Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronis merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia.

Perubahan jaman dari waktu-kewaktu membuat pola hidup manusia yang semakin

berubah terutama pada pola makan yang kurang sehat1. Ginjal memiliki fungsi vital

yaitu untuk mengatur volume dan komposisi kimia darah dengan mengeksresikan zat

sisa metabolisme tubuh dan air secara selektif.1

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) / Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu

proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi

ginjal progresif, dan pada umumnya berakhir pada gagal ginjal. Selanjutnya, gagal

ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang

irreversible2. Proses penurunan fungsi ginjal ini berjalan progresif sehingga pada

akhirnya akan terjadi Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End State Renal Disease

(ESRD)3.

Menurut studi "Global Burden of Disease" tahun 2010, Penyakit Ginjal Kronis

(PGK) menempati peringkat 27 dalam daftar penyebab jumlah total kematian di

seluruh dunia pada tahun 1990, tetapi naik menjadi peringkat 18 pada tahun 2010. Ini

merupakan peningkatan terbesar kedua dalam daftar. Hanya dibawah HIV dan AIDS.4

10% dari populasi dunia terkena Penyakit Ginjal Kronis (PGK), dan jutaan orang

1
meninggal setiap tahun karena mereka tidak memiliki akses terhadap pengobatan yang

terjangkau.5

Indonesia sendiri prevalensi penderita Penyakit Ginjal Kronis secara nasional

menurut RISKESDES 2013 sebesar 0,2% berdasar diagnosis dokter. Jika saat ini

penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 504.248 jiwa yang

menderita gagal ginjal kronis (0,2% x 252.124.458 jiwa* = 504.248 jiwa). Suatu

kondisi yang cukup mengejutkan6. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5

persen, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 persen.

Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa

Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing–masing 0,3 persen6.

Dengan prevalensi yang cukup tinggi sudah selayaknya petugas kesehatan

paham akan tatalaksana dalan terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan

dan terapi kondisi komorbid, memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal.

Sehingga diharapkan angka harapan hidup penderita PGK bisa meningkat.

1.2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana Patofisiologi Penyakit Ginjal Konis (PGK) ?

b. Bagaimana cara menegakkan diagnosis Penyakit Ginjal Konis (PGK) ?

c. Bagaimana penatalaksanaan Penyakit Ginjal Konis (PGK) ?

2
1.3. Tujuan

a. Mengetahui Patofisiologi Penyakit Ginjal Konis (PGK)

b. Mengetahui cara menegakkan diagnosis Penyakit Ginjal Konis (PGK)

c. Mengetahui penatalaksanaan Penyakit Ginjal Konis (PGK)

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struktur Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostasis

cairan tubuh secara baik. Berbagai fungsi ginjal untuk mempertahankan

homeostatik dengan mengatur volume cairan, keseimbangan osmotik, asam basa,

ekskresi sisa metabolisme, sistem pengaturan hormonal dan metabolisme. Ginjal

merupakan organ yang berbentuk seperti kacang1. Ginjal terletak dalam rongga

abdomen, retroperitonial primer kiri dan kanan kolumna vertebralis, dikelilingi oleh

lemak dan jaringan ikat di belakang peritonium. Ginjal kanan sedikit lebih rendah

dibandingkan ginjal kiri karena tertekan kebawah oleh hati1.

Batas atas ginjal kiri setinggi os costae ke-11, ginjal kanan setinggi so costae

ke-12 batas bawah ginjal kiri setinggi vertebra lumbalis ke-3. Tiap-tiap ginjal

mempunyai mempunyai panjang 11,25 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,5 crn1. Ginjal kiri

lebih panjang dari ginjal kanan, berat ginjal pada laki-laki dewasa 150-170 gram,

wanita dewasa 115-155 gram1. Bentuk ginjal seperti kacang sisi dalam menghadap

ke vertebra torakalis, sisi luarnya cembung dan di atas setiap ginjal terdapat sebuah

kelanjar suprarenal1.

Ginjal ditutupi oleh kapsul tunika fibrosa yang kuat. Apabila kapsul dibuka

terlihat permukaan dari kapsul yang licin dengan warna merah tua1. Dengan

4
membuat potongan vertilkal dari ginjal melalui margo lateralis ke margo medialis

akan terlihat hilus yang meluas ke ruangan sentral yang di sebut sinus renalis bagian

atas dari pelvis renalis1.

Ginjal terdiri dari :

a. Bagian dalam (internal) medulla. Substansia medularis terdiri dari pyramid

renalis jumlahnya antara 8-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal,

sedangkan apeksnya menghadap ke sinus renalis1.

b. Bagian luar (eksternal) korteks. Substansia kortekalis berwarna cokelat merah,

konsistensi lunak dan bergranula. Substansia ini tepat dibawah tunika fibrosa,

melengkung sepanjang basis pyramid yang berdekatan dengan sinus renalis,

bagian dalam diantara pyramid dinamakan kolumna renalis1.

Gambar 2.1. : Anterior view7


(Sumber : Frank. H Netter Atlas of Human Anatomy 5th Edition)

5
Gambar 2.2. : Posterior view7
(Sumber : Frank. H Netter Atlas of Human Anatomy 5th Edition)

Gambar 2.3. : Anatomi Ginjal Potongan Koronal7


(Sumber : Frank. H Netter Atlas of Human Anatomy 5th Edition)

6
2.2. Struktur Mikroskopis Ginjal

Satuan fungsional ginjal disebut nefron. Ginjal mempunyai lebih kurang 1,3

juta nefron yang selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah dari arteri renalis1.

Lubang-lubang yang terdapat pada piramid renal masing-masing membentuk

simpul satu badan malfigi yang disebut glomerulus1. Nefron adalah massa tubulus

mikroskopis ginjal yang merupakan satuan fungsional ginjal1. Nefron menyaring

darah dan mengontrol komposisinya setiap nefron berawal dari berkas kapiler yang

terdiri dari1:

a. Glomerulus, merupakan gulungan anyaman kapiler yang terletak di dalam

kapsula Bowman (ujung buntu tubulus ginjal yang bentuknya seperti kapsula

cekung menutupi glomerulus yang saling melilitkan diri). Glomerulus

melilitkan darah dari arteriola aferen dan meneruskana darah ke system vena

melalui arteriola eferen1.

Gambar 2.4. : Anatomi Glomerulus

7
b. Tubulus proksimal konvulta, tubulus ginjal yang langsung berhubungan dengan

kapsula bowman dengan panjang 15 mm dan diameter 55 mm berkelok-kelok

menjalar dari korteks ke bagian medula dan kembali ke korteks1.

c. Lengkung henle, bentuknya lurus dan tebal, diteruskan ke segmen tipis

selanjutnya ke segmen tebal, panjangnya 2-14 mm1.

Gambar 2.5. : Anatomi Nefron

8
d. Tubulus distal konvulta, bagian tubulus ginjal yang berkelok-kelok dan jauh

letaknya dari kapsula bowman, panjangnya 5 mm1. Tubulus distal dari masing-

masing nefron bermuara ke duktus koligens yang panjangnya 20 mm1. Masing-

masing duktus koligens berjlalan melalui korteks dan medula ginjal, bersatu

membentuk suatu duktus yang berjalan lurus dan bermuara ke dalam duktus

belini seterusnya menuju kaliks minor ke kaliks mayor1. Akhirnya

mengosongkan isisnya ke dalam pelvis renalis pada aspek masing-masing

piramid medula ginjal1. Panjang nefron keseluruhan ditambah dengan duktus

koligens 45-65 mm1. Nefron yang berasal dari glomerulus korteks (nefron

korteks), mempunyai lengkung henle yang memanjang ke dalam pyramid

medula1.

2.3. Fisiologi Ginjal

2.3.1. Fungsi Utama Ginjal1

a) Fungsi Eksresi1

 Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan

mengubah-ubah ekskresi air

 Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-

ubah ekskresi Na+.

 Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit

individu dalam rentang normal

9
 Mempertahankan pH plasma sckitar 7,4 dengan mengeluarkan

kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3

 Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein

(terutama urea, asam urat dan kreatinin).

 Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat

b) Fungsi Noneksresi1

Menyintesis dan mengaktifkan hormone :

 Renin : penting dalam pengaturan tekanan darah

 Eritropoetin : merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum

tulang

 1,25-dihidroksivitamin D3 : hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi

bentuk yang paling kuat

 Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal,

dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal

 Degradasi hormon polipeptida

 Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan,

ADH, dan hormon gastrointestinal ( gastrin, polipeptida intestinal

vasoaktif [VIP] )

10
2.3.1. Ultrafiltrasi Glomerulus

Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi

Effective Circulating Volume (ECV) dalam batas-batas normal. ECV terdiri dari

volume intravaskuler absolut, curah jantung dan resistensi pembuluh darah

sistemik. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi

glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus1.

