METODOLOGI
A. Definisi Kesulitan jalan nafas
Definisi standar untuk kesulitan jalan nafas tidak dapat ditemukan pada
literatur yang tersedia. Untuk Pedoman praktek ini, kesulitan jalan napas
didefinisikan sebagai situasi klinis di mana seorang anastesiologi yang dilatih
secara konvensional mngalami kesulitan dengan ventilasi face mask pada jalan
nafas bagian atas, kesulitan dengan intubasi trakeal, atau keduanya. Kesulitan
jalan nafas mewakili interaksi yang kompleks antara faktor pasien, pengaturan
klinis, dan keterampilan dokter. Analisis interaksi ini membutuhkan pengumpulan
1
dan pengomunikasian data yang tepat. Kelompok kerja mendorong para dokter
dan peneliti untuk menggunakan deskripsi yang eksplisit pada kesulitan jalan
napas. Deskripsi yang dapat dikategorikan atau dinyatakan sebagai nilai numerik
adalah yang sangat diinginkan, karena jenis informasi ini memudahkan untuk
analisis agregat dan Perbandingan lintas-studi. Deskripsi yang disarankan
meliputi, namun tidak terbatas pada:
1. Kesulitan menggunakan face mask atau Supraglottic Airway (SGA)
(misalnya, Laryngeal Mask Airway (LMA), Intubating LMA (ILMA),
Laringeal tube): Hal ini tidak memungkinkan pada seorang anestesi dalam
memberikan ventilasi yang adekuat karena satu atau lebih masalah berikut:
masker atau segel SGA yang tidak adekuat, kebocoran gas yang
berlebihan, atau resistensi yang berlebihan terhadap masuknya atau
keluarnya gas. Tanda ventilasi yang tidak adekuat antara lain termasuk
(namun tidak terbatas pada) Pergerakan dada yang tidak ada atau tidak
adekuat, suara napas yang tidak ada atau tidak adekuat, tanda-tanda
auskultasi dari obstruksi berat, sianosis, masuknya udara kedalam lambung
atau dilatasi, saturasi oksigen (SpO2) yang tidak adekuat, Tidak adanya
atau tidak adekuatnya penghembusan karbon dioksida, tidak adanya atau
tidak adekuatnya pengukuran spirometri dari aliran gas yang dihembuskan,
dan perubahan hemodinamik yang berhubungan dengan hipoksemia atau
hiperkarbia (misalnya, hipertensi, takikardia, aritmia).
2. Kesulitan penempatan: Penempatan SGA membutuhkan beberapa usaha,
dengan ada atau tidak adanya kelainan pada trakea.
3. Kesulitan Laringoskopi: Tidak mungkin untuk memvisualisasikan setiap
bagian dari pita suara setelah beberapa usaha pada laringoskopi
konvensional.
4. Kesulitan intubasi trakea: Intubasi trakea membutuhkan beberapa usaha,
dengan adanya atau tidak adanya kelainan trakea.
5. Kegagalan intubasi: Penempatan endotrakeal tube gagal setelah beberapa
usaha.
2
B. Tujuan pedoman untuk manajemen kesulitan jalan napas
Tujuan Pedoman ini adalah untuk memfasilitasi manajemen kesulitan jalan
napas untuk mengurangi kemungkinan hasil yang merugikan. Hasil simpang
yang utama berhubungan dengan kesulitan jalan nafas termasuk (namun tidak
terbatas pada) kematian, cedera otak, kegagalan cardiopulmoner, pembedahan
saluran napas yang tidak perlu, trauma saluran napas, dan kerusakan pada gigi.
C. Fokus
Fokus utama pada Pedoman adalah manajemen pada kesulitan jalan nafas
yang dihadapi selama perian anastesi dan intubasi trakea. Beberapa aspek dari
Pedoman ini mungkin relevan pada konteks klinis lainnya. Pedoman ini tidak
merepresentasikan pertimbangan lengkap untuk sebuah manifestasi kesulitan
jalan nafas atau semua pendekatan manajemen yang mungkin.
D. Aplikasi
Pedoman ini dimaksudkan untuk digunakan oleh anestesiologist atau
individu yang memberikan perawatan anestesi dan manajemen saluran napas
di bawah pengawasan langsung dari ahli anestesi. Pedoman ini diaplikasikan
pada semua jenis perawatan anestesi dan manajemen jalan napas yang
diberikan pada lokasi yang teranastesi dan ditujukan untuk semua pasien dari
segala usia.
3
dipublikasikan dari peer-review jurnal relevan dengan manajemen kesulitan
jalan nafas direview dan dievaluasi. Ketiga, konsultan ahli diminta untuk: (1)
berpartisipasi pada survei pendapat atas efektivitas dari berbagai rekomendasi
manajemen jalan nafas (2) meninjau dan mengomentari konsep pedoman.
Keempat, pendapat tentang rekomendasi pedoman didapatkan sampel dari
anggota aktif dari ASA. Kelima, dasar informasi yang diperoleh selama forum
terbuka untuk Pedoman asli dan untuk pedoman yang diperbaharui
sebelumnya, telah dievaluasi. Keenam, para konsultan telah disurvei untuk
menilai pendapat mereka tentang kelayakan pelaksanaan pedoman yang telah
diperbaharui. Ketujuh, semua informasi yang tersedia digunakan untuk
membangun konsensus untuk menyelesaikan pedoman yang diperbaharui.
Pada tahun 2011, ASA Komite Standar dan Praktek Parameter meminta
agar publikasi pedoman yang telah diperbarui pada tahun 2002 dievaluasi
ulang. Pembaruan ini terdiri dari evaluasi literatur yang dipublikasikan sejak
selesainya pembaharuan pertama , dan evaluasi hasil survei baru dari pakar
konsultan dan anggota ASA. Ringkasan rekomendasi dapat ditemukan di
Lampiran 1.
BUKTI ILMIAH
Bukti ilmiah yang digunakan dalam pengembangan Pedoman ini didasarkan
pada temuan dari literatur yang diterbitkan di peerreviewed jurnal. Kutipan
literatur diperoleh dari PubMed dan database kesehatan lainnya, pencarian
internet langsung, anggota kelompok kerja, penghubung dengan organisasi lain,
dan dari sisi pencarian referensi yang berada pada ulasan artikel.
