Anda di halaman 1dari 13

PENDIDIKAN ISLAM DAN MORALITAS

A. Pengertian Pendidikan Islam


Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan ialah : “Proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.[1]
Ki Hajar Dewantara menyatakan : “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan budi pekerti (kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras
dengan alam dan masyarakatnya”.[2]
Muhammad Natsir dalam tulisannya ideology Islam, menulis : “Yang dinamakan
didikan, ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan
kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.[3]
Ahmad D. Marimba mengajukan definisi pendidikan sebagai berikut : “Pendidikan
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[4]
Jamin Shaliba dari lembaga bahasa Arab Damaskus mengemukakan bahwa
“pendidikan ialah pengembangan fungsi-fungsi psikis melalui laihan sehingga mencapai
kesempurnaannya sedikit demi sedikit”.[5]
Di dalam Islam terdapat tiga istilah pendidikan yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
Istilah tarbiyah berakar pada tiga kata. Pertama, kata, raba yarbu, yang berarti bertambah atau
tumbuh. Kedua, kata, rabia yarba, yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata, raba
yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga dan memelihara Firman
Alah yang mendukung istilah tarbiyah antara lain terdapat pada ayat di bawah ini :
“….dan ucapkanlah, wahai Tuhanku, kasihilah mreka keduanya sebagaimana ereka berdua
telah mendidik aku waktu keccil” (QS al-Isra’ : 24)[6]
Abdul Fatah Jalal, ahli pendidikan dari Universitas al-Azhar, mengatakan
“bahwa yang dimaksud dengan tarbiyah pada ayat tersebut di atas, adalah, pendidikan
yang berlangsung pada fase pertama pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak,
masa anak sangat bergantung pada kasih sayang keluarga. Dengan demikian, pengertian yang
digali dari kata tarbiyah terbatas pada pemeliharaan, pengasuhan dan pengasihan anak
manusia pada masa kecil. Bimbingan dan tuntunan yang diberikan sesudah mada itu tidak
lagi termasuk dalam pengertian pendidikan”.[7]
Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk konsep pendidikan Islam ialah ta’lim.
Jalal, salah seorang yang menawarkan istilah ini, mengemukakan konsep pendidikan yang
terkandung di dalamnya sebagai berikut, ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus
menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan
dan hati. Pengertian ini digali dari firman Allah SWT yang menyatakan sebagai berikut :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu
bersyukur”. (Q.S. al-Nahl : 78)[8]
Pengembangan fungsi-fungsi tersebut merupakan tanggung jawab orang tua ketika
anak masih kecil. Setelah dewasa, hendaknya orang belajar secara mandiri sampai ia tidak
mampu lagi meneruskan belajarnya, baik karena meninggal dunia maupun usia tua renta.
Proses ta’lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah kognisi semata,
tetapi terus menjangkau wilayah psikomotori dan afeksi.
Istilah ta’dib untuk menandai konsep pendidikan dalam Islam ditawarkan oleh al-
Attas. Istilah ini berasal dari kata adab dan pada pendapatnya, berarti pengenalan dan
pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis
sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tempat seseorang yang tepat
dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani,
intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan demikian ini, kata adab mencakup pengertian
ilmu dan amal.
Kata ta’dib dinyatakan sebagai cara Tuhan dalam mendidik Nabi SAW, sesuai
dengan sabda beliau :
“Tuhanku telah mendidikku, maka baguslah adabku”[9]
Berdasarkan konsep adab tersebut di atas al-Attas mendefinisikan pendidikan sebagai
berikut :
“Pengasuhan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam
manusia tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan
sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat
Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan potensi”.[10]
Pengenalan berarti menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan yang dikenali;
dan pengakuan berarti tindakan yang bertalian dengan itu (amal), yang lahir sebagai akibat
menemukan tempat yang tepat dari apa yang dikenali.
Dengan demikian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam
inheren dalam konotasi tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang harus diketahui secara bersama-
sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan
masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungan dengan Tuhan saling berkaitan satu sama
lain. Istilah-istilah itu pula seklaigus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; formal;
informal dan nonformal.
Secara lebih spesifik, M. Yusuf al-Qurdlowi memberikan pengertian pendidikan
Islam sebagai berikut :
“Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani
dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya, karena itu, pendidikan Islam menyiapkan
manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk
menghadapimasyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.
[11]
Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu
proses penyiapan generasi muda untuk engisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-
nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik
hasilnya di akhirat.[12] Di sini pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan
individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT, kepada Muhammad
SAW. Melalui proses di mana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi
sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi, yang dalam
kerangka lebih lanjut mewujudkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Endang Saefuddin Anshori memberikan pengertian pendidikan Islam adalah, proses
bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa
(pikiran, perasaan kemauan, intuisi dan lain sebagainya) dan raga objek didik dengan bahan-
bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada kea rah terciptanya pribadi
tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[13]
Dari pengertian-pengertian pendidikan Islam yang berbeda-beda tersebut di atas,
dapatlah penulis menyimpulkan bahwa pendidikan Islam suatu proses penyiapan generasi
muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan
efisien, sesuai dengan kaidah-kaidah Islam dan untuk mencapai kehidupan ukhrowi yang
bahagia.
B. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat
perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam usaha terkandung cita-cita, kehendak,
kesengajaan serta berkonsekwensi penyusunan daya upaya untuk mencapainya.
Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam proses pendidikan. Hal ini
disebabkan oleh fuingsi-fungsi yang dipikulnya.
Pertama, tujuan pendidikan mengarahkan perbuatan mendidik. Fungsi ini
menunjukkan pentingnya perumusan dan pembatasan tujuan pendidikan secara jelas. Tanpa
tujuan yang jelas, proses pendidikan akan berjalan tidak efektif dan tidak efisien, bahkan
tidak menentu dan salah dalam menggunakan metode, sehingga tidak mencapai manfaat.
Tujuanlah yang menentukan metode apa yang seharusnya digunakan untuk mencapainya.
Kedua, tujuan pendidikan mengakhiri usaha pendidikan. Apabila tujuannya telah
tercapai, maka berakhir pula usaha tersebut. Usaha yang terhenti sebelum tujuan tercapai,
sesungguhnya belum dapat disebut berakhir, tetapi hanya mengalami kegagalan yang antara
lain disebabkan oleh tidak jelasnya rumusan tujuan pendidikan.
Ketiga, tujuan pendidikan di satu sisi membatasi lingkup suatu usaha pendidikan,
tetapi di sini lain mempengaruhi dinamikanya. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan
usaha berproses yang di dalamnya usaha-usaha pokok dan usaha-usaha parsial saling terkait.
Keempat, tujuan pendidikan memberikan semangat dan dorongan untuk
melaksanakan pendidikan. Hal ini juga berlaku pada setiap perbuatan.[14]
Ahmad D. Marimba, menyebutkan empat fungsi tujuan pendidikan. Pertama, tujuan
berfungsi mengakhiri usaha. Suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai
arti apa-apa. Selain itu, usaha mengalami permulaan dan mengalami pula akhirnya. Ada
usaha yang terhenti karena kegagalan sebelum mencapai tujuan, tetapi tujuani itu belum
dapat disebut berakhir. Pada umumnya, suatu usaha baru berakhir kalau tujuan akhir telah
dicapai. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpa adanya antisipasi (pandangan ke
depan) kepada tujuan, penyelewengan akan banyak terjadi dan kegiatan yang dilakukan tidak
akan berjalan secara efisien. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk
mencapai tujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan
pertama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari satu segi tujuan itu membatasi ruang
gerak usaha itu. Keempat, fungsi dari tujuan pendidikan ialah memberi nilai (sifat) pada
usaha itu. Ada usaha-usaha yang tujuannya lebih luhur, lebih mulia, lebih luas dari usaha-
usaha lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rumusan setiap tujuan selalu disertai
dengan nilai-nilai yang hendak diusahakan perwujudannya.[15] Nilai-nilai itu tentu saja
bermacam-macam, sesuai dengan pandangan yang meruimuskannya.
Jika yang merumuskan tujuan tersebut orang muslim yang taat dan luas wawasan
keislamannya, tentu saja ia akan memasukkan nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Islam
yang dianutnya. Dengan demikian, suatu rumusan tujuan pendidikan harus memiliki muatan
subjektifitas dari yang merumuskannya, walaupun subjektifitas ini tidak selamanya
berkonotasi negative.
Dalam hubungan fungsi ke empat dari tujuan pendidikan tersebut diatas, Hasan
Langgulung menulis tentang tujuan pendidikan Islam. Menurutnya tujuan-tujuan pendidikan
agama harus mampu mengkomodasikan tiga fungsi dari agama, yaitu fungsi spiritual yang
berkaitan dengan aqidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku
individual termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat derajat manusia ke derajat yang
lebih sempurna, dan fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan
manusia dengan manusia lain atau masyarakat, di mana masing-masing menyadari hak-hak
