Laporan Kasus Keratitis Herpetika
Laporan Kasus Keratitis Herpetika
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. BA
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Bugis/Indonesia
RM : 591303
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Alamat : Jl. Kajenjeng Dalam 3 No. 29
Tgl. Pemeriksaan : 29 Januari 2013
Rumah Sakit : Poliklinik Mata Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo
Dokter Pemeriksa : dr. A
ANAMNESIS
1
PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
FOTO
Oculus Dextra
1. Inspeksi
PEMERIKSAAN OD OS
2
Mekanisme Muskular Kesegala arah Kesegala arah
2. Palpasi
PEMERIKSAAN OD OS
Tensi okuler Tn Tn
3. Tonometri
NCT : Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Visus
1/2
- VOD : /60
PH
3
Inj. Perikornea (+).
2 Kornea Keruh Jernih
3 Bilik mata depan Normal Normal
4 Iris Sde Cokelat, kripte (+)
5 Pupil Sde Bulat,sentral,refleks
cahaya (+)
6 Lensa Sde Jernih
4
RESUME
Seorang laki-laki berumur 57 tahun datang ke poliklinik mata Rumah
sakit Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan penglihatan kabur pada mata kanan.
Dialami sejak 5 bulan yang lalu, penglihatan mata seperti berawan, Rasa
mengganjal (+), blefarospasme (+), mata merah (+), nyeri (+), lakrimasi (+),
riwayat mata berpasir (+), sekret berlebihan (-), fotofobia (+). Riwayat keruh pada
kornea sekitar 6 bulan yang lalu, Riwayat HT(-). Riwayat DM tidak diketahui.
Riwayat menggunakan kacamata (-). Riwayat berobat sebelumnya di RSP 1 bulan
yang lalu dengan diagnosis susp. Ulkus kornea. PH
DIAGNOSIS
OD keratitis herpetika
DD/ Ulkus kornea
konjungtivitis
TERAPI
Terapi topikal
C. Hervis 3x1 tts OD
C. Hyaloph 6x1 tts OD
Terapi oral
Formuno Kap 1x1
PROGNOSIS
1.Quo ad vitam : bonam
2.Quo ad sanationem : bonam
5
3.Quo ad visam : bonam
4.Quo ad kosmeticum : bonam
DISKUSI
6
Iridosiklitis merupakan peradangan iris dan badan siliar yang dapat
berjalan akut ataupun kronis. Pada iridosiklitis mata merah, visus juga berkurang,
iris keruh, warna kabur, kecoklatan, serta pupil miosis.
Pasien ini didiagnosa dengan keratitis herpetika berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisis. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa penglihatan
kabur pada mata kanan, penglihatan seperti berawan, gejala penglihatan kabur
tersebut disebabkan oleh karena kornea merupakan salah satu media refrakta,
sehingga jika terdapat kekeruhan pada kornea maka akan memberikan gejala
berupa penurunan visus disebabkan oleh karena adanya defek pada kornea
sehingga menghalangi refleksi cahaya yang masuk ke media refrakta. Pasien juga
mengeluhkan kadang-kadang mata terasa nyeri, berair dan sering silau jika
melihat cahaya, Gejala nyeri terjadi oleh karena kornea memiliki banyak serabut
saraf yang tidak bermielin sehingga setiap lesi pada kornea baik luar maupun
dalam akan memberikan rasa sakit dan rasa sakit ini diperhebat oleh adanya
gesekan palpebra pada kornea. Dari pemeriksaan fisik, pada inspeksi didapatkan
berupa kemerahan pada konjungtiva dan lakrimasi berlebihan. Gejala
belfarospasme, fotofobia dan lakrimasi tersebut dikenal dengan nama trias
keratitis.
Pemeriksaan visus:
VOD : 1/2
/60
PH
7
akibat pengaruh infeksi jaringan konjungtiva. Injeksi perikornea atau injeksi siliar
dapat terjadi akibat radang pada kornea, pada kasusnya ini akibat adanya
keratitsis.
Pemeriksaan tes flouresence : OD positif (+) Pemeriksaan fluoresense
menggunakan fluoresein yaitu bahan yang berwana orange yang bila disinari
gelombang biru akan memberikan gelombang hijau. Bahan larutan ini dipakai
untuk melihat terdapatnya defek epitel kornea, fistel kornea atau yang disuntikkan
untuk dibuat foto pembuluh darah retina.
