Anda di halaman 1dari 16

LEARNING OBJECTIVE

SKENARIO 1
“LEARNING UNIT TRAUMA : TAK BISA BANGKIT ”

Nama : Isra Nur Hidayah


Stambuk : N 101 20 053
Kelompok : 04 (Empat)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
Learning Objective

1. Menjelaskan mengenai pemeriksaan GCS


GCS yakni singkatan umum dari Glasglow Coma Scale yang merupakan skala
tingkat kesadaran yang menjadi suatu pemeriksaan bersifat neurologis untuk pasien.
Penilaian kesadaran ini bersifat wajib dimiliki untuk seorang dokter dengan skala koma
yang ideal seharusnya bersifat linear,reliabel,valid,dan mudah digunakan.Pada masa ini,
perkembangan skala koma telah dikembangakan terus-menerus untuk memperbaiki
komunikasi antar praktisi medisi. GCS sendiri memiliki 3 komponen penialian penting
dalam mengetahui tingkat kesadaran pasien, yakni adalah : pergerakan bola mata,
verbal,dan pergerakan motorik yang masing-masing akan memberikan poin tertentu
untuk setiap aspeknya yakni dengan nilai total seluruh komponen adalah 3-15 dengan
keterangan semakin kecil kuantitasnya maka semakin buruk prognosisnya. Dewasa ini
telah ada perkembangan baru disebut sebagai FOUR SCORE yang mana telah
melampaui kemampuan penilaian GCS karena dapat memberikan lebih banyak informasi
seperti: refleks batang ptak, penilaian mata,respon motorik dengan spektrum yang lebih
luas,pola napas abnormal dan lainnya (Dewi,2016).

Sumber :
Dewi,Rismala.2016. Penilaian Kesadaran pada Anak Sakit Kritis:Glasgow Coma Scale
atau Full Outline of UnResponsiveness score?.Sari Pediatri.Vol.17(5).Viewed on: 1
September2021.From:https://saripediatri.org/index.php/saripediatri/article/download/29/1
4

2. Apa tujuan pemeriksaan pupil isokor


Penilaian Pupil Isokor merupakan salah satu komponen dari pemeriksaan GCS
atau memeriksa tingkat kesadaran pasien berdasarkan pergerakan dan ukuran pupil,
dikatakan isokor artinya kedua pupil berukuran sama diameter besarnya dan merupakan
kondisi yang normal. Apabila pupil dikatakan anisokor artinya pasien memiliki
perbedaan ukuran pupil sekitar 3-5 mm.Diamater dan reflkes pupil merupakan penilaian
yang sangat berarti dalam GCS (Pratama,2020).
Sumber:
Pratama,Sandy.Gambaran gejala klinis dan hasil pemeriksaan ct scan kepalaPada
pasien cedera kepala dengan gcs 13-15 di ruang rawat Inap penyakit saraf bougenvil
rsud dr. H. Abdul moeloek Provinsi lampung.Jurnal Ilmu Kedokteran Dan
Kesehatan.Vol.7(2).Viewed in 1 September
2021.From:https://core.ac.uk/download/pdf/328113579.pdf

3. Apa tujuan pemeriksaan refleks cahaya

Normalnya, pupil mata akan bereaksi terhadap cahaya, yaitu dengan membesar ketika
berada di tempat gelap, atau mengecil ketika terkena cahaya. Pada orang yang mengalami
kelainan pupil mata, refleks cahaya pada pupil mata tidak akan terjadi. Oleh karena itu,
pemeriksaan refleks cahaya sangat berguna dalam mengetanui respon saraf dan motorik
seseorang (Nikmah,2021)

Sumber :
Nikmah,Alifia.,Myasari,Sisca.2021. Wanita 48 Tahun dengan Ptosis Oculi Sinistra et
causaParesisNervus Oculomotor (CN III) Incomplete-Without Pupillary
Involvement.Medula.Vol.10(4).Viewed in 1 september 2021.From:Journalofmedula.com

4. Apa yang dinilai dari primary dan secondary survey


Survei utama dirancang untuk menilai dan mengobati cedera yang mengancam
jiwa dengan cepat. Penyebab utama kematian pada pasien trauma adalah obstruksi jalan
napas, gagal napas, syok hemoragik, dan cedera otak. Oleh karena itu, daerah-daerah
inilah yang menjadi sasaran survei primer. Beberapa cedera spesifik yang dapat
diidentifikasi selama survei primer termasuk tension pneumotoraks, pneumotoraks
terbuka, obstruksi jalan napas, flail chest, perdarahan internal atau eksternal masif, dan
tamponade jantung.

