Anda di halaman 1dari 19

Sejarah dan Perkembangan OKI dan APEC

Nama Anggota Kelompok 2 :

1. Dhian Asri Ningtyas (09)


2. Ferry Adrian Saksono (13)
3. Ibrahim Adkha (16)
4. Iffah Priyatni (17)
5. Muflikhatur Rohmah (24)
6. Sovia Anjani (31)
7. Triyani (32)

SMA Negeri 7 Purworejo

Tahun Ajaran 2015/2016


A. OKI ( Organisasi Konferensi Islam )

a. Sejarah dan Perkembangan OKI (Organisasi Konferensi Islam)


Organisasi global ini didirikan pada tanggal 25 September 1969 berdasarkan
Deklarasi Rabat (Maroko) atas prakarsa Raja Hussein II (Maroko) dan Raja Faisal (Arab
Saudi). Sekretaris Jenderal OKI berkedudukan di Jeddah (Arab Saudi).

(OKI) merupakan organisasi internasional non-militer yang didirikan di Rabat,


Maroko pada tanggal 25 September 1969. Dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al
Aqsha yang terletak di kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969 telah
menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari kalangan umat Islam. Saat itu dirasakan
adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia
Islam serta mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan Al Quds.

Atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hassan II dari Maroko, dengan
Panitia Persiapan yang terdiri dari Iran, Malaysia, Niger, Pakistan, Somalia, Arab Saudi dan
Maroko, terselenggara Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam yang pertama pada tanggal
22-25 September 1969 di Rabat, Maroko. Konferensi ini merupakan titik awal bagi
pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Secara umum latar belakang terbentuknya OKI sebagai berikut :

Tahun 1964: Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab di Mogadishu timbul suatu ide
untuk menghimpun kekuatan Islam dalam suatu wadah internasional.

Tahun 1965: Diselenggarakan Sidang Liga Arab sedunia di Jeddah Saudi Arabia yang
mencetuskan ide untuk menjadikan umat Islam sebagai suatu kekuatan yang menonjol dan
untuk menggalang solidaritas Islamiyah dalam usaha melindungi umat Islam dari zionisme
khususnya.

Tahun 1967: Pecah Perang Timur Tengah melawan Israel. Oleh karenanya solidaritas Islam
di negara-negara Timur Tengah meningkat.

Tahun 1968: Raja Faisal dari Saudi Arabia mengadakan kunjungan ke beberapa negara Islam
dalam rangka penjajagan lebih lanjut untuk membentuk suatu Organisasi Islam Internasional.
Tahun 1969 : Tanggal 21 Agustus 1969 Israel merusak Mesjid Al Agsha. Peristiwa
tersebut menyebabkan memuncaknya kemarahan umat Islam terhadap Zionis Israel.

Seperti telah disebutkan di atas, Tanggal 22-25 September 1969 diselenggarakan


Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Islam di Rabat, Maroko untuk
membicarakan pembebasan kota Jerusalem dan Mesjid Al Aqsa dari cengkeraman Israel.
Dari KTT inilah OKI berdiri. Saat ini OKI beranggotakan 57 negara anggota dan negara
pengamat seperti : Bosnia, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading, Herzegovina, dan
Thailand.

b. Latar Belakang Berdirinya OKI

 Adanya pembakaran Masjid Aqsho oleh Israel


 Didudukinya wilayah negara-negara Arab oleh Israel sampai akibat perang Arab -
Israel tahun 1967.
 Didudukinya Yerusalem oleh Israel

c. Tujuan Organisasi Konferensi Islam (OKI)

 Meningkatkan kerja sama dan solidaritas Islam antarnegara anggota OKI


 Berusaha melenyapkan perbedaan rasial, diskriminasi, dan kolonialisme
 Mengkoordinasi usaha-usaha untuk melindungi tempat-tempat suci
 Mendukung dan membantu rakyat Palestine untuk mendapatkan hak dan pembebasan
tanah air.
 Memperteguh semua perjuangan umat Islam
 Untuk mencapai tujuan OKI tersebut ditentukan lima prinsip, yaitu :
a. persamaan mutlak antarnegara anggota;
b. menghormati hak untuk menentukan nasib sendiri;
c. menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara;
d. penyelesaian masalah secara damai;
e. larangan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas
wilayah.
 Untuk mencapi tujuan, OKI memiliki badan-badan, seperti :
a. badan utama;
b. komite khusus;
c. badan-badan subsider.
 OKI bersikap melayani kepentingan negara-negara Arab yang berpusat di Timur
Tengah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu latar belakang terbentuknya
OKI bersumber pada masalah di Timur Tengah; lebih dari setengah anggota OKI
adalah negara-negara Arab yang wilayahnya di Timur Tengah.

d. Keanggotaan OKI
Anggota OKI adalah negara-negara Islam dan negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Keanggotaan Indonesia dalam OKI. Dalam kaitannya dengan Indonesia, ada beberapa
hal yang perlu dibicarakan, yaitu sebagai berikut.

a) Kedudukan Indonesia dalam OKI sangat unik karena Indonesia bukan negara Islam
melainkan negara yang berdasarkan Pancasila.

b) Dari sudut politik luar negeri Indonesia, Indonesia adalah negara anggota OKI yang secara
eksplisit menyatakan prinsip-prinsip kebebasan dan independensi sebagai pegangan politik
luar negerinya.