Ultrafiltrasi Glomerulus Pembentukan urine dimulai dengan proses filtrasi

glomerulus plasma. Aliran darah ginjal / Renal Blood Flow (RBF) setara dengan

sekitar 25% curah jantung atau 1.200 ml/ menit. Bila hematokrit normal dianggap

45%, maka aliran plasma ginjal / renal plasma flow (RPF) sama dengan 660 ml/

(0,55 x 1.200 = 660)1. Sekitar seperlima dari plasma atau 125 ml/menit dialirkan

melalui glomerulus ke kapsula Bowman. Ini dikenal dengan istilah Laju Filtrasi

Glomerulus (GFR). Proses filtrasi pada glomerulus dinamakan ultrafiltrasi

glomerulus, karena filtrat primer mempunyai komposisi sama seperti plasma

kecuali protein1.

Sel-sel darah dan molekul-molekul protein yang besar atau protein

bermuatan negatif (seperti albumin) secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan

seleksi muatan yang merupakan ciri khas dari sawar membran filtrasi glomerular,

sedangkan molekul yang berukuran lebih kecil atau dengan beban yang netral atau

positif (seperti air dan kristaloid) sudah langsung tersaring1. Perhitungan

menunjukkan bahwa 173 L cairan berhasil disaring melalui glomerulus dalam

11
waktu sehari suatu jumlah yang menakjubkan untuk organ yang berat totalnya

hanya sekitar 10 ons1. Saat filtrat mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau

diambil berbagai zat dari filtrat, sehingga tekanan-tekanan yang berperan dalam

laju filtrasi glomerulus yang cepat ini seluruhnya bersifat pasif, dan tidak

dibutuhkan energi metabolik untuk proses filtrasi tersebut. Tekanan filtrasi berasal

dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula

Bowman1.

Gambar 2.6. : Diagram of renal corpuscle structure:


A – Renal corpuscle
B – Proximal tubule
C – Distal convoluted tubule
D – Juxtaglomerular apparatus
1. Basement membrane (Basal lamina)
2. Bowman's capsule – parietal layer
3. Bowman's capsule – visceral layer
3a. Pedicels (Foot processes from podocytes)
3b. Podocyte
4. Bowman's space (urinary space)
5a. Mesangium – Intraglomerular cell
5b. Mesangium – Extraglomerular cell
6. Granular cells (Juxtaglomerular cells)
7. Macula densa
8. Myocytes (smooth muscle)
9. Afferent arteriole
10. Glomerulus Capillaries
11. Efferent arteriole

Tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi

dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula Bowman

serta tekanan onkotik darah1. Tekanaan onkotik dalam kapsula Bowman pada

hakekatnya adalah nol, karena filtrasi secara normal sama sekali tidak ada protein.

12
Tiga kelas zat yang difiltrasi dalam glomerulus (Gambar:2.5) : elektrolit,

nonelektrolit, dan air. Beberapa elektrolit yang paling penting adalah natrium

(Na+), kalium (K+), kalsium (Ca2+) magnesium (Mg2+), bikarbonat (HCO3),

klorida (CI), dan fosfat (HPO2). Nonelektrolit yang penting adalah glukosa, asam

amino, dan metabolit yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme

protein: urea, asam urat, dan kreatinin1.

Gambar 2.7. : Filtrasi H2O, Elektrolit,


Nonelektrolit
Reabsorbsi dan sekresi tubulus sepanjang
nefron glomerulus. Panah garis penuh
menyatakan transport aktif sedangkan panah
garis putus-putus menyatakan proses
transport pasif.

13
2.4. Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

2.4.1. Definisi Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) / Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu

proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan

fungsi ginjal progresif, dan pada umumnya berakhir pada gagal ginjal.

Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang irreversible2. Proses penurunan fungsi ginjal ini

berjalan progresif sehingga pada akhirnya akan terjadi Gagal Ginjal Terminal

(GGT) atau End State Renal Disease (ESRD)3.

Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyatakan penurunan fungsi ginjal ini,

antara lain3 :

 Gangguan fungsi ginjal : adanya penurunan laju filtrasi glomerulus

(glomerulus filtration rate = GFR), yang dapat terjadi dalam derajat ringan,

sedang atau berat.

 Azotemia : adanya peningkatan kadar urea plasma, atau peningkatan BUN oleh

Karena retensi sampah nitrogen akibat gangguan fungsi ginjal

 Uremia : sindrom klinis dan laboratori yang menunjukan adanya disfungsi

berbagai system organ akibat gagal ginjal akut maupun kronis, biasanya pada

derajat lanjut.

 GGT (Gagal Ginjal Terminal) : keadaan dimana ginjal tidak dapat lagi

menopang kehidupan tanpa diikuti tindakan dialisis atau transplantasi ginjal.

14
Definisi PGK menurut NKF (The National Kidney Foundation) K-DOQI (Kidney

Disease Outcome Quality Initiative)3, adalah :

a. Kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan

Kerusakan ginjal berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa

peurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), dengan salah satu manifestasi :

1. Kelainan patologi, atau

2. Pertanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau urine,

atau kelainan radiologi

b. LFG < 60 ml/menit/1,73 m2 ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

 LFG < 60 ml/menit/1,73 m2 ≥ 3 bulan diklasifikasikan sebagai PGK tanpa

memperhatikan ada atau tidak adanya kerusakan ginjal oleh karena pada

tingkat GFR tersebut atau lebih rendah, ginjal telah kehilangan fungsinya

≥ 50% dan terdapat komplikasi.

 Kerusakan ginjal tanpa memperhatikan tingkat GFR juga di klasifikasikan

sebagai PGK. Pada sebagian kasus biobsi ginjal tidak dilakukan, sehingga

kerusakan ginjal didasarkan pada adanya beberapa pertanda diantaranya

proteinuria, kelainan sedimen (hematuria, piuria dengan cast), kelainan

darah yang patognomonik untuk kelainan ginjal seperti sindroma tubuler

(misalnaya asidosis tubuler ginjal, diabetes insipidus nefrogenik), serta

adanya gambaran radiologis yang patologis misalnya hidronefrosis. Ada

kemungkinan GFR tetap normal atau meningkat, tetapi sudah terdapat

15
kerusakan ginjal sehingga mempunyai risiko tinggi untuk mengalami dua

keadaan utama akibat PGK, yaitu hilangnya fungsi ginjal dan terjadinya

penyakit kardiovaskuler.

Tabel 2.1. Penamaan CKD yang Digunakan K/DOQI Saat ini (Update 2015)7

Kategori CKD Definisi


CKD dari stadium apapun (1-5), dengan atau tanpa
transplantasi ginjal, termasuk CKD yang tidak tergantung
CKD*
dialisis (CKD 1-5ND) dan CKD yang tergantung dialisis
(CKD 5D)
Stadium CKD apapun yang tidak tergantung dialisis (1-5),
CKD ND** dengan atau tanpa transplantasi ginjal (contohnya : CKD
kecuali CKD 5D)
Stadium CKD apapun yang tidak tergantung dialisis (1-5)
CKD T***
dengan transplantasi ginjal
Spesifikasi Stadium CKD

CKD* 1, 2, 3, 4 Stadium spesifik dari CKD, CKD N, atau CKD T


Rentang dari stadium spesifik (contohnya : CKD 3 dan CKD
CKD* 3-4, dll
4)
CKD 5D**** CKD 5 yang tergantung dialisis

CKD 5 HD***** CKD 5 yang tergantung hemodialisis

CKD 5 PD****** CKD 5 yang tergantung dialysis peritoneal


*
CKD : Chronic Kidney Disease
**
CKD ND : Chronic Kidney Disease Non-Dialysis
***
CKD T : Chronic Kidney Disease Transplantation
****
CKD 5D : Chronic Kidney Disease 5 Dialysis
*****
CKD HD : Chronic Kidney Disease Hemodialysis
******
CKD 5 PD : Chronic Kidney Disease Peritoneal Dialysis

