Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Fraktur telah diidentifikasikan sebagai masalah medis sepanjang sejarah. Fraktur
femur dimana penyebab terbanyak yaitu akibat trauma, telah menjadi perhatian baik
masyarakat maupun tenaga kesehatan. Selain femur, tibia merupakan tulang panjang yang
sering mengalami cedera. Tibia mempunyai permukaan subkutan yang paling panjang,
sehingga paling sering terjadi fraktur terbuka. Kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab paling sering terjadinya kecelakaan yang dapat menyebabkan fraktur. Penyebab
yang lain dapat karena kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga industri, olahraga,
dan rumah tangga.1,2
Walaupun penatalaksanaan di bidang orthopaedi telah berkembang, mortalitas
trauma masih tetap tinggi, berkisar antara 10 - 20 persen. Sebanyak 87% kecelakaan di
Amerika Serikat menyebabkan fraktur pada individu antara usia 1 dan 44 tahun dan
merupakan salah satu 10 penyebab paling umum kematian pada usia diatas 34 tahun.1 Di
Indonesia, kecelakaan juga merupakan penyebab terbanyak terjadinya fraktur dan
terdapat lebih dari 12.000 kematian setiap tahunnya. 2 Sedangkan di kota Medan,
berdasarkan penelitian yang dilakukan di rumah sakit tahun 2009, proporsi penderita
fraktur berdasarkan sosiodemografi tertinggi pada kelompok umur 16 - 26 tahun (40,3%)
yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas sebanyak 78,9%, fraktur tertutup 73,7%,
ekstremitas bawah 55,3%. Dari seluruh kejadian tersebut yang memerlukan tindakan
operasi 55,3%.3
Berdasarkan data di atas, maka desakan untuk meningkatkan cara dan system
penanggulangan penderita gawat darurat sekarang sangat dirasakan. Oleh sebab itu,
diperlukan pengetahuan penanggulangan fraktur yang meliputi primary survey serta
tindakan penanggulangan definitive sehingga dapat menyelamatkan hidup penderita dan
mencegah kecatatan dengan pengobatan yang adekuat serta terpadu. 2

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memaparkan kasus
fraktur femur dan fraktur tibia di rumah sakit Haji Adam Malik Medan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang
rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang umumnya
disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak
dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan persarafan.2
Fraktur femur dapat bersifat intrakapsular dan ekstrakapsular berdasarkan di
dalam atau di luar sendi. Fraktur kruris (crus = tungkai) merupakan fraktur yang terjadi
pada tibia dan fibula. 3

2.2. Anatomi femur dan Tibia 4,5

2.3. Klasifikasi 1,5

2
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan Melalui kepala
femur (capital fraktur)
Terdiri dari:
Fraktur kapital : fraktur pada kaput femur
Fraktur subkapital : fraktur yang terletak di bawah kaput femur
Fraktur transervikal : fraktur pada kolum femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
 Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih
kecil /pada daerah intertrokhanter.
 Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah
trokhanter kecil.

Klasifikasi fraktur pada tibia dan fibula:


1. Fraktur proksimal tibia
2. Fraktur diafisis
3. Fraktur dan dislokasi pada pergelangan kaki
fraktur proksimal tibia
a) Fraktur Infrakondilus Tibia
Fraktur Infrakondilus tibia terjadi sebagai akibat pukulan pada tungkai pasien
yang mematahkan tibia dan fibula sejauh 5cm di bawah lutut. Walaupun tungkai bawah
dapat membengkak dalam segala arah, namun biasanya terjadi pergeseran lateral ringan
dan tidak ada tumpang tindih atau rotasi. Fraktur tidak masuk ke dalam lututnya. Dapat
dirawat dengan gips tungkai panjang, sama seperti fraktur pada tibia lebih distal. Jika
fragmen tergeser, dapat dilakukan manipulasi ke dalam posisinya dan gunakan gips
tungkai panjang selama 6 minggu. Kemudian dapat dilepaskan dan diberdirikan dengan
menggunakan tongkat untuk menahan berat badan.
b) Fraktur Berbentuk T
Terjadi karena terjatuh dari tempat yang tinggi, menggerakkan korpus tibia ke atas
diantara kondilus femur, dan mencederai jaringan lunak pada lutut dengan hebat.
Kondilus tibia dapat terpisah, sehingga korpus tibia tergeser diantaranya. Traksi tibia
distal sering dapat mereduksi fraktur ini secara adekuat.

3
c) Fraktur Kondilus Tibia (bumper fracture)
Fraktur kondilus lateralis terjadi karena adanya trauma abduksi terhadap femur
dimana kaki terfiksasi pada dasar. Fraktur ini biasanya terjadi akibat tabrakan pada sisi
luar kulit oleh bumper mobil, yang menimbulkan fraktur pada salah satu kondilus tibia,
biasannya sisi lateral.
d) Fraktur Kominutiva Tibia Atas
Pada fraktur kominutiva tibia atas biasanya fragmen dipertahankan oleh bagian
periosteum yang intak. Dapat direduksi dengan traksi yang kuat, kemudian merawatnya
dengan traksi tibia distal.

fraktur diafisis
Fraktur diafisis tibia dan fibula lebih sering ditemukan bersama-sama. Fraktur
dapat juga terjadi hanya pada tibia atau fibula saja. Fraktur diafisis tibia dan fibula terjadi
karena adanya trauma angulasi yang akan menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik
pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan trauma tipe spiral. Fraktur jenis ini
dapat diklasifikasikan menjadi:
a) Fraktur Tertutup Korpus Tibia pada Orang Dewasa
Dua jenis cedera dapat mematahkan tibia dewasa tanpa mematahkan fibula:
1) Jika tungkai mendapat benturan dari samping, dapat mematahkan secara transversal
atau oblik, meninggalkan fibula dalam keadaan intak, sehingga dapat membidai fragmen,
dan pergeseran akan sangat terbatas.
2) Kombinasi kompresi dan twisting dapat menyebabkan fraktur oblik spiral hampir
tanpa pergeseran dan cedera jaringan lunak yang sangat terbatas.
Fraktur jenis ini biasanya menyembuh dengan cepat. Jika pergeseran minimal, tinggalkan
fragmen sebagaimana adanya. Jika pergeseran signifikan, lakukan anestesi dan
reduksikan.
b) Fraktur Tertutup Korpus Tibia pada Anak-anak
Pada bayi dan anak-anak yang muda, fraktur besifat spiral pada tibia dengan
fibula yang intak. Pada umur 3-6 tahun, biasanya terjadi stress torsional pada tibia bagian
medial yang akan menimbulkan fraktur green stick pada metafisis atau diafisis

