Anda di halaman 1dari 4

zAyah Ternyata Engkau Penyebab Utama!

Oleh: Ust. Budi Ashari

Judul ini didapat dari kalimat Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam kitabnya Tuhfatul Maudud bi Ahkamil
Maulud.
“Berapa banyak orang yang membuat celaka anak-anaknya dan buah hatinya di dunia dan di akhirat
dikarenakan dia mengabaikannya, meninggalkan ta’dib, membantu memfasilitasi syahwat anak-
anaknya. Tapi dia menduga sedang memuliakann anaknya, padahal sedang menjatuhkannya,
mendzoliminya. Maka hilanglah dari dirinya manfaatnya yang bisa diambil dari anaknya dan
menghilangkan jatahnya yang bisa diambil dari anaknya. Kalau anda amati, kerusakan pada anak-anak,
maka anda akan melihat bahwa penyebab utamanya datang dari para ayah.”

Sebabnya karena tidak cukup ilmunya. Misalkan kasi air minum yang kita tidak tahu ternyata isinya
racun. Contohnya misalkan main game, memberikan PS, dll. Mending main bola dan permainan2 yang
mengandung unsur fisik. Anak2, pada hakikatnya adalah kreatif. Ketika tidak ada mainan, tangga saja
jadi perosotan.

Al Qur’an memotet diskusi antara ayah dan anak lebih banyak daripada Ibu dan anak. Hanya ada dua
dialog ibu dan anak dimana salah satunya pun diperdebatkan oleh ulama’ apakah itu perkataan
malaikat.

Nasihat Rasulullah kepada Abdullah bin Abbas


“Suatu hari saya diboncengi nabi SAW, “Nak, jagalah Allah maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah,
maka Allah akan menjumpai di hadapanmu. Kalau minta, mintalah sama Allah. Kalau minta, minta
tolonglah kepada Allah. Ketahuilah nak, kalua seluruh ummat yang ada ini berkumpul dan sepakat
untuk membantu maka mereka tidak akan bisa membantumu kecuali itu adalah takdirmu. Sebaliknya,
tapi kalau selluruh manusia sepakat untuk mencelakaimu, maka mereka tidak akan bisa mencelakaimu
kecuali telah tertulis takdir celaka itu oleh Allah atasmu.”
“Kenalilah Allah saat lapang, maka Allah akan mengenalimu di saat sempit”

1. Mengabaikan anak: perbanyak komunikasi dengan anak


2. Meninggalkan ta’dib: menjadikan anak beradab, termasuk hukuman dalam Islam. Ada fiqh
hukuman dalam Islam. Pendidik itu seperti dokter, dia tahu obat apa yang harus diberikan
dengan dosis yang tepat
3. Memfasilitasi syahfat: memberikan fasilitas tertentu sehingga terbantu syahwatnya. Maka
sebaiknya fasilitas yang diberikan itu terbatas. Syahwat itu harus seperti kuda yang dikasih tali
kekang, dan kuda itu harus paham kapan ditarik, kapan dibelokkan, kapan dlepaskan sehingga
melaju kencang.

Meskipun ayah jarang ketemu dengan anak, sementara yang banyak ibu, maka tetap menurut Ibnul
Qoyyim, yang salah adalah ayah.

QS An Nisa: 34
“Laki-laki adalah qowwam bagi perempuan, karena Allah memberikan kelebihan sebagian di atas
sebagian yang lain dan dikarenakan laki-laki menafkahkan sebagian hartanya…”
QS An Nisa: 35
“Kalau kalian takut retak rumah tangga, maka utuslah hakim dari pihak laki-laki dan pihak
perempuan.”
Ini adalah pondasi yang paling mendasar dalam keluarga. Ayat 34 membahas tentang konsep,
sementara ayat 35 membahas keretakan rumah tangga. Kedua ayat ini seakan-akan apabila ayat 34
tidak dipenuhi, maka akan terjadi keretakan dalam rumah tangga.

Ar rijaal, mufrodnya rojul. Dalam rijaal atau rojul mengandung dua makna sekaligus, laik-laki dan
kejantanan.