16
Tabel 2.2. : Kriteria untuk Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)8

Kriteria Komentar
Durasi 43 bulan, Durasi ini diperlukan untuk membedakan penyakit ginjal yang kronis dari
berdasarkan dokumentasi yang akut.
atau inferensi  Evaluasi klinis sering kali akan memungkinkan dokumentasi atau
inferensi durasi.
 Dokumentasi durasi biasanya tidak dinyatakan dalam studi
epidemiologi.
GFR<60ml/menit/1.73m2 GFR adalah indeks keseluruhan terbaik dari fungsi ginjal dalam kesehatan
(GFR kategori G3a-G5) dan penyakit.
 GFR normal pada orang dewasa muda adalah sekitar
125ml/menit/1,73m2. GFR<15ml/menit/1,73m2 (GFR kategori
G5) didefinisikan sebagai gagal ginjal.
 Penurunan GFR dapat dideteksi dengan persamaan estimasi terkini
untuk GFR berdasarkan SCr atau cystatin C, tapi tidak dengan SCr
atau cystatin C saja.
 Penurunan eGFR dapat dikonfirmasi dengan mengukur GFR, jika
diperlukan.
Kerusakan ginjal yang Albuminuria sebagai penanda kerusakan ginjal [peningkatan
ditentukan oleh kelainan permeabilitas glomerulus], AER urin ≥30mg/24jam, kurang lebih setara
struktur atau kelainan dengan ACR urin ≥30mg/g (≥30mg/mmol)*
fungsional selain  ACR urin yang normal pada orang dewasa muda <10mg/g
penurunan GFR. (<1mg/mmol).
 ACR urin 30-300mg/g (3-30mg/mmol; kategori A2) biasanya
berhubungan dengan “mikroalbuminuria”, yang sekarang disebut
“cukup meningkat”.
 ACR urin >300 mg/g (>30mg/mmol; kategori A3) biasanya
berhubungan dengan “macroalbuminuria”, sekarang disebut
“sangat meningkat”.
 ACR urin >2200mg/g (220mg/mmol) dapat disertai dengan tanda-
tanda dan gejala sindrom nefrotik (misalnya, albumin serum
rendah, edema, dan kolesterol serum tinggi).
 Nilai ambang kurang lebih bersesuaian dengan jejak nilai reagen
strip urin atau +, tergantung konsentrasi urine.
 ACR urin tinggi dapat dikonfirmasi oleh ekskresi albumin urin
dalam koleksi urin berjangka dinyatakan sebagai AER.
Kelainan sedimen urin sebagai penanda kerusakan ginjal
 Hematuria non-terlihat (mikroskopis) terisolasi, dengan morfologi
RBC tidak normal (anisocytosis) pada gangguan GBM.
 Sedimen RBC di glomerulonefritis proliferatif.

17
 Sedimen WBC di pielonefritis atau nefritis interstitial.
 Tubuh lemak oval atau sedimen lemak pada penyakit dengan
proteinuria.
 Sedimen granular dan sel-sel epitel tubulus ginjal dalam banyak
penyakit parenkim (non-spesifik).
Gangguan tubulus ginjal.
 Asidosis tubulus ginjal.
 diabetes insipidus nefrogenik.
 Renal kalium wasting.
 Renal magnesium wasting.
 Sindrom Fanconi.
 Proteinuria non-albumin.
 Cystinuria.
Kelainan patologis yang terdeteksi atau disimpulkan oleh histologi
(contoh penyebab)
 Penyakit glomerulus (diabetes, penyakit autoimun, infeksi
sistemik, narkoba, neoplasia)
 Penyakit pembuluh darah (aterosklerosis, hipertensi, iskemia,
vaskulitis, trombotik microangiopathy)
 Penyakit tubulointerstitial (infeksi saluran kemih, batu, obstruksi,
keracunan obat)
 Kista dan penyakit bawaan
Kelainan struktural sebagai penanda kerusakan ginjal yang terdeteksi oleh
pencitraan (USG, CT scan dan magnetic resonance dengan atau tanpa
kontras, scan isotop, angiografi)
 Ginjal polikistik.
 Ginjal displastik.
 Hidronefrosis akibat obstruksi.
 Jaringan parut kortikal karena infark, pielonefritis atau
berhubungan dengan refluks vesicoureteral.
 Gumpalan pada ginjal atau ginjal membesar karena penyakit
infiltratif.
 Stenosis arteri ginjal.
 Ginjal kecil dan hyperechoic (umum di CKD yang lebih berat
karena banyak penyakit parenkim).
Riwayat transplantasi ginjal.
 Biopsi ginjal pada sebagian besar penerima transplantasi ginjal
memiliki kelainan histopatologi bahkan jika
GFR>60ml/menit/1,73m2 (kategori GFR G1-G2) dan
ACR<30mg/g (<3mg/mmol).

18
 Penerima transplantasi ginjal memiliki peningkatan risiko untuk
kematian dan gagal ginjal dibandingkan dengan populasi tanpa
penyakit ginjal.
 Penerima transplantasi ginjal secara rutin menerima perawatan
subspesialisasi.
Sumber : KDIGO (2012) Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease

2.4.2. Epidemiologi Penyakit Ginjal Kronis

Menurut studi "Global Burden of Disease" tahun 2010, Penyakit Ginjal

Kronis (PGK) menempati peringkat 27 dalam daftar penyebab jumlah total

kematian di seluruh dunia pada tahun 1990, tetapi naik menjadi peringkat 18 pada

tahun 2010. Ini merupakan peningkatan terbesar kedua dalam daftar. Hanya

dibawah HIV dan AIDS5. 10% dari populasi dunia terkena Penyakit Ginjal Kronis

(PGK), dan jutaan orang meninggal setiap tahun karena mereka tidak memiliki

akses terhadap pengobatan yang terjangkau4.

Pada orang berusia 65 sampai 74 tahun di seluruh dunia, diperkirakan

bahwa satu dari lima pria, dan satu dari empat wanita, terkena CKD.4 Penyakit

tidak menular (seperti penyakit jantung, diabetes, atau penyakit ginjal) telah

menggantikan penyakit menular (seperti influenza, malaria, atau AIDS) sebagai

penyebab paling umum kematian dini di seluruh dunia. Diperkirakan 80% dari

beban ini terjadi di negara berpenghasilan rendah atau menengah, dan 25% adalah

pada orang yang berusia kurang dari 60 tahun.9 Penyakit ginjal kronis adalah krisis

kesehatan di seluruh dunia. Misalnya, pada tahun 2005, ada sekitar 58 juta

19
kematian di seluruh dunia, dengan 35 juta dikaitkan dengan penyakit kronis,

menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).10

Lebih dari 80% dari semua pasien yang menerima pengobatan untuk gagal

ginjal berada di negara-negara makmur dengan akses universal ke perawatan

kesehatan dan memiliki populasi lansia yang besar.5 Diperkirakan jumlah kasus

gagal ginjal akan meningkat secara tidak proporsional di negara berkembang,

seperti China dan India, di mana jumlah orang lanjut usia meningkat.5

Lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia saat ini menerima pengobatan

dengan dialisis atau transplantasi ginjal untuk tetap hidup, namun angka ini

mungkin hanya mewakili 10% dari orang-orang yang benar-benar membutuhkan

pengobatan untuk hidup.9 Dari 2 juta orang yang menerima pengobatan untuk

gagal ginjal, mayoritas dirawat hanya di lima negara - Amerika Serikat, Jepang,

Jerman, Brasil, dan Italia. Kelima negara ini hanya mewakili 12% dari populasi

dunia. Hanya 20% yang dirawat di sekitar 100 negara-negara berkembang yang

menyusun lebih dari 50% dari populasi dunia.9

Di negara-negara berpendapatan menengah, pengobatan dengan dialisis

atau transplantasi ginjal menciptakan beban keuangan yang besar bagi sebagian

besar orang-orang yang membutuhkannya. Di 112 negara lainnya, banyak orang

tidak mampu membayar pengobatan sama sekali, mengakibatkan kematian lebih

dari 1 juta orang per tahun akibat gagal ginjal yang tidak diobati.9

20
Indonesia sendiri prevalensi penderita Penyakit Ginjal Kronis secara

nasional menurut RISKESDES 2013 sebesar 0,2% berdasar diagnosis dokter. Jika

saat ini penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 504.248 jiwa

yang menderita gagal ginjal kronis (0,2% x 252.124.458 jiwa* = 504.248 jiwa).

Suatu kondisi yang cukup mengejutkan6. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah

sebesar 0,5 persen, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing

0,4 persen. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa

Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing–masing 0,3 persen.6

Gambar 2.8. : Diagram Prevalensi penderita Penyakit Ginjal Kronis secara nasional menurut RISKESDES
2013
Jumlah pasien hemodialisis baru terus meningkat dari tahun ke tahun ,

tetapi pasien yang kemudian masih aktif pada akhir tahunnya tidak bertambah sejalan

pertambahan pasien baru, bisa dilihat pada grafik dibawah ini11 :

21
Gambar 2.9. : Diagram Jumlah pasien Hemodialisis baru dan pasien aktif per-
korwil tahun 2014

Gambar 2.10. : Diagram Jumlah Diagnosa Penyakit Utama pasien Hemodialisis


di setiap Wilayah di Indonesia tahun 2014

22
Gambar diagram diatas menunjukkan jumlah diagnosis penyakit utama

pasien hemodialisis di setiap wilayah di Indonesia. Jawa Timur sendiri diagnosa

utama penyebab hemodialisis pada tahun 2014 adalah Gagal Ginjal Terminal

(GGT) atau End State Renal Disease (ESRD) yang mecapai 3.038 orang dan

penyebab keduanya adalah Gagal Ginjal Akut (GGA) mencapai 251 orang

sedangkan diagnosis Gagal Ginjal Akut pada Gagal Ginjal Kronis tidak terlalu

berpengaruh di Jawa Timur hanya mencapai 17 orang. GGA pada GGK sendiri

artinya episode akut pada gagal ginjal kronik yang sebelumnya stabil. Pada

beberapa kasus perlu dilakukan terapi dialisis11.

