Anda di halaman 1dari 8

Tujuan Analisa Protein

Protein dalam bahan biologis biasanya terdapat dalam bentuk ikatan fisis yang renggang
maupun ikatan kimiawi yang lebih erat dengan karbohidrat atau lemak. Karena ikatan-ikatan ini
maka terbentuk senyawa-senyawa glikoprotein dan lipoprotein yang berperanan besar dalam
penentuan sifat-sifat fisis aliran bahan (rheologis) misalnya pada sistem emulsi makanan atau
adonan roti.
Dengan adanya pemanasan, protein dalam bahan makanan akan mengalami perubahan dan
membentuk persenyawaan dengan bahan lain, misalnya antara asam amino hasil perubahan protein
dengan gula-gula reduksi yang membentuk senyawa rasa dan aroma makanan. Protein murni
dalam keadaan tidak dapat dipanaskan hanya memiliki rasa dan aroma yang tidak berarti.
Dengan demikian perlakuan pemanasan dalam bahan makanan memang perlu dilakukan
untuk mempersiapkan bahan sehingga sesuai dengan selera konsumen. Namun demikian
pemanasan yang berlebihan atau perlakuan lain mungkin merusakkan protein apabila dipandang
dari sudut gizinya.
Berdasarkan uraian di muka, maka tujuan analisa protein dalam bahan makanan adalah :
a. Menera jumlah kandungan protein dalam bahan makanan
b. Menentukan tingkat kualitas protein dipandang dari sudut gizi
c. Menelah protein sebagai salah satu bahan kimia misalnya secara biokimiawi, fisiologis,
rheologis, ensimatis, dan telaah lain yang lebih mendasar.
Secara rutin, analisa protein dalam bahan makanan yang terutama adalah untuk tujuan a.

Penerapan Jumlah Protein Total


Dalam keadaan asli di alam, protein merupakan senyawa bermolekul besar dan kompleks
yang tersusun dari unsur-unsur C, H, O, N, S dan dalam keadaan kompleks ada unsur P.
Penerapan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan berdasarkan
penerapan empiris (tidak langsung), yaitu melalui penentuan kandungan N yang ada dalam bahan.
Penentuan dengan cara langsung atau absolut, misalnya dengan pemisahan, pemurnian atau
penimbangan protein, akan memberikan hasil yang lebih tepat tetapi juga sangat sukar,
membutuhkan waktu lama, keterampilan tinggi dan mahal. Hanya keperluan tertentu, terutama
untuk penelitian yang lebih mendasar (nilai gizi protein tertentu, susunan asam amino, aktivitas
ensimatis dan lain-lain) maka cara absolut ini perlu ditempuh.
Penerapan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan
jumlah nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan. Cara penentuan ini dikembangkan
Kjeldahl, seorang ahli ilmu kimia Denmark pada tahun 1883. Dalam penentuan protein,
seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi secara
teknis hal ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein
dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk
mewakili jumlah protein yang ada kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini
dengan demikian sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein).
Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldahl ini adalah hasil penelitian dan
pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata
16% (dalam protein murni). Untuk senyawa-senyawa protein tertentu yang telah diketahui kadar
unsur N-nya, maka angka yang lebih tepat dapat dipakai.
Apabila jumlah unsur N dalam bahan te;ah diketahui (dengan berbagai cara) maka jumlah
protein dapat diperhitungkan dengan,
Jumlah N x 100/16 atau
Jumlah N x 6,25
Untuk campuran senyawa-senyawa protein atau yang belum diketahui komposisi unsur-
unsur penyusunnya secara pasti, maka faktor perkalian 6,25 inilah yang dipakai. Sedangkan untuk
protein-protein tertentu yang telah diketahui komposisinya dengan lebih tepat, maka faktor
perkalian yang lebih tepatlah yang dipakai. Misalnya faktor perkalian yang telah diketahui adalah,
5,70 untuk protein gandum
6,38 untuk protein susu
5,55 untuk gelatin (kolagen yang terlarut
Penentuan protein berdasarkan jumlah N menunjukan protein kasar karena selain protein
juga terikat senyawaan N bukan protein misalnya urea, asam nukeat, ammonia, nitrat, nitrit, asam
amino, amida, purin dan pirimidin. Penentuan cara ini yang paling terkenal adalah cara Kjeldahl
yang dalam perkembangannya terjadi berbagai modifikasi misalnya Gunning dan sebagainya.
Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses
destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi.