dan tanggungjawabnya untuk menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang.[16]
Uraian ini pada intinya menegaskan bahwa suatu rumusan pendidikan Islam, tidaklah bebas
dibuat kesehendak yang menyusunnya, melainkan berpijak pada nilai-nilai yang digali dari
ajaran Islam itu sendiri. Dengan cara demikianlah, maka tujuan tersebut dapat memberi nilai
terhadap kegaitan pendidikan.
Mohammad Al-Taumy Al-Syaibani, mengatakan bahwa hubungan antara tujuan dan
nilai-nilai amat berkaitan erat, karena tujuan pendidikan merupakan masalah nilai itu sendiri.
Pendidikan mengandung pilihan bagi arah kemana perkembangan murid-murid akan
diarahkan. Dan pengarahan ini sudah tentu berkaitan erat dengan nilai-nilai. Pilihan terhadap
suatu tujuan mengandung unsur mengutamakan terhadap beberapa nilai atas yang lainnya.
Nilai-nilai yang dipilih sebagai pengaruh dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada
akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang akan dibina melalui pendidikan itu.[17]
Dari uraian singkat tentang fungsi tujuan pendidikan tersebut di atas, penulis akan
memaparkan rumuisan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan.
Ahmad Tafsir, mencoba menjelaskan tujuan pendidikan Islam dengan merujuk
kepada berbagai pendapat para pakar pendidikan Islam. Dari berbagai pendapat tersebut, ia
membagi tujuan pendidikan Islam kepada yang bersifat umum dan yang bersifat khusus.
Menurutnya untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam secara umum harus diketahui lebih
dahulu cirri manusia sempurna menurut Islam, yaitu dengan mengetahui lebih dahulu hakikat
manusia menurut Islam.[18]
Konsepsi manusia yang sempurna menurut Islam, sangat membantu dalam
merumuskan tujuan pendidikan Islam. Menurut konsep Islam, manusia adalah makhluk yang
memiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan ia dapat diberikan
pendidikan. Selanjutnya manusia ditugaskan untuk menjadi khalifah di muka bumi sebagai
pengamalan ibadah kepada Tuhan, dalam arti yangs seluas-luasnya. Konsekwensi ini pada
akhirnya akan membantu merumuskan tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan pada
hakikatnya adalah gambaran ideal dari manusia yang ingin melalui pendidikan.
Menurut Ahmad D. Marimba, Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian utama.[19] Dalam definisi ini terlihat jelas bahwa secara umum
yang dituju oleh kegiatan pendidikan adalah terbentuknya kepribadian utama. Definisi ini
tampak sejalan dengan prinsip di atas yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan pada
hakikatnya adalah gambaran manusia yang kekal
Hasan Langgulung, berbicara tentang tujuan pendidikan tidak dapat tidak mengajak
kita berbicara tentang tujuan hidup. Sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara
kehidupan manusia. Tujuan ini menurutnya tercermin dalam surat al-An’am ayat 162 yang
berbunyi
“Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku hidupku dan matiku hanya untuk
Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-An-‘am : 162)[20]
Menurut Mohammad Athiyah. Pendidikan moral adalah jiwa dari pendidikan Islam,
dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan moral dan akhlak adalah jiwa pendidikan
Islam, Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sebenarnya dari pendidikan
Islam.[21]Pada definisi ini nampak bahwa gambaran manusia yang idela yang harus dicapai
melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang bermoral. Hal ini nampak sejalan dengan
misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk menyempurnakan moral yang mulia.
“Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan moral yang mulia”.[22]
Ali Ashraf mengatakan bahwa pendidikan seharusnya bertujuan menimbulkan
pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek,
nasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya
menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual, intelektual,
imaginative, fiscal, ilmiah, linguistic, baik secara individual maupun secara kolektif dan
memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir
pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat
individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.[23]
Sejalan dengan upaya pembinaan seluruh potensi manusia sebagaimana disebutkan di
atas, menarik sekali pendapat yang dikemukakan Muhammad Quthub. Menurutnya,
Islam melakukan pendidikan dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap
manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik segi jasmani
maupun segi rohani, baik kehidupan secara mental, dan segala kegiatannya di muka bumi
ini. Islam memandang anusia secara totalitas, mendekatnya atas dasar apa yang terdapat
dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya, tidak sedikitpun yang
diabaikan dan tidak memaksakan apa pun selain apa yang dijadikannya sesuai dengan
fitrahnya.[24]
Pendapat ini memberikan petunjuk dengan jelas bahwa dalam rangka mencapai
pendidikan, Islam mengupayakan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan
seimbang.
Mohammad al-Toumy al-Syaibany, menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi :

1. Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu, pelajaran (learning)


dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu
tersebut. Pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktifitas dan pencapaiannya,
dan pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang
dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat.
2. Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan
tingkah laku masyarakat umumnya, dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini
tentang perubahan yang diingini, dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman dan
kemajuan yang diigninkan.
3. Tujuan-tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai
ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai suatu aktifitas di antara aktifitas-aktifitas
masyarakat.[25]

Proses pendidikan Islam berusaha mencapai ketiga tujuan itu, yaitu tujuan individual, tujuan
sosial dan tujuan professional. Ketiga tujuan ini secara terpadu dan terarah diuisahakan agar
tercapai dalam proses pendidikan Islam. Dengan tujuan ini pula, jelas ke mana pendidikan Islam
diarahkan.
Dari pengertian-pengertian tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para
pakar pendidikan tersebut di atas, dapatlah penulis mengambil kesimpulan sesuai dengan
ruang lingkup pembahasan skripsi ini, bahwa pendidikan Islam berupaya menciptakan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif tetapi juga
pada aspek afektif dan psiko-motorik. Transformasi nilai-nilai moral menjadi prioritas utama
pendidikan selain transfer ilmu pengetahuan. Sehingga terbentuk seorang siswa yang intelek
dan bermoral tinggi.
C. Pengertian Moral
Ada beberapa istilah yang sering digunakan secara bergantian untuk menunjukkan
maksud yang sama, istilah moral, akhlak, karakter, etika, budi pekerti dan susila. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, “moral” diartikan sebagai keadaan baik dan buruk yang
diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila. Moral
juga berarti kondisi mental yang terungkap dalam bentuk perbuatan. Selain itu moral berarti
sebagai ajaran Kesusilaan.[26] Kata morla sendiri berasal dari bahasa Latin “mores” yang
berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan.[27]
Dengan demikian pengertian moral dapat dipahami dengan mengklasifikasikannya
sebagai berikut :

1. Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan
tuntutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meningalkan perbuatan
jelekyang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
2. Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai
perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk.
3. Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan, seperti berani, jujur,
sabar, gairah dan sebagainya.

Dalam terminology Islam, pengertian moral dapat disamakan dengan pengertian


“akhlak” dan dalam bahasa Indonesia moral dan akhlak maksudnya sama dengan budi
pekerti atau kesusilaan.[28]
Kata akhlak berasal dari kata khalaqa (bahasa Arab) yang berarti perangai, tabi’at
dan adat istiadat. Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu perangai (watak/tabi’at)
yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan
tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan
sebelumnya.[29]
Pengertian akhlak seperti ini hamper sama dengan yang dikatakan oleh Ibn
Maskawih. Akhlak menurutnya adalah suatu keadaan jiwa yang menyebabkan timbulnya
perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan dipikirkan secara mendalam.[30] Apabila dari
perangai tersebut timbul perbuatan baik, maka perbuatan demikian disebut akhlak baik.
Demikian sebaliknya, jika perbuatan yang ditimbulkannya perbuatan buruk, maka disebut
akhlak jelek.
Pendapat lain yang menguatkan persamaan arti moral dan akhlak adalah pendapat
Muslim Nurdin yang mengatakan bahwa akhlak adalah seperangkat nilai yang dijadikan
tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau suatu sistem nilai yang
mengatur pola sikap dan tindakan manusia.[31]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara
akhlak dan moral. Keduanya bisa dikatakan sama, kendatipun tidak dipungkiri ada sebagian
pemikir yang tidak sependapat dengan mempersamakan kedua istilah tersebut.
D. Perubahan Moralitas dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Setiap manusia dalam hidupnya pasti mengalami perubahan atau perkembangan, baik
perubahan yang bersifat nyata atau yang menyangkut perubahan fisik, maupun perubahan
yang bersifat abstrak atau perubahan yang berhubungan dengan aspek psikologis. Perubahan
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari dalam manusia (internal)
atau yang berasal dari luar (eksternal). Faktor-faktor itulah yang akan menentukan apakah
proses perubahan manusia mengarah pada hal-hal yang bersifat positif atau sebaliknya
mengarah pada perubahan yang bersifat negative.
Kaitannya dengan pembentukan moral, maka membicarakan proses pembentukan
moral, tidak lain membicarakan salah satu aspek dari aspek perubahan atau perkembangan
manusia. Tentu dalam pembentukan moral ada faktor-faktor yang mempengaruhi seperti
halnya perubahan manusia pada umumnya.
Menurut beberapa ahli pendidikan, perubahan manusia atau yang lebih spesifik
mengenai pembentukan moral dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Namun, mereka
berbeda pendapat dalam hal faktor mana yang paling dominant mempengaruhi proses
perubahan tersebut. Perbedaan tersebut diakibatkan karena berbedanya sudut pandang atau
pendekatan yang digunakan oleh masing-masing tokoh.
Dalam beberapa literature pendidikan terdapat aliran-aliran yang biasa digunakan
oleh beberapa ahli pendidikan sebagai suatu pendekatan dalam menilai faktor-faktor yang
mempengaruhi proses perubahan atau perkembangan manusia. Aliran-aliran tersebut adalah :

