Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

“Neurocritical Care”

Pembimbing :
dr. Tendi Novara, Msi.Med, Sp. An-KAO

Disusun Oleh:
Agnes Indah Nugraheni G4A015143
Inez Ann Marie G4A015145
Mochamad Riski Kurniadi G4A016015

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi referat dengan judul:


“Neurocritical Care”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:
Agnes Indah Nugraheni G4A015143
Inez Ann Marie G4A015145
Mochamad Riski Kurniadi G4A016015

Purwokerto, Desember 2016

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Tendi Novara, Msi.Med, Sp. An-KAO


I. PENDAHULUAN

Ide pembentukan protokol untuk kegawatan neurologis bukanlah suatu hal


baru. Selama pembentukan American Academy of Neurology Neurocritical Care
pada awal 1980 terdapat perdebatan terkait cara terbaik RJP, resusitasi, berbagai
frekuensi kompresi dan respirasi serta kemungkinan kompresi vena jugularis. Hal
ini merupakan variasi sederhana pada RJP dimana mulai berorientasi pada
resusitasi otak yang kemudian memotivasi pengembangan perfusi otak dan
outcomenya. Tahun 1990-an, diadakan seminar berjudul Acute Neurologic
Catastrophies: the first 60 min. Meski demikian masih sedikit klinisi yang
menggunakannya pada pasien selama waktu awal pasien masuk rumah sakit.
Neurocritical care dimulai pada bagian respirasi selama epidemik polio bersama
dengan pulmonologi dan dokter IGD untuk menangani pasien dengan kegawatan
neurologis (Smith & Weingart, 2012).
Neurocritical care merupakan sekelompok protokol yang menunjukkan
langkah dalam mengurus pasien selama 1 jam pertama kegawatan neurologis.
Protokol ini disusun untuk membantu menstandarisasi langkah-langkah awal yang
penting dengan tujuan memperoleh outcome yang lebih baik, menyediakan
diagnosis dan terapi kegawatan yang tepat, membentuk dasar konsensus
keputusan kegawatan neurologis yang dapat membantu memberikan solusi
keadaan pasien sehingga dapat meningkatkan pelayanan pada pasien (Smith &
Weingart, 2012).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Neurocritical Care


Neurocritical care merupakan pelayanan intensif yang diberikan kepada
pasien dengan kondisi neurologis dan neurosurgikal berat yang
menghubungkan otak dan sistem organ lainnya. Neurocritical care
menyediakan pelayanan medis komprehensif dan dukungan neurologis untuk
pasien dengan penyakit neurologis yang membahayakan jiwa dengan
mengintegrasikan dan menyeimbangkan penanganan baik pada otak maupun
tubuh pasien (Kuroda, 2016).

B. Monitoring Pasien
1. Pemeriksaan klinis
Berbagai macam pengukuran kesadaran dilakukan untuk mengetahui
efek blokade neuromuskular dan sedasi. GCS (Gambar 2.1) merupakan marker
prognosis kuat dan indikator diperlukannya operasi traumatic brain injury,
outcome stroke sirkulasi posterior diikuti serangan jantung. Pada isolasi, GCS
memiliki kekurangan dimana terdapat confounder berupa intubasi endotrakeal,
dan kurangnya pengukuran respons pupil. Pasien tanpa sedasi belakangan ini
dinilai dengan FOUR (Full Outline of Unresponsiveness) score (Gambar 2.2)
yaitu pengukuran respons mata terhadap perintah dan nyeri, termasuk respons
pupil dan pola pernapasan yang dapat membantu menilai fungsi batang otak.
Untuk menilai nyeri dapat digunakan NRS (Numeric Rating Scale) (Gambar
2.3) dan BPS (Behavioral Pain Scale) (Gambar 2.4). Apabila pasien tidak
sadar dapat menggunakan NCS-R (Nociceptor Coma Scale-revised) (Le Roux
et al., 2014).
Gambar 2.1. FOUR score (Fugate et al., 2010)

Gambar 2.2. Glasgow Coma Scale (Bledsoe et al., 2015)


Gambar 2.3 Numeric Rating Scale (Woo et al., 2015)

Gambar 2.4 Behavioral Pain Scale (Chanques et al., 2009)


Gambar 2.5 Nociceptor Coma Scale-revised (Guldenmund et al., 2012)

