Atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hassan II dari Maroko, dengan
Panitia Persiapan yang terdiri dari Iran, Malaysia, Niger, Pakistan, Somalia, Arab Saudi dan
Maroko, terselenggara Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam yang pertama pada tanggal
22-25 September 1969 di Rabat, Maroko. Konferensi ini merupakan titik awal bagi
pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Tahun 1964: Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab di Mogadishu timbul suatu ide
untuk menghimpun kekuatan Islam dalam suatu wadah internasional.
Tahun 1965: Diselenggarakan Sidang Liga Arab sedunia di Jeddah Saudi Arabia yang
mencetuskan ide untuk menjadikan umat Islam sebagai suatu kekuatan yang menonjol dan
untuk menggalang solidaritas Islamiyah dalam usaha melindungi umat Islam dari zionisme
khususnya.
Tahun 1967: Pecah Perang Timur Tengah melawan Israel. Oleh karenanya solidaritas Islam
di negara-negara Timur Tengah meningkat.
Tahun 1968: Raja Faisal dari Saudi Arabia mengadakan kunjungan ke beberapa negara Islam
dalam rangka penjajagan lebih lanjut untuk membentuk suatu Organisasi Islam Internasional.
Tahun 1969 : Tanggal 21 Agustus 1969 Israel merusak Mesjid Al Agsha. Peristiwa
tersebut menyebabkan memuncaknya kemarahan umat Islam terhadap Zionis Israel.
d. Keanggotaan OKI
Anggota OKI adalah negara-negara Islam dan negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Keanggotaan Indonesia dalam OKI. Dalam kaitannya dengan Indonesia, ada beberapa
hal yang perlu dibicarakan, yaitu sebagai berikut.
a) Kedudukan Indonesia dalam OKI sangat unik karena Indonesia bukan negara Islam
melainkan negara yang berdasarkan Pancasila.
b) Dari sudut politik luar negeri Indonesia, Indonesia adalah negara anggota OKI yang secara
eksplisit menyatakan prinsip-prinsip kebebasan dan independensi sebagai pegangan politik
luar negerinya.
Keterlibatan Indonesia di dalam OKI adalah sebagai suatu usaha untuk ikut
menciptakan kehidupan dunia yang aman dan damai. Ikut sertanya Indonesia dalam OKI
diharapkan dapat menggalang dukungan bagi kepentingan Indonesia dalam forum
internasional.
Indonesia menjadi tuan Rumah Konfrensi Tingkat Menteri OKI pada tanggal 9
Desember 1996. Konfrensi tersebut menghasilkan keputusan antara lain sebagai berikut.
c) Mengakui integritas dan kedaulatan Bosnia Herzegovina sesuai batas wilayah secara
internasional.
f) Meyerukan kepada Irak agar mau bekerja sama dengan Palang Merah Internasional dalam
upaya melaksanakan resolusi PBB.
OKI berkembang cukup pesat dan perjuangannya menunjukkan hasil yang memadai
misalnya perjuangan tentang penghapusan apartheid di Afrika Selatan, Khusus Moro, di Filip
ina Selatan, Afganistan, dan lain sebagainya. Di samping usaha dalam bidang ekonomi yang
berhasil membentuk Dana Konsolidasi Pembangunan Dunia Islam.
f. Penyelenggaraan KTT OKI
KTT OKI yang dihadiri oleh 28 negara Islam tersebut menghsailkan berbagai
keputusan yang intinya adalah sebagai berikut.
c) Menuntut penarikan tentara Israel dari seluruh wilayah Arab yang diduduki.
Sesuai dengan pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri di Jeddah pada tahun 1970,
dibentuklah sekretariat tetap OKI di Jeddah dan diadakanya pertemuan rutin OKI. Berikut
beberapa penyelenggaraan KTT OKI.
Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada
masalah politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai
suatu organisasi internasional yang menjadi wadah kerja sama di berbagai bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di seluruh dunia.
OIC 1 0-years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya
menfokuskan pada masalah politik, tetapi juga ekonomi perdagangan. Program Aksi 10 tahun
OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isu-isu pembangunan, sosial, ekonomi, dan
ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Di
bidang politik dan intelektual, dalam 10 tahun OKI diharapkan mampu menangani berbagai
isu seperti upaya membangun nilai-nilai moderasi dan toleransi; membasmi ekstrimisme,
kekerasan dan terorisme; menentang Islamofobia; meningkatkan solidaritas dan kerja sama
antar-negara anggota, pencegahan konflik, penanganan masalah Filipina, hak-hak kelompok
minoritas dan komunitas muslim, dan masalah-masalah yang dialami Afrika.