Gambar 2.11. : Diagram Persentase Diagnosa Etiologi/ Comorbid


Penyakit Gagal Ginjal di Indonesia tahun 2014
Urutan penyebab gagal ginjal pasien hemodialisis baru dari data tahun

2014 masih sama dengan tahun sebelumnya. Penyakit ginjal hipertensi meningkat

menjadi 37 % diikuti oleh Nefropati diabetika sebanyak 27 %. Glomerulopati

primer memberi proporsi yang cukup tinggi sampai 10 % dan Nefropati Obstruktif

23
pun masih memberi angka 7 % dimana pada registry di negara maju angka ini

sangat rendah. Masih ada kriteria lain-lain yang memberi angka 7 %, angka ini

cukup tinggi hal ini bisa diminimalkan dengan menambah jenis etiologi pada IRR

. Proporsi penyebab yang tidak diketahui cukup rendah11.

Penyakit penyerta pasien hemodialisis pada tahun 2014 dapat dilihat pada

diagram di bawah, hipertensi masih merupakan penyakit penyerta terbanyak,

selain menjadi etiologi terbanyak pula di Indonesia. Hal ini perlu evaluasi yang

mendalam apakah hipertensi pada kelompok ini merupkan etiologi atau penyakit

penyerta, karena bila sudah tercatat sebagai etiologi tidak boleh lagi dianggap

penyakit penyerta. Begitu pula dengan diabetes melitus. Penyakit kardiovaskular

pun sudah terjadi saat pasien mulai menjalani dialisis kronis

Gambar 2.12. : Diagram Penyakit Penyerta Pasien Hemodialisis di Indonesia pada tahun 2014

24
2.4.3. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Penyakit ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang

merusak massa nefron ginjal. Sebagian besar penyakit ini merupakan penyakit

parenkim ginjal difus dan bilateral, meskipun lesi obstruktif pada traktus urinarius

juga dapat menyebabkan Penyakit ginjal kronik. Pada awalnya, beberapa penyakit

ginjal terutama menyerang glomerulus (glomerulonefritis), sedangkan jenis yang

lain terutama menyerang tubulus ginjal (pielonefritis atau penyakit polikistik

ginjal) atau dapat juga mengganggu perfusi darah pada parenkim ginjal

(nefrosklerosis). Namun, bila proses penyakit tidak dihambat, maka pada semua

kasus seluruh nefron akhirnya hancur dan diganti dengan jaringan parut. Meskipun

penyebabnya banyak, gambaran klinis penyakit ginjal kronik sangat mirip satu

dengan yang lain karena penyakit ginjal progresif dapat didefinisikan secara

sederhana sebagai defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan komplikasi

gangguan yang pasti tidak dapat dielakkan lagi1.

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit

yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi

kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural

dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya

kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth

foctors. Hal ini mengakibatkan teradinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

25
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis

nefron yang masih tersisa2.

Perjalanan klinis umum penyakit ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga

stadium (disebut stadium I, II, dan III). Stadium pertama disebut penurunan

cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan

pasien asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan

memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti tes pemekatan urine

yang lama atau dengan mengadakan tes GFR yang teliti. Stadium kedua

perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, bila lebih dari 75% jaringan

yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar

BUN mulai meningkat di atas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN

berbeda-beda, bergantung pada kadar protein dalam makanan12.

Pada stadium II, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar

normal. Azotemia biasanya ringan (kecuali bila pasien mengalami stres akibat

infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi). Pada stadium insufisiensi ginjal ini mulai

timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria (akibat gangguan kemampuan

pemekatan). Gejala- gejala ini timbul sebagai respons terhadap stres dan

perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Pasien biasanya tidak terlalu

memperhatikan gejala- gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap

dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti12.

26
Nokturia (berkemih di malam hari) didefinisikan sebagai gejala pengeluaran

urine waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml atau pasien

terbangun untuk berkemih beberapa kali waktu malam hari. Nokturia disebabkan

oleh hilangnya pola pemekatan urine diurnal normal sampai tingkatan tertentu di

malam hari. Dalam keadaan normal perbandingan jumlah urine siang hari dan

malam hari adalah 3:1 atau 4:1. Sudah tentu, nokturia kadang-kadang dapat teradi

juga sebagai respons terhadap kegelisahan atau minum cairan yang berlebihan,

terutama teh, kopi atau bir yang diminum sebelum tidur12.

Poliuria berarti peningkatan volume urine yang terus menerus. Pengeluaran

urine normal sekitar 1500 ml per hari dan berubah-ubah sesuai dengan jumlah

cairan yang diminum. Poliuria akibat insufisiensi ginjal biasanya lebih besar pada

penyakit yang terutama menyerang tubulus meskipun biasanya poliuria bersifat

sedang dan jarang lebih da dari 3 liter/hari12.

Stadium ketiga dan stadium akhir penyakit ginjal yang progresif disebut

penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) uremia. ESRD terjadi apabila sekitar 90%

dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron yang masih

utuh. Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin

sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini, kreatinin serum dan

kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap

GFR yang mengalami sedikit penurunan. Pada ESRD, pasien mulai merasakan

gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan

27
homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Urine menjadi isoosmotis dengan

plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Pasien biasanya menjadi oligurik

(pengeluaran urine kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus

meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tutubulus ginjal12.

Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom

uremik memengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada ESRD, pasien pasti akan

meninggal kecuali bila mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal

atau dialisis. Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi tiga

stadium, tetapi dalam praktiknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-

stadium tersebut12.

Terdapat pendekatan teoretis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan

gangguan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Pendekatan dengan nama

hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh, yang berpendapat bahwa bila

nefron terserang penyakit, maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron

yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan terjadi bila jumlah nefron

sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat

dipertahankan lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini sangat berguna untuk

menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit ginjal progresif, yaitu

kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit tubuh kendati

GFR sangat menurun12.

28
Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat diuraikan

dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun penyakit ginjal kronik terus

berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk

mempertahankan homeostasis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang

bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun progresif. Dua adaptasi

penting dilakukan oleh ginjal sebagai respons terhadap ancaman

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron ada mengalami hipertrofi

dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal12.

Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban 20 zat terlarut dan reabsorpsi

tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron terdapat

dalam ginjal turun di bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil

dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat

fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa

nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap

nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus

(keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh

tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan. Gambar 2.11. menunjukkan bahwa 6 dari

8 nefron telah hancur, dua nefron yang tersisa mengalami hipertrofi12.

29
Gambar 2.13. : Hipotesis Nefron yang
Utuh
Dengan semakin lanjutnya penyakit
ginjal kronik atau semakin rusaknya
nefron-nefron, maka sisa nefron yang
masih utuh mengalami hipertrofi dalam
usahanya melaksanakan seluruh beban
kerja ginjal. Beban zat terlarut bagi
setiap nefron semakin tinggi, sehingga
mengakibatkan diuresis osmotik, yaitu
peningkatan urine dan penurunan
konsentrasi.
Sumber : Sylvia A Price, Lorraine M
Wilson. Pathophysiology: Clinical of
Disease Processes. Edisi 6. Jakarta.
Penerbit Buku Krdokteran EGC.

Perubahan struktur dan fungsional akan menyebabkan cedera sekunder pada

glomerulus yang diringkas dalam skema gambar dibawah ini.

Keterangan :
Pgc : Tekanan hidrostatik
kapiler glomerulus
QA : Aliran plasma nefron
tunggal
Kf : Koefisien ultrafiltrasi
(mengukur julmlah
lubang kecil yang
menyebabkan filtrasi
air dan zat terlarut
kecil)

Gambar 2.14. : Skema patogenesis glomerulosklerosis dalam perkembangan Gagal Ginjal


Kronis. Sumber : Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. Pathophysiology: Clinical of Disease Processes. Edisi
6. Jakarta. Penerbit Buku Krdokteran EGC.

30
Patogenesis Uremia

Patogenesis gagal ginjal kronis sebagian berasal dari kombinasi efek racun dari:

 Produk yang biasanya diekskresikan oleh ginjal namun sekarang tertahan

(misalnya, produk mengandung nitrogen dari metabolisme protein)

 Produk yang normal seperti hormon kini hadir dalam jumlah yang

meningkat, dan

 Hilangnya produk normal ginjal (misalnya, hilangnya eritropoietin).

Kegagalan ekskretoris berakibat juga dalam perpindahan cairan, dengan

peningkatan Na+ dan air intraseluler serta penurunan K+ intraseluler. Perubahan

ini dapat menyebabkan perubahan dari sejumlah enzim, sistem transportasi, dan

sebagainya13.

Manifestasi klinis

a. Keseimbangan Na+ dan Status Volume

Pasien dengan gagal ginjal kronis biasanya memiliki beberapa derajat kelebihan

Na+ dan air, mencerminkan hilangnya rute ekskresi garam dan air pada ginjal.

Tingkat moderat kelebihan Na+ dan air dapat terjadi tanpa tanda-tanda objektif

kelebihan cairan ekstrasel. Namun, konsumsi berlebihan Na+ yang berlanjut

berkontribusi terhadap gagal jantung kongestif, hipertensi, asites, edema

perifer, dan peningkatan berat badan. Di sisi lain, konsumsi air yang berlebihan

31
berkontribusi terhadap hiponatremia. Rekomendasi umum untuk pasien dengan

gagal ginjal kronis adalah untuk menghindari asupan garam berlebih dan untuk

membatasi asupan cairan sehingga sama dengan output urine ditambah 500 mL.