2. Hemodinamik Sistemik
Komplikasi kardiopulmoner sering kali terjadi setelah ABI (acquired
brain injury). Mekanisme utama trauma jantung setelah ABI berhubungan
dengan stimulasi simpatis dan pelepasan katekolamin. Semua pasien ABI yang
masuk ICU memerlukan monitoring hemodinamik dasar berupa tekanan darah,
nadi dan pulse oximeter. Pasien tidak stabil maupun pasien berisiko sebaiknya
dilakukan juga monitoring EKG dan IBP (invasive monitoring of arterial blood
pressure) (Le Roux et al., 2014).
Gambar 2.5. Monitor Hemodinamik

C. Tujuan Monitoring
Alasan dilakukannya monitoring pada pasien dengan kelainan neurologis yang
memerlukan penanganan khusus adalah (Le Roux et al., 2014):
1. Mendeteksi perburukan neurologis dini sebelum terjadi kerusakan otak
ireversibel
2. Individualisasi penanganan setiap pasien
3. Mengarahkan penanganan pasien
4. Memonitoring respons fisiologis terhadap pengobatan dan menghindari
efek samping
5. Membantu tenaga medis mengetahui lebih baik patofisiologi dari kelainan
pada pasien
6. Membentuk protokol penanganan yang tepat
7. Memperbaiki outcome neurologis dan kualitas hidup pasien dengan
kerusakan otak berat
8. Dengan mengetahui patofisiologi penyakit diharapkan dapat
mengembangkan terapi baru yang saat ini masih kurang
D. Keadaan yang membutuhkan pemantauan/monitoring di Intensive Care
Unit (ICU) dan rekomendasi protokol pemantauan.
1. Kecurigaan peningkatan tekanan intrakranial
a. Glasgow Coma Scale (GCS) > 8 dan pasien kooperatif terhadap
pemeriksaan yang dilakukan :
1) Lanjutkan dengan pemeriksaan neurologis, berupa (Restrepo, 2010):
a) Derajat kesadaran
Pemeriksaan derajat kesadaran dapat dilakukan dengan
pemeriksaan GCS. Pasien dengan GCS 12-15 diobservasi di
ruangan kecuali pemeriksaan neurologis menunjukkan adanya lesi
atau kelainan yang memerlukan observasi di ICU. GCS 9-12
mengindikasikan koma sedang. GCS <8 menunjukkan koma berat
dan biasanya membutuhkan pemasangan intubasi endotrakeal
sehingga respons verbal pasien tidak dapat dinilai dan digunakan
huruf T.
b) Pemeriksaan nervus kranialis

Gambar 2.6 Pemeriksaan nervus kranialis (Restrepo, 2010)