Temuan dari kumpulan literatur dilaporkan dalam teks pedoman berdasarkan
kategori bukti, tingkat, dan arah. Kategori Bukti merujuk secara khusus pada
kekuatan dan kualitas desain riset suatu studi. Bukti kategori A merupakan hasil
4
yang diperoleh dari Randomized controlled trial (RCT), dan bukti kategori B
merupakan hasil observasional yang diperoleh dari diseain studi yang tidak
teracak atau RCT tanpa kontrol yang bersangkutan. Ketika tersedia, bukti kategori
A diberikan mendahului bukti kategori B dalam pelaporan hasil. Kategori bukti-
bukti ini dibagi lagi menjadi tingkat-tingkat bukti. Tingkat-tingkat bukti ini
merujuk secara spesifik pada kekuatan dan kualitas yang disimpulkan dalam
temuan studi (yaitu, temuan statistik, jenis data, dan jumlah studi yang
menemukan temuan tersebut) dalam dua kategori bukti. Untuk dokumen ini,
hanya tingkat kejadian tertinggi yang disertakan dalam ringkasan laporan untuk
setiap intervensi. Akhirnya, sebutan direksional dari manfaat, bahaya, atau
ketidakjelasan untuk setiap hasil diindikasikan ringkasan laporan.
KATEGORI A
RCT melaporkan perbandingan diantara intervensi klinis untuk hasil yang
spesifik. Hasil yang signifikan secara statistik (P<0,01) ditetapkan sebagai
meuntungkan (B) atau merugikan (H) untuk pasien, temuan statistik tidak
bermakna ditetapkan sebagai tidak jelas (E).
Level 1: Literatur yang berisi jumlah RCT yang memadai untuk
melakukan meta-analisis, dan temuan dari meta-analisis kumpulan studi
tersebut dilaporkan sebagai sebuah eviden (fakta)
Level 2: Literatur berisi berbagai macam RCT, tetapi jumlah RCT tersebut
tidak cukup untuk melakukan meta-analisis dengan mengikuti petunjuk
yang ada. Temuan dari RCT tersebut dilaporkan sebagai eviden (fakta).
Level 3: Literatur berisi RCT tunggal, dan Temuan dari RCT tersebut
dilaporkan sebagai eviden (fakta).
KATEGORI B
Penelitian observasional atau RCT tanpa ada kelompok perbandingan yang
berkaitan dapat memberikan kesimpulan yang menguntungkan dan merugikan
dari hubungan antara intervensi klinis dan hasil. Temuan Tersirat dilakukan
dengan desain terarah dari beberapa kaegori berupa : Keuntungan (Benefit/B),
5
kerugian (Harmful/H), atau samar-samar (Equivocal/E). Untuk studi berupa
laporan temuan statistik, ambang batas untuk signifikansi adalah P <0,01.
Level 1: Literatur berisi observasional komparatif (misalnya: desain penelitian
kohort dan case control) antara intervensi klinis untuk hasil tertentu.
Level 2: Literatur berisi Penelitian observasional dengan statistik asosiatif
(misalnya: risiko relatif, korelasi,sensitivitas / spesifisitas).
Level 3: sastra mengandung observasional non komparaif studi dengan statistik
deskriptif (misalnya: frekuensi, persentase).
Level 4: literatur ini berisi laporan kasus.
6
Kategori A : Pendapat Ahli
Penemuan survey dari kelompok kerja menunjuk konsultan ahli telah dilaporkan
dalam bentuk ringkasan dalam teks, dengan daftar lengkap tanggapan suvei yang
dilaporkan dalam lampiran 2.
7
PEDOMAN
I. Evaluasi Airway
Riwayat. Meskipun ada literatur yang cukup untuk mengevaluasi
kemanjuran secara langsung diarahkan melakukan riwayat medis atau mereview
catatan riwayat medis sebelumnya untuk mengidentifikasi adanya kesulitan
airway, kelompok kerja telah menilai secara jelas hasil dari aktifitas ini.
Berdasarkan pengakuan asosiasi diantara kesulitan airway dan berbagai macam
karakter pasien (misanya usia, obesitas, apnea obstruktif saat tidur, riwayat
snoring) dan kesulitan laringoskopi atau intubasi (Bukti kategori B2-H.(1-6)
Penelitian observasional melaporkan kesulitan intubasi atau ekstubasi terjadi pada
pasien dengan massa mediastinal (bukti kategori B3-H).7-8
Kasus laporan kesulitan laringoskopi atau intubasi terjadi diantara pasien
dengan berbagai penyakit yang didapat atau congenital di negaranya (misalnya,
ankilosis, osteoarthritis degeneratif, subglottic stenosis, tiroid lingual atau
hipertrofi tonsil, Treacher Collins-, Pierre Robin atau sindrom Down) juga
dilaporkan (bukti kategori B4-H).9-18
Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa riwayat jalan nafas
harus diketahui, bagaimanapun kelayakannya, sebelum memulai perawatan
anastesi dan manajemen saluran napas pada semua pasien.
Pemeriksaan Fisik
Penelitian observasional pada pasien secara acak dilaporkan terdapat
hubungan antara ciri-ciri anatomi tertentu (misalnya, fitur fisik kepala dan leher)
dan kemungkinan pada jalan napas yang sulit (Bukti kategori B2-H),19-21
Kehadiran patologi pada saluran napas bagian atas atau kelainan anatomi dapat
diidentifikasi dengan melakukan pra-prosedur pemeriksaan fisik. Ada bukti cukup
untuk mempublikasikan evaluasi nilai prediktif pada beberapa jenis pemeriksaan
fisik jalan nafas dibandingkan satu jenis yang memprediksi adanya kesulitan jalan
nafas. Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa pemeriksaan fisik
jalan nafas harus dilakukan, bagaimanapun kelayakannya, sebelum memulai
perawatan anestesi dan manajemen saluran napas pada semua pasien. Para
8
konsultan dan anggota ASA sangat setuju dilakukannya beberapa cara, yang
seharusnya dinilai selama pemeriksaan fisik.