Penyesuaian lebih lanjut dalam status volume dapat dilakukan baik melalui

penggunaan diuretik atau dialisis13.

Karena pasien-pasien ini juga memiliki gangguan mekanisme konservasi garam

dan air pada ginjal, mereka lebih sensitif dari biasanya terhadap kehilangan Na+

dan air extrarenal secara mendadak (misalnya, muntah, diare, dan peningkatan

keringat dengan demam). Dalam keadaan ini, Extracellular fluid (ECF) lebih

mudah berkurang, kerusakan lebih lanjut dari fungsi ginjal (yang mungkin tidak

reversibel), dan bahkan kehancuran pembuluh darah dan shock. Gejala dan

tanda-tanda membran mukosa kering, pusing, sinkop, takikardia, dan

penurunan tekanan vena jugularis menunjukkan perkembangan penurunan

volume13.

b. Keseimbangan K+

Hiperkalemia merupakan masalah serius pada gagal ginjal kronis, terutama

untuk pasien yang GFR-nya turun di bawah 5 mL/menit. Pada level tersebut,

ketika GFR turun, K+ yang dimediasi aldosteron bertransportasi dalam tubulus

distal untuk melakukan kompensasi sehingga jumlahnya meningkat. Dengan

demikian, seorang pasien yang GFR-nya berada di antara 50 mL/menit dan 5

32
mL/menit bergantung pada transportasi tubular untuk menjaga keseimbangan

K+. 13

Pasien dengan diabetes mellitus (penyebab utama gagal ginjal kronis) mungkin

memiliki sindrom hyporeninemic hypoaldosteronism. Sindrom ini adalah suatu

kondisi di mana kurangnya produksi renin oleh ginjal mengurangi tingkat

angiotensin II oleh karena itu, mengganggu sekresi aldosteron. Akibatnya,

pasien yang terkena tidak dapat mengimbangi turunnya GFR dengan

meningkatkan transportasi K+ yang dimediasi aldosterone, sehingga relatif

memiliki kesulitan untuk mengendalikan K+. Kesulitan ini biasanya dinyatakan

sebagai hiperkalemia bahkan sebelum GFR turun di bawah 5 mL/menit. 13

Akhirnya, pasien dengan gagal ginjal kronis tidak hanya lebih rentan terhadap

efek dari Na+ atau overload volume, tetapi mereka juga berisiko lebih besar

terhadap hiperkalemia, beban K+ yang tiba-tiba meningkat dapat diperolah baik

dari sumber endogen (misalnya, hemolisis, infeksi, trauma ) atau sumber

eksogen (misalnya, darah yang disimpan, makanan yang kaya K+, atau obat

yang mengandung K+. 13

c. Asidosis Metabolik

Berkurang kemampuan untuk mengekskresikan asam dan menghasilkan basa

dalam gagal ginjal kronis mengakibatkan asidosis metabolik. Dalam

kebanyakan kasus ketika GFR di atas 20 mL/menit. Turunnya pH darah dalam

33
individu ini biasanya dapat diperbaiki dengan 20-30 mmol (2-3 g) natrium

bikarbonat secara oral setiap hari. Namun, pasien ini sangat rentan terhadap

asidosis apabila terjadi beban asam mendadak atau timbulnya gangguan yang

meningkatkan beban asam yang dihasilkan. 13

d. Mineral dan Tulang

Beberapa gangguan fosfat, Ca2+, dan metabolisme tulang teramati pada gagal

ginjal kronis sebagai akibat dari serangkaian peristiwa yang kompleks (Gambar

2.12). Faktor utama dalam patogenesis gangguan ini termasuk (1) berkurangnya

penyerapan Ca2+ dari usus, (2) kelebihan produksi PTH, (3) metabolisme

vitamin D yang kacau, dan (4) asidosis metabolik kronis. Semua faktor ini

berkontribusi meningkatkan resorpsi tulang. Hypophosphatemia dan

hypermagnesemia dapat terjadi melalui penggunaan berlebihan pengikat fosfat

dan antasida yang mengandung magnesium, meskipun hyperphosphatemia

lebih umum. Hyperphosphatemia berkontribusi terhadap pengembangan

hipokalsemia dan dengan demikian berfungsi sebagai pemicu tambahan untuk

hiperparatiroidisme sekunder, meningkatkan tingkat PTH darah. PTH darah

yang meningkat lebih lanjut akan menghabiskan Ca2+ tulang dan berkontribusi

terhadap osteomalacia dari gagal ginjal kronis. 13

34
Gambar 1.15. : Patogenesis terjadinya osteodistrofi renal2

e. Abnormalitas Kardiovaskular dan Paru

Gagal jantung kongestif dan edema paru dapat berkembang dalam konteks

volume dan kelebihan garam. Hipertensi merupakan temuan umum pada gagal

ginjal kronis, juga biasanya berdasarkan cairan dan Na+ yang berlebihan. Namun,

hyperreninemia juga merupakan sindrom yang dikenal, di mana turunnya perfusi

ginjal memicu kegagalan ginjal dalam memproduksi renin dalam jumlah normal,

ginjal cenderung memproduksi renin secara berlebihan akibatnya terjadi

meningkatkan tekanan darah sistemik13.

35
Perikarditis yang diakibatkan dari iritasi dan peradangan pada perikardium oleh

racun uremik merupakan komplikasi yang kejadiannya pada gagal ginjal kronis

menurun, karena terapi awal dialisis ginjal13.

Peningkatan risiko kardiovaskular merupakan komplikasi yang dijumpai pada

pasien dengan gagal ginjal kronis dan tetap menjadi penyebab utama kematian

hingga saat ini. Hal ini mengakibatkan infark miokard, stroke, dan penyakit

pembuluh darah perifer. Faktor risiko kardiovaskular pada pasien ini termasuk

hipertensi, hiperlipidemia, intoleransi glukosa, cardiac output yang tinggi dalam

jangka waktu yang lama (kronis), dan kalsifikasi katup dan miokard sebagai

konsekuensi dari meningkatnya produk Ca2+ x PO43 (Ortofosfat)13.

f. Abnormalitas Hematologik

Pasien dengan gagal ginjal kronis telah menunjukkan kelainan pada jumlah sel

darah merah, fungsi sel darah putih, dan parameter pembekuan. Anemia

normokromik, normositik, dengan gejala badan terasa lemas dan mudah lelah

serta tingkat hematokrit biasanya di kisaran 20-25%, adalah fitur yang konsisten.

Anemia ini disebabkan terutama kurangnya produksi erythropoietin dan

hilangnya efek stimulasi pada eritropoiesis. Dengan demikian, pasien dengan

gagal ginjal kronis, terlepas dari status dialisis, menunjukkan perbaikan yang

signifikan dalam hematokrit ketika diobati dengan erythropoietin (epoetin alfa).

Penyebab lain dari anemia mungkin termasuk efek supresif sumsum tulang dari

racun uremik, fibrosis sumsum tulang karena PTH darah yang meningkat, efek

36
toksik aluminium (dari antasida yang mengikat fosfat dan larutan dialisis), serta

hemolisis dan kehilangan darah yang berhubungan dengan dialisis (saat pasien

diantikoagulasi dengan heparin)13.

Pasien dengan gagal ginjal kronis menunjukkan hemostasis yang tidak normal

dimanifestasikan dengan peningkatan memar, peningkatan kehilangan darah saat

operasi, dan peningkatan insiden GI spontan dan perdarahan serebrovaskular

(termasuk stroke hemoragik dan hematoma subdural). Kelainan laboratorium

termasuk waktu perdarahan yang memanjang, penurunan faktor III platelet,

agregasi dan penempelan platelet abnormal, dan gangguan konsumsi protrombin,

tidak ada yang benar-benar reversibel bahkan pada pasien yang didialisis dengan

baik13.

Uremia dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, diyakini

karena penekanan leukosit oleh racun uremik. Penekanan tampaknya lebih besar

untuk sel limfoid dibanding neutrofil dan tampaknya juga mempengaruhi

chemotaxis, respon inflamasi akut, dan respon lambat hipersensitivitas dari

fungsi leukosit lainnya. Asidosis, hiperglikemia, kekurangan gizi, dan

hiperosmolalitas juga diyakini berkontribusi terhadap imunosupresi pada gagal

ginjal kronis. Daya invasif dialisis dan penggunaan obat-obatan imunosupresif

pada pasien transplantasi ginjal juga berkontribusi terhadap peningkatan insiden

infeksi13.