Hasil pemeriksaan diatas mendukung untuk didiagnosis sebagai suatu
keratitis. Pada penatalaksanaan diberikan farmakoterapi berupa obat topikal
maupun oral. Obat topikal berupa obat tetes mata Hervis yang berisi antivirus
Becom C adalah vitamin untuk meningkatkan sistem imunitas pasien. Anjuran
pemeriksaan kultur dan sensitivitas serta KOH untuk membantu menegakkan
diagnosis mikroorganisme penyebab dari keratitis serta mengetahui resistensi
obat–obat yang diberikan.
8
KERATITIS
I. PENDAHULUAN
Kornea adalah salah satu media refrakta sehingga manusia dapat melihat.
Seorang ahli mata dapat melihat struktur dalam mata karena kornea bersifat jernih
dan memiliki daya bias sebesar 43D. Kornea memiliki mekanisme protektif
terhadap lingkungan maupun paparan patogen (virus, amuba, bakteri dan jamur).
Ketika patogen berhasil masuk dan membuat defek epitelial di kornea, maka
jaringan braditropik kornea akan merespon patogen spesifik dengan peradangan
pada kornea (keratitis).1
Keratitis akan memberikan gejala seperti rasa nyeri, fotofobia, dan adanya
secret yang purulen yang biasa terdapat pada keratitis herpetika. Penyebab
keratitis 90% disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri seperti Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Stapylococcus aeroginosa, dan Moarxella. Penyebab
lain bisa karena virus, jamur, dan mikro organisme lainnya.1
Herpes simpleks (HSV) tipe I merupakan penyebab yang sering dan
penting pada penyakit mata. Herpes simpleks tipe 2 yang menyebabkan penyakit
kelamin kadang dapat menyebabkan keratitis. 2
9
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA
10
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan
selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan
lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan, dari anterior ke
posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang terdiri atas: 4,5
1. Epitel
- Tebalnya 50 um, terdiri atas lim lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng. Sel basal berkaitan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
polygonal di depannya melalui desmosom dan macula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
- Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya.
Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ectoderm permukaan
2. Membrana Bowman
- Terletak di bawah membrane basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi
3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak
11
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membrana Descemet
- Membrane aselular;merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan
sel endotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, tebal 40 um.
5. Endotel
- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, tebal 20-40 um.
Endotel melekat pada membrane descemett melalui hemidesmosom dan
zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membrana Bowman melepaskan selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf.Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
mengakibatkan system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel
dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.1
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, di mana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitasnya,
dan deturgensinya.1
12
II.2 fisiologi kornea
13
bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter
(blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan
kepada kemungkinan adanya cedera kornea.9
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan yang bradittrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti
penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)
diperoleh dari 3 sumber, yaitu :9
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap
lembut dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan
kasar dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat
pada film air mata juga melindungi mata dari infeksi.4
III. ETIOLOGI
14
diindikasikan untuk ulkus kornea dengan ukuran yang besar, berlokasi di sentral
kornea, mencapai daerah stroma.8
Penyebab keratitis 90% disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri seperti
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Stapylococcus aeroginosa,
dan Moarxella. 9
IV. PATOFISIOLOGI
15
memberikan gambaran infiltrasi kornea. Iritasi dari bilik mata depan dengan
hipopion (umumnya berupa pus yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik
mata depan) dan selanjutnya agen pathogen akan menginvasi seluruh kornea.
Hasilnya stroma akan mengalamii atropi dan melekat pada membarana descement
yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele yang dimana hanya
membarana descement yang intak. Ketika penyakit semakin progresif, perforasi
dari membrane descement terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut
ulkus kornea perforate dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya.
Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresef dan bola mata akan
menjadi lunak.7
V. GEJALA KLINIS
Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada pasien
yang terkait dengan perjalan penyakit keratitis herpetika. Pasien dapat
mengeluhkan adanya pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia, penurunan visus,
sensasi benda asing, iritasi okuler dan blefarosspasma dan kadang juga di temukan
hypopion pada kamera anterior.4
Oleh karena kornea bersifat sebagai jendela mata dan merefraksikan
cahaya, lesi kornea sering kali mengakibatkan penglihatan menjadi kabur,
terutama ketika lesinya berada dibagian central.7
Pada keratitis pungtata superfisial didapatkan lesi kornea berupa lesi
epithelia multiple sebanyak 1 – 50 lesi (rata – rata sekitar 20 lesi didapatkan). Lesi
epithelia yang didapatkan pada keratitis pungtata superfisial berupa kumpulan
bintik – bintik kelabu yang berbentuk oval atau bulat dan cenderung berakumulasi
di daerah pupil. Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak apabila di inspeksi
secara langsung, tetapi dapat dilihat dengan slitlamp ataupun loup setelah diberi
flouresent.7
Sensitifitas kornea umumnya normal atau hanya sedikit berkurang, tapi
tidak pernah menghilang sama sekali seperti pada keratitis herpes simpleks.
