Anda di halaman 1dari 9

Bungkil Inti Sawit

Bungkil inti kelapa sawit adalah inti kelapa sawit yang telah mengalami proses ekstraksi dan pengeringan. Pellet adalah bubuk yang telah dicetak kecil-kecil berbentuk bulat panjang dengan diameter kurang lebih 8 mm. Selain itu bungkil inti kelapa sawit dapat digunakan sebagai makanan ternak. Bungkil kelapa sawit ini termasuk dalam jenis pakan konsentrat atau pakan penguat. Yang mana mempunyai manfaat sebagai sumber energi, protein,vitamin, dan mineral.(Ketaren. 2008). Pakan penguat atau konsentrat yang berbentuk seperti tepung adalah sejenis pakan komplet yang dibuat khusus untuk meningkatkan produksi dan berperan sebagai penguat. Mudah dicerna, karena terbuat dari campuran beberapa bahan pakan sumber energi (biji-bijian, sumber protein jenis bungkil, kacang-kacangan, vitamin dan mineral). Standar kualitas pakan penguat dinyatakan dengan nilai nutrisi yang dikandungnya terutama kandungan energi dan potein. Sebagai pedoman, setiap Kg pakan penguat harus mengandung minimal 2500 Kcal energi dan 17% protein, serat kasar 12. Zat makanan yang terkandung di dalam bungkil inti sawit cukup bervariasi, tetapi kandungan yang terbesar adalah protein (antara 18-19%). Bungkil ini kurang disenangi ternak, dan karena kandungan serat kasarnya cukup tinggi maka kurang cocok diberikan untuk ternak monogastrik. Untuk itu biasanya pemberiannya dicampur dengan makanan lain yang disukai ternak dan baik diberikan pada ternak sapi perah dan kerbau. Tingkat pemberiannya 10-15% pada pakan ternak yang diberikan (Tim Penulis PS. 2000). Standard mutu bungkil inti sawit dipaparkan pada tabel 2.

Protein Kata Protein berasal dari protos atau proteos yang berarti pertama atau utama. Protein merupakan komponen utama sel hewan atau manusia. Oleh karena sel itu merupakan pembentuk tubuh kita , maka protein yang terdapat dalam makanan berfungsi sebagai zat utama dalam pembentukan dn pertumbuhan tubuh. Komposisi rata-rata unsur kimia yang terdapat dalam protein ialah sebagai berikut : Karbon 50 %, hidrogen 7 %, oksigen 23 %, nitrogen 16 %, belerang 0-3 %, dan fosfor 0-3 %. Dengan berpedoman pada kadar nitrogen sebesar 16 %, dapat dilakukan dapat dilakukan penetuan kadar protein dalam suatu bahan makanan, misalnya dengan cara Kjeldahl, yaitu dengan cara destruksi dengan asam pekat. Berat protein yang ditentukan ialah 6,25 kali berat unsur nitrogen (Poedjiadi. 1994).