37
g. Abnormalitas Neuromuskular

Gejala dan tanda-tanda central nervous system (CNS) dapat berkisar dari

gangguan tidur ringan dan gangguan konsentrasi mental, hilangnya ingatan,

kesalahan dalam penilaian, dan iritabilitas neuromuskuler (dinyatakan sebagai

cegukan, kram, fasikulasi, dan kedutan) hingga asterixis, mioklonus, pingsan,

kejang, dan koma pada uremia stadium akhir. Asteriksis diwujudkan sebagai

gerakan ayunan lengan paksa yang terlihat ketika lengan diekstensikan dan

pergelangan tangan ditahan untuk "menghentikan lalu lintas." Hal ini karena

konduksi saraf yang berubah pada ensefalopati metabolik dari berbagai

penyebab, termasuk gagal ginjal13.

Neuropati perifer (sensorik lebih besar dari motorik, ekstremitas bawah lebih

besar daripada atas), ditandai oleh restless legs syndrome (rasa tidak nyaman

yang terlokalisasi dengan buruk dan gerakan tak terkendali dari ekstremitas

bawah), merupakan temuan umum pada gagal ginjal kronis dan indikasi penting

untuk memulai dialisis13.

Pasien yang menerima hemodialisis dapat mengembangkan toksisitas

aluminium, ditandai dengan dyspraxia berbicara (ketidakmampuan untuk

mengulang kata-kata), myoclonus, demensia, dan kejang. Demikian juga, dialisis

akut yang sering dapat mengakibatkan sindrom disequilibrium ditandai dengan

mual, muntah, mengantuk, sakit kepala, dan kejang pada pasien dengan kadar

38
BUN sangat tinggi. Kiranya, ini adalah efek dari pH cepat atau perubahan

osmolalitas di ECF, yang mengakibatkan edema serebral13.

h. Abnormalitas GI

Temuan GI nonspesifik pada pasien uremik termasuk anoreksia, cegukan, mual,

muntah, dan diverticulosis. Meskipun patogenesis tepat mereka tidak jelas,

banyak dari temuan ini meningkat dengan dialisis13.

i. Abnormalitas Endokrin dan Metabolik

Wanita dengan uremia memiliki kadar estrogen yang rendah, yang mungkin

menjelaskan tingginya insiden amenore dan hasil observasi bahwa mereka jarang

mampu untuk mengandung janin dalam waktu yang lama. Demikian pula, kadar

testosteron rendah, impotensi, oligospermia, dan displasia sel germinal adalah

temuan umum pada pria dengan gagal ginjal kronis13.

Akhirnya, gagal ginjal kronis menghilangkan ginjal sebagai tempat degradasi

insulin, sehingga meningkatkan waktu paruh insulin. Hal ini biasanya memiliki

efek stabilisasi pada pasien diabetes yang gula darahnya sebelumnya sulit untuk

dikontrol13.

j. Abnormalitas Dermatologik

Perubahan kulit timbul dari banyak efek dari gagal ginjal kronis yang sudah

dibahas. Pasien dengan gagal ginjal kronis dapat menunjukkan kepucatan karena

39
anemia, perubahan warna kulit terkait akumulasi metabolit berpigmen atau

perubahan warna abu-abu yang dihasilkan dari hemochromatosis melalui

transfusi, ekimosis dan hematoma sebagai akibat dari abnormalitas pembekuan,

dan pruritus dan excoriations sebagai akibat dari endapan Ca2+ dari

hiperparatiroidisme sekunder. Sehingga, ketika konsentrasi urea sangat tinggi,

penguapan keringat meninggalkan sisa urea yang disebut "uremic frost." 13

2.4.3. Penyebab Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Penyakit ginjal kronik merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang

progresif dan ireversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Angka

perkembangan penyakit ginjal kronik ini sangat bervariasi. Perjalanan ESRD

hingga tahap terminal dapat ber variasi dari 2-3 bulan hingga 30-40 tahun.

Penyebab gagal ginjal kronik yang tersering dapat dibagi menjadi delapan kelas

seperti yang tercantum pada (Tabel 2.3)12.

Tidak ada usaha untuk mengikutsertakan semua sebab yang ada, dan hanya

contoh-contoh terpilih saja yang dimasukkan dalam setiap kelas, tetapi tidak selalu

berurutan sesuai dengan yang tercantum pada tabel tersebut. Perlu ditekankan di

sini bahwa meskipun stadium dini penyakit ginjal dapat bervariasi, tetapi stadium

hampir sama semuanya. Dan pada banyak kasus asalnya tidak dapat diidentifikasi

lagi12.

40
Tabel 2.3. Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik

Klasifikasi Penyakit Penyakit


PenyakitInfeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
Penyakit peradangan Glomerulonefritis
Penyakit vaskular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteria renalis
Gangguan jaringan ikat Lupus eritematosus sistemik
Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan Penyakit ginjal polikistik
herediter Asidosis tubulus ginjal

Penyakit metabolik Diabetes melitus


Gout
Hiperparatiroidisme
Amiloidosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik
Nefropati timah
Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas :
batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah :
hipertrofi prostat, striktur uretra, anomali kongenital
leher vesika urinaria dan uretra
Sumber : Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. Pathophysiology: Clinical of Disease Processes. Edisi
6. Jakarta. Penerbit Buku Krdokteran EGC.

41
2.4.4. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Klasifikasi penyakit ginjal kronik menurut Kidney Disease Improving Global

Outcomes (KDIGO) 2012 di dasarkan atas tiga hal yang disingkat menjadi “CGA”

: Cause (diagnosis etiologi/ penyebab), GFR / Glomerulus Filtration Rate,

Albuminuria.

Tabel 2.4. : Penyederhanaan Klasifikasi PGK Berdasarkan Diagnosis Etiologi


Penyakit Contoh jenis-jenis terbanyak
Penyakit Ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
Diabetik
Penyakit Ginjal Non-  Penyakit glomerulus (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obat-obatan,
Diabetik keganasan.
 Penyakit-penyakit pembuluh darah (penyakit pembuluh darah besar
hipertensi, mikroangiopati)
 Penyakit-penyakit tubulointerstisiel (ISK, batu, obstruksi, keracunan obat)
 Penyakit-penyakit kista (penyakit ginjal polikistik)
Penyakit pada  Rejeksi kronik
Transplantasi  Toksisitas obat (siklosporin atau takrolimus)
 Penyakit rekuren (penyakit glomerulus)
 Glomerulopati transplant
Sumber : NKF (The National Kidney Foundation) K-DOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) (2002)

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dinuat atas dasar LFG, yang dihitung

dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

(140 − 𝑢𝑚𝑢𝑟) 𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛


𝐿𝐹𝐺 (𝑚𝑙/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/1,73𝑚2 ) = ∗)
72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 (𝑚𝑔/𝑑𝑙)

∗) 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛 𝑑𝑖𝑘𝑎𝑙𝑖𝑘𝑎𝑛 0,85

42
Tabel 2.5. : Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis Berdasarkan Laju Filtrasi Glumerolus (LFG)
Stadium Deksripsi GFR (ml/menit/1,73 m2)
G1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat ≥ 90
G2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60 – 89
G3a Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan-sedang 30 – 59
G3b Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang-berat 15 – 59
G4 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat < 15 atau dialisis
G5 Gagal ginjal
Sumber : KDIGO (2012) Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease

Tabel 2.6. Kategori Albuminuria dalam CKD


Albumin-to-creatinine ratio
Albumin excretion rate (ACR) (perkiraan ekuivalen)
Kategori Keterangan
(AER) (mg/24jam)
(mg/mmol) (mg/g)

A1 <30 <3 <30 Normal hingga sedikit meningkat


A2 30-300 3-30 30-300 Cukup meningkat*
A3 >300 >30 >300 Sangat meningkat**

*Berhubungan dengan tingkat dewasa muda.


**Termasuk sindrom nefrotik (ekskresi albumin biasanya >2200mg/24jam [ACR>2220mg/g; >220mg/mmol]).
Sumber : KDIGO (2012) Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease

43
Tabel 2.7. : CGA Staging of CKD : examples of nomenclature and comments

Sumber : KDIGO (2012) Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease

2.4.5. Gejala Klinis Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Pada dasarnya gejala yang timbul pada PGK erat hubungannya dengan penurunan

fungsi ginjal yaitu:

a) kegagalan fungsi ekskresi, penurunan LFG, gangguan reabsorbsi dan sekresi

di tubulus. Akibatnya akan terjadi penumpukan toksin uremik dan gangguan

keseimbangan cairan, elektrolit serta asam-basa tubuh.

b) Kegagalan fungsi hormonal

 Penurunan eritropoetin

 Penurunan vitamin D3 aktif

44
 Gangguan sekresi renin

 Lain-lain

Keluhan dan gejala klinis yang timbul pada PGK hampir mengenai seluruh sistem,

yaitu:

Tabel 2.8. : Keluhan dan gejala klinis yang timbul pada PGK
Sistem Organ Gejela
Umum Umum Lemah, Malaise, Gangguan Pertumbuhan Dan Debilitas, Edema
Kulit Pucat, Rapuh, Gatal, Bruising

kepala dan leher Foetor Uremi


Mata Fundus Hipertcnsi, Mata Merah
Hipertensi, Sindroma Overload, Payah Jantung Perikarditis Uremik,
Jantung dan vaskuler
Tamponade
Respirasi Efusi Pleura, Edema Paru, Nafas Kussmaul, Pleuritis Uremik
Anorexia, Mual, Muntah, Gastritis, Ulkus, Kolitis Ilremik, Perdarahan
Gastrointestinal
Saluran Cerna
Ginjal Nokturia, Poliuria, Haus, Proteinuria, Hematuria
Reproduksi Penurunan Libido. Impotensi, Amenorhoe, Infertilitas, Ginekomasti
Letargi, Malaise, Anorexia, Drawsiness, Tremor, Mioklonus,
Saraf
Asteriksis, Kejang, Penurunan Kesadaran, Koma
Tulang Renal Osteidistrofi (ROD), Tulang Kalsifikasi Di Jaringan Lunak
Sendi Gout, Pseudogout, Kalsitikasi
Sumber : Askandar T, Poernomo Boedi S, Chairul Effendi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan

45
2.4.6. Pemeriksaan Penunjang Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Gambaran Laboratoris penyakit ginjal meliputi :

a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,

dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.

