Disusun Oleh :
Andika Wima Pratama
20184010100
1
LAPORAN ARTIKEL ILMIAH
Disusun Oleh :
Andika Wima Pratama
20184010100
Dokter Pembimbing :
dr. Uud Saputro, Sp.An
2
A. METODOLOGI
1. Definisi dari Perioperatif Anestesi Obstetri
3. Fokus
4. Aplikasi
3
terlatih untuk merawat pasien yang akan mendapatkan anestesi saat
persalinan, dan periode postpartum secara langsung.
Di tahun 2014, ASA meminta agar petunjuk yang diberikan pada tahun
2007 untuk dievaluasi kembali. Pembaharuan saat ini terdiri dari literatur
yang valid dan beberapa laporan terbaru dari pakar konsultan dan anggota
ASA. Pembaharuan ini disusun oleh anggota kerja yang ditunjuk oleh ASA
yang berjumlah 11 orang, terdiri dari beberapa anestesiologis yang tersebar
di Amerika Serikat, dan konsultan metodologi dari ASA. Kesimpulan dari
dokumen ini dapat dilihat di lampiran 1. Petunjuk ini juga disusun secara
bertahap. Pertama, kami melakukan surveilans penelitian dari jurnal yang
terbaru. Kedua, sebuah forum yang terdiri dari konsultan dibuka untuk (1)
berpartisipasi untuk mengikuti survey dari efektivitas ragam perencanaan
manajemen anestetik. (2) memberikan tanggapan dan saran terhadap resume
makalah yang disusun oleh anggota kerja terkait. Ketiga, kami melakukan
survey kembali tentang petunjuk ini kepada anggota ASA yang aktif yang
dipilih secara acak. Terakhir, kami merangkum semua informasi dari
beberapa tahap sebelumnya untuk menyelesaikan pembaharuan ini.
Persiapan dari petunjuk ini diikuti oleh proses metodologi yang rumit.
Bukti penelitian didapatkan dari 2 sumber yaitu bukti ilmiah dan bukti
berbasis opini:
Bukti Ilmiah : Bukti Ilmiah yang didapatkan berasal dari jurnal yang
ditelaah secara berkelompok. Daftar pustaka dari petunjuk ini didapatkan
dari PubMed dan data pelayanan kesehatan yang lain, pencarian di internet
secara langsung, anggota kerja terkait, anggota organisasi terkait, dan
pencarian manual dari artikel dari pembarahuan terakhir petunjuk ini. Bukti
ilmiah terbagi menjadi 3 berdasarkan kekuatan dan kualitas dari desain
penelitian dari studi ilmiah terkait. Kategori A berasal dari Randomized
4
Controlled Trial (RCT) dan kategori B berasal dari studi non-RCT dan RCT
tanpa grup pembanding. Dari setiap ketegori ini akan terbagi menjadi
beberapa tingkat. Tingkat ini menunjukkan seberapa besar pengaruh dan
kualitas jurnal terhadap petunjuk yang disusun. Pada dokumen ini, hanya
bukti dengat tingkat tertinggi yang akan dimasukkan untuk dilakukan
intervensi yang menghasilkan keuntungan, dan kerugian dari masing –
masing hasil yang didapatkan.
5
2.) Level 2 : Literatur terdiri dari studi observasi yang tidak dapat
dibandingan namun memiliki hubungan yang bermakna secara
statistik (Cth. : studi pengaruh, hubungan, atau
sensitivitas/spesifisitas)
3.) Level 3 : Literatur terdiri dari studi statistik secara deskriptif (cth.
Studi frekuensi dan persentase)
4.) Level 4 : Studi terdiri dari laporan kasus
6
c. Kategori C : Opini informal
B. Petunjuk
1. Evaluasi dan Persiapan Preanestetik
Persiapan dan evaluasi preanestetik pada topik ini meliputi fokus pada
anamnesis riwayat dan pemeriksaan fisik, jumlah platelet intrapartum,
skrining dan tipe darah, dan rekam perianestetik pada pola denyut jantung
janin.
7
frekuensi perdarahan postpartum (Kategori B2). Studi observasional
yang lain dan laporan kasus menyarankan agar hitung platelet
berguna untuk mendiagnosis gejala hipertensi kehamilan seperti
preeklampsia, hemolisis, peningkatan enzim hati, dan sindrom
akibat kekurangan platelet, dan kondisi lain yang terkait dengan
koagulopati (Kategori B3/B4)
b. Berdasarkan Surver : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju jika
anestesiologis memberi perintah untuk mendapatkan jumlah platelet
untuk meneliti kondisi pasien berdasarkan riwayat yang didapat,
pemeriksaan fisik, dan gejala klinis.
8
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju
bahwa pola DJJ harus dimonitor perkembangannya sebelum dan
sesudah pemberian anestesi neuraksial saat persalinan.
- Hal ini harus meliputi, tetapi tidak hanya terbatas dari kesehatan janin,
riwayat anestesi, riwayat obstetri, pengukuran tekanan darah, serta
pemeriksaan jalan nafas, jantung, dan paru konsisten dengan evaluasi
dari ASA (lihat “Practice Advisory for Preanasthesia Evaluation”).
- Periksa punggung pasien saat akan merencanakan anestesi neuraksial
- Pengenalan antara anestesi yang relevan dan resiko dari faktor obstetri
harus dikonsultasikan antara dokter kandungan dan anestesiologis.
9
Skrining dan cek tipe darah tidak disarankan pada wanita hamil yang
sehat dan tanpa komplikasi untuk penjalani persalinan pervaginam ataupun
sectio cesarea
6. Cairan Jernih
a. Berdasarkan Literatur : Literatur tidak cukup untuk membuktikan hubungan
antara waktu puasa meminum cairan jernih dan resiko emesis/refluks atau
aspirasi paru – paru saat persalinan
b. Berdasarkan Survey : Konsultan sangat setuju dan anggota ASA setuju
bahwa konsumsi cairan jernih dalam jumlah yang cukup diperbolehkan
pada pasien yang akan menjalani persalinan tanpa komplikasi, dan
pasien yang akan menjalani operasi (cth. Sectio cesarea yang terjadwal)
diperbolehkan meminum cairan jernih dalam jumlah yang cukup
maksimal dua jam sebelum terinduksi anestesi
7. Makanan Padat
a. Berdasarkan Literatur : Waktu puasa yang spesifik terhadap makanan padat
untuk memprediksi komplikasi anestesi belum bisa ditentukan. Tidak ada bukti
ilmiah yang cukup untuk membuktikan keamanan dari bermacam – macam
waktu puasa terhadap makanan padat pada pasien obstetri.
10
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa
pasien yang mengikuti prosedur operasi harus menjalani puasa terhadap
makanan padat antara 6 – 8 jam tergantung dari makanan yang terakhir
dimakan (cth. Makanan berlemak, dll.) . Pasien yang hamil dengan
resiko aspirasi yang lain (cth. Diabetes mellitus, obesitas.) atau pasien
dengan resiko untuk menjalani operasi harus menjalani puasa makan
dan minum tergantung dari dasar kasusnya, serta makanan padat harus
dihindari pada pasien yang menjalani persalinan pervaginam.