1. Aliran Nativisme

Nativisme adalah suatu doktrin filosofis yang berpengaruh besar dalam pemikiran
psikologis. Tokoh utamanya Arthur Schopenhaur (1788-1860) seorang filosuf
berkebangsaan Jerman.[32] Aliran ini berpandangan bahwa yang mempengaruhi
perkembangan manusia adalah faktor keturunan dan pembawaan atau sifat-sifat yang
dibawanya sejak lahir. Pendidikan dan pengalaman hidup lainnya tidak dapat mengubah
sifat-sifat keturunan/pembawaaan manusia.
Usaha-usaha mendidik dalam pandangan aliran ini merupakan usaha yang sia-sia.
Karena pandangan pesimis ini, maka aliran ini dalam dunia pendidikan disebut
“Pesimesme pedagogis.”[33]
Secara singkat keturunan diartikan semua sifat-sifat atau cirri-ciri yang melekat
pada seorang anak yang merupakan regenerasi dari orang tuanya.[34] Sedangkan
pembawaan adalah seluruh kemungkinan atau potensi-potensi yang terdapat pada
seseorang yang selama perkembangannya bisa direalisasikan atau pengertian ini bisa
disamakan dengan bakat (anleg).[35]
Perbedaan pengertian antara keturunan dan pembawaan sebenarnya bukan
masalah substansial, karena banyak pemikir cenderung tidak membedakan arti keduanya.
Omar Muihammad Al-Toumi Al-Syaibani menyebutkan keturunan/pembawaan
sebagai cirri dan sifat-sifat yang diwarisi dari orang tuanya. Sifat-sifat tersebut dibagi tiga
macam.
1. Sifat-sifat tubuh (Jasmani), seperti warna kulit, warna mata, ukuran tubuh, bentuk
kepala, wajah, rambat dan lain-lain.
2. Sifat-sifat akal, seperti cerdas, pandai, bebal, bodoh dan lain-lain.
3. Sifat-sifat akhlak atau moral, seperti prilaku baik, prilaku jahat, pemberani, pemarah,
pemaaf, penyabar, penolong, beriman dan bertaqwa, dan lain-lain.
Pengaruh faktor keturunan terhadap pembentukan manusia sampai saat menjadi
polemic. Ada yang setuju ada yang tidak setuju dan ada pula yang netral. Mereka
mengakui tentang pengaruh faktor keturunan terhadap aspek jasmani (tubuh/badan)
manusia dan akalnya. Tetapi mereka tidak menerima faktor keturunan dapat
mempengaruhi sifat akhlak (moral) dan kebiasaan sosial.[36]
Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa keturunan banyak mempengaruhi
pertumbuhan manusia dalam aspek jasmani dan kualitas akal. Namun, terhadap akhlak
dan prilaku sosial manusia, kemungkinannyaa sangat kecil.
Tidak adanya ruang bagi pendidikan untuk mempengaruhi perubahan manusia
karena aliran ini berkeyakinan bahwa satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi
hanya faktor pembawaan atau faktor keturunan.
Hampir sama dengan aliran nativsime adalah aliran naturalisme. Nature artinya
alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Aliran ini berpendapat bahwa pada dasarnya
semua anak (manusia) adalah baik. Meskipun aliran ini percaya dengan kebaikan awal
manusia, aliran ini tidak menafikan peranan dan pengaruh lingkungan atau pendidikan.
Pendidikkan yang baik akan mengantarkan terciptanya manusia yang baik. Sebaliknya
pendidikan dan lingkungan yang jelek akan berakibat manusia menadi jelek juga.
J. Rooseau sebagai tokoh aliran ini mengatakan, “semua anak adalah baik pada
dilahirkan, tetapi menjadi rusak di tangan manusia”. Oleh karena itu dia mengajukan
pendapat agar pendidikan anak menggunakan sistem “pendidikan alam”. Artinya anak
hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang menurut alamnya. Manusia dan masyarakat
jangan terlalu ikut mencampurinya.[37]
Dalam konteks pembentukan moral siswa, maka menurut aliran nativisme, moral
seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri sesuai dengan sifat-sifat pembawaan yang ada
sejak manusia lahir, dan pendidikan tidak mempunyai peran dalam membentuk moral
siswa.

