Anda di halaman 1dari 5

MENJADI PELAYAN MESKI SEDANG TERTEKAN

Teks Alkitab: 1 Petrus 4:7-11

Pdt. Binsar J. Pakpahan

PENDAHULUAN

Relasi gereja dan masyarakat di Indonesia selalu berada dalam ketegangan yang

positif. Ketegangan berarti kita sadar bahwa kehadiran gereja tidak selalu disambut gembira

di tempat di mana dia berada, dengan berbagai alasan. Positif berarti, bahwa melalui

pertemuan tersebut, gereja terus menggali ulang makna keberadaannya di tengah-tengah

masyarakat. Gereja di Indonesia selalu diminta untuk menjadi relevan bagi konteksnya. Hal

ini bisa kita lihat sebagai kesempatan bagi gereja-gereja untuk menjalankan tugas bersekutu,

bersaksi, dan melayani.

Ada beberapa tantangan bagi gereja-gereja di Indonesia yang mungkin bisa

mengantar kita ke dalam pembahasan kita mengenai tema ini. Sampai akhir tahun 2013,

beberapa gereja masih terancam untuk ditutup karena proses perizinan yang dipersulit.

Angka korupsi masih meningkat, bahkan beberapa lembaga keagamaan juga tidak lepas

dari godaan ini. Pesta demokrasi yang akan diadakan pada pertengahan 2014 membuat

banyak pihak ingin menjadikan gereja sebagai sumber meraih suara. Relasi gereja dan

masyarakat menjadi sangat relevan untuk dibicarakan. Bagaimana caranya menjadi gereja

yang melayani di tengah situasi yang seperti ini? Di sini, kita bisa belajar dari surat pastoral

Petrus yang mengajarkan jemaat untuk tetap saling melayani meskipun mereka sedang

tertekan.

KONTEKS

Surat 1 Petrus ini ditulis untuk jemaat Kristen yang pada waktu itu adalah minoritas

dalam masyarakatnya. Jemaat Petrus bukan saja jemaat yang berjumlah kecil dalam

masyarakat, tetapi mereka juga adalah kaum marjinal, kaum yang terasingkan. Mereka

disingkirkan dan dianiaya karena kepercayaan mereka sebagai orang Kristen (1:6; 3:13-17;
4:12-19). Tidak ada jemaat spesifik yang dituju oleh surat ini (1:1), tetapi mereka diduga

berada di Asia Kecil bagian utara, yang adalah bagian dari Kekaisaran Romawi.

Gubernur Plinius, yang memerintah di Asia Kecil waktu itu, sangat membenci

agama Kristen. Bahkan, ia selalu mencari alasan untuk dapat menjatuhkan hukuman bagi

orang Kristen. Plinius banyak menghadapi masalah dengan masyarakat Kristen. Cara

Plinius untuk menghukum orang Kristen adalah dengan memberikan pilihan. Apabila

mereka memberikan persembahan korban kepada roh kaisar maka mereka diberikan

pengampunan; tetapi jika mereka menolak, mereka akan diberikan hukuman mati karena

kedegilan mereka. Orang Kristen sudah pasti menolak persembahan ini, dan mereka pun

dihukum karenanya. Pada waktu itu, umat Kristen juga dituduh sebagai pelaku kejahatan

besar. Kita mungkin masih mengingat bagaimana kisah Kaisar Nero yang membakar kota

Roma dan kemudian menuduh orang Kristen sebagai pelakunya. Sejak saat itu berbagai

macam penderitaan diterima orang Kristen, mulai dari disalibkan, hingga menjadi umpan

bagi singa-singa.

Isi surat ini adalah nasihat tentang hidup praktis yang sesuai dengan iman Kristen

dan cara jemaat menghadapi cobaan dan penderitaan. Petrus menuliskan surat ini untuk

menghibur dan menguatkan para pembaca untuk dapat bertahan dan bertekun dalam

penganiayaan yang sedang terjadi (lih. 1:7). Petrus tidak bicara secara spesifik bagaimana

Jemaat dapat menghadapi pemerintahan yang menindas. Namun demikian, Petrus memberi

petunjuk kepada Jemaat bagaimana mereka bisa bertahan terhadap tekanan tersebut.