Molekul protein tidak ditemukan dimana pun selain pada organisme. Ini berarti senyawa atau molekul protein tidak akan ditemukan di biosfer, kecuali sebagai produk biologi. Keberadaan biomolekul protein secara melimpah pada sel hidup erat hubungannya dengan fungsi biologinya, baik secara struktural maupun fungsional sel. Secara molekular protein mengekspresikan informasi genetik dengan lestari (Hawab. 2004). Pada organisme yang sedang tumbuh, protein sangat penting dalam pembentukan sel-sel baru. Oleh sebab itu apabila organisme kekurangan protein dalam bahan makanannya makan organisme tersebut akan mengalami hambatan pertumbuhan ataupun dalam proses biokimiawinya. Senyawa protein dalam biomolekul berperan sebagai enzim-enzim yang memacu reaksi-reaksi proses kehidupan, sebagai hormon, sebagai sarana kontraksi otot, dan sebagai antibodi yaitu senyawa dalam sistem pertahanan tubuh (immunitas) terhadap serangan penyakit (Sudarmadji. 1989). Keistimewaan lain dari protein ialah adalah struktur yang mengandung N, disamping C, H, O (seperti juga karbohidrat dan lemak), S, dan kadang-kadang P, Fe,dan Cu (sebagai senyawa kompleks dengan protein). Dengan demikian maka salah satu cara terpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein secara kuantitatif adalah dengan penentuan kandungan N yang ada dalam bahan makanan atau bahan lain. Apabila unsur N dilepaskan dengan cara destruksi (perusakan bahan sampai terurai unsur -unsurnya) dan N yang terlepas ditentukan jumlahnya secara kuantitatif (dengan titrasi atau cara lain) maka jumlah protein dapat diperhitungkan atas dasar kandungan rata-rata unsur N yang ada dalam protein. Senyawa-senyawa bukan protein yang mengandung N misalnya ammonia, asam amino bebas dan asam nukleat. Oleh sebab itu cara penentuan jumlah protein melalui penentuan jumlah N total hasilnya disebut jumlah protein kasar atau crude protein (Sudarmadji. 1989). Asam Amino Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus karboksil (-COOH) dan satu atau lebih gugus amino (-NH2) yang salah satunya terletak pada atom C tepat disebelah gugus karboksil (atau atom C alpa). Asam-asam amino yang berbeda bersambung melalui ikatan peptida yaitu ikatan antara gugus karboksil satu asam amino dengan gugus amino dari asam amino yang disampingnya(Sudarmadji.1998). Tidak semua asam amino yang terdapat dalam molekul protein dapat dibuat dalam tubuh kita. Jadi apabila ditinjau dari segi pembentukannya asam amino dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu asam amino yang tidak dapat dibuat atau disintesis dalam tubuh dan asam amino yang

dapat dibuat dalam tubuh kita.Asam amino yang tidak dapat dibuat dalam tubuh ialah asam amino essensial dan harus diperoleh dari sumber makanan protein. Asam amino yang dapat dibuat dalam tubuh ialah asam amino non essensial (Poedjiadi. 1994). Komposisi asam amino esensial bungkil kelapa sawit disajikan pada Tabel 3.

Metode Penentuan Kandungan Protein Dalam keadaan asli di alam, protein merupakan senyawa bermolekul besar dan kompleks yang tersusun dari unsur C, H, O, N, S dan dalam keadaan kompleks ada unsur P. Penerapan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan berdasarkan penerapan empiris (tidak langsung). Penerapan jumlah protein yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan. Cara penentuan ini dikembangkan oleh Kjeldahl, seorang ahli ilmu kimia Denmark pada tahun 1883. Dalam penentuan protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi secara teknis cara ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah N total ini dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protin yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini dengan demikian sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein). Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldahl ini adalah hasil Penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16 % (dalam protein murni). Untuk campuran senyawa-senyawa protein atau yang belum diketahui komposisi unsur-unsur penyusunnya secara pasti, maka faktor perkalian 6,25 yang dipakai. Sedangkan untuk protein-protein tertentu yang telah diketahui komposisinya dengan lebih tepat maka faktor perkalian yang tepatlah yang dipakai. Penentuan protein berdasarkan jumlah N menunjukkan protein kasar karena selain protein juga terikat senyawa N bukan protein misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin dan piridin. Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi, dan tahap titrasi. 1. Tahap Destruksi Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon, hidrogen teroksidasi menjadi CO,CO2, dan H2O. Sedangkan nitrogennya (N) akan berubah menjadi (NH4)2SO4. Asam sulfat yang dipergunakan untuk destruksi diperhitungkan adanya bahan protein lemak dan karbohidrat. Untuk mendestruksi 1 gram protein diperlukan 9 gram asam sulfat, untuk 1 gram lemak perlu 17,8 gram. Sedangkan 1 gram karbohidrat perlu asam sulfat sebanyak 7,3 gram. Karena lemak memerlukan asam sulfat yang paling banyak dan memerlukan waktu destruksi cukup lama, maka sebaiknya lemak