c) Fungsi sensorik
Evaluasi sensorik dilakukan dengan pemberian stimulus
pada lokasi spesifik tubuh pasien untuk menilai kemampuan
mengidentifikasi sensasi spesifik dengan mata tertutup. Penilaian
berupa sentuhan halus, nyeri, dan suhu dengan kapas, pin,
maupun benda dingin dan hangat pada beberapa bagian tubuh,
dimulai dari kaki naik ke atas. Bandingkan kiri dan kanan. Untuk
menilai sensasi getaran maka digunakan garpu tala. Untuk menilai
propriosepsi atau posisi, pasien menutup kedua mata dan harus
bisa membedakan apakah jari tangan atau kaki yang digerakan.
Pasien harus bisa membedakan dua lokasi berbeda 2-10 mm pada
tangan serta 75 mm pada paha dan punggung.
d) Fungsi motorik
Kekuatan motorik dinilai bilateral dengan memfleksikan
dan ekstensi tangan pasien terhadap tangan pemeriksa, meremas
jari, mengangkat kaki melawan gravitasi, dan fleksi-ekstensi kaki
melawan pemeriksa. Setiap ekstremitas dinilai menggunakan
skala motorik 0 (tidak ada gerakan) -5 (mampu bergerak penuh).
Pasien yang tidak sadar, penilaian dilakukan dengan memberikan
stimulus nyeri. Stimulus sentral seperti tekanan sternum lebih
dapat dipercaya dibandingkan stimulus perifer. Tekanan pada
sternum dapat mudah menimbulkan memar sehingga dapat
dilakukan alternatif berupa menekan trapezius. Tekanan
supraorbital sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan fraktur
wajah. Nyeri membuat pasien menjauhi sumber nyeri atau
berusaha menyingkirkannya. Pola dan kesimetrisan respons
motorik terhadap stimulus nyeri perlu dicatat apabila dicurigai
kelainan neurologis. Sistem motorik biasanya dibagi menjadi
upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN)
(Gambar 2.7).
Gambar 2.7. Tanda klinis lesi UMN dan LMN (Restrepo, 2010)
e) Tonus : refleks fisiologis dan patologis
Refleks tendon dalam menilai saraf spinal berupa refleks
triseps, biseps, brakioradialis, patella, dan Achilles. Refleks
superfisialis berupa refleks plantar. Untuk refleks patologis
biasanya dilakukan pemeriksaan tanda Babinski.
f) Penilaian pupil
Refleks pupil dikendalikan oleh mesensefalon dan saraf
kranialis II dan III. Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan
cahaya di depan kedua mata sambil memperhatikan iris.
Deskripsikan ukuran pupil, kongruensi, respons terhadap cahaya
dan akomodasi.
g) Fungsi serebelum
Pemeriksaan koordinasi dapat dinilai dengan meminta
pasien untuk segera dan berulang mengarahkan jari mereka pada
jari pemeriksa dan dari jari pemeriksa ke hidung pasien serta
meminta pasien secara bergantian memegang hidungnya dengan
telunjuk kanan dan kiri. Ulangi dengan pasien mata tertutup.
Pemeriksaan keseimbangan dengan tes Romberg untuk menilai
apakah pasien bisa berdiri tegak. Pasien diminta berdiri, tangan di
samping dan mata terbuka, pasien tidak boleh goyah tetapi berdiri
tegak. Jika berhasil, pasien diminta mengulangnya dengan mata
tertutup. Pasien yang tidak bisa melakukan tes ini dinyatakan
positif berarti terdapat disfungsi vestibular maupun propioseptif.
h) Tanda vital
Lesi pada otak hingga tulang belakang servikal atas dapat
menyebabkan pola pernapasan abnormal. Pola abnormal yang
sering terjadi adalah respirasi Cheyne stokes dimana berupa fase
hiperpnea yang bergantian dengan episode apnea. Peningkatan
tekanan intracranial seperti sindrom herniasi dapat menimbulkan
trias Cushing yaitu meningkatnya tekanan darah, bradikardi, dan
bradipnea.
2) Apabila pasien stabil setelah 24 jam, pemeriksaan neurologis tidak
dilakukan lagi
3) Lanjutkan dengan CT-Scan kepala apabila pasien stabil
b. GCS > 8 dan pasien tidak kooperatif terhadap pemeriksaan yang
dilakukan :
1) Lanjutkan dengan pemeriksaan neurologis
2) Pertimbangkan untuk memantau tekanan intrakranial
3) Lanjutkan dengan CT-Scan kepala apabila pasien stabil
c. GCS ≤ 8 dan pasien kooperatif terhadap pemeriksaan yang dilakukan :
1) Lanjutkan dengan pemeriksaan neurologis
2) Pertimbangkan untuk memantau tekanan intrakranial
3) Lanjutkan dengan CT-Scan kepala apabila pasien stabil
d. GCS ≤ 8 dan pasien tidak kooperatif terhadap pemeriksaan yang
dilakukan :
1) Lanjutkan dengan pemeriksaan neurologis
2) Pertimbangkan untuk memantau tekanan intrakranial
