Anda di halaman 1dari 72

PENYEGARAN AVIASI TYPE B Hal : 1 dari 72

PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

BAB I PENDAHULUAN
Aviation turbine fuel (bahan bakar pesawat terbang bermesin turbin/jet)
tergolong dalam mesin pembakaran dalam (internal combustion engine), yaitu
mesin yang gas hasil pembakarannya berfungsi sebagai fluida kerja atau
langsung sebagai penggerak mesin. Sejarah perkembangan mesin jet dimulai
saat Hero membuat mainan berbentuk bola yang dapat berputar dengan
tenaga dorong uap air (steam) pada 100 tahun sebelum masehi. Enam belas
abad kemudian Leonardo da Vinci merancang alat yang menggunakan tenaga
dorong gas panas untuk menghasilkan tenaga mekanik dan pada abad 17
beberapa investor mulai mengembangkan alat ini untuk mengoperasikan suatu
mesin.

Gambar 1.1 Mainan Hero, sebuah konsep mesin jet

Pengembangan mesin turbine untuk pesawat terbang dimulai sekitar tahun


1930 baik di Inggris ataupun di Jerman. Frank Whittle (Inggris) memperoleh
paten untuk mesin turbine pada 1930. Baik Inggris ataupun Jerman mulai
menggunakan pesawat tempur mesin jet pada akhir Perang Dunia (PD) II .

1.1 BAHAN BAKAR MESIN TURBINE

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
PENYEGARAN AVIASI TYPE B Hal : 2 dari 72

PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B


Pertimbangan utama yang dipilih sebagai bahan bakar mesin turbine adalah
ketersediaan yang melimpah dan pilihan jatuh pada kerosene. Setelah PD II,
U.S. Air Force mulai menggunakan bahan bakar “wide cut”, yaitu bahan bakar
mesin turbin yang rentang fraksinya meliputi gasoline s.d. kerosene. Sekali lagi
yang menjadi pertimbangan adalah ketersediaan yang melimpah.
Bahan bakar wide cut memiliki kelemahan yaitu penguapan yang terlalu tinggi,
sehingga:
a. Resiko loss karena penguapan pada ketinggian lebih besar
b. Resiko kebakaran saat handling di darat lebih besar
c. Kemungkinan selamat dari kecelakaan pesawat terbang lebih rendah
Wide cut saat ini masih digunakan di Canada dan Alaska (U.S.) karena sesuai
digunakan pada musim dingin, tetapi bahan bakar pesawat dari fraksi kerosene
(Jet A dan Jet A-1) adalah yang mendominasi dunia. Perbedaan Jet A dan Jet
A-1 adalah pada batasan freezing point. Jet A-1 memiliki batasan maksimum
freezing point lebih rendah dibanding Jet A. (Jet A-1: -47C dan Jet A: 40 C).
Freezing point yang lebih rendah menjadikan Jet A-1 lebih dapat diterima di
seluruh dunia (dapat mengakomodir daerah kutub), sedangkan Jet A saat ini
hanya digunakan di Amerika Serikat.

1.2 KONSUMSI BAHAN BAKAR


Pada Tabel 1.1. memuat konsumsi bahan bakar jet mulai dari tahun 1990 s.d.
2001. Tampak bahwa Amerika Serikat merupakan konsumen terbesar (sekitar
37 % dari konsumsi total dunia).

Tabel 1.1 Konsumsi bahan bakar jet dunia

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
PENYEGARAN AVIASI TYPE B Hal : 3 dari 72

PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

1.3 SEJARAH PERKEMBANGAN BAHAN BAKAR JET


1.3.1 Sejarah perkembangan bahan bakar pesawat jet di Inggris
1940: kerosene type, 1 % lubricant + Gasoline untuk mempermudah
start, freezing point - 40°C. Dalam keadaan darurat dipakai
gasoline.
1947: DERD 2482 freezing point - 40°C (obsolete pada tahun 1965).
1960: DERD 2494 jenis kerosene, avtur Atf 650, freezing point - 50°C.
Untuk keperluan sipil komersial maupun militer.
September 1994: DERD 2494 issue 11 diganti dengan Def. Stan. 91-
91/issue 1, jenis kerosene, avtur, freezing point maksimum -
47°C. Untuk keperluan sipil komersial maupun militer.
Catatan :
Spesifikasi bahan bakar pesawat udara di indonesia mengikuti spesifikasi dari Inggris,
yakni Def. Stan. 91-91/issue terakhir.

1.3.2 Sejarah perkembangan bahan bakar pesawat jet di Jerman


1940: dioperasikan pesawat terbang dengan bahan bakar JP-2,
merupakan campuran kerosene dan gasoline. Tidak
dikembangkan lagi setelah tahun 2945.

1.3.3 Sejarah perkembangan bahan bakar pesawat jet militer di USA


1944: JP-1, kerosene type (freezing point -60°C dan sulit
pengadaannya).

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
PENYEGARAN AVIASI TYPE B Hal : 4 dari 72

PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B


1947: JP-3, wide cut dengan RVP 5-7 psi untuk mempermudah
pengadaan.
1951: JP-4, wide cut dengan RVP 2-3 psi, untuk mengurangi loss
karena pendidihan. sekarang digantikan oleh JP-8.
1952 : JP-5, high flash point Avcat, flash point min. 140°F dan freezing
point maks. - 46°C, untuk pesawat angkut US Navy.
1979 : JP-8, flash point min. 100°F, freezing point maks. – 47°C sebagai
supplement Jet A–1 Militer

1.3.4 Sejarah perkembangan bahan bakar pesawat jet Komersial di USA


1959: keluar spesifikasi ASTM D1655, mencakup spesifikasi dua grade
bahan bakar jet tipe kerosene yaitu Jet A dan Jet A - 1, dan satu
grade wide cut yaitu Jet B.
Jet A, freezing point maks. - 40°C, penggunaan domestik di
USA.
Jet A – 1, freezing point maks.- 47°C, penggunaan internasional
Jet B, sama dengan JP-4, untuk keperluan militer/domestik
terbatas di sebagian USA/Canada.

