Makalah Sickle Cell Anemia
Makalah Sickle Cell Anemia
PENDAHULUAN
Anemia merupakan suatu bentuk kelainan pada darah yang paling sering
terjadi pada masyarakat. Sebenarnya, anemia ini tidak termasuk kelainan yang
berbahaya. Akan tetapi, bila tidak ditangani dengan tepat dapat memicu terjadinya
penyakit yang lebih parah. Anemia yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani
anhaimia yang secara harfiah berarti tanpa darah. Anemia ini memiliki beberapa
macam jenis yang dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya. Secara garis besar,
anemia dapat dibedakan menjadi 4 kelompok yaitu:
1. Anemia yang disebabkan oleh cacat atau masalah yang ada pada faktor
konstitusional dari sel darah merah
2. Anemia yang disebabkan oleh defisiensi atau kekurangan bahan-bahan
yang berasal dari luar tubuh
3. Anemia karena kehilangan sel darah merah yang baik dan sehat
4. Anemia yang disebabkan karena adanya reaksi autoimun dari tubuh.
Bersadarkan klasifikasi anemia di atas, anemia sel sabit termasuk dalam jenis
anemia yang pertama, yaitu anemia yang disebabkan oleh cacat pada faktor
konstitusional pada sel darah merah, dalam hal ini adalah cacat pada hemoglobin,
yang disebut dengan istilah hemoglobinopathy. Berdasarkan kasus yang telah
dijumpai, Sickle Cell Disease (Penyakit Sel Sabit) dan thalassemia merupakan
hemoglobinopati yang paling sering dijumpai. (Beutler E, Collethr : 2005)
1
250.000 bayi, merupakan penderita penyakit sel sabit. Dari seluruh jumlah penderita
penyakit sel sabit tersebut, prevalensi tertinggi terdapat di daerah tropis Afrika,
tepatnya di daerah Benin, Uganda, Senegal, Afrika Tengah, dan pantai barat Afrika.
Selain daerah-daerah Afrika tersebut, terdapat juga penderita dengan prevalensi yang
lebih kecil di daerah mediterania, Arab Saudi, India, dan di antara orang-orang kulit
hitam di Amerika Serikat.
Selain jumlah dari penderita penyakit sel sabit tersebut, jumlah dari karier
penyakit tersebut juga harus diperhatikan, karena penyakit sel sabit ini termasuk
kelainan genetik yang dapat diwariskan dari orang tua kepadanya anaknya. Di
berbagai negara Eropa non-endemik penyakit sel sabit telah dilakukan survei untuk
mengetahui jumlah karier di negara mereka, diantaranya Albania ditemukan 3% karier;
Prancis 0,6%; Portugal 0,57%; Yunani 0,53%; Belanda 0,47%; Inggris 0.47%; Turki
0,44%; Skotlandia 0,01%; Finlandia 0,02%; Irlandia 0,08%; Amerika Serikat,
Amerika Latin dan karibia ditemukan 8% karier.
2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan Sickle cell anemia?
1.2.2 Apakah etiologi dari Sickle cell anemia?
1.2.3 Bagaimanakah Patofisiologi dari Sickle cell anemia?
1.2.4 Apakah manifestasi klinis dari Sickle cell anemia?
1.2.5 Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada Sickle cell anemia?
1.2.6 Apakah komplikasi dari Sickle cell anemia?
1.2.7 Bagaimana Tindakan Pengobatan pada Sickle cell anemia?
1.2.8 Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan Sickle cell anemia?
1.3 Tujuan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anemia sel sabit adalah sejenis anemia kongenital dimana sel darah merah
berbentuk menyerupai sabit, karena adanya hemoglobin abnormal. (Noer Sjaifullah,
1999). Anemia sel sabit adalah anemia hemolitika berat akibat adanya defek pada
molekulhemoglobin dan disertai dengan serangan nyeri. (Suzanne C. Smeltzer, 2002)
Anemia Sel Sabit (Sickle cell anemia) disebut juga anemia
drepanositik, meniskositosis, penyakit hemoglobin S. Penyakit sel sabit (Sickle cell
anemia)) adalah suatu penyakit keturunan yang ditandai dengan sel darah merah yang
berbentuk sabit dan anemia hemolitik kronik. Pada penyakit sel sabit, sel darah merah
memiliki hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang bentuknya abnormal,
sehingga mengurangi jumlah oksigen di dalam sel dan menyebabkan bentuk sel
menjadi seperti sabit. Sel yang berbentuk sabit menyumbat dan merusak
pembuluhdarah terkecil dalam limpa, ginjal, otak, tulang dan organ lainnya serta
menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen ke organ tersebut. Sel sabit ini rapuh
dan akan pecah pada saat melewati pembuluh darah, menyebabkan anemia berat,
penyumbatan aliran darah, kerusakan organ dan mungkin kematian.