Evaluasi tambahan
Riwayat saluran napas atau pemeriksaan fisik dapat memberikan indikasi
untuk diagnostik ambahan yang dilakukan pada beberapa pasien. Penelitian
observasional dan kasus laporan menunjukkan bahwa tes diagnostik tertentu
(misalnya, radiografi, computed tomography scan, fluoroskopi) dapat
mengidentifikasi berbagai jenis yang diperoleh atau bawaan pada pasien dengan
kesulitan jalan napas (bukti kategori B3-B/B4-B).22-33 Literatur tidak memberikan
dasar untuk menggunakan diagnostik tes spesifik sebagai alat skrining rutin dalam
evaluasi airway. Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa evaluasi
tambahan dapat diindikasikan pada beberapa pasien dibagi apakah kemungkinan
atau sifat untuk mengantisipasi terjadinya kesulitan jalan nafas.
Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik jalan nafas harus dilakukan, apabila layak,
sebelum inisiasi perawatan anestesi dan manajemen jalan nafas pada semua
pasien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi karakteristik fisik yang
mungkin menunjukkan adanya jalan napas yang sulit. Beberapa fitur saluran
napas harus dinilai (tabel 1).
9
Temuan dari riwayat airway dan pemeriksaan fisik mungkin berguna dalam
membimbing pemilihan tes diagnostik yang spesifik dan konsultasi.
10
Subjek dalam penelitian di atas tidak secara eksklusif terdiri dari pasien dengan
kesulitan jalan napas.
Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa setidaknya satu unit
penyimpanan portabel yang berisi peralatan khusus untuk manajemen kesulitan
jalan nafas harus siap tersedia. Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju
bahwa jika jalan nafas sulit diketahui atau diduga, para anestesi harus: (1)
menginformasikan pasien (atau orang yang bertanggung jawab) dari risiko khusus
dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan jalan nafas yang sulit, (2)
memastikan bahwa ada setidaknya satu orang tambahan yang segera tersedia
untuk melayani sebagai asisten dalam manajemen jalan nafas yang sulit, (3)
mengelola preoxygenation sungkup muka sebelum memulai pengelolaan jalan
napas yang sulit, dan (4) secara aktif mengejar kesempatan untuk memberikan
oksigen tambahan untuk proses manajemen jalan nafas sulit.
11
III. STRATEGI INTUBASI DARI KESULITAN BERNAFAS
Strategi yang direncanakan sebelum induksi mencakup pertimbangan
berbagai tindakan yang ditujukan untuk memfasilitasi intubasi jika terjadi
kesulitan saluran nafas. Tindakan non invasive yang ditujukan untuk tatalaksana
saluran nafas yang sulit mencakup: (1) intubasi terjaga, (2) laringoskopi yang
dibantu video, (3) penggunaan stilet intubasi atau tube-changer, (4) SGA untuk
ventilasi (misalnya, LMA, laryngeal tube), (5) SGA untuk intubasi (misalnya,
ILMA), (6) Bilah laryngoskopi rigid dengan berbagai bentuk dan ukuran, (7)
intubasi dengan bantuan fiber optik, dan (8) stylets dengan bantuan cahaya.
Intubasi terjaga.
Penelitian mengindikasikan bahwa intubasi fiber optic terjaga berhasil pada
88 hingga 100 persen pada pasien dengan kesulitan saluran nafas. Laporan kasus
dimana digunakan metode lain untuk intubasi terjaga (contohnya intubasi trakeal
blind, intubasi melalui peralatan supraglottis, intubasi dengan bantuan optik) juga
dilaporkal berhasil pada pasien dengan kesulitan airway.
12
Stilet Intubasi atau tube-Changers.
Penelitian observasional melaporkan bahwa keberhasilan intubasi mencapai 78-
100% pada pasien dengan kesulitan airway jika stilet digunakan. Komplikasi yang
dilaporkan jika stlet digunakan mencakup perdarahan mukosa ringan dan nyeri
tenggorokan. Komplikasi yang dilakukan setelah penggunaan tube changers atau
airway exchange catheter mencakup laserasi paru paru dan perforasi lambung.
ILMA
RCT yang membandingkan ILMA dengan intubasi laryngoskop standar hanya
tersedia pada kasus kasus tanpa kesulitan airway. Penelitian observasional
melaporkan bahwa intubasi berhasil pada 71,4-100% pasien dengan kesulitan
airway jika ILMA digunakan. Salah satu penelitian observasional menunjukkan
bahwa jika ILMA digunakan pada kesulitan airway simulasi dengan
menggunakan collar semirigid, 3 dari 10 pasien berhasil di intubasi. RCT yang
membandingkan ILMA fiber optik dengan intubasi fiberopti standar melaporkan
tingkat keberhasilan intubasi pada usaha pertama yang lebih tinggi. Komplikasi
ILMA mencakup nyeri tenggorokan, suara parau, dan udem faring.
13
BILAH LARINGOSKOP RIGID DENGAN BERBAGAI BENTUK DAN
UKURAN
Penelitian observasional menunjukkan bahwa penggunaan bilah laringoskop rigid
dengan berbagai ukuran dan bentuk dapat meningkatkan kualitas visualisasi
glottis serta memfasilitasi keberhasilan intubasi untuk pasien dengan kesulitan
airway.
14
pasien tidak dapat diventilasi atau diintubasi. Para konsultan dan anggota ASA
sangat setuju bahwa strategi intubasi saluran napas yang sulit harus mencakup
identifikasi pendekatan alternatif yang dapat digunakan jika Pendekatan primer
gagal atau tidak dapat dilakukan. Para konsultan dan Anggota ASA sangat setuju
bahwa strategi intubasi pada airway yang sulit seharusnya mencakup konfirmasi
intubasi trakea (misalnya, kapnografi).
15
o Identifikasi pendekatan alternatif yang dapat digunakan jika pendekatan
utama gagal atau tidak layak (Tabel 3).
