Anda di halaman 1dari 66

KUMPULAN TUGAS ANESTESI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Anestesi
Rumah Sakit Umum Daerah Temanggung

Disusun Oleh :
Andika Wima Pratama
20184010100

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif


RSUD Temanggung
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2018
DAFTAR ISI

LAPORAN ARTIKEL ILMIAH ........................................................................................ 2

PRESENTASI KASUS ..................................................................................................... 31

REFLEKSI KASUS ANESTESI ...................................................................................... 58

1
LAPORAN ARTIKEL ILMIAH

PETUNJUK PRAKTIS UNTUK ANESTESI


OBSTETRI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
Rumah Sakit Umum Daerah Temanggung

Disusun Oleh :
Andika Wima Pratama
20184010100

Dokter Pembimbing :
dr. Uud Saputro, Sp.An

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif


RSUD Temanggung
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2018

2
A. METODOLOGI
1. Definisi dari Perioperatif Anestesi Obstetri

Untuk tujuan dari petunjuk yang diperbarui ini, anestesi obstetri


merujuk kepada anestesi peripartum dan aktivitas analgesik yang terjadi saat
persalinan pervaginam, sectio cesarea, pelepasan plasenta, dan ligasi tuba
saat postpartum.

2. Tujuan dari Petunjuk

Tujuan dari petunjuk ini adalah untuk meningkatkan kualitas dari


perawatan anestesi untuk pasien obstetri, meningkatkan keamanan pasien
dengan menurunkan insidensi dan keparahan dari komplikasi akibat
anestesi, dan meningkatkan kenyamanan pasien.

3. Fokus

Petunjuk ini memfokuskan kepada manajemen anestesi untuk pasien


yang hamil saat memasuki persalinan, pengeluaran non – operatif,
pengeluaran operatif, serta aspek yang dipilih saat perawatan postpartum
dan analgesik (cth. : opioid neuraksial untuk analgesik postpartum setelah
anestesi neuraksial saat operasi cesar). Kriteria inklusi dari pasien ini, tetapi
tidak dibatasi untuk pasien intrapartum dan post – partum dengan kehamilan
yang tidak rumit atau masalah obstetri secara umum. Petunjuk ini tidak bisa
dipakai pada pasien yang menjalani operasi saat hamil, pasien ginekologi,
atau pasien dengan penyakit medis yang kronik (cth. : penyakit jantung
koroner, gagal ginjal, penyakit syaraf terkait, dsb.). Selain itu, petunjuk ini
tidak merujuk kepada analgesik postpartum saat persalinan pervaginam,
analgesik saat ligasi tuba, dan analgesik post – operasi saat anestesi general
pada sectio cesarea.

4. Aplikasi

Petunjuk ini dipakai oleh anestesiologi. Mereka juga dapat berperan


sebagai penyedia layanan untuk perawat anestesi dan tenaga kesehatan yang

3
terlatih untuk merawat pasien yang akan mendapatkan anestesi saat
persalinan, dan periode postpartum secara langsung.

5. Anggota Kerja dan Konsultan Yang Terlibat

Di tahun 2014, ASA meminta agar petunjuk yang diberikan pada tahun
2007 untuk dievaluasi kembali. Pembaharuan saat ini terdiri dari literatur
yang valid dan beberapa laporan terbaru dari pakar konsultan dan anggota
ASA. Pembaharuan ini disusun oleh anggota kerja yang ditunjuk oleh ASA
yang berjumlah 11 orang, terdiri dari beberapa anestesiologis yang tersebar
di Amerika Serikat, dan konsultan metodologi dari ASA. Kesimpulan dari
dokumen ini dapat dilihat di lampiran 1. Petunjuk ini juga disusun secara
bertahap. Pertama, kami melakukan surveilans penelitian dari jurnal yang
terbaru. Kedua, sebuah forum yang terdiri dari konsultan dibuka untuk (1)
berpartisipasi untuk mengikuti survey dari efektivitas ragam perencanaan
manajemen anestetik. (2) memberikan tanggapan dan saran terhadap resume
makalah yang disusun oleh anggota kerja terkait. Ketiga, kami melakukan
survey kembali tentang petunjuk ini kepada anggota ASA yang aktif yang
dipilih secara acak. Terakhir, kami merangkum semua informasi dari
beberapa tahap sebelumnya untuk menyelesaikan pembaharuan ini.

6. Kekuatan dari Bukti Penelitian

Persiapan dari petunjuk ini diikuti oleh proses metodologi yang rumit.
Bukti penelitian didapatkan dari 2 sumber yaitu bukti ilmiah dan bukti
berbasis opini:

Bukti Ilmiah : Bukti Ilmiah yang didapatkan berasal dari jurnal yang
ditelaah secara berkelompok. Daftar pustaka dari petunjuk ini didapatkan
dari PubMed dan data pelayanan kesehatan yang lain, pencarian di internet
secara langsung, anggota kerja terkait, anggota organisasi terkait, dan
pencarian manual dari artikel dari pembarahuan terakhir petunjuk ini. Bukti
ilmiah terbagi menjadi 3 berdasarkan kekuatan dan kualitas dari desain
penelitian dari studi ilmiah terkait. Kategori A berasal dari Randomized

4
Controlled Trial (RCT) dan kategori B berasal dari studi non-RCT dan RCT
tanpa grup pembanding. Dari setiap ketegori ini akan terbagi menjadi
beberapa tingkat. Tingkat ini menunjukkan seberapa besar pengaruh dan
kualitas jurnal terhadap petunjuk yang disusun. Pada dokumen ini, hanya
bukti dengat tingkat tertinggi yang akan dimasukkan untuk dilakukan
intervensi yang menghasilkan keuntungan, dan kerugian dari masing –
masing hasil yang didapatkan.

a. Kategori A : Laporan dari RCT akan dibandingkan dengan intervensi


klinis dari hasil yang didapatkan secara spesifik. Signifikansi yang
bermakna statistik (P<0,01) dapat bermakna menguntungkan atau
merugikan kepada pasien tergantung dari judul penelitian tersebut.
Signifikansi yang tidak bermakna statistik dapat bermakna samar.
1.) Level 1 : Literatur terdapat banyak RCT untuk membuat suatu meta-
analisis. Meta-analisis yang ditemukan dapat dilaporkan untuk
sebuah bukti.
2.) Level 2 : Literatur terdapat beberapa RCT tetapi jumlah dari RCT
tersebut tidak cukup untuk membuat suatu meta-analisis untuk
dokumen ini sehingga temuan ini akan dilaporkan secara terpisah
sebagai bukti ilmiah.
3.) Level 3 : Literatur hanya mengandung sebuah RCT dan temuan ini
akan dilaporkan sebagai sebuah bukti.
b. Kategori B : Studi observasional atau RCT tanpa grup pembanding
dapat bermakna menguntungkan, merugikan, atau samar tergantung dari
intervensi dan hasil yang didapatkan. Untuk kategori B, kami hanya
mencari penelitian dengan signifikansi yang bermakna secara statistik
(P<0,01)
1.) Level 1 : Literatur terkandung observasi yang dapat
dibandingkan(cth. : Studi kohort, case – control) dengan
pembanding antara intervensi dan hasil yang spesifik.

5
2.) Level 2 : Literatur terdiri dari studi observasi yang tidak dapat
dibandingan namun memiliki hubungan yang bermakna secara
statistik (Cth. : studi pengaruh, hubungan, atau
sensitivitas/spesifisitas)
3.) Level 3 : Literatur terdiri dari studi statistik secara deskriptif (cth.
Studi frekuensi dan persentase)
4.) Level 4 : Studi terdiri dari laporan kasus

7. Bukti Berbasis Opini


Semua bukti berbasis opini yang didapat dibagi menjadi 3 kategori
berdasarkan tingkatan dari subjek yaitu pakar konsultan, anggota ASA, dan
anggota lain yang melakukan anestesi obstetri
a. Kategori A : Pakar Konsultan
Surveilans dari pakar konsultan yang ditunjuk oleh penyusun
petunjuk ini terdiri dari kesimpulan berupa teks yang
didapatkan pada lampiran 2
b. Kategori B : Opini dari Anggota
Respon survey yang diberikan pada anggota ASA yang aktif
terlapor dalam bentuk teks yang terdapat di lampiran 2. Kami
menggunakan 5 skala dan disimpulkan dalam hasil median.
- Sangat setuju : Skor median 5 (minimal 50% dari
responden mendapatkan skor 5)
- Setuju : Skor median 4 (minimal 50% dari respon
mendapatkan skor 4, atau 4 dan 5)
- Samar : Skor median 3 (minimal 50% dari respon
mendapatkan skor 3, atau skor dari Sangat setuju
dan Setuju tidak terpenuhi)
- Tidak Setuju : Skor median 2 (minimal 50% dari
respon medapatkan skor 2)
- Sangat Tidak Setuju : Skor median 1 (minimal 50%
dari respon mendapatkan skor 1)

6
c. Kategori C : Opini informal

Testimoni dari forum yang dibuka didapatkan selama


petunjuk ini disusun. Komentar dari internet, surat, dan
editorial akan dievaluasi dan didiskusikan untuk menyusun
petunjuk ini.

B. Petunjuk
1. Evaluasi dan Persiapan Preanestetik

Persiapan dan evaluasi preanestetik pada topik ini meliputi fokus pada
anamnesis riwayat dan pemeriksaan fisik, jumlah platelet intrapartum,
skrining dan tipe darah, dan rekam perianestetik pada pola denyut jantung
janin.

2. Anamnesis Riwayat dan Pemeriksaan Fisik


a. Berdasarkan Literatur : Walaupun beberapa klinisi sering memakai
metode ini untuk menyimpulkan hasil dari pemeriksaan yang
diberikan, kami tidak menemukan hasil yang cukup dari studi
pembanding untuk melihat dampak dari evaluasi terhadap pasien.
Namun dari studi observasi didapatkan bahwa pasien dengan klinis
tertentu (cth. : gejala hipertensi saat kehamilan seperti preeklampsia
dan hemolisis, peningkatan enzim hati, obesitas, diabetes mellitus)
berhubungan dengan komplikasi obstetri (Kategori B2/B3)
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju
untuk memfokuskan pada kedua aspek ini sebelum dilakukan
metode anestesi dan komunikasi interpersonal sangat diutamakan
untuk mendapatkan informasi yang lebih releven antara tenaga
obstetri, anestesioligis, dan anggota lain yang terlibat.
3. Jumlah Platelet Intrapartum
a. Berdasarkan Literatur : Studi observasi menunjukkan bahwa jumlah
platelet intrapartum dan jumla fibrinogen dapat berhubungan dengan

7
frekuensi perdarahan postpartum (Kategori B2). Studi observasional
yang lain dan laporan kasus menyarankan agar hitung platelet
berguna untuk mendiagnosis gejala hipertensi kehamilan seperti
preeklampsia, hemolisis, peningkatan enzim hati, dan sindrom
akibat kekurangan platelet, dan kondisi lain yang terkait dengan
koagulopati (Kategori B3/B4)
b. Berdasarkan Surver : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju jika
anestesiologis memberi perintah untuk mendapatkan jumlah platelet
untuk meneliti kondisi pasien berdasarkan riwayat yang didapat,
pemeriksaan fisik, dan gejala klinis.