1. Aliran Emperisme

Aliran emperisme berlawanan dengan aliran nativisme. Kalau dalam nativisme


pembawaan atau keturunan menjadi faktor penentu yang mempengaruhi perkembangan
manusia, maka dalam emperisme yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah
lingkungan dan pengalaman pendidikannya.
Tokoh utama aliran ini adalah Jhon Locke (1632-1704) dengan gagasan awalnya
mendirikan “The school of british empiricism” (aliran emperisme Inggris). Sekalilpun
aliran ini bermarkas di Inggris tetapi pengaruhnya sampai ke Amerika Serikat sehingga
melahirkan aliran “environmental psychology” (Psikologi lingkungan, 1988).[38]
Lingkungan menurut Zakiyah Daradjat dalam arti yang luas mencakup iklim dan
geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam. Dengan kata
lain lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan
yang senantiasa berkembang. Ia adalah seluruh yang ada, baik manusia atau benda buatan
manusia, bergerak atau tidak bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang mempunyai
hubungan dengan manusia. Sejauh manakah manusia berinteraksi dengan lingkungan,
sejauh itulah terbuka peluang masuknya pengaruh pendidikan kepadanya.[39]
Sartain (Seorang ahli psikologi Amerika) menyebutkan bahwa yang dimaksud
lingkungan adalah semua kondisi dalam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu
mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan manusia. Kemudian dia
membagi lingkungan menjadi tiga bagian; lingkungan alam/luar (external environment),
lingkungan dalam (internal environment) dan lingkungan sosial (social environment).[40]
1. Lingkungan luar adalah segala sesuatu yang ada dalam dunia ini dan bukan manusia
seperti, tumbuh-tumbuhan, hewan, iklim, air dan sebagainya.
2. Lingkungan dalam adalah segala sesuatu yang ada dalam diri manusia dan
mempengaruhi pertumbuhan fisiknya.
3. Lingkungan sosial adalah semua orang atau orang lain yang mempengaruhi manusia
baik secara langsung atau tidak langsung.
Dari ketiga pembagian lingkungan di atas, maka lingkungan sosiallah yang
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan moral seseorang.
Aliran ini juga mendapat dukungan dari kaum behavioris, salah satu tokoh tulen
behavioris Waston berkata : “Berilah saya sejumlah anak yang baik keadaan badannya
dan situasi yang saya butuhkan, dan dari setiap orang anak, entah yang mana dapat saya
jadikan dokter, seorang pedagang, seorang ahli hokum, atau jika memang dikehendaki,
menjadi seorang pengemis atau seorang pencuri”.[41]
Secara eksplisit aliran emperisme menekankan betapa peran lingkungan dan
pengalaman pendidikan sangat besar dalam mengubah atau mengembangkan manusia
dan setiap anak bisa dibentuk sesuai dengan kepentingan dan arahan lingkungan.
Pendapat kaum emperis yang optimis ini, di dalam dunia pendidikan dikenal dengan
“optimisme pedagogis”.
Doktrin mendasar yang masyhur dalam aliran emperisme adalah teori “tabula
rasa”, sebuah istilah latin yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong (blank
slate/blank tablet). Doktrin tabula rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan
dan pendidikan. Dalam arti perkembangan manusia tergantung pada lingkungan dan
pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak
ada pengaruhnya.[42]
Dalam hal ini, para penganut emperisme menganggap setiap anak lahir seperti
tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak
menjadi apa anak kelak tergantung pada pengalaman/lingkungan yang mendidiknya.
Nabi Muhammad SAW : bersabda :
“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci, ibu dan bapaknya yang akan menentukan
apakah anak tersebut akan menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi” (HR. Bukhari).[43]
Sukar untuk tidak menyakini bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap proses pembentukan manusia. Lingkungan akan menentukan prilaku dan
moral manusia. Seorang anak yang tinggal dalam kondisi sosial masyarakat yang tidak
teratur, kemampuan ekonomi di bawah rata-rata, lingkungan alam yang kumuh tanpa
fasilitas-fasilitas umum yang memadai seperti sarana ibadah, sarana olah raga dan lain-
lain, kondisi seperti itu akan menyuburkan pertumbuhan anak-anak nakal dan kurang
bermoral. Untuk anak yang hidup dalam lingkungan ini, maka tidak cukup alasan untuk
tidak menjadi brutal, apalagi jika orang tuanya kurang peduli dengan perkembangan
anaknya.
Bagi aliran ini, pembentukan moral dan prilaku manusia akan sangat tergantung
pada kondisi lingkungannya. Lingkungan yang baik (bermoral) tempat di mana anak-
anak melakukan interaksi akan terpengaruh pada terciptana anak-anak yang berprilaku
dan bermoral baik. Demikian pula lingkungan yang tidak baik akan menciptakan anak-
anak yang bermoral tidak baik.
1. Aliran Konvergensi