BAB II. UNJUK KERJA BAHAN BAKAR AVTUR

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
PENYEGARAN AVIASI TYPE B Hal : 5 dari 72

PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

2.1 SIFAT UNJUK KERJA


Fungsi utama bahan bakar avtur adalah sebagai sumber tenaga pesawat
terbang, sehingga kandungan energy dan kualitas pembakaran merupakan
property kunci unjuk kerja. Sifat unjuk kerja lainnya adalah stability, lubricity,
fluidity, volatility, non-corrosivity dan cleanliness. Selain sebagai sumber tenaga
bahan bakar juga berfungsi sebagai fluida hidrolik dalam system pengendali
mesin dan sebagai pendingin komponen mesin.

2.1.1 Kandungan Energi


Mesin turbine pesawat terbang menhasilkan tenaga dengan menkonversi
energi kimia yang terdapat dalam bahan bakar menjadi energy mekanik dan
panas. Untuk pesawat terbang, ruang menjadi hal yang pokok, sehingga
jumlah energy yang terkandung dalam sejumlah tertentu bahan bakar menjadi
penting.
Kandungan energy avtur dapat diukur, yaitu dari panas yang dilepas (yang
disebut dengan panas pembakaran) saat sejumlah bahan bakar dibakar pada
kondisi tertentu. Jumlah panas yang dilepas tergantung apakah air yang
terbentuk berupa fasa cair atau fasa uap. Bila air berupa fasa cair, memberikan
panas penguapannya ke dalam proses, maka energy yang dilepas disebut
dengan gross energy content. Sedangkan net energy content lebih rendah
karena air tetap berupa fasa uap. Karena air yang keluar dari saluran buang
mesin berupa uap, maka dalam membandingkan kandungan energy bahan
bakar lebih tepat menggunakan net energy content
Energy content dapat dinyatakan baik secara gravimetric (energy per satuan
massa bahan bakar) atau volumetric (energy persatuan volume bahan bakar).
Dalam International Metric (SI) Unit, energy dinyatakan sebagai megajoule per
kilogram (MJ/kg) dan megajoule per liter (MJ/L). Di Amerika Serikat, digunakan
satuan British thermal units per pound (Btu/lb) dan British thermal units per
gallon (Btu/gal).
Energy content sangat dipengaruhi oleh energy content masing-masing
hydrocarbon penyusunnya. Pengaruh tersebut dapat diprediksi berdasarkan

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
PENYEGARAN AVIASI TYPE B Hal : 6 dari 72

PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B


fuel density, yang juga merupakan fungsi komposisi. Secara umum, avtur
dengan densitas rendah mempunyai energy content gravimetric tinggi dan
avtur densitas tinggi mempunyai energy content volumetric tinggi (lihat Tabel
2.1)

Tabel 2.1 Fuel energy


content vs. Density
Typical Density at 15°C Typical energy content
Fuel (60°F) Gravimetric Volumetric
g/mL Lb/U.S. gal MJ/kg Btu/lb MJ/L Btu/gal
Aviation gasoline 0.715 5.97 43.71 18,800 31.00 112,500
Jet fuel:
Wide-cut 0.762 6.36 43.54 18,720 33.18 119,000
Kerosine 0.810 6.76 43.28 18,610 35.06 125,800

Mana yang lebih menguntungkan, avtur densitas tinggi dengan volumetric


energy content tinggi atau avtur densitas rendah dengan gravimetric energy
content tinggi? Untuk pesawat yang membawa bahan bakar penuh (biasanya
pada pesawat militer) avtur dengan volumetric energy content tinggi (densitas
tinggi) lebih menguntungkan karena energy tersebut dapat disimpan pada
tangki (volume tetap) sehingga dapat menempuh jarak lebih jauh. Untuk
pesawat terbang komersial, pada umumnya hanya diisi cukup bahan bakar
untuk mencapai tujuan yang dimaksud ditambah dengan safety margin.
Apakah dalam hal ini avtur densitas rendah (gravimetric energy content tinggi)
lebih menguntungkan karena dapat meminimumkan berat? Bagaimana dengan
avtur densitas tinggi, apakah potensi dapat menempuh jarak lebih jauh
dieliminir oleh konsukuensi berat avtur yang harus diangkut? Banyak factor
yang perlu dipertimbangkan, tetapi pada umumnya lebih disukai avtur densitas
tinggi (volumetric energy content tinggi). Perlu diingat pula bahwa avtur

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
PENYEGARAN AVIASI TYPE B Hal : 7 dari 72

PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B


diperjualbelikan dengan basis volume tanpa pengaturan harga untuk densitas
dan energy content

2.1.2 Karakteristik Pembakaran


Perbedaan utama antara pesawat terbang bermesin piston dan jet adalah
proses pembakarannya. Dalam pesawat terbang bermesin piston pembakaran
terjadi pada setiap interval waktu tertentu (intermittent) sedangkan pesawat
terbang jet pembakaran berlangsung secara kontinyu. Sehingga mesin mesin
tersebut memerlukan kualitas bahan bakar yang berbeda. Dalam mesin piston,
waktu pembakaran merupakan hal yang utama, tetapi tidak untuk mesin jet.
Dalam mesin jet, sisa partikel karbon dapat terbentuk pada awal proses
pembakaran. Partikel ini selanjutnya akan terbakar saat mencapai nyala dan
habis pada kondisi tersebut. Tetapi partikel tersebut berpijar dalam kondisi
temperature dan tekanan tinggi pada ruang bakar. Penyerapan radiasi infra red
oleh dinding ruang bakar memperbesar panas yang biasa diterima dari
perpindahan panas hasil pembakaran gas. Temperatur dinding ruang bakar
yang tinggi atau horspot dapat menyebabkan mesin pecah dan mesin gagal.
Bila pertikel karbon tidak dapat dikonsumsi dengan sempurna oleh nyala,
karbon tersebut dapat berbahaya saat membentur baling-baling turbine dan
stator yang menyebabkan terjadinya erosi. Deposit karbon juga dapat
menyebabkan kebuntuan lubang pada dinding ruang bakar yang mensuplai
udara ke dalam ruang bakar, hal ini juga akan mengubah arah produk-produk
pembakaran. Bahan bakar dengan kandungan aromatic tinggi, and terutama
bahan bakar dengan kandungan naftalene tinggi, cenderung banyak
mengahasilkan partikel karbon tersebut. Mengingat bahaya yang dapat
ditimbulkkan partikel karbon tersebut, maka kadar aromatic dan naftalena
dalam avtur dibatasi. Partikel karbon yang tidak terbakar habis, merupakan
penyebab timbulnya asap yang keluar dari mesin. Pembentukan asap
ditentukan terutama oleh desain mesin dan kondisi operasi, komposisi bahan
bakar dapat mempengaruhi emisi. Pencampuran bahan bakar dan udara
menghasilkan lebih banyak pembakaran sempurana dan dengan demikian