QS An Nuur: 36-37
Ayat 36 tentang masjid, ayat 37 tentang laki-laki. Allah ingin menyampaikan kalau masjid itu
tempatnya laki-laki, kejantanan. Kalau laki-laki belum ke masjid, belum jantan. Bahkan laik-laki itu
bertasbih pagi dan sore hari di masjid. Lalu dalam ayat 37: “Laki-laki sejati itu adalah ketika dia tidak
dilalikan oleh perdagangan dari dzikir pada Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, dan takut pada
hari akhir.” Umar bin Khattab menulis surat, “ajari wanita-wanita kalian surat An Nuur.” Kalau
perintahnya ke laki-laki, jadi harus ngerti dong!

Qowwam: laki-laki harus selesai di urusan ini sebelum ilmu yang lain. Qowwamah: pemimpin,
pendidik, pembimbing, hakim yang meluruskan, yang berhak mengevaluasi, dll. Tugas laki-laki, cari di
buku tafsir!!! Salah satu fungsinya juga adalah murobbi, pendidik. Jadi ilmunya harus lebih banyak
daripada yang dididik. Ini Allah langsung yang menunjuk. Jangan dimain-mainkan. Jangan kasih ke
orang lain!

Laki-laki memiliki kelebihan dari perempuan. Kekaguman muncul dari kelebihan. Kalau anak punya
rasa kagum ke ayah maka hukuman ke anak tidak akan membuat mereka benci meskipun dipukul,
dijewer, dsb (seperti Rasulullah kepada sahabat, akrena sahabat kagum ke Rasulullah). Maka, jadilah
ayah yang mengagumkan! Termasuk dalam segi ibadah, harus mengagumkan bagi anak-anak. Kalau
mendidik anak sudah tidak mempan bisa jadi akar masalah ada di ayah. Misallkan tidak sholat subuh
berjamaah. Masalah anak bisa diselesaikan dengan ini meskipun tidak berhubungan, perilaku anak
misalnya. Karena dalam Islam ”generasi ini seperti pohon. Pohon itu, jika ada masalah pada buah yang
tidak sesuai dengan harapan maka masalahnya bukan di buahnya, bisa di batang, akar, atau yang lain,
dan petani tahu itu.”

Laki-laki menjadi qowwam juga karena menafkahkan sebagian hartanya. Dalam syariat dinyatakan
sebagian hartanya dan ini adalah syarat laki-laki menjadi qowwam, maka harus ditaati. Ketika laki-laki
memiliki rezeki yang lebih dari kebutuhan keluarga maka komunikasi antara suami-istri akan berjalan
dengan baik, jangan semua penghasilan suami ditaruh di ATM dan dikasihkan istri sehingga tidak ada
komunikasi. Dengan menjadikan suami sebagai qowwamah (mematuhi syariat sebagian harta ini) juga
akan mempermudah dalam mendidik anak. Anak akan kagum kepada ayah, melihat sosok ayah
sebagai seorang pemimpin yang tegas dan bertanggung jawab.

Potret laki-laki dalam Al Qur’an: ketika baca Qur’an dan melewati bagian kisah tentang laki-laki,
berhenti dan catatlah! Misalkan Nabi Nuh sebagai ayah dan sebagai suami, kemudian Nabi Ibrahim,
millata abiikum (ajaran ayahmu, Ibrahim). Kisah nabi Ibrahim sebagai ayah, ketika Nabi Ismail lahir di
lembah Mekkah, posisi Nabi Ibrahim di Palestina. Tapi Ismail menjadi anak yang luar biasa. Caranya
adalah do’a, do’a nabi Ibrahim ini panjang, banyak, dan cerdas serta detil sekali. Contohnya surah
Ibrahim ayat 37.
“Ya Allah Rabb kami, aku meletakkan keturunanku di lembah yang tidak ada pohon. Tapi ini di samping
rumahMu yang mulia, maka aku minta ya Allah. Ya Allah tolong kau jaga keturunanku ini agar mereka
pandai menjaga sholat mereka. Jadikan hati sebagian masyrakat itu cinta kepada anak saya. Dan
berikan pada mereka rezeki berupa buah-buahan.”

Allah menyukai hambaNya yang mengeluh. Banyaklah mengeluh kepada Allah dan mintalah kepada
Allah. Pertama minta ibadah, kedua mu’amalah. Nabi Ibrahim juga minta kepemimpinan, Al Baqarah:
124.
“Ibrahim, aku jadikan engkau pemimpin bagi seluruh manusia. Kata Ibrahim, “Ya Allah, jangan aku
saja. Tapi anak keturunanku juga.”

