilmu pendidikan yang hanya
menjangkau fakta-fakta empiris, melainkan dalam rung lingkup fisafat pendidikan yang bisa
mengambil datanya dari ajaran-ajaran agama.

2.3 Sunnah
Al-Qur’an disampaikan oleh Rasulullah saw. kepada umat manusia dengan penuh amanat;
tidak sedikit pun ditambah ataupun dikurangi. Selanjutnya, manusialah yang hendaknya berusaha
memahaminya, menerimanya, kemudian mengamalkannya.

Seringkali manusia menemui kesulitan dalam memahaminya, dan ini dialami oleh para
shahabat sebagai generasi pertama penerima Al-Qur’an. Karenanya, mereka meminta penjelasan
kepada Rasulullah saw. yang memang diberi otoritas untuk itu.

Allah swt. menyatakan otoritas dimaksud dalam firman-Nya di bawah ini:

. . . .
    .
   
  


……. dan kami turunkan kepadamu Al-Dzikir (Al-Qur’an) agar kamu menerangkan kepada mereka
dan supaya mereka berpikir (Q.S. Al-Nahl / 16:44)

Penjelasan itu disebut Al-Sunnah, yang secara bahasa berarti Al-Thariqah, jalan; dan dalam
hubungan dengan Rasulullah saw. berarti segala perkataan, perbuatan, atau ketetapannya.

Para ulama menyatakan bahwa kedudukan sunnah terdapat Al-Quran adalah sebagai penjelas.
Bahkan, ‘Umar bin Al-khaththab mengingatkan bahwa sunnah merupakan penjelasan yang paling
baik. Ia berkata, “akan datang suatu kaum yang membantahmu dengan hal-hal yang syubhat di
dalam Al-Qur’an. Maka hadapilah mereka dengan berpegang kepada sunnah, karena orang-orang
yang bergelut dengan sunnah lebih tahu tentang kitab Allah.” Apa yang diuraikan para ulama bahwa
Sunnah berfungsi merinci (mufashshilah), ajaran yang global (mujmal), di dalam Al-Qur’an, mengikat
(muqayyidah), yang mutlaknya (muthlaq), dan mengkhususkan (mukhashshishah), yang umumnya
(‘am), semuanya berarti menjelaskan maksud-maksud Al-Qur’an. Karena kedudukannya itu, Sunnah
selalu mempunyai dasar pada Al-Qur’an dan tidak mungkin bertentangan dengannya. Atas dasar
inilah muncul pernyataan para ulama bahwa Sunnah merupakan aplikasi praktis (tathhiq’amali)
ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Sunnah memang berkedudukan sebagai penjelas bagi Al-Qur’an. Namun, pengamalan
ketaatan kepada Allah sesuai dengan ajaran Al-Qur’an sering kali sulit terlaksana tanpa
penjelasannya. Karenanya, Allah memerintah kepada manusia untuk menaati Rasul dalam kerangka
ketaatan kepada-Nya. Itulah sebab para ulama memandang Sunnah sebagai sumber kedua ajaran
Islam setelah Al-Qur’an.

Dibawah ini dikemukakan contoh bagaimana Sunnah menjelaskan prinsip umum ajaran Al-
Qur’an. Umumnya, Al-Qur’an menyatakan kewajiban anak berbuat baik kepada orang tua.

   


   
 
 . . . . .  

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun; dan berbuat
baiklah kepada dua orang tua.....(Al-Nisa’/4:36)

Berbuat baik kepada orang tua merupakan prisip umum yang digariskan Al-Qur’an dalam
hubungan dengan orang tua. Penerapannya bisa dalam bentuk yang bermacam-macam. Al-Qur’an
sendiri antara lain mengemukakan:

    


 
  
   
  
    
   
  

Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Q.S. Al-Isra’/17:23)

Pada bagian lain dijelaskan:

 
   
    
     
  
   

Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah
kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan. (Q.s. Al-Ankabut/ 29:8)

Sunnah menjelaskan prinsip tersebut dalam bentuk penerapan yang lebih banyak lagi.
Umpamanya, anak tidak boleh ikut berperng tanpa izin orang tuanya.