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
PENYEGARAN AVIASI TYPE B Hal : 8 dari 72

PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B


sedikit terjadi pembentukan karbon. Mesin baru mengemisikan asap jauh lebih
rendah karena desaian mesin yang dapat memperbaiki pencampuran bahan
bakar dan udara.

2.1.3 Kestabilan
Bahan bakar diharapkan stabil (tidak berubah). Faktor yang dapat
menyebabkan sifat bahan bakar menjadi rusak meliputi: waktu (stabilitas
penyimpanan) dan paparan panas tinggi dalam ruang bakar (stabilitas
thermal). Ketidaksatabilan bahan bakar avtur meliputi multi tahapan reaksi
kimia, salah satunya adalah reaksi oksidasi. Hidroperoksida dan peroksida
merupakan produk awal dari reaksi tersebut. Produk ini tetap larut dalam
bahan bakar, tetapi dapat menyerang dan memperpendek umur elastomer
pada system bahan bakar. Reaksi lainnya akan menghasilkan gum terlarut dan
pertikulat tidak terlarut. Produk ini dapat membuntu filter bahan bakar dan
deposit pada permukaan system bahan bakar sehingga menghambat aliran
bahan bakar.

2.1.3.1 Kestabilan dalam Penyimpanan


Kestabilan dalam penyimpanan pada umumnya tidak menjadi masalah karena
pada umumnya bahan bakar sudah disalurkan dalam waktu beberapa minggu
atau beberapa bulan. Kestabilan dalam penyimpanan dapat menjadi masalah
khususnya dalam militer, dimana bahan bakar sering disimpan untuk
penggunaan darurat dan pada depot kecil yang tidak banyak menggunakan
bahan bakar. Avtur yang diproduksi, disimpan dan mendapat penanganan yang
benar seharusnya tetap stabil paling tidak satu tahun. Avtur yang disimpan
lebih lama dan penanganan atau penyimpanan yang tidak benar harus diuji
untuk meyakinkan bahwa avtur tersebut tetap memenuhi spesifikasi sebelum
digunakan.
Penyebab ketidakstabilan avtur lebih didominasi adanya zat-zat reaktif dalam
bahan bakar, sehingga kestabilan dalam penyimpanan sangat dipengaruhi oleh
komposisi bahan bakar. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan;
reaksi ketidakstabilan terjadi lebih cepat dan lebih besar pada temperature di

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
PENYEGARAN AVIASI TYPE B Hal : 9 dari 72

PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B


atas temperature ambien. Untuk mengatasi masalah ini dapat ditambahkan
antioksidan ke dalam bahan bakar.
2.1.3.2 Kestabilan terhadap Panas
Kestabilan panas bahan bakar merupakan hal yang sangat penting mengingat
bahan bakar juga berfungsi sebagai media penukar panas antara mesin dan
udara, Avtur dapat mengambil panas dari pelumas mesin, cairan hidrolik, dan
air conditioner. Avtur yang panas akan mempercepat terjadinya reaksi
pembentukan gum dan partikulat. Gum dan partikulat ini dapat terdeposit pada:
- Filter, akan meningkatkan pressure drop filter dan mengurangi aliran bahan
bakar
- Fuel injector nozzle, merusak bentuk spray, menyebabkan terjadi hot spot
pada ruang bakar
- Pengendali mesin utama, mengganggu kendali aliran bahan bakar dan
system mesin
- Heat exchanger, mengurangi efisiensi perpindahan panas dan aliran bahan
bakar.
Deposit yang terbentuk akan mengganggu operasi dan meningkatkan biaya
perawatan. Aditif antioksidan pada umumnya tidak efektif untuk memperbaiki
kestabilan panas. Permasalahan mesin akibat bahan bakar dengan thermal
stability yang buruk baru akan muncul setelah ratusan bahkan ribuan jam
operasi. Waktu yang lama dan kebutuhan volume bahan bakar yang besar
menjadikan tidak mungkin untuk melakukan uji thermal stability sesuai kondisi
sebenarnya. Sehingga dalam uji thermal stability, bahan bakar di dikondisikan
pada keadaan ekstrem dengan tujuan untuk mengukur pengaruhnya terhadap
bahan bakar dalam periode waktu tertentu.
Peralatan uji didesain untuk dapat memompa bahan bakar melalui permukaan
aluminium panas dan kemudian melalui filter untuk menyaring produk hasil
dekomposisi. Peralatan tersebut bertujuan untuk memodelkan dua area
sensitive suatu mesin: permukaan penukar panas bahan bakar-pelumas dan
nozzle injeksi bahan bakar. Coker (ASTM D 1660) merupakan alat pertama
yang digunakan untuk menguji thermal stability. Saat ini digunakan Jet Fuel
Thermal Oxidation Tester (JFTOT) ASTM D 3241.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 10 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