Survei sekunder adalah penilaian pemeriksaan kepala sampai kaki yang cepat
tetapi menyeluruh untuk mengidentifikasi potensi cedera. Ini harus dilakukan setelah
survei primer dan stabilisasi awal selesai. Tujuan dari survei sekunder adalah untuk
mendapatkan data historis yang relevan tentang pasien dan cederanya, serta untuk
mengevaluasi dan mengobati cedera yang tidak ditemukan selama survei primer. Sangat
membantu untuk memprioritaskan evaluasi dan manajemen lanjutan (Zemaitis,2021)

Sumber :
Zemaitis, M.R., Planas, J.H., Waseem, M. 2021. Trauma Secondary Survey. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing

5. Pemeriksaan tanda vital

Tanda-tanda vital, yaitu laju pernapasan, saturasi oksigen, denyut nadi, tekanan
darah dan suhu, dianggap sebagai bagian penting dari pemantauan pasien rawat inap.
Perubahan tanda-tanda vital sebelum perburukan klinis didokumentasikan dengan baik
dan deteksi dini hasil yang dapat dicegah adalah kunci untuk intervensi tepat waktu.
Terlepas dari peran mereka dalam praktik klinis, cara terbaik untuk memantau dan
menafsirkannya masih belum jelas. Dalam beberapa dekade terakhir, tanda-tanda vital
telah menjadi bidang penelitian aktif dan banyak penelitian telah melaporkan bahwa
perubahan tanda-tanda vital terjadi beberapa jam sebelum efek samping yang serius.

Saat ini, tanda-tanda vital memainkan peran penting di unit gawat darurat (ED)
dan di bangsal, untuk menentukan pasien yang berisiko mengalami perburukan.
Meskipun diprediksi secara akurat oleh perubahan tanda vital, perburukan klinis sering
tidak diketahui, atau tidak terdeteksi sampai terlambat untuk diobati . Hal ini terutama
disebabkan oleh pencatatan tanda-tanda vital yang tidak memadai atau sebagai akibat dari
respons yang tidak tepat terhadap nilai abnormal . Di antara perawat dan dokter ada
pengetahuan yang cukup dan apresiasi perubahan tanda vital dan implikasinya untuk
perawatan pasien . Pentingnya pemantauan tanda-tanda vital dalam praktik klinis tidak
dapat disangkal, tetapi cara terbaik untuk memantau dan menafsirkannya dan seberapa
sering harus diukur masih belum jelas . Empat tanda vital utama yang dipantau secara
rutin oleh profesional medis dan penyedia layanan kesehatan, meliputi suhu tubuh,
denyut nadi, laju pernapasan, dan tekanan darah. (Brekke, 2019)

Sumber :

Brekke,Johan,.Et al. 2019.The value of vital sign trends in predicting and monitoring
clinical deterioration: A systematic review.Plos One.Vol.14(1).Viewed in 1 September
2021.From:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/