Keterlibatan Indonesia di dalam OKI adalah sebagai suatu usaha untuk ikut
menciptakan kehidupan dunia yang aman dan damai. Ikut sertanya Indonesia dalam OKI
diharapkan dapat menggalang dukungan bagi kepentingan Indonesia dalam forum
internasional.
Indonesia menjadi tuan Rumah Konfrensi Tingkat Menteri OKI pada tanggal 9
Desember 1996. Konfrensi tersebut menghasilkan keputusan antara lain sebagai berikut.

a) Masalah Palestina adalah masalah utama bagi dunia Islam.

b) Mengecam keras tindakan Israel yang menghambat proses perdamaian.

c) Mengakui integritas dan kedaulatan Bosnia Herzegovina sesuai batas wilayah secara
internasional.

d) Menghimbau agar diadakan perundingan damai di wilayah Jammu dan Kashmir.

e) Menghimbau pihak-pihak yang bertikai di Afhghanistan segera mengadakan gencatan


senjata.

f) Meyerukan kepada Irak agar mau bekerja sama dengan Palang Merah Internasional dalam
upaya melaksanakan resolusi PBB.

g) Mengecam tindakan agresi AS ke Libya.

h) Mendukung dengan tegas posisi Indonesia di Timor Timur.

e. Badan-badan Khusus OKI

 Badan-badan utama yang terdiri dari konferensi para raja/kepala pemerintahan,


konferensi para menteri luar negeri, sekretaris Jenderal dan Mahkamah Islam
Internasional.
 Komite khusus yang terdiri atas beberapa hal antara lain Komite AI-Quds Yerusalem,
Komite tetap Keuangan dan Komite Ekonomi, Sosial, dan budaya.
 Badan-badan Subsider
 Lembaga-lembaga dan organisasi yang bersifat otonom, antara lain The Islamic
Development Bank, Islamic Internasional News Agency dan lain sebagainya.

OKI berkembang cukup pesat dan perjuangannya menunjukkan hasil yang memadai
misalnya perjuangan tentang penghapusan apartheid di Afrika Selatan, Khusus Moro, di Filip
ina Selatan, Afganistan, dan lain sebagainya. Di samping usaha dalam bidang ekonomi yang
berhasil membentuk Dana Konsolidasi Pembangunan Dunia Islam.
f. Penyelenggaraan KTT OKI

KTT OKI yang dihadiri oleh 28 negara Islam tersebut menghsailkan berbagai
keputusan yang intinya adalah sebagai berikut.

a) Menutuk pembakaran Mesjid Al-Aqsa oleh Israel.

b) Menunutut dikembalikannya kota Jerusalem sebagaimana sebelum perang tahun 1967.

c) Menuntut penarikan tentara Israel dari seluruh wilayah Arab yang diduduki.

d) Menetapkan pertemuan tingkat Menlu di Jeddah pada bulan Maret 1970.

Sesuai dengan pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri di Jeddah pada tahun 1970,
dibentuklah sekretariat tetap OKI di Jeddah dan diadakanya pertemuan rutin OKI. Berikut
beberapa penyelenggaraan KTT OKI.

a) KTT ke-1 diselenggarakan di Rabat, maroko (1969).

b) KTT ke-2 diselenggarakan di lahore, Pakistan (1974).

c) KTT ke-3 diselenggarakan di MekkaH, Arab Saudi (1981).

d) KTT ke-4 diselenggarakan di casablanca, Maroko (1984).

e) KTT ke-5 diselenggarakan di Kuwait City, Kuwait (1987).

f) KTT ke-6 diselenggarakan di Dakkar, Senegal (1991).

g) KTT ke-7 diselenggarakan di Casablanca, Maroko (1994).

h) KTT ke-8 diselenggarakan di Teheran, iran (1997).

i) KTT ke-9 diselenggarakan di Doha, Qatar (2000).

j) KTT ke-10 diselenggarakan di Putrajaya, Malaysia (2003).

k) KTT ke-11 diselenggarakan di Mekkah, Arab Saudi (2005).

Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada
masalah politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai
suatu organisasi internasional yang menjadi wadah kerja sama di berbagai bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di seluruh dunia.

Untuk menjawab berbagai tantangan yang mengemuka, negara-negara anggota OKI


memandang revitalisasi OKI sebagai permasalahan yang mendesak. Semangat dan dukungan
terhadap perlunya revitalisasi OKI dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur dan
kinerja organisasi OKI dinilai belum efisien dan efektif. Dalam kaitan ini, telah diadakan
rangkaian pertemuan yang berhasil mengkaji dan melakukan finalisasi TOR restrukturisasi
OKI yang disiapkan oleh Malaysia.