8. Antasida, Reseptor Antagonis H2, dan Metoclopramid
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT menunjukkan bahwa antasid preoperatif
seperti sodium sitrat dan sodium bikarbonat dihubungkan dengan peningkatan
pH gastrik selama periode peripartum (Kategori A2). RCT placebo
menunjukkan bahwa antagonis reseptor H2 berhubungan dengan peningkatan
pH gastrik pada pasien obstetri (Kategori A2) dan samar terhadap peningkatan
volume pada gaster (Kategori A2). RCT placebo juga menunjukkan bahwa
metoclopramid berhubungan dengan penurunan keasaman gaster dan
frekuensi dari aspirasi paru, emesis, morbiditas, dan mortalitas pada pasien
dengan risiko aspirasi isi lambung.
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA setuju bahwa prosedur
operasi (cth. Persalinan cesar) harus memperhatikan jam masuknya
antasid, reseptor antagonis H2, dan metoclopramid untuk profilaksis
aspirasi.
D. Rekomendasi untuk Pencegahan Aspirasi
1. Cairan Jernih
a. Pemasukan cairan jernih yang cukup diperbolehkan untuk pasien yang
menjalani persalinan tanpa komplikasi
b. Pasien tanpa komplikasi yang akan menjalani operasi terjadwal
diperbolehkan meminum cairan yang jernih maksimal 2 jam sebelum
terinduksi anestesi
o Contoh dari cairan jernih antara lain tetapi tidak terbatas dari air
putih, jus buah tanpa bulir, soda, teh, kopi, dan minuman
olahraga (cth. minuman isotonik).
11
o Volume dari cairan yang ditelan tidak terlalu penting
dibandingkan isi partikel dari cairan yang ditelan
c. Pasien yang hamil dengan tambahan faktor resiko aspirasi (cth. diabetes
mellitus, obesitas komorbid, dll.) atau pasien dengan peningkatan resiko
saat operasi tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi cairan lebih
lanjut tergantung dari dasar kasusnya.
2. Benda Padat
a. Benda padat harus dihindari pada pasien yang memasuki persalinan
b. Pasien yang akan memasuki operasi yang terjadwal harus memasuki
puasa selama 6 – 8 jam tergantung dari tipe makanan yang terakhir
tertelan.
3. Antasida, Reseptor Antagonis H2, dan Metoclopramid
12
pemberian lebih awal anestesi kombinasi epidural – spinal dan yang terlambat
melaporkan temuan yang samar saat dilakukan persalinan spontan, dengan
alat, mapun cesar.
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
melakukan anestesi neuaksial lebih awal (dilatasi serviks kurang dari 5
cm) ketika anestesi tersedia, memberikan analgesi neuraksial sesuai
dengan individunya, tidak menahan pemberian analgesik neuraksial
sebagai dasar untuk mencapai dilatasi serviks semau klinisi.
2. Analgesi Neuraksial Pada Percobaan Persalinan Pervaginam dengan
Riwayat Cesar
a. Berdasarkan Literatur : Studi perbandingan yang non – random menunjukkan
hasil yang samar terhadap tipe persalinan, durasi persalinan, dan efek yang
timbul ketika anestesi epidural digunakan untuk menguji persalinan pada
pasien dengan riwayat operasi cesar sebelumnya (Kategori B1)
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
memberikan teknik neuraksial kepada pasien yang melahirkan secara
pervaginam dengan riwayat persalinan cesar sebelumnya dan
pertimbangkan penempatan kateter neuraksial yang lebih awal agar bisa
digunakan nanti untuk anestesi persalinan saat melakukan operasi cesar.
c. Teknik Anestesi : Pertimbangan terhadap teknik anestesi terdiri dari
insersi kateter neuraksial lebih awal terhadap ibu hamil dengan penyulit,
infus anelgesik epidural yang berkelanjutan, anestesi epidural lokal
dengan opioid, konsentrasi tinggi dibandingan dengan konsentrasi
rendah pada anestesi lokal, satu kali injeksi opioid spinal dengan atau
tanpa anestesi lokal, jarum spinal pencil point, Kombinasi anestesi
spinal – epidural, dan pasien dengan analgesik epidural yang terkontol.
3. Insersi Kateter Neuraksial Lebih Awal Terhadap Ibu Hamil Dengan
Penyulit
a. Berdasarkan Literatur : Literatur tidak mencukupi untuk menilai apakah saat
merawat pasien hamil dengan gejala yang rumit, ketika lebih awal
memasukkan kateter neuraxial, dengan administrasi analgesia yang cepat atau
lambat dapat meningkatkan prognosis bagi janin atau ibu hamil tersebut
13
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
mempertimbangkan secara lebih awal memasukkan kateter neuraxial
untuk pasien obstetri rumit (misalnya, kehamilan kembar atau
Preeklamsia) atau anestesi indikasi (misalnya, diantisipasi airway yang
sulit atau obesitas) untuk mengurangi kebutuhan untuk anestesi general
jika diperlukan prosedur saat gawat darurat.
4. Infus Anelgesik Epidural Yang Berkelanjutan (CIE)
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT menunjukkan anestesi epidural
berkelanjutan yang dikaitkan dengan pengurangan rasa sakit dan
ketidaknyamanan pada ibu hamil dibandingkan dengan injeksi opioid IV
selama persalinan (Kategori A2). Literatur tidak mencukupi untuk menilai
pengurangan rasa sakit saat melakukan persalinan pada anestesi berkelanjutan
dibandingkan dengan infus kontinu opioid IV. Sebuah RCT melaporkan
pengurangan nyeri yang besar selama persalinan untuk anestesi epidural
berkelanjutan bila dibandingkan dengan opioid intramuskular, dengan temuan
yang samar untuk onset dan durasi kerja dari anestesi kombinasi (Kategori
A3).
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju jika infus
epidural mungkin efektif digunakan untuk anestesi saat melakukan
persalinan dan ketika dipilih infus epidural sebagai anestesi lokal, opioid
dapat ditambahkan.
5. Konsentrasi Anestesi dan Anestesi Epidural Lokal Dengan Opioid
a. Berdasarkan Literatur : Studi meta analisis dari beberapa RCT melaporkan
peningkatan kualitas analgesik ketika membandingkan anestesi lokal epidural
bersama opioid dengan yang tanpa opioid dalam konsentrasi yang sama
(Kategori A1). Temuan tersebut bermakna samar pada beberapa kasus
persalinan spontan, hipotensi, pruritus, dan skor APGAR 1 menit pertama
(Kategori A1). Sebuah RCT menunjukkan efikasi dan durasi persalinan
terhadap analgesik yang bermakna samar secara statistik saat membandingkan
antara konsentrasi rendah dengan opioid terhadap konsentrasi tinggi terhadap
anestesi lokal pada injeksi epidural tanpa opioid untuk menjaga sifat analgesik
tersebut (Kategori A2). Sebuah meta analisis dari beberapa RCT juga
14
menemukan temuan yang samar terhadap persalinan spontan dan skor APGAR
ketika terdapat injeksi epidural dengan anestesi lokal berkonsentrasi rendah
dengan opioid terhadap anestesi berkonsentrasi tinggi tanpa opioid. Pada
akhirnya, beberapa literatur tidak cukup untuk menyimpulkan efek dari
anestesi epidural dengan opioid terhadap efek samping persalinan (cth :
hipotensi, pusing, prutitus, distress pernafasan, dan retensi urin)
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
memakai konsentrasi yang dicairkan pada anestesi lokal ditambah
dengan opioid untuk memproduksi blok saraf motoris sekecil mungkin.