Secara khusus, pasal empat berbicara mengenai bagaimana umat Allah dapat

bertahan di tengah penderitaan, yaitu: dengan cara tetap hidup di dalam kehendak Allah

(ay. 2), saling mengasihi (ay. 8), memberi tumpangan (ay. 9), saling melayani (ay. 10), dan

untuk tetap bersukacita meski dalam penderitaan (ay. 11-15). Salah satu tema utama yang

bisa kita lihat langsung di pasal empat ini adalah pengharapan akan masa yang akan

datang. Petrus ingin menekankan bahwa penderitaan yang dihadapi jemaat sekarang hanya

bersifat sementara (ay. 5 & 17), dan bahwa, pada akhirnya, segala kemuliaan akan kembali

kepada Kristus (ay. 11). Saya sengaja tidak akan membahas tema kedatangan kembali pada

penjelasan ini, karena kita akan lebih fokus kepada cara hidup orang Kristen yang ada

dalam penderitaan.

2
PENJELASAN TEKS

4:7. Inilah pembuka yang mengingatkan pembaca bahwa akhir zaman sudah dekat.1 Karena

akhir yang sudah dekat ini, Petrus meminta umat untuk menguasai diri (sōphroneō – lihat

juga arti penggunaannya dalam 1 Tim. 2:9; Tit. 1:8) dan menjadi tenang (nēphō – rasional,

berpikir lurus) supaya dapat berdoa. Ketenangan dalam pencobaan adalah hal yang sangat

penting agar orang tetap mengingat kuasa Allah dalam doanya. Biasanya, jemaat yang

menghadapi kesulitan akan terpecah karena rasa panik dan ketakutan. Pada akhirnya,

jemaat akan melakukan hal yang merugikan diri mereka sendiri. Penguasaan diri dan

ketenangan adalah aksi yang harus diingat oleh semua orang yang berada dalam

pencobaan, supaya mereka masuk ke dalam doa.

4:8. Dalam masa sulit, tindak “saling mengasihi” adalah hal konsekuensi iman. Kasih adalah

efek dari doa kita. Kita dapat bayangkan, bahwa karena kesulitan yang dihadapinya, jemaat

jadi saling menyalahkan dan tidak lagi menjadi utuh. Orang yang tertekan bisa jadi akan

tergoda untuk bertengkar dan melakukan kejahatan. Ungkapan yang diucapkan Petrus,

“kasih menutupi banyak dosa” diambil dari Amsal 10:12. Artinya, kasih dapat mencegah

orang melakukan hal bodoh dalam masa penderitaan. Kasih agape yang disebutkan di sini

juga konsisten dengan arti kasih yang sesungguhnya, yang selalu dikaitkan dengan aksi.

Jemaat diminta untuk melakukan sesuatu sebagai wujud dari kasihnya.

4:9. Kalimat “berilah tumpangan seorang akan yang lain” di sini diambil dari kata phileō

(kasih) dan xenos (orang asing). Ketika orang Kristen berada dalam masa sulit, penginapan

umum bukanlah tempat yang baik untuk bersembunyi. Karena fakta ini, orang Kristen

diminta untuk saling memberi tumpangan (Mat. 25:35; Rm. 12:13; 1 Tim. 3:2; Tit. 1:8; Ibr.

13:2). Ayat ini juga menyadarkan bahwa segala sesuatu yang menjadi milik Allah harus kita

bagikan kepada saudara kita yang lain.

4:10. Menyadari bahwa setiap orang telah diberi karunia (charisma) yang berbeda, setiap

orang juga harus saling melayani (diakonos). Setiap orang dipanggil untuk melayani

1Di surat 2Petrus 3 (terutama lihat ay. 10), ada diskusi khusus mennai kapan hari Tuhan akan datang. Petrus
akan mengubah nada bicaranya mengenai kedatangan Tuhan, dari segera menjadi akan datang (2Tesalonika
bicara mengenai penundaan kedatangan ini).

3
dengan berbagai karunianya. Hal ini sejajar dengan pemahaman bahwa semua umat harus

diberdayakan untuk melakukan pekerjaan Allah dalam Efesus 4 (lih. Ay. 12).

Kepemimpinan yang sesungguhnya diperlihatkan melalui sikap melayani.

4:11. Siapa saja yang ingin berbicara diminta untuk mengucapkan firman Allah berdasar

pada kekuatan yang dianugerahkan Allah. Jika Paulus menghubungkan karunia (charisma)

kepada Roh Kudus (lht. Rm. 12) atau kepada Kristus (lht. Ef. 4:11), maka Petrus

menghubungkannya kepada Allah. Ini mungkin berhubungan dengan pelayanan Petrus

yang banyak ditujukan kepada Jemaat Yahudi yang ada di perantauan. Pada akhirnya,

segala sesuatu dilakukan agar Allah dimuliakan dalam Yesus Kristus. Bagian ini merupakan

doksologi yang juga diulangi Petrus di 1 Petrus 5:11.