Pada pertemuan tingkat Kepala Negara/Kepala Pemerintahan (KTT) ke-10 di


Putrajaya, Malaysia, 11-17 Oktober 2003, OKI sepakat untuk memulai upaya konkret dalam
merestrukturisasi Sekretariat OKI, terutama pada empat aspek, yaitu perampingan struktur,
metodologi, peningkatan kemampuan keuangan, dan sumber daya manusia. KTT Luar Biasa
OKI ke-3 di Mekkah, Arab Saudi, pada 7-8 Desember 2005 telah mengakomodasi keinginan
tersebut yang dituangkan dalam bentuk Macca Declaration dan OIC 10-years Program of
Actions yang meliputi restrukturisasi dan reformasi OKI, termasuk perumusan Statuta OKI
baru yang diharapkan dapat dilaksanakan sebelum tahun 2015.

OIC 1 0-years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya
menfokuskan pada masalah politik, tetapi juga ekonomi perdagangan. Program Aksi 10 tahun
OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isu-isu pembangunan, sosial, ekonomi, dan
ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Di
bidang politik dan intelektual, dalam 10 tahun OKI diharapkan mampu menangani berbagai
isu seperti upaya membangun nilai-nilai moderasi dan toleransi; membasmi ekstrimisme,
kekerasan dan terorisme; menentang Islamofobia; meningkatkan solidaritas dan kerja sama
antar-negara anggota, pencegahan konflik, penanganan masalah Filipina, hak-hak kelompok
minoritas dan komunitas muslim, dan masalah-masalah yang dialami Afrika.

KTT OKI ke-11 berlangsung antara tanggal 13-14 Maret 2008 dan bertemakan “The
Islamic Ummah in the 21st Century”. KTT ini menghasilkan beberapa dokumen utama, yaitu
Piagam OKI, Final Communiqué, dan sejumlah resolusi. Final Communiqué mengangkat
berbagai isu, antara lain mengenai politik, keamanan, Palestina, minoritas muslim seperti
Kosovo, terorisme, ekonomi, sosial budaya, hukum, iptek, dan sosial budaya. Sementara itu,
resolusi terkait yang berhubungan dengan keamanan global/regional antara lain adalah
Resolutions on the Cause of Palestine, the City of Al-Quds Al-Sharif and the Arab-Israel
Conflict, Resolutions on Political Affairs, dan Resolutions on Muslim Communities and
Minorities in Non-OIC Member States. Piagam Baru tersebut pada intinya merupakan
penegasan OKI untuk mengeksplorasi bentuk kerja sama yang lain dan tidak terbatas pada
kerja sama politik saja.

Dalam kesempatan tersebut, Presiden RI dalam pidatonya menyampaikan antara lain


(a) dukungan terhadap OIC’s Ten-Year Plan of Action yang merupakan cerminan
pragmatisme OKI dalam menghadapi tantangan dan permasalahan umat, (b) konflik
Palestina-Israel merupakan penyebab utama krisis di Timur Tengah dan juga merupakan
tantangan serius perdamaian dan keamanan internasional; terkait dengan hal ini, Presiden
Indonesia menyambut baik hasil Konferensi Annapolis pada bulan Desember 2007, terutama
mengingat adanya joint understanding untuk mendirikan negara Palestina pada akhir tahun
2008, (c) potensi kapasitas negara-negara anggota OKI dapat diberdayakan dalam
memainkan perannya dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan global,
pemberantasan kemiskinan, dan percepatan pembangunan, (d) Islam, demokrasi, dan
modernitas maupun HAM adalah compatible, (e) Islam adalah agama perdamaian dan
toleran. Upaya interfaith dan inter-civilization dialogue perlu didukung dalam mengurangi
persepsi yang salah dan ketakutan terhadap Islam (Islamofobia) di kalangan Barat, (f)
pembangunan umat Islam harus memperhatikan aspek lingkungan. Dapat disampaikan bahwa
wakil Asia, Afrika, dan Arab juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama.
Selanjutnya, dalam KTM ke-35 OKI dengan tema Prosperity and Development di
Kampala, Uganda, tanggal 18-20 Juni 2008, telah dilakukan penandatanganan Piagam Baru
OKI oleh para Menteri Luar Negeri, termasuk Menteri Luar Negeri RI. Indonesia sangat
mendukung proses revitalisasi OKI dan menginginkan agar OKI dapat semakin efektif dalam
menanggapi berbagai perubahan dan tantangan global sesuai dengan tujuan pembentukannya.
Sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia senantiasa berpartisipasi
aktif dalam OKI dengan tujuan akhir untuk mendorong proses good governance di dunia
Islam untuk menjadikan OKI sebagai organisasi yang kredibel, kompeten, dan diakui
perannya di dunia internasional.
Pertemuan ke-36 Dewan Menteri Luar Negeri OKI (PTM ke-36 OKI) yang
dilaksanakan di Damaskus, tanggal 23-25 Mei 2009 membahas isu-isu kerja sama yang
menjadi perhatian bersama seperti politik, komunitas muslim di negara bukan anggota OKI,
kemanusiaan (humanitarian affairs), hukum, masalah-masalah umum dan keorganisasian,
informasi, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dakwah, sosial budaya, dan
administrasi serta keuangan. Dalam kesempatan tersebut, Menlu RI menyampaikan pokok-
pokok pidato, antara lain mengenai perlunya diintensifkan pelaksanaan reformasi OKI
khususnya di bidang demokrasi, good governance, dan HAM, termasuk hak-hak wanita
sesuai dengan mandat Program Aksi 10 Tahun OKI (TYPOA) dan Piagam Baru OKI, di
samping isu Palestina, kerja sama perdagangan dan pelibatan sektor swasta di antara negara
anggota, serta sebagai Ketua PCSP-OIC melaporkan perkembangan proses perdamaian di
Filipina Selatan terkait dengan pelaksanaan pertemuan Tripartite antara Pemerintah Filipina-
MNLF-OKI yang merundingkan implementasi sepenuhnya Perjanjian Damai 1996.
Peran Pemri yang menonjol lainnya dalam OKI adalah fasilitasi upaya penyelesaian
konflik antara Pemerintah Filipina (GRP) dengan Moro National Liberation Front (MNLF)
dengan mengacu kepada Final Peace Agreement/Perjanjian Damai 1996. Peran Indonesia
saat ini adalah sebagai Ketua Organization Islamic Conference Peace Committee for the
Southern Philippines (PCSP-OIC). Selaku Ketua PCSP, Indonesia mengadakan tukar
pandangan dengan wakil-wakil negara anggota OIC-PCPS yang memiliki perwakilan di
Manila dalam upaya kolektif untuk mendorong kembali kelanjutan proses perdamaian GRP-
MNLF.