4. Satu Kali Injeksi Opioid Spinal Dengan Atau Tanpa Anestesi Lokal
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT menunjukkan peningkatan durasi dari
analgesik ketika opioid spinal dibandingkan dengan opioid IV (Kategori A1).
Studi perbandingan yang non – random melaporkan hasil yang samar secara
statistik terhadap durasi persalinan, tipe persalinan, dan efek samping yang lain
seperti mual, muntah, dan pruritus (Kategori B1).
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA setuju jika satu kali
injeksi opioid dengan atau tanpa anestesi lokal bisa digunakan untuk
menyediakan keefektifan walaupun dengan keterbatasan waktu yang
ada, analgesik untuk persalinan spontan dengan persalinan pervaginam
harus diantisipasi penggunaannya. Anggota ASA setuju dan konsultan
sangat setuju untuk menambahkan anestesi lokal ke opioid spinal untuk
menambah durasi dan kualitas dari anestesi.
5. Jarum Spinal Pencil Point
a. Berdasarkan Literatur : Studi meta analisis RCT memaparkan bahwa
penggunaan jarum spinal pencil point mengurangi frekuensi dari pusing akibat
tusukan postdural dibandingkan dengan jarum spinal cutting bevel (Kategori
A1).
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa
menggunakan jarum spinal pencil point dibandingkan dengan jarum spinal
cutting bevel meminimalkan resiko dari pusing akibat tusukan postdural.
6. Kombinasi Anestesi Spinal – Epidural
15
a. Berdasarkan Literatur : Studi meta analisis dari beberapa RCT melaportkan
peningkatan analgesik dan percepatan onset (Kategori A2) ketika kombinasi
anestesi spinal – epidural dengan opioid dibandingkan dengan anestesi
epidural lokal dengan opioid, dengan temuan yang samar pada kenyamanan
bagi ibu hamil, tipe persalinan, hipotensi, pruritus dan skor APGAR 1 menit
pertama (Kategori A1). Studi meta analisis RCT juga menyebutkan
peningkatan frekuensi saraf motorik (Kategori A1)
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju ketika
persalinan dapat belangsung cukup lama, pertimbangkan penggunaan
kateter analgesik daripada menggunakan injeksi biasa dan kombinasi
anestesi spinal – epidural dapat dipakai untuk memberikan keefektifan
dan onset yang cepat untuk anestesi persalinan.
7. Pasien Dengan Analgesik Epidural yang Terkontrol
a. Berdasarkan Literatur : Studi meta analisis beberapa RCT melaporkan
penurunan konsumsi analgesik ketika membandingkan antara pasien dengan
analgesik yang terkontrol dengan infus analgesik yang berkelanjutan. Meta
analisis dari beberapa RCT juga mengindikasikan peningkatan efikasi pada
pasien analgesik yang terkontrol dengan infus daripada yang tidak
menggunakan infus (Kategori A1)
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa
kontrol analgesik dapat diperlukan untuk memberikan keefektifan dan
pendekatan yang mudah pada maintenance dari analgesik persalinan dan
penggunaan kontrol analgesik dapat menurunkan dosis dari anestesi
lokal itu sendiri. Kedua pihak juga setuju apabila kontrol analgesik bisa
digunakan dengan ataupun tanpa infus.
16
- Berikan analgesik neuraksial sesuai dosis individu tanpa
memperhatikan dilatasi serviks
2. Analgesik Neuraksial dan Percobaan Persalinan setelah Riwayat
Caesar Sebelumnya
- Tawarkan analgesik neuraksial pada pasien yang akan menjalani
persalinan pervaginam dengan riwayat SC sebelumnya
- Untuk pasien ini, pertimbangkan penempatan kateter neuraksial lebih
awal sehingga dapat digunakan ketika berlanjut ke SC
3. Teknik Anestesi
a. Insersi Kateter Neuraksial Lebih Awal Terhadap Ibu Hamil Dengan
Penyulit
o Pertimbangkan penempatan kateter neuraksial lebih awal pada
pasien obstetrik dengan penyulit untuk menurunkan kebutuhan
anestesi general pada saat terjadi kegawatan.
b. Infus Anelgesik Epidural Yang Berkelanjutan
o Penggunaan infus epidural berkelanjutan bisa digunakan untuk
analgesik yang efektif saat melakukan persalinan.
o Ketika infus epidural dipilih, dapat ditambahkan opioid untuk
meredakan konsentrasi anestesi lokal dan meningkatkan kualitas
dari analgesik itu sendiri sekaligus meminimalkan saraf motorik
c. Konsentrasi Anestesi
o Gunakan konsentrasi yang terlarut dengan opioid untuk
meminimalkan saraf motorik sekecil mungkin
d. Injeksi Opioid Spinal Dengan Atau Tanpa Anestesi Lokal
o Jika durasi persalinan diprediksi lebih lama dari efek analgesik
spinal yang dipilih, pertimbangkan teknik kateter dibandingkan
dengan teknik injeksi spinal.
o Anestesi lokal dapat dipakai untuk memperpanjang durasi dan
kualitas dari analgesik.
e. Jarum Spinal Pencil Point
17
o Gunakan jarumspinal pencil point dibandingkan dengan cutting
bevel untuk meminimalkan resiko nyeri kepala postdural akibat
injeksi
f. Kombinasi Anestesi Spinal – Epidural
o Kombinasi anestesi spinal – spidural dapat dipakai untuk
meningkatkan keefektifan dan onset analgesik persalinan.
g. Pasien Dengan Analgesik Epidural Yang Terkontol
o Pasien dengan analgesik epidural yang terkontrol dapat
meningkatkan keefektifan dari maintenance pada anestesi
persalinan
o Kontrol analgesik dapat digunakan baik dengan infus maupun
tanpa infus.
4. Pengeluaran Plasenta yang Tertahan
a. Teknik Anestesi
1.) Berdasarkan Literatur : Literatur tidak cukup untuk menilai teknik
anestesi yang mana yang lebih efektif dibandingkan dengan teknik yang
lain untuk mengeluarkan plasenta yang tertahan.