Pasien tidak kooperatif atau pasien pediatrik dapat membatasi pilihan
untuk pengelolaan airway yang sulit, khususnya pilihan yang
melibatkan intubasi terjaga. Manajemen airway pada pasien tidak
kooperatif atau Pasien pediatrik mungkin memerlukan pendekatan
(misalnya, upaya intubasi setelah induksi anestesi umum) yang
mungkin tidak dianggap sebagai pendekatan primer pada pasien
kooperatif.
Pembedahan yang menggunakan infiltrasi anestesi lokal atau blokade
saraf regional sebagai alternatif untuk manajemen langsung pada
airway yang sulit, tetapi pendekatan ini tidak mewakili solusi yang
pasti untuk adanya jalan nafas yang sulit, juga tidak menyingkirkan
kebutuhan untuk preformulated strategi untuk intubasi jalan napas
yang sulit.
Konfirmasi pada intubasi trakea dengan menggunakan kapnografi atau
monitoring end-tidal karbon dioksida.
16
2. Secara aktif mencari peluang untuk memberikan oksigen tambahan selama
proses saluran napas sulit manajemen.
3. Pertimbangkan manfaat relatif dan kelayakan pilihan manajemen dasar:
Intubasi terjaga dibanding intubasi setelah induksi pada anastesi umum,
Teknik noninvasif dibanding teknik invasif (misalnya, bedah atau airwa
percutaneus) untuk awal pendekatan untuk intubasi,
Laringoskopi yang dibantu video sebagai pendekatan awal untuk intubasi,
dan
Pengawetan dibanding ablasi pada ventilasi spontan.
4. Pengembangan utama dan strategi alternatif:
17
* Konfirmasi ventilasi, intubasi trakea, atau penempatan SGA dengan
dihembuskan CO2
a. Pilihan lain termasuk (namun tidak terbatas pada): Operasi memanfaatkan
masker wajah atau supraglottic airway (SGA) anestesi (misalnya, LMA, ILMA,
tabung laring), infiltrasi anestesi lokal atau blokade daerah saraf. Mengejar
pilihan ini biasanya menyiratkan bahwa ventilasi masker tidak akan
bermasalah. Oleh karena itu, pilihan ini mungkin nilai terbatas jika ini
langkah dalam algoritma telah dicapai melalui Darurat Pathway.
b.Akses jalan napas invasif meliputi bedah atau percutaneous saluran napas, jet
ventilasi, dan intubasi retrograde.
c. Alternatif pendekatan intubasi sulit termasuk (namun tidak terbatas pada):
video-assisted laringoskopi, alternatif laringoskop pisau, SGA (misalnya, LMA
atau ILMA) sebagai suatu intubasi saluran (dengan atau tanpa bimbingan serat
optik), serat optik intubasi stylet, intubasi atau tabung changer, tongkat cahaya,
dan blind oral atau nasal intubasi.
d.Mempertimbangkan kembali persiapan pasien untuk intubasi terjaga atau
membatalkan operasi.
e. Darurat non-invasif ventilasi saluran udara terdiri dari SGA.
18
REKOMENDASI EKSTUBASI
Ahli anestesi harus memiliki strategi ekstubasi yang telah diformulasikan
sebelumnya untuk penanganan kesulitan airway. Strategi ini tergantung pada
prosedur pembedahan, kondisi pasien, serta keahlian dan pilihan ahli anestesi.
Dianjurkan bahwa strategi ekstubasi kesulitan airway harus mencakup
pertimbangan:
Keuntungan relative ekstubasi terjaga vs ekstubasi sebelum kesadaran pulih.
faktor klinis umum yang dapat menyebabkan gangguan ventilasi setelah
dilakukan ekstubasi,
rencana tata laksana airway yang dapat dilaksanakan jika pasien tidak dapat
mempertahankan ventilasi yang memadai setelah dilakukan ekstubasi
pertimbangan penggunaan jangka pendek alat yang dapat digunakan untuk
membantu reintubasi. Alat dapat berupa stilet (bougie intubasi) atau konduit.
Stilet atau bougie intubasi biasanya dimasukkan ke dalam lumen tracheal tube
dan ke dalam trakea sebelum tracheal tube dilepas. Stilet atau bougie dapat
dilengkapi dengan lubang di tengahnya yang dapat dimanfaatkan untuk
oksigenasi dan ventilasi sesaat. Konduit biasanya dimasukkan melalui mulut
sehingga dapat digunakan untuk intubasi dan ventilasi supraglotis. Contoh
konduit adalah ILMA dan LMA.
FOLLOW UP
Follow up harus mencakup: (1) pencatatan kesulitan airway dan
penatalaksanaannya, serta (2) informasi dan nasihat diberikan kepada pasien (atau
orang yang bertanggung jawab) mengenai komplikasi yang terjadi atau mungkin
terjadi sehubungan dengan kesulitan airway. Literatur yang ada saat ini belum
memadai untuk dapat mengevaluasi keuntungan follow-up pada pasien-pasien
dengan kesulitan airway.
Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa ahli anestesi harus: (1)
mendokumentasikan kesulitan airway beserta dengan sifat-sifatnya pada rekam
medis, (2) menginformasikan pasien atau orang yang bertanggung jawab
mengenai kesulitan airway yang ditemui, dan (3) mengevaluasi melakukan
19
follow-up terhadap kemungkinan komplikasi tata laksana kesulitan airway.
Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa pasien harus diberitahu
mengenai tanda dan gejala klinis potensial sehubungan dengan komplikasi tata
laksana kesulitan airway yang mengancam nyawa
REKOMENDASI FOLLOW UP
Ahli anestesi harus mendokumentasikan kesulitan airway dan sifat-sifatnya
pada rekam medis. Tujuannya adalah sebagai panduan bagi penatalaksanaan di
masa yang akan dating. Aspek dokumentasi yang dapat berguna mencakup:
Penjelasan mengenai kesulitan airway yang dijumpai. Penjelasan ini harus
membedakan antara kesulitan yang ditemui saat menggunakan facemask
dan ventilasi SGA serta kesulitan yang ditemukan saat intubasi trakea.
Penjelasan berbagai teknik tata laksana airway yang digunakan. Penjelasan
ini harus dapat menunjukkan sejauh mana teknik yang dilakukan
memberikan keuntungan atau kerugian dalam penatalaksanaan airway.