Dalam berbagai forum internasional, termasuk OKI, Indonesia telah memberikan


dukungan bagi berdirinya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem
sebagai ibu kotanya. Realisasi dari dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk dukungan
diplomatik, yaitu pengakuan terhadap keputusan Dewan Nasional Palestina (Palestinian
National Council) untuk memproklamasikan Negara Palestina pada tanggal 15 November
1988. Dukungan kemudian dilanjutkan dengan pembukaan hubungan diplomatik antara
Pemerintah RI dan Palestina pada tanggal 19 Oktober 1989. Di samping itu, Indonesia adalah
anggota Committee on Al-Quds (Yerusalem) yang dibentuk pada tahun 1975.
Selain itu, isu terorisme juga telah menjadi perhatian utama OKI. Komitmen OKI
untuk mengatasi masalah terorisme terlihat antara lain pada The Extraordinary Session of the
Islamic Conference of Foreign Ministers on Terrorism di Kuala Lumpur, Malaysia, 1-3 April
2002, yang menghasilkan Kuala Lumpur Declaration on International Terrorism. Deklarasi
tersebut pada intinya menekankan posisi negara-negara anggota OKI dalam upaya untuk
memerangi terorisme dan upaya-upaya untuk mengkaitkan Islam dengan terorisme.
Terorisme merupakan salah satu isu di mana OKI memiliki sikap bersama pada pembahasan
di forum SMU PBB. Inti posisi OKI adalah perlunya pembedaan antara kejahatan terorisme
dan hak sah perlawanan rakyat Palestina untuk merdeka. Dalam kaitan ini, maka
penyelesaian politik konflik Palestina secara adil akan memberikan sumbangan bagi
pemberantasan the root causes of terrorism.

Pada tanggal 18 - 20 Mei 2010, dilaksanakan Pertemuan ke-37 Dewan Menteri Luar
Negeri Organisasi Konferensi Islam (KTM ke-37 OKI) di Dushanbe, Tajikistan. Pertemuan
ini merupakan KTM OKI pertama yang diadakan di Asia Tengah, dengan tema “Shared
Vision of a More Secure and Prosperous Islamic World”. Pertemuan tersebut merupakan
momentum khusus bagi kawasan tersebut dalam rangka meningkatkan kerja samanya dengan
negara-negara anggota OKI lain, dan diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya OKI dalam
menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Dalam pertemuan tersebut, Menlu RI
menekankan kembali mengenai proses reformasi OKI yang tengah berjalan dan perlunya
negara-negara anggota OKI mendukung proses tersebut, antara lain melalui implementasi
Piagam OKI dan Program Aksi 10 Tahun (TYPOA). Disampaikan pula bahwa Pemerintah RI
mendukung upaya OKI bagi realisasi pembentukan Komisi HAM OKI dan terhadap statuta
Organisasi Pembangunan Perempuan OKI yang telah disahkan.

Di masa mendatang, pembentukan kedua badan dimaksud akan semakin memperjelas


posisi OKI dalam mempromosikan dan mengembangkan HAM dan isu perempuan di dunia
internasional. Pemerintah RI juga menyatakan sikapnya atas upaya terciptanya dunia yang
bebas dari senjata nuklir berdasarkan 3 pilar utama, yaitu nuclear disarmament, non-
proliferasi nuklir, dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai. Untuk itu, Pemerintah RI
menyambut baik tercapainya kesepakatan antara Iran, Turki, dan Brazil dalam hal pengaturan
penggunaan energi nuklir. Hal ini diharapkan akan membantu penyelesaian isu nuklir Iran.

Di samping itu, pada kesempatan yang sama Pemerintah RI juga menyatakan


dukungan atas berdirinya negara Palestina yang merdeka dan ajakan kepada komunitas
internasional untuk secara bersama memberikan bantuan yang diperlukan guna meningkatkan
taraf hidup masyarakat Palestina. Indonesia telah memberikan prioritas pada pengembangan
capacity building bagi rakyat Palestina, mencakup pembangunan sosial, pemerintahan,
ekonomi, infrastruktur, dan keuangan untuk periode 2008 - 2013.

