(BLOK 5)
SEMARANG
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
atau kenyamanan mengunyah atau estetik. Apabila peningkatan mobilitas terjadi
karena kombinasi pelebaran ligamen periodontal dan reduksi dari tinggi jaringan
pendukung periodontal (tanpa penyakit periodontal aktif), penyesuaian oklusal
mungkin cukup sesuai untuk mereduksi mobilitas hingga diperoleh derajat yang
diinginkan. Walaupun demikian, splint dipertimbangkan jika kenyamanan
pengunyahan pasien masih terganggu (Kathariya dkk., 2016).
Salah satu teknik splint yang digunakan adalah splinting yang diperkuat.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanam wire, pin, nilon, kerangka
stainless steel, dsb, dengan restorasi resin. Masalah yang timbul dari penggunaan
bahan tersebut adalah ketidakmampuan secara kimia untuk menyatu dengan
komposit. Hal ini untuk mengembangkan bahan yang sesuai agar dapat mengatasi
kekurangan dari bahan sebelumnya. Suatu tantangan untuk menempatkan suatu
splint berbahan dasar komposit yang tipis namun kuat harus memiliki kekuatan
yang tinggi, dapat diikat (bondable), biokompatibel, estetik serta mudah
dimanipulasi dalam hal warna alami dari fiber sehingga dapat dipendam dalam
struktur resin (Kathariya dkk., 2016).
Bahan baru komposit fiber-reinforced Ribbond merupakan bahan yang
dasarnya reinforced ribbon dan terbuat dari fiber polietilen molekul ultrahigh
yang memiliki modulus ultrahigh. Ribbond muncul sebagai bahan yang cukup
memadai dengan metode yang mudah untuk splinting gigi. Selain digunakan
sebagai splinting, fiber ribbon dapat digunakan dalam berbagai jenis kasus klinik
dalam kedokteran gigi seperti pembuatan post dan core endodontik, space
maintainer, pembuatan bridge, retainer ortodontik, serta pembuatan gigi tiruan.
Berbagai keuntungan dari bahan ini adalah meliputi mudah beradaptasi dengan
kontur gigi dan mudah dimanipulasi selama proses bonding (Kathariya dkk.,
2016).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
A. Pengertian mobiliti gigi
4
sekitar gigi. Pada keadaan ini juga terjadi poket infraboni dan kehilangan
tulang angular sehingga meningkatnya mobilitas gigi akibat berkurangnya
tulang alveolar pendukung gigi juga tidak dapat dihindari (Paddmanabhan
dkk., 2012).
Trauma karena oklusi diartikan sebagai trauma terhadap
periodonsium karena tekanan fungsional ataupun parafungsional yang
menyebabkan kerusakan terhadap perlekatan pada peridonsium karena
melebihi kapasitas adaptif dan reparatifnya. Lesi yang terjadi akibat
trauma karena oklusi terjadi bersamaan dengan atau pada periodonsium
yang mengalami inflamasi. Trauma oklusi yang berlebih ketika
dikombinasikan dengan periodontitis akan mempercepat kehilangan
perlekatan. Namun pada keadaan tanpa inflamasi, tekanan berlebih juga
akan meningkatkan kehilangan tulang dan mobiliti pada gigi
(Paddmanabhan dkk., 2012).
Secara umum dikenal dua bentuk trauma karena oklusi
(Paddmanabhan et al, 2012):
a. Trauma oklusi karena oklusi primer
Diartikan sebagai cedera atau kerusakan akibat dari tekanan oklusal
yang berlebihan yang diterima pada gigi dengan dukungan
periodonsium yang sehat dan normal.
b. Trauma karena oklusi sekunder
Diartikan sebagai cedera atau kerusakan akibat dari tekanan oklusal
yang normal yang diterima pada gigi dengan dukungan periodonsium
yang inadekuat atau lemah.