6. Anamnesis (tanda dan gejala pada trauma muskuloskeletal)

Untuk mendiagnosis fraktur atau gangguan pada tulang yang disebabkan oleh
trauma , pertama tama dapat dilakukan anamnesis baik dari pasien maupun pengantar
pasien. Informasi yang digali adalah mekanisme cedera, apakah pasien mengalami cedera
atau fraktur sebelumnya. Pasien dengan fraktur tibia mungkin akan mengeluh rasa sakit,
bengkak dan ketidakmampuan untuk berjalan atau bergerak, sedangkan pada fraktur
fibula pasien kemungkinan mengeluhkan hal yang sama kecuali pasien mungkin masih
mampu bergerak. Selain anamnesis, pemeriksaan fisik juga tidak kalah pentingnya.
Pemeriksaan fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu look, feel,
move. Yang pertama look atau inspeksi di mana kita memperhatikan penampakan dari
cedera, apakah ada fraktur terbuka (tulang terlihat kontak dengan udara luar). Apakah
terlihat deformitas dari ekstremitas tubuh, hematoma, pembengkakan dan lain-lain. Hal
kedua yang harus diperhatikan adalah feel atau palpasi. Kita harus mempalpasi seluruh
ekstremitis dari proksimal hingga distal termasuk sendi di proksimal maupun distal dari
cedera untuk menilai area rasa sakit, efusi, maupun krepitasi. Seringkali akan ditemukan
cedera lain yang terjadi bersamaan dengan cedera utama. Poin ketiga yang harus dinilai
adalah move. Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM (Range of Motion) 7 .
Seringkali pemeriksaan ROM tidak bisa dilakukan karena rasa sakit yang dirasakan oleh
pasien tetapi hal ini harus tetap didokumentasikan8 . Pemeriksaan ekstrimitas juga harus
melingkupi vaskularitas dari ekstrimitas termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut
nadi, capillary return (normalnya < 3 detik) dan pulse oximetry. Pemeriksaan neurologi
yang detail juga harus mendokumentasikan fungsi sensoris dan motoris. Tegantung dari
kondisi pasien, pemeriksaan foto thorax dapat dilakukan. Dalam pemeriksaaan radiologi
untuk cedera dan fraktur diberlakukan rule of two yaitu : a. Dua sudut pandang b. Dua
Sendi c. Dua ekstrimitas d. Dua waktu (Saputra, 2018).

Sumber :

Saputra, G., M., L., A., Wiratnaya, I., G., E. 2018. Prevalensi Fraktur Terbuka
Ekstremitas Bawah Grade III Di RSUP Sanglah Denpasar Periode Bulan Januari - Juli
Tahun 2014. E-Journal Medika Udayana. Vol. 7(5): 195. Viewed on 1 September 2021.
From: ojs.unud.ac.id

7. Pemeriksaan fisik pada penegakan diagnosis musculoskeletal


Pada pemeriksaan fisik musculoskeletal didapatkan data inspeksi adanya
pembengkakan pada ekstremitas bawah bagian kiri, mobilitas dibantu sebagian akibat
kelemahan otot dan saat di inspeksi adanya nyeri tekan pada sendi atau tulang akibat
cedera pada jaringan lunak, dan terdapat krepitasi dibagian pinggul. Hal ini sesuai dengan
teori yang yang menguraikan bahwa pada pasien fraktur terdapat nyeri tekan dan
ditemukan krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya dan proses
penuaan pada klien. Pada pemeriksaan fisik musculoskeletal didapatkan data inspeksi
adanya pembengkakan dan terlihat kemerahan pada ekstremitas bawah bagian kanan,
mobilitas dibantu sebagian akibat kelemahan otot dan palpasi adanya nyeri tekan pada
sendi akibat cedera pada jaringan lunak. Hal ini sesuai dengan teori yang menjelaskan
bahwa adanya pembengkakan, kerusakan yang terjadi pada otot atau tendon karena
peregangan yang berlebihan (Susihar, 2019).

Sumber :
Susihar., Trisnawati, L., Setiawati, G. 2019. Penerapan Terapi Musik Klasik Terhadap
Penurunan Rasa Nyeri Pada Pasien Fraktur Di Rsud Koja Jakarta Utara. Jurnal
Akademi Keperawatan Husada Karya Jaya. Vol. 5(1): 41. Viewed on 1 September 2021.
From: husadakaryajaya.ac.id
8. Mencari tahu mengenai vulnus eskoriatum, edema, dan deformitas

Vulnus Eskoriatum adalah jenis luka lecet yang menegani permukaan epidermis
sampai dengan kedalaman papilla dermis dan memiliki dimensi yang besar (Okta,2021)

defromitas adalah ketidaksejajaran formasi tulang (Loss of alignment) dapat


terjadi akibat trauma atau tulang panjang mengalami torsional atau angulasi
(Helmi,2013)