Berkenaan dengan isu Islamofobia, Pemerintah RI menekankan mengenai perlunya


mengajak pihak Barat dalam proses penciptaan proses dialogis lintas-agama dan kebudayaan
yang konstruktif guna memperkecil timbulnya pemahaman yang keliru atas Islam, di samping
memperkenalkan Islam sebagai agama yang mengedepankan toleransi dalam menjawab
tantangan global saat ini. Dalam pembahasan resolusi tentang OIC Strategy Paper on
Combating Defamation of Religion, Pemerintah RI menekankan kembali perlunya menjaga
kesatuan sikap dan posisi Kelompok OKI terhadap isu-isu yang bersifat prinsipiil dan juga
mengimbau kiranya Kelompok OKI dapat lebih menunjukkan fleksibilitas melalui
engagement yang lebih bersifat konstruktif kepada pihak dan kelompok lain.

KTM OKI ke-37 telah mengesahkan apa yang disebut Deklarasi Dushanbe. Deklarasi
tersebut menggarisbawahi beberapa isu, seperti Perdamaian di Timur Tengah; Afghanistan;
pengutukan agresi Armenia terhadap Azerbaijan; menyambut baik kesepakatan pertukaran
bahan bakar nuklir oleh Iran, Turki, dan Brazil; terorisme; perlucutan senjata nuklir dan
senjata pemusnah massal; pengembangan SDM dan pendidikan; mendorong kelancaran
barang dan jasa di antara Negara OKI; dialog antar-peradaban dan Islamofobia.

Disela-sela pelaksanaan KTM, selaku Ketua Komite Perdamaian OKI untuk Filipina
Selatan (OIC-PCSP – Peace Committee for the Southern Philippines), Indonesia mengadakan
pertemuan Komite pada tanggal 20 Mei 2010 yang dihadiri oleh anggota Komite, yaitu Arab
Saudi, Brunei Darussalam, Libya, Malaysia, Mesir, Tajikistan, Turki, Senegal, serta Utusan
Khusus Sekretaris Jenderal OKI untuk Filipina Selatan, Dubes Sayyed El-Masry. Bangladesh
tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Dalam kesempatan itu, selaku Ketua Komite,
Indonesia menyampaikan laporan perkembangan implementasi dari Perjanjian Damai 1996,
khususnya pasca-Pertemuan Tripartite (GRP - OKI - MNLF) Maret 2009 hingga pertemuan
di Tripoli, Libya, 20 Mei 2010.
Mewakili Presiden RI, Menlu RI turut berpartisipasi dalam KTT Luar Biasa OKI ke-4
yang diselenggarakan pada tanggal 14-15 Agustus 2012 di Mekkah, Arab Saudi. KTT ini
membahas isu-isu yang tengah menjadi perhatian bersama negara-negara anggota OKI, yaitu
isu Palestina, Suriah, muslim Rohingya di Myanmar, Mali, dan Sahel. Di samping itu, KTT
Luar Biasa OKI berhasil menyepakati Final Communique yang memuat keputusan KTT OKI
untuk membekukan keanggotaan Suriah serta beberapa resolusi lainnya mengenai Palestina,
Suriah, Mali, dan Sahel.

Selanjutnya, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI ke-39 diselenggarakan di


Djibouti pada tanggal 15-17 November 2012, setelah sebelumnya KTM ke-38 dilaksanakan
di Astana, Kazakhstan. KTM OKI ke-39 mengambil tema “Session of Solidarity for
Sustainable Development” dan dihadiri oleh 51 negara anggota OKI (26 delegasi pada
tingkat menteri), observer, serta organisasi dan negara-negara tamu yang diundang.
Pertemuan ini mengadopsi Deklarasi KTM OKI ke-39 serta mendukung Republik Guinea
sebagai tuan rumah KTM OKI ke-40. Selain itu, ditetapkan pula berbagai resolusi yang telah
diputuskan oleh Pertemuan Senior Official Meeting (SOM) di Jeddah bulan September 2012
serta resolusi yang telah diputuskan oleh Special Committee di sela-sela KTM OKI ke-39 di
Djibouti.

Pada tanggal 2-7 Februari 2013, diselenggarakan rangkaian Konferensi Tingkat


Tinggi (KTT) ke-12 OKI di Kairo, Mesir yang dihadiri oleh 26 Kepala Negara/Pemerintahan
negara anggota OKI. Dalam KTT tersebut, Presiden RI menyampaikan pernyataan mewakili
Kelompok Asia dan atas kapasitas nasional. Presiden RI antara lain menyatakan bahwa OKI
harus dapat memanfaatkan kesempatan yang ada bagi kepentingan umat Islam dan berperan
di tingkat global. Dalam kaitan ini, OKI harus dapat menjadi kontributor utama bagi
perdamaian dunia dan keamanan, pembangunan ekonomi dan kemakmuran global yang
merata, serta pengembangan demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia.