Munculnya aliran konvergensi merupakan respon terhadap pertentangan antara


dua aliran ekstrim nativisme dan emperisme. Konvergensi berusaha untuk
mengkompromikan arti penting aspek keturunan pada satu sisi dan aspek lingkungan di
sisi yang lain sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia. Tokoh aliran
ini, Louis William Sterm, seorang psikolog Jerman (1871-1938).
Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi manusia, aliran ini tidak hanya
berpegang pada lingkungan, pengalaman/pendidikan saja, tetapi juga mempercayai faktor
keturunan. Konvergensi memposisikan pembawaan dan lingkungan dalam posisi yang
sama-sama penting. Pembawaan tidak mempunyai arti apa-apa terhadap perkembangan
manusia jika tidak didukung oleh kondisi lingkungan yang memadai. Demikian pula
lingkungan dan pengalaman tanpa adanya bakat pembawaan tidak akan mampu
mengembangkan manusia sesuai dengan harapan. Bagi aliran konvengensi, keturunan
dan lingkungan sama-sama mempunyai peran dan andil dalam perkembangan manusia.
Tentang pengaruh keturunan dan lingkungan terhadap perkembangan manusia,
Omar al-Toumy al-Syabany menegaskan :
Kita menyakini bahwa manusia (insane) dengan seluruh perwatakannya (karakter)
dan pertumbuhannya adalah pencapaian dan faktor; yaitu warisan dan lingkungan. Dan
faktor ini mempengaruhi manusia dan berinteraksi dengannya sejak hari pertama ia
menjdi embrio hingga hayat. Oleh karena kuat dan bercampur aduknya peranan kedua
faktor ini, maka sukar sekali untuk menunjukkan perkembangan tubuh atau tingkah laku
(moralitas) secara pasti kepada salah satu dari dua faktor.[44]
Keterkaitan peran antara keturunan dan lingkungan dapat diumpamakan dengan
menyemai benih tanaman yang bagus, jika ingin menghasilkan tanaman yang bagus,
maka harus disemai di lahan yang subur. Seandainya benih tersebut disemai di tanah
yang tidak cocok atau tandus, maka hasilnya tidak akan sesuai harapan. Demikian pula
sebaliknya sesubur apapun tanahnya, jika benih yang ditanam tidak bagus maka hasilnya
pun tentu kurang bagus.
Dalam hal ini yang berbeda mungkin tingkat dominasi tingkat pengaruh
keturunan dan lingkungan terhadap pertumbuhan manusia. Pengaruh kedua faktor ini
juga berbeda melihat umur dan fase pertumbuhan yang dilalui. Faktor keturunan
umumnya lebih kuat pengaruhnya pada tingkat bayi. Faktor keturunan berkembang
sebelum terjadinya interaksi sosial serta adanya pengalaman-pengalaman baru.
Sebaliknya faktor lingkungan lebih besar pengaruhnya apabila manusia meningkat
dewasa. Karena waktu itu ruang gerak untuk melakukan interaksi dengan lingkungan
sosial dan pengalaman-pengalaman hidup semakin luas terbuka.
Dengan adanya berbagai pandangan tentang perubahan moralitas, penulis
cenderung sepakat dengan pandangan yang terakhir (aliran konvergensi), karena dalam
keyakinan penulis antara faktor pembawaan dan faktor lingkungan (pendidikan) sama-
sama mempunyai peran dalam membentuk moralitas seseorang.
Al-Ghazali mengatakan, dalam diri manusia memang ada potensi-potensi yang
mengarahkan manusia untuk berbuat jahat, seperti sifat syahwah (ambisi) dan ghadlob
(emosi). Tetapi potensi jahat itu bisa diredam dengan cara melakukan perlawanan
terhadapnya (mujahadah) dan melalui proses latihan yang diterima secara terus menerus
(riyadlah).[45]
Secara alami manusia dalam dirinya mempunyai potensi karakter yang
berkecenderungan baik dan buruk, tetapi dengan pendidikan atau melalui nasehat-nasehat
yang mulia cepat atau lambat karakter tersebut pasti mengalami perubahan. Manusia
yang secara alami buruk bisa berubah menjadi baik melalui pendidikan atau pergaulan
dengan orang-orang yang baik dan shaleh. Ibnu maskawih kemudian mengutip perkataan
Aristoteles dalam Book on ethie dan book on categories, bahwa orang yang buruk akan
menjadi baik melalui pendidikan.[46]
E. Tingkat Akseptabilitas Perubahan Moralitas
Disadari bahwa karakter (akhlak/moral) manusia bersifat fleksibel atau luwes serta
bisa diubah atau dibentuk. Moralitas manusia suatu saat bisa baik tetapi pada saat yang lain
sebaliknya menjadi jahat. Perubahan ini tergantung bagaimana proses interaksi antara potensi
dan sifat alami yang dimiliki manusia dengan kndisi lingkungannya sosial budaya,
pendidikan dan alam.
Tingkat akseptabilitas atau penerimaan manusia terhadap proses peruahan moral juga
berbeda. Hal ini karena kondisi moralitas masing-masing pada saat akan diubah atau
dibentuk juga berbeda. Manusia dengan tingkat kerusakan moralnya yang sudah parah atau
sudah menginternal, akan berbeda tingkat kesulitannya dalam mengubahnya bila
dibandingkan dengan kondisi moralitas yang tidak terlalu rusak.
Di samping itu faktor pembawaan (tabi’at) yang diwarisi sejak manusia lahir juga
menentukan tingkat penerimaan dalam perubahan moral. Perbedaan penerimaan perubahan
ini dapat kita saksikan khususnya pada anak-anak. Anak-anak biasanya tidak menutup-nutupi
dengan sengaja dan sadar karakter yang dimilikinya. Kita dapat menyaksikan bagaimana
tingkat penerimaan mereka terhadap perbaikan karakter, Ada sebagian anak yang dengan
mudah menerima proses perubahan atau perbaikan tetapi sering kita saksikan pula banyak
anak yang enggan menerima perbaikan karakter itu. Sikap mereka ada yang keras dan ada
yang malu-malu”[47]
Terhadap perbedaan tingkat penerimaan perbaikan moral/akhlak, al-Ghazali membagi
manusia dalam bebeapa kelompok kriteria :

