Anda di halaman 1dari 9

PENGARUH DOKTRINASI DAN LINGKUNGAN TERHADAP

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Esai bertema pendidikan yang dibuat untuk berpartisipasi dalam lomba esai yang
diselenggarakan oleh BEM UNIKAL

Penulis :

Bennartho Denys Rapoho

UNIVERSITAS GADJAH MADA


YOGYAKARTA
2017
PENGARUH DOKTRINASI DAN LINGKUNGAN TERHADAP
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dari kemajuan suatu


bangsa. Menurut Prof. Lodge (Philosophy of education) perkataan pendidikan
digunakan dalam arti luas dan sempit. Dalam pengertian yang luas, semua
pengalaman itu adalah pendidikan. Seorang anak mendidik orang tuanya, seperti
halnya seorang murid mendidik gurunya. Segala sesuatu yang kita katakan,
pikirkan, atau kerjakan tidak berbeda dengan apa yang dikatakan atau dilakukan
sesuatu kepada kita, baik dari benda-benda hidup maupun mati. Dalam pengertian
yang lebih luas ini, pendidikan adalah kehidupan ( Tim Dosen FIP IKIP Malang,
1988; 5).
Proses pendidikan terjadi dengan tujuan yang beragam. Masing-masing
negara memiliki titik tekan sendiri dalam tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Tujuan pendidikan di negara maju dan berkembang juga berbeda. Bahkan, antar
negara maju atau berkembang itu sendiri tujuan pendidikannya tidak sama.
Begitupun tujuan pendidikan di pedesaan dan di perkotaan. Meskipun memiliki
tujuan yang berbeda-beda terdapat suatu kesamaan diantara perbedaan tersebut.
Pandangan pertama mengenai tujuan pendidikan dikemukakan oleh UNESCO.
UNESCO mengemukakan pendidikan untuk semua tujuan (education for all
goals). Menurut UNESCO, pada 2015 ada enam tujuan pendidikan yang
disepakati secara internasional untuk memenuhi kebutuhan belajar semua anak,
remaja, dan orang dewasa.
Tujuan 1 : Memperluas serta meningkatkan perawatan dan pendidikan anak usia
dini yang komprehensif, terutama bagi anak-anak yang paling rentan
dan kurang beruntung.
Tujuan 2 : Memastikan bahwa menjelang tahun 2015, semua anak khususnya
anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang
termasuk etnik minoritas, memiliki akses ke pendidikan dasar
lengkap, gratis, dan wajib dengan kualitas yang baik.
Tujuan 3 : Memastikan kebutuhan belajar semua anak muda dan orang dewasa
terpenuhi melalui akses yang adil terhadap pembelajaran yang tepat
dan program keterampilan hidup.
Tujuan 4 : Mencapai 50 persen perbaikan dalam tingkat keaksaraan dewasa
menjelang tahun 2015 terutama bagi perempuan, dan akses yang adil
pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
Tujuan 5 : Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar serta menengah
pada 2005 dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada
2015 dengan fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan
sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik.
Tujuan 6 : Meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan memastikan
keunggulan semua sehingga hasil pembelajaran yang diakui dan
terukur dicapai oleh semua, terutama dalam keaksaraan, berhitung,
serta pengajaran tentang keahlian dan keterampilan hidup yang
penting (http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-
international-agenda/education-for-all/efa-goals/).
Pendidikan bermula dari lingkungan keluarga hingga pendidikan formal.
Lingkungan keluarga adalah pendidikan paling dini yang didapatkan oleh
manusia. Sejak lahir, bayi sudah diajarkan bagaimana cara berkomunikasi dan
bersosialisasi. Tanpa disadari seringkali kita melupakan pentingnya keadaan
lingkungan bagi keberhasilan suatu pendidikan. Lingkungan keluarga merupakan
pondasi awal terbentuknya karakter manusia. Selanjutnya faktor lingkungan
masyarakat juga sangat berpengaruh. Sebagai contoh, di suatu desa yang dulunya
memiliki latar belakang kurang baik seperti yang sering disebut “kampung
preman”. Meskipun julukan tersebut sekarang telah dihilangkan dari perspektif
masyarakat tetapi secara tidak sadar ternyata hal tersebut masih bereinkarnasi
kepada generasi muda. Anak-anak yang tinggal dan bermain di lingkungan
tersebut justru mendapat contoh perilaku yang buruk dari para orang dewasa
sehingga mereka justru meniru apa saja yang dilakukan oleh orang-orang dewasa
tersebut. Selain meniru tingkah laku buruk orang dewasa tersebut, ternyata anak-
anak juga telah diajarkan hal-hal buruk, seperti mengejek, berkata kasar,
diskriminasi bahkan pornografi. Salah satu contoh yang penulis dapatkan ketika
melakukan kegiatan sosial di Desa Bumiijo, Jetis, Kota Yogyakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Disana terdapat sebuah perkampungan yang jauh dari kata
megah meskipun berada di tengah kota Yogyakarta. Desa Bumiijo dulu disebut