16
Walaupun umumnya respons konjungtiva tidak tampak pada pasien akan tetapi
reaksi minimal seperti injeksi konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien.6
VI. DIAGNOSIS
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien
yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau
(fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasme). Adapun radang kornea ini
biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis
superfisial dan interstisial atau propunda. Keratitis superfisial termasuk lesi
inflamasi dari epitel kornea dan membrane bowman superfisial.6
Sangat penting untuk dilakukan penegakan diagnosis morfologis pada
pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan
dengan melihat tanda-tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial,
perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari penebalan epitel, Punctate
Epitelial Erosion (PEE), dan lecet kornea untuk pseudodendrites. Dapat menjadi
reaksi traumatis sekunder dan alergi terhadap lensa kontak. Pada pewarnaan
fluorescein terutama terihat pada posisi pukul 3 dan pukul 9 kornea, edema ringan
dan vakuolasi hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial.
Pada keratitis stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang,
edema yang bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula dari
stroma lalu ke epitel kornea.6,7
Periksa ketajaman visual dengan lensa kontak atau kacamata, jika pasien
tidak memiliki kacamata, gunakan lubang jarum dari occluder periksa pergerakan
lensa kontak dan defect kornea pada slit lamp. Minta pasien melepaskan lensa
kontak jika mampu, dapat menggunakan satu tetes proparacaine atau anestesi
topikal lain untuk membuka mata agar dapat diperiksa secara koperatif.7
Periksa reaktivitas pupil dengan senter, pemeriksaan slit lamp dengan
memperhatikan daerah konjungtiva bulbar dan palpebral untuk mencari setiap
17
papillae atau folikel, permukaan kornea untuk menyingkirkan ulkus kornea, dan
reaksi pada ruang anterior mata.7
Pemeriksaan fisis pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada
keratitis melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan flouresent dapat
menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat dengan
inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan
kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan sebuah loup dan
dengan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya
sementara memindahkan cahaya dengan hati-hati ke seluruh kornea. Dengan cara
ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat terlihat.7
Keratitis herpetikadisebabkan oleh herpes simpleks dan herpes zoster,
yang disebabkan oleh herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan
stromal. Hal yang murni epitelial adalah dendritik dan stromal adalah diskiformis.
Biasanya infeksi herpes simpleks ini berupa campuran epitel dan stroma.
Perbedaan ini akibat mekanisme kerusakannya berbeda. Pada yang epitelial
kerusakan terjadi akibat pembelahan virus di dalam sel epitel, yang akan
mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk tukak kornea superfisial. Stromal
diakibatkan reaksi imunologik tubuh pasien sendiri terhadap virus yang
menyerang. Antigen (virus) dan antibodi (pasien) bereaksi di dalam stroma kornea
dan menarik sel leukosit dan sel radang lainnya. Sel ini mengeluarkan bahan
proteolitik untuk merusak antigen(virus) yang juga akan merusak jaringan stromal
di sekitarnya.4
Pasien biasanya mengeluhkan adanya sensasi benda asing, fotofobia dan
air mata yang berlebihan. Lesi pungtata pada kornea dapat dimana saja tapi
biasanya pada daerah sentral. Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik – titik
berwarna abu – abu yang kecil. Tidak adanya terapi spesifik untuk keadaan ini,
tergantung faktor penyebabnya.5
Floresensi topikal adalah merupakan larutan nontoksik dan water-soluble
yang tersedia dalam beberapa sediaan : dalam larutan 0,25% dengan zat anestetik
(benoxinate atau proparacaine), sebagai antiseptic (povidone-iodine), maupun
18
dalam zat pengawet sebagai tetes mata tanpa pengawet 2% dosis unit. Floresens
akan menempel pada defek epithelial pungtata maupun yang berbentuk
makroulseratif (positive stanining) dan dapat memberikan gambaran akan lesi
yang tidak bebrbekas melalui film air mata (negative staining). Floresens yang
terkumpul dalam sebuah defek epithelial akan mengalami difusi ke dalam strauma
kornea dan tampak dengan warna hijau pada kornea.2
2. Konjungtivitis
19
lebih nyata di pagi hari, pseudoptosis akibat kelopak membengkak dan mata
terasa seperti ada benda asing.