3) Lanjutkan dengan CT-Scan kepala apabila pasien stabil
2. Perdarahan subaraknoid akibat aneurisma
Salah satu penyebab nontraumatik perdarahan subaraknoid adalah
aneurisma intrakranial. Biasanya aneurisma ditemukan pada sirkulus Willisi
pada basis otak dekat bifurkasi. Lokasi tersering terjadinya rupture
aneurisma pada arteri komunikans posterior dari arteri karotis interna (41%),
arteri serebrum anterior (34%), dan arteri serebrum tengah (20%). Gejala
yang dapat timbul apabila terjadi ruptur aneurisma akut adalah sakit kepala
hebat mendadak, mual, muntah dan sinkop diikuti menurunnya kesadaran
yang progresif (Diringer, 2009).
a. Aneurisma intak dan keadaan pasien stabil (1-3 hari pasca ruptur
aneurisma)
Lakukan pemeriksaan Transcranial Doppler (TCD) dan lakukan
perbaikan keadaan umum pasien.
b. Aneurisma intak dan keadaan pasien stabil (4-14 hari pasca ruptur
aneurisma)
Lakukan pemeriksaan TCD setiap dua hari sekali selama pasien
berada di ICU.
c. Aneurisma intak dan keadaan pasien fluktuatif (1-3 hari pasca ruptur
aneurisma)
Lakukan pemeriksaan Transcranial Doppler (TCD) dan lakukan
perbaikan keadaan umum pasien.
d. Aneurisma intak dan keadaan pasien fluktuatif (4-14 hari pasca ruptur
aneurisma)
Lakukan pemeriksaan TCD setiap hari sekali selama pasien berada
di ICU dan pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan angiogram
serebri apabila terdeteksi vasospasme setelah dilakukan pemeriksaan
TCD
e. Aneurisma rusak namun hasil pemeriksaan neurologis stabil (1-3 hari
pasca ruptur aneurisma)
Lakukan pemeriksaan Transcranial Doppler (TCD) dan lakukan
perbaikan keadaan umum pasien, lakukan CT Scan kepala ketika pasien
sudah stabil.
f. Aneurisma rusak namun hasil pemeriksaan neurologis stabil (4-14 hari
pasca ruptur aneurisma)
Lakukan pemeriksaan TCD setiap hari sekali selama pasien berada
di ICU, pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan angiogram serebri
apabila terdeteksi vasospasme setelah dilakukan pemeriksaan TCD, dan
lakukan CT Scan kepala ketika pasien sudah stabil
g. Aneurisma rusak dan keadaan pasien fluktuatif (1-3 hari pasca rupture
aneurisma)
Lakukan pemeriksaan Transcranial Doppler (TCD) dan lakukan
perbaikan keadaan umum pasien, lakukan CT Scan kepala ketika pasien
sudah stabil.
h. Aneurisma rusak dan keadaan pasien fluktuatif (4-14 hari pasca ruptur
aneurisma)
Lakukan pemeriksaan TCD setiap hari sekali selama pasien berada
di ICU, pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan angiogram, CT
Scan kepala ketika pasien stabil.
3. Kejang dan status epileptikus
Kejang ditemukan pada 8-34% pasien dengan kondisi kritis. Etiologi
risiko tinggi kejang berupa perdarahan subaraknoid, perdarahan
intraserebral, traumatic brain injury, stroke iskemik akut, ensefalitis, henti
jantung, sepsis dan epilepsi. Kejang menginduksi perubahan fisiologis dan
terkait dengan luka otak sekunder. Kejang dikaitkan dengan deteriorasi
neurologis dan meningkatnya midline shifting pada CT-Scan selama 72
pertama setelah onset gejala (Fernandez, 2016)
a. Episode kejang satu kali, dan keadaan pasien kembali seperti semula
Lakukan pemeriksaan Electroencephalogram (EEG) secara rutin
b. Episode kejang satu kali, namun keadaan pasien tidak kembali seperti
semula
Lakukan pemeriksaan EEG untuk evaluasi status epileptikus
c. Episode kejang multipel dan keadaan pasien kembali seperti semula
Lakukan pemeriksaan EEG secara rutin
d. Episode kejang multipel, namun keadaan pasien tidak kembali seperti
semula
Lakukan pemeriksaan EEG untuk evaluasi status epileptikus
e. Status epileptikus
Lakukan pemeriksaan EEG untuk mengkonfirmasi diagnosis dan lakukan
pemeriksaan EEG secara berkala untuk memantau keadaan pasien
4. Cedera otak
a. GCS > 8
Lakukan pemeriksaan neurologis dan CT-Scan kepala
b. GCS ≤ 8
1) Lakukan pemeriksaan neurologis dan CT-Scan kepala
2) Lakukan pemantauan tekanan intrakranial apabila ditemukan
abnormalitas pada CT-Scan kepala atau dua dari tiga kriteria ini
ditemukan:
o Usia > 40 tahun
o Posturing unilateral atau bilateral
o Tekanan darah sistol < 90 mmHg
3) Pertimbangkan untuk memasang kateter vena jugularis untuk
membantu terapi