sebagai “kampung preman” karena pada masa lalu tempat ini pernah dihuni oleh
beberapa preman yang justru berasal dari luar daerah. Karena latar belakang inilah
anak-anak yang penulis jumpai di desa tersebut bersikap sedikit kasar dan tidak
sopan. Adanya doktrinasi negatif yang sudah tertanam dalam pikiran anak-anak
sejak dini menjadi sesuatu yang cukup sulit untuk dihilangkan. Upaya yang
penulis dan rekan-rekan lakukan untuk menghadapi persoalan ini adalah dengan
mengadakan kegiatan pendampingan belajar di waktu bermain mereka. Meskipun
hasil dari kegiatan sosial ini tidak secara langsung dapat dirasakan hasilnya tetapi
harus dilakukan secara berkelanjutan. Tujuannya agar menumbuhkan kebiasaan
baru bagi anak-anak dengan mengkondisikan lingkungan bermain yang kondusif
dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Sehingga akan melatih perilaku budaya
yang baik bagi anak-anak.
Keberagaman lingkungan memang menjadi sesuatu hal yang wajar.
Mengingat latar belakang budaya NKRI yang berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Satu jua yang dimaksud adalah sebuah kebaikan. Kebaikan yang dimiliki oleh
berbagai keanekaragaman inilah yang memicu timbulnya persatuan. Sama halnya
dengan lingkungan pendidikan, meskipun beragam tetapi kita harus
menyelaraskannya antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain dalam
segi positifnya. Sehingga lingkungan pendidikan yang kurang baik akan
menghilang secara sendirinya. Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa
pendidikan berlangsung dalam tripusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan
masyarakat. Ketiga pendidikan ini harus selaras dan tidak boleh ada kesenjangan
diantaranya. Pendidikan keluarga sangat penting tetapi pendidikan formal juga
tidak kalah pentingnya. Tetapi mengingat pembagian waktunya, pendidikan
keluarga dan masyarakat adalah yang paling dominan.
Lingkungan sangat mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu proses
pendidikan (Beriyamin S. Bloom, 1976). Berbagai upaya yang dilakukan oleh
orang tua maupun pemerintah dalam menciptakan pendidikan yang baik mulai
dari pembenahan lingkungan sosial hingga upaya doktrin. Doktrin adalah salah
satu upaya yang dilakukan bagi para orang tua maupun guru dalam mengajarkan
hal yang baik kepada anak-anak. Sebagai contoh orang tua sering mengingatkan
anaknya agar tidak bermain di saat petang menjelang malam karena tidak patut
atau orang sunda biasa menyebutnya “pamali”. Ataupun orang tua sering
mengajarkan anaknya untuk makan dan berjabat tangan dengan menggunakan
tangan kanan. Dengan doktrin tersebut anak-anak secara tidak langsung dipaksa
untuk patuh terhadap perintah. Jika ditinjau dari segi pragmatisnya, doktrin
sangatlah efektif digunakan untuk mengajarkan kebaikan kepada anak-anak.
Tetapi pada kasus yang terjadi di Desa Bumiijo ternyata fungsi doktrin tersebut
justru disalahgunakan. Doktrin yang timbul justru berupa sesuatu hal negatif
seperti mengajarkan diskriminasi terhadap pihak-pihak tertentu bahkan sampai
menghina antar ras, suku, golongan maupun agama. Ternyata pengaruh doktrin
bagi pendidikan anak usia dini sangatlah berpengaruh. Apapun doktrin yang
diajarkan sejak awal itulah yang tertanam lama dalam pikiran mereka. Artinya
fungsi doktrin ini harus dimanfaatkan untuk pendidikan yang baik, bukan justru
menjurus pada pendidikan yang buruk.
Doktrin agama adalah yang paling berpengaruh dalam pendidikan anak
usia dini. Sejak kecil anak sudah diajarkan tentang tuhan serta mengenai perintah
dan larangannya. Selain itu dijelaskan pula tentang konsekuensi atau hukuman
bila melanggarnya. Seperti contoh, orang tua sering mengatakan bahwa jika kita
berbohong maka akan mendapat dosa. Dan jika mendapat dosa yang banyak maka
akan masuk neraka. Neraka adalah suatu tempat yang panas dan mengerikan.
Mendengar pernyataan-pernyataan tersebut maka anak akan secara langsung
menyakininya sebagai sesuatu yang benar adanya. Apalagi jika yang
mengatakannya adalah orang yang ia percayai seperti orang tuanya atau gurunya.
Doktrin sangatlah baik untuk diberikan kepada anak-anak usia dini tujuannya agar
mereka dapat mengerti mengenai baik dan buruk serta konsekuensi dari suatu
perbuatan. Tetapi doktrin juga dapat memberikan dampak sebaliknya jika
diberikan dengan tanpa dasar seperti mengatakan bahwa agama X lebih baik dari
agama Y. Maka secara tidak langsung anak akan menganggap bahwa agama Y
pasti salah sedangkan agama X yang paling benar. Dampaknya akan timbul ketika
anak tersebut bersosialisasi dengan teman yang memiliki keyakinan berbeda,
maka ia akan mengejek dan mencaci agama selain yang diyakininya.
Selain faktor keluarga, lingkungan, dan sekolah juga terdapat faktor lain