4. Skrining dan Tipe Darah


a. Berdasarkan Literatur : Literatur yang ditemukan tidak cukup untuk
menentukan bahwa mendapatkan skrining dan tipe darah
berhubungan dengan beberapa komplikasi anestesi serta literatur
tidak cukup untuk menentukan bahwa hasil skrining darah
diperlukan pada wanita hamil yang sehat dan tanpa komplikasi.
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju
bahwa skrining tipe darah tidak diperlukan untuk pasien yang sehat
dan tanpa komplikasi untk menjalani persalinan pervaginam
ataupun sectio cesarea dan pemilihan untuk mengetahui tipe darah
harus berdasarkan riwayat dari pasien itu sendiri untuk
mengantisipasi komplikasi perdarahan (cth. Plasenta akreta pada
pasien dengan plasenta previa atau riwayat operasi uterus).
5. Rekam Perianestesi terhadap Pola Denyut Jantung Janin (DJJ)
a. Berdasarkan Literatur : Studi observasi dan laporan kasus menemukan
bahwa pola DJJ dapat berubah setelah pemberian anestesi neuraksial
(Kategori B3/B4).

8
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju
bahwa pola DJJ harus dimonitor perkembangannya sebelum dan
sesudah pemberian anestesi neuraksial saat persalinan.

C. Rekomendasi untuk Evaluasi dan Persiapan Preanestesi

1. Riwayat dan Pemeriksaan Fisik

Lakukan anamnesis berfokus kepada riwayat dan pemeriksaan fisik


sebelum melakukan prosedur anestesi.

- Hal ini harus meliputi, tetapi tidak hanya terbatas dari kesehatan janin,
riwayat anestesi, riwayat obstetri, pengukuran tekanan darah, serta
pemeriksaan jalan nafas, jantung, dan paru konsisten dengan evaluasi
dari ASA (lihat “Practice Advisory for Preanasthesia Evaluation”).
- Periksa punggung pasien saat akan merencanakan anestesi neuraksial
- Pengenalan antara anestesi yang relevan dan resiko dari faktor obstetri
harus dikonsultasikan antara dokter kandungan dan anestesiologis.

Sistem komunikasi yang baik harus diutamakan untuk mendorong


kontak secara lebih awal sampai seterusnya antara penyedia obstetri,
anestesiologis, dan tenaga sejawat terkait

2. Jumlah Platelet Intrapartum

Jumlah platelet harus disendirikan dan harus berdasarkan dari riwayat


pasien (cth. Preeklampsia dengan gejala serius), pemeriksaan fisik, dan
gejala klinis.

o Penghitungan rutin jumlah platelet tidak disarankan pada wanita


hamil yang sehat

3. Skrining dan Tipe Darah

9
Skrining dan cek tipe darah tidak disarankan pada wanita hamil yang
sehat dan tanpa komplikasi untuk penjalani persalinan pervaginam ataupun
sectio cesarea

Penentuan untuk memperoleh tipe darah harus berdasarkan riwayat


kehamilan, antisipasi komplikasi perdarahan, dan peraturan daerah terkait.

4. Rekam Perianestesi terhadap Pola Denyut Jantung Janin (DJJ)

Pola DJJ harus diawasi kualitasnya sebelum dan sesudah pemberian


analgesi neuraksial pada persalinan.

- Pengawasan DJJ secara berkelanjutan tidak disarankan di setiap gejala


klinis dan tidak bisa dilakukan selama pemasangan kateter neuaksial.
5. Pencegahan Aspirasi

Pencegahan aspirasi meliputi cairan jernih, benda padat, dan antasida,


reseptor antagonis H2, dan metoclopramid

6. Cairan Jernih
a. Berdasarkan Literatur : Literatur tidak cukup untuk membuktikan hubungan
antara waktu puasa meminum cairan jernih dan resiko emesis/refluks atau
aspirasi paru – paru saat persalinan
b. Berdasarkan Survey : Konsultan sangat setuju dan anggota ASA setuju
bahwa konsumsi cairan jernih dalam jumlah yang cukup diperbolehkan
pada pasien yang akan menjalani persalinan tanpa komplikasi, dan
pasien yang akan menjalani operasi (cth. Sectio cesarea yang terjadwal)
diperbolehkan meminum cairan jernih dalam jumlah yang cukup
maksimal dua jam sebelum terinduksi anestesi
7. Makanan Padat
a. Berdasarkan Literatur : Waktu puasa yang spesifik terhadap makanan padat
untuk memprediksi komplikasi anestesi belum bisa ditentukan. Tidak ada bukti
ilmiah yang cukup untuk membuktikan keamanan dari bermacam – macam
waktu puasa terhadap makanan padat pada pasien obstetri.

10
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa
pasien yang mengikuti prosedur operasi harus menjalani puasa terhadap
makanan padat antara 6 – 8 jam tergantung dari makanan yang terakhir
dimakan (cth. Makanan berlemak, dll.) . Pasien yang hamil dengan
resiko aspirasi yang lain (cth. Diabetes mellitus, obesitas.) atau pasien
dengan resiko untuk menjalani operasi harus menjalani puasa makan
dan minum tergantung dari dasar kasusnya, serta makanan padat harus
dihindari pada pasien yang menjalani persalinan pervaginam.
8. Antasida, Reseptor Antagonis H2, dan Metoclopramid
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT menunjukkan bahwa antasid preoperatif
seperti sodium sitrat dan sodium bikarbonat dihubungkan dengan peningkatan
pH gastrik selama periode peripartum (Kategori A2). RCT placebo
menunjukkan bahwa antagonis reseptor H2 berhubungan dengan peningkatan
pH gastrik pada pasien obstetri (Kategori A2) dan samar terhadap peningkatan
volume pada gaster (Kategori A2). RCT placebo juga menunjukkan bahwa
metoclopramid berhubungan dengan penurunan keasaman gaster dan
frekuensi dari aspirasi paru, emesis, morbiditas, dan mortalitas pada pasien
dengan risiko aspirasi isi lambung.
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA setuju bahwa prosedur
operasi (cth. Persalinan cesar) harus memperhatikan jam masuknya
antasid, reseptor antagonis H2, dan metoclopramid untuk profilaksis
aspirasi.
D. Rekomendasi untuk Pencegahan Aspirasi
1. Cairan Jernih
a. Pemasukan cairan jernih yang cukup diperbolehkan untuk pasien yang
menjalani persalinan tanpa komplikasi
b. Pasien tanpa komplikasi yang akan menjalani operasi terjadwal
diperbolehkan meminum cairan yang jernih maksimal 2 jam sebelum
terinduksi anestesi
o Contoh dari cairan jernih antara lain tetapi tidak terbatas dari air
putih, jus buah tanpa bulir, soda, teh, kopi, dan minuman
olahraga (cth. minuman isotonik).

11
o Volume dari cairan yang ditelan tidak terlalu penting
dibandingkan isi partikel dari cairan yang ditelan
c. Pasien yang hamil dengan tambahan faktor resiko aspirasi (cth. diabetes
mellitus, obesitas komorbid, dll.) atau pasien dengan peningkatan resiko
saat operasi tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi cairan lebih
lanjut tergantung dari dasar kasusnya.
2. Benda Padat
a. Benda padat harus dihindari pada pasien yang memasuki persalinan
b. Pasien yang akan memasuki operasi yang terjadwal harus memasuki
puasa selama 6 – 8 jam tergantung dari tipe makanan yang terakhir
tertelan.
3. Antasida, Reseptor Antagonis H2, dan Metoclopramid

Sebelum prosedur operasi, pertimbangkan waktu pemasukan antasid,


reseptor antagonis H2, dan metoclopramid untuk profilaksis dari aspirasi.

E. Perawatan Anestesi pada Persalinan Pervaginam dan Operasi

Perawatan ini meliputi waktu pemberian analgesi neuraksial dan hasil


persalinan, analgesi neuraksial setelah persalinan cesar, dan teknik anestesi.
Lampiran 3 mengandung kesimpulan dari perawatan anestesi saat
persalinan pervaginam dan operasi.

1. Waktu Pemberian Analgesi Neuraksial dan Hasil Persalinan


a. Berdasarkan Literatur : Studi meta analisis dari RCT melaporkan temuan
yang samar terhadap persalinan cesar, spontan, maupun dengan alat ketika
dibandingkan antara induksi anestesi lebih awal (dilatasi serviks kurang dari 4
– 5 cm) dan induksi anestesi yang lambat (dilatasi serviks lebih dari 4 – 5 cm)
terhadap anestesi epidural (Kategori A1). Sebuah RCT yang membandingkan
antara dilatasi serviks kurang dari 2 cm dan lebih dari sama dengan 2 cm juga
menemukan temuan yang samar. Terakhir, RCT yang membandingkan antara

12
pemberian lebih awal anestesi kombinasi epidural – spinal dan yang terlambat
melaporkan temuan yang samar saat dilakukan persalinan spontan, dengan
alat, mapun cesar.
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
melakukan anestesi neuaksial lebih awal (dilatasi serviks kurang dari 5
cm) ketika anestesi tersedia, memberikan analgesi neuraksial sesuai
dengan individunya, tidak menahan pemberian analgesik neuraksial
sebagai dasar untuk mencapai dilatasi serviks semau klinisi.
2. Analgesi Neuraksial Pada Percobaan Persalinan Pervaginam dengan
Riwayat Cesar
a. Berdasarkan Literatur : Studi perbandingan yang non – random menunjukkan
hasil yang samar terhadap tipe persalinan, durasi persalinan, dan efek yang
timbul ketika anestesi epidural digunakan untuk menguji persalinan pada
pasien dengan riwayat operasi cesar sebelumnya (Kategori B1)
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
memberikan teknik neuraksial kepada pasien yang melahirkan secara
pervaginam dengan riwayat persalinan cesar sebelumnya dan
pertimbangkan penempatan kateter neuraksial yang lebih awal agar bisa
digunakan nanti untuk anestesi persalinan saat melakukan operasi cesar.
c. Teknik Anestesi : Pertimbangan terhadap teknik anestesi terdiri dari
insersi kateter neuraksial lebih awal terhadap ibu hamil dengan penyulit,
infus anelgesik epidural yang berkelanjutan, anestesi epidural lokal
dengan opioid, konsentrasi tinggi dibandingan dengan konsentrasi
rendah pada anestesi lokal, satu kali injeksi opioid spinal dengan atau
tanpa anestesi lokal, jarum spinal pencil point, Kombinasi anestesi
spinal – epidural, dan pasien dengan analgesik epidural yang terkontol.
3. Insersi Kateter Neuraksial Lebih Awal Terhadap Ibu Hamil Dengan
Penyulit
a. Berdasarkan Literatur : Literatur tidak mencukupi untuk menilai apakah saat
merawat pasien hamil dengan gejala yang rumit, ketika lebih awal
memasukkan kateter neuraxial, dengan administrasi analgesia yang cepat atau
lambat dapat meningkatkan prognosis bagi janin atau ibu hamil tersebut

13
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
mempertimbangkan secara lebih awal memasukkan kateter neuraxial
untuk pasien obstetri rumit (misalnya, kehamilan kembar atau
Preeklamsia) atau anestesi indikasi (misalnya, diantisipasi airway yang
sulit atau obesitas) untuk mengurangi kebutuhan untuk anestesi general
jika diperlukan prosedur saat gawat darurat.
4. Infus Anelgesik Epidural Yang Berkelanjutan (CIE)
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT menunjukkan anestesi epidural
berkelanjutan yang dikaitkan dengan pengurangan rasa sakit dan
ketidaknyamanan pada ibu hamil dibandingkan dengan injeksi opioid IV
selama persalinan (Kategori A2). Literatur tidak mencukupi untuk menilai
pengurangan rasa sakit saat melakukan persalinan pada anestesi berkelanjutan
dibandingkan dengan infus kontinu opioid IV. Sebuah RCT melaporkan
pengurangan nyeri yang besar selama persalinan untuk anestesi epidural
berkelanjutan bila dibandingkan dengan opioid intramuskular, dengan temuan
yang samar untuk onset dan durasi kerja dari anestesi kombinasi (Kategori
A3).
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju jika infus
epidural mungkin efektif digunakan untuk anestesi saat melakukan
persalinan dan ketika dipilih infus epidural sebagai anestesi lokal, opioid
dapat ditambahkan.
5. Konsentrasi Anestesi dan Anestesi Epidural Lokal Dengan Opioid
a. Berdasarkan Literatur : Studi meta analisis dari beberapa RCT melaporkan
peningkatan kualitas analgesik ketika membandingkan anestesi lokal epidural
bersama opioid dengan yang tanpa opioid dalam konsentrasi yang sama
(Kategori A1). Temuan tersebut bermakna samar pada beberapa kasus
persalinan spontan, hipotensi, pruritus, dan skor APGAR 1 menit pertama
(Kategori A1). Sebuah RCT menunjukkan efikasi dan durasi persalinan
terhadap analgesik yang bermakna samar secara statistik saat membandingkan
antara konsentrasi rendah dengan opioid terhadap konsentrasi tinggi terhadap
anestesi lokal pada injeksi epidural tanpa opioid untuk menjaga sifat analgesik
tersebut (Kategori A2). Sebuah meta analisis dari beberapa RCT juga