5
Kelas 1 : Mobilitas gigi lebih besar dari gerakan fisiologis
Kelas 2 : Gigi dapat bergerak sampai 1 mm atau lebih dalam arah lateral
(bukolingual atau mesiodistal), belum bisa digerakan pada arah
vertikal (apicocoronal)
Kelas 3 : Gigi dapat bergerak sampai 1 mm atau lebih dalam arah lateral
(bukolingual atau mesiodistal), dapat digerakan pada arah
vertikal (apicocoronal).
2.) Menurut Indeks Glickmana (1972)
Grade 0 : Mobilitas normal
Grade I : Lebih tinggi dari normal
Grade II : Sedang dari normal
Grade III : Mobilitas gigi parah, mesiodistal yang dikombinasi
dengan gerakan arah vertikal.
3.) Menurut Lindhe (1997)
Drajat 1 : pergerakan mahkota 0,2-1 mm dalam arah horizontal
Drajat 2 : pergerakan mahkota gigi lebih dari 1 mm dalam arah
horizontal
Derajat 3 : pergerakanmah kota gigi arah vertikal
6
1. Splint harus melibatkan gigi yang stabil sebanyak mungkin untuk
mengurangi beban tambahan yang mengenai gigi-gigi individual
seminimal mungkin.
2. Splint harus dapat menahan gigi dengan kuat dan tidak memberi stress
torsional pada gigi yang dipegangnya.
3. Splint harus diperluas ke sekitar lengkung rahang, sehingga tekanan
anteroposterior dan tekanan fasiolingual yang terjadi dapat saling
dinetralkan.
4. Splint tidak boleh mengahalangi oklusi. Bila mungkin,
ketidakharmonisan oklusi yang menyeluruh harus diperbaiki terlebih
dahulu sebelum pemasangan splintt.
5. Splint tidak boleh mengiritasi pulpa
6. Splint tidak boleh mengiritasi jaringan lunak, gingival, pipi, bibir dan
lidah.
7. Splint harus didesain sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah
dibersihkan.
8. Daerah embrasure interdental tidak boleh tertutup splint.
Splint periodontal dibedakan dalam beberapa macam tergantung dari waktu
dan bentuk pemakaiannya. Berdasarkan waktu pemakaian, splintt periodontal
dapat bersifat temporer (sementra), semi permanen dan permanen (tetap).
Bentuk splint dapat berupa splint cekat dan lepasan, dapat diletakkan ekstraoral
maupun intrakoronal. Perawatan menggunakan metode splinting dapat
diaplikasikan dengan pemakaian bonded eksternal, intrakoronal, atau secara
tidak langsung dengan menggunakan restorasi logam yang menghubungkan gigi
secara bersama-sama untuk mencapai kestabilan gigi (Paddmanabhan dkk.,
2012).
Adanya faktor estetik, serat kawat (wire ligature) sebagai splint sementara
cekat sudah jarang digunakan. Sebagai gantinya bahan komposit dengan
etching. Akrilik bening juga dapat digunakan untuk splinting sementara lepasan
(Paddmanabhan dkk., 2012).
7
serta memperoleh kenyamanan dalam pengunyahan. Untuk itu dilakukan
beberapa perawatan berikut (Paddmanabhan dkk., 2012) :
Penyingkiran faktor inflamasi
Scaling dan rootplaning
Splinting
E. Pengertian Splint
Splint merupakan suatu piranti yang digunakan untuk menstabilkan gigi
yang goyang karena trauma atau karena suatu penyakit. Splint dilakukan
sebagai perawatan pertama atau inisiasi dalam perawatan periodontal
(Paddmanabhan dkk., 2012).
Secara umum indikasi dilakukan splinting adalah (Paddmanabhan dkk.,
2012) :
1. Trauma karena oklusi primer
2. Trauma karena oklusi sekunder
3. Mobiliti progresif, migrasi gigi dan nyeri ketika berfungsi
4. Jaringan yang sehat sekurang kurangnya 1/3 akar
8
terapi periodontal dan kesembuhannya sudah sempurna serta harus
memperhatikan intonasi pasien. Tujuan utamanya adalah memperoleh
fungsi kunyah yang lebih efektif, dalam hal ini tidak harus mengganti
seluruh gigi geligi (Kini dkk., 2011).