4
proksimaldengan fibula yang intak. Pada umur 5-10 tahun, fraktur biasanya bersifat
transversaldengan atau tanpa fraktur fibula.
c) Fraktur Tertutup Pada Korpus Fibula
Gaya yang diarahkan pada sisi luar tungkai pasien dapat mematahkan fibula
secara transversal. Tibianya dapat tetap dalam keadaan intak, sehingga tidak terjadi
pergeseran atau hanya sedikit pergeseran ke samping. Biasanya pasien masih dapat
berdiri. Otot-otot tungkai menutupi tempat fraktur, sehingga memerlukan sinar-X untuk
mengkonfirmasikan diagnosis. Tidak diperlukan reduksi, pembidaian, dan perlindungan,
karena itu asalkan persendian lutut normal, biarkan pasien berjalan segera setelah cedera
jaringan lunak memungkinkan. Penderita cukup diberi analgetika dan istirahat dengan
tungkai tinggi sampai hematom diresorbsi.
d) Fraktur Tertutup pada Tibia dan Fibula
Pada fraktur ini tungkai pasien terpelintir, dan mematahkan kedua tulang pada
tungkai bawah secara oblik, biasanya pada sepertiga bawah. Fragmen bergeser ke arah
lateral, bertumpang tindih, dan berotasi. Jika tibia dan fibula fraktur, yang diperhatikan
adalah reposisi tibia. Angulasi dan rotasi yang paling ringan sekalipun dapat mudah
terlihat dan dikoreksi. Perawatan tergantung pada apakah terdapat pemendekan. Jika
terdapat pemendekan yang jelas, maka traksi kalkaneus selama seminggu dapat
mereduksikannya. Pemendekan kurang dari satu sentimeter tidak menjadi masalah karena
akan dikompensasi pada waktu pasien sudah mulai berjalan. Sekalipun demikian,
pemendekan sebaiknya dihindari.
Klasifikasi Klinis :
 Fraktur tertutup (simple fracture)
Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia
luar.
 Fraktur terbuka (compound fracture)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui
luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau
from without (dari luar)
Derajat I :
 Luka < 1 cm

5
 Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
 Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringan
 Kontaminasi minimal
Derajat II
 Laserasi > 1 cm
 Kerusakan jaringan lunak, tidak luas
 Fraktur kominutif sedang
 Kontaminasi sedang
Deajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas :
a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas, atau fraktur segmental / sangat kominutif yang dsebabkan oleh
trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
b. Kehilangan jaringan lunak dengan besarnya fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif
c. Luka pada pembuluh arteri
 Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)
Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya
malunion, delayed union, infeksi tulang.
Gambar :

2.4. Penyebab Fraktur1,5

6
Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat:
1. Peristiwa trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila
terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan
lunaknya juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami
fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan
lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.
2. Fraktur kelelahan atau tekanan
Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal, terutama pada
atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh.
3. Fraktur patologik
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget).
Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam tingkat yang
berbeda; daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya pada
tingkatyang sama. Pada cedera tak langsung, salah satu dari fragmen tulang dapat
menembus kulit; cedera langsung akan menembus atau merobek kulit diatas fraktur.
Kecelakaan sepeda motor adalah penyebab yang paling lazim.

2.5. Patofisiologi fraktur


a) Gaya atau trauma penyebab fraktur dapat berupa :
1) Gaya langsung
2) Gaya tidak langsung
b) Pada tulang panjang
1) Gaya twisting => fraktur spiral
2) Gaya bending dan kompresi => fraktur tranversal disertai separasi triangular
fragment butterfly
3) Kombinasi twisting, bending dan kompresi => fraktur oblik pendek
4) Tarikan tendon atau ligament => fraktur avulsi.
Pada tulang kanselous seperti vertebra atau calcaneal memberikan crush fracture yang
komminutif.

7
2.6. Gejala Klinis1,4,5
Kulit mungkin tidak rusak atau robek dengan jelas, kadang-kadang kulit tetap
utuh tetapi melesak atau telah hancur, dan terdapat bahaya bahwa kulit itu dapat
mengelupas dalam beberapa hari. Kaki biasanya memuntir keluar dan deformitas tampak
jelas. Kaki dapat menjadi memar dan bengkak. Nadi dipalpasi untuk menilai sirkulasi,
dan jari kaki diraba untuk menilai sensasi. Pada fraktur gerakan tidak boleh dicoba, tetapi
pasien diminta untuk menggerakkan jari kakinya. Sebelum merencanakan terapi, perlu
dilakukan penentuan beratnya cedera.
Pada anamnesis dalam kasus fraktur kondilus tibia terdapat riwayat trauma pada
lutut, pembengkakan dan nyeri serta hemartrosis. Terdapat gangguan dalam pergerakan
sendi lutut. Pada fraktur diafisis tulang kruris ditemukan gejala berupa pembengkakan,
nyeri dan sering ditemukan penonjolan tulang keluar kulit. Pada fraktur dan dislokasi
sendi pergelangan kaki ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki,
kebiruan atau deformitas. Yang penting diperhatikan adalah lokaliasasi dari nyeri tekan
apakah pada daerah tulang atau pada ligament.
Bagian paha yang patah lebih pendek dan lebih besar dibanding dengan normal
serta fragmen distal dalam posisi eksorotasi dan aduksi karena empat penyebab:
1) Tanpa stabilitas longitudinal femur, otot yang melekat pada fragmen atas dan bawah
berkontraksi dan paha memendek, yang menyebabkan bagian paha yang patah
membengkak.
2) Aduktor melekat pada fragmen distal dan abduktor pada fragmen atas. Fraktur
memisahkan dua kelompok otot tersebut, yang selanjutnya bekerja tanpa ada aksi
antagonis.
3) Beban berat kaki memutarkan fragmen distal ke rotasi eksterna.
4) Femur dikelilingi oleh otot yang mengalami laserasi oleh ujung tulang fraktur yang
tajam dan paha terisi dengan darah, sehingga terjadi pembengkakan (1,2,3).
Selain itu, adapun tanda dan gejalanya adalah :
Nyeri hebat di tempat fraktur
Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
Rotasi luar dari kaki lebih pendek

8
Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah,
bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

2.7. Diagnosis1,2
Menegakkan diagnosis fraktur dapat secara klinis meliputi anamnesis lengkap
danmelakukan pemeriksaan fisik yang baik, namun sangat penting untuk dikonfirmasikan
denganmelakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen untuk membantu
mengarahkan danmenilai secara objektif keadaan yang sebenarnya.
A. Anamnesa
Penderita biasanya datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik yang
hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan
anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak
selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi ditempat lain. Trauma
dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh dikamar
mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan pada pekerja oleh
karena mesin atau karena trauma olah raga. Penderita biasanya datang karena nyeri,
pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi
atau datang dengan gejala-gejala lain.