14
menemukan temuan yang samar terhadap persalinan spontan dan skor APGAR
ketika terdapat injeksi epidural dengan anestesi lokal berkonsentrasi rendah
dengan opioid terhadap anestesi berkonsentrasi tinggi tanpa opioid. Pada
akhirnya, beberapa literatur tidak cukup untuk menyimpulkan efek dari
anestesi epidural dengan opioid terhadap efek samping persalinan (cth :
hipotensi, pusing, prutitus, distress pernafasan, dan retensi urin)
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
memakai konsentrasi yang dicairkan pada anestesi lokal ditambah
dengan opioid untuk memproduksi blok saraf motoris sekecil mungkin.
4. Satu Kali Injeksi Opioid Spinal Dengan Atau Tanpa Anestesi Lokal
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT menunjukkan peningkatan durasi dari
analgesik ketika opioid spinal dibandingkan dengan opioid IV (Kategori A1).
Studi perbandingan yang non – random melaporkan hasil yang samar secara
statistik terhadap durasi persalinan, tipe persalinan, dan efek samping yang lain
seperti mual, muntah, dan pruritus (Kategori B1).
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA setuju jika satu kali
injeksi opioid dengan atau tanpa anestesi lokal bisa digunakan untuk
menyediakan keefektifan walaupun dengan keterbatasan waktu yang
ada, analgesik untuk persalinan spontan dengan persalinan pervaginam
harus diantisipasi penggunaannya. Anggota ASA setuju dan konsultan
sangat setuju untuk menambahkan anestesi lokal ke opioid spinal untuk
menambah durasi dan kualitas dari anestesi.
5. Jarum Spinal Pencil Point
a. Berdasarkan Literatur : Studi meta analisis RCT memaparkan bahwa
penggunaan jarum spinal pencil point mengurangi frekuensi dari pusing akibat
tusukan postdural dibandingkan dengan jarum spinal cutting bevel (Kategori
A1).
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa
menggunakan jarum spinal pencil point dibandingkan dengan jarum spinal
cutting bevel meminimalkan resiko dari pusing akibat tusukan postdural.
6. Kombinasi Anestesi Spinal – Epidural

15
a. Berdasarkan Literatur : Studi meta analisis dari beberapa RCT melaportkan
peningkatan analgesik dan percepatan onset (Kategori A2) ketika kombinasi
anestesi spinal – epidural dengan opioid dibandingkan dengan anestesi
epidural lokal dengan opioid, dengan temuan yang samar pada kenyamanan
bagi ibu hamil, tipe persalinan, hipotensi, pruritus dan skor APGAR 1 menit
pertama (Kategori A1). Studi meta analisis RCT juga menyebutkan
peningkatan frekuensi saraf motorik (Kategori A1)
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju ketika
persalinan dapat belangsung cukup lama, pertimbangkan penggunaan
kateter analgesik daripada menggunakan injeksi biasa dan kombinasi
anestesi spinal – epidural dapat dipakai untuk memberikan keefektifan
dan onset yang cepat untuk anestesi persalinan.
7. Pasien Dengan Analgesik Epidural yang Terkontrol
a. Berdasarkan Literatur : Studi meta analisis beberapa RCT melaporkan
penurunan konsumsi analgesik ketika membandingkan antara pasien dengan
analgesik yang terkontrol dengan infus analgesik yang berkelanjutan. Meta
analisis dari beberapa RCT juga mengindikasikan peningkatan efikasi pada
pasien analgesik yang terkontrol dengan infus daripada yang tidak
menggunakan infus (Kategori A1)
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa
kontrol analgesik dapat diperlukan untuk memberikan keefektifan dan
pendekatan yang mudah pada maintenance dari analgesik persalinan dan
penggunaan kontrol analgesik dapat menurunkan dosis dari anestesi
lokal itu sendiri. Kedua pihak juga setuju apabila kontrol analgesik bisa
digunakan dengan ataupun tanpa infus.

F. Rekomendasi Perawatan Anestesi pada Persalinan Pervaginam dan


Cesar
1. Waktu Anestesi Neuraksial dan Hasil Persalinan
- Sediakan opsi anestesi neuraksial pada pasien di awal persalinan
(Dilatasi serviks kurang dari 5 cm) bila tersedia.

16
- Berikan analgesik neuraksial sesuai dosis individu tanpa
memperhatikan dilatasi serviks
2. Analgesik Neuraksial dan Percobaan Persalinan setelah Riwayat
Caesar Sebelumnya
- Tawarkan analgesik neuraksial pada pasien yang akan menjalani
persalinan pervaginam dengan riwayat SC sebelumnya
- Untuk pasien ini, pertimbangkan penempatan kateter neuraksial lebih
awal sehingga dapat digunakan ketika berlanjut ke SC
3. Teknik Anestesi
a. Insersi Kateter Neuraksial Lebih Awal Terhadap Ibu Hamil Dengan
Penyulit
o Pertimbangkan penempatan kateter neuraksial lebih awal pada
pasien obstetrik dengan penyulit untuk menurunkan kebutuhan
anestesi general pada saat terjadi kegawatan.
b. Infus Anelgesik Epidural Yang Berkelanjutan
o Penggunaan infus epidural berkelanjutan bisa digunakan untuk
analgesik yang efektif saat melakukan persalinan.
o Ketika infus epidural dipilih, dapat ditambahkan opioid untuk
meredakan konsentrasi anestesi lokal dan meningkatkan kualitas
dari analgesik itu sendiri sekaligus meminimalkan saraf motorik
c. Konsentrasi Anestesi
o Gunakan konsentrasi yang terlarut dengan opioid untuk
meminimalkan saraf motorik sekecil mungkin
d. Injeksi Opioid Spinal Dengan Atau Tanpa Anestesi Lokal
o Jika durasi persalinan diprediksi lebih lama dari efek analgesik
spinal yang dipilih, pertimbangkan teknik kateter dibandingkan
dengan teknik injeksi spinal.
o Anestesi lokal dapat dipakai untuk memperpanjang durasi dan
kualitas dari analgesik.
e. Jarum Spinal Pencil Point

17
o Gunakan jarumspinal pencil point dibandingkan dengan cutting
bevel untuk meminimalkan resiko nyeri kepala postdural akibat
injeksi
f. Kombinasi Anestesi Spinal – Epidural
o Kombinasi anestesi spinal – spidural dapat dipakai untuk
meningkatkan keefektifan dan onset analgesik persalinan.
g. Pasien Dengan Analgesik Epidural Yang Terkontol
o Pasien dengan analgesik epidural yang terkontrol dapat
meningkatkan keefektifan dari maintenance pada anestesi
persalinan
o Kontrol analgesik dapat digunakan baik dengan infus maupun
tanpa infus.
4. Pengeluaran Plasenta yang Tertahan

Teknik pengeluaran plasenta yang tertahan terdiri dari teknik anestesi


dan nitrogliserin untuk relaksasi uterus

a. Teknik Anestesi
1.) Berdasarkan Literatur : Literatur tidak cukup untuk menilai teknik
anestesi yang mana yang lebih efektif dibandingkan dengan teknik yang
lain untuk mengeluarkan plasenta yang tertahan.
2.) Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
menilai status hemodinamik sebelum memasukkan anestesi
neuraksial dan ketika terdapat kateter epidural dan hemodinamik
pasien bagus, pertimbangkan anestesi epidural. Kedua pihak juga
setuju untuk mempersimbangkan profilaksis aspirasi. Kedua pihak
juga sangat setuju juka titrasi dari sedasi harus dilakuka dengan hati
– hati karena terdapat potensi dari resiko depresi saluran pernafasan
dan aspirasi paru dan jika terdapat perdarahan yang banyak,
pertimbangkan anestesi general dengan endotracheal tube.
b. Nitrogliserin untuk Relaksasi Uterus

18
1.) Berdasarkan Literatur : RCT membandingkan nitrogliserin intravena dan
sublingual dengan placebo untuk menilai relaksasi uterus dan
mendapatkan temuan yang tidak konsisten terhadap pengeluaran plasenta
yang tertahan (Kategori A2). Studi observasi dan case report melaporkan
relaksasi uterus dan pengeluaran plasenta yang berhasil setelah diberikan
nitroglisein sublingual ataupun IV (Kategori B3 dan B4)
2.) Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju untuk
memakai nitrogliserin sebagai alternatif terbutalin sulfat ataupun
anestesi general dengan ET untuk relaksasi uterus sebelum
pengeluaran plasenta
G. Rekomendasi Pengeluaran Plasenta
1. Teknik Anestesi
- Secara umum, semua teknik anestesi baik untuk pengeluaran plasenta.
Jika terdapat kateter epidural pada pasien dan status hemodinamiknya
bagus, pertimbangkan anestesi epidural.
- Nilai status hemodinamik pasien sebelum memasukkan anestesi neural
- Pertimbangkan profilaksis aspirasi
- Titrasi sedasi dengan hati – hati karena terdapat resiko depresi saluran
pernafasan dan aspirasi paru.
- Jika terdapat perdarahan dalam jumlah banyak, pertimbangkan anestesi
general dengan ET
2. Nitrogliserin untuk Relaksasi Uterus
- Nitrogliserin dapat dipakai sebagai alternatif terbutalin sulfat atau
anestesi general dengan ET. Dapat dipakai dengan cara sublingual
maupun IV.
H. Perawatan Anestesi pada Operasi Cesar

Perawatan anestesi pada operasi cesar terdiri dari perlengkapan,


fasilitas, dan personil pendukung; general, spinal, epidural, atau anestesi
kombinasi; Cairan IV preload atau coload; efedrin atau fenilefrin; serta
neuraksial opioid post operasi.