Splint permanen dapat berupa splint lepasan eksternal atau splint cekat
internal. Splint permanen lepasan eksternal ini desainnya merupakan bagian
dari gigi tiruan kerangka logam. Splint lepasan tidak boleh digunakan pada
gigi-gigi goyang yang mempunyai tendensi untuk bermigrasi, apalagi splint
tersebut hanya digunakan pada malam hari. Pemakaian splint permanen
lepasan pada keadaan tidak bergigi dapat dikombinasikan dengan gigi
tiruan (Kini dkk., 2011).
Splint permenen cekat internal merupakan splint yang paling efektif dan
tahan lama. Splint ini merupakan penggambungan dari restorasi yang
membentuk satu kesatuan rigid dan direkatkan dengan penyemanan, jumlah
gigi yang diperlukan untuk menstabilkan gigi goyang tergantung pada
derajat kegoyangan dan arah kegoyangan. Jumlah gigi tidak goyang yang
diikutsertkan dalam splinting, tergantung pada masing-masing konsisi
penderita. Bila terdapat kegoyangan lebih dari satu gigi dapat digunakan
beberapa gigi untuk stabilisasi (Kini dkk., 2011).
b. Splint Periodontal Semi Permanen
Indikasi splint semi permanen adalah untuk kegoyangan gigi yang
sanngat berat yang mengganggu pengunyahan dan dipergunakan sebelum
dan selama terapi periodontal. Kadang-kadang alat retensi ortodonsi juga
dapat dianggap sebagai splint semi permanen. Untuk gigi-gigi anterior,
bahan yang sering digunakan pada splint semi permanen cekat adalah
kompist resisn (light cure). Pada gigi –gigi posterior, splint semi permanen
ditujukan untuk gigi-gigi goyang berat yang harus menerima beban kunyah.
Splint ini digunakan sebelum, selama dan sesudah terapi periodontal karena
prognosisnya belum pasti (Kini dkk., 2011).
c. Splint Periodontal Sementara
Peran splint sementara adalah untuk mengurangi trauma pada waktu
perawatan. Splint periodontal digunakan untuk: (1) menentukan seberapa
besar peningkatan kegoyangan gigi terhadap respon perawatan, (2)
9
menstabilisasi gigi selama scalling dan root planing, oklusal adjustment,
dan bedah periodontal, (3) menjadi penyangga pada kasus pergerakan gigi
minor, (4) memberikan stabilisasi pada jangka waktu lama untuk yang
hilang di saat kegoyangan gigi meningkat atau goyang pada saat melakukan
pengunyahan dan (5) digunakan pada gigi yang goyang karena trauma
(Kini dkk., 2011).
Glass fiber reinforced composite adalah salah satu material splinting yang
merupakan kombinasi dari glass fiber dan matriks resin, yang saat ini telah
digunakan di dunia kedokteran gigi.
10
Gambar 1. everStick® PERIO; Glass Fiber Reinforced Composite Splint
Struktur utama penyusun glass fiber reinforced composite splint ini terdiri
dari matriks dan glass fiber (Gambar 2).
Matriksnya terdiri dari monomer yang terpolimerisasi, yang berfungsi
untuk mengikat fiber-fiber di dalam struktur komposit. Matriks ini juga berfungsi
untuk mentransfer tegangan antara fiber-fiber dan melindungi fiber dari
lingkungan luar seperti bahan kimia, kelembaban dan guncangan mekanik.