Kadar kreatinin serum saja tidak bisa digunakan untuk memperkirakan fungsi

ginjal.

c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hypokalemia, hiponatremia, hiper atau

hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.

d) Kelainan urinalisis meliputi proteiuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi :

a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.

b) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa

melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh

toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.

c) Pielografia ntegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi

d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,

korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista massa,

kalsifikasi.

e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi

46
Gambar 2.16. : Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan penunjang lain pada PGK

2.4.6. Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronis (PGK)


Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap penyakit

dasarnya, pencegahan dan terapi kondisi komorbid, memperlambat pemburukan

(progression) fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular,

pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau

transplantasi ginjal. Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik

sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

47
Tabel 2.9. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
Derajat LFG (mlmnt/1,73m2) Rencana tatalaksana
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
1 ≥ 90 pemburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil resiko kardiovaskular.
Menghambat pemburukan (progression) fungsi
2 60 – 89
ginjal.
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi.
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal.
5 < 15 Terapi pengganti ginjal.
Sumber : Papdi

Dalam praktek sehari-hari tatalaksana PGK adalah :

a) Diet Tinggi Kalori, Rendah Protein, Rendah Garam (TKRPRG)

 Protein 0,6 – 0,8 gr / kg/ hari

 Kalori minimal 30 kal / kg / hari

 Garam (Na) 40 – 120 meq / hari

 Hindari susu, yoghurt, es krim, ikan, daging, sayur-sayuran, buah-

buahan, air kaldu

b) Pengaturan asupan cairan

Balans cairan → Input = Produksi urin + 500 cc (sesuaikan dengan status

hidrasi penderita)

48
c) Pengelolaan Hipertensi

Menggunakan anti-hipertensi golongan Ace-Inhibitor (ACEI), Calcium

Channel Blocker (CCB), Angiotensin Receptor Blocker (ARB), Loop Diuretic

(Furosemide)

Ingat ! → jangan memberikan Golongan diuretik hemat kalium (Spironolakton)

→ bahaya hiperkalemi.

d) Kontrol gula darah

Bila gagal ginjal akibat penyakit diabetes (Nefropati diabetic)

Hindari penggunaan metformin (dapat terjadi laktat asidosis) dan Long-acting

Sulfonilurea (risiko hipoglikemi).

e) Kontrol Dislipidemia

Target LDL < 100, disarankan menggunakan golongan statin

f) Kontrol Hiperfosfatemia

Pemberian CaCO3 tablet 3 x 1 / hari (sekaligus mengendalikan hipokalsemi)

g) Kontrol Renal Osteodistrophy (ROD)

Pemberian cavit-D3 tablet 3 x 1 tablet / hari

h) Koreksi Anemia

 Idealnya menggunakan injeksi hormone eritropoietin (EPO) →

Kendala : mahal, efek baru tampak setelah 2-4 minggu.

 Transfusi PRC (Efek langsung tampak, relative murah, risiko tertular

penyakit , misal : hepatitis, HIV dsb)

49
i) Koreksi Hiperkalemia

 Injeksi D40 + Insulin 2 unit (4 unit jika menderita DM), jarak

pemberian 1 jam, disesuaikan dengan kadar kalium

 Kadar kalium 5,5 – 6 : 1 x pemberian

 Kadar kalium 6 – 6,5 : 2 x pemberian

 Kadar kalium 6,5 – 7 : 3 x pemberian

 Kadar kalium > 7 : 4 x pemberian

 Injeksi Ca gluconas, IV bolus perlahan (± 15 menit) , jarak pemberian

½ jam, disesuaikan dengan kadar kalium

 Kadar kalium 5,5 – 6 : 1 x pemberian

 Kadar kalium 6 – 6,5 : 2 x pemberian

 Kadar kalium 6,5 – 7 : 3 x pemberian

 Kadar kalium > 7 : 4 x pemberian

50
 Langkah diatas merupakan langkah yang harus segera dilakukan ketika

terjadi hiperkalemi.

 Bila kadar kalium telah mencapai normal (< 5,5) → untuk menjaga

agar kalium tetap normal, diberikan Ca polystyrene sulfonate

(Kalitake®), suatu “Kalium Exchange Resin”. Cara pemberian :

 Dosis Kalitake® 5 gram

 Dalam 30 cc air

 Diberikan 3 x 1 sachet / hari

 Diminum 30 menit sebelum makan

 Tiap 3 hari kalium diperiksa ulang

j) Koreksi acidosis metabolic

 Berikan natrium bicarbonate (Nabic) sesuai kebutuhan

 Target HCO3 → 20 – 22 meq


Cara menghitung kebutuhan Nabic :

(25 – HCO3 saat itu) x 0,6 x berat badan

 Cara Pemberian :

 ½ bagian diberikan dalam waktu 4 – 6 jam

 ½ bagian diberikan dalam waktu 18

51
k) Hemodialis

j) Lain-lain

 Hiperusrisemia → Allopurinol 0 -0 – 100 mg

 Keluhan Gastritis → Gol. PPI, H2-Blocker, Anti-emetik

 Pruritus (Gatal2) → Inj.Diphenhydramine (Duradryl®) 1-2 cc i.m, bisa

s/d 3 x /hari

 Kejang → Inj.Diazepam 5-10 mg (½ - 1 ampul) i.v. atau

Inj.Phenobarbital 30 – 50 mg i.v.

2.4.6. Pencegahan Penyakit Ginjal Kronis (PGK)


Dokter anak berperan dalam skrining pasien anak dengan risiko tinggi,

mencegah kerusakan ginjal, dan merubah perjalanan penyakit PGK dengan

melakukan terapi awal dan pengawasan progresifitas penyakit. Pencegahan ini

memiliki 3 aspek penting yaitu pencegahan:

 Primer, bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi pemaparan terhadap

faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit ginjal. Misalnya strategi untuk

mengurangi pemaparan antenatal terhadap infeksi, pencegahan penyakit ginjal

52
yang diturunkan dengan cara konseling genetic, pencegahan obesitas, deteksi

awal dan penanganan hipertensi dan kencing manis.

 Sekunder, dimana pencegahan terjadinya progresifitas kerusakan ginjal dari

PGK stadium 1-5 dengan melakukan penanganan yang tepat pada setiap

stadium PGK.

 Tersier, berfokus pada penundaan komplikasi jangka panjang, disabilitas atau

kecacatan akibat PGK dengan cara renal replacement therapy dialysis atau

transplantasi ginjal.

2.4.7. Prognosis Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Gambar 2.17 : Prognosia PGK dan Kategori Albuminuria


Sumber : KDIGO (2012) Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease

53
Prognosis pasien PGK berdasarkan data epidemiologi dan angka kematian

meningkat sejalan dengan fungsi ginjal yang memburuk. Penyebab kematian

utama pada PGK adalah penyakit kardiovaskular. Dengan adanya renal

replacement therapy dapat meningkatkan angka harapan hidup pada PGK stadium

5. Transplantasi ginjal dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan. CAPD

meningkatkan angka harapan hidup dan quality of life dibandingkan hemodialysis

dan dialysis peritoneal.

54
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. GS

Umur : 46 Tahun

Jenis Kelamin : Laki – Laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Pedidikan Terakhir : SLTA

Alamat : Tenggor Balongpanggang RT 01/ RW 03, Kel.

Tenggor, Kec. Balongpanggang, Gresik, Jawa Timur

Tanggal MRS : 14 Januari 2017 (Pukul : 12.45 WIB)

Tanggal Periksa : 14 Januari 2017 (Pukul : 19.10 WIB)

3.2. ANAMNESA

3.2.1. Keluhan Utama

Badan Lemas

3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengatakan badan terasa lemas sejak 2 hari yang lalu sebelum

MRS setelah HD reguler hari jum’at. HD regular seminggu 2x hari selasa

dan jum’at di RS Petrokimia Gresik. Badan terasa menggigil disertai mual

tanpa muntah, perut bagian uluhati terasa nyeri. Nafsu makan menurun.