2.) Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
menilai status hemodinamik sebelum memasukkan anestesi
neuraksial dan ketika terdapat kateter epidural dan hemodinamik
pasien bagus, pertimbangkan anestesi epidural. Kedua pihak juga
setuju untuk mempersimbangkan profilaksis aspirasi. Kedua pihak
juga sangat setuju juka titrasi dari sedasi harus dilakuka dengan hati
– hati karena terdapat potensi dari resiko depresi saluran pernafasan
dan aspirasi paru dan jika terdapat perdarahan yang banyak,
pertimbangkan anestesi general dengan endotracheal tube.
b. Nitrogliserin untuk Relaksasi Uterus
18
1.) Berdasarkan Literatur : RCT membandingkan nitrogliserin intravena dan
sublingual dengan placebo untuk menilai relaksasi uterus dan
mendapatkan temuan yang tidak konsisten terhadap pengeluaran plasenta
yang tertahan (Kategori A2). Studi observasi dan case report melaporkan
relaksasi uterus dan pengeluaran plasenta yang berhasil setelah diberikan
nitroglisein sublingual ataupun IV (Kategori B3 dan B4)
2.) Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
memakai nitrogliserin sebagai alternatif terbutalin sulfat ataupun
anestesi general dengan ET untuk relaksasi uterus sebelum
pengeluaran plasenta
G. Rekomendasi Pengeluaran Plasenta
1. Teknik Anestesi
- Secara umum, semua teknik anestesi baik untuk pengeluaran plasenta.
Jika terdapat kateter epidural pada pasien dan status hemodinamiknya
bagus, pertimbangkan anestesi epidural.
- Nilai status hemodinamik pasien sebelum memasukkan anestesi neural
- Pertimbangkan profilaksis aspirasi
- Titrasi sedasi dengan hati – hati karena terdapat resiko depresi saluran
pernafasan dan aspirasi paru.
- Jika terdapat perdarahan dalam jumlah banyak, pertimbangkan anestesi
general dengan ET
2. Nitrogliserin untuk Relaksasi Uterus
- Nitrogliserin dapat dipakai sebagai alternatif terbutalin sulfat atau
anestesi general dengan ET. Dapat dipakai dengan cara sublingual
maupun IV.
H. Perawatan Anestesi pada Operasi Cesar
19
1. Perlengkapan, Fasilitas, Dan Personil Pendukung
a. Berdasarkan Literatur : Studi tidak cukup untuk menilai keuntungan dari
penyediaan perlengkapan, fasilitan dan personel saat persalinan maupun
operasi cesar dibandingkan dengan apa yang ada di ruang operasi seperti
biasanya
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju jika
perlengkapan, fasilitas dan personil saat persalinan maupun operasi
cesar harus sama seperti yang ada pada ruang operasi pada umumnya.
Perlengkapan untuk mengatasi potensi komplikasi (cth. gagal intubasi,
depresi pernafasan, ketidakcukupan anestesi) harus tersedia di ruang
bersalin dan ruang operasi.
2. General, Spinal, Epidural, Atau Anestesi Kombinasi
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT melaporkan peningkatan skor APGAR
pada anestesi epidural dibandingkan dengan anestesi general (Kategori A2)
dan temuan yang samar pada nilai pH arteri umbilikalis ketika anestesi spinal
dibandingkan dengan anestesi general (Kategori A2). RCT juga melaporkan
temuan yang samar terhadap waktu persalinan di ruang operasi ketika anestesi
epidural atau spinal dibandingkan dengan anestesi general (Kategori A2).
Ketika anestesi spinal diabdingkan dengan epidural, RCT melaporkan temuan
yang samar terhadap waktu persalinan, hipotensi, nilai pH umbilikal, dan skor
APGAR (Kategori A2)
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju agar
pemilihan teknik anestesi harus didosiskan berdasarkan riwayat
anestesi, obstetri, ataupun faktor resiko janin, pilihan pasien sendiri, dan
keputusan anestesiologis. Pertimbangkan menggunakan anestesi
neuraksial untuk operasi cesar pada umumnya. Jika anestesi spinal
dipilih, gunakan jarum spinal pencil point. Untuk operasi cesar yang
urgent, kateter epidural dapat dipilih sebagai alternatif untuk
menginisiasi anestesi spinal. Anestesi general dapat dipilih di beberapa
kasus, contohnya fetal bradikardi, ruptur uteri, perdarahan yang serius,
prolaps tali pusar, dan sejenisnya.
3. Cairan IV Preload Atau Coload
20
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT menemukan inkonsistensi terhadap
frekuensi hipotensi maternal ketika cairan IV preload dan coload untuk
anestesi spinal dibandingkan dengan yang tanpa cairan (Kategori A2). Meta
analisis dari beberapa RCT samar terhadap hipotensi maternal ketika cairan IV
preload dibandingkan dengan coload.
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA setuju bahwa cairan
IV preload dapat digunakan untuk meredakan frekuensi hipotensi
maternal post anestesi spinal untuk SC.
4. Efedrin Atau Fenilefrin
a. Berdasarkan Literatur : Studi meta analisis RCT dengan double blind placebo
melaporkan penurunan hipotensi saat anestesi untuk operasi caesar ketika
efedrin IV yang dimasukkan dibandingkan dengan plasebo (Kategori A1).
Temuan RCT dari plasebo terhadap fenilefrin melaporkan penurunan frekuensi
hipotensi ketika dosis tinggi dari fenilefrine dimasukkan (Kategori A2). Studi
meta analisis RCT double blind melaporkan penurunan frekuensi hipotensi
ketika infus fenilefrin dibandingkan dengan efedrin (Kategori A1).
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa
efedrin IV dan fenilefrin dapat digunakan untuk mengatasi hipotensi
sebelum anestesi neuraksial ditambahkan.
5. Neuraksial Opioid Post Operasi
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT yang membandingkan opioid epidural
dengan injeksi intermiten IV ataupun IM opioid melaporkan peningkatan
analgesi post operasi pada opioid epidural setelah SC (Kategori A2). Meta
analisis dari beberapa RCT melaporkan temuan yang samar terhadap mual,
muntah, dan prutitus (Kategori A1).
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju terhadap
penggunaan analgesik post operasi setelah anestesi neuraksial untuk SC.
Pemilihan opioid neuraksial dibandingkan dengan injeksi intermiten
opioid parenteral harus dipertimbangkan.
I. Rekomendasi Perawatan Anastesi Untuk Persalinan Cesar
1. Perlengkapan, Fasilitas, Dan Personil Pendukung
21
- Perlengkapan, fasilitas dan personil saat persalinan maupun operasi
cesar harus sama seperti yang ada pada ruang operasi pada umumnya.
- Perlengkapan untuk mengatasi potensi komplikasi (cth. gagal intubasi,
depresi pernafasan, ketidakcukupan anestesi) harus tersedia di ruang
bersalin dan ruang operasi.
- Peralatan dan personil harus sesuai dan dapat untuk merawat pasien
obstetri dari anestesi neuraksial maupun general
2. General, Spinal, Epidural, Atau Anestesi Kombinasi
- Pemilihan teknik anestesi harus didosiskan berdasarkan riwayat
anestesi, obstetri, ataupun faktor resiko janin, pilihan pasien sendiri, dan
keputusan anestesiologis.