Edema adalah bengkak yang mana merupakan respon tubuh secara umum jika
mengalami cedera atau peradangan, dimana semua bagian tubuh dapat mengalami
bengkak, salah satunya bagian kaki. Kaki bengkak terjadi karena penumpukan cairan atau
darah akibat pelebaran pembuluh darah, keluarnya cairan dari pembuluh darah atau
penyumbatan pada pembuluh darah yang disebabkan berbagai penyakit. Penanganan
gejala kaki bengkak dibutuhkan seorang ahli bidang kesehatan (Prabowo,2017)
Sumber :

Prabowo,Yurian.2017.Implementasi Sistem Pakar untuk Diagnosis Penyakit dengan


Gejala Awal Kaki Bengkak.Jurnal Kesehatan.Vol.3(3).Viewed in 1 September
2021.From: https://journal.maranatha.edu/index.php/jutisi/article/view/686

Okta,Azril.2021.Kompetensi Bedah untuk Dokter Umum.Airlangga University


Press.Cetakan Pertama

Helmi,Zairin.2013.Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal.Salemba Medika:Edisi 2


9. Mencari tahu apa saja pemeriksaan ROM
Tes ROM (Range Of Motion) aktif menggunakan goniometer manual bahkan oleh
pemeriksa yang tidak terampil menunjukkan keandalan tes-tes ulang yang sangat tinggi.
Ketika penguji mengetahui metode tes, penilaian objektif dapat dilakukan. Keterbatasan
penelitian ini adalah bahwa pengukuran dilakukan hanya untuk sendi bahu dan pinggul,
dan sendi lainnya harus dinilai dalam penelitian selanjutnya. (Gil,2016)

Pemeriksaan fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu look,
feel, move. Yang pertama look atau inspeksi di mana kita memperhatikan penampakan
dari cedera, apakah ada fraktur terbuka (tulang terlihat kontak dengan udara luar).
Apakah terlihat deformitas dari ekstremitas tubuh, hematoma, pembengkakan dan lain-
lain. Hal kedua yang harus diperhatikan adalah feel atau palpasi. Kita harus mempalpasi
seluruh ekstremitis dari proksimal hingga distal termasuk sendi di proksimal maupun
distal dari cedera untuk menilai area rasa sakit, efusi, maupun krepitasi. Seringkali akan
ditemukan cedera lain yang terjadi bersamaan dengan cedera utama. Poin ketiga yang
harus dinilai adalah move. Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM (Range of
Motion) 7 . Seringkali pemeriksaan ROM tidak bisa dilakukan karena rasa sakit yang
dirasakan oleh pasien tetapi hal ini harus tetap didokumentasikan (Saputra, 2018).

Sumber :
Seonggil,Kim.2016.Test-retest reliability of an active range of motion test for the
shoulder and hip joints by unskilled examiners using a manual goniometer.Journal Phys
Ther Sci.Vol.28(3):722-724.Viewed In 1 September 2021.From:ncbi.nlm.nih.gov

Saputra, G., M., L., A., Wiratnaya, I., G., E. 2018. Prevalensi Fraktur Terbuka
Ekstremitas Bawah Grade III Di RSUP Sanglah Denpasar Periode Bulan Januari - Juli
Tahun 2014. E-Journal Medika Udayana. Vol. 7(5): 195. Viewed on 1 September 2021.
From: ojs.unud.ac.id
10. Tata laksana awal, tata laksana definitive dan rehabilitasi
Tata laksana awal pada pasien yang mengalami fraktur atau patah tulang adalah
survei primer yang memouni.Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk
mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi
maupun fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer yang meliputi Airway,
Breathing, Circulation, (2)meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah cedera iskemia-reperfusi,
(4) menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi. Ketika semua hal
diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan reposisi sehingga dapat
mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses persambungan tulang dan meminimilisasi
komplikasi lebih lanjut. Adanya pengecekan dengan prinsip ABCDE

A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan
nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau
fraktus di bagian wajah dan pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8
biasanya memerlukan pemasangan airway definitive

B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus menjamin ventilasi
yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru yang baik, dinding dada dan
diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang
signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan
reservoir bag.