Pada tanggal 6 Februari 2013 juga telah diselenggarakan sesi khusus bagi Kepala
Negara/Pemerintahan terkait isu settlements di wilayah Palestina. Sesi khusus ini
diselenggarakan mengingat adanya rencana Israel untuk membangun lebih dari 3.600
pemukiman di Yerusalem Timur yang merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
Pada kesempatan tersebut, Menlu RI menyampaikan pernyataan Presiden RI yang memuat
usulan langkah-langkah konkret yang dapat diambil OKI dalam kerangka diplomatik, legal,
dan ekonomi.

KTT OKI ke-12 tersebut telah menghasilkan “Cairo Final Communique”. Cairo
Final Communique terdiri dari 165 paragraf dan memuat isu politik, komunitas dan minoritas
muslim di negara non-OKI, HAM, terorisme, pelucutan senjata, Islamophobia, voting di
forum internasional, kemanusiaan, kerja sama ekonomi, sosial-budaya, iptek, pendidikan,
kesehatan, lingkungan dan perubahan iklim, informasi, keuangan dan administrasi, dan
keorganisasian OKI. Selain itu, dimuat juga resolusi mengenai Palestina dan Al-Quds Al-
Sharif sebagai hasil dari sesi khusus mengenai pemukiman di wilayah Palestina; memuat
kecaman atas tindakan Israel terhadap Palestina dan imbauan kepada masyarakat
internasional, termasuk kepada Dewan Keamanan (DK) PBB, untuk mengimplementasikan
resolusi terkait isu Palestina; serta Deklarasi mengenai situasi di Mali yang antara lain
memuat rencana pembentukan Special Fund yang sifatnya sukarela guna mendukung
pembangunan ekonomi di Mali.

Tanggal 9-11 Desember 2013, diselenggarakan KTM ke-40 OKI di Conakry, Repulik
Guinea, dengan tema “Dialogue of Civilization, Factor for Peace and Sustainable
Development”. KTM tersebut membahas sejumlah isu politik, ekonomi, dan keorganisasian.
Dalam sesi debat umum KTM OKI ke-40, Indonesia menyampaikan antara lain dorongan
agar OKI terus memperkuat dialog antar-agama dan keyakinan sebagai upaya untuk
menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mendepankan perdamaian dan toleransi.
Indonesia juga menyampaikan pentingnya OKI bekerja keras mendorong pembangunan
ekonomi untuk kesejahteraan anggotanya dan pentingnya partisipasi negara-negara anggota
dalam pembahasan agenda pembangunan pasca-2015. Disampaikan pula penegasan
dukungan Indonesia pada perjuangan rakyat Palestina, solusi politik damai dan inklusif atas
situasi di Suriah, termasuk dukungan terhadap Konferensi Jenewa II.

KTM OKI ke-40 ini mengesahkan Conakry Decalaration yang berisi pernyataan
sikap OKI atas berbagai isu dan resolusi-resolusi yang disahkan dalam pertemuan, termasuk
Resolusi mengenai “The Situation in the Southern Philipines”. Pengesahan Ranres ini
mengalihkan Keketuaan pada OIC-PCSP dari Indonesia kepada Mesir. (Terakhir
dimutakhirkan: 9 Januari 2014)
B. APEC (Asia Pasifik Economic Cooperation)
a. Latar Belakang dan Perkembangan APEC
Dinamika ekonomi politik Asia Pasifik pada akhir tahun 1993 tampak memasuki
babak baru, terutama dalam bentuk pengorganisasian kerja sama perdagangan dan investasi
regional. Dalam hal ini, negara-negara Asia Pasifik berbeda dengan negara-negara di Eropa
Barat. Negara-negara di Eropa Barat memulainya dengan membentuk wadah kerja sama
regional. Dengan organisasi itu, ekonomi di setiap negara saling berhubungan dan
menghasilkan ekonomi Eropa yang lebih kuat daripada sebelum Perang Dunia II. Sebaliknya,
negara-negara Asia Pasifik, terutama sejak tahun 1970-an, saling berhubungan secara intensif
dan menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi walaupun tanpa kerangka kerja sama
formal seperti yang ada di Eropa. Bahkan, berbagai transaksi ekonomi terjadi antarnegara
yang kadang-kadang tidak memiliki hubungan diplomatik. Taiwan adalah contoh negara
yang tidak diakui eksistensi politiknya, tetapi menjadi rekanan aktif sebagian besar negara
Asia Pasifik dalam kegiatan ekonomi. Sekarang dinamika ekonomi itu dianggap memerlukan
wadah organisasi yang lebih formal.
Dunia usaha lebih dahulu merasakan adanya kebutuhan akan organisasi itu, seperti
tercermin dalam pembentukan Pacific Basin Economic Council (PBEC) tahun 1969.
Organisasi ini beranggotakan pebisnis dari semua negara Asia Pasifik, kecuali Korea Utara
dan Kampuchea. Organisasi PBEC aktif mendorong perdagangan dan investasi di wilayah
Asia Pasifik, tetapi hanya melibatkan sektor swasta.
Pada tahun 1980 muncul Pacific Economic Cooperation Council (PECC). Organisasi
yang lahir di Canberra, Australia ini menciptakan kelompok kerja untuk mengidentifikasi
kepentingan ekonomi regional, terutama perdagangan, sumber daya manusia, alih teknologi,
energi, dan telekomunikasi. Walaupun masih bersifat informal, PECC melibatkan para
pejabat pemerintah, pelaku bisnis, dan akademis. Salah satu hasil kegiatan PECC adalah
terbentuknya Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) sebagai wadah kerja sama bangsa-
bangsa di kawasan Asia Pasifik di bidang ekonomi yang secara resmi terbentuk bulan
November 1989 di Canberra, Australia pada tahun 1989.