19
1. Perlengkapan, Fasilitas, Dan Personil Pendukung
a. Berdasarkan Literatur : Studi tidak cukup untuk menilai keuntungan dari
penyediaan perlengkapan, fasilitan dan personel saat persalinan maupun
operasi cesar dibandingkan dengan apa yang ada di ruang operasi seperti
biasanya
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju jika
perlengkapan, fasilitas dan personil saat persalinan maupun operasi
cesar harus sama seperti yang ada pada ruang operasi pada umumnya.
Perlengkapan untuk mengatasi potensi komplikasi (cth. gagal intubasi,
depresi pernafasan, ketidakcukupan anestesi) harus tersedia di ruang
bersalin dan ruang operasi.
2. General, Spinal, Epidural, Atau Anestesi Kombinasi
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT melaporkan peningkatan skor APGAR
pada anestesi epidural dibandingkan dengan anestesi general (Kategori A2)
dan temuan yang samar pada nilai pH arteri umbilikalis ketika anestesi spinal
dibandingkan dengan anestesi general (Kategori A2). RCT juga melaporkan
temuan yang samar terhadap waktu persalinan di ruang operasi ketika anestesi
epidural atau spinal dibandingkan dengan anestesi general (Kategori A2).
Ketika anestesi spinal diabdingkan dengan epidural, RCT melaporkan temuan
yang samar terhadap waktu persalinan, hipotensi, nilai pH umbilikal, dan skor
APGAR (Kategori A2)
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju agar
pemilihan teknik anestesi harus didosiskan berdasarkan riwayat
anestesi, obstetri, ataupun faktor resiko janin, pilihan pasien sendiri, dan
keputusan anestesiologis. Pertimbangkan menggunakan anestesi
neuraksial untuk operasi cesar pada umumnya. Jika anestesi spinal
dipilih, gunakan jarum spinal pencil point. Untuk operasi cesar yang
urgent, kateter epidural dapat dipilih sebagai alternatif untuk
menginisiasi anestesi spinal. Anestesi general dapat dipilih di beberapa
kasus, contohnya fetal bradikardi, ruptur uteri, perdarahan yang serius,
prolaps tali pusar, dan sejenisnya.
3. Cairan IV Preload Atau Coload

20
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT menemukan inkonsistensi terhadap
frekuensi hipotensi maternal ketika cairan IV preload dan coload untuk
anestesi spinal dibandingkan dengan yang tanpa cairan (Kategori A2). Meta
analisis dari beberapa RCT samar terhadap hipotensi maternal ketika cairan IV
preload dibandingkan dengan coload.
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA setuju bahwa cairan
IV preload dapat digunakan untuk meredakan frekuensi hipotensi
maternal post anestesi spinal untuk SC.
4. Efedrin Atau Fenilefrin
a. Berdasarkan Literatur : Studi meta analisis RCT dengan double blind placebo
melaporkan penurunan hipotensi saat anestesi untuk operasi caesar ketika
efedrin IV yang dimasukkan dibandingkan dengan plasebo (Kategori A1).
Temuan RCT dari plasebo terhadap fenilefrin melaporkan penurunan frekuensi
hipotensi ketika dosis tinggi dari fenilefrine dimasukkan (Kategori A2). Studi
meta analisis RCT double blind melaporkan penurunan frekuensi hipotensi
ketika infus fenilefrin dibandingkan dengan efedrin (Kategori A1).
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa
efedrin IV dan fenilefrin dapat digunakan untuk mengatasi hipotensi
sebelum anestesi neuraksial ditambahkan.
5. Neuraksial Opioid Post Operasi
a. Berdasarkan Literatur : Studi RCT yang membandingkan opioid epidural
dengan injeksi intermiten IV ataupun IM opioid melaporkan peningkatan
analgesi post operasi pada opioid epidural setelah SC (Kategori A2). Meta
analisis dari beberapa RCT melaporkan temuan yang samar terhadap mual,
muntah, dan prutitus (Kategori A1).
b. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju terhadap
penggunaan analgesik post operasi setelah anestesi neuraksial untuk SC.
Pemilihan opioid neuraksial dibandingkan dengan injeksi intermiten
opioid parenteral harus dipertimbangkan.
I. Rekomendasi Perawatan Anastesi Untuk Persalinan Cesar
1. Perlengkapan, Fasilitas, Dan Personil Pendukung

21
- Perlengkapan, fasilitas dan personil saat persalinan maupun operasi
cesar harus sama seperti yang ada pada ruang operasi pada umumnya.
- Perlengkapan untuk mengatasi potensi komplikasi (cth. gagal intubasi,
depresi pernafasan, ketidakcukupan anestesi) harus tersedia di ruang
bersalin dan ruang operasi.
- Peralatan dan personil harus sesuai dan dapat untuk merawat pasien
obstetri dari anestesi neuraksial maupun general
2. General, Spinal, Epidural, Atau Anestesi Kombinasi
- Pemilihan teknik anestesi harus didosiskan berdasarkan riwayat
anestesi, obstetri, ataupun faktor resiko janin, pilihan pasien sendiri, dan
keputusan anestesiologis.
- Pertimbangkan menggunakan anestesi neuraksial untuk operasi cesar
pada umumnya.
- Jika anestesi spinal dipilih, gunakan jarum spinal pencil point.
- Untuk operasi cesar yang urgent, kateter epidural dapat dipilih sebagai
alternatif untuk menginisiasi anestesi spinal.
- Anestesi general dapat dipilih di beberapa kasus, contohnya fetal
bradikardi, ruptur uteri, perdarahan yang serius, prolaps tali pusar, dan
sejenisnya.
3. Cairan IV Preload Atau Coload
- Cairan IV preload dapat digunakan untuk meredakan frekuensi
hipotensi maternal post anestesi spinal untuk SC.
- Jangan tunda inisiasi anestesi spinal dengan alasan memberi volume
cairan IV terlebih dahulu
4. Efedrin Atau Fenilefrin
- Maupun efedrin IV dan fenilefrin dapat digunakan untuk mengatasi
hipotensi sebelum anestesi neuraksial ditambahkan.
- Ketika tidak ada bradikardi maternal, pertimbangkan memilih fenilefrin
karena meningkatkan status asam basa pada janin di wanita hamil tanpa
komplikasi.
5. Neuraksial Opioid Post Operasi

22
- Pertimbangkan Pemilihan opioid neuraksial dibandingkan dengan
injeksi intermiten opioid parenteral dalam penggunaan analgesik post
operasi setelah anestesi neuraksial untuk SC.

J. Ligasi Tuba Postpartum


1. Berdasarkan Literatur : Literatur tidak cukup untuk mengevaluasi
keuntungan dari anestesi nauraksial dibandingkan dengan anestesi
general terhadap ligasi tuba post partum ditambah, literatus juag tidak
cukup untuk menentukan dampak dari durasi ligasi tuba postpartum
terhadap hasil persalinan.
2. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju jika
sebelum ligasi tuba dilakukan, pasien harus berpuasa makanan padat
selama 6 – 8 jam sebelum operasi tergantung dari makanan yang terakhir
dikonsumsi. Dan waktu dari prosedur serta pemilihan untuk
menggunakan anestesi tertentu harus didosiskan berdasarkan riwayat
anestesi, risiko obstetri ataupun faktor resiko janin, dan pilihan pasien
sendiri.
K. Rekomendasi pada Ligasi Post Partum
- Sebelum ligasi tuba dilakukan, pasien harus berpuasa makanan padat
selama 6 – 8 jam sebelum operasi tergantung dari makanan yang terakhir
dikonsumsi.
- Pertimbangkan profilaksis aspirasi.
- Waktu dari prosedur serta pemilihan untuk menggunakan anestesi
tertentu harus didosiskan berdasarkan riwayat anestesi, risiko obstetri
ataupun faktor resiko janin, dan pilihan pasien sendiri.
- Pertimbangkan teknik neuraksial pada kebanyakan kasus ligasi tuba
postpartum
L. Manajemen Kegawatdaruratan pada Anestesi dan Obstetri

23
Manajemen kegawatdaruratan anestesi obstetri terdiri dari sumber daya
untuk manajemen kegawatan perdarahan, perlengkapan untuk manajemen
airway, dan resusitasi kardiopulmonal.

1. Sumber Daya Untuk Manajemen Kegawatan Perdarahan

Studi dengan temuan observasi dan laporan kasus menyarankan


penyediaan sumber daya untuk kegawatan perdarahan dihubungkan dengan
penurunan komplikasi maternal (Kategori B3 dan B4)

a. Berdasarkan Survey : Konsultan dan Anggota ASA sangat setuju jika


institusi penyedia layanan obstetri harus mempunyai sumber daya yang
cukup untuk mengatasi kegawatan perdarahan
2. Saran sumber daya untuk manajemen perdarahan
- Kateter large – bore IV
- Fluid Warmer
- Air body warmer
- Ketersediaan bank darah
- Peralatan infus cairan IV dan darah yang cepat (contoh tetapi tidak
terbatas dari : automatic infusion devices, dll.)
3. Perlengkapan Untuk Manajemen Airway

Laporan kasus menunjukkan bahwa penyediaan perlengkapan


kegawatan jalan nafas dihubungkan dengan penurunan komplikasi
maternal, fetal, dan neonatal (Kategori B4)

a. Berdasarkan Survey : Konsultan dan Anggota ASA sangat setuju jika


unit persalinan harus mempunyai personil dan perlengkapan khusus
untuk kegawatan jalan nafas sesuai dengan ASA Practice Guidelines for
Management of the Difficult Airway, termasuk pulse oximeter dan
pendeteksi karbon dioksida.
4. Saran peralatan untuk manajemen airway
- Laringoskop beserta blade lengkap, ET, dan stylet
- Sumber oksigen

24
- Sumber suction dengan tube dan tonsil suction tip
- Ambu bag otomatis dan masker untuk VTP
- Medikasi untuk mensupport tekanan darah, relaksasi otot, dan hipnosis
5. Saran peralatan untuk manajemen airway yang sulit saat operasi cesar
- Rigid laringoskop dengan blade yang bervariasi dan lengkap
- Videolaringoskop
- ET dengan ragam ukuran
- Peralatan pembantu ET
- Alat airway supraglotis (LMA, laryngeal tube, dll.) dan peralatan akses
airway non operasi lainnya
- Peralatan untuk akses airway dengan operasi (cth. krikotiroidotomi)
6. Resusitasi Kardiopulmonal

Literatur tidak cukup untuk mengevaluasi efikasi dari resusitasi jantung


paru di pasien obstetri selama persalinan. Jika terjadi cardiac arrest,
American Heart Association (AHA) menyatakan bahwa 4 sampai 5 menit
adalah waktu maksimum untuk menentukan apakah arrestnya dapat
dikendalikan dengan BLS ataupun ALS. AHA juga mencatat bahwa
survival rate terbaik pada bayi lebih dari 24 atau 25 minggu di dalam gestasi
terjadi ketika lama persalinan berdurasi tidak lebih dari 5 menit setelah
jantung ibu berhendi berdenyut.

a. Berdasarkan Survey : Konsultan dan anggota ASA sangat setuju jika


peralatan pendukung BLS dan ALS harus tersedia di area operasi saat
persalinan, dan jika terjadi cardiac arrest, inisiasi resusitasi dan
persiapkan deliveri fetus secepat mungkin.

M. Rekomendasi Penatalaksanaan Kegawatan pada Kasus Obsetric


1. Sumber Daya Untuk Manajemen Kegawatan Perdarahan
- Institusi penyedia layanan obstetri harus mempunyai sumber daya yang
cukup untuk mengatasi kegawatan perdarahan :
o Saat kegawatan, golongan darah O rhesus negatif harus tersedia

25
o Pertimbangkan intraoperative cel salvage bila bank darah tidak
tersedia untuk pasien ataupun pasien menolak transfusi darah.
2. Perlengkapan Untuk Manajemen Airway
- Unit persalinan harus mempunyai personil dan perlengkapan khusus
untuk kegawatan jalan nafas sesuai dengan ASA Practice Guidelines for
Management of the Difficult Airway, termasuk pulse oximeter dan
pendeteksi karbon dioksida.
o Manajemen airway untuk BLS wajib tersedia saat anestesi
neuraksial
o Peralatan portable untuk manajemen airway yang sulit wajib
tersedia di ruang operasi
o Strategi untuk intubasi yang sulit harus ada
o Jika intubasi gagal, pertimbangkan penekanan cricoid sekaligus
VTP, atau dengan alat airway supraglotis.
o Jika masih gagal, operasi untuk membebaskan jalan nafas wajib
dilakukan.
3. Resusitasi Kardiopulmonal
- Peralatan pendukung BLS dan ALS harus tersedia di area operasi saat
persalinan
- Jika terjadi cardiac arrest, inisiasi resusitasi dan persiapkan deliveri fetus
secepat mungkin.
o Displacement uterine harus dilakukan
o Jika sirkulasi maternal tidak kembali dalam waktu 4 menit,
operasi cesar harus dilakukan secepatnya.