B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
 Syok, anemia atau perdarahan.
 Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau
organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.
 Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis (penyakit Paget).

Pada pemeriksaan fisik dilakukan:


Look (Inspeksi)

9
- Deformitas: angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi
(rotasi,perpendekan atau perpanjangan).
- Bengkak atau kebiruan.
- Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak).
- Pembengkakan, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting
adalah apakah kulit itu utuh. Kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan
fraktur, cedera itu terbuka (compound).

Feel (palpasi)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
1. Temperatur setempat yang meningkat
2. Nyeri tekan; nyeri tekan yang superfisisal biasanya disebabkan oleh kerusakan
jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.
3. Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati.
4. Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku.
5. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan pembedahan.

Move (pergerakan)
1. Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
2. Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya.
3. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan
saraf.

C. Pemeriksaan Penunjang
Sinar -X

10
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun
demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta
eksistensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya,
maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi
sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:
 Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.
 Untuk konfirmasi adanya fraktur.
 Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta
pergerakannya.
 Untuk mengetahui teknik pengobatan.
 Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.
 Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler.
 Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.
 Untuk melihat adanya benda asing.
Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan ´Rules of Two´:
 Dua pandangan
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X tunggal dan sekurang-
kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang (AP & Lateral/Oblique).
 Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur atau angulasi. Tetapi
angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi
mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan
dalam foto sinar-X.
 Dua tungkai
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur. Foto pada tungkai
yang tidak cedera akan bermanfaat.
 Dua cedera

11
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari 1 tingkat. Karena itu
bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu juga diambil foto sinar-X pada pelvis
dan tulang belakang.
 Dua kesempatan
Segera setelah cedera, suatu fraktur mungkin sulit dilihat, kalau ragu-ragu, sebagai
akibatresorbsi tulang, pemeriksaan lebih jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan
diagnosis.

Pencitraan Khusus
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu
dinyatakan apakah fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana yang terkena dan
lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri.
Konfigurasi fraktur dapat menentukan prognosis serta waktu penyembuhan fraktur,
misalnya penyembuhan fraktur transversal lebihlambat dari fraktur oblik karena kontak
yang kurang. Kadang-kadang fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada sinar-X
biasa.Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau fraktur kondilus tibia. CT atau
MRI mungkin merupakan satu-satunya cara yang dapat membantu, sesungguhnya potret
transeksional sangat penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat yang
sukar. Radioisotop scanning berguna untuk mendiagnosis fraktur-tekanan yang dicurigai
atau fraktur tak bergeser yang lain.

2.8. Penatalaksanaan6,7
Penilaian awal terhadap pasien trauma dapat dibagi menjadi primer, survei
sekunder, dan tersier. Survei primer harus dilakukan dalam 2-5 menit dan terdiri dari
urutan ABCDE : Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure. Jika fungsi
dari setiap dari tiga sistem pertama terganggu, resusitasi harus segera dimulai. Pada
pasien yang kritis, resusitasi dan penilaian dilanjutkan secara bersamaan oleh tim praktisi
trauma. Pemantauan dasar termasuk electroencephalograph (ECG), tekanan darah
noninvasive, dan oksimetri nadi sering dapat dimulai di lapangan dan dilanjutkan selama
pengobatan. Resusitasi trauma mencakup dua tahap tambahan: kontrol perdarahan dan

12
perbaikan cedera secara definitif. Survei sekunder dan tersier yang lebih komprehensif
dari pasien dilakukan setelah survei primer.

Primary survey
a. Jalan napas
Mempertahankan saluran napas adalah selalu menjadi prioritas pertama. Jika
pasien dapat berbicara dengan jelas jalan napas biasanya baik, tetapi jika pasien tidak
sadar mungkin akan membutuhkan saluran napas dan bantuan ventilasi. Tanda-tanda
penting dari obstruksi termasuk mendengkur, stridor, dan gerakan dada paradoks.Adanya
benda asing harus dipertimbangkan pada pasien tidak sadar. Lanjutan manajemen jalan
napas (seperti intubasi endotrakeal, cricothyrotomy, atau trakeostomi) diindikasikan jika
ada apnea, obstruksi terus-menerus, cedera kepala berat, trauma maksilofasial, cedera
leher dengan hematoma yang meluas, atau cedera dada berat.
Cedera tulang belakang leher tidak mungkin terjadi pada pasien tanpa nyeri pada
leher. Lima kriteria meningkatkan risiko ketidakstabilan dari tulang cervikal: (1) Nyeri
pada leher, (2) severe distracting pain, (3) ditemukan tanda atau gejala neurologis, (4)
keracunan, dan (5) kehilangan kesadaran di tempat kejadian . Sebuah fraktur tulang
belakang leher harus diasumsikan jika salah satu dari kriteria ini ditemukan, bahkan jika
tidak ada cedera diatas tingkat klavikula. Bahkan dengan kriteria ini, kejadian trauma
tulang leher adalah sekitar 2%. Insiden ketidakstabilan tulang belakang leher meningkat
hingga 10% dengan adanya cedera kepala berat. Untuk menghindari leher hiperekstensi,
manuver jaw-trhust adalah cara yang baik untuk mempertahankan saluran napas. Mulut
dan saluran udara hidung dapat membantu menjaga patensi jalan napas. Pasien tidak
sadar dengan trauma berat selalu dianggap beresiko untuk terjadinya aspirasi, dan jalan
napas harus diamankan sesegera mungkin dengan endotrakeal tube atau trakeostomi.
Leher hiperekstensi dan traksi aksial yang berlebihan harus dihindari, dan imobilisasi
manual dari kepala dan leher oleh asisten harus digunakan untuk menstabilkan tulang
belakang leher selama laringoskopi ("in-line panduan stabilisasi" atau MILS). Asisten
meletakkan kedua tangan-nya di kedua sisi kepala pasien, menekan oksiput dan
mencegah rotasi kepala. Dari semua teknik ini, MILS mungkin paling efektif, tetapi dapat
juga menyulitkan laringoskopi. Untuk alasan ini, beberapa dokter lebih memilih intubasi