1. Seorang yang sepenuhnya lugu atau polos yang tidak mampu membedakan antara yang
hak dan yang bathil atau antara yang baik dan yang buruk, tetap dalam keadaan fitrah
seperti ketika dilahirkan, dan dalam keadan kosong dari segala kepercayaan. Demikian
pula ambisinya belum begitu kuat untuk mendorongnya mengikuti berbagai kesenangan
hidup manusiwi. Orang seperti ini sangat cepat dalam proses perbaikan moralnya. Orang
seperti ini hanya membutuhkan pembimbing untuk melakukan mujahadah. Orang seperti
ini akan mengalami perbaikan moral dengan cepat.
2. Orang secara pasti telah mengetahui sesuatu yang buruk tetapi ia belum terbiasa
mengerjakan perbuatan baik bahkan ia cenderung mengikuti hawa nafsunya melakukan
perbuatan-perbuatan buruk dari pada mengikuti pertimbangan akal sehat untuk
melakukan perbuatan baik. Perbaikan moral/akhlak seperti ini tentu tingkat kesukarannya
melebihi dari tipe orang sebelumnya. Sebab usaha yang harus dilakukan bersifat ganda,
selain mencabut akar-akar kebiasaan buruknya, orang tersebut secara seius dan konsisten
melakukan latihan-latihan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Jika hal ini
dilakukan sungguh-sungguh, maka perbaikan moral akan terlaksana.
3. Orang yang berkeyakinan bahwa perangai-perangai buruk merupakan sesuatu yang wajib
dilakukan dan perbuatan itu dianggap aik dan menguntungkan. Orang tersebut tumbuh
dengan keyakinan seperti itu. Terhadap kriteria orang seperti ini, maka sungguh
merupakan usaha yang sangat berat dan jarang sekali yang berhasil memperbaikinya.
Karena terlalu banyak penyebab kesesatan jiwanya.
4. Seseorang yang diliputi pikiran-pikiran buru, seiring dengan pertumbuhan dirinya, dan
terdidik dalam pengalaman (lingkungan) yang buruk. Sehingga ketinggian derajatnya
diukur dengan seberapa banyak perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan dan bahkan
dengan banyaknya jiwa-jiwa manusia yang ia korbankan. Orang seperti ini berada dalam
tingkatan orang yang paling sulit.untuk diobat. Usaha memperbaiki moralitas orang ini
bisa dikatakan sebuah usaha yang sia-sia.[48]

Klasifikasi kriteria moralitas manusia yang disebutkan di atas, mungkin terjadi dalam
realitas kehidupan siswa. Dan itu menjadi bahan pertimbangan bagi seluruh tenaga pendidik
di Pondok Pesantren Global Darul Hidayah.

[1] Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h. 42
[2] Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan : Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa,
(Yogyakarta, 1967) h. 42
[3] M. Natsir, Capita Selecta, (Bandung : Gravenhage, 1954), h. 87
[4] A.D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Alma’arif, 1980), cet ke-4, h. 19
[5] Jamil Sahliba, Kamus Filsafat, (Dar al-Kitab al-Lubnani, 1978), Jilid I, h 260.
[6] Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 428
[7] Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung iponegoro, 1988), cet. Ke-1, h. 28-29
[8] Departemen Agama RI, Op.Cit h. 413
[9] Muclich Shabir, Op. cit, h. 89
[10] Ibid h. 62
[11] Yusuf al-Qurdlowi, Op.Cit, h. 39
[12] Hasan Langgulung, Bebeapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung : al-Ma’arif, 1980), h.
94
[13] Endang Saefuddin Anshori, POkok-pokok Pikiran Tentang Islam, (Jakarta : Usaha Interprises,
1976), cet ke-1 h. 85
[14] Drs. Hary Noer Aly, MA., Op.Cit, h. 52-54
[15] Ahmad D. Marimba, Op.Cit, h. 45-46.
[16] Hasan Langgulung, Op.Cit, h. 178
[17] Omar M. al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), cet Ke-
1 h. 403
[18] Ahmad Tafsir, Op.Cit, h. 34
[19] Ahmad D. Mariba, Op.Cit h. 19
[20] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta :
Pustaka al-Husna, 1968), Cet. Ke-1 h. 33
[21] M. Athiyah al-Abrasy, Op.Cit, h. 15
[22] Mushlih Shabir, Op.Cit h. 124
[23] Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993), Cet. Ke-3 h. 2
[24] M. Quthub, Sistem Pendidikan Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1984), Cet, Ke-1 h. 27
[25] Omar M al-Toumy, al-Syabany, Op.Cit, h. 399
[26] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit, h. 192
[27] Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT : BPK Gunung Mulia, 1999) Cet : Ke-12,
h. 38
[28] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit, h. 195
[29] Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, (Bandung : Kharisma, 1994) Cet.
Ke-1, h 31
[30] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung : Mizan, 1994) Cet Ke-2, h. 56
[31] Muslim Nurdin, et.al., Moral Islam dan Kognisi Islam, (Bandung : CV. Alabeta, 1993) Cet. Ke-1, h.
205
[32] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, (Bandung : PT. Remaja Rosda

Anda mungkin juga menyukai