E. Manajemen pada keadaan Subarachnoid Hemmorrhage


Penyebab utama terjadinya perdarahan subarachnoid adalah perlukaan
karena trauma. Untuk perdarahan non traumatic, biasanya disebabkan oleh
rupturenya aneurysma intrakranial.
1. Manajemen
Manajemen dari perdarahan subarachnoid di fokuskan kepada keadaan
preoperative. Pada keadaan preoperative beberapa hal yang perlu
diperhatikan dari keadaan pasien adalah:
1) Penilaian status kesadaran (GCS) dari pasien
2) Pengaturan tekanan darah (menjaga tekanan darah sistol < 150
mmHg dan tekanan darah diastole < 80 dengan MAP <110
mmHg)
3) Pencegahan kemungkinan kejang, vasospasme, dan hidrasi
2. Algoritma pendekatan terhadap pasien dengan perdarahan subarachnoid
Gambar 2.8 Pendekatan terhadap pasien dengan perdarahan subarachnoid

F. Manajemen pada keadaan Intracerebral Hemmorrhage


ICH sering digunakan secara bergantian dengan stroke hemoragik. ICH
meliputi gangguan nontraumatik yang hadir dengan perdarahan ke dalam ruang
tengkorak.
1. Manajemen
Manajemen pada ICH dapat dibagi menjadi intervensi yang diarahkan
pada masalah primer (ICH) dan intervensi sekunder yang diarahkan pada
efek dan komplikasi perdarahan. Manajemen primer ICH fokus pada 3
faktor utama ( yang mempengaruhi inisiasi dan pengehentian perdarahan) :
a. Tekanan intra-arterial
b. Integritas dinding pembuluh darah
c. Peran faktor hemostatic (trombosit dan jalur koagulasi)
d. Sebagian besar cedera yang muncul tiba – tiba dan mengancam
kehidupan disebabkan oleh ICH berada di efek dan komplikasi
sekunder.
Efek dan Komplikasi sekunder ICH berfokus kepada :
a. Efek massa dari hematoma sebenarnya dan edema
b. Elevasi ICP dari efek massa atau obstruksi jalur CSF dengan
hidrosefalus
c. Kejang