Ahli anestesi harus memberikan infomasi kepada pasien mengenai kesulitan
airway yang dijumpai. Tujuan komunikasi ini adalah memberikan peran kepada
pasien dalam pengarahan tata laksana di waktu yang akan datang. Informasi yang
diberikan mencakup (tetapi tidak terbatas pada) adanya kesulitan airway, alasan
mendasar dari kesulitan tersebut, cara intubasi dilakukan serta pengaruhnya pada
perawatan di masa yang akan datang. Dapat pula dipertimbangkan untuk
menggunakan suatu system pemberitahuan seperti laporan tertulis atau surat yang
ditujukan bagi pasien, laporan tertulis pada grafik obat, komunikasi dengan ahli
bedah pasien, gelang pemberitahuan atau alat identifikasi sejenis, ataupun bendera
grafik.
Ahli anestesi haru memeriksa dan melakukan follow up pada pasien
sehubungan dengan komplikasi tata laksana kesulitan airway yang mungkin
terjadi, mencakup: edema, perdarahan, perforasi trakea atau esophagus,
pneumotoraks dan aspirasi. Pasien harus diperingati mengenai tanda dan gejala
klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang mengancam nyawa dari tata
laksana kesulitan airway.Tanda dan gejala ini mencakup nyeri tenggorokan, nyeri
20
atau pembengkakan pada wajah dan leher, nyeri dada, emfisema subkutan, dan
kesulitan menelan.
21
o Pastikan baha terdapat setidaknya satu orang yang siap membantu sebagai
asisten dalam penatalaksanaan kesulitan airway.
o Lakukan preoksigenasi dengan facemask sebelum memulai
penatalaksanaan kesulitan airway. Pasien-pasien yang tidak koperatif dan
pasien anak akan sulit diberikan preoksigenasi.
o Carilah kesempatan secara aktif untuk memberikan suplementasi oksigen
selama proses penatalaksanaan kesulitan airway.
Kesempatan-kesempatan pemberian oksigen suplementasi selama
proses penatalaksanaan kesulitan airway mencakup (tetapi tidak
terbatas pada) pemberian oksigen melalui kanul nasal, facemask dan
LMA; dan pemberian oksigen melalui facemask atau nasal kanul
setelah ekstubasi trakea.
22
bantuan video sebagai pendekatan awal intubasi, dan (4) mempertahankan
atau menghilangakan ventilasi spontan
o Identifikasi pendekatan primer atau pilihan terhadap: (1) intubasi terjaga,
(2) pasien dengan ventilasi adekuat tetapi mengalami kesulitan intubasi,
(3) situasi mengancam nyawa di mana pasien tidak dapat diventilasi
maupun diintubasi.
Identifikasi pendekatan alternatif yang dapat dilakukan jika pendekatan primer
gagal atau tidak dapat dilakukan.
o Pasien-pasien yang tidak kooperatif dan pasien anak memiliki pilihan tata
laksana airway yang terbatas, khususnya pilihan-pilihan yang melibatkan
intubasi terjaga.
o Tata laksana airway pada Pasien-pasien yang tidak kooperatif dan pasien
anak membutuhkan pendekatan (contohnya, usaha intubasi setelah
dilakukan induksi anestesi general) yang mungkin bukan merupakan
pilihan pertama pada pasien-pasien yang kooperatif.
o Pelaksanaan operasi yang menggunakan anestesi infiltrasi local atau blok
nervus dapat dijadikan alternatif untuk tata laksana langsung kesulitan
airway, tetapi pendekatan ini tidak memberikan solusi defenitif terhadap
adanya kesulitan airway.
Konfirmasi intubasi trakea dengan kapnografi atau pemantauan CO2 tidal
akhir.
23
Faktor klinis umum yang dapat memberikan dampak sampingan
terhadap ventilasi setelah pasien diekstubasi.
Penggunaan jangka pendek alat yang dapat berguna sebagai pemandu
reintubasi. Alat dapat berupa stilet (bougie intubasi) atau konduit.
Stilet atau busi intubasi biasanya dimasukkan ke dalam lumen tracheal
tube dan ke dalam trakea sebelum tracheal tube dilepas. Stilet atau busi
intubasi dapat dilengkapi oleh rongga kosong di tengahnya yang dapat
digunakan untuk ventilasi dan oksigenasi sementara. Konduit biasanya
dimasukkan melalui mulut dan dapat digunakan untuk intubasi dan
ventilasi supraglotis. Contoh konduit adalah LMA dan ILMA.
5. Follow up
Ahli anestesi harus mendokumentasikan kesulitan airway dan sifat-sifatnya
pada rekam medis. Tujuannya adalah sebagai panduan bagi penatalaksanaan
di masa yang akan dating. Aspek dokumentasi yang dapat berguna mencakup:
o Penjelasan mengenai kesulitan airway yang dijumpai. Penjelasan ini
harus membedakan antara kesulitan yang ditemui saat menggunakan
facemask dan ventilasi SGA serta kesulitan yang ditemukan saat intubasi
trakea.
o Penjelasan berbagai teknik tata laksana airway yang digunakan.
Penjelasan ini harus dapat menunjukkan sejauh mana teknik yang
dilakukan memberikan keuntungan atau kerugian dalam penatalaksanaan
airway.
Ahli anestesi harus memberikan infomasi kepada pasien mengenai kesulitan
airway yang dijumpai.
o Tujuan komunikasi ini adalah memberikan peran kepada pasien dalam
pengarahan tata laksana di waktu yang akan datang.
o Informasi yang diberikan mencakup (tetapi tidak terbatas pada) adanya
kesulitan airway, alasan mendasar dari kesulitan tersebut, cara intubasi
dilakukan serta pengaruhnya pada perawatan di masa yang akan datang.
24
o Dapat pula dipertimbangkan untuk menggunakan suatu system
pemberitahuan seperti laporan tertulis atau surat yang ditujukan bagi
pasien, laporan tertulis pada grafik obat, komunikasi dengan ahli bedah
pasien, gelang pemberitahuan atau alat identifikasi sejenis, ataupun
bendera grafik.