POIN UNTUK DIRENUNGKAN

Pertama, Petrus mengingatkan kembali bahwa penderitaan sebagai pengikut Kristus

adalah hal yang nyata dan memang sudah terjadi sejak dulu. Masih ada gereja-gereja di

Indonesia, atau di luar negeri, yang menghadapi kesulitan karena mereka menjadi pengikut

Kristus. Pernyataan Petrus mengenai akhir yang sudah dekat, dimaksudkan untuk

menghibur mereka yang menderita. Ketika seseorang berada dalam kesulitan, maka dia

harus selalu menghadapinya dengan perspektif masa depan. Kita juga harus mengingat

bahwa doa harus tetap menjadi hal yang utama untuk bertahan dalam tekanan.

Seseorang akan dikuatkan dalam kesulitannya, ketika dia menyadari bahwa hal itu

akan berakhir, dan kesenangan akan datang mengganti kesusahan. Peringatan untuk

bersabar dalam “penderitaan karena penghakiman yang akan datang” bukanlah “candu”

seperti yang Karl Marx (1818-1883) katakan kepada gereja-gereja Jerman. Keyakinan akan

akhir dari penderitaan akan menenangkan kita dalam mengambil keputusan. Ucapan Petrus

ini tidak meninabobokan Jemaat untuk pasrah, tetapi mendorong mereka untuk melakukan

tindakan nyata sebagai wujud kasih mereka.

Kedua, Petrus meminta kita untuk menjadi solider dalam penderitaan umat Kristus.

Solidaritas menjadi hal yang mahal di masa kini, apalagi ketika kita berada dalam tekanan.

Kasih yang kita dengung-dengungkan sebagai karakter orang Kristen harus berwujud

dalam solidaritas kita kepada mereka yang berada dalam kesusahan. Gereja kembali

4
diminta untuk memberi tumpangan dan saling melayani di masa sulit (lih. Mat. 25:31-45),

bahkan kepada orang asing sekalipun – artinya, kita harus terbuka bukan hanya kepada

orang Kristen saja. Aksi ini menunjukkan bahwa gereja bukanlah candu, karena kita

memang diminta untuk melakukan aksi nyata terhadap mereka yang menderita. Dalam

pengertian ini, permintaan untuk menolong bisa kita anggap lebih ditujukan kepada mereka

yang sanggup memberi tumpangan (jemaat yang lebih mampu). Solidaritas kita bagi yang

menderita harus ditunjukkan melalui program diakonia (pelayanan) gereja.

Ketiga, tindakan saling melayani adalah hal yang penting untuk dilakukan di dalam

pelayanan gereja yang berada dalam masa sulit. Hal ini tentu sesuai dengan ajaran Yesus

tentang pemimpin yang melayani (Mat. 20:20-28; 23:1-12). Istilah “diakonos” yang

digunakan Petrus adalah kata yang digunakan Yesus di Matius 23:11. Diakonos bisa berarti

“1) generally of a person who renders helpful service servant, helper (Mat. 20:26; mungkin seperti

dalam Roma 16:1); (2) as an official in the church; deacon, both masculine; (3) as a government

official minister, agent (Roma 13:4); (4) as one who serves a high official attendant, servant (Mat.

22:13).” Kata “diakonos” tidak sama dengan “doulos,” (Roma 1:1) yang berarti hamba atau

budak. Di sini, Petrus hendak menekankan para jemaat untuk menjadi penolong atau

pelayan masyarakat. Citra pemimpin yang melayani yang sesungguhnya adalah orang yang

benar-benar mengabdikan hidupnya untuk melayani dan bukan semata-mata untuk

menjadi pemimpin. Di dalam melayani, para pemimpin ini harus lebih dulu memberi

contoh bahwa mereka juga adalah pelayan.

PERTANYAAN UNTUK DISKUSI

1. Apa hal-hal yang gereja-gereja di Nias pada khususnya dan gereja-gereja lain pada

umumnya lakukan ketika berada dalam masa kesulitan dan tekanan? Bagaimana

cara gereja-gereja bisa mengambil keputusan untuk keluar dari kesulitan tersebut?

2. Apa pendapat anda mengenai solidaritas “memberi tumpangan” dan “saling

melayani” dalam konteks kemajemukan Indonesia? Bagikanlah pengalaman anda!

3. Tindakan seperti apa yang harus ditunjukkan oleh kepemimpinan yang tampil

dalam masa penuh tekanan? Bagaimana cara kita bisa mewujudkan kepemimpinan

yang seperti itu?

Anda mungkin juga menyukai