Diriwayatkan bahwa’ abdulah bin’ Amr bin al-‘Ash r.a. berkata, “seorang lelaki datang kepada
Nabi Allah saw. Seraya berkat, ‘Aku mejmbaiatmu untuk berhijrah dan berzihad guna mencari pahala
dari Allah Ta’ala’. Beliau bertanya, ‘Apakah di antara dua orang tuamu ada yang masih hidup? ‘Dia
menjawab, ‘Ya. Bahkan, keduanya’. Beliau bertanya, ‘Lalu, kamu hendak mencari pahala dari Allah
Ta’ala?’ dia menjawab, Ya. ’beliau berkata, kembalilah kepada kedua orang tuamu; lalu, temanilah
mereka dengan baik.’ (Hadits Muttafaq ‘alaih dengan lafazh muslim)

Contoh lainya anak tidak boleh menghina orang tua yang lain, sebab anak yang orang tuanya
dihina boleh jadi akan balas menghina orang tuanya pula. Rasulullah saw. Bersabda:
“Diantara antara dosa besar ialah seseorang mencari orang tuanya sediri!” para shahabat
bertanya (heran), “ya rasulallah, bagai mana mungkin seseorang mencari dua arang tuanya sendiri!?”
beliau menjawab, “Ya. Dia mencari bapa orang lain, lalu orang lain itu balas mencaci bapaknya; dan
ia mencaci ibu orang lain, lalu orang lain itu balas mencaci ibunya pula.” (Hadits muttapaq ‘alaih)

Para ulama ulama hadits telah menghimpun bentuk-bentuk berbuat baik kepada orang tua di
dalam karya mereka seperti pada bab Birr Al-Walidayin (Berbuat baik kepada dua oarang tua)
dan Uquq Al-Walidayn (Mendurhakai dua orang tua).

Dalam lapangan pendidikan, sebagaimana dikemukakan Abdurrahman Al-Nahlawi, sunnah


mempunyai dua faidah:

1. Menjelaskan sistem pendidikan Islam sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an dan


menerangkan hal-hal rinci yang tidak terdapat di dalamnya.

2. Mengingatkan metode-metode pendidikan yang dapat dipraktikan.

Pribadi Rasulullah saw. sendiri, kata Muhammad Quthb, merupakan contoh gidup serta bukti
konkres sistem dan hasil pendidikan islam. Hal ini diakui oleh Allah swt. dengan firman-Nya:

     


   
  
   


esungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.s
Al-Ahzab/33:21)

Sunnah, sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an, mengambil dua bentuk: nilai-nilai dan kaidah-
kaidah normatif serta teknik-teknik praktis historis. Bentuk pertama bisa dikembangkan dalam hirarki
nilai, sehingga tidak mungkin ada pertentangan antara nilai pokok dan nilai cabang. Bentuk kedua
bisa diubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Umpamanya dengan menelaah kembali apakah
teknik-teknik pendidikan yang digunakan rasul masih relevan atau tidak ada apakah cukup memadai
ataukah belum untuk diterapkan di masa sekarang.

Banyak tidakan mendidik yang telah di contohkan Rasulullah saw. Dalam pergaulannya
bersama para sahabatnya. Dia menganjurkan agar pembicaraan yang diarahkan kepada orang lain
hendaknya disesuikan dengan tingkat kemampuan berpikir mereka. Dia memperhatikan setiap orang
sesuai dengan sifatnya: wanita atau lelaki, tua atau kanak-kanak. Kepada orang yang menyenangi
harta, dia akan memberinya harta agar hatinya menjadi lunak. Kepada orang yang mencintai
kedudukannya, dia akan menempatkan kedudukan orang itu dekat dengannya, karena di mata
kaumnya dia adalah orang yang berkedudukan. Dalam pada itu, dia tidak pernah lengah untuk
menyeru mereka agar beribadah kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nya.

Ulama muslim telah memahami dan menyadari pentingnya tindakan mendidik yang dicontohlan
oleh Rasulullah saw. Di antara mereka ada yang menyusun kitab berisi hadits-hadits rasulullah saw.
Yang berorientasi pendidikan, seperti kitab Al-Targhib wa Al-targhib. Kitab karya ‘Abdul ‘Azham Al-
Mundziri (581-656 H)ini menanamkan motivasi untuk cinta mengerjakan kebaikan dan menjauhi
perbuatan jahat. Kitab ini membahas banyak aspek kehidupan: material, spritual, finansial, individual,
sosial, peribadatan, dan intelektual. Ada pula ulama yang mempelajari kehidupan dan hadits
Rasulullah saw. Untuk menggali beberapa topik pendidikan yang kemudian disusun menjadi kitab.
Contohnya adalah kitab Tuhfah Al-Maudud fi Ahkam Al-Maulud, karya ibnu Qayyim Al-jauziyyah;
dan Al-Adab AL-mufrid karya imam Muhammad bin Isma’ il Al-Bukhari. Yang terakhir ini adalah kitab
pendidikan Nabawi yang mengandung beberapa tuntunan sekitar pendidikan dan perlakuan terhadap
anak-anak yatim, perilaku sosial, serta menyayangi, mencium, dan bercanda dengan anak-anak.

2.4 Ra’yu

Masyarakat selalu mengalami perubahan, baik mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial,
pola-pola tingkah laku, organisasi, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan
dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, maupun interaksi sosial, dan lain sebagainya.