2.1.4 Lubrisitas
Lubrisitas merupakan kemampuan untuk mengurangi friksi antara dua
permukaan padat yang bergerak relative satu dengan lainnya, sehingga dapat
dikatakan efektifitas material untuk berfungsi sebagai pelumas. Bahan bakar jet
harus memiliki lubrisitas tertentu karena mesin jet bersinggungan dengan
bahan bakar dengan tujuan untuk melumasi bagian mesin yang bergerak
dalam pompa bahan bakar dan unit pengendali laju alir bahan bakar.
Mekanisme pelumasan merupakan kombinasi dari hydrodynamic lubrication
dan boundary lubrication. Dalam hydrodynamic lubrication, lapisan cairan
pelumas mencegah kontak antar dua permukaan padat yang bergerak relatih
satu dengan lainnya. Cairan dengan viskositas tinggia akan memberikan
hydrodynamic lubrication yang lebih baik dibanding dengan cairan yang
viskositasnya rendah. Spesifikasi bahan bakar jet tidak menyertakan batasan
minimum viskositas, spesifikasi distilasi dapat digunakan sebagai batasan
pengganti. Mesin jet didesain untuk menggunakan bahan bakar jet dengan
rentang viskositas tertentu, sehingga bahan bakar jet harus dapat memberikan
hydrodynamic lubrication yang mamadai. Bila lapisan tersebut sangat tipis
maka yang berfungsi adalah boundary lubrication. Pada kondisi tersebut hanya
terjadi kontak pada luasan kecil permukaan. Boundary lubricant adalah
senyawa yang membentuk lapisan anti-aus yang menempel pada permukaan
logam.
Bahan bakar jet merupakan bahan dengan boundary lubricant yang baik. Hal
ini bukan karena komponen dominan dan bahan bakar tersebut, tetapi karena
sejumlah kecil senyawa yang mengandung oksigen, nitrogen dan sulphur.
Bukti hal tersebut adalah hasil lubrisitas yang baik dari bahan bakar dengan
lubrisitas buruk yang ditambah dengan additive (mengandung hetero atom,
yaitu oksigen atau nitrogen atau sulphur) peningkat lubrisitas sejumlah 10 ppm.
Keberadaan senyawa-senyawa alami tersebut dalam bahanbakar jet dapat
hilang oleh proses hydrotreating yang digunakan untuk mengurangi kadar
sulphur dan aromatic dalam bahan bakar. Namun demikian sulphur dan
aromatik yang rendah bukan merupakan ukuran rendahnya sifat lubrisitas.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 11 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Boundary lubricity tidak dapat diprediksi dari sifat ruah fisik atau kimia, hal ini
hanya dapat diukur dengan alat uji tertentu. Bahan bakar dengan kadar
sulphur dan aromat yang sama dapat memiliki sifat lubrisitas yang berbeda.
Pemeriksaan lubricity mulai diberlakukan mulai 1 Desember 2000. Yang
wajib diuji lubricity-nya adalah bahan bakar jet yang komposisinya terdiri dari
95 % hydroprocessed material di mana paling tidak 20 % nya berasal dari
severely hydrotreated material, atau fuel yang berasal dari bahan sintetis
(misalnya dari batu bara).
Kilang Cilacap dan Plaju, memproduksi bahan bakar jet dari unit distilasi
atmosferik dan treating. Sedangkan produksi bahan bakar jet dari Kilang Dumai
dan Balikpapan adalah campuran dari unit distilasi atmosferik & hydrocracking
dengan tekanan kurang lebih 200 psi.

2.1.5 Fluiditas
Bahan bakar jet harus dapat mengalir bebas dari tangki bahan bakar di dalam
sayap ke mesin melalui system bahan bakar mesin pesawat. Fluiditas adalah
kemampuan suatu zat untuk mengalir, tetapi tidak menyatakan sifat fisik. Sifat
fisik untuk kuantifikasi karakteristik fluiditas bahan bakar jet adalah viskositas
dan freezing point.
Bahan bakar jet terpapar oleh temperature rendah baik pada saat terbang dan
di darat pada saat cuaca dingin. Bahan bakar harus tetap dapat mengalir pada
temperature rendah, bila tidak maka aliran bahan bakar dapat terhambat
bahkan berhenti mengalir.

Koefisien ekspansi thermal: cairan akan bertambah violumenya bila temperature


ditingkatkan. Koefisien ekspansi thermal merupakan ukuran laju peningkatan volume dengan
peningkatan temperature. Koefisien ekspansi thermal bahan bakar jet tipe kerosene adalah
0.00099 per derajat Celcius [(°C)-1] [(0.00055°F)-1]. Pada laju ini, satu gallon bahan bakar jet
akan berekspansi 4.0 % bila temperature meningkat sampai 40°C [1.000 gallon at 0°C(32°F):
1.040 gallon pada 40°C (104°F)]. Hubungan ini juga terjadi sebaliknya, bila temperature turun
maka volume juga menyusut.

2.1.5.1 Viskositas

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 12 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Viskositas merupakan ukuran hambatan bahan bakar untuk mengalir di bawah
tekanan gravitasi atau mekanik. Cairan seperti air atau gasoline memiliki
viskositas rendah. Tetapi sirup atau pelumas memiliki viskositas tinggi.
Viskositas cairan meningkat seiring penurunan temperature.
Bahan bakar jet dengan tekanan tinggi diinjeksikan ke dalam mesin turbin
melalui nozzle. Sistem ini didesain untuk menghasilkan spray lembut butiran
bahan bakar yang dengan cepat menguap saat bercampur dengan udara.
Bentuk spray dan ukuran butiran dipengaruhi oleh viskositas bahan bakar. Bila
terlalu tinggi, penyalaan ulang mesin pesawat saat terbang akan mengalami
gangguan. Untuk alas an tersebut, spesifikasi viskositas bahan bakar jet
dibatasi maksimum.
Viskositas bahan bakar mempengaruhi pressure drop pada jalur system bahan
bakar. Viskositas yang terlalu tinggi akan menghasilkan pressure drop yang
tinggi juga, sehingga kerja pompa bahan bakar juga semakin berat untuk
menjaga laju bahan bakar tetap konstan. Viskositas bahan bakar juga
mempengaruhi unjuk kerja unit pengendali system bahan bakar.