dihilangkan terlebih dahulu sebelum destruksi dilakukan. Asam sulfat yang digunakan minimum 10 ml (18,4 gram). Sampel yang dianalisa sebanyak 0,4 3,5 gram atau mengandung nitrogen sebanyak 0,02 0,04 gram. Untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran Na2SO4 dan HgO (20 : 1). Gunning menganjurkan menggunakan K2SO4 atau CuSO4. Dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih cepat. Protein yang kaya asam amino histidin dan triptophan umumnya memerlukan waktu yang lama dan sukar dalam destruksinya. Untuk bahan yang seperti ini memerlukan katalisator yang cukup banyak. Selain katalisator yang telah disebutkan tadi, kadangkadang juga diberikan Selenium. Selenium dapat mempercepat proses oksidasi karena zat tersebut dapat menaikkan titik didih. Tetapi Se mempunyai kelemahan yaitu karena sangat cepatnya oksidasi maka nitrogennya justru ikut hilang. Hal ini dapat diatasi dengan pemakaian Se yang sangat sedikit yaitu kurang dari 0,25 gram. 2. Tahap Destilasi Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Agar selama destilasi tidak terjadi superheating ataupun pemercikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar dapat ditambahkan logam Zink (Zn). Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dipakai adalah asam klorida atau asam borat 4 % dalam jumlah yang berlebihan. Agar supaya kontak antara asam dan ammonial ebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebihan maka diberi indikator misalnya BCG + MR atau PP. Destilasi diakhiri bila sudah semua ammonia terdestilasi sempurna dengan ditandai destilat tidak bereaksi basis. 3. Tahap Titrasi Apabila penampung destilat digunakan asam korida maka sisa asam klorida yang tidak bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepatnya perubahan warna larutan menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator PP. Selisih jumlah titrasi blanko dan sampel merupakan jumlah ekuivalen nitrogen. Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam klorida 0,1 N dengan indikator (BCG + MR). Akhir titrasi ditandai dengan perubahan larutan

dari biru menjadi merah muda. Selisih jumlah titrasi sampel dan blanko merupakan jumlah ekuivalen nitrogen. Setelah diperoleh % N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada persentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan (Sudarmadji. 1989). Aflatoksin Aflatoksin merupakan kelompok yang terkait dengan keluarga struktur bisfuranocoumarin yang diproduksi terutama oleh strain beracun dari aspergilus flavus dan Aspergilus parasiticus. Hanya separuh dari strain tersebut yang diketahui memproduksi racun. Meskipun jamur-jamur lain seperti Penicullum spp, Rhizopus spp,Mucor spp dan Streptomyces spp dapat memproduksi aflatoksin namun relevansinya terhadap produksi ternak belum dapat diketahui. Nama aflatoksin berasal dari Aspergillus (a), flavus (fla) dan toxin. Aflatoksin dihasilkan oleh strain aspergillus yang tersebar luas dalam air dan tanah. Pada saat kondisi lingkungan mendukung, tersedia substrat (berupa pakan atau benih) sumber nutrisi, maka jamur akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Bentuk akhir dari aflatoksin akan sangat tergantung pada kondisi lingkungan (suhu, kelembaban dan aerasi), substrat serta tipe jamur. Sebagai contohnya Aspergillus flavus yang tumbuh pada jagung, spasies ini akan memproduksi aflatoksin jenis B1 dan B2, sementara aspergillus parasiticus yang tumbuh pada jenis jagung yang sama akan mampu menghasilkan keempat jenis racun tersebut. Sedangkan pada kedelai, hanya sedikit aflatoksin B1 yang dapat dihasilkan oleh kedua jenis aspergillus tersebut. Aspergillus flavus merupakan koloni jamur yang dapat menyerang benih. Aspergillus flavus dapat membentuk koloni pada berbagai biji-bijian sumber pakan ternak yang penting, termasuk dalam hal ini adalah jagung, padi-padian, kacang-kacangan, biji kapuk, gaplek, kopra dan berbagai jenis biji-bijian yang lain. Secara umum faktor lingkungan yang dibutuhkan untuk tumbuhnya jamur persen dan suhu lebih kurang 25 persen serta aerasi (O2) tertentu. Apabila persyaratan tersebut dipenuhi maka investasi jamur akan terjadi dengan cepat. Periode kritis yang berpotensi tinggi untuk investasi jamur tersebut adalah periode pertumbuhan, periode panen, saat transportasi dan dalam periode penyimpanan sangat rentan bagi tiga macam bahan, yaitu jagung, biji kapuk dan kacangkacangan. Kelompok padi dan kedelai biasanya terserang pada saat periode penyimpanan. Faktor kondisi penyimpanan yang memacu munculnya jamur disamping kelembaban dan suhu optimal