Pembentukan APEC atas usulan Perdana Menteri Australia, Bob Hawke. Suatu hal
yang melatarbelakangi terbentuknya APEC adalah perkembangan situasi politik dan ekonomi
dunia pada waktu itu yang berubah secara cepat dengan munculnya kelompok-kelompok
perdagangan seperti MEE, NAFTA. Selain itu perubahan besar terjadi di bidang politik dan
ekonomi yang terjadi di Uni Soviet dan Eropa Timur. Hal ini diikuti dengan kekhawatiran
gagalnya perundingan Putaran Uruguay (perdagangan bebas). Apabila masalah perdagangan
bebas gagal disepakati, diduga akan memicu sikap proteksi dari setiap negara dan sangat
menghambat perdagangan bebas. Oleh karena itu, APEC dianggap bisa menjadi langkah
efektif untuk mengamankan kepentingan perdagangan negara-negara di kawasan Asia
Pasifik. Adapun tujuan dibentuknya APEC adalah untuk meningkatkan kerja sama ekonomi
di kawasan Asia Pasifik terutama di bidang perdagangan dan investasi.

b. Anggota dan Klasifikasi Negara Anggota


Pada awal berdirinya, APEC beranggotakan dua belas negara, yaitu enam negara
anggota ASEAN dan enam mitra dialognya, seperti Jepang, Korea Selatan, Australia,
Selandia Baru, Kanada, dan Amerika Serikat. Pada tahun 1991 APEC menerima Cina,
Hongkong dan Taiwan masuk menjadi anggotanya. Dalam pertemuan di Seattle, Kanada
pada bulan November 1993, APEC memasukkan Papua Nugini dan Meksiko sebagai
anggota.Pada pertemuan di Bogor tahun 1994 anggota APEC menjadi 18 negara yaitu :
a) Indonesia j) Korea Selatan
b) Singapura k) Selandia Baru
c) Thailand l) Australia
d) Filipina m) RRC
e) Malaysia n) Taiwan
f) Brunei Darussalam o) Hongkong
g) Amerika Serikat p) Meksiko
h) Jepang q) Papua Nugini
i ) Kanada r) Cile
Dari 18 negara anggota, diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yang didasarkan atas
kemajuan ekonomi dan industri, yaitu sebagai berikut :
a) Negara sangat maju : AS dan Jepang.
b) Negara maju : Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
c) Negara industri : Korea Selatan, Singapura, Taiwan dan Hongkong.
d) Negara berkembang : Brunei Darusalam, Malaysia, Filipina, Thailand, RRC, Meksiko,
Papua Nugini, Cili, dan Indonesia.

c. KTT APEC
APEC merupakan kerja sama ekonomi regional untuk memajukan perdagangan dan
investasi di Asia Pasifik.Pertemuan tingkat tinggi para kepala negara/pemerintah disebut
meeting atau AELM (APEC Economic Leaders Meeting = Pertemuan para pemimpin
Ekonomi APEC) yang bersifat informal. Adapun AELM diadakan:
a) AELM I di Seattle, AS tahun 1993
b) AELM II, di Bogor, Indonesia tahun 1994
c) AELM III, di Osaka, Jepang tahun 1995
d) AELM IV di Manila Filipina tahun 1996
e) AELM V di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal 17-18 November 1998.