4
Anemia sel sabit adalah kondisi serius di mana sel-sel darah merah menjadi
berbentuk bulan sabit, seperti huruf C. Sel darah merah normal berbentuk donat tanpa
lubang (lingkaran, pipih di bagian tengahnya), sehingga memungkinkan mereka
melewati pembuluh darah dengan mudah dan memasok oksigen bagi seluruh bagian
tubuh. Sulit bagi sel darah merah berbentuk bulan sabit untuk melewati pembuluh
darah terutama di bagian pembuluh darah yang menyempit, karena sel darah merah
ini akan tersangkut dan akan menimbulkan rasa sakit, infeksi serius, dan kerusakan
organ tubuh.
Anemia sel sabit dapat diwariskan oleh orang tua kepada anak laki-laki
atau perempuan. Pewarisan dari salah satu gen sel sabit disebut keadaan carriers
atau disebut juga ciri sel sabit. Orang-orang dengan ciri sel sabit seperti ini
tidak mengalami anemia sel sabit, tidak pula mengalami banyak gejala penyakit
yang disebabkan oleh sel sabit dan memiliki harapan hidup seperti orang-orang
yang normal. Jika dua carriers dari ciri sel sabit kawin, maka akan memiliki
anak dengan kemungkinan menderita anemia sel sabit. Penyakit sel sabit
sebenarnya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
Untuk penyakit sel sabit heterozigot, hemoglobin yang terdapat dalam darah
pasien tidak hanya HbS saja, melainkan bisa saja ada bentuk kelainan hemoglobin
yang lain seperti HbC, HbD, HbE, maupun -thalassemia. Sebaliknya, dalam darah
pasien penderita penyakit sel sabit homozigot hanya terdapat satu kelainan
hemoglobin, yaitu HbS. Kelainan homozigot ini justru merupakan kelainan yang
paling parah bila dibandingkan dengan kelainan heterozigot. Berdasarkan kedua jenis
tersebut, anemia sel sabit termasuk ke dalam penyakit sel sabit homozigot. Anemia sel
sabit merupakan suatu kelainan pada darah yang disebabkan karena adanya
perubahan asam amino ke-6 pada rantai protein globin yang menyebabkan adanya
perubahan bentuk dari sel darah merah menjadi serupa dengan sabit, yang disebut
5
dengan HbS. Kelainan struktur terjadi pada fraksi globin di dalam molekul
hemoglobin. Globin tersusun dari dua pasang rantai polipeptida. Misalnya, Hb S
berbeda dari Hb A normal Karena valin menggantikan asam glutamat pada salah satu
pasang rantainya.
Individu sehat : HbAHbA
Individu terkena anemia sel sabit : HbSHbS
Individu genotip heterozigot : HbAHbS
Orang heterozigotik HbAHbS memiliki dua macam sel darah merah, yaitu
yang mengandung hemoglobin A dan ada yang mengandung hemoglobin S. Oleh
karena membentuk dua macam hemoglobin, maka gen HbA dan HbS merupakan
gen-gen kodominan. Orang heterozigotik HbAHbS biasanya tidak menderita anemia
separah yang homozigotik untuk alel S yang menyebabkan anemia sel sabit
Sel darah merah pada anemia sel sabit ini kehilangan kemampuan untuk
bergerak dengan mudah melewati pembuluh yang sempit dan mengakibatkan
6
terperangkapnya di dalam mikro sirkulasi. Hal ini menyebabkan penyumbatan aliran
darah ke jaringan di bawahnya, akibatnya timbul nyeri karena iskemia jaringan.
Meskipun bentuk sel sabit ini bersifat reversible atau dapat kembali ke bentuk semula
jika saturasi hemoglobin kembali normal, sel sabit sangat rapuh dan banyak yang
sudah hancur di dalam pembuluh yang sangat kecil, sehingga menyebabkan anemia.