2.1.5.2 Freezing Point


Bahan bakar jet tersusun atas lebih dari seribu jenis hidrokarbon, yang masing-
masing memiliki nilai freezing point, sehingga bahan bakr jet tidak membeku
pada satu temperature seperti yang terjadi pada air. Pada saat bahan bakar
didinginkan, hidrokarbon yang memiliki freezing point tertinggi akan membeku
pertama kali, membentuk kristal wax. Pendinginan selanjutnya akan
membekukan hidrokarbon dengan freezing point lebih rendah..Dengan
demikian bahan bakar berubah dari cairan yang homogeny menjadi cairan
yang mengandung sedikit kristal hidrokarbon (wax), lebih banyak Kristal
hidrokarbon dan pada akhirnya akan beku seluruhnya. Freezing point bahan
bakar didefinisikan sebagai temperature di mana Kristal wax terakhir meleleh,
saat bahan bakar (yang sebelumnya didinginkan sampai terbentuk Kristal wax)
dihangatkan. Sehingga freezing point bahan bakar berada di atas temperature
saat bahan bakar membeku seluruhnya.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 13 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Kriteria utama unjuk kerja system bahan bakar adalah pumpability-yaitu
kemampuan untuk memindahkan bahan bakar dari tangki bahan bakr ke
dalam mesin. Pumpability dipengaruhi baik olah fluiditas bahan bakar maupun
desain system bahan bakar. Bahan bakar jet pada umumnya masih pumpable
4 – 15°C (8 - 27°F) di bawah freezing point. Penggunaan additive pencegah
kebekuan dapat mencegah pembentukan kristal wax besar yang dapat
menghambat aliran bahan bakar.

2.1.6 Volatilitas
Volatilitas merupakan tendensi bahan bakar untuk menguap. Terdapat dua
property fisik yang digunakan untuk karakterisasi volatilitas bahan bakar:
tekanan uap dan distilasi. Semakin volatile bahan bakar maka tekanan uap
semakin tinggi dan temperature awal distilasi semakin rendah.
Volatilitas merupakan hal penting, karena bahan bakar harus menguap
sebelum dapat terbakar. Namun demikian terlalu tinggi volatilitas akan
menyebabkan bahan bakar menguap habis atau dapat terjadi vapour lock.
Volatilitas merupakan hal utama yang membedakan antara bahan bakar jet tipe
kerosene dan wide-cut. Bahan bakar jet tipe kerosene relative non-volatil,
dengan tekanan uap sekitar 1 kiloPascal (kPa) atau 0.14 pound per square inc
(psi). Bahan bakar jet wide cut mempunyai nilai Reid vapour pressure di atas
21 kPa (3 psi).
Bahan bakar jet wide cut sesuai untuk cuaca dingin karena mempunyai
viskositas dan freezing point lebih rendah dibanding bahan bakar jet tipe
kerosene.

2.1.7 Korosifitas
Bahan bakar jet kontak dengan berbagai bahan saat distribusi dan
penggunaannya. Merupakan hal penting bahwa bahan bakar tersebut tidak
menimbulkan korosi terhadap bahan-bahan yang bersentuhan dengannya.
Pada umumnya, tangki bahan bakar terbuat dari aluminium, tetapi untuk
system bahan bakar masih mengandung besi dan logam lainnya. Tangki bahan
bakar juga dilapisi pelindung atau coating, dan elastomer yang digunakan pada

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 14 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
beberapa bagian system bahan bakar. Produsen mesin dan pesawat harus
telah menguji kompatibilitas bahan bakar sebelum menentukan bahan yang
akan digunakan dalam system bahan bakar.
Material korosif yang berpotansi ada dalam bahan bakar jet meliputi asam-
asam organic dan merkaptan. Spesifikasi membatasi material-material ini
dalam bahan bakar. Hasil samping dari pertumbuhan mikroba juga dapat
menyebabkan korosi. Kontaminasi dengan sodium, potassium dan logam alkali
lainnya dapat menyebabkan korosi pada bagian turbin mesin.

2.2 KEBERSIHAN
Kebersihan bahan bakar berarti bahan bakar yang tidak mengandung partikulat
padat dan air bebas. Partikulat (karat, kotoran dan lainnya) dapat membuntu
filter bahan bakar dan meningkatkan keausan pompa bahan bakar. Air, selain
tidak terbakar dalam mesin, akan membeku pada temperature rendah pada
saat pesawat terbang tinggi. Es yang terbentuk dapat membuntu filter bahan
bakar dan menghambat aliran bahan bakar. Air juga berfungsi sebagai media
penyebab korosi beberapa logam dan pertumbuhan mikroorganisme.
Selain bersih, bahan bakar juga harus bebas kontaminan (tercampur dengan
bahan bakar lain, surfactant, mikroba dan pewarna).

2.2.1 Pertumbuhan Mikroba


Bahan bakar jet steril saan baru keluar dari pengolahan karena temperature
pengolahan yang tinggi. Tetapi akan segera terkontaminas mikroorganisme
yang terdapat di udara dan air. Mikroorganisme yang biasa ditemukan dalam
bahan bakar termasuk bakteri dan jamur (yeast dan molds). Bentuk padat dari
mikroorganisme tersebut dapat membuntu filter bahan bakar. Beberapa
mikroorganisme juga dihasilkan dari produk samping yang bersifat asam yang
dapat mempercepat timbulnya korosi.
Mikroorganisme membutuhkan air untuk tumbuh, pertumbuhan tersebut
biasanya pada interface bahan bakar-air. Beberapa mikroorganisme
membutuhkan udara untuk tumbuh (aerobic organisms), dan lainnya dapat
tumbuh tanpa adanya udara (anaerobic microorganism). Selain makanan

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 15 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
(bahan bakar) dan air, mikroorganisme juga memerlukan nutrient elementer
tertentu. Bahan bakar jet dapat mensuplai nutrient tersebut; hanya fosfor
walaupun dalam kadar rendah dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Temperatur hangat juga sesuai untuk pertumbuhan
mikroorganisme.
Penganganan yang paling baik terhadap kontaminasi mikroorganisme adalah
pencegahan. Dan pencegahan utama adalah menjaga agar kandungan air
dalam tangki bahan bakar serendah mungkin.
Bila mikroorganisme telah berkembang sampai pada tingkat membahayakan,
dapat ditangani dengan penggunaan biosida dalam kondisi yang terkendali.
Tetapi biosida juga mempunyai keterbatasan. Biosida tidak dapat bekerja
terdapat lapisan film yang berat yang terakumulasi pada permukaan tanki atau
peralatan lain, sebab biosida tidak akan dapat mencapai tempat hidup
mikroorganisme tersebut yang terletak di dalam biofilm tersebut. Dalam kasus
ini, tanki harus di-drain dan dibersihkan.
Dan bahkan bila biosida efektif menghentikan pertumbuhan mikroorganisme,
masih diperlukan untuk menghilangkan akumulasi biomass untuk menghindari
kebuntuan filter. Biosida adalah racun, air di dasar tanki yang mengandung
biosida harus dibuang dengan benar.