Lampiran 1. Rangkuman dari Rekomendasi

Lampiran 2. Metode dan Analisis

Untuk petunjuk yang diperbarui ini, review studi yang digunakan di


pembaharuan sebelumnya di tahun 2006 digabungkan dengan studi yang terbaru.

26
Asesmen ilmiah berdasarkan bukti yang berhubungan atau penjelasan terkait
hubungan antara intervensi klinis dan hasil yang dicapai. Intervensi klinis yang
diperiksa untuk menilai hubungan terkait dengan hasil obstetri terdapat pada daftar
di bawah ini.

1. Evaluasi dan Persiapan Preanestetik


- Melakukan fokus pada anamnesis riwayat
- Melakukan pemeriksaan fisik
- Tes laboratorium
o Menghitung jumlah platelet intrapartum
o Melakukan skrining dan tipe darah yang cross match
o Hitung platelet untuk suspect koagulopati atau preeklampsi
- Merekam pola denyut jantung janin.
2. Pencegahan Aspirasi
- Hitung intake cairan jernih
- Hitung intake makanan padat
- Puasa makanan padat 6 – 8 jam sebelum SC
- Antasida versus tanpa antasida sebelum prosedur operasi
- Reseptor antagonis H2 versus plasebo sebelum operasi
- Metoclopramid versus plasebo sebelum operasi
3. Perawatan Anestesi pada Persalinan Pervaginam dan Operasi
- Waktu pemberian analgesi neuraksial yang lebih cepat versus terlambat
- Macam teknik anestesi neuraksial
- Profilaksis insersi kateter neuraksial pada obstetri dengan penyulit atai
indikasi anestesi
- Infus anelgesik epidural yang berkelanjutan (CIE)
o CIE anestesi lokal versus opioid intramuskular
o CIE anestesi lokal versus opioid IV
o CIE anestesi lokal versus opioid spinal dengan atau tanpa
anestesi lokal saat persalinan
- Konsentrasi anestesi

27
o Maintenance infus epidural dengan konsentrasi bupivakain
kurang dari 0,125% versus lebih dari 0,125%
o Induksi analgesik epidural dengan opioid versus konsentrasi
tinggi epidural tanpa opioid pada persalinan
- Injeksi suntikan opioid spinal dengan atau tanpa anestesi lokal
- Jarum spinal pencil point
o Jarum pencil point versus cutting bevel
- Kombinasi anestesi spinal – epidural
o Kombinasi anestesi opioid versus anestesi epidural opioid pada
persalinan
- Pasien dengan analgesik epidural yang terkontol.
o Pasien dengan analgesik terkontrol versus CIE pada persalinan
- Pengeluaran Plasenta yang Tertahan
o Teknik anestesi
o Pemasukan nitrogliserin untuk relaksasi uterus
4. Perawatan Anestesi pada Operasi Cesar
- Perlengkapan, fasilitas, dan personil pendukung
o Ketersediaan terkait
- General (GA), spinal, epidural, atau anestesi kombinasi
o GA versus epidural
o GA versus spinal
o Kombinasi versus epidural ataupun spinal
o GA versus kateter neuraksial
- Cairan IV preload atau coload
o IV preload versus coload
o IV preload dan coload versus tanpa cairan IV
- Efedrin atau fenilefrin
o Efedrin versus plasebo
o Fenilefin versus plasebo
o Efedrin versus fenilefrin
- Neuraksial opioid post operasi.

28
5. Ligasi Tuba Postpartum
- Puasa makanan padat selama 6 – 8 jam sebelum operasi.
- Profilaksis aspirasi saat ligasi.
- Teknik neuraksial versus GA pada kasus ligasi tuba postpartum

N. Manajemen Kegawatdaruratan pada Anestesi dan Obstetri


1. Sumber daya untuk manajemen kegawatdaruratan di ruang bersalin
dibandingkan dengan yang ada di ruang operasi
- Perlengkapan untuk kegawatan perdarahan
- Sumber daya untuk manajemen airway
- Resusitasi kardiopulmonal
o BLS dan ALS
2. Status Literatur

Untuk review literatur studi klinis yang relevan diidentifikasi via


elektronik dan pencarian secara manual. Update pencarian artikel ilmiah
terbentang selama periode 11 tahun dari 1 Januari 2005 sampai 31 Juli 2015.
Daftar pustaka dirangkum dan digabungkan dengan daftar pustaka dari
tahun 2005 pada pembaharuan sebelumnya sebanyak 478 artikel ilmiah
yang mengandung link situs dari artikel terkait.

Lampiran 3. Kesimpulan dari Perawatan Anestesi untuk Persalinan

Tidak semua wanita membutuhkan perawatan anestesi selama persalinan.


Untuk wanita yang ingin sakitnya diredakan saat bersalin, terdapat banyak teknik
analgesik yang tersedia. Permintaan dari ibu hamil mempresentasikan keadilan
yang setara untuk meredakan rasa sakit. Riwayat maternal dan obstetrik juga
berpengaruh terhadap teknik neuraksial untuk meningkatkan hasil dari persalinan
tersebut.

29
Pemilihan teknik analgesik tergantung dari rekam medis pasien, perjalanan
persalinan, dan sumber daya yang ada di fasilitas kesehatan terkait. Ketika sumber
daya tersedia, kateter neuraksial harus menjadi pilihan utama yang ditawarkan.
Pemilihan teknih neuraksial harus disendirikan berdasarkan resiko anestesi, resiko
obstetri, pilihan pasien, perjalanan persalinan, dan sumber daya di fasilitas.

Ketika teknik neuraksial dipilih, tujuan utamanya adalah untuk


meminimalkan saraf motorik dan menyediakan analgesik yang adekuat bagi pasien,
sumber daya yang sesuai terhadap komplikasi persalinan harus tersedia. Jika opioid
ditambahkan, perawatan terhadap komplikasi harus tersedia. Infus IV harus
dilakukan sebelum inisiasi analgesik neuraksial ataupun general dan harus
dimaintainance selama durasi persalinan ataupun operasi berlangsung.

30
PRESENTASI KASUS

PELAKSANAAN ANESTESI PADA


FIBROADENOMA MAMMAE (FAM) SINISTRA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Anestesi
Rumah Sakit Umum Daerah Temanggung

Disusun Oleh :
Andika Wima Pratama
20184010100

Dokter Pembimbing :
dr. Argo Seto Sp. An

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif


RSUD Temanggung
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2018

31
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

1. Nama : Nn. KL

2. Jenis Kelamin : Perempuan

3. Umur : 46 Tahun

4. Alamat : Walitelon Selatan

5. Tanggal Masuk : 27 Juni 2018

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Benjolan pada payudara kiri

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan benjolan pada payudara kiri. Pasien

merasakan nyeri tekan. Mual, muntah, dan pusing disangkal. Dari

pemeriksaan fisik didapatkan benjolan tunggal di kuadran supero

medial mammae sinistra dengan massa yang mudah digerakkan.

Kemudian dokter sub – spesialis bedah onkologi akan melakukan

eksisi luas. Dokter spesialis anestesi acc untuk dilakukan general

anestesi.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

32
Riwayat DM : disangkal

Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat keluhan serupa

5. Riwayat Penyakit Sosial

Konsumsi rokok dan alkohol disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Vital Sign

a. Tekanan darah : 140/78

b. Nadi : 84x/menit

c. Pernapasan : 20x/menit

d. Suhu : 36,4oC

Head to Toe

a. Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis (-/-),

ikterus sklera (-/-)

b. Mulut : Jalan nafas bersih (+)

c. Leher : Pembesaran limfonodi (-), pembesaran

tiroid (-)

33
d. Thorax : Suara dasar vesikuler (+/+), tidak ada suara

tambahan, cor S1-S2 reguler tanpa bising jantung.

Status Lokalis : Massa di kuadran superomedial sinistra,

nyeri tekan (+), tunggal, berbatas tegas, kenyal, dan mobile.

e. Abdomen : Datar, supel, bising usus (+)

f. Ekstremitas : Akral hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium

i. Darah lengkap

1. Hb : 13,1g/dl (11,7 – 15,5)

2. Ht : 38% (35 – 47)

3. AL : 10,5 x 103 (3,6 – 11)

4. AE : 4,50 x 106 (3,8 – 5,2)

5. AT : 340 x 103 (150 – 400)

6. MCV : 85,3 (80 – 100)

7. MCH : 29,1 (26 – 34)

8. MCHC : 34,1 (32 – 36)

ii. Hitung Jenis

1. Eosinofil : 3,0% (2 – 4)

2. Basofil : 0,2% (0 – 1)

3. Neutrofil : 62,4% (50 – 70)

4. Limfosit : 29,8% (25 – 40)

5. Monosit : 4,6% (2 – 8)

34
iii. BT – CT

1. Masa Pembekuan (CT) : 5 m 30 s (5 – 8)

2. Masa Pendarahan (BT) : 1 m 30s (1 – 3)

iv. Kimia Klinik

1. GDS : 106 (70 – 140)

2. Ureum : 25 (10 – 50)

3. Kreatinin : 0,79 (0,6 – 1,2)

4. SGOT : 13,9 (0 – 35)

5. SGPT : 21,1 (0 – 35)

v. Imunologi

1. HbsAg : Non reaktif

2. Anti HIV : Non reaktif

2. Pemeriksaan Radiologi

i. RO Thorax PA View :

1. Apex paru tenang

2. Paru dalam batas normal

3. Besar cor normal

4. Sistema tulang intak, kesan dalam batas normal.

E. DIAGNOSIS

Status fisik ASA 1 pada pasien Fibroadenoma Mammae sinistra

F. PENATALAKSANAAN

1. Terapi Awal

i. Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gram

35
ii. Infus RL 20 tpm

2. Pra Operasi

i. Rencana akan dilakukan tindakan eksisi luas pada 4 Juli

2018

ii. Puasa 6 jam sebelum operasi

3. Intra Operasi

Dilakukan tindakan eksisi luas dengan teknik general anestesi pada

tanggal 4 Juli 2018 pukul 11:15 WIB

i. Laporan Anestesia

1. Jenis anestesia / Resiko anestesia : Besar / Besar

2. Monitoring : TD, N, SpO2, RR

TD : 120/70, N : 80x/min, RR : 16x/min, SpO2 :

99%

ii. Pra Induksi

BB : 60kg

ASA :I

Jantung : dbn

Paru : dbn

Premedikasi : Sulfas atropine 0,25 mg IV, Midazolam 2,5

mg IV, Fentanyl 100mcg IV

iii. Induksi

Pasien tidur di meja operasi dengan posisi rileks → Perawat

anestesi menyiapkan dan memasukkan Sulfas Atropine

36
0,25mg, Midazolam 2,5mg, Fentanyl 100mcg, dan Recofol

100mg IV → Oksigenasi dengan O2 100% selama 2 menit

→ Kepala pasien diposisikan ekstensi → LMA dimasukkan

menyusuri pallatum → Fiksasi cuff dengan spuit →

Menghubungkan LMA dengan mesin anestesi → Cek

apakah LMA masuk dengan baik (thorax mengembang saat

dipompa dengan bag) → Fiksasi LMA dengan plester

Maintenance : Sevofluran, O2, N2O

Cairan :