Ulkus kornea dapat diadiagnosis banding dengan konjungtivitis dilihat dari
gejala mata merah yang terjadi.Pada konjungtivitis kornea masih jernih dan
terang sehingga tidakada gangguan visus yang berbeda dengan ulkus kornea
dimana terjadi kekeruhan lensa.
3. Keratomikosis
Keratomikosis merupakan suatu infeksi kornea oleh jamur.Biasanya
dimulai oleh suatu ruda paksa pada kornea oleh ranting pohon, daun dan
bagian-bagian tumbuhan. Setelah beberapa hari pasien akan merasa sakit hebat
pada mata dan silau.1
Keratomikosis dapat didiagnosis banding dengan ulkus kornea karena
menujukkan gambaran yang sama pada kornea. Untuk mendiagnosis
keratomikosis perlu dilakukan pemerikasaan KOH dimana diharapkan pada
kerokan kornea ditemukan adanya hifa.1
1. Mengidentifikasi agen patogen dan tes sensitivitas. Hal ini dilakukan dengan
mengambil apusan dasar ulkus sebagai bahan sampel dan inokulasi media
kultur untuk bakteri dan fungi. Spesimen lensa kontak yang digunakan juga
harus diambil dan di kultur untuk memastikan sumber dari bakteri atau jamur.
2. Dilakukan pewarnaan dengan Gram dan Giemsa pada spesimen yang diambil
untuk mendeteksi bakteri.
20
3. Apabila dicurigai suatu infeksi virus, tes sensitivitas kornea dianjurkan
dimana hasil sensitivitasnya akan berkurang.
IX. PENATALAKSANAAN
Berhenti memakai lensa kontak, jika dicurigai terjadi infeksi pada kornea,
pasien harus menjalani pemeriksaan menyeluruh oleh dokter mata sesegera
mungkin untuk menyingkirkan ulkus kornea. Jika tidak ada akses yang tepat ke
dokter mata: ambil apusan/smear dan kultur dari apusan ulkus dengan spatula
kecil, mulai antibiotik spektrum luas topikal dengan cakupan gram negatif seperti
fluorokuinolon (misalnya, ofloxacin atau ciprofloxacin) 6 sampai 8 kali per hari
dan cycloplegic tetes, jangan menggosok mata dan segera ke dokter mata.
Pengobatan empiris harus sesuai dengan anjuran dokter mata.7
Beberapa terapi yang dapat secara baik menangani keratitis pungtata
superfisial. Terapi suportif dengan lubrikans topikal seperti air mata artifisial
seringkali adekuat pada kasus-kasus yang ringan. Air mata artifisial dapat
mengurangi sisa produk inflamasi yang tertinggal pada reservoir air mata. Mereka
tidak hanya bekerja sebegai lubrikans, tapi juga sebagai agen pembersih, pembilas
dan dilusi dari film air mata serta sebagai agen pemoles dari epitel superfisial
untuk membentuk kembali microvillae dan menstabilkan lapisan mucin dari air
mata.7
Tergantung dari keparahan gejala pada pasien, air mata artifisial dengan
viskositas berbeda (dari tetes mata hingga jel viskositas tinggi) diresepkan pada
pasien dan diaplikasikan dengan frekuensi yang berbeda. Pada keratitis akibat
pemaparan (exposure keratitis ), jel atau krim dengan viskositas yang tinggi
digunakan karena waktu retensinya yang panjang.4
Prosedur collagen cross-linking (CXL) digunakan dalam pengobatan
infeksi keratitis hampir identik dengan standar protokol pengobatan keratoconus,
dengan penggunaannya setelah setelah penggunaan obat anestesi tetes mata,
jaringan epitel longgar dan epitel yang nekrosis di sekitar daerah infeksi diangkat
dari kornea. Tujuannya untuk menghilangkan epitel kornea agar terjadi penetrasi
21
riboflavin yang adekuat pada daeah kornea. Riboflavin (riboflavin / dekstran
solusi 0,5-0,1%) ditanamkan pada permukaan kornea dengan jangka waktu 20-30
menit pada interval dari 2-3 menit. Hal ini diikuti dengan pencahayaan kornea
menggunakan lampu UV-X, UV-A 365 nm, dengan radiasi 3.0mW/cm2 dan total
dosis 5,4 J/cm2.8
Antibiotik sistemik digunakan apabila terdapat ekstensi ke sklera akibat
infeksi atau didapatkan adanya ancaman perforasi pada pasien. Levofloxacin
maupun ofloxacin memiliki penetrasi aqueous dan vitreus yang baik dengan
pemberian oral. Tidak perlu untuk menangani pasien hingga seluruh lesi di kornea
hilang. Akan tetapi penanganan dilaksanakan hanya hingga pasien dapat mencapai
titik kenyamanan.4
Terapi pembedahan, emergency keratoplasty diindikasikan untuk
mengobati suatu descemetocele atau ulkus kornea perforasi pada daerah nekrosis
yang luas dan memerlukan flap konjungtiva untuk mempercepat penyembuhan.