55
Bisa makan namun sedikit-sedikit maksimal ± 3 sendok setiap makan.

Makan sehari 2 kali. Minum sedikit-sedikit. BAK sedikit. BAB normal.

3.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu

- Diabetes Melitus tipe 2 sejak ± 5 tahun yang lalu.

- Hipertensi sejak ± 3 tahun yang lalu

- PGK V HD Reguler selasa dan jum’at di Rumah Sakit Petrokimia

Gresik, sejak ± 3 Bulan yang lalu (Oktober 2016) hingga saat ini.

3.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak ada keluarga yang menderita Diabetes Melitus tipe 2

- Tidak ada keluarga yang menderita PGK

- Tidak ada keluarga yang menderita penyakit jantung, paru-paru,

dan tumor

3.2.5. Riwayat Alergi

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi obat maupun makanan

3.2.5. Riwayat Penyakit Sosial

Pasien mengaku jarang sekali olah raga serta pola makan tidak teratur,

perokok aktif sebelum di diagnosa PGK V pada bulan Oktober tahun

2016 namun sekarang mengaku sudah berhenti total.

56
3.3. PEMERIKASAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak lemah

Kesadaran : Komposmentis

GCS : 456

Tinggi / BB : 171 cm/ 83 kg

Vital Sign :

- Tekanan Darah : 120/80 mmHg

- Nadi : 82 x/menit

- Suhu : 36oC

- Respiration Rate (RR) : 18 x/menit

 Kepala :

- Rambut : Dalam batas normal

- Mata : Pupil isokor, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterus

(/)

- Telinga : Dalam batas normal

- Hidung : Normal, dypsneu ()

- Mulut : Normal, sianosis (), bibir kering (), lidah kotor ()

 Leher :

- Pembesaran kelenjar getah bening ()

57
- Peningkatan JVP (), deviasi trakea ()

 Thorax :

 Paru-paru :

- Inspeksi : Bentuk dada normal

Pergerakan dada simetris bilateral, retraksi (/)

- Palpasi : Fremitus raba dan suara simetris

- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

- Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+)

Ronkhi (/), Wheezing (/)

 Jantung :

- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

- Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V midclavicula line

sinistra

- Perkusi : Batas jantung kanan parasternal line dekstra

Batas jantung kiri mid clavicular line sinistra ICS V

- Auskultasi : S1 S2 tunggal, Murmur () Gallop ()

 Abdomen :

- Inspeksi : Tampak datar, scar ()  + 

- Auskultasi : Bisisng usus (+) normal


  
- Palpasi : Soefl, nyeri tekan epigastrium (+)

Hepar/ Lien : tidak teraba


  

58
- Perkusi : Timpani

 Retroperitoneal

- Plank test : (+) Kiri

 Ektremitas :

- Akral hangat + +
+ +

- Edema  
 

59
3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tabel 3.1. : Pemeriksaan Laboratorium Tanggal


Hasil Hasil
Nama Pemeriksaan
(14/01/2017) (16/01/2017)
DL (DARAH LENGKAP)
Hb 6,2 g% 8,1 g%
Leukosit 8.300 12.100
Laju Endap Darah  
1 /0 /1 /30 /20 /4 
Eo. 1 
Ba. 0 
Hitung Jenis St. 1 
Sg. 30 
Ly. 20 
Mo. 4 

PCV 20 % 22 %

Trombosit 390.000 µL 303.000 µL


MCV 96 
MCH 30 
MCHC 31 
GDA 301 mg/ dL 141 mg/ dL
FAAL GINJAL LAKI-LAKI
BUN 26,1 g/dL 
Serum Kreatinin 3,85 g/dL 

60
FAAL HATI LAKI-LAKI
SGOT  
SGPT  
ELEKTROLIT
Natrium  140
Kalium  3,8
Chlorida  103

3.5. RESUME

Pasien datang dengan keluhan seluruh badan terasa lemas. Dari anamnesa

didapatkan badan terasa lemas sejak 2 hari yang lalu sebelum MRS setelah HD reguler

hari jum’at. HD regular seminggu 2x hari selasa dan jum’at di RS Petrokimia Gresik.

Badan terasa menggigil disertai mual tanpa muntah, perut bagian uluhati terasa nyeri.

Nafsu makan menurun. Bisa makan namun sedikit-sedikit maksimal ± 3 sendok setiap

makan. Makan sehari 2 kali. Minum sedikit-sedikit. BAK sedikit. BAB normal.

Riwayat penyakit dahulu diantaranya Diabetes Melitus tipe 2 sejak ± 5 tahun yang lalu,

PGK V HD Reguler selasa dan jum’at di Rumah Sakit Petrokimia Gresik, sejak ± 3

Bulan yang lalu (Oktober 2016) hingga saat ini.

Dalam pemeriksaan fisik status internistik didapatkan Keadaan umum pasien

tanpak lemah. Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 82 x/menit, Suhu 36oC, Respiration

Rate (RR) 18 x/menit. Dari pemeriksaan kepala leher ditemukan konjungtiva anemis,

dari pemeriksaan thorax dalam batas normal, dari pemeriksaan abdomen ditemikan

61
nyeri tekan epigastrium dan pada ekstremitas tidak ditemukan edema. Dari

pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap pada tanggal (14/01/2017)

didapatkan Hb 6,2 g%, Leukosit, PCV 20 % dan GDA 301 mg/ dL. Sedangkan

pemeriksaan faal ginjal laki-laki menunjukkan BUN 26,1 g/dL dan SC 3,85 g/dL.

Dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan hasil

yang mendukung diagnosa PGK V HD Reguler. Sehingga diberikan terapi : Inf.

Kidmin 1 fl, Transfusi PRC 2 kolf/hari sampai Hb 89 g%., Inj. Tomit 3x1 (prn), Inj.

Pantoprazole 2x1, Novorapid 3x8 unit. Karena tensi dalam batas normal sehingga obat

Hipertensi di stop . Koreksi kalium. Klasifikasi penyakit ginjal kronik menurut Kidney

Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012 di dasarkan atas tiga hal yang

disingkat menjadi “CGA” : Cause (diagnosis etiologi/ penyebab), GFR / Glomerulus

Filtration Rate, Albuminuria.

62
Tabel 3.2. : Problem List  Initial Assessment  Planning
Problem List
Initial Assessment Planning
TPL PPL

HD regular PGK V PGK V on HD Planning Diganosa :


BUN : 26,1 g/dL Reguler - BUN, SC, Albumin.
SC : 3,85 g/dL Planning Terapi :
Planning Diet :
- Diet Tinggi Kalori,
Rendah Protein,
Rendah Garam
(TKRPRG)
Planning Monitor :
- KU, Balance cairan,
DL, UL

Lemas Anemia Anemia e.c. PGK V Planning Terapi :


Konjungtiva anemis - Inf Kidmin 1 fl
Hb : 6,2 g% - Transfusi PRC 1
PCV : 20 % kolf/ hari sampai Hb
89 g%

Nyeri Perut Dispepsia Dispepsia Planning Diagnosa :


Nausea - Elekttrolit
Planning Terapi :
- Inj. Tomit 3x1 (prn)
- Inj. Pantoprazole
2x1

Hiperglikemi DM Tipe 2 DM Tipe 2 Planning Diagnosa :


GDA : 301 mg/dL - GDP
Planning Terapi :
- Novorapid 3x8 unit

63
BAB IV

KESIMPULAN

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) / Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu

proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi

ginjal progresif, dan pada umumnya berakhir pada gagal ginjal. Selanjutnya, gagal

ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang

irreversible2. Proses penurunan fungsi ginjal ini berjalan progresif sehingga pada

akhirnya akan terjadi Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End State Renal Disease

(ESRD)3.

Penyakit ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak

massa nefron ginjal. Sebagian besar penyakit ini merupakan penyakit parenkim ginjal

difus dan bilateral, meskipun lesi obstruktif pada traktus urinarius juga dapat

menyebabkan Penyakit ginjal kronik. Etiologi Penyakit Ginjal Kronis antara lain

penyakit peradangan (ex : glumerulonefrtitis), penyakit vaskuler (ex : nefrosklerosis

benigna, stenosis arteria renallis), gangguan ikatan ginjal (ex : SLE, poliarteritis

nodusa, sklerosis sistemik progresif), gangguan kongenital dam herediter (ex : penyakit

ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal), penyakit metabolic (ex : diabetes melitus,

gout), nefropati toksik (ex : penyalagunaan analgesic, nefropati timah), nefropati

obstruksi (ex : batu, neoplasma, hipertrofi prostat striktur uretra).

64
Manifestasi klinis Perubahan Keseimbangan Na+ dan Status Volume, K+

(Hiperkalemia), mineral dan Tulang selain itu juga terjadi asidosis metabolic,

abnormalitas kardiovaskular dan paru, abnormalitas hematologic, abnormalitas

neuromuscular, abnormalitas gastrointestinal, abnormalitas endokrin dan metabolik,

abnormalitas dermatologik.

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap

penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi kondisi komorbid, memperlambat

pemburukan (progression) fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit

kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti ginjal

berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

65

Anda mungkin juga menyukai