- Pertimbangkan menggunakan anestesi neuraksial untuk operasi cesar
pada umumnya.
- Jika anestesi spinal dipilih, gunakan jarum spinal pencil point.
- Untuk operasi cesar yang urgent, kateter epidural dapat dipilih sebagai
alternatif untuk menginisiasi anestesi spinal.
- Anestesi general dapat dipilih di beberapa kasus, contohnya fetal
bradikardi, ruptur uteri, perdarahan yang serius, prolaps tali pusar, dan
sejenisnya.
3. Cairan IV Preload Atau Coload
- Cairan IV preload dapat digunakan untuk meredakan frekuensi
hipotensi maternal post anestesi spinal untuk SC.
- Jangan tunda inisiasi anestesi spinal dengan alasan memberi volume
cairan IV terlebih dahulu
4. Efedrin Atau Fenilefrin
- Maupun efedrin IV dan fenilefrin dapat digunakan untuk mengatasi
hipotensi sebelum anestesi neuraksial ditambahkan.
- Ketika tidak ada bradikardi maternal, pertimbangkan memilih fenilefrin
karena meningkatkan status asam basa pada janin di wanita hamil tanpa
komplikasi.
5. Neuraksial Opioid Post Operasi
22
- Pertimbangkan Pemilihan opioid neuraksial dibandingkan dengan
injeksi intermiten opioid parenteral dalam penggunaan analgesik post
operasi setelah anestesi neuraksial untuk SC.
23
Manajemen kegawatdaruratan anestesi obstetri terdiri dari sumber daya
untuk manajemen kegawatan perdarahan, perlengkapan untuk manajemen
airway, dan resusitasi kardiopulmonal.
24
- Sumber suction dengan tube dan tonsil suction tip
- Ambu bag otomatis dan masker untuk VTP
- Medikasi untuk mensupport tekanan darah, relaksasi otot, dan hipnosis
5. Saran peralatan untuk manajemen airway yang sulit saat operasi cesar
- Rigid laringoskop dengan blade yang bervariasi dan lengkap
- Videolaringoskop
- ET dengan ragam ukuran
- Peralatan pembantu ET
- Alat airway supraglotis (LMA, laryngeal tube, dll.) dan peralatan akses
airway non operasi lainnya
- Peralatan untuk akses airway dengan operasi (cth. krikotiroidotomi)
6. Resusitasi Kardiopulmonal
25
o Pertimbangkan intraoperative cel salvage bila bank darah tidak
tersedia untuk pasien ataupun pasien menolak transfusi darah.
2. Perlengkapan Untuk Manajemen Airway
- Unit persalinan harus mempunyai personil dan perlengkapan khusus
untuk kegawatan jalan nafas sesuai dengan ASA Practice Guidelines for
Management of the Difficult Airway, termasuk pulse oximeter dan
pendeteksi karbon dioksida.
o Manajemen airway untuk BLS wajib tersedia saat anestesi
neuraksial
o Peralatan portable untuk manajemen airway yang sulit wajib
tersedia di ruang operasi
o Strategi untuk intubasi yang sulit harus ada
o Jika intubasi gagal, pertimbangkan penekanan cricoid sekaligus
VTP, atau dengan alat airway supraglotis.
o Jika masih gagal, operasi untuk membebaskan jalan nafas wajib
dilakukan.
3. Resusitasi Kardiopulmonal
- Peralatan pendukung BLS dan ALS harus tersedia di area operasi saat
persalinan
- Jika terjadi cardiac arrest, inisiasi resusitasi dan persiapkan deliveri fetus
secepat mungkin.
o Displacement uterine harus dilakukan
o Jika sirkulasi maternal tidak kembali dalam waktu 4 menit,
operasi cesar harus dilakukan secepatnya.
26
Asesmen ilmiah berdasarkan bukti yang berhubungan atau penjelasan terkait
hubungan antara intervensi klinis dan hasil yang dicapai. Intervensi klinis yang
diperiksa untuk menilai hubungan terkait dengan hasil obstetri terdapat pada daftar
di bawah ini.
27
o Maintenance infus epidural dengan konsentrasi bupivakain
kurang dari 0,125% versus lebih dari 0,125%
o Induksi analgesik epidural dengan opioid versus konsentrasi
tinggi epidural tanpa opioid pada persalinan
- Injeksi suntikan opioid spinal dengan atau tanpa anestesi lokal
- Jarum spinal pencil point
o Jarum pencil point versus cutting bevel
- Kombinasi anestesi spinal – epidural
o Kombinasi anestesi opioid versus anestesi epidural opioid pada
persalinan
- Pasien dengan analgesik epidural yang terkontol.
o Pasien dengan analgesik terkontrol versus CIE pada persalinan
- Pengeluaran Plasenta yang Tertahan
o Teknik anestesi
o Pemasukan nitrogliserin untuk relaksasi uterus
4. Perawatan Anestesi pada Operasi Cesar
- Perlengkapan, fasilitas, dan personil pendukung
o Ketersediaan terkait
- General (GA), spinal, epidural, atau anestesi kombinasi
o GA versus epidural
o GA versus spinal
o Kombinasi versus epidural ataupun spinal
o GA versus kateter neuraksial
- Cairan IV preload atau coload
o IV preload versus coload
o IV preload dan coload versus tanpa cairan IV
- Efedrin atau fenilefrin
o Efedrin versus plasebo
o Fenilefin versus plasebo
o Efedrin versus fenilefrin
- Neuraksial opioid post operasi.
28
5. Ligasi Tuba Postpartum
- Puasa makanan padat selama 6 – 8 jam sebelum operasi.
- Profilaksis aspirasi saat ligasi.
- Teknik neuraksial versus GA pada kasus ligasi tuba postpartum
29
Pemilihan teknik analgesik tergantung dari rekam medis pasien, perjalanan
persalinan, dan sumber daya yang ada di fasilitas kesehatan terkait. Ketika sumber
daya tersedia, kateter neuraksial harus menjadi pilihan utama yang ditawarkan.
Pemilihan teknih neuraksial harus disendirikan berdasarkan resiko anestesi, resiko
obstetri, pilihan pasien, perjalanan persalinan, dan sumber daya di fasilitas.
30
PRESENTASI KASUS
Disusun Oleh :
Andika Wima Pratama
20184010100
Dokter Pembimbing :
dr. Argo Seto Sp. An
31
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Nn. KL
3. Umur : 46 Tahun
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
anestesi.