Stenosis atau penyumbatan dari sistem lakrimal yang lebih rendah yang mungkin
mengganggu penyembuhan ulkus harus dikoreksi melalui pembedahan.1
Sesegera mungkin melakukan pemeriksaan tes bakteriologis dan tes
resistansi untuk mendapatkan hasil yang lebih dini, agar dokter segera melakukan
terapi empiris pada agen patogen. Pada keadaan keratitis yang tidak berespon
dengan pengobatan mungkin agen patogen tersebut belum diidentifikasi secara
positif, pasien tidak menggunakan antibiotik yang dianjurkan dokter, agen
patogen tersebut resisten terhadap antibiotik, ataukah keratitis ini tidak disebabkan
oleh bakteri, tetapi oleh salah satu patogen berikut: 1.Herpes simplex virus,
2.Jamur, 3. Acanthamoeba, atau agen patogen langkah seperti 4. Nocardia atau
mycobacteria.1
22
X. KOMPLIKASI
Komplikasi keratitis herpetika dapat berupa :1
1. Hypopyon: sebagai proses perluasan pada kasus yang tidak diobati, jaringan
uveal anterior yang disusupi oleh limfosit, sel-sel plasma dan PMNLs
bermigrasi melalui iris ke kamera anterior.
2. Penyembuhan: membentuk jaringan parut atau sikatriks di lokasi
sebelumnya. Sikatriks yang dapat dibagi menjadi 3 yaitu nebula , macula
dan leukoma.
Leukoma : di stroma . Dengan mata telanjang bisa dilihat
Makula disubepitel. Dengan senter bisa dilihat
Nebula di epitel dengan slit lamp atau dengan lup bisa dilihat
3. Ulkus kornea
4. Descemetocoele: membran descemet yang tahan terhadap collagenolysis
dan mengalami perbaikan dengan pertumbuhan epitel kearah anterior
membran kornea, Kondisi ini lebih umum sebagai sekuel keratitis virus
5. Perforasi
XI. PROGNOSIS
Dengan pengobatan dini yang memadai, banyak jenis keratitis dapat
sembuh dengan sedikit atau tanpa bekas luka sama sekali, secara umum prognosis
dari keratitis herpetika adalah baik jika tidak terdapat jaringan parut ataupun
vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan metode penanganan yang dilaksanakan
prognosis dalam hal visus pada pasien dengan keratitis herpetika sangat baik. Jika
infeksi mengenai bagian mata yang lain, terapi tambahan mesti dilakukan untuk
menyingkirkan infeksi.1,10
Prosedur bedah mungkin diperlukan untuk memperbaiki masalah keratitis
yang berhubungan dengan ketidak mampuan untuk benar-benar menutup kelopak
mata.10
23
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook Atlas. 2 nd
edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 462-466.
2. James bruce, et all. Lecture note oftalmology. Edisi Kesembilan. Penerbit
erlangga 2006. h.67-69
3. K.Weng Sehu et all. Opthalmologic Pathology. Blackwell Publishing. UK. 2005.
p.62.
4. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi
ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. h. 1-13
5. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of Ophtalmology.
Thieme. 2006. p. 97-99
6. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. ABC of Eye Foutrth Edition. BMJ
Books. p. 17-19.
7. Tasman W, Jaeger EA. Duane’s Ophtalmology. Lippincott Williams &
Wilkins Publishers. 2007
8. Chern KC. Emergency Ophtalmology a Rapid Treatment Guide. Mc
Graw-Hill. 2002.
9. Raymond L. M. Wong, R. A. Gangwani, LesterW. H. Yu, and Jimmy S.
M. Lai. New Treatments for Bacterial Keratitis. Department of
Ophthalmology, Queen Mary Hospital, Hong Kong. 2012
10. Ann M. Keratitis, Available, at URL : http://www.mdguidelines,com/keratitis.
Accesed januari 31st, 2013
25