C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di sini adalah
volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering menjadi permasalahan
utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah tulang femur dapat
menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III.
Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan penekanan langsung dan
meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh.
D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat terhadap
keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.

E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara


menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka, penting
bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.

Tingkat Tata Laksana Rehabilitasi :


Penaganan rehabilitasi pada tiap kasus trauma tulang dapat berbeda, untuk cedera sprain
pergelangan kaki dapat menajalankan tatalaksana rehabilitasi seperti :
1. Medikamentosa Nonsteroidal anti-inflammatory drugs. Pemberian dapat secara per oral
atau sediaan topikal. Pemberian sediaan ini bertujuan untuk mengurangi nyeri dan bengkak
yang terjadi serta membantu dalam memperbaiki fungsi jangka pendek setelah cedera sprain
pergelangan kaki.
2. Dalam tata laksana cedera sprain pergelangan kaki derajat 1 atau 2, penerapan rehabilitasi
fungsional akan memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan immobilisasi.
3. Latihan keseimbangan sebaiknya dimasukkan dalam program rehabilitasi dan manajemen
lebih lanjut untuk mengurangi angka kejadian cedera kembali pada cedera sprain
pergelangan kaki.
Standar awal penatalaksanaan cedera sprain pergelangan kaki adalah dengan melakukan
rehabilitasi fungsional. Program tersebut meliputi stabilisasi pergelangan kaki (bisa dengan
penggunaan brace, taping, dan lain-lain) yang dikombinasikan dengan latihan weight-bearing
secara progresif. Dari berbagai penelitian penerapan latihan weight-bearing progresif ini
memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan immobilisasi dalam hal
pengurangan rasa nyeri dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kembali aktivitas
sehari-hari . (Wiharja, 2018)
Sumber :
Wiharja.Alvin.,Nilawati,Sri.2018.Terapi latihan fisik sebagai tata laksana cedera Sprain
pergelangan kaki berulang: laporan kasus.Jurnal Olahraga Prestasi Fk UI.Vol.14(2).Viewed
in 1 September 2021.
From:https://journal.uny.ac.id/index.php/jorpres/article/download/23824/11814

11. Menjelaskan terkait pemeriksaan penunjang mengenai trauma pada


musculoskeletal

Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan yang mendukung pemeriksaan utama


dalam hal ini seperti pemeriksaan radiologi dan laboratorium. Pemeriksaan radiologi
adalah cara-cara pemeriksaan yang menghasilkan gambar bagian dalam tubuh
manusia untuk tujuan diagnostik yang dinamakan pencitraan diagnostic. Tugas
pokok radiologi adalah untuk menghasilkan gambar dan laporan temuan pemeriksaan
untuk keperluan diagnosis, yang bersama-sama dengan teknik dan temuan diagnostik
lainnya akan menjadi dasar tindakan perawatan pasien. Pemeriksaan radiologi
dimulai dengan pemeriksaan foto rontgen, pemeriksaan flouroskopi, pemeriksaan USG,
pemeriksaan CT scan, pemeriksaan MRI, dan pemeriksaan kedokteran nuklir.
Pemeriksaan laboratorium adalah, suatu tindakan dan prosedur pemeriksaan
khusus dengan mengambil bahan atau sampel dari pasien dalam bentuk darah,
sputum (dahak), urine (air kencing/air seni), kerokan kulit, dan cairan tubuh lainnya
dengan tujuan untuk menentukan diagnosis atau membantu menegakkan diagnosis
penyakit. Tujuannya Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk calon TKI di
klinik kami untuk beberapa tujuan seperti : untuk mendeteksi penyakit,
menentukan resiko, memantau perkembangan penyakit, memantau perkembangan
pengobatan, dan lain-lain. (Masbullah, 2020).
Sumber :