Sel-sel yang telah hancur disaring dan dipindahkan dari sirkulasi ke dalam limpa,
kondisi ini mengakibatkan limpa bekerja lebih berat. (Benz EJ : 2001)
Disfungsi multiorgan sering terjadi setelah beberapa tahun. Kondisi-kondisi
yang dapat menstimulasi sel sabit antara lain hipoksia, ansietas, demam, dan terpajan
dingin. Karena limpa merupakan organ imun yang penting, infeksi terutama yang
disebabkan bakteri, umumnya sering menstimulasi krisis sel sabit. Pada saat lahir,
tanda anemia sel sabit mungkin tidak terlihat karena semua bayi memiliki kadar
tinggi jenis hemoglobin yang berbeda, yaitu hemoglobin fetal (F). Hemoglobin fetal
tidak berbentuk sabit, tetapi hanya bertahan dalam waktu kira-kira empat bulan
setelah lahir. Pada saat inilah tanda penyakit mulai terlihat. Tanda-tanda ini termasuk
gejala klasik anemia dan tanda yang berhubungan dengan karakteristik gangguan
sumbatan yang sangat nyeri.
7
polimerisasi masih dapat kembali ke bentuknya semula jika mengalami oksigenasi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses polimerisasi;
1) Oksigen: Oksigen memegang peranan penting dalam proses polimerisasi.
Ketika oksigen terlepas dari sel darah merah untuk menuju ke jaringan tubuh, hal ini
akan memicu terjadinya polimerisasi karena pada saat itu hemoglobin mengalami
deoksigenasi. Akan tetapi, masih ada faktor lain, yang masih berkaitan dengan
afinitas hemoglobin-oksigen, yang juga mempengaruhi polimerisasi, yaitu senyawa
2,3-BPG (2,3-bifosfogliserat) dan nilai pH darah. Pada proses pelepasan ikatan
hemoglobin-oksigen, senyawa 2,3-BPG memegang peranan penting dalam
menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen, sehingga peningkatan senyawa
2,3-BPG akan dapat memicu polimerisasi hemoglobin. Sementara itu, penurunan
nilai pH akan menyebabkan jumlah ion hidrogen (H+) meningkat sehingga akan
memaksa hemoglobin melepaskan oksigen untuk membentuk senyawa Hb. Dengan
demikian, memicu terjadinya polimerisasi
2) Konsentrasi HbS dalam darah: Konsentrasi HbS dalam darah dapat
memicu terjadinya polimerisasi. Pada umumnya, polimerisasi akan terjadi bila
konsentrasi HbS naik melebihi 20.8 g/dl
3) Suhu. Suhu mempengaruhi keadaan kental dari deoksi HbS. Deoksi HbS
akan mengalami pencairan bila mengalami pendinginan, tetapi perlu diperhatikan
pula bahwa pendinginan tersebut dapat memperburuk keadaan penderita sebab akan
menyebabkan terjadinya vasokonstriksi.
4) Hb lain selain HbS. Beberapa hemoglobin dapat menghambat terjadinya
polimerisasi, sedangkan yang lainnya dapat memicu polimerisasi. HbF dan HbA
merupakan contoh dari hemoglobin yang dapat menghambat proses polimerisasi.
Kedua hemoglobin tersebut, ketika mengalami deoksigenasi tidak akan mengalami
polimerisasi dan tidak menjadi bentuk sabit, sehingga dapat menjaga viskositas serta
volume darah untuk tidak berubah menjadi lebih kental. Berkaitan dengan hal ini,
agen apapun yang dapat meningkatkan volume darah akan dapat mencegah
terjadinya polimerisasi. Dalam kasus ini, HbF dan HbA yang terdapat dalam darah
seolah-olah menambah volume darah yang sedang mengalami perubahan menjadi
8
lebih kental. Sebaliknya, HbC, HbD, HbO dan HbJ merupakan contoh hemoglobin
yang dapat memicu terjadinya polimerisasi.