2. Pertimbangan selama Manajemen Darurat


a. Status neurologis pasien perlu dimonitor di lingkungan perawatan
intensif
b. Perdarahan aktif dengan ekspansi hematoma yang berkelanjutan
adalah penyebab paling umum dari kerusakan neurologis setelah
diagnosis. Ekspansi hematoma terjadi sekitar 26% pasien setelah CT
Scan pertama dan di lain 12% dalam waktu 20 jam.
c. Faktor lain yang berkaitan dengan kerusakan neurologis termasuk :
1) Perdarahan ulang
2) Berkaitan dengan edem cerebral
3) Hidrosefalus dan peningkatan ICP
4) Kejang (terutama dengan lesi di korteks)
d. Manajemen tahap awal dan tahap darurat berfokus pada penilaian
cepat adekuasi jalur pernafasan pasien, mendorong pernafasan yang
memadai dan menstabilkan status hemodinamik
e. Airway : Pasien dengan ICH yang luas akan meningkatkan
kemungkinan elevasi ICP, koma dan hilangnya perlindungan jalan
nafas dan perlu untuk dilakukan intubasi endotrakeal. Melakukan
evaluasi terhadap tingkat kesadaran pasien dan integritas refleks jalan
nafas adalah hal yang penting. Selama intubasi endotrakeal, sedasi
atau anestesi umum mencegah peningkatan tekanan darah sistemik
yang bisa memperluas hematoma. Penundaan dalam mengamankan
jalan nafas dapat memperburuk cedera sekunder hipoksemia, aspirasi
dan hiperkapnia.
f. Breathing : Pada pasien dengan ICH luas, kesadaran dan pernapasan
dapat terganggu yang akan menyebabkan hipoksia (pO2 < 60 mmHg)
dan hiperkarbia (pCO2 > 50 mmHg). Keduanya merugikan secara
sistemik, dan dapat menyebabkan elevasi ICP dari vasodilatasi
cerebral sehiingga memperburuk perfusi serebral.
g. Circulation : akses vascular memadai untuk diagnosis dan terapi.
Penempatan kateter arteri untuk membaca tekanan darah secara terus
menerus dianjurkan tetapi pemantauan intermiten noninvasive cukup.
h. Diagnostik :
1) Memastikan riwayat pasien perdarahan, asupan obat terutama
penggunaan warfarin dan anti platelet
2) Kelainan sistemik ata metabolic, terutama yang mungkin dapat
menyebabkan perdarahan lebih
3) Setelah hemodinamik dan pernafasan terstabilisasi, diagnostic
cepat dan neuroimaging dilakukan
4) Diferensiasi diagnostic yang paling penting adalah aneurisma otak
dan malformasi vascular oleh MRA atau angiogram pasien yang
hadir.
Gambar 2.9 Algoritma pendekatan terhadap pasien dengan perdarahan
intracerebri
G. Keterbatasan dan keuntungan dari alat pemantauan
1. Alat pemantauan tekanan intrakranial
a. Subarachnoid bolt
Memiliki keuntungan karena memiliki resiko infeksi yang rendah
(<5%) dan dapat digunakan di manapun di tengkorak kepala. Memiliki
kekurangan seperti tidak akurat pada keadaan tekanan intrakranial yang
sangat tinggi, adanya bekuan darah di rongga subarachnoid, adanya
perbedaan tekanan antara kompartemen supratentorial kiri atau kanan.
b. Kateter intraventrikular (IVC)
Memiliki keuntungan karena dapat digunakan sebagai sarana
drainase cairan serebrospinal, dan merupakan suatu standar baku yang
akurat untuk menentukan tekanan intrakranial. Memiliki kekurangan
karena tidak dapat diletakkan pada ventrikel kecil, tingginya tingkat
resiko infeksi setelah 5 hari penggunaan (27 %), resiko infeksi meningkat
dengan irigasi, pengurangan jumlah cairan (drainase), kurang akuratnya
pemeriksaan ini ketika terdapat bekuan darah di lokasi pemeriksaan.
c. Monitor intraparenkimal
Memiliki keuntungan karena dapat menilai tekanan parenkimal
secara langsung, tidak bergantung pada system coupling cairan (IVC).
2. Doppler transkranial
a. Monitoring vasospasme
Memiliki keuntungan berupa:
1) Tidak bersifat invasif
2) Dapat memberikan deteksi yang lebih dini terhadap keadaan
vasospasme.
Memiliki keterbatasan berupa:
1) Sangat bergantung terhadap keahlian dari operator.
2) Bergantung pada keadaan pasien, mengingat aliran darah otak,
hematokrit, usia, dan kecepatan metabolisme tiap pasien berbeda-
beda.
b. Stenosis intrakranial
Memiliki keuntungan berupa:
1) Merupakan suatu pilihan cadangan apabila pasien tidak dapat
dilakukan pemeriksaan melalui angiografi tomografi (tomography
angiography/CTA) atau MRA.
c. Deteksi emboli
Memiliki keuntungan berupa:
1) Dapat mendeteksi emboli yang asimptomatik dan bisa mengikuti
perjalanannya dari satu pembuluh darah ke pembuluh darah lainnya.
d. Aliran darah serebrum
Memiliki keuntungan berupa:
1) Dapat memberikan gambaran aliran darah yang antegrade atau
retrograde.
3. Kateter vena jugularis
a. Traumatic brain injury
Memiliki keuntungan berupa:
1) Dapat membantu penentuan terapi untuk mencegah terjadinya
kerusakan otak sekunder.
2) Dapat mengukur kadar penggunaan oksigen dari jaringan otak (dapat
digunakan sebagai indikator dari hipoksia).
Memiliki keterbatasan berupa:
1) Kateter jugular ini cenderung tidak simetris untuk drainase sehingga
harus diletakkan pada daerah dengan tekanan intra kranial yang
tinggi.
2) Terdapat beberapa komplikasi yang dapat muncul dari pemasangan
kateter ini seperti: pneumotoraks, tertusuknya arteri karotis,
hematoma, thrombus, dan bahkan peningkatan tekanan intra kranial.
3) Data yang didapatkan tidak dapat membedakan antara jumlah
kebutuhan dan jumlah suplai.
4) Bukanlah suatu alat hitung yang kuantitatif.
4. Elektroensefalografi
Indikasi lain pemakaian EEG selain deteksi dan terapi kejang
termasuk penilaian prognosis neurologis paska henti jantung dan deteksi
iskemik pada pasien perdarahan subaraknoid (Fernandez, 2016).
Memiliki keuntungan seperti:
a. Dapat mengevaluasi kejang atau fokus kejang.
b. Dapat membantu menentukan terapi untuk status epileptikus.
c. Dapat mendeteksi area korteks otak yang mengalami kerusakan sekunder
karena hipoksia, iskemia, atau penurunan metabolism tubuh.
Memiliki keterbatasan seperti:
a. Membutuhkan keterampilan khusus untuk membaca hasil dari EEG.
b. Cenderung sensitif terhadap pemberian obat dan penggunaan agen
anestesi.
c. Penggunaan EEG secara terus-menerus hanya optimal pada keadaan
tertentu.
d. Dibutuhkannya akses menuju ke kulit kepala langsung.
5. Elektromiografi
Memiliki keuntungan seperti:
a. Dapat membedakan tingkat dari kelemahan neuromuskular (otot, saraf,
radiks).
Memiliki keterbatasan seperti:
I. Mungkin saja tidak menunjukan adanya abnormalitas pada pasien dengan
onset yang akut.
II. Sangat bergantung kepada keahlian dari operator.
III. KESIMPULAN