13
nasal pada pasien dengan pernapasan spontan yang diduga mengalami cedera tulang
belakang servikal, meskipun teknik ini mungkin beresiko tinggi mengalami aspirasi
paru.
Lainnya menganjurkan penggunaan suatu lightwand, Bullard laringoskop,
WuScope, atau intubating laryngeal mask airway. Jelas, keahlian dan preferensi seorang
dokter secara individu mempengaruhi pilihan teknik, bersama dengan kebutuhan untuk
kebijaksanaan dan risiko komplikasi pada pasien yang diberikan. Kebanyakan praktisi
lebih familiar dengan intubasi oral, dan teknik ini harus dipertimbangkan pada pasien
yang membutuhkan intubasi apneic dan segera. Selanjutnya, nasal intubasi harus
dihindari pada pasien dengan patah tulang tengkorak midface atau basilar. Jika jalan
napas obturatorius esofagus telah dipasang di lapangan atau tempat keladian, itu tidak
boleh dilepas sampai trakea telah diintubasi karena kemungkinan regurgitasi.
Trauma laring membuat situasi lebih buruk. Luka terbuka dapat berhubungan
dengan perdarahan dari pembuluh leher besar, obstruksi dari hematoma atau edema,
emfisema subkutan, dan cedera tulang belakang leher. Trauma laring tertutup kurang
jelas, tetapi dapat ditemukan sebagai krepitasi leher, hematoma, disfagia, hemoptisis, atau
fonasi yang buruk. Sebuah intubasi dengan tabung endotrakeal kecil (6,0 pada orang
dewasa) di bawah laringoskopi langsung atau bronkoskopi serat optik dengan anestesi
topikal dapat dicoba jika laring dapat dilihat dengan jelas. Jika luka pada wajah atau leher
mencegah atau menghalangi intubasi endotrakeal, trakeostomi di bawah anestesi lokal
harus dipertimbangkan. Obstruksi akut dari trauma saluran napas bagian atas mungkin
memerlukan cricothyrotomy darurat atau perkutan atau bedah trakeostomi

b. Pernafasan
Penilaian ventilasi yang terbaik dilakukan dengan melihat, mendengarkan, dan
merasakan hembusan nafas. Lihat apakah ada tanda-tanda sianosis, penggunaan otot
aksesori, flail chest, dan sucking wound. Dengarkan adanya, tidak adanya, atau
berkurangnya bunyi nafas. Perhatikan juga tanda-tanda emfisema subkutan, pergeseran
trakea, dan tulang rusuk patah. Dokter harus memiliki indeks kecurigaan yang tinggi
untuk tension pneumothorax dan hemothorax, terutama pada pasien dengan gangguan
pernapasan. Drainase pleura mungkin diperlukan sebelum sinar-X dada dilakukan.

14
Kebanyakan pasien trauma yang kritis membutuhkan bantuan kontrol
ventilasi.Perangkat Tas-katup (misalnya, sebuah tas menggembungkan diri dengan katup
nonrebreathing) biasanya menyediakan ventilasi yang memadai segera setelah intubasi
dan selama periode transportasi pasien. Konsentrasi oksigen 100% disampaikan sampai
oksigenasi dinilai oleh gas-gas darah arteri.

c. Circulation
Kecukupan sirkulasi didasarkan pada denyut nadi, tekanan nadi, tekanan darah,
dan tanda-tanda perfusi perifer. Tanda-tanda sirkulasi inadekuat meliputi takikardi, nadi
perifer lemah atau tidak teraba, hipotensi, dan ekstremitas pucat, dingin, atau sianotik.
Prioritas pertama dalam memulihkan sirkulasi yang adekuat adalah untuk menghentikan
pendarahan, prioritas kedua adalah untuk menggantikan volume intravaskular. Cardiac
arrest selama transportasi ke rumah sakit atau segera setelah tiba pada trauma tembus
thoraks dan kemungkinan trauma tumpul thoraks merupakan indikasi untuk torakotomi
emergensi, disebut juga torakotomi resusitasi, memungkinkan kontrol cepat perdarahan
yang jelas, membuka perikardium, dan memungkinkan menjahit luka-luka jantung dan
mengklem aorta di atas diafragma. Beberapa dokter bedah trauma juga mendukung
torakotomi emergensi pada cardiac arrest selama transportasi atau segera setelah tiba di
rumah sakit pada trauma tembus atau tumpul abdomen. Pasien hamil yang berada dalam
cardiac arrest atau syok sering dapat diresusitasi dengan benar hanya setelah melahirkan
bayi.
Pada pasien-pasien dengan fraktur baik fraktur tertutup maupun terbuka, penting
untuk mengetahui tingkat perdarahan yang dialaminya. Penentuan tingkat perdarahan
dapat ditentukan dengan menilai beberapa parameter hemodinamik. Kelas perdarahan
menurut ATLS:
Class I Class II Class III Class IV
Blood loss (ml) <750 750-1500 1500-2000 >2000
Blodd loss <15 % 15-30% 30-40% >40%
(%EBV)
Pulse rate (x/min) <100 >100 >120 >140
Blood pressure Normal Normal Decreased Decreased
Pulse pressure Normal or Decreased Decreased Decreased

15
decreased
Respiratory rate 14-20 20-30 30-35 >35
Urine output >30 20-30 5-15 Negligible
(ml/hour)
Mental status/ Slightly Midly anxious Anxious and Confused and
CNS anxious confused lethargic

Perhitungan perkiraan kehilangan darah tubuh:


EBV : 70cc x BB
EBL : derajat perdarahan x EBV
Cara pemberian cairan:
- Atasi syok dengan guyur 20 cc/ kgBB
- Guyur hingga 2-4 x EBL
- Bila syok sudah teratasi, lasung ke maintenance

d. Disability
Evaluasi disability terdiri dari penilaian neurologis yang cepat. Karena biasanya
tidak ada waktu untuk Glasgow Coma Scale, sistem AVPU digunakan: awake, verbal
response, painful response, and unresponsive

e. Exposure
Pasien harus menanggalkan pakaian untuk memungkinkan pemeriksaan untuk
cedera. In-line immobilization harus digunakan jika cedera leher atau tulang belakang
dicurigai.