5) Infeksi. Beberapa infeksi dapat mempengaruhi terjadinya polimerisasi
hemoglobin, seperti demam, muntah, diare dapat menyebabkan dehidrasi yang
berkaitan dengan volume darah yang berkurang sehingga memicu perubahan darah
menjadi lebih kental; asupan makanan yang kurang dapat menyebabkan terjadinya
asidosis yang dapat menurunkan nilai pH darah sehingga memicu terjadinya
polimerisasi hemoglobin; pneumonia dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia
yang secara langsung mengurangi jumlah oksigen dalam darah, dengan demikian
dapat menyebabkan deoksigenasi hemoglobin.
Menurut Mohamad Sadikin (2001) Pada tahap tertentu, sel darah merah yang
telah mengalami polimerisasi, tidak akan dapat kembali lagi ke bentuk normalnya.
Hal ini disebabkan karena perubahan bentuk hemoglobin menjadi sabit berkali-kali
telah mengubah membran sel darah merah yang menyebabkan terjadinya kebocoran
ion kalium dan masuknya ion natrium. Ion kalium yang hilang jauh lebih banyak,
selain itu juga terjadi peningkatan jumlah ion kalsium sebanyak empat kali lipat
yang menyebab adanya aliran K-Cl dan terbukanya gerbang Gardos, yang
merupakan gerbang keluarnya ion kalium yang diaktifkan oleh ion kalsium, yang
menimbulkan kehilangan ion kalium yang lebih banyak lagi. Pada penderita yang
masih banyak memiliki sel darah merah yang masih reversibel, sel darah merah
tersebut memiliki kecenderungan untuk menempel ke sel endotelium. Hal ini
berkaitan dengan terjadinya vasooklusi pada penderita anemia sel sabit. Sementara
itu, pada penderita yang memiliki lebih banyak sel darah merah yang ireversibel, sel
darah merah tersebut memicu akumulasi IgG pada permukaan selnya yang
kemudian akan dikenali oleh reseptor makrofag sehingga menyebabkan
erythrophagocytosis.
9
sehingga terjadilah perubahan ini; konsekuensinya sel yang mengandung hemoglobin
S akan rusak, kaku dan berbentuk sabit ketika berada di sirkulasi vena. Sel yang
panjang dan kaku dapat terperangkap dalam pembuluh kecil, dan ketika mereka
saling menempel satu sama lain, aliran darah ke daerah atau organ mengalami
perlambatan. Apabila terjadi iskemia atau infark, pasien dapat mengalami nyeri,
pembengkakan, dan demam. Urutan kejadian tersebut menerangkan terjadinya krisis
nyeri penyakit ini, namun apa yang mencetuskan urutan kejadian tersebut atau yang
mencegahnya tidak diketahui. (Montalembert M : 2007)
Gejala disebabkan oleh hemolisis dan thrombosis. Sel darah merah sabit
memiliki usia hidup yang pendek 15-25 hari; sel normal 120 hari. Pasien selalu
anemis, dengan nilai hemoglobin antara 7-10 g/dl. Setiap jaringan dan organ rentan
terhadap gangguan mikrosirkulasi akibat proses penyabitan, sehingga peka terhadap
kerusakan hipoksik atau nekrosis iskemik yang sebenarnya. Terdapat kenaikan
kekentalan darah.
10
a) Semakin memburuknya anemia secara tiba – tiba nyeri (seringkali
dirasakan di perut atau tulang – tulang panjang)
b) Demam, kadang sesak nafas.
c) Nyeri perut bisa sangat hebat dan bisa penderita bisa mengalami muntah;
gejala ini mirip dengan apendisitis atau suatu kista indung telur.
d) Pada anak – anak, bentuk yang umum dari krisis sel sabit adalah sindroma
dada, yang ditandai dengan nyeri dada hebat dan kesulitan bernafas.
Penyebab yang pasti dari sindroma dada ini tidak diketahui tetapi diduga
akibat suatu infeksi atau tersumbatnya pembuluh darah karena adanya
bekuan darah atau embolus (pecahan dari bekuan darah yang menyumbat
pembuluh darah).
Sebagian besar penderita mengalami pembesaran limpa selama masa kanak-
kanak. Pada umur 9 tahun, limpa terluka berat sehingga mengecil dan tidak berfungsi
lagi. Limpa berfungsi membantu melawan infeksi, karena itu penderita cenderung
mengalami pneumonia pneumokokus atau infeksi lainnya.