32
Riwayat DM : disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Vital Sign
b. Nadi : 84x/menit
c. Pernapasan : 20x/menit
d. Suhu : 36,4oC
Head to Toe
tiroid (-)
33
d. Thorax : Suara dasar vesikuler (+/+), tidak ada suara
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
i. Darah lengkap
1. Eosinofil : 3,0% (2 – 4)
2. Basofil : 0,2% (0 – 1)
5. Monosit : 4,6% (2 – 8)
34
iii. BT – CT
v. Imunologi
2. Pemeriksaan Radiologi
i. RO Thorax PA View :
E. DIAGNOSIS
F. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Awal
35
ii. Infus RL 20 tpm
2. Pra Operasi
2018
3. Intra Operasi
i. Laporan Anestesia
99%
BB : 60kg
ASA :I
Jantung : dbn
Paru : dbn
iii. Induksi
36
0,25mg, Midazolam 2,5mg, Fentanyl 100mcg, dan Recofol
Cairan :
480ml
= 1596ml
4. Post Operasi
37
Operasi selesai → Agen anestesi inhalasi dan N2O dimatikan serta
5. Ruang Pemulihan
Penilaian
Penilaian :
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, ikterus, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Sirkulasi
Kesadaran
38
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Aktivitas
Tidak bergerak, 0
perawatan
6. Perawatan di Ruangan
39
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
mammae biasanya terjadi pada wanita usia muda, yaitu pada usia remaja atau
(Anyikam, 2008).
b. Etiologi
memberikan gejala klinis yaitu merasa ada benjolan di payudara yang sudah
cukup lama diketahui, benjolan sering tidak disertai rasa nyeri, benjolan di
payudara terasa mobile terutama pada usia muda. Biasanya ukurannya akan
meningkat pada saat menstruasi atau pada saat hamil karena produksi hormon
c. Patofisiologi
40
proliferasi duktus tidak diketahui, diperkirakan sel stroma neoplastik
pembentukannya.
d. Manifestasi Klinis
3. Bentuk bulat/lonjong
5. Permukaan halus
7. Batas tegas
8. Mobilitas baik
(Sjamsuhidajat, 2011).
41
B. Anestesi Umum
rabaan, suhu, dan posisi. Anestesi umum mempunyai tujuan agar dapat :
bersifat reversible dan dapat diprediksi. Tiga pilar anestesi umum atau yang
disebut trias anestesi meliputi: hipnotik, atau sedative, yaitu membuat pasien
tertidur atau mengantuk/ tenang, analgesia atau tidak merasakan sakit, dan
relakasai otot, yaitu kelumpuhan otot skelet. Saat ini ditambah pula dengan
menyakitkan, tidak dapat mengingat apa yang terjadi, depresi atau tidak
pembiusan :
bangsal rawat inap atau instalasi gawat darurat, jika pasien gawat darurat.
Anesthesiologist).
42
2. Starve him. Pasien yang akan dilakukan pembiusan, sedapat
mungkin dilakukan dalam keadaan lambung kosong. Hal ini bertujuan agar
pembedahan selanjutnya dibaringkan pada meja operasi yang datar dan cukup
4. Check Your Machine and Cylinder Before You Start. Ahli anestesi
harus selalu mengecek mesin anestesi, apakah ada kebocoran gas-gas, apakah
ukuran pipa sesuai untuk anak atau dewasa, dan apakah tabung gas terisi
dianestesi.
6. Keep His Airway Clearly. Saluran napas yang bersih dan tidak
pernapasan.
memberikan bantuan pernapadan apabila terjadi henti napas atau napas tidak
adekuat.
43
8. Have Open Veins. Akses vena harus selalu tersedia karena banyak
obat atau anestetik diberikan lewat jalur vena. Selain itu, akses vena berguna
9. Check His Pulse and Blood Pressure. Denyut nadi dan tekanan
darah harus selalu dimonitor, dapat seara palpasi manual, atau dengan mesin
10. Always Have Some One Who Can Apply Cricoid Pressure.
Metode secara rektal sudah jarang digunakan, biasanya digunakan pada bayi
metode inhalasi. Obat inhalasi masuk melalui proses inspirasi dan mencapai
cukup kuat untuk menyebabkan proses difusi ke dalam sirkulasi dan seluruh
pembuluh darah seperti otak, akan muncul efek anesteti berupa hipnotik atau
44
tidur lebih cepat. Peubahan hemodinamik dapat terjadi sebagai akibat depresi
adalah ventilasi dan suhu tubuh sehingga semakin sering diberikan ventilasi
atau pernapasan, makon cepat terjadi efek anestesinya. Begitu juga dengan
suhu tubuh, semakin rendah suhu tubuh pasien, semakin cepat efek anestesi
terjadi.
atau belum, dapat dilakukan uji reflek pada mata. Pada pasien dengan koma,
reflek-reflek pada mata akan hilang seperti pada hasil uji ini. Reflek-reflek
tersebut adalah reflek pupil, reflek bulu mata, reflek kelopak mata dan reflek
cahaya.
Anesthesiologist).
ASA 1, yaitu pasien normal, tidak ada gangguan organik, fisiologis atau
kejiwaan. Sehat dengan toleransi latihan yang baik. Tidak merokok dan
konsumsi alkohol minimal serta Body Mass Index (BMI) kurang dari 30.
ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
45
ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
penyakit lebih dari satu system tubuh atau satu system utama yang terkendali.
BMI lebih dari 40. Contohnya, pasien sectio caesarea dengan DM dan
Hipertensi yang tidak terkontrol, pasien kanker hati dengan hepatitis, dsb.
ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani
dan syok hemoragik karena ruptura hepatic. Klasifikasi ASA juga dipakai
ASA 6, yaitu pasien yang sudah dinyatakan mati otak yang di mana organ
pasien akan diambil untuk tujuan donor organ dan ditransplasikan ke pasien
yang membutuhkan.
(Doyle, 2017)
46
yang sudah diberi pelumas ke hipofaring. Setelah masuk ke hipofaring, LMA
plester.
1. Hipnotik
Sesuai namanya obat ini akan menimbulkan tidur yang ringan tanpa
obat ini. Golongan hipnotik dapat berupa gas dan cairan. Untuk jenis gas,
anestesi untuk dapat diberikan kepada pasien dengan cara dihirup melalui
sungkup muka. Setelah tercapai hypnosis atau tertidur, sungkup muka dapat
a. Sevoflurane
Senyawa yang sedikit berbau ini sanga cocok dipakai baik untuk induksi pada
breath induction, yaitu hanya dalam satu tarikan napas dapat membuat pasien
47
untuk tindakan intubasi. Efek induksi cepat sevoflurane disebabkan karena
dalam darah yang rendah menyebabkan pasien cepat bangun dari kondisi
fungsi hepar.
b. Propofol
intravena yang saat ini paling banyak digunakan. Senyawa ini bekerja dengan
Propofol bersifat tidak larut air sehingga dibuat menjadi sediaan emulsi
berwarna putih susu yang terdiri atas 1% konsentrasi yang berisi campuran
minyak kedelai, lesitin telur yang berasal dari kuning telur, dan gliserol.
Pasien biasanya mengeluh nyeri saat penyuntikan obat ini. Karena itu dapat
yang pendek, yaitu antara 2-8 menit membuat induksi dengan Propofol
berlangsung dengan onset dan durasi yang cepat. Dosis untuk induksi sebesar
c. Midazolam
48
intranasal, dan buccal. Midazolam sangat kecil memengaruhi system
2. Sedatif
Obat sedatif akan memberikan efek kantuk dan tenang bagi pemakai. Pasien
yang terpapar obat ini akan merasa tenang, mengantuk, dan dapat menjadi
Contoh obat sedasi yang banyak dipakai adalah midazolam dan diazepam.