juga pengaturan tingkat aerasi, karena perbedaan suhu dapat menyebabkan migrasi kelembaban udara, rusaknya kernel dan spora yang disebabkan oleh serangga serta harus terbebas dari debu, biji benih rumput, dan pecahan kernel juga sanitasi didalam gudang harus diperhatikan secara benar. Sedangkan mekanisme perubahan dalam proses pembentukan aflatoksin dalam tubuh ternak sehingga menimbulkan efek racun bagi ternak meliputi empat reaksi toksikologis metabolis yang terjadi pada ternak. Pertama, terjadi ketidakstabilan pada AFB1 yang merupakan akibat dari bentuk reaktif intermediat oleh enzim MFO (Mixed Function Oxide). Oksida tersebut sangat kuat karena bersifat elektrophilik, akibatnya ikatan kovalen berbagai nukleophilik sel seperti asam amino (RNA dan DNA) maupun protein (metionin, sistein dan histidin) berubah saluran. Sehingga dapat mengakibatkan gangguan fungsi komponen selular tersebut. Sebagai contohnya telah ditemukan bukti bahwa AFB1 2,3 -oksida dan dihidriol mengakibatkan terjadi pembentukan molekuler spontan akibat perubahan kondisi pH sehingga membentuk ikatan ionik kovalen dengan protein dan membentuk Schiff base. Sebuah jalur alternatif dapat terbentuk secara langsung pada cincin katalisasi hidroksilasi dengan 2 posisi, yaitu pembentukan AFB2a, yang juga dapat membentuk Schiff base secara molekuler dengan kelompok asam amino utama protein. Interaksi nonspesifik yang lebih lanjut dengan jantung. Reaksi metabolik yang ketiga tidak melibatkan MFO tetapi lebih banyak terjadi dengan melibatkan sitosol dan dikatalisasi oleh sebuah enzim reduktase (NADPH) terpisah, dan membentuk aflatoksicol (AFL). Hal ini membuktikan bahwa reaksi setiap ternak AFL. Reaksi metabolik selanjutnya adalah hidroksilasi AFB1 membentuk AFM1. Meskipun hasil reaksi metabolik tidak seganas atau sekarsinogenik AFB1 namun tetap sama saja pengaruhnya karena AFM1 merupakan zat racun penyebab utama rusaknya produksi pada ternak seperti produksi susu. Sebab dalam kasus karsinogisitas ternak dapat mengakibatkan kontaminasi pada sebuah rantai makanan di lingkungan. Keracunan akibat aflatoksin yang terjadi pada ternak dapat dikatagorikan dalam dua tingkat, yaitu tingkat keracunan akut dan kronis. Keracunan akut pada unggas akibat aflatoksin jarang terjadi dibandingkan dengan kasus aflatoksikasi kronis. Namun perlu diketahui bahwa keracunan masif yang terjadi pada kalkun di Great Britain pada tahun 1960-an merupakan sebuah petunjuk awal adanya aflatoksin sebagai penyebab keracunan akut. Pada dasarnya organ target racun aflatoksin pada semua ternak adalah organ hati. Efek kumulatif yang fatal pada ternak adalah rusaknya fungsi hati. Setelah sejumlah toksin AFB1 terbentuk maka hepatosit akan segera mengalami perubahan cepat melibatkan lipid, yang mengakibatkan nekrosis (kematian sel). Hal ini diyakini terjadi akibat interaksi nonspesifik AFB1 maupun aktifnya kerja berbagai sel protein. Terjadinya interaksi dengan kunci enzim dapat mengganggu proses metabolis dasar dalam sel-sel seperti metabolisme karbohidrat dan lipid serta sintesis protein.