Padahal yang berbuat baik Ibrahim saja. Tapi Ibrahim tahu, kesholehan Ayah adalah penjagaan bagi
anak-anaknya.

Beliau memanfaatkan pertemuan dengan anak-anaknya karena jarang ketemu. Programnya yang
bermutu juga, yakni program-program ketaatan. Jarang-jarang ketemu, tapi ketika ketemu
membangun ka’bah. Manfaatkan pertemuan itu juga untuk ngobrol. Obrolannya nabi Ibrahim dengan
Ismail tentang meminta pendapat Ismail tentang perintah Allah untuk menyembelihnya. Nah ini,
seorang nabi masih minta pendapat anaknya untuk melaksanakan perintah Allah yang hukumnya jelas
wajib, apalagi beliau Nabi. Hal-hal yang sudah jelas saja diobrolkan dengan anak. Apalagi yang ndak
jelas, yang sepelem, obrolkan juga. Itu saking pentingnya ngobrol dengan anak. Sempatkan ketika
ketemu itu untuk mengevaluasi kesholehan anak. Seperti percakapan Ibrahim dan Ismail itu tadi.

Tentang kesholehan ayah sebagai penjagaan anak-anaknya ini diilustrasikan dalam surah Al Kahfi: 82.
Allah menyampaikan tentang dua anak yatim yang dulu ayahnya sholeh ketika masih hidup, meskipun
di Ibnu Katsir dijelaskan hingga tujuh turunan di atasnya. Allah mengirimkan dua orang nabi (Musa
dan Khidir) untuk membangun rumah anak-anak yatim itu, tanpa dibayar pula. Ketika ditanya Musa
kenapa anak yatim ini, karena Bapaknya dulu orang sholeh.

Umar bin Abdul Aziz, ketika sebelum menjadi khalifah, uangnya milyaran. Ketika menjadi khalifah,
semuanya itu ditinggalkan. Anaknya 17, ketika beliau akan meninggal tinggal 11. Warisannya itu, untuk
yang laki-laki jika dirupiahkan sekarang, dapatnya cuman 1jt. Allah berfirman, “sesungguhnya waliku
adalah Allah yang menurunkan alkitab dan Dialah yang akan mengurusi orang-orang sholeh.’ Jika
kalian orang-orang sholeh nak, maka Allah yang akan mengurusi kalian.” Lalu beliau meninggal.

Salafus sholeh dulu mengatakan begini, bahwa kemaksiatan kita bisa kita lihat dampaknya di rumah
kita, di pasangan kita, di anak kita, di harta kita, bahkan di pembantu dan kendaran kita. Nyusahin aja.
Yang harus dikoreksi adalah dosa kita. Dosa pemimpin itu merembet ke rakyatnya.

Dalam Surah Luqman, dia mampu mengubah anaknya. Tetapi, sebelum itu, Luqman telah dikarunia
Allah berupa hikmah dan syukur. Ayah harus pandai memberi nasihat. Ibnul Jauzi’ memberikan nasihat
yang ditulis dengan surat. Ada juga yang memberikan nasihat dengan sya’ir. Ayah menulis nasihat
untuk anak.

Dr. Adnan Baharist, salah satu ahli Pendidikan Islam zaman ini, anggota Robithoh Al Islami. Dalam
bukunya dibahas (1) Ada tanggung jawab ayah dalam ta’lim dan ta’dib. (2) Tanggung jawab ayah dalam
Pendidikan akhlak. (3) Pendidikan fikroh (akal). (4) Pendidikan fisik. (5) Berbagai rintangan yang ada
dalam mendidik anak hari ini.
Misalkan dalam ta’lim, Umar bin Abdul Aziz tadi, meskipun menjadi khalifah dengan luas kekuasaan
yang paling luas di zaman kekhalifahan dan rakyatnya sangat makmur sampai-sampai kesulitan
mencari penerima zakat, beliau masih menyempatkan mendidik anak. Anak-anaknya yang 17 tadi,
semuanya luar biasa. Salah satu anaknya Abdul Malik, kepada anaknya beliau berkata, “Seandainya
kamu bukan anakku, aku akan mengatakan kalau kamu lebih faqih daripada ulama’-ulama’ lain.” Kalau
tidak sempat, kebiasaan Umar bin Abdul Aziz itu mengumpulkan istri dan anak-anaknya setiap minggu
untuk membaca Al Qur’an bergantian dari yang paling tua, terus membaca artinya. Ta’dib sudah
dibahas tadi.