3. Analgesik
Ada 2 jenis analgesic yang diapakai, yaitu golongan NSAID (Non Steroid
untuk mengatasi nyeri pasca operasi. Cara kerja golongan NSAID adalah
Analgesic Opioid, karena sifat analgesiknya yang sangat kuat, sering dipakai
yang sangat kuat, kurang menyebabkan pelepasan histamin, dan onset serta
Karena cara kerja opioid adalah dengan terikat pada reseptor opioid dalam
berbagai tingkatan (yaitu reseptor mu, kappa, delta, dan sogma), efek samping
49
yang ditimbulkan pun beragam. Secara umum, efek samping yang muncul
daya analgesic yang kuat, juga terikat pada reseptor mu, tetapu dapat
Pada pemberian opioid, harus diperhatikan efek samping yang trejadi. Semua
atau gerakan seperti kejang, beronset cepat (30-60 detik), dan berdurasi
yang beronset cepat, yaitu sekitar 1,5 menit (rocuronium) sampai 5 menit
50
(doxacurium). Durasi pelumpuh otot nondepolarisasi juga bervariasi, antara
yang memaai rocuronium atau atrakurum karena onsetnya yang relative cepat
dan durasinya yang cukup panjang. Dosis untuk intubasi yaitu 0.5 mg/KgBB.
51
BAB III
PEMBAHASAN
Dari pemeriksaan fisik dan penunjang, akan diperoleh gambaran mengenai status
pasien. Hal ini penting karena tenaga kesehatan dapat menentukan prognosis pasien
setelah dilakukannya operasi. Pada kasus ini, status fisik dan prognosis pra anestesi
pasien berada pada kategori ASA I, yaitu pasien normal, tidak ada gangguan organik,
fisiologis atau kejiwaan. Tidak termasuk sangat muda dan sangat tua, sehat dengan
toleransi latihan yang baik. Jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi,
berdasarkan pertimbangan yaitu operasi dengan eksisi luas di bagian mammae sinistra.
52
BAB IV
KESIMPULAN
membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversbel dan
umum yaitu : infant & anak usia muda, dewasa yang memilih anestesi umum,
antikoagulantia.
53
DAFTAR PUSTAKA
A. Grace Pierce. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Anyikam, A., Nzegwu, M. A., Ozumba, B. C., Okoye, I., & Olusina, D. B.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441940/
Guyton A.C., Hall J.E. 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . Edisi ke- 9.
Jakarta : EGC
Kumar, V., S.Ramzi, Cotran, L.Stanley, dan Robbins. 2007. Buku Ajar
Jakarta
54
Sjamsuhidajat, Wim de jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta:
EGC
Wu, Y. T., Chen, S. T., Chen, C. J., Kuo, Y. L., Tseng, L. M., Chen, D. R., ...
55
LAMPIRAN PR
serta 60% pasien anestesi regional yang kembali sadar mengalami gejala
inti dari mekanisme gemetaran ini termasuk rasa sakit, peningkatan tonus
Sumber :
1. Koroglu, A., Yilmaz, H., Bengisun, Z. K., Suer, A. H., & Tuzuner,
56
2. Solhpour, A., Jafari, A., Hashemi, M., Hosseini, B., Razavi, S.,
57
REFLEKSI KASUS ANESTESI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi
Rumah Sakit Umum Daerah Temanggung
Disusun Oleh :
Andika Wima Pratama
20184010100
Dokter Pembimbing :
dr. Argo Seto Sp. An
58
A. Pengalaman
Seorang perempuan usia 25 tahun Rujukan dari RSJ datang ke IGD RSUD
Temanggung dengan keluhan demam lebih dari 1 minggu, bengkak, dan nyeri
pada leher, mual dan muntah disangkal, tidak merasakan kesulitan dan nyeri
saat menelan tetapi sulit untuk membuka mulut. Dokter melakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan berupa GDS dan berdasarkan
data, dokter mendiagnosis pasien dengan abses mandibula dengan tambahan
berupa F20 (skizophrenia) dan DM tipe 2, sehingga perlu dilakukan tindakan
operasi. Dokter UGD melakukan terapi cairan / rehidrasi RL 500cc 20 TPM.
Setelah dikonsulkan ke dokter Bedah Mulut dan terdapat instruksi untuk
diberikan obat injeksi ceftriaxon 1g/12 jam, injeksi metronidazol 500mg/8 jam
drip, injeksi gentamisin 250 mg/24 jam, injeksi ketorolac 30mg/8 jam, injeksi
dexa 1 ampul, injeksi ranitidine 50 mg/8 jam dan rencana insisi drainase abses.
Dokter anestesi menyetujui dilakukan operasi, operasi dilakukan dengan teknik
anestesi general.
C. Analisis
Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis
yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal
kognitif, mempengaruhi emosional dan tingkah laku (Depkes RI, 2015).
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat. Penyakit ini
menyerang 4 sampai 7 dari 1000 orang (Saha et al, 2005). Skizofrenia
biasanya menyerang pasien dewasa yang berusia 15- 35 tahun. Data
America Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan bahwa
1 % populasi penduduk dunia menderita skizofrena dan 75% penderita
dari skizofrenia dapat terjadi pada usia 16-25 tahun (Depkes RI, 2015).
Di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa berat (skizofrenia) sebesar
0,46%. Sulawesi Tengah menempati peringkat pertama dari provinsi lain
59
yang berada di Sulawesi dengan penderita skizofrenia sebesar 0,53%.
(RISKESDAS, 2008).
Skizofrenia termasuk ke dalam kelainan jiwa psikotik yang cukup
besar dengan gejala khas berupa kelainan dalam proses berpikir dan
membedakan kenyataan. Etiologi dari gejala ini multifaktorial dan gejala
ini dihubungkan dengan kelebihan aktivitas dopaminergik di dalam otak.
Etiologi yang pasti dari penyakit ini masih dalam tahap penelitian.
Antipsikotik untuk penyakit ini dibagi ke dalam dua grup yaitu
neuroleptik yang menyebabkan sindrom ekstrapiramidal dan atipikal
yang tidak menyebabkan efek tersebut (Attri, 2012). Penggunaan
antipsikosis pada saat pre operasi malah akan membuat pasien semakin
rentan terhadap hipotensi pada anestesi general (Kudoh, 2005). Di sisi
lain, penghentian antipsikosis meningkatkan gejala episode psikotik
seperti halusinasi dan agitasi. Maka, pasien dengan skizofrenia kronik
harus melanjutkan pengobatan antipsikosis untuk pre operasi. (Kudoh,
2004).
