PENDAHULUAN
Relasi gereja dan masyarakat di Indonesia selalu berada dalam ketegangan yang
positif. Ketegangan berarti kita sadar bahwa kehadiran gereja tidak selalu disambut gembira
di tempat di mana dia berada, dengan berbagai alasan. Positif berarti, bahwa melalui
masyarakat. Gereja di Indonesia selalu diminta untuk menjadi relevan bagi konteksnya. Hal
ini bisa kita lihat sebagai kesempatan bagi gereja-gereja untuk menjalankan tugas bersekutu,
mengantar kita ke dalam pembahasan kita mengenai tema ini. Sampai akhir tahun 2013,
beberapa gereja masih terancam untuk ditutup karena proses perizinan yang dipersulit.
Angka korupsi masih meningkat, bahkan beberapa lembaga keagamaan juga tidak lepas
dari godaan ini. Pesta demokrasi yang akan diadakan pada pertengahan 2014 membuat
banyak pihak ingin menjadikan gereja sebagai sumber meraih suara. Relasi gereja dan
masyarakat menjadi sangat relevan untuk dibicarakan. Bagaimana caranya menjadi gereja
yang melayani di tengah situasi yang seperti ini? Di sini, kita bisa belajar dari surat pastoral
Petrus yang mengajarkan jemaat untuk tetap saling melayani meskipun mereka sedang
tertekan.
KONTEKS
Surat 1 Petrus ini ditulis untuk jemaat Kristen yang pada waktu itu adalah minoritas
dalam masyarakatnya. Jemaat Petrus bukan saja jemaat yang berjumlah kecil dalam
masyarakat, tetapi mereka juga adalah kaum marjinal, kaum yang terasingkan. Mereka
disingkirkan dan dianiaya karena kepercayaan mereka sebagai orang Kristen (1:6; 3:13-17;
4:12-19). Tidak ada jemaat spesifik yang dituju oleh surat ini (1:1), tetapi mereka diduga
berada di Asia Kecil bagian utara, yang adalah bagian dari Kekaisaran Romawi.
Gubernur Plinius, yang memerintah di Asia Kecil waktu itu, sangat membenci
agama Kristen. Bahkan, ia selalu mencari alasan untuk dapat menjatuhkan hukuman bagi
orang Kristen. Plinius banyak menghadapi masalah dengan masyarakat Kristen. Cara
Plinius untuk menghukum orang Kristen adalah dengan memberikan pilihan. Apabila
mereka memberikan persembahan korban kepada roh kaisar maka mereka diberikan
pengampunan; tetapi jika mereka menolak, mereka akan diberikan hukuman mati karena
kedegilan mereka. Orang Kristen sudah pasti menolak persembahan ini, dan mereka pun
dihukum karenanya. Pada waktu itu, umat Kristen juga dituduh sebagai pelaku kejahatan
besar. Kita mungkin masih mengingat bagaimana kisah Kaisar Nero yang membakar kota
Roma dan kemudian menuduh orang Kristen sebagai pelakunya. Sejak saat itu berbagai
macam penderitaan diterima orang Kristen, mulai dari disalibkan, hingga menjadi umpan
bagi singa-singa.
Isi surat ini adalah nasihat tentang hidup praktis yang sesuai dengan iman Kristen
dan cara jemaat menghadapi cobaan dan penderitaan. Petrus menuliskan surat ini untuk
menghibur dan menguatkan para pembaca untuk dapat bertahan dan bertekun dalam
penganiayaan yang sedang terjadi (lih. 1:7). Petrus tidak bicara secara spesifik bagaimana
Jemaat dapat menghadapi pemerintahan yang menindas. Namun demikian, Petrus memberi
petunjuk kepada Jemaat bagaimana mereka bisa bertahan terhadap tekanan tersebut.