Pendidikan akhlak > keteladanan. Akhlak itu diajarkan dengan berlatih. Misalkan akhlak dermawan,
harus dilatih dan diteladankan. Misalkan, “Nak, Rasul itu kalua diminta nggak pernah bilang ndak
punya. Kalau ada dikasih kalua ndak ada dicarikan. Yuk kita coba yuk nak, sambal jalan-jalan.” Lalu pas
kita nonton TV ada berita ummat Muslim di negeri lain sedang didzolimi, “Nak, ayuk kita dinasi. Ayah
sekian, kamu punya tabungan berapa.”

Wawasan.

Fisik> keindahan, kesehatan, penampilan. Misalkan ada yang berubah di penampilan anak, dia tiba-
tiba pakai gelang, tanyakan ke anak. Ini gelang apa? Lalu ajarkan berenang, memanah, berkuda.
Ajarkan konsep, jangan trend. Misalkan nih, berenang di laut, menyberangi selat sunda.

Yang mengganggu Pendidikan anak: kelainan seksual, kejahatan seksual, TV, musik.

Hukuman kepada anak, harus dekat dan mendekati anak. Nabi itu, dengan ekspresi yang berubah saja
sudah menjadi hukuman bagi para sahabat. Agar anak bisa mengetahui ini maka haru sekat. Tahap
hukuman yang paling tinggi adalah memukul, baik dengan tangan ataupun alat. Sesuaikan dosisnya.
Kemudian, kalua dia mau dihukum, jelaskan dulu alasannya.

Tentang pukulan, ada syaratnya. Tidak diberikan ke anak yang dibawah 10 tahun. Memukul tidak
boleh mencederai. Rasulullah menganjurkan untuk memerintahkan sholat ke anak mulai 7 tahun. Tapi
sebaiknya, sebelum umur 7 tahun sudah dikondisikan. Di Al Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk
memerintahkan keluarga kita untuk sholat dengan kesabaran yang berlipat-lipat, washthobir bukan
hanya washbir. Nah, sebelum tujuh tahun ini anak harus mulai diajarkan thoharoh. Tapi bukan dengan
diperintahkan, tp dengan program-program yang menarik bagi anak-anak. Antara 7-10 tahun, kalau
anak masih ogah-ogahan, ndak papa. Ndak perlu dipaksa dulu. Agar mereka tidak trauma terhadap
Syariah. Kapan diajak ke masjid, tidak ada dalil yang pasti, tapi menurut ijtihad ulama’, Imam Malik,
mulai 5 tahun. Karena menurut Imam Malik, anak umur segitu sudah memiliki adab di masjid. Karena
Hasan-Hesein jga ke masjid, mereka pipis di masjid, mereka di antara shaff juga jalan2.

Mendidik anak di lingkungan non-Muslim. Coba baca siroh nabi, bagaimana cara nabi mendidik
sahabatnya. Mekkah itu ketika awal dakwah mayoritas non-Muslim. Beliau sholat di kakbah ketika
360o di sekeliling kakbah itu banyak berhala. Tapi beliau juga mengadakan taklim di rumah Arqam bin
Abil Arqam, secara sembunyi-sembunyi karena waktu itu masih berbahaya. Itu artinya kita keluar
ketemu masyarakat yang tidak Islami, tp harus ada komunitas pertemanan yang Islami. Sampai
mereka bisa kuat, harus ditarik ulur. Kalau mereka dilepas di lingkungan yang kurang baik maka, cek
hasilnya bagaimana. Kalau buruk, Tarik lagi, kuatkan lagi. Lepas lagi. Hingga iman mereka kuat. Kalau
kita merasa imannya belum kuat maka cegahlah. Seperti kisah Rasul yang dulu akan mendatangi pesta
tapi beliau ketiduran di depan pintu. Di sini Allah memalingkan Rasulnya, karena mengkin belum kuat.

Anda mungkin juga menyukai