Matriks dapat mempengaruhi compressive strength, interlaminar shear, interaksi
antara matriks dan fiber, serta kegagalan pada komposit. Dua jenis matriks resin
(yang silang-menyilang ataupun linear) digunakan dalam Glass Fiber Reinforced
Composite Splint ini. Polimer yang silang-menyilang disebut juga polimer
termoset (dimetakrilat). Sedangkan polimer linear disebut juga polimer
termoplastik (metakrilat) (Zhang dkk., 2012).
Sedangkan glass fiber merupakan helai tipis berbasis silika (SiO 2) dengan
diameter yang sangat kecil. Pada hasil scanning mikrograf elektron (perbesaran
30x), everStick® PERIO menunjukkan glass fiber dengan orientasi unidireksional
(searah) (Gambar 3). Glass fiber yang umum digunakan dalam Glass Fiber
Reinforced Composite Splint ini adalah E-glass fiber dan S-glass fiber. E-glass
fiber terdiri dari sekitar 54,5% SiO2, 14,5% Al2O3, 17% CaO, 4,5% MgO, 8,5%
B2O3, 0,5% Na2O. Sedangkan S-glass fiber terdiri dari 64% SiO 2, 26% Al2O3, 10%
MgO. Berbagai jenis glass fiber tertera pada Tabel 1 (Zhang dkk., 2012).
11
Gambar 2. Tampak potongan melintang dari everStick® PERIO; glass fiber yang
terdistribusi di dalam matriks PMMA dan bis-GMA
12
E-glass fiber ("E" singkatan dari “elektrik”) merupakan fiber yang terbuat
dari kaca aluminoborosilikat dengan berat kurang dari 1% alkali oksida (Malllick
dkk., 2008). Elemen-elemen lainnya juga ada pada tingkat yang rendah. Beberapa
keuntungan dan kerugian dari E-glass fiber tercantum dalam Tabel 2.
13
Adhesi antara matriks dan fiber dapat terjadi karena adanya silane. Silane
adalah senyawa kimia organik-anorganik, dimana karbon secara langsung terikat
pada silikon, misalnya ≡ Si - C ≡. Senyawa ini adalah ester silikon dan digunakan
sebagai coupling agent (Zhang dkk., 2012).
14
Penelitian lain juga melaporkan bahwa flexural strength FRCs berubah
dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Demikian pula, shear bond strength
terhadap email dari FRCs terbukti berubah dengan bertambahnya waktu
penyimpanan (Tezvergil dkk., 2003).
15
6-7. Posisikan dan light-cure fiber
Lepaskan kertas pelindung dan ambil fiber menggunakan pinset. Posisikan
fiber di atas flowable composite dengan tujuan agar fiber berada sedekat mungkin
dengan insisal di daerah anterior. Pastikan bahwa fiber tidak berada pada daerah
oklusi. Posisikan salah satu ujung bundel fiber dahulu dengan menekan ke bawah
menggunakan instrumen Stick Stepper (sterilkan instrumen sebelum digunakan).
Light-curing fiber pada masing-masing gigi selama lima detik. Tekan juga fiber ke
dalam ruang aproksimal.
8. Penutupan dan penyelesaian splint
Tutupi seluruh fiber splint dengan selapis tipis komposit (0,5 mm).
Kemudian light curing selama 40 detik. Hati-hati jangan sampai fiber terpotong
ketika finishing/polishing splint.
16
Langkah selanjutnya yang dilakukan sama dengan tahapan-tahapan saat aplikasi
surface retained splint (Tezvergil dkk., 2003).
BAB III
17
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
1. Nama : Sukarlan
2. No. Rekam Medis : 17596
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Tempat,Tanggal Lahir : Semarang, 27 Juli 1957
5. Alamat : Genuksari, Semarang
6. Kewarganegaran : Indonesia
7. Pekerjaan : Wiraswasta
B. Informasi Medis
1. Golongan darah :-
2. Penyakit gastrointestinal : d.t.a.k
3. Penyakit jantung : d.t.a.k
4. Penyakit diabetes : d.t.a.k
5. Haemofilia : d.t.a.k
6. Hepatitis : d.t.a.k
7. Penyakit lainnya : d.t.a.k
8. Alergi terhadap obat : Tidak ada
9. Alergi terhadap makanan : Tidak ada
C. Pemeriksaan Subjektif
1. Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan gigi depan bawahnya goyang sudah
beberapa bulan yang lalu.