11
menegakkan diagnosis adalah melakukan pemeriksaan penunjang Menurut Roberts I
(2007) yaitu:
a) Pemeriksaan darah lengkap : Retikulosit (jumlah darah bervariasi dari 30% –
50%), leukositos (khususnya pada krisis vaso oklusit) penurunan Hb
b) Tes tabung turbiditas sabit : pemeriksaan rutin yang menentukan adanya
hemoglobin S, tetapi tidak membedakan antara anemia sel sabit dan sifat yang
diwariskan (trait).
c) Elektroforesis hemoglobin : mengidentifikasi adanya tipe hemoglobin
abnormal dan membedakan antara anemia sel sabit dan anemia sel trait.
d) LED : meningkat
e) GDA : dapat menunjukkan penurunan PO2
f) Bilirubin serum : meningkat
g) LDH : meningkat.
h) IVP : mungkin dilakukan untuk mengevaluasi kerusakan ginjal.
i) Radiografik tulang : mungkin menunjukkan perubahan tulang
j) Rontgen : mungkin menunjukkan penipisan tulang. (Doenges E.M, 2002, hal :
585).
Sekitar 60% pasien anemia sel sabit mendapat serangan nyeri yang berat
hampir terus-menerus dan terjadinya anemia sel sabit selain dapat disebabkan karena
infeksi dapat juga disebabkan oleh beberapa faktor misalnya perubahan suhu yang
12
ekstrim, stress fisis atau emosional lebih sering serangan ini terjadi secara mendadak.
Orang dewasa dengan anemia sel sabit sebaiknya diimunisasi terhadap pneumonia
yang disebabkan pneumokokus. Tiap infeksi harus diobati dengan antibiotik yang
sesuai. Transfusi sel darah merah hanya diberikan bila terjadi anemia berat atau krisis
aplastik. Pada kehamilan usahakan agar Hb berkisar sekitar 10 – 12 g/dl pada
trimester ketiga. Kadar Hb perlu dinaikkan hingga 12 – 14 g/dl sebelum operasi.
Penyuluhan sebelum memilih teman hidup adalah penting untuk mencegah keturunan
yang homozigot dan mengurangi kemungkinan heterozigot. (Noer Sjaifullah H.M,
1999, hal : 534)
Sampai saat ini belum diketahui ada pengobatan yang dapat memperbaiki
pembentukan sabit, karena itu pengobatan secara primer ditujukan untuk pencegahan
dan penunjang. Karena infeksi tampaknya mencetuskan krisis sel sabit, pengobatan
ditekankan pada pencegahan infeksi, deteksi dini dan pengobatan segera setiap ada
infeksi pengobatan akan mencakup pemberian antibiotik dan hidrasi dengan cepat
dan dengan dosis yang besar. Pemberian oksigen hanya dilakukan bila penderita
mengalami hipoksia. Nyeri hebat yang terjadi secara sendiri maupun sekunder
terhadap adanya infeksi dapat mengenai setiap bagian tubuh. Tranfusi hanya
diperlukan selama terjadi krisis aplastik atau hemolitis. Transfusi juga diperlukan
selama kehamilan.
1. Profilaktik.
2. Asam folat, misalnya 5 mg perhari, jika diit buruk.
3. Gizi umum baik dan hygiene.
4. Krisis – istirahat, dehidrasi, berikan antibiotik jika terdapat infeksi,
bikarbonat jika pasien asidosis. Analgetik kuat biasanya diperlukan,
transfusi diberikan hanya jika anemia sangat berat dengan gejala transfusi.
Sukar mungkin dibutuhkan pada kasus berat.
13
5. Perawatan khusus diperlukan pada kehamilan dan anestesi sebelum
persalinan atau operasi, pasien dapat ditransfusi berulang dengan darah
normal untuk mengurangi proporsi haemoglobin S yang beredar.
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi anemia sel sabit meliputi infeksi, hipoksia dan iskemia, episode
thrombosis, stroke, gagal ginjal, dan priapiosmus (nyeri abnormal dan ereksi penis
terus menerus). Pasien dengan anemia sel sabit biasanya rentan terhadap infeksi,
terutama pneumonia dan osteomielitis. Mereka dapat mengalami krisis aplastika
dengan infeksi dan dapat menderita batu kandung empedu (akibat peningkatan
hemolisis yang menyebabkan batubilirubun) dan ulkus tungkai. Ulkus dapat bersifat
kronis dan nyeri serta memerlukan tandur kulit. Infeksi merupakan penyebab
kematian utama terjadi karena krisis sekuestrasi dimana terjadi pooling sel darah
merah ke RES dan kompartemen vaskular sehingga hematokrit mendadak menurun.
