Anda di halaman 1dari 7

PARALISIS PLIKA VOKALIS

I. PENDAHULUAN
Paralisis plika vokalis adalah suatu kelumpuhan pita suara atau ketidakmampuan untuk
menggerakkan otot-otot yang mengontrol pita suara, sehingga salah satu atau kedua pita suara tidak
dapat membuka atau menutup sebagaimana mestinya. Keadaan ini merupakan keadaan yang biasa
terjadi, terutama terjadi pada orang tua dengan gejala yang timbul bervariasi mulai dari gejala yang
sedang hingga keadaan yang berat.
Plika vokalis adalah dua buah pita otot elastis yang terletak didalam jaringan, tepat diatas
trakea. Plika vokalis akan menghasilkan suara apabila udara yang tertahan pada paru-paru dilepaskan
melewati pita suara yang menutup sehingga pita suara bergetar. Jika kita tidak sedang berbicara, pita
suara terpisah satu sama lain sehingga kita bisa bernapas. Paralisis plika vokalis dapat terjadi oleh
karena beberapa sebab ataupun karena penyakit. Gangguan ini dapat langsung mempengaruhi
pergerakan mekanis pada plika vokalis itu sendiri, ataupun mempengaruhi nervus laringeal rekuren
yaitu nervus yang mempersarafi otot plika vokalis.
Paralisis plika vokalis berarti bahwa plika vokalis terpaku di tempatnya pada posisi tertentu
atau terjadi gangguan apabila satu atau dua plika vokalis tidak terbuka atau tertutup karena impuls
saraf dari otak ke laring terputus sehingga tidak terjadi pergerakan otot. Paralisis plika vokalis dapat
terjadi pada semua umur, dan gejalanya dari yang ringan sampai mengancam jiwa. Paralisis plika
vokalis unilateral atau bilateral terjadi sekitar 10% dari semua kelainan kongenital pada laring.
Paralisis plika vokalis unilateral biasanya tidak terdiagnosa pada beberapa bayi, karena berfungsinya
kembali laring sehingga jarang dilaporkan. Oleh karena itu, setiap kasus harus didiagnosis hati-hati
untuk mengetahui letak lesi dan menentukan terapi. Secara umum terdapat lima posisi dari plika
vokalis sesuai derajat dari ostium laringis yaitu median, paramedian, intermedia, sedikit abduksi, dan
abduksi penuh. Jika paralisis terjadi bilateral, posisi-posisi ini ditandai dengan mengamati ukuran
celah glotis. Jika paralisis terjadi unilateral, maka pengamat pertama-tama harus mengamati posisi
garis tengah sebenarnya dan kemudian menghubungkannya dengan posisi plika vokalis.

II. INSIDEN
Pada berbagai penelitian, insiden dari paralisis N.laryngeus bervariasi antara 1-35%. Sekitar
20% terdapat pada pasien dengan kelumpuhan laring yang tanpa penyebab yang jelas. Insiden ini
paling tinggi pada pria dan lebih sering mengenai saraf sebelah kiri dari pada saraf sebelah kanan.
Penyebab tersering dari paralisis plika vokalis tedapat pada orang dewasa yang biasanya disebabkan
oleh adanya trauma bedah.
III. FISIOLOGI LARING
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta fonasi.
1. Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing masuk kedalam
trakea, dengan jalan nafas menutup aditus laring dan rima glotis secara bersamaan. Terjadi penutupan
aditus laring ialah karena pengangkatan laring keatas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring.
Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak kedepan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid.
selanjutnya m.ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter. Penutupan rima glotis terjadi karena adduksi
plika vokalis. Kartilago aritenoiod kiri dan kanan mendekat karena adduksi otot-otot intrinsik.
2. Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk kedalam trakea dapat dibatukkan
keluar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang berasal dari paru dapat dikeluarkan.
3. Fungsi respirasi dan laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila m.krikoaritenoid
posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid bergerak kelateral,
sehingga rima glotis terbuka (abduksi).
4. Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeo-bronkial akan dapat
mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan
demikian laring berfungsi juga sebagai alat pengatur sirkulasi darah.
5. Fungsi laring dalam membantu proses menelan adalah dengan 3 mekanisme, yaitu gerakan laring
bagian bawah ke atas, menutup aditus laringeus dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring
dan tidak mungkin masuk kedalam laring.
6. Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi, seperti berteriak, mengeluh,
menangis dan lain-lain.
7. Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara serta menentukan tinggi
rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam
adduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid kebawah dan kedepan, menjauhi
kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik
kartilago aritenoiod kebelakang. Plika vokalis ini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi.
Sebaliknya kontraksi m. krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid kedepan, sehingga plika
vokalis akan mengendur. Kontraksi serta mengendornya plika vokalis akan menentukan tinggi
rendahnya nada.