1. Tahap Destruksi
Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi
menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon, hydrogen teroksidasi menjadi CO, CO2 dan H2O.
sedangkan nitrogen nya (N) akan berubah menjadi (NH4)2SO4. Asam sulfat yang dipergunakan
untuk destruksi diperhitungkan adanya bahan protein lemak dan karbohidrat. Untuk mendestruksi
1 gram protein diperlukan 9 gram asam sulfat, untuk 1 gram lemak diperlukan 17,8 gram,
sedangkan 1 gram karbohidrat perlu asam sulfat sebanyak 7,3 gram. Karena lemak memerlukan
asam sulfat yang paling banyak dan memerlukan waktu destruksi cukup lama, maka sebaiknya
lemak dihilangkan lebih dahulu sebelum destruksi dilakukan. Asam sulfat yang digunakan
minimum 10 ml (18,4 gram). Sampel yang dianalisa sebanyak 0,4 – 3,5 gram atau mengandung
nitrogen sebanyak 0,02 – 0,04 gram. Untuk cara mikro Kjeldahl bahan tersebut lebih sedikit lagi,
yaitu 10 – 30 mg.
Untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran
Na2SO4 dan HgO (20 : 1). Gunning menganjurkan menggunakan K2SO4 atau CuSO4. Dengan
penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi
berjalan lebih cepat. tiap 1 gram K2SO4 dapat menaikan titik didih 3oC. Suhu destruksi antara 370-
410oC.
Protein yang kaya asam amino histidine dan tryptophan umumnya memerlukan waktu yang
lama dan sukar dalam destruksinya. Untuk bahan seperti ini memerlukan katalisator yang relatif
lebih banyak. Selain katalisator yang telah disebutkan tadi, kadang-kadang juga diberikan
Selenium. Selenium dapat mempercepat proses oksidasi karena zat tersebut selain menaikkan titik
ke valensi rendah atau sebaliknya.
Selama destruksi akan terjadi reaksi sebagai berikut : (bila digunakan HgO).
HgO + H2SO4  HgSO4 + H2O
2HgSO4  Hg2SO4 + SO2 + 2On
Hg2SO4 + 2H2SO4  2HgSO4 + 2H2O + SO2
(CHON) + On + H2SO4  CO2 + H2O + (NH4)2SO4
Ammonium sulfat yang terbentuk dapat mengadakan reaksi dengan merkuri oksida
membentuk senyawan kompleks. Apabila dalam destruksi menggunakan Hg harus diendapkan
lebih dahulu dengan K2S atau dengan thiosulfat agar supaya senyawa kompleks merkuri-ammonia
pecah menjadi ammonium sulfat. Penggunaan selenium lebih reaktif dibandingkan merkuri dan
kupri sulfat tetapi Se mempunyai kelemahan yaitu karena sangat cepatnya oksidasi maka
nitrogennya justru mungkin ikut hilang. Hal ini dapat diatasi dengan pemakaian Se yang sangat
sedikit yaitu kurang dari 025 gram. Berbeda dengan merkuri, pemakaian Se sebagai katalisator
tidak perlu diberikan perlakuan lagi sebelum destilasi dimulai. Proses destruksi sudah selesai
apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna. Agar supaya analisa lebih tepat maka pada
tahap destruksi ini dilakukan pula perlakuan blanko yaitu untuk koreksi adanya senyawa N yang
berasal dari reagensia yang digunakan.