KTT OKI ke-11 berlangsung antara tanggal 13-14 Maret 2008 dan bertemakan “The
Islamic Ummah in the 21st Century”. KTT ini menghasilkan beberapa dokumen utama, yaitu
Piagam OKI, Final Communiqué, dan sejumlah resolusi. Final Communiqué mengangkat
berbagai isu, antara lain mengenai politik, keamanan, Palestina, minoritas muslim seperti
Kosovo, terorisme, ekonomi, sosial budaya, hukum, iptek, dan sosial budaya. Sementara itu,
resolusi terkait yang berhubungan dengan keamanan global/regional antara lain adalah
Resolutions on the Cause of Palestine, the City of Al-Quds Al-Sharif and the Arab-Israel
Conflict, Resolutions on Political Affairs, dan Resolutions on Muslim Communities and
Minorities in Non-OIC Member States. Piagam Baru tersebut pada intinya merupakan
penegasan OKI untuk mengeksplorasi bentuk kerja sama yang lain dan tidak terbatas pada
kerja sama politik saja.
Pada tanggal 18 - 20 Mei 2010, dilaksanakan Pertemuan ke-37 Dewan Menteri Luar
Negeri Organisasi Konferensi Islam (KTM ke-37 OKI) di Dushanbe, Tajikistan. Pertemuan
ini merupakan KTM OKI pertama yang diadakan di Asia Tengah, dengan tema “Shared
Vision of a More Secure and Prosperous Islamic World”. Pertemuan tersebut merupakan
momentum khusus bagi kawasan tersebut dalam rangka meningkatkan kerja samanya dengan
negara-negara anggota OKI lain, dan diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya OKI dalam
menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Dalam pertemuan tersebut, Menlu RI
menekankan kembali mengenai proses reformasi OKI yang tengah berjalan dan perlunya
negara-negara anggota OKI mendukung proses tersebut, antara lain melalui implementasi
Piagam OKI dan Program Aksi 10 Tahun (TYPOA). Disampaikan pula bahwa Pemerintah RI
mendukung upaya OKI bagi realisasi pembentukan Komisi HAM OKI dan terhadap statuta
Organisasi Pembangunan Perempuan OKI yang telah disahkan.
KTM OKI ke-37 telah mengesahkan apa yang disebut Deklarasi Dushanbe. Deklarasi
tersebut menggarisbawahi beberapa isu, seperti Perdamaian di Timur Tengah; Afghanistan;
pengutukan agresi Armenia terhadap Azerbaijan; menyambut baik kesepakatan pertukaran
bahan bakar nuklir oleh Iran, Turki, dan Brazil; terorisme; perlucutan senjata nuklir dan
senjata pemusnah massal; pengembangan SDM dan pendidikan; mendorong kelancaran
barang dan jasa di antara Negara OKI; dialog antar-peradaban dan Islamofobia.
Disela-sela pelaksanaan KTM, selaku Ketua Komite Perdamaian OKI untuk Filipina
Selatan (OIC-PCSP – Peace Committee for the Southern Philippines), Indonesia mengadakan
pertemuan Komite pada tanggal 20 Mei 2010 yang dihadiri oleh anggota Komite, yaitu Arab
Saudi, Brunei Darussalam, Libya, Malaysia, Mesir, Tajikistan, Turki, Senegal, serta Utusan
Khusus Sekretaris Jenderal OKI untuk Filipina Selatan, Dubes Sayyed El-Masry. Bangladesh
tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Dalam kesempatan itu, selaku Ketua Komite,
Indonesia menyampaikan laporan perkembangan implementasi dari Perjanjian Damai 1996,
khususnya pasca-Pertemuan Tripartite (GRP - OKI - MNLF) Maret 2009 hingga pertemuan
di Tripoli, Libya, 20 Mei 2010.
Mewakili Presiden RI, Menlu RI turut berpartisipasi dalam KTT Luar Biasa OKI ke-4
yang diselenggarakan pada tanggal 14-15 Agustus 2012 di Mekkah, Arab Saudi. KTT ini
membahas isu-isu yang tengah menjadi perhatian bersama negara-negara anggota OKI, yaitu
isu Palestina, Suriah, muslim Rohingya di Myanmar, Mali, dan Sahel. Di samping itu, KTT
Luar Biasa OKI berhasil menyepakati Final Communique yang memuat keputusan KTT OKI
untuk membekukan keanggotaan Suriah serta beberapa resolusi lainnya mengenai Palestina,
Suriah, Mali, dan Sahel.