Secara khusus, pasal empat berbicara mengenai bagaimana umat Allah dapat
bertahan di tengah penderitaan, yaitu: dengan cara tetap hidup di dalam kehendak Allah
(ay. 2), saling mengasihi (ay. 8), memberi tumpangan (ay. 9), saling melayani (ay. 10), dan
untuk tetap bersukacita meski dalam penderitaan (ay. 11-15). Salah satu tema utama yang
bisa kita lihat langsung di pasal empat ini adalah pengharapan akan masa yang akan
datang. Petrus ingin menekankan bahwa penderitaan yang dihadapi jemaat sekarang hanya
bersifat sementara (ay. 5 & 17), dan bahwa, pada akhirnya, segala kemuliaan akan kembali
kepada Kristus (ay. 11). Saya sengaja tidak akan membahas tema kedatangan kembali pada
penjelasan ini, karena kita akan lebih fokus kepada cara hidup orang Kristen yang ada
dalam penderitaan.
2
PENJELASAN TEKS
4:7. Inilah pembuka yang mengingatkan pembaca bahwa akhir zaman sudah dekat.1 Karena
akhir yang sudah dekat ini, Petrus meminta umat untuk menguasai diri (sōphroneō – lihat
juga arti penggunaannya dalam 1 Tim. 2:9; Tit. 1:8) dan menjadi tenang (nēphō – rasional,
berpikir lurus) supaya dapat berdoa. Ketenangan dalam pencobaan adalah hal yang sangat
penting agar orang tetap mengingat kuasa Allah dalam doanya. Biasanya, jemaat yang
menghadapi kesulitan akan terpecah karena rasa panik dan ketakutan. Pada akhirnya,
jemaat akan melakukan hal yang merugikan diri mereka sendiri. Penguasaan diri dan
ketenangan adalah aksi yang harus diingat oleh semua orang yang berada dalam
4:8. Dalam masa sulit, tindak “saling mengasihi” adalah hal konsekuensi iman. Kasih adalah
efek dari doa kita. Kita dapat bayangkan, bahwa karena kesulitan yang dihadapinya, jemaat
jadi saling menyalahkan dan tidak lagi menjadi utuh. Orang yang tertekan bisa jadi akan
tergoda untuk bertengkar dan melakukan kejahatan. Ungkapan yang diucapkan Petrus,
“kasih menutupi banyak dosa” diambil dari Amsal 10:12. Artinya, kasih dapat mencegah
orang melakukan hal bodoh dalam masa penderitaan. Kasih agape yang disebutkan di sini
juga konsisten dengan arti kasih yang sesungguhnya, yang selalu dikaitkan dengan aksi.
4:9. Kalimat “berilah tumpangan seorang akan yang lain” di sini diambil dari kata phileō
(kasih) dan xenos (orang asing). Ketika orang Kristen berada dalam masa sulit, penginapan
umum bukanlah tempat yang baik untuk bersembunyi. Karena fakta ini, orang Kristen
diminta untuk saling memberi tumpangan (Mat. 25:35; Rm. 12:13; 1 Tim. 3:2; Tit. 1:8; Ibr.
13:2). Ayat ini juga menyadarkan bahwa segala sesuatu yang menjadi milik Allah harus kita
4:10. Menyadari bahwa setiap orang telah diberi karunia (charisma) yang berbeda, setiap
orang juga harus saling melayani (diakonos). Setiap orang dipanggil untuk melayani
1Di surat 2Petrus 3 (terutama lihat ay. 10), ada diskusi khusus mennai kapan hari Tuhan akan datang. Petrus
akan mengubah nada bicaranya mengenai kedatangan Tuhan, dari segera menjadi akan datang (2Tesalonika
bicara mengenai penundaan kedatangan ini).
3
dengan berbagai karunianya. Hal ini sejajar dengan pemahaman bahwa semua umat harus
diberdayakan untuk melakukan pekerjaan Allah dalam Efesus 4 (lih. Ay. 12).