Maintenance = (10x4)+(10x2)+(40x1) = 100ml

S.O. = BB x konstanta operasi berat = 60 x 8 =

480ml

Pengganti Puasa = 6 x Maintenance = 6 x 100 = 600ml

Jam 1 = 1/2PP + M + SO = 300 + 100 + 480 = 860ml

Jam 2 dan 3 = 1/4PP + M + SO = 150 +100+480 = 730ml

Jam 4 dst. = M + SO = 100 + 480 = 580 ml

Estimated Blood Volume = 70ml/kgBB = 70x60 = 4200ml

Estimated Red Cell Mass = EBV x Ht/100 = 4200 x 38/100

= 1596ml

Acceptable Red Cell Loss = ERCM – ERCM(Ht30%) =

1596 – 1260 = 336ml

Acceptable Blood Loss = 3 x ARCL = 3 x 336 = 1008ml

4. Post Operasi

37
Operasi selesai → Agen anestesi inhalasi dan N2O dimatikan serta

O2 dinaikkan → Melakukan triple airway manuver → Memastikan

pola nafas adekuat dan reguler → LMA dilepas → Transfer ke

ruang pemulihan sambil kepala diekstensikan → Monitor tanda

vital di ruang pemulihan sambil dipasang O2 nasal kanul 2L/menit

→ Pasien dibangunkan di ruang pemulihan → Pasien sadar

5. Ruang Pemulihan

Monitoring keadaan umum pasien berdasarkan Aldrette Score

Penilaian

Penilaian :

Nilai Warna

 Merah muda, 2

 Pucat, ikterus, 1

 Sianosis, 0

Pernapasan

 Dapat bernapas dalam dan batuk, 2

 Bernapas dangkal dan berat, 1

 Apnea atau obstruksi, 0

Sirkulasi

 Tekanan darah menyimpang <20 mmHg dari nilai awal, 2

 Tekanan darah menyimpang 20-50 mmHg dari nilai awal, 1

 Tekanan darah menyimpang >50 mmHg dari nilai awal, 0

Kesadaran

38
 Sadar, siaga dan orientasi, 2

 Bangun dengan rangsangan namun cepat kembali tertidur, 1

 Tidak ada respons, 0

Aktivitas

 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2

 Dua ekstremitas dapat digerakkan,1

 Tidak bergerak, 0

Jika jumlahnya > 8, pasien dapat dipindahkan ke ruang

perawatan

6. Perawatan di Ruangan

i. Pengawasan TD/N/RR tiap ¼ jam pada 2 jam pertama

ii. Program cairan : inf. Tutofusin drip 20tpm + Fentanyl

100mcg + Ketorolac 60mg

iii. Program Analgetik : inj. Antrain 1gr K/P

iv. Diit dan terapi lain sesuai bedah

39
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fibroadenoma Mammae (FAM)

a. Definisi

Fibroadenoma merupakan benjolan pada payudara yang disebabkan oleh

pertumbuhan berlebih pada lobulus payudara (Wu, 2014). Fibroadenoma

mammae biasanya terjadi pada wanita usia muda, yaitu pada usia remaja atau

sekitar 20 tahun. Berdasarkan laporan dari NSW Breast Cancer Institute,

fibroadenoma umumnya terjadi pada wanita dengan usia 21-25 tahun

(Anyikam, 2008).

b. Etiologi

Penyebab fibroadenoma mammae belum diketahui secara jelas,

kemungkinan akibat produksi hormon estrogen yang meningkat yang

memberikan gejala klinis yaitu merasa ada benjolan di payudara yang sudah

cukup lama diketahui, benjolan sering tidak disertai rasa nyeri, benjolan di

payudara terasa mobile terutama pada usia muda. Biasanya ukurannya akan

meningkat pada saat menstruasi atau pada saat hamil karena produksi hormon

estrogen meningkat karena estrogen meningkatkan substansi dasar stroma

yang mempunyai kecenderungan reorganisasi fibrosa. (Sjamsuhidajat, 2011).

c. Patofisiologi

Fibroadenoma adalah tumor jinak yang menggambarkan suatu proses

hiperplasia dan proliferasi pada satu duktus terminal, perkembangannya

dihubungkan dengan suatu proses aberasi perkembangan normal. Penyebab

40
proliferasi duktus tidak diketahui, diperkirakan sel stroma neoplastik

mengeluarkan faktor pertumbuhan yang mempengaruhi sel epitel.

Peningkatan mutlak aktivitas estrogen, diperkirakan berperan dalam

pembentukannya.

Pada masa remaja, fibroadenoma dapat dijumpai dalam ukuran yang

besar. Fibroadenoma jarang ditemukan pada wanita yang telah mengalami

menopause dan dapat terbentuk gambaran kalsifikasi kasar. Sebaliknya,

fibroadenoma dapat berkembang dengan cepat selama proses kehamilan,

pada terapi pergantian hormon, dan pada orang-orang yang mengalami

penurunan kekebalan imunitas, bahkan pada beberapa kasus, dapat

menyebabkan keganasan (Robbin, 2007).

d. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari fibroadenoma mammae antara lain:

1. Usia muda, dekade II-III

2. Benjolan pada payudara yang lambat membesar

3. Bentuk bulat/lonjong

4. Single atau multiple pada satu atau kedua payudara

5. Permukaan halus

6. Konsistensi kenyal padat

7. Batas tegas

8. Mobilitas baik

9. Sering tidak disertai nyeri

(Sjamsuhidajat, 2011).

41
B. Anestesi Umum

Anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas dari sensasi sakit/nyeri,

rabaan, suhu, dan posisi. Anestesi umum mempunyai tujuan agar dapat :

menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia yang

bersifat reversible dan dapat diprediksi. Tiga pilar anestesi umum atau yang

disebut trias anestesi meliputi: hipnotik, atau sedative, yaitu membuat pasien

tertidur atau mengantuk/ tenang, analgesia atau tidak merasakan sakit, dan

relakasai otot, yaitu kelumpuhan otot skelet. Saat ini ditambah pula dengan

stabilitas otonom antara saraf simpatis dan parasimpatis. Umumnya

kombinasi anastetik yang digunakan untuk anestesi umumakan

mengakibatkan gejala klinis tidak berespon terhadap rangsangan yang

menyakitkan, tidak dapat mengingat apa yang terjadi, depresi atau tidak

mampu mempertahankan proteksi jalan napas yang memadai hingga

ketidakmampuan melakukan ventilasi spontan akibat kelumpuhan otot, dan

depresi kardiovaskular sehingga cenderung bradikardi dan hipotensi.

Pada pemberian anestesi umu harus diperhatikan 10 peraturan dalam

pembiusan :

1. Do an Adequate Preoperative Assesment atau penilaian pasien

sebelum dilakukan pembedahan dan pembiusan. Biasanya dilakukan di

bangsal rawat inap atau instalasi gawat darurat, jika pasien gawat darurat.

Pada penilaian ini kemudian dapat ditentukan resiko pembiusan dan

pembedahan yang dinyatakan dalam status ASA (American Society of

Anesthesiologist).

42
2. Starve him. Pasien yang akan dilakukan pembiusan, sedapat

mungkin dilakukan dalam keadaan lambung kosong. Hal ini bertujuan agar

meminimalisasi kejadian aspirasi isi lambung atau regurgitasi (mengalirnya

isi lambung yang asam ke saluran pernapasan).

3. Put Him on Tipping Table . pasien yang akan dilakukan

pembedahan selanjutnya dibaringkan pada meja operasi yang datar dan cukup

keras sehingga mudah dalam pemantauan, walaupun kadang terdapat posisi

tertentu untuk memudahkan operator bekerja (misalnya posisi miring,

tengkurap, dan litotomi).

4. Check Your Machine and Cylinder Before You Start. Ahli anestesi

harus selalu mengecek mesin anestesi, apakah ada kebocoran gas-gas, apakah

ukuran pipa sesuai untuk anak atau dewasa, dan apakah tabung gas terisi

penuh atau kurang sehingga tidak membahayakan pasien yang akan

dianestesi.

5. Keep An Instantly Suction . sediakan selalu mesin pengisap lender

dan cairan untuk berjaga-jaga apabila terjadi aspirasi atau muntah.

6. Keep His Airway Clearly. Saluran napas yang bersih dan tidak

terhalang akan memudahkan untuk dilakukan tindakan pemberian bantuan

pernapasan.

7. Be Ready to Control His Ventilation. Petugas harus selalu siap

memberikan bantuan pernapadan apabila terjadi henti napas atau napas tidak

adekuat.

43
8. Have Open Veins. Akses vena harus selalu tersedia karena banyak

obat atau anestetik diberikan lewat jalur vena. Selain itu, akses vena berguna

untuk memberikan terapi atau resusitasi cairan jika diperlukan.

9. Check His Pulse and Blood Pressure. Denyut nadi dan tekanan

darah harus selalu dimonitor, dapat seara palpasi manual, atau dengan mesin

monitor tanda vital.

10. Always Have Some One Who Can Apply Cricoid Pressure.

Petugas selalu didampingi petugas lainnya untuk membantu menekan tulang

krikoid sehingga memudahkan untuk intubasi.

Metode Anestesi Umum

Anestetik umum dapat diberikan secara parenteral (intravena,

intramuscular), inhalasi (melalui isapan/gas), dan rektal (melalui anus).

Metode secara rektal sudah jarang digunakan, biasanya digunakan pada bayi

atau anak-anak dalam bentuk suppositoria, tablet, atau semprotan yang

dimasukkan ke anus. Factor-faktor yang mempengaruhi kerja anestetik

diantaranya factor respirasi, sirkulasi, dan jaringan.

Respirasi merupakan salah satu jalan masuknya anestetik, khususnya

metode inhalasi. Obat inhalasi masuk melalui proses inspirasi dan mencapai

alveoli paru. Dalam alveoli, anesteti mencapai konsentrasi tertentu sehingga

cukup kuat untuk menyebabkan proses difusi ke dalam sirkulasi dan seluruh

tubuh/ jaringan. Apabila anestetik tersebut masuk ke organ yang kaya

pembuluh darah seperti otak, akan muncul efek anesteti berupa hipnotik atau

44
tidur lebih cepat. Peubahan hemodinamik dapat terjadi sebagai akibat depresi

pada jantung oleh anestetik. Factor-faktor lain yang mempengaruhi anestesi

adalah ventilasi dan suhu tubuh sehingga semakin sering diberikan ventilasi

atau pernapasan, makon cepat terjadi efek anestesinya. Begitu juga dengan

suhu tubuh, semakin rendah suhu tubuh pasien, semakin cepat efek anestesi

terjadi.

Macam dan Tanda Reflek pada Mata

Untuk mengetahui apakah seseorang telah memasuki stadium anestesi

atau belum, dapat dilakukan uji reflek pada mata. Pada pasien dengan koma,

reflek-reflek pada mata akan hilang seperti pada hasil uji ini. Reflek-reflek

tersebut adalah reflek pupil, reflek bulu mata, reflek kelopak mata dan reflek

cahaya.

Status Fisik Pasien

Status fisik dinyatakan dalam status ASA (American Society of

Anesthesiologist).

 ASA 1, yaitu pasien normal, tidak ada gangguan organik, fisiologis atau

kejiwaan. Sehat dengan toleransi latihan yang baik. Tidak merokok dan

konsumsi alkohol minimal serta Body Mass Index (BMI) kurang dari 30.

 ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik

karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu

ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut

dengan lekositosis dan febris. BMI antara 30 – 40.

45
 ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang

diaktibatkan karena berbagai penyebab. Keterbatasan fungsional, memiliki

penyakit lebih dari satu system tubuh atau satu system utama yang terkendali.

BMI lebih dari 40. Contohnya, pasien sectio caesarea dengan DM dan

Hipertensi yang tidak terkontrol, pasien kanker hati dengan hepatitis, dsb.

 ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung

mengancam kehidupannya. Salah satu contohnya adalah pasien fraktur

humerus dengan penyakit jantung iskemik.

 ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun

dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani

dan syok hemoragik karena ruptura hepatic. Klasifikasi ASA juga dipakai

pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E =

emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.

 ASA 6, yaitu pasien yang sudah dinyatakan mati otak yang di mana organ

pasien akan diambil untuk tujuan donor organ dan ditransplasikan ke pasien

yang membutuhkan.