Pendidikan sebagai lembaga sosial akan turut mengalami perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat.

John Vaizey, seorang guru besar dalam ilmu ekonomi dari Universitas Brunel, Inggris,
menggambarkan perubahan yang terjadi pada tahun-tahun pertengahan abad ke-20. dikatakannya
bahwa meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya pengharapan, dan pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan telah membawa serta perubahan-perubahan baru dalam pendidikan. Orang dapat
menyaksikan penerapan teknik-teknik ilmu pengetahuan alam dan sosial serta teknologi dalam
proses pendidkan sebagai akibat adanya pengertian yang lebih dalam tentang apa yang terjadi dalam
pendidkan. Ada orang yang berpandangan bahwa meningkatnya penggunaan teknik-teknik yang
melibatkan elektronika dan perlengkapan lainnya yang kompleks telah mengakibatkan dehumanisasi
pendidikan. Mungkin ada pula orang yang berpendapat bahwa penghotbahan doktrin “afisiensi”
dalam penggunaan sumber-sumber untuk pendidikan berarti bersikap pragmatis dan mementingkan
kegunaan terhadap pendidikan. Sehubungan dengan perhatian terhadap efisiensi, ada pula perhatian
terhadap latihan bagi orang-orang untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dalam kesibukan
merenungkan fungsi latihan ini, maka tujuan-tujuan terakhir pendidikan menjadi kabur.selanjutnya
dapat dinyatakan bahwa abad ini menyaksikan gugurnya pedoman-pedoman peradaban dalam
sekolah dan perguruan tinggi.

Pada masa-masa berikutnya muncul penelitian yang menunjukan kecenderungan dunia untuk
menjadikan sekolah sebagai lembag yang bernorma kuat, sehingga tidak ada usaha swasta yang
tidak diakui pemerintah bila “norma”-nya tidak memenuhi selera pemerintah. Sementara itu, sebagai
pemikir pendidikan melihat bahwa sekolah tidak bisa diharapkan untuk mengamansipasi martabat
kemanusiaan (human dignity). Mereka mengeritik pandangan yang mempertahankan sekolah
sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan prinsip bahwa dunia harus
maju, tanpa peduli adanya akibat malapetaka ledakan nuklir, pencemaran, dan sebagainya. Di antara
para kritikus yang vokal dalam hal ini ialah ivan illich yang menggambarkan adanya masyarakat
bebas dari ikatan-ikatan pendidikan sekolah; paulo freire yang menganggap sekolah sebagai tempat
pendidikan rakyat tertidas; dan Everett Reimer yang menganalisis pendidikan sekolah pada
kematiannya.

Perubahan-perubahan seperti di kemukakan di atasdan munculnya gagasan-gagasan baru


tentang pendidikan pada gilirannya melahirkan berbagai masalah pendidikan. Apakah perubahan
yang terjadi bertentangan dengan nilai-nilai hakiki pendidikan ataukah malah sebaliknya,
meningkatnya? Apakah perubahan pada suatu komponen mengharuskan perubahan seluruh sistem?
Apa yang harus diajarkan? Apakah sekolah harus dibubarkan? Jika sekolah dibubarkan, di mana
generasi muda memperoleh pendidikan? Jika sekolah tidak dibubarkan, bagaimana agar sekolah
berfungsi dalam mencapai tujuan pendidikan?

Masalah-masalah di atas merupakan perkembangan baru di dunia pendidikan yang tidak


dijumpai di masa Rasulullah saw., tetapi memerlukan jawaban untuk kepentingan pendidikan di masa
sekarang. Untuk itulah diperlukan ijtihad dari para pendidik muslim.ijtihad pada dasrnya merupakan
usaha sungguh-sungguh orang muslim untuk selalu berprilaku berdasrkan ajaran Islam. Untuk itu,
manakala tidak di temukan petunjuk yang jelas dari Al-Qur’an maupun Sunnah tentang suatu
perilaku, orang muslim akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk menemukannya dengan
memperhatikan prisip-prinsip umum Al-Qur’an maupun Sunnah.
Ijtihad sudah dilakukan para ulama sejak masa shahabat. Namun, tampaknya literatur-literatur
yang ada menunjukan bahwa ijtihad masih terpusat pada hukum syarak. Yang dimaksud dengan
hukum syarak, menurut depinisi ‘Ali Hasballah, ialah proposisi-proposisi yang berisi sifat-sifat syariat
(seperti wajib, haram dan sunnah) yang disandarkan pada perbuatan manusia, baik lahir maupun
batin. Kemudian dalam hukum tentang perbuatan manusia ini tampaknya aspek lahir lebih menonjol
ketibang aspek batin. Dengan perkataan lain, fiqih zhahir lebih banyak digeluti daripada piqih bathin.
Karenanya, pembahasan tentang ibadah, muamalat, dan jinayat lebih dominan ketimbang kajian
tentang iklas, sabar, memberi maaf, merendahkan diri, dan tidak menyakiti orang lain.