Pada tanggal 6 Februari 2013 juga telah diselenggarakan sesi khusus bagi Kepala
Negara/Pemerintahan terkait isu settlements di wilayah Palestina. Sesi khusus ini
diselenggarakan mengingat adanya rencana Israel untuk membangun lebih dari 3.600
pemukiman di Yerusalem Timur yang merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
Pada kesempatan tersebut, Menlu RI menyampaikan pernyataan Presiden RI yang memuat
usulan langkah-langkah konkret yang dapat diambil OKI dalam kerangka diplomatik, legal,
dan ekonomi.
KTT OKI ke-12 tersebut telah menghasilkan “Cairo Final Communique”. Cairo
Final Communique terdiri dari 165 paragraf dan memuat isu politik, komunitas dan minoritas
muslim di negara non-OKI, HAM, terorisme, pelucutan senjata, Islamophobia, voting di
forum internasional, kemanusiaan, kerja sama ekonomi, sosial-budaya, iptek, pendidikan,
kesehatan, lingkungan dan perubahan iklim, informasi, keuangan dan administrasi, dan
keorganisasian OKI. Selain itu, dimuat juga resolusi mengenai Palestina dan Al-Quds Al-
Sharif sebagai hasil dari sesi khusus mengenai pemukiman di wilayah Palestina; memuat
kecaman atas tindakan Israel terhadap Palestina dan imbauan kepada masyarakat
internasional, termasuk kepada Dewan Keamanan (DK) PBB, untuk mengimplementasikan
resolusi terkait isu Palestina; serta Deklarasi mengenai situasi di Mali yang antara lain
memuat rencana pembentukan Special Fund yang sifatnya sukarela guna mendukung
pembangunan ekonomi di Mali.
Tanggal 9-11 Desember 2013, diselenggarakan KTM ke-40 OKI di Conakry, Repulik
Guinea, dengan tema “Dialogue of Civilization, Factor for Peace and Sustainable
Development”. KTM tersebut membahas sejumlah isu politik, ekonomi, dan keorganisasian.
Dalam sesi debat umum KTM OKI ke-40, Indonesia menyampaikan antara lain dorongan
agar OKI terus memperkuat dialog antar-agama dan keyakinan sebagai upaya untuk
menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mendepankan perdamaian dan toleransi.
Indonesia juga menyampaikan pentingnya OKI bekerja keras mendorong pembangunan
ekonomi untuk kesejahteraan anggotanya dan pentingnya partisipasi negara-negara anggota
dalam pembahasan agenda pembangunan pasca-2015. Disampaikan pula penegasan
dukungan Indonesia pada perjuangan rakyat Palestina, solusi politik damai dan inklusif atas
situasi di Suriah, termasuk dukungan terhadap Konferensi Jenewa II.
KTM OKI ke-40 ini mengesahkan Conakry Decalaration yang berisi pernyataan
sikap OKI atas berbagai isu dan resolusi-resolusi yang disahkan dalam pertemuan, termasuk
Resolusi mengenai “The Situation in the Southern Philipines”. Pengesahan Ranres ini
mengalihkan Keketuaan pada OIC-PCSP dari Indonesia kepada Mesir. (Terakhir
dimutakhirkan: 9 Januari 2014)
B. APEC (Asia Pasifik Economic Cooperation)
a. Latar Belakang dan Perkembangan APEC
Dinamika ekonomi politik Asia Pasifik pada akhir tahun 1993 tampak memasuki
babak baru, terutama dalam bentuk pengorganisasian kerja sama perdagangan dan investasi
regional. Dalam hal ini, negara-negara Asia Pasifik berbeda dengan negara-negara di Eropa
Barat. Negara-negara di Eropa Barat memulainya dengan membentuk wadah kerja sama
regional. Dengan organisasi itu, ekonomi di setiap negara saling berhubungan dan
menghasilkan ekonomi Eropa yang lebih kuat daripada sebelum Perang Dunia II. Sebaliknya,
negara-negara Asia Pasifik, terutama sejak tahun 1970-an, saling berhubungan secara intensif
dan menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi walaupun tanpa kerangka kerja sama
formal seperti yang ada di Eropa. Bahkan, berbagai transaksi ekonomi terjadi antarnegara
yang kadang-kadang tidak memiliki hubungan diplomatik. Taiwan adalah contoh negara
yang tidak diakui eksistensi politiknya, tetapi menjadi rekanan aktif sebagian besar negara
Asia Pasifik dalam kegiatan ekonomi. Sekarang dinamika ekonomi itu dianggap memerlukan
wadah organisasi yang lebih formal.
Dunia usaha lebih dahulu merasakan adanya kebutuhan akan organisasi itu, seperti
tercermin dalam pembentukan Pacific Basin Economic Council (PBEC) tahun 1969.
Organisasi ini beranggotakan pebisnis dari semua negara Asia Pasifik, kecuali Korea Utara
dan Kampuchea. Organisasi PBEC aktif mendorong perdagangan dan investasi di wilayah
Asia Pasifik, tetapi hanya melibatkan sektor swasta.