Pada orang dewasa menurunnya faal paru dan ginjal dapat berlangsung progresif.
Komplikasi lain berupa infark tulang, nekrosis aseptik kaput femoralis, serangan-
serangan priapismus dan dapat berakhir dengan impotensi karena kemampuan
ereksi.( Walters MC: 2002)
14
3. Saraf Pusat Trombosis serebral
4. Genitourinaria Disfungsi ginjal
5. Gastrointestinal Kolesistitis, fibrosis hati, abses hati
6. Okular Ablasio retina, penyakit pembuluh darah perifer,
perdarahan
7. Skeletal Nekrosis aseptik kaput femoris dan kaput humeri
8. Kulit Ulkus tungkai kronis
Saat ini sedang dikembangkan teknik pengobatan baru untuk SCA, yaitu
dengan terapi gen. Terapi genetik merupakan teknik penanaman gen normal ke dalam
sel-sel prekursor (sel yang menghasilkan sel darah). Namun, teknik ini masih dalam
tahap penelitian dan baru diujicobakan pada tikus. Walaupun para peneliti khawatir
akan sulitnya menerapkan terapi gen pada manusia, mereka yakin bahwa terapi baru
ini akan menjadi pengobatan yang penting untuk penyakit sickle cell anemia.
15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian Keperawatan
Data-data yang perlu dikaji dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang
menderita anemia sel sabit yaitu :
1. Pengumpulan data
a. Identifikasi Pasien : nama pasien, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/
bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
b. Identitas penanggung
Keluhan utama: pada keluhan utama akan nampak semua apa yang dirasakan pasien
pada saat itu seperti kelemahan, nafsu makan menurun dan pucat.
Riwayat kesehatan masa lalu: riwayat kesehatan masa lalu akan memberikan
informasi kesehatan atau penyakit masa lalu yang pernah diderita.
Penyakit anemia sel sabit dapat disebabkan oleh kelainan/kegagalan genetik yang
berasal dari orang tua yang sama-sama trait sel sabit
f. Pemeriksaan fisik
Aktivitas/ istirahat
16
Sirkulasi
Eliminasi
Tanda: Nyeri tekan pada abdomen, hepatomegali, asites, urine encer, kuning pucat,
hematuria, berat jenis urine menurun
Integritas ego
Makanan/ cairan
Tanda: Penurunan berat badan, turgor kulit buruk dengan bekas cubitan, tampak kulit
dan membran mukosa kering.
Hygiene
Neurosensori
Nyeri/ kenyamanan
17
Pernapasan
Tanda: Distres pernapasan akut, bunyi bronkial, bunyi napas menurun, mengi
Keamanan
Seksualitas
2. Pemeriksaan Penunjang
d. LED: meningkat
e. Eritrosit: menurun
h. LDH: meningkat
18
3.2 Diagnosa Keperawatan
4. Nyeri yang berhubungan dengan aglutinasi sel sabit dalam pembuluh darah.
INTERVENSI RASIONAL
Indikator keadekuatan fungsi pernapasan
atau tingkat gangguan dan
kebutuhan/keefektifan terapi.
19
kelemahan. stasis sekret.
Bantu dalam mengubah posisi, batuk Jaringan otak sangat sensitif pada
dan napas dalam. penurunan oksigen dan merupakan
indikator dini terjadinya hipoksia.
Kaji tingkat kesadaran.
Penurunan kebutuhan metabolik tubuh
Kaji toleransi aktivitas; tempatkan menurunkan kebutuhan O2.
pasien pada tirah baring.
Melindungi dari kelelahan berlebihan.
Dorong pasien untuk memilih periode
istirahat dan aktivitas. Relaksasi menurunkan teganagn otot dan
ansietas.
Peragakan dan dorong penggunaan
teknik relaksasi. Masukan yang mencukupi perlu untuk
mobilisasi sekret.
Tingkatkan masukan cairan yang
adekuat. Melindungi dari potensial sumber infeksi
pernapasan.
Batasi pengunjung/ staf.
Memaksimalkan transpor O2 ke jaringan,
Kolaborasi khususnya pada adanya gangguan paru/
pneumonia.