Anestesi general maupun regional yang terbaik untuk pasien
dengan skizofrenia masih menjadi sebuah perdebatan. Sebuah studi dari
Sawada et. Al. pada tahun 1997 melaporkan temuan bronkospasme dan
hipotensi persisten saat anestesi spinal dilakukan pada pasien dengan
skizofrenia kronik. Pasien skizofrenia yang mendapatkan klorpromazin
sangat cenderung untuk menghasilkan hipotensi setelah diinduksi
anestesi general (Kudoh, 2004). Penggunaan ketamin pada pasien
skizofrenia sebaiknya dihindari sebisa mungkin karena ketamin dapat
menurunkan ambang kejang (Hines, 2010).
Penggunaan dari hipnotik short – acting dan analgesik seperti
propofol, remifentanil dan sejenisnya aman untuk dimasukkan sebagai
induksi dan maintenance anestesi (Hachenberg, 2014). Terdapat
beberapa laporan pada perubahan di respon rasa sakit pada pasien
skizofrenik, kebanyakan dari mereka tidak melaporkan adanya rasa sakit
setelah operasi abdomen. Ketidaksensitifan rasa sakit pada pasien dengan
60
skizofrenia merupakan hasil dari antipsikosis, karena kebanyakan dari
antipsikosis mempunyai efek analgesik (Patt, 1994). Penggunaan
tramadol pada pasien yang mendapatkan obat antipsikosis dapat
menyebabkan gejala psikiatrik seperti perubahan mood, halusinasi,
gangguan tidur, dan mimpi buruk karena tramadol dapat mempercepat
sindrom serotonin ketika digabung dengan obat antidepresan, yang mana
dapat meningkatkan transmiter ini sehingga menyebabkan gejala psiatrik
tersebut (Attri, 2012)
D. Dokumentasi
Identitas Pasien
Nama : Ny. IP
Usia : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Walitelon
Tanggal Operasi : 4 Juli 2018
No RM : 082146
Asesmen Anestesi
Subjective
Riwayat Penyakit Sekarang : Abses Mandibula, DM Tipe
2, F20
Riwayat Penyakit Dahulu : F20
Riwayat Penyakit Keluarga : (-)
Riwayat Operasi : (-)
Kebiasaan Sehari-hari : F20
Alergi : (-)
Obat yang dikonsumsi : (+)
Objective
Pemeriksaan fisik : Bengkak pada leher, nyeri
tekan (+)
61
Hasil Pemeriksaan Penunjang : GDS = 304 ; RO Thorax
kesan dbn
Assessment
ASA :I
Malampati : (-)
Planning
Rencana Pelayanan : General Anestesi
Rencana Anestesi : General
Daftar Masalah : F20, DM Tipe 2
Saran Persiapan Tindakan Anestesi : Puasa, Premedikasi
(Alprazolam0,5mg tab 2x1)
Rencana Analgesi Post Anestesi : Tutofusin + Fentanyl 100mg
+ Antrain 1g drip
Laporan Anestesia
Tanggal Operasi : 4 Juli 2018
Diagnosa preoperasi : Abses Mandibula
Diagnosa postoperasi : Abses Mandibula
Tindakan Operasi : Insisi dan Drainase Abses
Jenis Anestesi : Besar
Resiko anestesia : Besar
Prainduksi :
TD : 121/83 mmHg
N : 86x/menit
RR : 16x/menit
T : 36oC
ASA : I
62
General Induksi : Sevoflurane, Recofol
Obat Prainduksi : Fentanyl 100 mcg, Midazolam 5mg, Sulfas atropin 0,25mg,
Acratarium
Maintenance : O2, N2O, dan Sevoflurane
Obat selama anestesi berlangsung :
Recofol 100mg
Tramadol 100mg
Dexamethason 10mg
Cairan Masuk : RL 1000cc
Posisi pasien : Telentang
Catatan Untuk di Ruangan
Pengawasan TD, N, R setiap ½ jam pada 2 jam pertama
Program cairan : Tutofusin + Fentanyl 100mcg + Antrain 1g 20 tpm
Program Analgetik : -
Catatan Khusus : -
E. Daftar Pustaka
Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri Jilid 2
Terjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Schizophrenia. Diunduh
dari
http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375258
333- schizophrenia.pdf
Saha, S., Chant, D., Welham, J., & McGrath, J. (2005). A systematic review of
the prevalence of schizophrenia. PLoS medicine, 2(5), e141.
Riset Kesehatan Dasar. (2008). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Kudoh, A. (2005). Perioperative management for chronic schizophrenic
patients. Anesthesia & Analgesia, 101(6), 1867-1872.
63
Kudoh, A., Katagai, H., Takase, H., & Takazawa, T. (2004). Effect of
preoperative discontinuation of antipsychotics in schizophrenic patients
on outcome during and after anaesthesia. European journal of
anaesthesiology, 21(5), 414-416.
Sawada, N., Higashi, K., Yanagi, F., Nishi, M., Akasaka, T., & Kudoh, J.
(1997). Sudden onset of bronchospasm and persistent hypotension during
spinal anesthesia in a patient on long-term psychotropic therapy. Masui.
The Japanese journal of anesthesiology, 46(9), 1225-1229.
Patt, R. B., Proper, G., & Reddy, S. (1994). The neuroleptics as adjuvant
analgesics. Journal of pain and symptom management, 9(7), 446-453.
Klotz, U. (2003). Tramadol—the impact of its pharmacokinetic and
pharmacodynamic properties on the clinical management of
pain. Arzneimittelforschung, 53(10), 681-687.
Attri, J. P., Bala, N., & Chatrath, V. (2012). Psychiatric patient and
anaesthesia. Indian journal of anaesthesia, 56(1), 8.
64
LAMPIRAN PR
1. Apa kubungan antara skizofrenia dengan kejang?
Kejang dalam skizofrenia lebih ditekankan pada gejala kejang yang
mengarah ke epilepsi. Perkembangan syaraf yang abnormal menjadi kunci
utama untuk menghubungkan kedua gejala ini. Beberapa studi
mengemukakan bahwa “jaringan asing” seperti hamartoma, displasia fokal
atau sklerosis lobus temporalis medial lebih prevalen pada pasien dengan
epilepsi lobus temporalis dengan komorbiditas berupa psikosis seperti
skizofrenia. Beberapa studi terkini juga mengungkapkan faktor genetik
yang dapat mempengaruhi skizofrenia dan epilepsi. Gen LGI1 berperan
pada perkembangan migrasi di sistemsyaraf pusat, yang dimana sangat
berhubungan dengan epilepsi lobus temporal dan kejang demam. LGI1
juga berperan dalam regulasi glutamatergic synaptic transmission, yang
mana neurotransmitter ini berperan di dalam patofisiologi dari skizofrenia
itu sendiri.
Sumber:
1. Vonberg, F. W., & Bigdeli, T. B. (2016). Genetic correlation between
schizophrenia and epilepsy. JAMA neurology, 73(1), 125-126.
2. Chang, Y. T., Chen, P. C., Tsai, I. J., Sung, F. C., Chin, Z. N., Kuo, H.
T., ... & Chou, I. C. (2011). Bidirectional relation between
schizophrenia and epilepsy: a population‐based retrospective cohort
study. Epilepsia, 52(11), 2036-2042.
65