Ijtihad dalam lapangan pendidikan malah nyaris ta terdengar. Sebabnya barangkali bisa di rujuk
pada kondisi sosial umat di masa lalu. Persoalan kenegaraan, perdagangan, perkawinan, dan
sebagainya seperti terlihat pada tema-tema piqih tampak merupakan masalah akut pada masa itu,
sementara persoalan pendidikan cukup diatasi oleh konvensi-konvensi yang ada. Meskipun demikian,
ada sebagian ulama yang peduli terhadap masalah pendidikan, di antaranya dapat disebutkan
kelompok ikhwan Al-Shafa, Al-Ghazali, Ibnu Khladun, Al-Zarnuji, Al-Kanbin, dan Al- Ansari.

Ijtihad dalam lapangan pendidikan perlu mengimbangi ijtihad dalam lapangan fiqih (lahir dan
batinnya), mengingat yang pertama merupakan usaha pembudayaannya, sedangkan yang kedua
merupakan usaha penggalian budaya itu. Ruang lingkupnya bisa dalam lingkup filsafat pendidikan
Islam dan bisa pula dalam lingkup ilmu pendidikan Islam.

Dalam lingkup ilmu pendidikan Islam, pernyataan Al-Qur’an dan Sunnah hendaknya dipilih
mana yang bernialai normatif dan mana yang bernilai teknis-praktis, sehingga tidak terjadi salah
perlakuan, tidak membuktikan secara empiris apa yang seharunya diyakini. Sementara itu, hasil pikir
para ulama seperti Ibnu Sina, Al-Gazali, dan Ibnu Khaldun masih terbuka untuk dikaji ulang guna
dicari kemungkinan penerapannya di masa sekarang.

2.5 Tujuan pendidikan islam

Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk
menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai
kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat.

Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala
kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan
akhir pendidikan Islam.

Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan
Islam. Sifatnya lebih praxis, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealisasi
ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan ini dirumuskan harapan-
harapan yang ingin dicapai di dalam tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula
dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.

Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia
sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang
menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.

Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah
beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat Ad-Dzariyat ayat 56 :

    


 

“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.

Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan
shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan
syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang
dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk
mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.

Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang
dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan
Allah.

Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :

1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah
laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki
untuk hidup di dunia dan di akhirat.

2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu
dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni,
sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.

Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi

1. Pembinaan akhlak.

2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.

3. Penguasaan ilmu.

4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.

Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :

1. Tujuan keagamaan.

2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.

3. Tujuan pengajaran kebudayaan.

4. Tujuan pembicaraan kepribadian.

Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :

1. Bahagia di dunia dan akhirat.

2. menghambakan diri kepada Allah.

3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.

4. Akhlak mulia.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Melahirkan ilmu pendidikan Islam merupakan pekerjaan yang memerlukan penanganan


bersama oleh segenap anggota masyarakat, dan yang tidak kalah penting adalah dasar atau
pondasi. Dasar yang harus kita anut adalah dasar-dasar pendidikan Islam. Dasar-dasar ilmu
pendidikan Islam adalah dasar atau pondasi yang mengacu pada Islam. Dan dasar-dasar tersebut
adalah Al-Qur’an sebagai pondasi yang kuat dan kokoh, dan As-Sunnah atau Hadits sebagai tiang
yang menopang kekuatan pondasi, sedangkan ra’yu sebagai pelengkap yang memperindah.

Aturan atau pokok yang digariskan, oleh Allah untuk diterapkan manusia dalam hubungannya
dengan Tuhan-Nya. Sesama muslim, sesama manusia, alam, dan kehidupan (Al-Qur’an dan Hadits)
adalah ayariat yang harus di laksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan pendidikan.

Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk
menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai
kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat.

Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan
manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.

Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi

a. Pembinaan akhlak.

b. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.

c. Penguasaan ilmu.

d. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.

Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :

a. Tujuan keagamaan.

b. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.

c. Tujuan pengajaran kebudayaan.

d. Tujuan pembicaraan kepribadian.

Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :

a. Bahagia di dunia dan akhirat.

b. menghambakan diri kepada Allah.


c. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.

d. Akhlak mulia.

DAFTAR PUSTAKA

- Aly, Herynoer. 1999. Ilmu Pendidikan Islam. PT. Logos Wacana Ilmu: Jakarta.

- Arifin, H.M., 1994. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta: Bumi
Angkasa.1994

- Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al- Islamiyah, Damaskus: Dar al-Fikr, 1979.

Anda mungkin juga menyukai