2.3 SIFAT KESELAMATAN


Bahan bakar jet bias berbahaya bila tidak ditangani dengan benar. Pertama,
karena bahan bakar jet mudah menyala dan terbakar dengan cepat. Kedua,
paparan terhadap cairan dan uap bahan bakar jet harus dibatasi. Setiap
personil yang menangani bahan bakar jet harus mengetahui Material Safety
Data Sheet.
Cairan tidak dapat terbakar; bila hanya ada cairan bahan bakar tersebut. Dan
uap bahan bakar juga tidak selalu dapat terbakar – campuran uap bahan bakar
dan udara harus dalam flammable range. Campuran dengan uap bahan bakar
yang kurang (lower flammable limit) atau terlalu banyak uap bahan bakar
(upper flammable limit) maka tidak akan terbakar. Untuk bahan bakar tipe

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 16 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
kerosene, lower dan upper flammability limit adalah 0.6 dan 4.7 % vol. di udara.
Untuk bahan bakar jet tipe wide cut adalah 1.3 dan 8.0 % vol. di udara.
Pada umumnya campuran uap bahan bakar Bahan bakar jet tipe kerosene-
udara bahan bakar jet dalam ruang tertutup tidak menghasilkan campuran
flammable range, campuran yang dihasilkan akan di bawah lower flammability
limit. Akan tetapi temperature ambien yang cukup tinggi dapat memanaskan
bahan bakar sehingga ruang uap mencapai flammable range. Titik nyala suatu
bahan bakar merupakan temperature lower flammability bahan bakar pada
kondisi uji tertentu.
Untuk bahan bakar jet wide-cut, campuran uap hidrokarbon dan udara dalam
ruang tertutup dapat berada dalam flammable range. Upper flammability
temperature limit tergantung pada tekanan uap bahan bakr. Bahan bakar
dengan tekanan uap 18 kPa (2.6 psi) mempunyai upper flammability
temperature limit 18°C (64°F).
Bagaimanapun juga, bila tidak terdapat informasi yang cukup terhadap
penanganannya, maka penanganan setiap bahan bakar jet harus dianggap
sebagai bahan yang berpotensi menimbulkan bahaya dan menggunakan
peralatan safety yang memadai.

2.3.1 Flash Point


Flash point adalah temperature terendah dimana uap yang berada diatas
cairan yang dapat menyala akan menyala bila dikenakan sumber api. Pada
temperature flash point, terdapat tepat cukup uap bahan bakar untuk
menghasilkan campuran uap bahan bakar-udara di atas lower flammability
limit. Flash point merupakan fungsi kondisi uji khusus saat flash point diukur.
Flash point bahan bakar jet wide-cut di bawah 0°C (32°F) dan tidak perlu
diukur. Batasan minimum flash point bahan bakar jet tipe kerosene Jet A
adalah 38°C (100°F).

2.3.2 Electrical Conductivity


Muatan listrik statis dapat terjadi saat permukaan-permukaan yang tidak
serupa bergerak satu terhadap lainnya, sebagai contoh, saat bahan bakar

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 17 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
mengalir melalui pipa, selang, valve atau filter. Laju penyebaran muatan listrik
statis sebanding dengan kemampuan cairan tersebut untuk menghantarkan
listrik (konduktivitas listrik). Hidrokarbon murni pada dasarnya non konduktor
(isolator). Bahan bakar jet yang tersusun atas hidrokarbon, memiliki
konduktifitas sedikit lebih baik karena didalam bahan bakar jet terkandung
bahan-bahan yang mudah terionisasi, misal: air, fenol, dan asam-asam
naftenat.
Konduktifitas bahan bakar dinyatakan dalam conductivity units (CU), 1 CU = 1
pico Siemens/meter (1 pS/m) = 1 x 10-12 ohm-1 meter-1.
Kerosene memiliki konduktifitas listrik dalam rentang kurang dari 1 CU sampai
dengan 20 CU. Sebagai pembanding, air yang telah dihilangkan ion-ionnya
memiliki konduktifitas listrik sebesar 10 juta CU.
Penyaringan atau pemompaan tekanan tinggi suatu cairan yang memiliki
konduktifitas listrik rendah, seperti bahan bakar jet, dapat menghasilkan
muatan listrik static yang lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk
menyebarkan muatan listrik static tersebut. Saat muatan akumulasi melebihi
potensial ionisasi udara yang terdapat di atas bahan bakar, maka muatan
tersebut dapat meloncat ke udara sebagai loncatan bunga api. Energi dari
bunga api tersebut dapat memulai suatu ledakan bila cairan tersebut
flammable dan komposisi campuran uap dan udara di sekitar berada dalam
flammable range.
Untuk mencegah ledakan yang disebabkan oleh loncatan muatan static, maka
dalam system penanganan bahan bakar digunakan bonding dan grounding
(atau earthing), membatasi laju pemompaan, dan memberikan waktu untuk
penyebaran muatan (relaxation time), sebelum bahan bakar terekspos ke
udara. Bahan bakar jet militer dan jet A-1 memerlukan penggunaan aditif untuk
meningkatkan konduktifitas listrik bahan bakar. Aditif peningkat konduktifitas
listrik disebut dengan anti-static additive atau static dissipator additive.
Penggunaan aditif tersebut dapat mengurangi bahaya akumulasi muatan saat
penanganan bahan bakar. Aditif tersebut tidak mencegah pembentukan
muatan listrik, tetapi lebih untuk meningkatkan laju penyebaran muatan dengan
peningkatan konduktifitas bahan bakar.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 18 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