Masbullah., Bahri, S., Y. 2020. Manajemen Pemeriksaan Pelayanan Kesehatan Calon


Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) Di Klinik Utama Gora Mataram. Jurnal Mentari
Publika. Vol. 1(2): 7. Viewed on 1 September 2021. From:
ejournal.stiamuhammadiyahselong.ac.id
12. System rujukan dari pasien musculoskeletal
Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai
dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, peserta BPJS
kesehatan dapat berobat ke fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik, atau
dokter keluarga yang tercantum pada kartu peserta BPJS kesehatan. Apabila memerlukan
pelayanan lanjutan oleh dokter spesialis, maka peserta BPJS kesehatan dapat dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat kedua atau fasilitas kesehatan sekunder. Rujukan ini hanya
diberikan jika peserta BPJS kesehatan membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik,
atau jika fasilitas kesehatan primer yang ditunjuk untuk melayani peserta tersebut, tidak
dapat memberikan pelayanan kesehatan karena keterbatasan fasilitas, pelayanan, dan atau
tenaga medis. Jika peserta masih belum dapat tertangani di fasilitas kesehatan sekunder,
maka dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier untuk ditangani oleh dokter sub-spesialis
yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub-spesialistik.
Maka pada kasus pasien yang mengalami gangguan muskuloskeletal, rujukan awal ketika
pasien tidak mengalami trauma darurat dapat dirujuk ke puskesmas dan akan
dialokasikan secara bertahap ke dokter spesialis ortopedi. Adapun rujukan yakni ke Poli
Ortopedi di bagian rumah sakit yang aktif beroperasi (Umami,2017)

Sumber :
Umami,Lidia.,Et al. 2017.Analisis pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat Pertama peserta
bpjs kesehatan di puskesmas.Jurnal Kedokteran Diponegoro.Vol.6(2).Viewed In 1 Septe,ber
2021.From:http://ejournal-s1.undip.ac.id/
13. Proses penyembuhan tulang

Fraktur adalah gangguan pada kontinuitas struktural korteks tulang, dengan tingkat
cedera pada jaringan lunak di sekitarnya. Setelah fraktur, penyembuhan sekunder
dimulai, yang terdiri dari empat langkah:

Pembentukan hematom
Pembentukan kalus fibrokartilaginosa
Pembentukan kalus bertulang
Remodeling tulang

Penyembuhan yang gagal atau tertunda dapat mempengaruhi hingga 10% dari semua
fraktur dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti kominusi, infeksi, tumor, dan
gangguan suplai vaskular.
Mekanisme penyembuhan patah tulang adalah proses yang rumit dan lancar. Proses ini
dapat dipecah menjadi empat tahap. Namun, tahapan ini memiliki tumpang tindih yang
cukup besar.

-Pembentukan Hematoma (Hari 1 sampai 5)

Tahap ini dimulai segera setelah fraktur. Pembuluh darah yang mensuplai tulang dan
periosteum pecah selama fraktur, menyebabkan hematoma terbentuk di sekitar lokasi
fraktur. Hematoma menggumpal dan membentuk kerangka sementara untuk
penyembuhan selanjutnya
-Pembentukan Kalus Fibrocartilaginous (Hari ke 5 sampai 11)

Pelepasan VEGF menyebabkan angiogenesis di lokasi tersebut, dan di dalam hematoma,


jaringan granulasi yang kaya akan fibrin mulai berkembang. Sel punca mesenkim
selanjutnya direkrut ke area tersebut dan mulai berdiferensiasi (didorong oleh BMP)
menjadi fibroblas, kondroblas, dan osteoblas. Akibatnya, kondrogenesis mulai terjadi,
meletakkan jaringan fibrokartilaginosa kaya kolagen yang membentang di ujung fraktur,
dengan lengan tulang rawan hialin di sekitarnya. Pada saat yang sama, berdekatan dengan
lapisan periosteal, lapisan anyaman tulang diletakkan oleh sel-sel osteoprogenitor.