Terjadinya modifikasi sifat permeabilitas hepatosit atau sub selular organel-organel terutama mitokondria akan menyebabkan nekrosis. menyebabkan nekrosis. Dengan rusaknya fungsi hati maka akan diikuti dengan munculnya efek lain seperti rusaknya mekanisme penggumpalan darah, ikterus dan penurunan produksi serum protein esensial yang disentesa dalam hati. Melemahnya sistem penggumpalan darah dan meningkatnya kerapuhan kapiler memepngaruhi luas hemoraging, termasuk akumulasi darah dalam saluran gastrointestinal. Selain kerusakan hati, dengan dosis yang lebih tinggi pada beberapa spesies akan dapat menyebabkan nekrosis pada tubulus ginjal. Meskipun kelenjar timus merupakan organ target pada kasus aflatoksin akut, namun menurut daya tahan tubuh lebih terkait dengan aflatoksikosis kronis. Alfatoksikosis kronis dapat terjadi apabila terdapat jenjang waktu yang lebih lama dalam proses penyerapan racun tingkat rendah. Efek yang timbul tidak jelas ataupun dapat dibuktikan secara klinis seperti pada kasus aflatoksikosis akut. Secara umum pengaruhnya pada ternak adalah menyebabkan penurunan pertumbuhan, penurunan produksi (susu dan telur) dan penurunan daya tahan tubuh. Meski kasus karsinogenisitas telah diobservasi dan dipelajari secara intensif dalam beberapa spesies non ternak, keduanya tetap dibicarakan secara terpisah walau kedua hal itu merupakan akibat keracunan kronis. Kerusakan hati juga dapat terjadi dalam kasus aflatoksikosis kronis pada semua spesies. Pada kasus nekropsi, warna hati menjadi pucat atau kuning dan gizzard bengkak Terjadinya ikterus dan hemoraging tidak dapat diprediksi secara tepat karena setiap spesies ternak memiliki kerentanan berbeda terhadap jenis jamur serta dosis aflatoksin yang terkandung. Perubahan histologis melibatkan akumulasi sub selular pada lemak, fibrosa dan perkembangan sel empedu bagian luar. Secara umum lebih dari 90 persen kadar aflatoksin yang ada serta kemungkinan diserap oleh jaringan tubuh tidak dapat diketahui secara cepat apakah racun tersebut ditahan untuk periode waktu yang cukup lama atau dikeluarkan. Konsentrasi residu tertinggi terletak pada organ hati, dengan kadar terendah dalam ginjal dan kemungkinan juga dalam otot. Ada beberapa metode konvensional yang dapat diterapkan untuk menangani kontaminasi aflatoksin pasca panen, yaitu : (1) mengatur irigasi ladang, (2) mempergunakan pestisida guna menghalangi pertumbuhan jamur aflatoksigenik tumbuhan inang yang memudahkan invasi jamur penghasil aflatoksin dan (3) mencoba beberapa jenis/varietas tanaman untuk mengacak resistensi jamur tersebut. Penerapan cara konvensional tersebut cukup efektif guna menurunkan tingkat kontaminasi aflatoksin pada hasil panen hingga tingkat yang paling rendah. Tingkat kontaminasi yang masih diperbolehkan adalah 20 ppm pada bahan makanan dan sumber pakan ternak.

Berdasarkan Literatur di atas, maka untuk kebutuhan analisa Lab harus mempunyai alat/instrumen sebagai berikut: 1. Analisa Protein Alat: Alat Destruksi + tabung destruksi Alat Destilasi Analytical Balance Buret Corong kaca Labu takar 2. Analisa Kadar Air Lihat analisa PKO 3. Kadar Minyak Lihat analisa PKO 4. Kadar Abu Alat: Tanur listrik sampai suhu 1000OC Gegep panjang Cawan porcelin Neraca analitik Sudip/spatula Penghancur sampel Desikator 5.Aflatoksin Alat: 1.HPLC lengkap 2.Transonik 3.Penyaring vacum + micro filter Bahan: H2SO4 p.a pekat Kjeltab tablet (katalis) Asam borat (H3BO3) Indikator BCG:MM HCl Natrium Boraks

Bahan: 1.Eluent 2.Standard Aflatoksin 3.Aquabides

Anda mungkin juga menyukai