(Doyle, 2017)

b. Teknik Anestesi Umum Dengan Laryngeal Mask Airway

Manajemen saluran napas menggunakan LMA merupakan metode

memasukkan LMA ke dalam hipofaring. Teknik dengan menggunakan LMA

akan mengurangi resiko aspirasi dan regurgitasi dibandingkan jika

menggunakan sungkup muka. Cara pemasangannya diawali dengan

oksigenasi menggunakan sungkup muka, kemudian baru memasukkan LMA

46
yang sudah diberi pelumas ke hipofaring. Setelah masuk ke hipofaring, LMA

selanjutnya digembungkan menggunakan spuit dan difiksasi menggunakan

plester.

c. Penggunaan Obat Anestesi

Untuk melakukan anestesi umum, digunakan beberapa anestetik, dapat

dikelompokkan menjadi hipnotik, sedative, analgesic, dan pelumpuh otot.

1. Hipnotik

Sesuai namanya obat ini akan menimbulkan tidur yang ringan tanpa

pasien merasa mengantuk sehingga pasien langsung tertidur begitu terpapar

obat ini. Golongan hipnotik dapat berupa gas dan cairan. Untuk jenis gas,

misalnya: halotan sevoflurane, isoflurane, dan ethrane, memerlukan mesin

anestesi untuk dapat diberikan kepada pasien dengan cara dihirup melalui

sungkup muka. Setelah tercapai hypnosis atau tertidur, sungkup muka dapat

disambungkan dengan LMA atau ET.

Pada dosis tertentu, obat hipnotik cair yang diberikan secara

intravena, misalnya : Propofol, etomidate, ketalar, dan pentotal dapat juga

digunakan sebagai sedative. Semua obat hipnotik mempunyai efek depresan

miokardiu dan respirasi kecuali ketalar.

a. Sevoflurane

Senyawa yang sedikit berbau ini sanga cocok dipakai baik untuk induksi pada

anak-anaak maupun dewasa. Sevoflurane dikenal dengan obat untuk single

breath induction, yaitu hanya dalam satu tarikan napas dapat membuat pasien

langsung teinduksi/ tertidur dan otot rangka lemas sehingga memudahkan

47
untuk tindakan intubasi. Efek induksi cepat sevoflurane disebabkan karena

sifatnya mudah mencapai konsentrasi yang tinggi di alveolus. Kelarutan

dalam darah yang rendah menyebabkan pasien cepat bangun dari kondisi

tertidur begitu obat ini dihentikan pemberiannya. Metabolism di hepar hanya

seperempat halotan sehingga cukup aman untuk pasien dengan gangguan

fungsi hepar.

b. Propofol

Propofol 92,6-diisopropylphenol) merupakan salah satu obat induksi

intravena yang saat ini paling banyak digunakan. Senyawa ini bekerja dengan

cara menghambat kerja neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA.

Propofol bersifat tidak larut air sehingga dibuat menjadi sediaan emulsi

berwarna putih susu yang terdiri atas 1% konsentrasi yang berisi campuran

minyak kedelai, lesitin telur yang berasal dari kuning telur, dan gliserol.

Pasien biasanya mengeluh nyeri saat penyuntikan obat ini. Karena itu dapat

diberikan lidokain 2% dalam campuran sediaan Propofol. Waktu paruhnya

yang pendek, yaitu antara 2-8 menit membuat induksi dengan Propofol

berlangsung dengan onset dan durasi yang cepat. Dosis untuk induksi sebesar

1-2.5 mg/KgBB yang diberikan secara intravena.

c. Midazolam

Merupakan golongan benzodiazepine, sering digunakan untuk obat sedasi

dengan dosis 0,01-0,1 mg/KgBB. Dosis untuk induksi sebesar 0,1-0,4

mb/KgBB. Onset midazolam untuk dosis induksi relative lebih lama

dibandingkan dengan Propofol. Sediaan tersedia berupa sublingual,

48
intranasal, dan buccal. Midazolam sangat kecil memengaruhi system

kardiovaskular, dan memiliki sifat amnesia antegrad yang kuat.

2. Sedatif

Obat sedatif akan memberikan efek kantuk dan tenang bagi pemakai. Pasien

yang terpapar obat ini akan merasa tenang, mengantuk, dan dapat menjadi

tertidur, serta melupakan semua kejadian yang dialami selama tersedasi.

Contoh obat sedasi yang banyak dipakai adalah midazolam dan diazepam.

3. Analgesik

Ada 2 jenis analgesic yang diapakai, yaitu golongan NSAID (Non Steroid

AntiInflammatory Drug) dan OPIOD. Golongan NSAID biasanya dipakai

untuk mengatasi nyeri pasca operasi. Cara kerja golongan NSAID adalah

dengan mencegah pembentukan prostaglandin. Obat-obatan yang termasuk

golongan ini adalah parasetamol, ketorolac, dan natrium diklofenak.

Analgesic Opioid, karena sifat analgesiknya yang sangat kuat, sering dipakai

untuk menghilangkan nyeri selama operasi atau untuk menumpulkan respon

terhadap tindakan manipulasi saluran napas seperi intubasi. Contoh obat-

obatan golongan opioid adalah morfin, petidin, tramadol, fentanyl, dan

sufenta. Tramadol adalah opioid sintetik yang kekuatannya sangat kecil,

bahkan tidak menimbulkan reaksi ketagihan. Fentanyl merupakan analgesic

yang sangat kuat, kurang menyebabkan pelepasan histamin, dan onset serta

durasinya lebih singkat dibandingkan morfin dan petidin.

Karena cara kerja opioid adalah dengan terikat pada reseptor opioid dalam

berbagai tingkatan (yaitu reseptor mu, kappa, delta, dan sogma), efek samping

49
yang ditimbulkan pun beragam. Secara umum, efek samping yang muncul

berupa nausea, pruritus, dan sedasi. Morfin paling sering menimbulkan

pruritus karena terikat di reseptor mu. Fentanyl merupakan opioid dengan

daya analgesic yang kuat, juga terikat pada reseptor mu, tetapu dapat

menimbulkan kekakuan otot (rigiditas). Sufenta merupakan opioid dengan

daya analgesic paling kuat dibandingkan morfin, meperidine, dan fentanyl.

Meperidine mempunyai sifat yang unik, yaitu menurunkan shivering pasien

pada dosis 25 mg secara intravena.

Pada pemberian opioid, harus diperhatikan efek samping yang trejadi. Semua

opioid memiliki efek depresi pernapasan. Biasanya pasien akan mengalami

apneu beberapa saat, kemudian kadang-kadang berlanjut sehingga perlu

diberi bantuan pernapasan.

4. Muscle Relaxant/ Pelumpuh Otot

Pelumpuh otot digunakan untuk membantu proses pemaangan ET. Terdapat

pelumpuh nondepolarisasi seperti rocuronium, atrakurium, vekurium, dan

pavulon. Selain itu, terdapat pula pelumpuh otot depolarisasi, misalnya

suksinil kolin. Golonhan depolarisasi membuat pasien mengalami fasikulasi

atau gerakan seperti kejang, beronset cepat (30-60 detik), dan berdurasi

pendek. Fasikulasi ini menyebabkan pasien mengeluh myalgia pasca operasi.

Suksinil kolin juga dapat memicu timbulnya malignant hyperthermia , yaitu

gangguan hipermetabolisme pada otot skelet.

Pelumpuh otot golongan nondepolarisasi relative lebih banyak jenisnya. Ada

yang beronset cepat, yaitu sekitar 1,5 menit (rocuronium) sampai 5 menit

50
(doxacurium). Durasi pelumpuh otot nondepolarisasi juga bervariasi, antara

15 menit (mivacurium) sampai 150 menit (doxacurium). Saat ini, banyak

yang memaai rocuronium atau atrakurum karena onsetnya yang relative cepat

dan durasinya yang cukup panjang. Dosis untuk intubasi yaitu 0.5 mg/KgBB.

51
BAB III

PEMBAHASAN

Dari pemeriksaan fisik dan penunjang, akan diperoleh gambaran mengenai status

pasien. Hal ini penting karena tenaga kesehatan dapat menentukan prognosis pasien

setelah dilakukannya operasi. Pada kasus ini, status fisik dan prognosis pra anestesi

pasien berada pada kategori ASA I, yaitu pasien normal, tidak ada gangguan organik,

fisiologis atau kejiwaan. Tidak termasuk sangat muda dan sangat tua, sehat dengan

toleransi latihan yang baik. Jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi,

berdasarkan pertimbangan yaitu operasi dengan eksisi luas di bagian mammae sinistra.

52
BAB IV

KESIMPULAN

Anestesi umum mempunyai tujuan agar dapat menghilangkan nyeri,

membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversbel dan

diprediksi. Anestetik umum dapat diberikan secara parenteral (intravena,

intramuscular), inhalasi (melalui isapan/gas), dan perektal. Indikasi anestesi

umum yaitu : infant & anak usia muda, dewasa yang memilih anestesi umum,

pembedahan luas/ ekstensif, penderita sakit mental, pembedahan lama,

pembedahan dimana anestesi regional tidak praktis, riwayat penderita toksik/

alergi obat anestesi regional, dan penderita dengan pengobatan

antikoagulantia.

53
DAFTAR PUSTAKA

A. Grace Pierce. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Anyikam, A., Nzegwu, M. A., Ozumba, B. C., Okoye, I., & Olusina, D. B.

(2008). Benign breast lesions in Eastern Nigeria. Saudi medical

journal, 29(2), 241-244.

Doyle DJ, Garmon EH. (2017). American Society of Anesthesiologists

Classification (ASA Class). In: StatPearls [Internet]. Treasure Island

(FL): StatPearls Publishing; 2018 Jan-.Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441940/

Guyton A.C., Hall J.E. 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . Edisi ke- 9.

Jakarta : EGC

Kumar, V., S.Ramzi, Cotran, L.Stanley, dan Robbins. 2007. Buku Ajar

Patologi Robbins, Edisi 7, Volume 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC:

Jakarta

Lippincott Williams & Wilkins. Hines, R. L., Marschall, K. E. 2008.

Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA

Pramono Ardi. 2014. Buku Kuliah Anestesi. LP3M Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta.

54
Sjamsuhidajat, Wim de jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta:

EGC

Wu, Y. T., Chen, S. T., Chen, C. J., Kuo, Y. L., Tseng, L. M., Chen, D. R., ...

& Lai, H. W. (2014). Breast cancer arising within fibroadenoma:

collective analysis of case reports in the literature and hints on treatment

policy. World journal of surgical oncology, 12(1), 335.

55
LAMPIRAN PR

1. Apa hubungan antara meperidine dan penurunan shivering?

Shivering atau dalam istilah indonesia gemetaran adalah

pengalaman distress dan dilaporkan 5 – 65% pada pasien anestesi general

serta 60% pasien anestesi regional yang kembali sadar mengalami gejala

seperti ini. Rasa gemetaran ini dapat mengarah ke komplikasi stimulasi

simpatis seperti takikardi dan peningkatan tekanan darah eksaserbasi

penyakit jantung iskemik. Shivering dapat meningkatkan cardiac output

dan konsumsi karbon dioksida, serta dapat meningkatkan tekanan

intraokular maupun intrakranial. Perubahan intraoperasi memainkan peran

inti dari mekanisme gemetaran ini termasuk rasa sakit, peningkatan tonus

simpatis dan respon inflamasi akibat pelepasan sitokin secara sistemik.

Meperidine adalah salah satu obat yang efektif untuk mengatasi

gejala ini. Walaupun mekanismenya belum diketahui secara pasti,

meperidin bekerja pada pusat termoregulator atau melalui reseptor opioid.