2. Anamnesa
Pasien laki-laki usia 61 tahun datang ke RSIGM Sultan Agung
Semarang dengan keluhan gigi depan bawahnya terasa goyang
beberapa bulan yang lalu. Gigi goyang sudah pernah dilakukan
pembersihan karang gigi dan tindakan splinting 2 kali, akan tetapi
lepas setelah beberapa minggu di aplikasikan. Dua minggu terakhir
18
pasien mengeluhkan gigi depannya lepas tanpa sebab apapun. Pasien
tidak merasakan sakit pada gigi tersebut. Pasien mengeluhkan
terkadang berdarah saat menggosok gigi. Tidak ditemukan kelainan
sistemik lainnya. Dari riwayat keluarga tidak ada kelainan sistemik
apapun.
D. Pemeriksaan Objektif
General
Jasmani : Sehat (Baik)
Rohani : Komunikatif dan kooperatif
Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah : 111/78 mm/hg Nadi : 78 x/menit
Berat badan : 60 kg Respiration rate : 18 x/menit
Temperatur : tdl Tinggi badan : 165 cm
19
- Terdapat edentulous ridge gigi 31
- Pada gigi 32 : terdapat resesi dan abrasi
CE (+), Perkusi (-), Palpasi (-), Mobilitas (derajat 1)
- Pada gigi 33 : terdapat abrasi
CE (+), Perkusi (-), Palpasi (-), Mobilitas (-)
- Pada gigi 34 : CE (+), Perkusi (-), Palpasi (-), Mobilitas (-)
- Pada gigi 41 : terdapat resesi
CE (+), Perkusi (-), Palpasi (-), Mobilitas (derajat 2)
- Pada gigi 42 : terdapat resesi
CE (+), Perkusi (-), Palpasi (-), Mobilitas (derajat 1)
- Pada gigi 43 : terdapat resesi
CE (+), Perkusi (-), Palpasi (-), Mobilitas (-)
- Pada gigi 44 : terdapat resesi
CE (+), Perkusi (-), Palpasi (-), Mobilitas (-)
Foto Rontgen
20
DIAGNOSIS
Periodontitis kronis et causa calculus
RENCANA PERAWATAN
Kunjungan I
1. Scalling dan rootplaning
Kunjungan II
1. Kontrol scaling dan rootplaning, membersihkan gigi dengan brush
dan pumice
Kunjungan III
1. Seluruh permukaan labial dan lingual dibersihkan dengan pumice
dan low speed hand-piece 3000 rpm.
2. Seluruh pengerjaan splint menggunakan rubber dam
3. Menggunakan wedges pada interdental untuk mengkontrol aliran
adhesive resin atau resin komposit .
4. Untuk stabilisasi dan mencegah displacement of splint semua gigi
yang goyah direkatkan sementara pada bagian labial menggunakan
sedikit RK tanpa di etsa (Gradia direct) dan di light cure
(Dementron LC, light intensity ; 600mW/cm2) selama 10 detik.
5. Bagian lingual yang akan di splint diaplikasi etsa 37% selama 10
detik, bilas dan keringkan.
6. One component self-etching adhesive (bonding) diaplikasikasikan
dengan mikrobrush, kering dengan udara perlahan dan
photopolimerized selama 20 detik.
7. Aplikasikan lapisan Resin Komposit tipis tanda dipolimerisasi.
8. Aplikasikan FRC yang telah disesuaikan panjangnya dengan gigi,
tekan perlahan pada tiap gigi. Polimerisasi selama 20 detik tiap
21
segmen.