Berikan suplemen O2 sesuai indikasi.
Dilakukan untuk memobilisasi sekret dan
Lakukan/ bantu fisioterapi dada. meningkatkan pengisian udara area paru.
Berikan pak SDM atau transfusi tukar Meningkatkan jumlah sel pembawa
sesuai indikasi. oksigen, melarutkan persentase
hemoglobin S (untuk mencegah sabit) dan
merusak sel sabit.
Tujuan Khusus: Menunjukkan perbaikan perfusi jaringan yang dibuktikan oleh tanda
vital yang stabil.
20
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Awasi tanda vital dengan cermat. Kaji Pengendapan dan sabit pembuluh perifer
nadi untuk frekuensi, irama, dan volume. dapat menimbulkan obliterasi lengkap/
terjadi penurunan perfusi jaringan pada
sekitar pembuluh darah.
21
Diagnosa keperawatan: Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan yang
berhubungan dengan peningkatan kebutuhan cairan, yang ditandai oleh: anoreksia,
dehidrasi (muntah, diare, demam).
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Awasi tanda vital dengan ketat selama Jantung dapat kelelahan dan cenderung
transfusi darah dan catat adanya dispnea, gagal karena kebutuhan pada status
ronki, mengi, batuk, dan sianosis. anemia.
Kolaborasi
22
Diagnosa keperawatan: Nyeri yang berhubungan dengan aglutinasi sel sabit dalam
pembuluh darah, yang ditandai oleh: nyeri lokal, menyebar, berdenyut, perih, sakit
kepala.
INTERVENSI RASIONAL
Kaji berat dan lokasi nyeri. Tempat nyeri Jaringan dan organ sangat peka terhadap
yang sering adalah sendi dan ekstremitas, trombosis mikrosirkulasi dengan akibat
dada, dan abdomen. kerusakan hipoksik; hipoksia
menyebabkan nyeri.
Tujuan Umum: Mempertahankan integritas kulit dengan kriteria: kulit segar, sirkulasi
darah lancar.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
23
Mencegah tekanan jaringan lama dimana
Sering ubah posisi, bahkan bila duduk di sirkulasi telah terganggu, menurunkan
kursi. resiko trauma jaringan/ iskemia.
Berikan kasur air atau tekanan udara. Menurunkan tekanan jaringan dan
membantu dalam memaksimalkan perfusi
seluler untuk mencegah cedera.
24
Tujuan Khusus: Menyatakan pemahaman proses penyakit, termasuk gejala krisis;
melakukan perilaku yang perlu/perubahan pola hidup untuk mencegah komplikasi.
INTERVENSI RASIONAL
Berikan informasi tentang penyakitnya. Memberikan dasar pengethuan sehingga
pasien dapat membuat pilihan yang tepat,
menurunkan ansietas dan dapat
meningkatkan kerjasama dalam program
terapi.
Kaji pengetahuan pasien tentang
penyakitnya. Menberi pengetahuan berdasarkan pola
kemampuan pasien untuk memilih
informasi.
Dorong mengkonsumsi sedikitnya 4-6
liter cairan perhari. Mencegah dehidrasi dan konsekuensi
hiperviskositas yang dapat membuat
sabit/ krisis.
Dorong latihan rentang gerak dan
aktivitas fisik teratur dengan Mencegah demineralisasi tulang dan
keseimbangan antara aktivitas dan dapat menurunkan resiko fraktur.
istirahat.
25
Hasil evaluasi yang diharapkan/ kriteria: evaluasi pada pasien dengan anemia sel sabit
adalah sebagai berikut:
h. Tanda-tanda vital stabil, turgor kulit normal, masukan dan keluaran seimbang.
26
BAB IV
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
27
sel sabit sering melakukan pemeriksaan medis dengan teratur, maka ini
memungkinkan banyak penderita anemia sel sabit untuk hidup secara normal.
28
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, IM. Anemia Hemolitik. Dalam: Kastrifah, Purba DL, editor. Hematologi
Klinik Ringkas edisi I. Jakarta: EGC; 2007; 5; 50-96.
Ralph C. Benson & Martin L. Pernol .2009. Pengobatan anemia sel sabit. EGC :
Jakarta http://books.google.co.id/pengobatan anemia sel sabit. dikases pada
tanggal 2 November 2014 pukul 21.00 WIB
29