Secondary Survey
Secondary Suvey dimulai hanya ketika ABC yang stabil. Dalam survei sekunder,
pasien dievaluasi dari kepala sampai kaki dan pemeriksaan yang diindikasikan (misalnya,
radiografi, tes laboratorium, prosedur diagnostik invasif) diperoleh. Pemeriksaan kepala
meliputi mencari luka pada kulit kepala, mata, dan telinga. Pemeriksaan neurologis
termasuk Glasgow Coma Scale dan evaluasi dari fungsi motorik dan sensorik serta
refleks. Pupil melebar tetap tidak selalu berarti kerusakan otak ireversibel. Dada

16
diauskultasi dan diperiksa lagi untuk patah tulang dan integritas fungsional (flail chest).
Suara napas berkurang dapat mengungkapkan pneumotoraks tertunda atau membesar
yang membutuhkan penempatan tabung dada. Demikian pula, bunyi jantung menjauh,
tekanan nadi sempit, dan distensi vena leher merupakan tanda tamponade perikardium,
dilakukan pericardiocentesis. Sebuah pemeriksaan awal normal tidak definitif
menghilangkan kemungkinan masalah ini. Pemeriksaan abdomen harus terdiri dari
inspeksi, auskultasi, dan palpasi. Ekstremitas diperiksa untuk fraktur, dislokasi, dan
denyut nadi perifer. Kateter urin dan tabung nasogastrik juga biasanya dimasukkan.
Analisis laboratorium dasar termasuk hitung darah lengkap (atau hematokrit atau
hemoglobin), elektrolit, glukosa, nitrogen urea darah (BUN), dan kreatinin. AGDA juga
dapat sangat membantu. Foto thoraks harus diperoleh pada semua pasien dengan trauma
besar. Kemungkinan cedera tulang belakang leher dievaluasi dengan memeriksa semua
tujuh vertebra dalam radiografi AP/lateral. Meskipun penelitian ini mendeteksi 80-90%
dari patah tulang, hanya CT normal dapat dipercaya menyingkirkan trauma tulang leher
yang signifikan. Penelitian radiografi tambahan termasuk tengkorak, panggul, dan film
tulang panjang. Focused assessment with sonography for trauma (FAST) merupakan
pemeriksaan cepat, di samping tempat tidur menggunakan USG yang dilakukan untuk
mengidentifikasi perdarahan intraperitoneal atau tamponade perikardial. FAST, yang
telah menjadi perpanjangan dari pemeriksaan fisik pasien trauma, memeriksa empat area
untuk cairan bebas: ruang perihepatik/hepatorenal, ruang perisplenik, panggul, dan
perikardium. Tergantung pada cedera dan status hemodinamik pasien, teknik pencitraan
lain (misalnya, computed tomography [CT] thoraks atau angiografi) atau tes diagnostik
seperti diagnostic peritoneal lavage (DPL) juga dapat diindikasikan.

Penanganan Definitif
Penanganan definitif meliputi tindakan operatif dan non-operatif. Hal ini juga
dipengaruhi diagnosa fraktur tersebut. Terapi fraktur meliputi 3 dasar obyektif yaitu :
a) Reduksi / reposisi : menempatkan kembali fragment tulang pada posisi
seanatomis mungkin. Dapat dilakukan dengan reduksi tertutup / reduksi terbuka
b) Mempertahankan reduksi sampai healing dan cukup untuk mencegah
displacement (immobilisasi). Ada 3 metoda yang lazim yaitu
(1) fiksasi eksternal dengan cast atau splint,

17
(2) traksi
(3) fiksasi internal dengan nail, plate atau screw.
c) Mengembalikan fungsi otot, sendi dan tendon (rehabilitasi) untuk mencegah joint
stiffness & disuse atrophy. Harus dilakukan sesegera mungkin
Penatalaksanaan Fraktur dengan operasi, memiliki 2 indikasi, yaitu:
a. Absolut
1. Fraktur terbuka yang merusak jaringan lunak, sehingga memerlukan operasi
dalam penyembuhan dan perawatan lukanya.
2. Cidera vaskuler sehingga memerlukan operasi untuk memperbaiki jalannya darah
di tungkai.
3. Fraktur dengan sindroma kompartemen.
4. Cidera multipel, yang diindikasikan untuk memperbaiki mobilitas pasien, juga
mengurangi nyeri.
b. Relatif, jika adanya:
1. Pemendekan
2. Fraktur tibia dengan fibula intak
3. Fraktur tibia dan fibula dengan level yang sama
Adapun jenis-jenis operasi yang dilakukan pada fraktur tibia diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Fiksasi
a. Standar
Fiksasi eksternal standar dilakukan pada pasien dengan cidera multipel yang
hemodinamiknya tidak stabil, dan dapat juga digunakan pada fraktur terbuka dengan luka
terkontaminasi. Dengan cara ini, luka operasi yang dibuat bisa lebih kecil, sehingga
menghindari kemungkinan trauma tambahan yang dapat memperlambat kemungkinan
penyembuhan. Di bawah ini merupakan gambar dari fiksasi eksternal tipe standar.

b. Ring Fixators
Ring fixators dilengkapi dengan fiksator ilizarov yang menggunakan sejenis cincin dan
kawat yang dipasang pada tulang. Keuntungannya adalah dapat digunakan untuk fraktur

18
ke arah proksimal atau distal. Cara ini baik digunakan pada fraktur tertutup tipe
kompleks. Di bawah ini merupakan gambar pemasangan ring fixators pada fraktur
diafisis tibia.
c. Open reduction with internal fixation (ORIF)
Cara ini biasanya digunakan pada fraktur diafisis tibia yang mencapai ke metafisis.
Keuntungan penatalaksanaan fraktur dengan cara ini yaitu gerakan sendinya menjadi
lebih stabil. Kerugian cara ini adalah mudahnya terjadi komplikasi pada penyembuhan
luka operasi. Berikut ini merupakan gambar penatalaksanaan fraktur dengan ORIF.
d. Intramedullary nailing
Cara ini baik digunakan pada fraktur displased, baik pada fraktur terbuka atau tertutup.
Keuntungan cara ini adalah mudah untuk meluruskan tulang yang cidera dan
menghindarkan trauma pada jaringan lunak.
2. Amputasi
Amputasi dilakukan pada fraktur yang mengalami iskemia, putusnya nervus tibia dan
pada crush injury dari tibia.

General Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthetos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.

Beberapa tipe anestesi adalah:


• Anestesi umum adalah hilangnya kesadaran total
• Anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan sebagian
tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran
• Anestesi regional adalah hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh
oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan
dengannya.

Anestesi Umum (General Anesthesia)

19
Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Trias anestesi, yaitu :
1. Hipnotik
2. Analgesik
3. Relaksasi

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyebab terjadinya


kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan
pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan
bugar. Tujuan kunjungan pra anestesi adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi
yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberikan dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya :
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
3. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah
4. Mengurangi isi cairan lambung
5. Membuat amnesia
6. Memperlancar induksi anestesi
7. Meminimalkan jumlah obat anestesi
8. Mengurangi reflek yang membahayakan

Obat Premedikasi
a. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk
mengurangi efek bronchial dan cardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis, baik
akibat obat atau anestesi maupun tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya
adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme

20
gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya laringospame
yang berkaitan dengan anestesi umum.
Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis terapeutik ada
perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu sebaiknya obat ini
tidak digunakan untuk anestesi regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada
penderita dengan suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung
khususnya fibrilasi aurikuler.
Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.
Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg
untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak.

b. Hipnoz 2 mg (Midazolam) : obat penenang (transquilaizer)


Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untukpremedikasi, induksi
dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja cepat
karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua
dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus
ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah penyuntikan.
Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikandengan umur dan
keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. padaorang tua dan pasien lemah dosisnya
0,025-0,05 mg/kgBB. Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut
nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit.

c. Cedantron 4 mg (Ondansentrone)
Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan
pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping berupa hipotensi, bronkospasme,
konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewas 2-4 mg.

Obat Induksi
1. Tracrium 20 mg (Atracurium) : nondepolarisasi

21
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan
reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama 20-
45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kalilipat pada suhu 250 C, kecepatan efek
kerjanya 1-2 menit.
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot
mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja.
Antikolinesterase yang paling sering digunakan ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08
mg/kgBB) atau obat antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus
dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai obat vagolitik seperti atropin
dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3
mg/kgBB pada dewasa.

2. Recofol 80 mg (Profofol)
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter
recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol merupakan
cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan
1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Profopol menghambat transmisi neuron
yangdihantarkan oleh GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yangbekerja cepat
yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis
sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yangberumur diatas 55 tahun dosis
untuk induksi maupun maintenance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan
untik pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus
intravena atau secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih
lambat daripada cara pemberian pada oranag dewasa di bawah umur 55 tahun. Pada
pasien dengan ASA III-IVdosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat.

Maintenance

22
1. N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai
O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti
halotan dan sebaagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan
cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia
difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10
menit.Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu
60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan
perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O
sangat berbahaya bila digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum,
obstruksi, emboli udara dan timpanoplasti.

2. Halothane (Fluothane)
Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana
yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama
dengan oksigen atau nitrousokside 70% oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer
yang khusus dikalibrasi untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan
mudah dikendalikan. Pada nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada
nafas kendali sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan
inhibisi refleks baroreseptor. Paska pemberian halothane sering menyebabkan pasien
menggigil.

Intubasi
Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat pasien dari
sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Induksi dapat dilakukan secara intrvena, intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum

23
dilakukan induksi sebaiknya disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan. Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat:
S= Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
T = Tubes Pipa trakea. Usia <>5 tahun dengan balon (cuffed)
A= Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring(nasofaring) yang
digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidaksadar agar lidah tidak menymbat jalan
napas
T= Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C= Connec Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S= Suction Penyedot lendir dan ludah

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan


saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah
aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi.
Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal:
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
g.Obat.

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara
lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen
arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen
melalui masker nasal.

24
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.

Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi
endotrakheal antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah
cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya dijumpai


pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental
symphisis dengan lower alveolar margin yangmelebar memerlukan depresi rahang
bawah yang lebih lebarselama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi. Gigi incisium
atas yang menonjol (rabbit teeth).
d. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine.
e. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala
pada leher di sendi atlantooccipital.
f. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi
leher.

Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang
telah ditetapkan antara lain :
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bias menggunakan bantal yang cukup

25
keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta
trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit.
Sungkup muka dipegang dengan tangankiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan
lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga
mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta
epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat
sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf
V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui
sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu,
sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior
sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet
dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa
balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dandaun laringoskop
dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi.
Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada denganstetoskop, diharapkan suara
nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa
endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa
suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru
sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum
atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan
kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

26
2.9 Komplikasi1,2
1) Infeksi
Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa internal
fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena luka yang tidak
steril.
2) Delayed union
Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulang tetapi
terhambat yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak tercukupinya peredaran darah
ke fragmen.
3) Non union
Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu setelah 5 bulan
mungkin disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan umum dan pergerakan pada
tempat fraktur.
4) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis adalah kerusakan tulang yang diakibatkan adanya defisiensi
suplay darah.

5). Kompartemen Sindrom


Kompartemen sindrom merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan
terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang
tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya
oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan.
6) Mal union
Terjadi pnyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benar seperti
adanya angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan.
6) Trauma saraf terutama pada nervus peroneal komunis.
7) Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki.
Gangguan ini biasanya disebakan karena adanya adhesi pada otot-otot tungkai
bawah.

27
BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang pria 17 tahun dengan berat badan 80 kg, datang ke IGD RSUP HAM
dengan keluhan utama tungkai kanan bawah sulit digerakkan. Hal ini sudah dialami
pasien 1 jam sebelum masuk RSUP HAM. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan
lalu lintas saat mengendarai sepeda motor. Mekanisme trauma tidak jelas. Riwayat
muntah (-), kejang (-), pingsan (-).
Riwayat penyakit terdahulu tidak dijumpai. Riwayat pemakaian obat sebelumnya
tidak dijumpai.