9. Lapisan kedua diaplikasikan diatas Resin Komposit dan tiap
segment di Ligth Cure selama 40 detik.
10. Lepas rubber-dam dan cek oklusi. Buang exessive resin dengan
25µm grain siza composite finishing bur
11. Polishing dengan menggunakan hand-piece 3000rpm. Jangan
sampai mengekspose fiber.
12. Pasien diberi edukasi menjaga OH, komplikasi dan instruksi untuk
kontrol.
Kunjungan IV
Kontrol
BAB V
PROGNOSA
22
3. Tulang alveolar masih cukup untuk mendukung gigi yang di splinting
4. Tidak memiliki kebiasaan buruk
5. Pasien kooperatif dan komunikatif
LEMBAR PENGESAHAN
CASE RECORD
SPLINTING
BLOK 5
Disusun oleh
31101300347
23
Telah disetujui oleh:
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdulmajeed AA, Narhi TO, Vallittu PK, Lassila LV. 2011. The effect of high
fiber fraction on some mechanical properties of unidirectional glass fiber-
reinforced composite. Dent Mater;27:313-321.
2. Aliye Ackali, Pinar Gumus, Mutlu Ozkan. 2014. Clinical comparison of fiber-
reinforced composite and stainless steel wire for splintingperiodontally treated
mobile teeth. Braz Dent Sci. 39-49.
3. Juloski J, Beloica M, Goracci C, Chieffi N, Giovannetti A, Vichi A, Vulicevic
ZR, Ferrari M. 2012. Shear Bond Strength to Enamel and Flexural Strength of
Different Fiber-reinforced Composites. J Adhes Dent.;14: 1-8
4. Kathariya R, Archana D, Rahul G, Nan-dita B, Venu V, Mohammad YSB.
2016. To splintt or not to splintt: the current status of periodontal splinting. J
Int Acad Periodontol; 18(2): 45–56.
24
5. Kini, Vineet, Patil, Sanjiv M., dan Jagtap, Rasika. 2011. Bonded Reinforcing
Materials for Esthetic Anterior Periodontal Tooth Stabilization: A Case Report.
International Journal of Dental Clinics:3(1): 90-91.
6. Mallick PK. 2008. Fiber-reinforced composites: materials, manufacturing, and
design, 3rd edn. CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton, FL
7. Marselly L. 2012. Splinting pada periodontitis Kronis Generalis. Program
Study Kedokteran gigi FakultasKedokteran Sriwijya.
8. Octavia M, Soeroso Y, Kemal Y. 2014. Adjunctive intracoronal splintt in
periodontal treatment: report of two cases. J Dent Indonesia; 21: 94–9.
9. Paddmanabhan, P. Preethe, Chandrasekaran S.C., Ramya, V., Manisundar.
2012. Tooth Splinting Using Fiber Reinforced Composite & Metal – A
Comparison. Indian Journal of Multidisciplinary Dentistry, Vol. 2, Issue 4,
10. Strassler HE., Brown C. 2001. Periodontal splinting with a thin high
modulus polyethylene ribbon. Compend Contin Educ. Den; 22: 610-20.
11. Suwandi T. 2010. Perawatan awal penutupan diastema gigi goyang pada
penderita periodontitis kronis dewasa. J PDGI; 59:105–9.
12. Tezvergil A, Lassila LV, Vallittu PK. 2003. Strength of adhesive-bonded
fiberreinforced composites to enamel and dentin substrates. J Adhes
Dent;5:301-311.
13. Wijaya D, Indrastuti M, dan Sugiatno E. 2014. Pembuatan Adhesive Bridge
dengan Fiber Reinforced Composite untuk Perawatan Kehilangan dan
Kegoyahan Gigi Anterior Rahang Bawah. Maj Ked Gi; 21(1): 61 - 66.
14. Zhang M, Matinlinna JP. 2012. E-Glass Fiber Reinforced Composites in
Dental Applications. Silicon. 4:73–78
25