V. KLASIFIKASI
1. Paralisis nervus laringeus rekuren
Semua otot-otot intrinsik laring mengalami paralisis, tergantung pada sisi yang terkena
kecuali otot krikotiroid. Otot krikotiroid mendapat suplai dari serat ekstrinsik dari nervus laringeus
superior sehingga terjadi paralisis plika vokalis dengan ketegangan plika vokalis yang masih baik.
Posisi plika vokalis adalah paramedian. Pada paralisis adduktor inkomplit, otot abduktor tunggal (otot
krikoaritenoid posterior) berfungsi predominan. Terdapat bentuk paralisis unilateral atau bilateral.
a. Paralisis unilateral
Paralisis plika vokalis unilateral terjadi karena adanya disfungsi inervasi nervus laringeus
rekuren. Terjadi karena ketidakmampuan salah satu plika vokalis untuk adduksi ataupun
abduksi. Hal ini umumnya menyebabkan suara serak neurogenik.
Paralisis plika vokalis unilateral lebih sering pada bagian kiri daripada bagian kanan. Hal
ini disebabkan karena perjalanan nervus laringeus rekuren pada sisi kiri lebih panjang,
yaitu sampai pada aorta sedangkan yang kanan hanya sampai pada arteri subklavia.
Kebanyakan anak dengan paralisis plika vokalis unilateral mempunyai jalan nafas yang
adekuat. Pada awalnya mungkin menunjukkan aspirasi minimal atau suara yang lemah,
tetapi kebanyakan mengalami kompensasi dan jarang yang memerlukan tindakan
intervensi jalan nafas. Paralisis plika vokalis pada anak memiliki ciri tambahan, karena
ukuran glotis yang kecil, maka paralisis unilateral dapat membahayakan jalan nafas
sehingga secara klinis menimbulkan stridor. Pada anak-anak perbedaan antara kongenital
dan dapatan paralisis plika vokalis harus diperhatikan karena penanganan pada kedua
kasus ini berbeda.
Laringomalasia adalah penyebab tersering anomali kongenital pada laring, dan hal ini
harus dibedakan dengan paralisis plika vokalis dimana juga menimbulkan stridor.
Paralisis plika vokalis adalah penyebab kedua stridor pada anak. Stridor adalah gejala
utama yang muncul pada paralisis plika vokalis pada anak. Onset paralisis pada anak
mulai dari lahir sampai umur 6-8 minggu. Paralisis unilateral lebih banyak daripada
paralisis bilateral.
Banyak pasien kembali mendapat fungsi plika vokalis yang normal baik karena saraf
yang memulih dan dapat menggerakkan plika vokalis ataupun karena kompensasi plika
vokalis satunya, yang menyeberangi garis tengah untuk menempel dengan polika vokalis
yang lumpuh. Hal ini dimungkinkan apabila posisi plika vokalis yang lumpuh berada
pada paramedian. Sebelum restorasi dilakukan, maka hal ini dibiarkan selama 6 bulan
sampai 12 bulan agar terjadi kompensasi. Penyembuhan kembali dapat terjadi pada
sekitar 20% pasien dari semua kasus. Secara kilinis, paralisis unilateral dapat
digolongakan :
a.1. Paralisis unilateral midline
Paralisis ini juga paralisis nervus laringeus rekuren merupakan paralisis dari otot
abduktor pada satu sisi. Pada paralisis ini gejala yang timbul adalah disfonia, tidak
ada gangguan respirasi.
a.2. Paralisis unilateral inkomplit
Terjadi jika semua otot laring sepihak lumpuh kecuali otot aritenoideus, karena otot
ini innervasinya bilateral
b. Paralisis bilateral
Paralisis plika vokalis bilateral menampilkan masalah yang berbeda dengan unilateral.
Karena kedua plika vokalis biasanya dalam posisi paramedian, maka suara tidak terlalu
terpengaruh, akan tetapi rima glotis tidak cukup lebar untuk kegiatan yang menggerakkan
tenaga. Pasien bahkan mengalami sesak nafas pada waktu istirahat. Paralisis plika vokalis
bilateral berhubungan dengan kegawatdaruratan jalan nafas. Penyakit-penyakit seperti
artritis rheumatoid sehingga plika vokalis terfiksir karena adanya artritis pada sendi
cricoaritenoid harus dibedakan dengan paralisis plika vokalis bilateral.

b.1. Paralisis bilateral midline


Paralisis dari otot abduktor pada dua sisi. Gejala yang timbul adalah sesak dengan
kemungkinan untuk asfiksia oleh karena penyempitan dari glotis. Pernafasan stridor
cenderung terjadi selama tidur atau pada saat melakukan aktivitas.
b.2. Paralisis bilateral inkomplit
Semua otot laring lumpuh kecuali otot aritenoideus. Kedudukan plika vokalis di
tengah-tengah antara kedudukan respirasi dalam dan fonasi.
b.3. Paralisis komplit
Semua otot intrinsik mengalami kelumpuhan sehingga suara sangat serak dan
gangguan respirasi
b.4. Paralisis adduktor
Terjadi karena paralisis otot-otot penutup glotis. Otot-otot penutup glotis dibagi atas
pars intermembranacea dan pars intercartilagineus. Pada paralisis adduktor komplit
Paralisis adduktor komplit, jika semua otot penutup glotis mengalami kelumpuhan.
Apabila pars intercartilagineus tidak lumpuh, maka glotis tetap pars
intermembranecea tetap terbuka. Apabila hanya pars cartilagineus yang lumpuh,
maka hanya pars kartilagineus yang terbuka.