TIME SEQUENCE
23/11/2011

28
Masuk RSUP HAM, IGD, pukul 22.00 Wib

24/11/2011, pukul 01.00 Wib


Pasien konsul anestesi untuk dilakukan operasi

24/11/2011, pukul 02.00 WIB


Dilakukan tindakan debridement emergency + Back slab

Primary Survey
Airway : Clear,
Breathing : Spontan
Frekuensi nafas : 24 x/i
Suara Pernafasan : vesikuler
Suara Tambahan : -
Circulation : Akral : dingin/ pucat/ basah
Tekanan Darah : 90/30 mmHg
Nadi : 119 x/i ,tekanan/volume: lemah
Disability : Alert, pupil isokor ɸ3/3mm, RC +/+
Exposure : Regio Femur dan Cruris: fraktur + lacerated wound

Secondary Survey
B1 : Airway clear, RR: 24 x/men, SP: vesikuler ka=ki, ST: -/-.
Riw. asma(-), batuk(-), alergi(-), sesak(-)
MLP I, JMH<6cm, GL: bebas.
B2 : Akral D/P/B, TD: 90/30 mmHg, HR: 119 x/men, t/v lemah, reguler. Temp. 36,5°C
B3 : Sens: CM, GCS 15 (E4V5M6), pupil isokor, ø 3 mm/3mm, RC +/+, Riw. kejang
(-).
B4 : UOP (+), vol. 150 cc (ress), warna kuning jernih
B5 : Abdomen : soepel, peristaltik (+), mual/muntah (-), MMT pukul 19.00 WIB

29
B6 : Open (R) Femur Fx grade IIIa + Open (R) Cruris Fx grade IIIc

Tindakan di IGD
- Pasang iv line 2 jalur, bore besar (abbocath 16G)
- Perdarahan kelas 3 à 30-40%
EBV: 70x80=5600
EBL: 30-40%=1680-2240cc
à Ganti perdarahan dengan kristaloid + Koloid + Darah
à 4500 cc RL + 500 cc HES 6% + Transfusi PRC 1 bag
- Pasang Kateter à keluar urin 150 cc, lalu kosongkan kantong urine.
- Beri analgetik adekuat à Inj. Ketorolac 1 30 mg
- Beri antibiotik à Inj. Ceftriakson 1 gram
- Injeksi ATS 3000 IU
- Cek lab Darah Rutin, HST.

Hasil Laboratorium
- Hb/ Ht/ Leu/ Plt : 6,7/19,8/21.710/191.000
- PT/ APTT/ TT/ INR : 22(12) s/40,8(29) s/16,9(11) s/1,76

Pemeriksaan Fisik post resusitasi


B1: Airway: Clear, RR: 2o x/mnt,
SP: Vesikular, ka=ki, ST: (-)
GL: Bebas, JMH: < 6 cm, Mallampati: 1.
B2 : Akral: D/P/K, TD: 130/70 HR: 107 x/mnt, Reguler, t/v: lemah
B3 : Sens:CM, GCS 15 (E4V5M6), Pupil: Isokor, Ø: 3mm/3 mm, RC: +/+, Riw. Kejang:
(-)
B4 : BAK: (+), Volume, vol: 100 cc/jam, warna kuning jernih
B5 : Abdomen: Soepel, Peristaltik: (+), Mual/Muntah: (-),
MMT: Pukul 19.00 WIB
B6 : Open (R) Femur Fx grade IIIa + Open (R) Cruris Fx grade IIIc

30
Pemeriksaan Foto X-Ray pada regio Femur dan Cruris
Foto Femur : Kesan : Simple fracture o/t 1/3 mid femur
Foto Cruris : Kesan : Simple fracture o/t 1/3 mid tibia dan Cominuted fracture o/t 1/3
mid fibula

Diagnosa Sementara :
Open Fx o/t (R) Midshaft Femur grade IIIa + Open Fx o/t (R) Mid Third Tibia-Fibula
grade IIIc

Operasi :
Tindakan : Debridement emergency + Back slab
Anestesi : GA-ETT
ASA : 2E
Posisi : Supine

Pemeriksaan Fisik Pra-Anesthesia


B1: Airway: Clear, RR: 20 x/mnt,
SP: Vesikular, ka=ki, ST: (-)
GL: Bebas, JMH: < 6 cm, Mallampati: 1.
B2 : Akral: D/P/K, TD: 120/70 HR: 1014 x/mnt, Reguler, t/v: lemah
B3 : Sens:CM, GCS 15 (E4V5M6), Pupil: Isokor, Ø: 3mm/3 mm, RC: +/+, Riw. Kejang:
(-)
B4 : BAK: (+), Volume, vol: 130 cc/jam, warna kuning jernih
B5 : Abdomen: Soepel, Peristaltik: (+), Mual/Muntah: (-),
MMT: Pukul 19.00 WIB
B6 : Open Fx o/t (R) Midshaft Femur grade IIIa + Open Fx o/t (R) Mid Third Tibia-
Fibula grade IIIc

Persiapan Alat : Intubasi set dewasa ETT 7,0


Persiapan obat GA ETT
Persiapan obat emergensi

31
Teknik Anesthesia
- Preload 500 cc RL
- Pre medikasi dengan midazolam 5 mg, S.A 0.5mg
- Oksigenasi dengan sungkup 8 L/menit
- Induksi dengan ketamin 160 mg.
- inj Rocuronium 80 mg,à intubasi dengan ETT 7,5
- cuff (+), SP ka=ki, fiksasi
- maintenance ketamin 1mg/ccà 0,05x80kgBB/men=4mg/menà80 tetes/men
Rocuronium 10 mg/20 mnt

Durante Operasi
- HR : 100-120 x/mnt
- SpO2 : 98 – 100 %
- TD : 100-130/ 60-80 mmHg
- Perdarahan :± 100 cc
- Maintenance + Penguapan = 160 cc/jam
- UOP : PO : 100 cc,
warna : kuning jernih
DO : 200 cc/jam
- Cairan : PO : RL : 500 cc
DO : RL : 1000 cc
PRC : 525 cc
- Lama operasi: 1 jam

Pemeriksaan Fisik Post Operasi


B1: Airway: Clear, RR: 18 x/mnt,
SP: Vesikular, ka=ki, ST: (-)
B2 : Akral: D/P/K, TD: 120/70 HR: 110 x/mnt, Reguler, t/v: lemah
B3 : Sens:CM, GCS 15 (E4V5M6), Pupil: Isokor, Ø: 3mm/3 mm, RC: +/+, Riw. Kejang:
(-)