2.4 EMISI
Emisi mesin pesawat terbang tidak terlalu mendapat perhatian dibandingkan
dengan emisi yang dihasilkan dari sumber lainnya. Hal ini karena penerbangan
hanya memberikan kontribusi kecil dibandingkan dengan kendaraan darat dan
mesin-mesin industri lainnya.
Terdapat dua sumber emisi pesawat terbang, yaitu mesin jet dan auxiliary
power unit (APU). Sebagian besar bahanbakar jet terbakar saat pesawat
mengudara, sehingga emisi yang terjadi juga di udara bukan di darat. Sampai
dengan saat ini pengaruh emisi pada ketinggian ini masih terus diteliti.
Hidrokarbon yang terbakar sempurna, produknya adalah karbon dioksida dan
air. Namun pada saat terbakar, terbentuk emisi lain seperti sulphur oksida,
nitrogen oksida, hidrokarbon yang tidak terbakar dan partikulat (jelaga). Hal ini
disebabkan karena terdapat kandungan sulphur dan nitrogen dalam bahan
bakar jet walaupun sangat rendah dan dipengaruhi pula oleh desain mesin dan
kondisi operasi.
International Civil Aviation Organization (ICAO) telah menetapkan batasa emisi
nitrogen oksida, karbon monoksida, hidrokarbon yang tidak terbakar, dan asap
dari mesin jet komersial. Batasan ini ditetapkan untuk pesawat saat siklus
landing dan take-off (LTO) untuk membatasi emisi pada level dekat daratan,
selain itu juga secara tidak langsung membatasi emisi pada saat pesawat
mengudara.

2.4.1 Karbon Dioksida


Merupakan gas rumah kaca dan menimbulkan perubahan iklim. Penerbangan
memberikan kontribusi kecil terhadap karbon doioksida. Pada tahun 1992,
emisi penerbangan sekitar 2 % dari total dan proyeksi untuk tahun 2050 adalah
sekitar 3 % dari total. Emisi karbon dioksida secara langsung terkait dengan

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 19 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
konsumsi bahan bakar dan dapat dikurangi dengan peningkatan efisiensi
mesin dan struktur mekaniknya.

2.4.2 Uap Air


Merupakan produk utama pembakaran. Emisi uap air di darat tidak begitu
mendapat perhatian, tetapi uap air di ketinggian dapat menyebabkan
pembentukan awan (contrail) dan pembentukan awan cirrus. Awan buatan dan
pembentukan awan cirrus dianggap memberikan kontribusi terhadap
perubahan iklim.

Sumber: http://en.wikipedia.org 18 Maret 2012


Gambar 2.1 Contrail yang terbentuk dari gas buang pesawat jet

2.4.3 Sulfur Oksida


Merupakan hasil dari pembakaran yang mengandung senyawa sulphur dalam
bahan bakar, dan dengan demikian proporsional terhadap kadar sulphur dalam
bahan bakar. Emisi SOx memberikan kontribusi pembetukan aerosol dan
partikulat.
Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat tren dunia untuk menggunakan bahan
bakar gasoline dan diesel dengan kadar sulphur rendah bahakan beberapa
Negara saat ini (atau beberapa tahun mendatang) telah menetapkan batasan
mendekati nol. Pengurangan kadar sulphur ini belum diterapkan dalam bahan

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 20 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
bakar aviasi; sampai dengan saat ini batasan maksimum kadar sulphur masih
3,000 ppm meskipun rata-rata kadar sulphur dalam bahan bakar aviasi
berkisar antara 500 s.d. 1,000 ppm.
Pengurangan kadar sulphur secara signifikan dapat mempengaruhi property
bahan bakar yang lain, yang harus dipertimbangkan sebelum dilakukan
perubahan.

2.4.4 Nitrogen Oksida


Nitrogen oksida terbentuk dari oksidasi nitrogen di atmosfir pada temperature
tinggi dalam ruang bakar. Bahan bakar yang mengandung senyawa yang
berikatan dengan nitrogen juga akan menghasilkan pembentukan NOx. Kadar
nitrogen dalam bahan bakar berkisar antara nol s.d. 20 ppm (tidak ada batasan
dalam spesifikasi)
Pembentukan NOx yang dipengaruhi oleh temperature maksimum local yang
mencapai ruang bakar, juga tergantung pada desain mesin dan kondisi
operasi. Desain mesin saat ini berusaha meningkatkan kesempurnaan
pembakaran lebih cepat dalam temperature pembakaran yang seragam dan
dengan demikian menurunkan emisi NOx.
Faktor emisi NOx untuk pesawat komersial modern adalah sekitar 4 g NOx per
kg bahan bakar pada saat pesawat diam. Bahan bakar dengan kandungan
senyawa nitrogen 20 ppm akan memberikan 66 mg NO2 per kg bahan bakar,
sekitar 1.5 % dari total.
Emisi meningkat saat take off, menanjak dan jelajah. Senyawa nitrogen akan
memberikan kontribusi emisi NOx walau dalam persentase kecil pada kondisi
tersebut. Emisi NOX mendapat perhatian karena memberikan kontribusi
pembentukan ozone di darat.

2.4.5 Partikulat
Partikulat Hidrokarbon yang tidak terbakar terjadi akibat pembakaran yang
tidak sempurna. Bila konsentrasinya cukup tinggi, maka partikulat akan tampat
sebagai asap atau jelaga yang keluar dari mesin. Sifat bahan bakar
berpengaruh terhadap emisi ini. Korelasi emisi partikulat terhadap property

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 21 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
bahan bakar meliputi kandungan hydrogen, rasio hydrogen/karbon, smoke
point, aromatic dan naftalena. Desain mesin dan kondisi operasi lebih
berpengaruh terhadap pembentukan partikulat dibandingkan property bahan
bakar.
Partikulat di darat dapat menyebabkan pembentukan haze dan fog yang
berbahaya bila terhirup. Pengaruh partikulat di ketinggian masih terus dalam
penelitian.