d. Kerja Sama APEC


Sejak akhir tahun 1980-an, motivasi untuk melakukan kerja sama regional itu makin
kuat karena beberapa hal berikut ini :
a) Perlu kesiapan negara-negara Asia Pasifik terhadap kemungkinan peningkatan proteksi di
Eropa dan Amerika Serikat. Seperti telah diketahui bahwa pada dasawarsa 1980-an, Eropa
mempercepat langkahnya menuju penyatuan ekonomi dan moneter Eropa. Demikian pula
halnya ketika North American Free Trade Area (NAFTA) makin gencar dan Amerika Serikat
makin sering menerapkan tekanan politik dalam kebijakan perdagangan luar negerinya,
misalnya, melalui ancaman pencabutan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP).
Antisipasi terhadap perkembangan itu mendorong para pemimpin kawasan ini
memformalkan kerja sama regional.
b) Peningkatan pertumbuhan perdagangan Intra-Asia dan Intra-Asia Pasifik. Dalam periode
1988–1992 total ekspor negara-negara anggota APEC meningkat dari 1.079,4 miliar dolar
Amerika menjadi 1.518,0 miliar dolar Amerika dan 66 persen di antaranya adalah ekspor ke
sesama anggota APEC. Dalam periode yang sama, total impor negara-negara meningkat dari
1.221,1 miliar dolar Amerika menjadi 1.519,4 miliar dollar Amerika dan 67,2 persen di
antaranya adalah impor dari sesama anggota APEC. Makin intensifnya interaksi intraregional
itu juga diduga menumbuhkan motivasi regionalisme di kawasan yang menghasilkan kira-
kira 50 persen produksi dunia dan menguasai 40 persen pangsa pasar global.
c) Kemunculan negara-negara industri baru di Asia Timur. Keyakinan akan kekuatan sendiri
dan rasa percaya diri yang muncul akibat prestasi itu juga banyak mendorong negara-negara
di kawasan ini untuk melakukan kerja sama regional.
d) Infrastruktur yang makin baik, seperti telekomunikasi dalam mendukung kerja sama
regional.
Dari sudut kepentingan ekonomi, lebih dari 70% pasar ekspor Indonesia berada di
kawasan Asia Pasifik. Begitu pula impor Indonesia kira-kira 60% berasal dari negara-negara
anggota APEC. Mereka juga menyumbang hampir 35% dari keseluruhan bantuan luar negeri
yang diterima Indonesia. Dampak kerja sama ekonomi dalam kegiatan investasi di APEC
adalah terbukanya peluang pasar yang makin lebar. Hal yang juga harus dimengerti ialah
APEC bisa menjadi ancaman jika perekonomian kita tidak segera dipersiapkan untuk arus
perdagangan bebas. Dengan terjun ke perdagangan bebas, sebuah negara harus siap
menerima banjir barang impor, tetapi yang dimaksud bukan perdagangan bebas dalam arti
sebebas-bebasnya.
Persoalan besar yang dihadapi negara-negara Selatan dalam kedua arena tersebut
adalah rendahnya tingkat solidaritas mereka. Dalam APEC, negaranegara Selatan tidak
bertindak sebagai kelompok yang bersatu. Misalnya, Malaysia yang berusaha menentang
Amerika Serikat ternyata tidak memperoleh dukungan dari rekan-rekannya dari ASEAN.
Begitu pula yang terjadi dalam perundingan Putaran Uruguay dan GATT. Upaya negara-
negara Selatan untuk menerapkan strategi koalisi global dan melakukan negosiasi dan tawar-
menawar sebagai kelompok seperti yang mereka lakukan dalam United Nations

Conference on Trade and Development (UNCTAD) tidak berhasil karena beberapa alasan
berikut:
a) Penerapan strategi pecah dan tindas oleh negara-negara Utara, terutama Amerika Serikat.
Salah satu mekanismenya adalah tekanan-tekanan bilateral terhadap negara-negara yang
hendak menentang usulan GATT.
b) Adanya kehendak negara-negara Selatan untuk membentuk koalisi menentang negara-
negara Utara. Oleh karena itu, negara-negara Utara mengusulkan pembentukan Kelompok
Cairns dalam GATT yang beranggotakan negara-negara Utara dan Selatan, seperti Argentina,
Australia, Brasil, Cile, Kolombia, Filipina, Hongaria, Indonesia, Kanada, Malaysia, Selandia
Baru, Thailand, dan Uruguay. Dengan demikian, pengelompokan yang eksklusif dari negara-
negara Selatan tidak terjadi.
c) Adanya kemungkinan bahwa keberhasilan Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura sebagai
negara industri baru melalui jalur kapitalis, neoklasik, dan dengan menempel pada negara
besar, seperti Amerika Serikat telah melunturkan keyakinan banyak negara Selatan tentang
efektivitas koalisi Selatan–Selatan itu.
e. Prinsip ASEAN dan Sikap Indonesia
Prinsip ASEAN terhadap APEC adalah sebagai berikut.
a) Setiap peningkatan kerja sama di kawasan Asia-Pasifik, hendaknya identitas, kepentingan,
dan persatuan ASEAN tetap dipertahankan.
b) Kerja sama hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan, keadilan, dan
keuntungan bersama.
c) Hendaknya kerja sama tidak diarahkan pada pembentukan blok perdagangan yang tertutup
(inward looking economic or trading block).
d) Hendaknya kerja sama ditujukan untuk memperkuat kemampuan individual dan kolektif
para peserta.
e) Hendaknya pertumbuhan kerja sama dikembangkan secara bertahap dan pragmatis

Sedangkan sikap Indonesia terhadap keberadaan APEC adalah menyambut era


perdagangan bebas dengan tangan terbuka. Perdagangan bebas menuntut produk-produk
berkualitas, memiliki daya saing tinggi dan mampu menembus pasaran dunia. Untuk
mempersiapkan era pasar bebas tersebut, maka langkah pemerintah Indonesia adalah sebagai
berikut :
a) Meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal.
b) Meningkatkan mutu produk-produk agar mampu menembus pasaran dunia dan mampu
bersaing.
c) Meningkatkan budaya ACI (Aku Cinta Indonesia), yaitu menumbuhkan mentalitas di
kalangan rakyat Indonesia dari kalangan bawah, menengah dan atas agar mencintai segala
produksi dalam negeri.
d) Meningkatkan semangat nasionalisme agar tidak terbawa arus globalisasi agar tercipta
modernisasi bukan westernisasi.
e) Meningkatkan semangat juang dan pantang menyerah untuk membangun bangsa dan
negara.
Daftar Pustaka

http://elmisbah.wordpress.com/2008/07/15/organisasi-konferensi-islam-oki/

Anda mungkin juga menyukai