32
B4 : BAK: (+), Volume, vol: 200 cc, warna kuning jernih
B5 : Abdomen: Soepel, Peristaltik: (+), Mual/Muntah: (-)
B6 : Luka post op tertutup verban

Rencana Penanganan Post Operasi


- Bed Rest
- Diet MB
- IVFD RL 30 gtt/i
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/i.v
- Inj. Tramadol 100mg/8 jam/i.v
- Inj. Cefotaxime 1gr/8 jam /i.v
- Cek darah rutin post op

Follow Up RR IGD tanggal 24/11/2011


S:-
O : B1: Airway: Clear, RR: 18 x/mnt, SP: Vesikular, ka=ki, ST: (-)
B2 : Akral: H/M/K, TD: 130/80 HR: 97 x/mnt, Reguler, t/v: cukup
B3 : Sens:CM, GCS 15 (E4V5M6), Pupil: Isokor, Ø: 3mm/3 mm, RC: +/+, Riw.
Kejang: (-)
B4 : BAK: (+), Volume, vol: 75 cc/jam, warna kuning jernih
B5 : Abdomen: Soepel, Peristaltik: (+), Mual/Muntah: (-)
B6 : Luka post op tertutup verban
A : Open Fx o/t (R) Midshaft Femur grade IIIa + Open Fx o/t (R) Mid Third Tibia-
Fibula grade IIIc
P : - Bed Rest
- Diet MB
- IVFD RL 30 gtt/i
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/i.v
- Inj. Tramadol 100mg/8 jam/i.v
- Inj. Cefotaxime 1gr/8 jam /i.v

33
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan tungkai kanan bawah sulit digerakkan setelah
pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengalami hal ini 1 jam sebelum masuk
rumah sakit. Untuk itu, pasien kembali dinilai secara klinis, dan didapati pasien
mengalami perdarahan kelas III menurut ATLS. Hal ini dilihat dari denyut nadi >100
x/menit (119x/menit), tekanan darah : 90/30 mmHg, tekanan nadi 50 mmHg,dan urine
output > 30cc (150 cc).
Penatalaksanaan dengan fraktur terbuka pada tungkai bawah diawali dengan
tindakan primary survey yaitu Airway (jalan nafas), yaitu membersihkan jalan nafas
dengan memperhatikan kontrol servikal. Breathing dengan ventilasi yang baik meliputi
inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada
yang mungkin mengganggu ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya darah atau udara

34
dalam rongga pleura, auskultasi untuk memastikan masuknya udara kedalam paru.
Circulation dengan kontrol pendarahan. Disability dengan pemeriksaan mini neurologis
meliputi GCS, bentuk, ukuran dan reflek cahaya pupil, kekuatan motorik kiri dan kanan.
Exposure dengan menghindarkan hipotermia.
Pada pasien ini, telah dilakukan penanganan di IGD dengan tindakan berupa
ABCDE. Airway pada pasien ini dilakukan tindakan kontrol servikal. Breathing pada
pasien ini dilakukan tindakan pemberian oksigen melalui face mask non-rebreathing 10
lpm untuk mengatasi takipnoe pada pasien. Berdasarkan referensi, hiperventilasi
merupakan terapi medikamentosa untuk cedera otak dengan tujuan untuk menurunkan
PCO2 yang akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Circulation pada
pasien ini dilakukan tindakan pemasangan IV line satu jalur (IV cath no 18) dengan
memastikan IV line lancar. Dengan menggunakan perhitungan perkiraan kehilangan
darah tubuh diperoleh perkiraan kehilangan darah sebanyak 1680 cc yang akan
direhidrasi dengan cairan RL Ganti perdarahan dengan kristaloid + Koloid + Darah yakni
4500 cc RL + 500 cc HES 6% + Transfusi PRC 1 bag. Alasan pemberian cairan
kristaloid, koloid dan darah pada pasien ini adalah untuk mengisi volume intravaskuler
sehingga dapat mencegah terjadinya syok hipovolemik oleh karena perdarahan. Selain itu
dilakukan pemasangan kateter urin untuk monitoring cairan yang telah diberikan. Pada
Disability pasien ini dijumpai sensorium compos mentis, GCS 15 (E4V5M6), pupil
isokor, RC +/+, diameter pupil 3mm/ 3mm. Exposure pada pasien ini dijumpai fraktur
terbuka pada regio femur dan kruris disertai luka robek pada bagian tersebut.
Tindakan selanjutnya adalah dengan secondary survey sesuai dengan penanganan
dalam ATLS. Prosedur diagnostik yang dilakukan pada pasien ini adalah foto toraks, foto
servikal AP/L, foto femur dekstra, cruris dekstra dan pelvis. Berdasarkan referensi,
pemeriksaan ini segera dilakukan setelah hemodinamik stabil. Selanjut pada pasien ini
dilakukan debridement dan pemasangan back slab untuk immobilisasi di ruangan
menunggu penanganan definitif yaitu perbaikan fraktur dengan cara fiksasi eksternal.
Pasien dirawat dengan istirahat total serta posisi kepala head up 300, dengan
tujuan memperlancar aliran balik darah vena dari otak sehingga dapat mengurangi
peningkatan tekanan intrakranial. Manajemen nyeri post operasi pada pasien ini
dilakukan dengan memberikan ketorolac dan Tramadol untuk mengurangi nyeri.

35
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang pasien dengan keluhan tungkai kanan bawah sulit
digerakkan setelah pasien mengalami kecelakaan lalu lintas.
Penatalaksanaan cedera kepala berat diawali dengan tindakan primary survey
yaitu Airway (jalan nafas), yaitu membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan
kontrol servikal. Breathing dengan ventilasi yang baik meliputi inspeksi terhadap bentuk
dan pergerakan dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya darah atau udara dalam rongga pleura,
auskultasi untuk memastikan masuknya udara kedalam paru. Circulation dengan kontrol
pendarahan. Disability dengan pemeriksaan mini neurologis meliputi GCS, bentuk,
ukuran dan reflek cahaya pupil, kekuatan motorik kiri dan kanan. Exposure dengan

36
menghindarkan hipotermia. Pada pasien ini, telah dilakukan penanganan di IGD dengan
tindakan berupa ABCDE.
Pada pasien kemudian dilakukan operasi debridement dan pemasangan backslab
untuk immobilisasi sementara menunggu tindakan definitif.

37

Anda mungkin juga menyukai