4:11. Siapa saja yang ingin berbicara diminta untuk mengucapkan firman Allah berdasar
pada kekuatan yang dianugerahkan Allah. Jika Paulus menghubungkan karunia (charisma)
kepada Roh Kudus (lht. Rm. 12) atau kepada Kristus (lht. Ef. 4:11), maka Petrus
yang banyak ditujukan kepada Jemaat Yahudi yang ada di perantauan. Pada akhirnya,
segala sesuatu dilakukan agar Allah dimuliakan dalam Yesus Kristus. Bagian ini merupakan
adalah hal yang nyata dan memang sudah terjadi sejak dulu. Masih ada gereja-gereja di
Indonesia, atau di luar negeri, yang menghadapi kesulitan karena mereka menjadi pengikut
Kristus. Pernyataan Petrus mengenai akhir yang sudah dekat, dimaksudkan untuk
menghibur mereka yang menderita. Ketika seseorang berada dalam kesulitan, maka dia
harus selalu menghadapinya dengan perspektif masa depan. Kita juga harus mengingat
bahwa doa harus tetap menjadi hal yang utama untuk bertahan dalam tekanan.
Seseorang akan dikuatkan dalam kesulitannya, ketika dia menyadari bahwa hal itu
akan berakhir, dan kesenangan akan datang mengganti kesusahan. Peringatan untuk
bersabar dalam “penderitaan karena penghakiman yang akan datang” bukanlah “candu”
seperti yang Karl Marx (1818-1883) katakan kepada gereja-gereja Jerman. Keyakinan akan
akhir dari penderitaan akan menenangkan kita dalam mengambil keputusan. Ucapan Petrus
ini tidak meninabobokan Jemaat untuk pasrah, tetapi mendorong mereka untuk melakukan
Kedua, Petrus meminta kita untuk menjadi solider dalam penderitaan umat Kristus.
Solidaritas menjadi hal yang mahal di masa kini, apalagi ketika kita berada dalam tekanan.
Kasih yang kita dengung-dengungkan sebagai karakter orang Kristen harus berwujud
dalam solidaritas kita kepada mereka yang berada dalam kesusahan. Gereja kembali
4
diminta untuk memberi tumpangan dan saling melayani di masa sulit (lih. Mat. 25:31-45),
bahkan kepada orang asing sekalipun – artinya, kita harus terbuka bukan hanya kepada
orang Kristen saja. Aksi ini menunjukkan bahwa gereja bukanlah candu, karena kita
memang diminta untuk melakukan aksi nyata terhadap mereka yang menderita. Dalam
pengertian ini, permintaan untuk menolong bisa kita anggap lebih ditujukan kepada mereka
yang sanggup memberi tumpangan (jemaat yang lebih mampu). Solidaritas kita bagi yang
Ketiga, tindakan saling melayani adalah hal yang penting untuk dilakukan di dalam
pelayanan gereja yang berada dalam masa sulit. Hal ini tentu sesuai dengan ajaran Yesus
tentang pemimpin yang melayani (Mat. 20:20-28; 23:1-12). Istilah “diakonos” yang
digunakan Petrus adalah kata yang digunakan Yesus di Matius 23:11. Diakonos bisa berarti
“1) generally of a person who renders helpful service servant, helper (Mat. 20:26; mungkin seperti
dalam Roma 16:1); (2) as an official in the church; deacon, both masculine; (3) as a government
official minister, agent (Roma 13:4); (4) as one who serves a high official attendant, servant (Mat.
22:13).” Kata “diakonos” tidak sama dengan “doulos,” (Roma 1:1) yang berarti hamba atau
budak. Di sini, Petrus hendak menekankan para jemaat untuk menjadi penolong atau
pelayan masyarakat. Citra pemimpin yang melayani yang sesungguhnya adalah orang yang
menjadi pemimpin. Di dalam melayani, para pemimpin ini harus lebih dulu memberi
1. Apa hal-hal yang gereja-gereja di Nias pada khususnya dan gereja-gereja lain pada
umumnya lakukan ketika berada dalam masa kesulitan dan tekanan? Bagaimana
cara gereja-gereja bisa mengambil keputusan untuk keluar dari kesulitan tersebut?
3. Tindakan seperti apa yang harus ditunjukkan oleh kepemimpinan yang tampil
dalam masa penuh tekanan? Bagaimana cara kita bisa mewujudkan kepemimpinan