Ahli anestesi harus memeriksa dan melakukan follow up pada pasien
sehubungan dengan komplikasi tata laksana kesulitan airway yang mungkin
terjadi
o Kesulitan airway yang mungkin terjadi mencakup: edema, perdarahan,
perforasi trakea atau esophagus, pneumotoraks dan aspirasi.
o Pasien harus diperingati mengenai tanda dan gejala klinis yang
berhubungan dengan komplikasi yang mengancam nyawa dari tata
laksana kesulitan airway.
o Tanda dan gejala ini mencakup nyeri tenggorokan, nyeri atau
pembengkakan pada wajah dan leher, nyeri dada, emfisema subkutan, dan
kesulitan menelan.
Pemeriksaan airway
o Anamnesis pasien terpimpin
o Pemeriksaan fisis airway
25
o Uji diagnostik
26
Awake Intubasi
Oksigen tambahan:
o Pengiriman oksigen tambahan sebelum induksi dengan facemask atau
insuflasi
o Pengiriman oksigen tambahan setelah ekstubasi dengan facemask, blow-
by, atau kanul nasal dari trakea
Follow-up perawatan:
Perawatan Postextubasi dan konseling
Dokumentasi dari kesulitan jalan napas sulit dan manajemen
Registrasi dengan layanan pemberitahuan darurat
Untuk review literature, studi-studi klinis relevan didapatkan melalui
penarian literature secara manual maupun elektronik. Pencarian melalui media
elektronik mencakup studi selama periode 11 tahun dari tahun 2002-2012.
Sedangkan pencarian secara manual mencaku studi selama 16 tahun dari tahun
1997-2012. Lebih dari 400 kutipan mengenai topic evidence linkages juga
didapat. Artikel-artikel ini dikombinasikan dengan artikel-artikel sebelum tahun
2002 yang digunakan di Guidelines sebelumnya, menghasilkan total 693 artikel
yang mencakup data mengenai penanganan airway. Dari data-data ini, 253 data
spesifik membahas penanganan airway sulit. SIsa 440 artikel membahas mengenai
penanganan airway umum maupun campuran antara penanganan airway yang sulit
dan yang umum, dan penemuan-penemuan dari artikel-artikel semacam ini tidak
dianggap sebagai bukti langsung. Bibliografi lengkap dari artikel-artikel yang
digunakan untuk mengembangkan Guidelines yang terbaru ini, dapat ditemukan
di Suplemental Digital Content 2.
27
cukup, desain eksperimen yang jelas dan informasi statistic dapat digunakan
untuk membentuk meta-analysis yang formal . Intervensi-intervensi ini adalah:
(1). Preksigenasi: oksigen selama 3-5 menit vs 4 napas dalam dan (2) Oksigen
supplemental post-ekstubasi, melalui mask, atau kanul hidung vs udara ruangan.
Estimasi variasi besar efek atau kombinasi tes probabilitas dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang konsisten, dan rasio Mantel-Haenszel digunakan untuk
mendapatkan hasil yang dikotom. Tes probailitas yang digunakan ada dua,
sebagai berikut: (1). Fisher test, menghoufferasilkan nilai chi-square berdasarkan
transformasi logaritmik dari nilai P yang dilaporkan dari studi independen dan (2)
Tes Stouffer, menghasilkan penilaian studi representatif dengan membandingkan
nilai normal deviasi dengan nilai sampel. Prsedur ratio berdasarkan metode
Mantel-Haenszel untuk mengkombinasikan hasil studi menggunakan tabel ukuran
2x2 dengan hasil frekuensi informasi. Level signifikansi yang dapat diterima
adalah P<0.01 (one-tailed). Tes untuk menentukan heteregonitas dari studi
independen dilakukan untuk mamstikan konsistensi dari hasil studi. Ratio
DerSimonian-Laird mengenai random effects didapatkan apabila heterogenitas
yang signifikan telah didapatkan (P<0.01). Untuk mengontrol bias akibat
publikasi, ditentuka nilai ‘fail-safe’. Tidak dilakukan pencarian literature dari
literature yang tidak dipublikasikan serta tidak ada tes reliabilitas untuk
menentukan hasil penelitian yang dilakukan. Untuk dapat diterima sebagai hasil
yang signifikan, ratio Mantel-Haenszel harus sesuai dengan hasil tes dimana
kedua macam data dinilai. Apabila tidak ada ratio Mantel-Haenszel, maka hasil
dari Fisher dan Stouffer harus sejalan dengan masing-masing untuk dapat
dianggap signifikan.
28
Perjanjian tingkat menggunakan kappa (κ) statistik selama dua-rater pasangan
kesepakatan yang sebagai berikut: (1) jenis desain penelitian, κ = 0,64-0,78; (2)
jenis analisis, κ = 0,78-0,85; (3) bukti keterkaitan tugas, κ = 0,89-0,95, dan (4)
inklusi literatur untuk database, κ = 0,62-1,00. Tiga-rater kesempatan-dikoreksi
nilai kesepakatan adalah: (1) studi desain, Sav = 0,73, Var (Sav) = 0,008, (2) jenis
analisis, Sav = 0,80, Var (Sav) = 0,008, (3) linkage tugas, Sav = 0,93, Var (Sav) =
0,003; (4) literatur Database inklusi, Sav = 0,80, Var (Sav) = 0,032. Nilai tersebut
mewakili kesepakatan dari tingkat sedang sampai tinggi. Untuk pedoman terbaru,
persamaan dua peneliti yang bersangkutan pada pedoman aslinya melakukan
tinjauan literatur.
29
mempengaruhi jumlah waktu yang diperlukan dalam penanganan kasus yang
tipikal. Seratus persen responden berpendapat pengadaan alat, bahan dan pelatihan
baru untuk Guideline yang terbaru tidak diperlukan. Seratus persen responden
juga berpendapat bahwa Guideline yang terbaru tidak memerlukan perubhan
dalam praktiknya karena kan mempengaruhi biaya pengobatan.