yang dapat mempengaruhi pendidikan anak. Salah satunya adalah media
elektronik yang mayoritas digunakan oleh anak adalah televisi. Hasil kajian
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, misalnya mencatat, rata-rata anak usia
sekolah dasar menonton televisi antara 30-35 jam setiap minggu. Artinya setiap
hari biasa mereka dapat menonton tayangan televisi lebih dari 4-5 jam. Sedangkan
hari minggu bisa 7-8 jam. Jika rata-rata empat jam sehari, berarti setahun sekitar
1.400 jam, atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus SMA. Dampak dari
kebiasaan menonton tayangan televisi secara berlebihan dapat membuat anak juga
bebas menonton tayangan apapun di televisi. Meskipun terdapat pembatasan usia
tiap tayangan di televisi tetapi peran orang tua untuk memberikan pengetahuan
anak tentang hal tersebut kurang optimal sehingga masih saja para anak dibiarkan
secara bebas untuk menyaksikan berbagai tayangan di televisi. Bukan hanya di
lingkungan bermain, doktrinasi juga dapat berlangsung melalui media elektronik
seperti televisi. Banyaknya tayangan yang tidak pantas bagi anak-anak yang justru
dipertontonkan sehingga membuat pikiran anak berubah drastis. Dari yang
awalnya menyukai bermain bersama teman-teman justru menjadi paham akan
romantisme. Sangat mengkhawatirkan apalagi kebanyakan anak yang berusia 6
sampai 10 tahun yang terkena dampaknya. Perlu kita pahami bahwa ini adalah
salah satu bentuk doktrinasi modern. Tidak seperti kasus doktrinasi negatif yang
terjadi di Desa Bumiijo. Doktrinasi modern ini justru lebih sulit untuk kita sadari.
Bahkan meskipun tingkah laku anak sudah mulai berubah. Salah satu cara untuk
mengatasi bahaya doktrinasi negatif adalah melalui pendidikan informal.
Pendidikan informal adalah pendidikan yang tidak terstruktur yang
berkenan dengan pengalaman sehari-hari yang tidak terencana dan tidak
terorganisasi (belajar incidental). Jika pengalaman-pengalaman diinterprestasikan
atau dijelaskan oleh orang-orang yang lebih tua atau teman sejawat pengalaman
itu merupakan pendidikan informal (Kleis, 1973: 3-4). Menurut UU RI Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dimaksud pendidikan
informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan yang
dilaksanakan dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat yang terjadi
secara alamiah disebut sebagai pendidikan informal. Selanjutnya dalam pasal 27
disebutkan bahwa : (1) kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh
keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. (2) Hasil
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan
formal dan non-formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan. (3) Ketentuan mengenal pengakuan hasil pendidikan hasil
pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Sebuah solusi yang tepat untuk menangani bahaya doktrinasi negatif
terhadap pendidikan dengan cara melakukan kegiatan sosial berbasis lembaga
pengabdian masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan. Fungsi lembaga
pengabdian masyarakat ini adalah mengajak, mendampingi, mengedukasi serta
membudayakan kegiatan-kegiatan positif kepada anak-anak usia dini (usia antara
4-12 tahun). Penulis dapat memberi contoh salah satu lembaga pengabdian
masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta yang bernama Yogyakarta Mengajar
(YM). Berkontribusi secara berkelanjutan dalam merealisasikan pendidikan
informal yang baik kepada masyarakat khususnya anak-anak usia dini menjadi
tujuan penulis. Selain itu penulis juga berharap dapat menemukan berbagai
individu yang memiliki tujuan serupa untuk ikut berpartisipasi mendukung
terciptanya dunia pendidikan yang lebih baik dengan menyatukan harmoni tujuan
dari berbagai keberagaman kepentingan individu yang dimiliki.
Referensi :
Ahmadi, Rulam. 2014. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Tim Dosen FIP IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan.
Surabaya: Usaha Nasional.
Kleis, J., Lang, L., Mietus, J.R.& Tiapula, F.T.S. 1973. “Toward a Contextual
Detinition of Nonformal Education.” Nonformal Education Discussion Papers.
East Lansing, MI: Michigan State University.

Sumber Internet :
http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-
agenda/education-for-all/efa-goals
BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : Bennartho Denys Rapoho


Tempat, Tanggal Lahir : Cirebon, 2 Desember 1998
Alamat : Karangmalang E14a, Caturtunggal,Depok,Sleman,
Asal Instansi : Universitas Gadjah Mada
Email : denysbennartho@gmail.com
No.Hp/Whatsapp : 089660734753
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Kategori : Mahasiswa
Subtema yang dipilih : Pendidikan

Anda mungkin juga menyukai