Dengan dosis efektif 0,4mg/kg meperidine dapat mencegah gejala gemetar

sesudah operasi. Tetapi dosis ini dihubungkan dengan beberapa efek

samping sepersi pusing, sedasi, mual dan muntah post – operasi.

Sumber :

1. Koroglu, A., Yilmaz, H., Bengisun, Z. K., Suer, A. H., & Tuzuner,

F. (2016). Abstract PR469: Meperidine, Ketamine And Tramadol’S

Effects On Postanesthesia Shivering And Pain in Patients Under General

Anaesthesia. Anesthesia & Analgesia, 123(3S_Suppl), 163-164.

56
2. Solhpour, A., Jafari, A., Hashemi, M., Hosseini, B., Razavi, S.,

Mohseni, G., ... & Soltani, F. (2016). A comparison of prophylactic use of

meperidine, meperidine plus dexamethasone, and ketamine plus

midazolam for preventing of shivering during spinal anesthesia: a

randomized, double-blind, placebo-controlled study. Journal of clinical

anesthesia, 34, 128-135.

57
REFLEKSI KASUS ANESTESI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi
Rumah Sakit Umum Daerah Temanggung

Disusun Oleh :
Andika Wima Pratama
20184010100

Dokter Pembimbing :
dr. Argo Seto Sp. An

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif


RSUD Temanggung
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2018

58
A. Pengalaman
Seorang perempuan usia 25 tahun Rujukan dari RSJ datang ke IGD RSUD
Temanggung dengan keluhan demam lebih dari 1 minggu, bengkak, dan nyeri
pada leher, mual dan muntah disangkal, tidak merasakan kesulitan dan nyeri
saat menelan tetapi sulit untuk membuka mulut. Dokter melakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan berupa GDS dan berdasarkan
data, dokter mendiagnosis pasien dengan abses mandibula dengan tambahan
berupa F20 (skizophrenia) dan DM tipe 2, sehingga perlu dilakukan tindakan
operasi. Dokter UGD melakukan terapi cairan / rehidrasi RL 500cc 20 TPM.
Setelah dikonsulkan ke dokter Bedah Mulut dan terdapat instruksi untuk
diberikan obat injeksi ceftriaxon 1g/12 jam, injeksi metronidazol 500mg/8 jam
drip, injeksi gentamisin 250 mg/24 jam, injeksi ketorolac 30mg/8 jam, injeksi
dexa 1 ampul, injeksi ranitidine 50 mg/8 jam dan rencana insisi drainase abses.
Dokter anestesi menyetujui dilakukan operasi, operasi dilakukan dengan teknik
anestesi general.

B. Masalah yang dikaji


Bagaimana pemilihan manajemen anestesi pada pasien dengan gejala
tambahan skizofrenia?

C. Analisis
Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis
yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal
kognitif, mempengaruhi emosional dan tingkah laku (Depkes RI, 2015).
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat. Penyakit ini
menyerang 4 sampai 7 dari 1000 orang (Saha et al, 2005). Skizofrenia
biasanya menyerang pasien dewasa yang berusia 15- 35 tahun. Data
America Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan bahwa
1 % populasi penduduk dunia menderita skizofrena dan 75% penderita
dari skizofrenia dapat terjadi pada usia 16-25 tahun (Depkes RI, 2015).
Di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa berat (skizofrenia) sebesar
0,46%. Sulawesi Tengah menempati peringkat pertama dari provinsi lain

59
yang berada di Sulawesi dengan penderita skizofrenia sebesar 0,53%.
(RISKESDAS, 2008).
Skizofrenia termasuk ke dalam kelainan jiwa psikotik yang cukup
besar dengan gejala khas berupa kelainan dalam proses berpikir dan
membedakan kenyataan. Etiologi dari gejala ini multifaktorial dan gejala
ini dihubungkan dengan kelebihan aktivitas dopaminergik di dalam otak.
Etiologi yang pasti dari penyakit ini masih dalam tahap penelitian.
Antipsikotik untuk penyakit ini dibagi ke dalam dua grup yaitu
neuroleptik yang menyebabkan sindrom ekstrapiramidal dan atipikal
yang tidak menyebabkan efek tersebut (Attri, 2012). Penggunaan
antipsikosis pada saat pre operasi malah akan membuat pasien semakin
rentan terhadap hipotensi pada anestesi general (Kudoh, 2005). Di sisi
lain, penghentian antipsikosis meningkatkan gejala episode psikotik
seperti halusinasi dan agitasi. Maka, pasien dengan skizofrenia kronik
harus melanjutkan pengobatan antipsikosis untuk pre operasi. (Kudoh,
2004).
Anestesi general maupun regional yang terbaik untuk pasien
dengan skizofrenia masih menjadi sebuah perdebatan. Sebuah studi dari
Sawada et. Al. pada tahun 1997 melaporkan temuan bronkospasme dan
hipotensi persisten saat anestesi spinal dilakukan pada pasien dengan
skizofrenia kronik. Pasien skizofrenia yang mendapatkan klorpromazin
sangat cenderung untuk menghasilkan hipotensi setelah diinduksi
anestesi general (Kudoh, 2004). Penggunaan ketamin pada pasien
skizofrenia sebaiknya dihindari sebisa mungkin karena ketamin dapat
menurunkan ambang kejang (Hines, 2010).
Penggunaan dari hipnotik short – acting dan analgesik seperti
propofol, remifentanil dan sejenisnya aman untuk dimasukkan sebagai
induksi dan maintenance anestesi (Hachenberg, 2014). Terdapat
beberapa laporan pada perubahan di respon rasa sakit pada pasien
skizofrenik, kebanyakan dari mereka tidak melaporkan adanya rasa sakit
setelah operasi abdomen. Ketidaksensitifan rasa sakit pada pasien dengan

60
skizofrenia merupakan hasil dari antipsikosis, karena kebanyakan dari
antipsikosis mempunyai efek analgesik (Patt, 1994). Penggunaan
tramadol pada pasien yang mendapatkan obat antipsikosis dapat
menyebabkan gejala psikiatrik seperti perubahan mood, halusinasi,
gangguan tidur, dan mimpi buruk karena tramadol dapat mempercepat
sindrom serotonin ketika digabung dengan obat antidepresan, yang mana
dapat meningkatkan transmiter ini sehingga menyebabkan gejala psiatrik
tersebut (Attri, 2012)

D. Dokumentasi
Identitas Pasien
Nama : Ny. IP
Usia : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Walitelon
Tanggal Operasi : 4 Juli 2018
No RM : 082146

Asesmen Anestesi
Subjective
 Riwayat Penyakit Sekarang : Abses Mandibula, DM Tipe
2, F20
 Riwayat Penyakit Dahulu : F20
 Riwayat Penyakit Keluarga : (-)
 Riwayat Operasi : (-)
 Kebiasaan Sehari-hari : F20
 Alergi : (-)
 Obat yang dikonsumsi : (+)
Objective
 Pemeriksaan fisik : Bengkak pada leher, nyeri
tekan (+)

61
 Hasil Pemeriksaan Penunjang : GDS = 304 ; RO Thorax
kesan dbn
Assessment
 ASA :I
 Malampati : (-)
Planning
 Rencana Pelayanan : General Anestesi
 Rencana Anestesi : General
 Daftar Masalah : F20, DM Tipe 2
 Saran Persiapan Tindakan Anestesi : Puasa, Premedikasi
(Alprazolam0,5mg tab 2x1)
 Rencana Analgesi Post Anestesi : Tutofusin + Fentanyl 100mg
+ Antrain 1g drip

Laporan Anestesia
Tanggal Operasi : 4 Juli 2018
Diagnosa preoperasi : Abses Mandibula
Diagnosa postoperasi : Abses Mandibula
Tindakan Operasi : Insisi dan Drainase Abses
Jenis Anestesi : Besar
Resiko anestesia : Besar

Prainduksi :
 TD : 121/83 mmHg
 N : 86x/menit
 RR : 16x/menit
 T : 36oC
 ASA : I

62
General Induksi : Sevoflurane, Recofol
Obat Prainduksi : Fentanyl 100 mcg, Midazolam 5mg, Sulfas atropin 0,25mg,
Acratarium
Maintenance : O2, N2O, dan Sevoflurane
Obat selama anestesi berlangsung :
 Recofol 100mg
 Tramadol 100mg
 Dexamethason 10mg
Cairan Masuk : RL 1000cc
Posisi pasien : Telentang
Catatan Untuk di Ruangan
 Pengawasan TD, N, R setiap ½ jam pada 2 jam pertama
 Program cairan : Tutofusin + Fentanyl 100mcg + Antrain 1g  20 tpm
 Program Analgetik : -
 Catatan Khusus : -

E. Daftar Pustaka
Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri Jilid 2
Terjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Schizophrenia. Diunduh
dari
http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375258
333- schizophrenia.pdf
Saha, S., Chant, D., Welham, J., & McGrath, J. (2005). A systematic review of
the prevalence of schizophrenia. PLoS medicine, 2(5), e141.
Riset Kesehatan Dasar. (2008). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Kudoh, A. (2005). Perioperative management for chronic schizophrenic
patients. Anesthesia & Analgesia, 101(6), 1867-1872.

63
Kudoh, A., Katagai, H., Takase, H., & Takazawa, T. (2004). Effect of
preoperative discontinuation of antipsychotics in schizophrenic patients
on outcome during and after anaesthesia. European journal of
anaesthesiology, 21(5), 414-416.
Sawada, N., Higashi, K., Yanagi, F., Nishi, M., Akasaka, T., & Kudoh, J.
(1997). Sudden onset of bronchospasm and persistent hypotension during
spinal anesthesia in a patient on long-term psychotropic therapy. Masui.
The Japanese journal of anesthesiology, 46(9), 1225-1229.
Patt, R. B., Proper, G., & Reddy, S. (1994). The neuroleptics as adjuvant
analgesics. Journal of pain and symptom management, 9(7), 446-453.
Klotz, U. (2003). Tramadol—the impact of its pharmacokinetic and
pharmacodynamic properties on the clinical management of
pain. Arzneimittelforschung, 53(10), 681-687.
Attri, J. P., Bala, N., & Chatrath, V. (2012). Psychiatric patient and
anaesthesia. Indian journal of anaesthesia, 56(1), 8.

64
LAMPIRAN PR
1. Apa kubungan antara skizofrenia dengan kejang?
Kejang dalam skizofrenia lebih ditekankan pada gejala kejang yang
mengarah ke epilepsi. Perkembangan syaraf yang abnormal menjadi kunci
utama untuk menghubungkan kedua gejala ini. Beberapa studi
mengemukakan bahwa “jaringan asing” seperti hamartoma, displasia fokal
atau sklerosis lobus temporalis medial lebih prevalen pada pasien dengan
epilepsi lobus temporalis dengan komorbiditas berupa psikosis seperti
skizofrenia. Beberapa studi terkini juga mengungkapkan faktor genetik
yang dapat mempengaruhi skizofrenia dan epilepsi. Gen LGI1 berperan
pada perkembangan migrasi di sistemsyaraf pusat, yang dimana sangat
berhubungan dengan epilepsi lobus temporal dan kejang demam. LGI1
juga berperan dalam regulasi glutamatergic synaptic transmission, yang
mana neurotransmitter ini berperan di dalam patofisiologi dari skizofrenia
itu sendiri.
Sumber:
1. Vonberg, F. W., & Bigdeli, T. B. (2016). Genetic correlation between
schizophrenia and epilepsy. JAMA neurology, 73(1), 125-126.
2. Chang, Y. T., Chen, P. C., Tsai, I. J., Sung, F. C., Chin, Z. N., Kuo, H.
T., ... & Chou, I. C. (2011). Bidirectional relation between
schizophrenia and epilepsy: a population‐based retrospective cohort
study. Epilepsia, 52(11), 2036-2042.

65

Anda mungkin juga menyukai