30
Adapun urutan komponen yang tercantum di tabel dibuat berdasarkan ‘garis penglihatan’
saat laryngoskopi
31
Tabel ini berisi teknik yang sering digunakan. Urutannya berdasarkan alphabet dan bukan
berdasarkan preferensi atau tingkat keberhasilannya. Kombinasi dari teknik-teknik diatas
dapat digunakan tergantung dari keperluan, keterampilan maupun preferensi dari praktisi.
32
CI= 99%: Coincidence interval
33
emergency 66 13.6 33.3 16.7 30.3 6.1
Bronkoskop rigid 66 69.7* 12.1 3.0 12.1 3.0
Bronkoskop fiberoptic 66 92.4* 7.6 0.0 0.0 0.0
Supraglottic airway
5. Sebuah videolaryngoskop harus
dimasukkan ke dalam Portable
66 71.2* 18.2 7.6 3.0 0.0
Storage Unit untuk prosedur
penanganan jalan napas
6. Transtracheal jet ventilation
merupakan: (pilih salah satu)
Ventilasi airway invasive 95% 66
Ventilasi airway non-invasif
4.6%
7. Riwayat airway harus diketahui
sebelum dilakukan anestesi 66 90.9* 6.1 3.0 0.0 0.0
ataupun penanganan airway
8. Pemeriksaan fisik airway
harus dilakukan sebelum
66 92.4* 7.6 0.0 0.0 0.0
dilakukan anestesi ataupun
penanganan airway
9. Keadaan-keadaan airway
66 80.3* 10.6 6.1 3.0 0.0
praoperasi harus dinilai
10. Evaluasi tambahan perlu
dilakukan pada beberapa
pasien untuk mendeteksi 66 51.5* 39.4 6.1 1.5 1.5
adanya kemungkinan kesulitan
intubasi
11. Setidaknya satu portable
storage unit yang mengandung
alat khusus untuk penanganan 66 92.4* 6.1 1.5 0.0 0.0
airway yang sulit harus selalu
siap sedia
12. Apabila didapatkan atau
dicurigani adanya keadaan
66 78.8* 19.7 1.5 0.0 0.0
dimana airway sulit diakses,
anestesiologis harus segera
34
menginformasikan pasien atau
orang terdekatnya mengenai
resiko dan prosedur yang akan
dilakukan
13. Apabila didapatkan atau
dicurigani adanya keadaan
dimana airway sulit diakses,
anestesiologis harus
memastikan adanya paling 66 65.2* 25.7 9.1 0.0 0.0
sedikt satu orang yang dapat
menjadi asisten dalam
prosedur penaganan jalan
napas yang sulit
14. Apabila didapatkan atau
dicurigani adanya keadaan
dimana airway sulit diakses,
anestesiologis harus 66 71.2* 15.1 6.1 7.6 0.0
melakukan facemask
preoksigenasi sebelum
melakukan penanganan
15. Apabila didapatkan atau
dicurigani adanya keadaan
dimana airway sulit diakses,
anestesiologis, harus dengan
66 86.4* 13.6 0.0 0.0 0.0
aktif mencari kesempatan
pemberian oksigen
sumplemental selama proses
penanganan
16. Anestesiologis harus sudah
merencanakan strategi intubasi
untuk mengantisipasi
66 95.5* 3.0 1.5 0.0 0.0
didapatkan atau dicurigani
adanya keadaan dimana
airway sulit diakses
17. Dalam penyusunan strategi
intubasi airway sulit, harus
mencakup pertimbangan egek
35
dari 4 pilihan penanganan:
Intubasi sadar vs Intubasi 66 89.4* 7.6 1.5 1.5 0.0
dengan anestesi umum
Teknik intubasi noninvasive 66 71.2* 25.8 3.0 0.0 0.0
vs Teknik invasive
Preservasi ventilasi spontan 66 48.5 22.7* 16.7 10.6 1.5
vs ablasi ventilasi spontan
Laringoskop dibantu video 66 80.3* 12.1 6.1 0.0 1.5
36
ekstubasi tidak sadar.
Faktor klinis general yang
menyebabkan dampak yang
buruk saat dilakukan 66 89.4* 15.2 0.0 0.0 0.0
ventilasi setelah pasien
diekstubasi.
Rencana manajemen airway
yang diimplementasikan jika
pasien tidak sanggup 66 63. 6* 9.1 1.5 0.0 0.0
menjaga ventilasei adekuat
seelah ekstubasi.
Manfaat jangka pendek dari
peralatan yang dapat
digunakan sebagai pemandu
unuk mempercepat
reintubasi.
22. Ahli anestesi harus
mendokumentasikan rekam
66 63.6* 28.8 7.6 0.0 0.0
medis pasien yang mengalami
jalan napas sulit.