2. Paralisis nervus laringeus superior


a. Paralisis unilateral
Cedera pada nervus laringeus superior jarang, biasanya adalah paralisis kombinasi. Paralisis dari
nervus laringeus superior menyebabkan paralisis otot krikotiroid dan anestesi ipsilateral laring diatas
plika vokalis. Paralisis dari otot krikotiroid sehingga ketegangan plika vokalis terganggu. Gejala
temasuk aspirasi dari makanan dan minuman, kehilangan volume suara, dan anestesi laring pada satu
sisi.
b. Paralisis bilateral
Hal ini adalah kondisi yang jarang terjadi. Kedua otot krikotiroid mengalami paralisis dengan anestesi
pada laring bagian atas. Gejala klinik berupa anestesi yang menyebabkan inhalasi makanan dan
sekresi faring yang merangsang batuk dan tersedak. Suara menjadi lemah.

3. Paralisis Kombinasi
a. Paralisis unilateral
Hal ini menyebabkan paralisis pada semua otot laring satu sisi kecuali otot interaritenoid yang juga
menerima persarafan pada sisi yang berlawanan
b. Paralisis bilateral
Kedua saraf mengalami paralisis pada kedua sisi. Hal ini adalah kondisi yang jarang terjadi. Juga
terjadi total anestesi pada laring.

VI. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis pada sesorang dengan suspek paralisis plika vokalis yaitu berdasarkan :
a. Anamnesis
Sangat penting diperhatikan untuk menanyakan riwayat pasien dengan teliti sehingga dapat
diketahui diagnosis paralisis plika vokalis dan penyebabnya. Pasien-pasien dengan perubahan
suara dapat dicurigai adanya kanker pada laring, walaupun banyak lesi yang dapat
menimbulkan suara serak. Riwayat tentang pemakaian alkohol dan riwayat penyakit
sebeumnya perlu ditanyakan.
b. Pemeriksaan Fisik :
- Pemeriksaan Laringoskop
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menetukan pita suara sisi mana yang lumpuh serta gerakan
adduksi dan abduksinya.
- Endoskopi
c. Pemeriksaan Penunjang :
- Laryngeal electromyography (LEMG)
LEMG bertujuan untuk mengukur arus listrik pada otot laring. Sehingga dapat diketahui
apabila ada masalah hantaran saraf. LEMG sering untuk evaluasi kompleks otot
tiroaritenoideus, dimana merupakan refleksi innervasi m.laringeus rekuren, dan m.krikotiroid,
dimana merupakan indikasi fungsi nervus laringeus superior. Tes dilakukan dengan insersi
jarum kecil pada otot plika vokalis.4
- Foto Thorax, Tomography komputer, atau MRI dilakukan tergantung pada dugaan
penyebabnya.

VII. PENANGANAN
Pengobatan pada kelumpuhan pita suara adalah Terapi suara (voice theraphy) dan Bedah pita suara
(phonosurgery). Pada umumnya terapi suara dilakukan terlebih dahulu. Setelah terapi suara, tindakan
bedah pita suara dapat dilakukan tergantung pada beratnya gejala, kebutuhan suara pada pasien, posisi
kelumpuhan pita suara dan penyebab kelumpuhan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. Kelumpuhan Pita Suara. (Cited on 2008 sept. 21th). Available from
www.medicastore.com
2. Anonymous.Vocal Cord Paralysis. (Cited on 2008 sept. 21th). Available from
www.medicastore.com
3. Adam, George L et al. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam. Penerbit Buku
Keddokteran EGC. Jakarta. 1994. p; 369-94
4. Hermany, Bambang dkk. Disfoni. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorakan,
Kepala dan Leher, Edisi Keenam. FKUI. Jakarta. 2009. P; 231-42
5. Luhulima JW. Diktat Anatomi Colli Facialis. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin Makassar. 2006. p; 36-40
6. Tucker, Harvey M. The Larynx 2nd ed. New York. 1993. P; 267-78
7. Ballenger, JJ. Penyakit Teling, Hidung, Tenggorakan, Kepala dan Leher, Jilid 1. Alih Bahasa Staf
Ahli Bagian THT, RSCM – FKUI. Binarupa aksara
8. Dhingra PL. Anatomy and physiology of larynx: laryngeal paralysis. In: Dhingra PL, ed. Disease
of ear, nose and throat. 3rd ed. New Delhi: A division of Reed Elsevier India Private Limited (ed);
2004. p. 335-41; 358-64.
9. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia. Sobotta. Jilid 1. Edisi 21. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2003. p; 127-34

Anda mungkin juga menyukai