A. Neurocritical care merupakan pelayanan intensif yang diberikan kepada


pasien dengan kondisi neurologis dan neurosurgikal berat yang
menghubungkan otak dan sistem organ lainnya.
B. Beberapa hal yang perlu dipantau berupa tingkat kesadaran pasien dan tanda-
tanda vital dari pasien.
C. Tujuan dari dilakukannya Neurocritical care adalah deteksi kemungkinan
kerusakan yang terjadi, mengarahkan penatalaksanaan pasien, mengurangi
morbiditas dan mortalitas pasien, dan memperbaiki luaran dari keadaan
pasien.
D. Pemilihan alat bantuan pemantauan haruslah mempertimbangkan kelebihan
dan kekurangan dari alat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Bledsoe, B.E., Casey M.J., Feldman J., Johnson. L., Diel, S,. Forred, W. et al.,
2015. Glasgow Coma Scale scoring is often inaccurate. Prehospital Disaster
Medicine, 30(1):46–53.
Brhardwaj, Anish. Marek A. John A. 2004. Handbook of Nuerocritical Care. New
Jersey: Humana Press
Chanques, G., Payen, J. F., Mercier, G., Lattre, S., Viel, E., Jung, B. et al., 2009.
Assessing pain in non-intubated critically patients unable to self report: an
adaptation of the Behavioral Pain Scale. Intensive Care Medicine, 35(1):
2060.
Diringer, M. N., 2009. Management of aneurysmal subarachnoid hemorrhage.
Critical Care Medicine, 37(2):432-440.
Fernandez, A., 2016. Continous Monitoring in Critical Care. JHN Journal,
11(1):8-10.
Fugate, J. E., Rabinstein, A. A., Claassen, D. O., White, R. D. & Wijdickss, E. F.
M., 2010. The FOUR Score Predicts Outcom in Patients after Cardiac Arrest.
Neurocritical Care, 13(2):205-210.
Guldemund, P., Stender, J., Heine, L. & Laureys, S., 2012. Mindsight:Diagnostics
in Disorders of Consciousness. Critical Care Research and Practice.
2012(2012).
Kuroda, Y., 2016. Neurocritical Care Update. Journal of Intensive Care, 64 (36).
Le Roux, P., Menon, D. K., Citerio, G., Vespa, P., Bader, M. K., Brophy, G., M.
et al., 2014. Consensus summary statement of the International
Multidisciplinary Consensus Conference on Multimodality Monitoring in
Neurocritical Care. Intensive Care Medicine, 40(1):1189–1209.
Restrepo, R. D., 2010. Neurologic Assessment. In: Wilkins, R. L., Dexter, J. R. &
Heuer, A. J. ed. Clinical Assessment in Respiratory Care. Elsevier:St. Louis.
pp. 95-116.
Smith, W. S. & Weingart, S., 2012. Emergency Neurological Life Support
(ENLS): What to Do in the First Hour of a Neurological Emergency.
Neurocritical Care, 17(1).
Woo, A., Lechner, B., Fu, T., Wong, C. S., Chiu, N., Lam, H. et al., 2015. Cut
points for mild, moderate, and severe pain among cancer and non-cancer
patients: a literature review. Annals of Palliative Medicine, 4(4):176-183.

Anda mungkin juga menyukai