23. Seorang dokter anestesi harus
menemui dan melakukan
inform concent terhadap 66 95.5* 4.5 0.0 0.0 0.0
pasien yang memiliki jalan
napas sulit
24. Seorang dokter anestesi harus
melakukan evaluasi dan
follow-up terhadap pasien 66 87.9* 12.1 0.0 0.0 0.0
unuk menghindari komplikasi
jalan napas yang dapat terjadi
25. Pasien seharusnya dinasehati
tentang beberapa komplikasi
66 65.1* 25.8 7.6 1.5 0.0
jalan napas sulit yang dapat
mengancam jiwa
37
Tabel 6. Respon survey anggota ASA
Persen jawaban responden
Sangat
Sangat Tidak Tidak
N Setuju tidak
Setuju memilih Setuju
setuju
1. Dampak dari masalah
penanganan berikut harus dinilai:
Pasien sulit berkooperasi
302 49.7* 36.4 8.6 4.0 1.3
Mask Ventilation sulit
302 81.8* 15.9 1.0 1.3 0.0
Kesulian pemasangan SGA
302 64.5* 28.5 5.0 2.0 0.0
Laringoskopi sulit
302 84.4* 14.6 0.3 0.7 0.0
Intubasi sulit
302 87.7 12.3 0.0 0.0 0.3
Pembukaan jalan napas lewat
302 54.6* 32.5 11.3 1.3 0.0
pembedahan sulit
2. Pemberian oksigen supplemental
harus dengan aktif diberikan 79.8*
302 16.9 3.0 0.3 0.0
selama proses penanganan jalan
napas
3. Efek dari pilihan-pilihan
penanganan dibawah ini harus
dipertimbangkan:
Intubasi sadar vs Intubasi
dengan anestesi umum 302 73.8* 23.2 2.3 0.7 0.0
Teknik intubasi noninvasive vs
Teknik invasive 302 52.0* 37.1 9.6 1.3 0.0
Preservasi ventilasi spontan vs
ablasi ventilasi spontan 302 65.2* 28.5 5.3 1.0 0.0
Laringoskop dibantu video vs
laringoskop dengan blade 302 53.0* 29.5* 12.9 4.6 0.0
yang rigid
4. Alat-alat pembukaan jalan napas
dibawah ini harus menjadi
pilihan untuk digunakan saat
prosedur ventilasi airway
noninvasive dalam keadaan
emergency 302 6.3 21.5 33.7 31.5 7.0
38
Bronkoskop rigid 302 64.2* 19.2 4.6 8.9 3.0
Bronkoskop fiberoptic 302 91.4* 8.3 0.3 0.0 0.0
Supraglottic airway
5. Sebuah videolaryngoskop harus
dimasukkan ke dalam Portable
302 69.5* 20.5 6.6 3.3 0.0
Storage Unit untuk prosedur
penanganan jalan napas
6. Transtracheal jet ventilation
merupakan: (pilih salah satu)
Ventilasi airway invasive 95% 302
Ventilasi airway non-invasif
4.6%
7. Riwayat airway harus diketahui
sebelum dilakukan anestesi 302 87.1* 10.9 0.7 1.3 0.0
ataupun penanganan airway
8. Pemeriksaan fisik airway
harus dilakukan sebelum
302 91.1* 7.9 0.7 1.3 0.0
dilakukan anestesi ataupun
penanganan airway
9. Keadaan-keadaan airway
302 71.8* 22.5 2.6 2.0 1.0
praoperasi harus dinilai
10. Evaluasi tambahan perlu
dilakukan pada beberapa
pasien untuk mendeteksi 302 55.6* 35.1 7.6 1.3 0.3
adanya kemungkinan kesulitan
intubasi
11. Setidaknya satu portable
storage unit yang mengandung
alat khusus untuk penanganan 302 85.8* 12.2 2.0 0.0 0.0
airway yang sulit harus selalu
siap sedia
12. Apabila didapatkan atau
dicurigani adanya keadaan
dimana airway sulit diakses, 302 73.8* 24.2 1.7 0.0 0.3
anestesiologis harus segera
menginformasikan pasien atau
39
orang terdekatnya mengenai
resiko dan prosedur yang akan
dilakukan
13. Apabila didapatkan atau
dicurigani adanya keadaan
dimana airway sulit diakses,
anestesiologis harus
memastikan adanya paling 302 58.3* 30.5 6.9 3.0 1.3
sedikt satu orang yang dapat
menjadi asisten dalam
prosedur penaganan jalan
napas yang sulit
14. Apabila didapatkan atau
dicurigani adanya keadaan
dimana airway sulit diakses,
anestesiologis harus 302 77.8* 14.2 5.3 2.0 0.7
melakukan facemask
preoksigenasi sebelum
melakukan penanganan
15. Apabila didapatkan atau
dicurigani adanya keadaan
dimana airway sulit diakses,
anestesiologis, harus dengan
302 73.5* 22.5 3.6 0.3 0.0
aktif mencari kesempatan
pemberian oksigen
sumplemental selama proses
penanganan
16. Anestesiologis harus sudah
merencanakan strategi intubasi
untuk mengantisipasi
302 84.4* 14.9 0.7 0.0 0.0
didapatkan atau dicurigani
adanya keadaan dimana
airway sulit diakses
17. Dalam penyusunan strategi
intubasi airway sulit, harus
mencakup pertimbangan egek
dari 4 pilihan penanganan:
40
Intubasi sadar vs Intubasi 302 76.5* 21.5 2.0 1.5 0.0
dengan anestesi umum
Teknik intubasi noninvasive 302 65.2* 34.8 2.3 0.7 0.0
vs Teknik invasive
Preservasi ventilasi spontan 302 53.6* 33.1* 8.6 3.3 1.3
vs ablasi ventilasi spontan
Laringoskop dibantu video 302 62.6* 29.1 6.3 2.0 0.0
41
Faktor klinis general yang
menyebabkan dampak yang
buruk saat dilakukan 302 75.5* 23.2 1.0 2.0 0.0
ventilasi setelah pasien
diekstubasi.
Rencana manajemen airway
yang diimplementasikan jika
pasien tidak sanggup 302 45.4 36.7* 0.3 0.0 1.3
menjaga ventilasei adekuat
seelah ekstubasi.
Manfaat jangka pendek dari
peralatan yang dapat
digunakan sebagai pemandu
unuk mempercepat
reintubasi.
22. Ahli anestesi harus
mendokumentasikan rekam
302 90.7* 8.637.7 0.7 0.0 0.0
medis pasien yang mengalami
jalan napas sulit.
23. Seorang dokter anestesi harus
menemui dan melakukan
inform concent terhadap 302 85.7* 13.6 0.7 0.0 0.0
pasien yang memiliki jalan
napas sulit
24. Seorang dokter anestesi harus
melakukan evaluasi dan
55.3*
follow-up terhadap pasien 302 37.7 6.6 0.0 0.3
unuk menghindari komplikasi
jalan napas yang dapat terjadi
25. Pasien seharusnya dinasehati
tentang beberapa komplikasi
302 56.0* 32.1 10.6 1.0 0.3
jalan napas sulit yang dapat
mengancam jiwa
† N = jumlah anggota ASA yang merespondensi setiap item. Tanda bintang di samping nilai
persentase menunjukkan median. Termasuk, tetapi tidak terbatas pada, panjang gigi seri atas,
hubungan gigi seri rahang atas dan bawah selama penutupan rahang normal dan penonjolan
42
sukarela, interincisor jarak, visibilitas uvula, bentuk langit-langit mulut, kepatuhan ruang
mandibula, jarak thyromental, panjang dan ketebalan leher, dan berbagai gerakan kepala dan leher
43