2. Tahap Destilasi
Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan
penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Agar supaya selama destilasi tidak terjadi
superheating ataupun pemercikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar maka dapat
ditambahkan logam zink (Zn). Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan
asam standar. Asam standar yang dapat dipakai adalah asam khlorida atau asam borat 4% dalam
jumlah yang berlebihan. Agar supaya kontak antara asam dan ammonia lebih baik maka
diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam
dalam keadaan berlebihan maka diberi indicator misalnya BCG + MR atau PP. Distilasi diakhiri
bila sudah semua ammonia terdistilasi sempurna dengan ditandai destilat tidak bereaksi basis.

3. Tahap Titrasi
Apabila penampung destilat digunakan asam khlorida maka sisa asam khlorida yang tidak
bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan
tepat perubahan warna larutan menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila
menggunakan indikator PP. Selisih jumlah titrasi blanko dan sampel merupakan jumlah ekuivalen
pitrogen.
ml NaOH (blanko-sampel)
%N = x N. NaOH x 14,008 x 100%
berat sampel (g)x 1000
Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka banyaknya asam borat yang
bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam khlorida 0,1 N
dengan indicator (BCG + MR). Akhir titrasi ditandai dengan oerubahan warna larutan dari biru
menjadi merah muda. Selisih jumlah titrasi sampel dan blanko merupakan jumlah ekuivalen
nitrogen.
ml HCl (blanko-sampel)
%N = x N. HCl x 14,008 x 100%
berat sampel (g)x 1000
Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan suatu
faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada persentase N yang
menyusun protein dalam suatu bahan. Besarnya faktor perkalian untuk beberapa bahan disajikan
pada tabel berikut :
Tabel VI.3 Faktor perkalian n beberapa bahan
Macam Bahan Faktor Perkalian
Bir, sirup, biji-bijian, ragi 6,25
Buah-buahan, the, anggur, malt 6,25
Makanan ternak 6,25
Beras 5,95
Roti, gandum, makaroni, mie 5,70
Kacang tanah 5,46
Kedelai 5,75
Kenari 5,18
Susu 6,38
Gelatin 5,55

Selain cara Kjeldahl, penentuan N dapat pula dengan jalan mereaksikan protein atau asam
amino dengan asam nitrit sehingga dibebaskan N. Gas nitrogen yang terjadi diukur banyaknya
secara volumetris. Cara ini dikenal cara Van Slyke.
Reaksi yang terjadi sebagai berikut :
RNH2 + HNO2 → ROH + H2O + N2
Nitrogen dianggap gas ideal, 1 grol N = 22,4 Liter dengan mengetahui volume gas dapat
dihitung berat nitrogennya dari selanjutnya dapat dihitung kadar proteinnya.
Cara lain yang agak mirip dengan cara di atas adalah cara Dumas. Pada cara ini protein
dibakar (pirolisis) sehingga dibebaskan nitrogen. Gas nitrogen diukur secara volumetric dan dapat
dihitung proteinnya dengan mengalikan dengan faktor konversi. Di samping metode Kjeldahl,
metode empiris lain yang telah dikembangkan adalah :
Metode Lowry
Protein dengan asam fosfotungstat-fosfomolibdat pada suasana alkalis akan memberikan
warna biru yang intensitasnya bergantung pada konsentrasi protein yang ditera. Konsentrasi
protein diukur berdasarkan optikal density pada panjang gelombang 600 nm (OD terpilih). Untuk
mengetahui banyaknya protein dalam larutan, lebih dahulu dibuat kurva standar yang melukiskan
hubungan antara konsentrasi dengan OD. Biasanya digunakan protein standar Bovine Serum
Albumin (BSA) atau Albumin Serum Darah Sapi. Larutan Lowry ada dua macam yaitu larutan A
yang terdiri dari fosfotungstat-fosfomolibdat (1 : 1); dan larutan Lowry B yang terdiri Na-karbonat
2%, dalam NaOH 0,1 N, kupri sulfat dan Na-K-tartrat 2%. Cara penentuannya adalah sebagai
berikut :
1 ml larutan protein ditambah 5 ml Lowry B, digojog dan dibiarkan selama 10 menit.
Kemudian ditambah 0,5 ml Lowry A digojog dan dibiarkan 20 menit, selanjutnya diamati OD-nya
pada panjang gelombang600 nm. Cara Lowry 10-20 kali lebih sensitive daripada cara UV atau
cara Biuret.