Pada tahun 1980 muncul Pacific Economic Cooperation Council (PECC). Organisasi
yang lahir di Canberra, Australia ini menciptakan kelompok kerja untuk mengidentifikasi
kepentingan ekonomi regional, terutama perdagangan, sumber daya manusia, alih teknologi,
energi, dan telekomunikasi. Walaupun masih bersifat informal, PECC melibatkan para
pejabat pemerintah, pelaku bisnis, dan akademis. Salah satu hasil kegiatan PECC adalah
terbentuknya Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) sebagai wadah kerja sama bangsa-
bangsa di kawasan Asia Pasifik di bidang ekonomi yang secara resmi terbentuk bulan
November 1989 di Canberra, Australia pada tahun 1989.
Pembentukan APEC atas usulan Perdana Menteri Australia, Bob Hawke. Suatu hal
yang melatarbelakangi terbentuknya APEC adalah perkembangan situasi politik dan ekonomi
dunia pada waktu itu yang berubah secara cepat dengan munculnya kelompok-kelompok
perdagangan seperti MEE, NAFTA. Selain itu perubahan besar terjadi di bidang politik dan
ekonomi yang terjadi di Uni Soviet dan Eropa Timur. Hal ini diikuti dengan kekhawatiran
gagalnya perundingan Putaran Uruguay (perdagangan bebas). Apabila masalah perdagangan
bebas gagal disepakati, diduga akan memicu sikap proteksi dari setiap negara dan sangat
menghambat perdagangan bebas. Oleh karena itu, APEC dianggap bisa menjadi langkah
efektif untuk mengamankan kepentingan perdagangan negara-negara di kawasan Asia
Pasifik. Adapun tujuan dibentuknya APEC adalah untuk meningkatkan kerja sama ekonomi
di kawasan Asia Pasifik terutama di bidang perdagangan dan investasi.
c. KTT APEC
APEC merupakan kerja sama ekonomi regional untuk memajukan perdagangan dan
investasi di Asia Pasifik.Pertemuan tingkat tinggi para kepala negara/pemerintah disebut
meeting atau AELM (APEC Economic Leaders Meeting = Pertemuan para pemimpin
Ekonomi APEC) yang bersifat informal. Adapun AELM diadakan:
a) AELM I di Seattle, AS tahun 1993
b) AELM II, di Bogor, Indonesia tahun 1994
c) AELM III, di Osaka, Jepang tahun 1995
d) AELM IV di Manila Filipina tahun 1996
e) AELM V di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal 17-18 November 1998.
Conference on Trade and Development (UNCTAD) tidak berhasil karena beberapa alasan
berikut:
a) Penerapan strategi pecah dan tindas oleh negara-negara Utara, terutama Amerika Serikat.
Salah satu mekanismenya adalah tekanan-tekanan bilateral terhadap negara-negara yang
hendak menentang usulan GATT.
b) Adanya kehendak negara-negara Selatan untuk membentuk koalisi menentang negara-
negara Utara. Oleh karena itu, negara-negara Utara mengusulkan pembentukan Kelompok
Cairns dalam GATT yang beranggotakan negara-negara Utara dan Selatan, seperti Argentina,
Australia, Brasil, Cile, Kolombia, Filipina, Hongaria, Indonesia, Kanada, Malaysia, Selandia
Baru, Thailand, dan Uruguay. Dengan demikian, pengelompokan yang eksklusif dari negara-
negara Selatan tidak terjadi.
c) Adanya kemungkinan bahwa keberhasilan Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura sebagai
negara industri baru melalui jalur kapitalis, neoklasik, dan dengan menempel pada negara
besar, seperti Amerika Serikat telah melunturkan keyakinan banyak negara Selatan tentang
efektivitas koalisi Selatan–Selatan itu.
e. Prinsip ASEAN dan Sikap Indonesia
Prinsip ASEAN terhadap APEC adalah sebagai berikut.
a) Setiap peningkatan kerja sama di kawasan Asia-Pasifik, hendaknya identitas, kepentingan,
dan persatuan ASEAN tetap dipertahankan.
b) Kerja sama hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan, keadilan, dan
keuntungan bersama.
c) Hendaknya kerja sama tidak diarahkan pada pembentukan blok perdagangan yang tertutup
(inward looking economic or trading block).
d) Hendaknya kerja sama ditujukan untuk memperkuat kemampuan individual dan kolektif
para peserta.
e) Hendaknya pertumbuhan kerja sama dikembangkan secara bertahap dan pragmatis
http://elmisbah.wordpress.com/2008/07/15/organisasi-konferensi-islam-oki/