-Pembentukan Kalus Tulang (Hari ke 11 sampai 28)

Kalus tulang rawan mulai mengalami osifikasi endokondral. RANK-L diekspresikan,


merangsang diferensiasi lebih lanjut dari kondroblas, kondroklas, osteoblas, dan
osteoklas. Akibatnya, kalus tulang rawan diserap dan mulai mengapur. Secara
subperiosteal, anyaman tulang terus diletakkan. Pembuluh darah yang baru terbentuk
terus berproliferasi, memungkinkan migrasi sel punca mesenkim lebih lanjut. Pada akhir
fase ini, kalus yang keras dan terkalsifikasi dari tulang yang belum matang terbentuk.

-Remodeling Tulang (Hari ke 18 dan seterusnya, berlangsung berbulan-bulan hingga


bertahun-tahun)

Dengan berlanjutnya migrasi osteoblas dan osteoklas, kalus keras mengalami remodeling
berulang - disebut 'remodeling berpasangan.' 'Remodelling berpasangan' ini adalah
keseimbangan resorpsi oleh osteoklas dan pembentukan tulang baru oleh osteoblas.
Bagian tengah kalus akhirnya digantikan oleh tulang kompak, sedangkan tepi kalus
digantikan oleh tulang pipih. Remodeling substansial dari pembuluh darah terjadi
bersamaan dengan perubahan ini. Proses remodeling tulang berlangsung selama
berbulan-bulan, yang pada akhirnya menghasilkan regenerasi struktur tulang yang normal
Sumber :

Sheen,Jonathon.,Garla,Vishnu.2021.Fracture Healing Overview.Treasure Island (FL): StatPearls


Publishing

14. Dasar diagnosis


Pasien sadar sepenuhnya dengan nilai GCS 14, dapat menjawab dan merespon
pertanyaan yang diberikan. respon mata dan ukuran diamter tiap pupil normal, tidak ada
gangguan aliran nafas, namun merasakan nyeri. tekanan darah normal karena berada di
kisaran 90/60-120/80 mmHg.Suhu tubuh basal normal namun terdapat edema,vulnus
ekskoriatum, dan tampak deformitas.

Pasien dapat diduga mengalami Dislokasi Hip dikarenakan memiliki gejala seperti:
nyeri,deformitas pada persendian,gangguan pergerakan,dan terjadi pembengkakan. Pasein
juga mengalami luka lecet yakni tepatnya Vulnus Excoriasi dimana luka ini terjadi karena
gesekan dengan benda keras, seperti pada batu yang telah dituturkan oleh pasien saat
anamnesis oleh dokter IGD, luka ini berdimensi panjang dan lebar namun tiudak ada
kedalaman. (Helmi,,2013)

Sumber :

Helmi,Zairin.2013.Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal.Salemba Medika:Edisi 2

15. Komplikasi pada trauma musculoskeletal


Komplikasi pada trauma ganggau mukuloskeletal sangat mudah terjadi apabila
adanya kesalahan atau penundaan perawatan.semisal kita mengambil kasus trauma pada
pelvis yang akan mengakibatkan komplikasi segera dan lanjut seperti : thrombosis vena
ilio-femoral,robekan kandung kemih,trauma pembuluh darah besar,dan lainnya.
(Helmi,2013)

Sumber :
Helmi,Zairin.2013.Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal.Salemba Medika:Edisi 2

16. Prognosis pada trauma musculoskeletal

Prognosis pada kasus trauma sistem musculoskeletal harus dilalui dengan proses
anamnesis yang dilakukan oleh dokter umum IGD lalu selanjutnya dilakukan oleh dokter
sepsialis ortopedi. Keluhan utama pasien pada umunya adalah nyeri akibat trauma baik pada
otot, sendi, maupun tulang. Lalu, diperhatikan pula ada tidaknya deformitas,kekakuan pada
sendi,dan ada tidaknya pembengkakan. Dilakukan pula pengkajian fisik musculoskeletal atau
diketahui pasti status lokalis dari bagian yang menjadi fokus keluhan oleh pasien
(Helmi,2013).

Sumber :
Helmi,Zairin.2013.Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal.Salemba Medika:Edisi 2

Anda mungkin juga menyukai