Metode Biuret
Larutan protein dibuat alkalis dengan NaOH kemudian ditambahkan larutan CUSO4 encer.
Uji ini untuk menunjukan adanya senyawa-senyawa yang mengandung gugus arnida asam (-
CONH2) yang berada bersama gugus amida asam yang lain atau gugus yang lain seperti – CSNH2;
– C(NH)NH2; –CH2NH2; – CRHNH2; – CHOHCH2NH2 – CHOHCH2NH2; – CHNH2CH2OH; –
CHNH2CHOH.
Dengan demikian uji biuret tidak hanya untuk protein tetapi zat lain seperti biuret atau
malonamida juga memberikan reaksi positif yaitu ditandai dengan timbulnya warna merah-violet
atau biru-violet. Reaksi yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut :
Senyawa berwarna biru-violet
Intensitas warna tergantung pada konsentrasi protein yang ditera. Penentuan protein cara
biuret adalah dengan mengukur optical density (OD) pada panjang gelombang 560 – 580 nm. Agar
dapat dihitung banyaknya protein dalam bahan maka perlu lebih dahulu dibuat kurva standar yang
melukiskan hubungan antara konsentrasi protein dengan OD panjang gelombang terpilih.
Dibandingkan dengan cara Kjeldahl maka biuret lebih baik karena hanya protein atau senyawa
peptide yang bereaksi dengan biuret, kecuali urea.

Metode Spektrofotometer UV
Kebanyakan protein mengabsorbsi sinar ultraviolet maximum pada 280 nm. Hal ini
terutama oleh adanya asam amino tirosin tryptophan dan fenilalanin yang ada pada protein
tersebut. Pengukuran protein berdasarkan absobsi sinar UV adalah cepat, mudah dan tidak
merusak bahan. Untuk keperluan perhitungan juga diperlukan kurva standar yang melukiskan
hubungan antara konsentrasi protein dengan OD.

Metode Turbidimetri atau Kekeruhan


Kekeruhan akan terbentuk dalam larutan yang mengandung protein apabila ditambahkan
bahan pengendap protein misalnya Tri Chloro Acetic acid (TCA), kalium Ferri Cianida
(K4Fe(CN)6 atau asam sulfosalisilat. Tingkat kekeruhan diukur dengan alat turbidimeter. Tabel
atau kurva juga harus dibuat terlebih dahulu untuk menunjukkan hubungan antara kekeruhan
dengan kadar protein (dapat ditentukan dengan cara Kjeldahl). Cara ini hanya dapat dipakai untuk
bahan protein yang berupa larutan dan hasilnya biasanya kurang tepat.

Metode Pengecatan
Beberapa bahan pewarna misalnya Orange G, Orange 12 dan Amido Black dapat
membentuk senyawaan berwarna dengan protein dan menjadi tidak larut. Dengan mengukur sisa
bahan pewarna yang tidak bereaksi dalam larutan (dengan colorimeter), maka jumlah protein dapat
ditentukan dengan cepat. tentunya tabel atau kurva standar perlu dibuat terlebih dahulu keperluan
ini.

Penentuan protein dengan titrasi formol


Larutan protein dinetralkan dengan basa (NaOH), kemudian ditambahkan formalin akan
membentuk dimethilol. Dengan terbentuknya dimethilol ini berarti gugus aminonya sudah terikat
dan tidak akan mempengaruhi reaksi antara asam (gugus karboksil) dengan basa NaOH sehingga
akhir titrasi dapat diakhiri dengan tepat. Indikator yang digunakan adalah PP, akhir titrasi bila tepat
terjadi perubahan warna menjadi merah muda yang tidak hilang dalam 30 detik. Titrasi formol ini
hanya tepat untuk menentukan suatu proses terjadinya pemecahan protein dan kurang tepat untuk
penentuan protein.

Anda mungkin juga menyukai