Sumber: http://en.wikipedia.org 18 Maret 2012


Gambar 2.2 Haze yang terbentuk di suatu kota

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 22 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

Sumber: http://en.wikipedia.org 18 Maret 2012


Gambar 2.3 Fog yang terbentuk di suatu kota

BAB III. SPESIFIKASI BAHAN BAKAR PENERBANGAN

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 23 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Spesifikasi produk adalah suatu mekanisme di mana produsen dan pengguna
suatu produk melakukan identifikasi dan pengendalian property yang
diperlukan agar produk tersebut memberikan unjuk kerja memuaskan dan
reliabel.

Bahan bakar Jet Sipil


Terdapat dua organisasi dunia yang berperan dalam penyusunan dan
pengendalian spesifikasi bahan bakar aviation turbine (bahan bakar jet), yaitu
the American Society for Testing and Materials (ASTM) dan the United
Kingdom Ministry of Defence (MOD). Spesifikasi yang dikeluarkan oleh dua
organisasi tersebut mirip tetapi tidak sama. Beberapa Negara lain juga
mengeluarkan spesifikasi nasional masing-masing untuk bahan bakar jet, tetapi
pada dasarnya mirip atau sepenuhnya mengacu pada ASTM atau MOD. DI
Indonesia, spesifikasi bahan bakar penerbangan ditentukan oleh Direktorat
Jenderal Migas dan mengacu pada MOD. Di Commonwealth of Independent
States (CIS) yang anggotanya adalah negara-negara bekas Republik Soviet
dan sebagian Eropa Timur, bahan bakar jet mengacu pada spesifikasi GOST.

Bahan bakar jet sintetik. Spesifikasi bahan bakar jet dikembangkan berdasarkan pengalaman
penggunaan bahan bakar jet dari minyak bumi dan sehingga sifat dan sifat bahan bakar jet
menggunakan asumsi bahan bakar jet dari minyak bumi. Bahan bakar yang diproduksi dari
bahan baku lainnya harus terlebih dahulu diuji untuk memastikan bahwa asumsi masih valid.
Bahan bakar jet sintetik yang diproduksi dengan proses Fischer Tropsch telah disetujui untuk
digunakan sebagai komponen campuran dalam bahan bakar jet konvensional baik dalam
ASTm D1655 dan DEF STAN 91-91. Bahan bakar jet sintetik tersebut disetujui setelah melalui
kajian yang mendalam. Persetujuan diberikan khusus untuk produk yang dihasilkan pada lokasi
tertentu.

American Society for Testing and Materials (ASTM)


ASTM terdiri atas komite-komite. Subcommittee J dari Committee D-2,
Petroleum Products and Lubricants, adalah yang bertanggung jawab dalam
penyusunan spesifikasi bahan bakar penerbangan. ASTM merupakan
organisasi consensus standard. Hal ini memberikan keyakinan bahwa

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 24 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
spesifikasi yang dihasilkan telah mempertimbangkan atau dipengaruhi oleh
kepentingan dan berbagai kelompok, meliputi:
 Pengolah bahan bakar jet (refiner).
 Organisasi Pengolahan Minyak.
 Organisasi Pemasaran Minyak.
 Pemasok aditif dan peralatan.
 Pembuat pesawat dan mekanik pesawat.
 Pembuat mesin pesawat.
 Lembaga pemerintah
 Konsultan dan kelompok yang berkepentingan
Komite D-2 juga berkoordinasi dengan Coordinating Research Council (CRC)
bial diperlukan data teknik untuk menetapkan spesifikasi atau pengembangan
metode uji.

ASTM D 1655 The Standard Specification for Aviation Turbine Fuels memuat
dua spesifikasi bahan bakar jet tipe kerosene, yaitu Jet A dan Jet A-1.

UK MOD, di Negara Inggris (United Kingdom = UK) terdapat kesepakatan


bersama penggunaan spesifikasi bahan bakar jet antara sipil dan militer. UK
Civil Aviation Authority telah setuju untuk mendelegasikan kewenangan teknik
mengenao spesifikasi sipil ke Ministry of Defence (MOD). The Technical
Authority for Defence Standard 91-91 (dan MOD untuk spesifikasi selain bahan
bakar penerbangan) berada di bawah Defence Fuel Group (DFG). QinetiQ
dikontrak oleh DFG untuk memberikan dukungan teknik dan administrative.
Perubahan spesifikasi dibuat melalui konsultasi dengan Aviation Fuel
Committee (AFC) yang mengadakan pertemuan tiap tahun, biasanya bulan
April. AFC didukung oleh grup-grup kecil sebagai advisor, yang berasal dari
produsen, pengguna, Original Equipment Manufacturer (OEM) dan lembaga
regulasi. Perubahan spesifikasi teknik yang diusulkan diperdebatkan oleh grup-
grup ini sebelum diteruskan untuk didiskusikan secara menyeluruh dengan

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 25 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
AFC. Defence Standard 91-91 biasanya direvisi tiap tiga tahun sekali meskipun
bila diperlukan perubahan mendesak maka akan dikeluarkan amandemen.

Defence Standard 91-91, The United Kingdom Ministry of Defence


mengeluarkan spesifikasi ini (awalnya DERD 2494) untuk Jet A-1, yang banyak
digunakan sebagai bahan bakar penerbangan sipil di luar Amerika dan CIS.
Hanya terdapat sedikit perbedaan antara DEF STAN 91-91 Jet A-1 dan ASTM
D 1655 Jet A-1.

GOST 10227, merupakan spesifikasi yang dikeluarkan Rusia mencakup


bahanbakar tipe kerosene ringan, TS-1, digunakan di CIS dan Eropa Timur,
seperti halnya T-1, T-2 dan bahan bakar Grade RT.

Joint Checklist, merupakan kelompok perusahaan minyak, yang disebut


dengan Joint Inspection Group (JIG), yang mengoperasikan system bahan
bakar penerbangan secara internasional yang telah menggabungkan
persyaratan ketat dari ASTM D 1655 dan DEF STAN 91-91 ke dalam satu
dokumen yang disebut dengan: Aviation Fuel Quality Requirements for Jointly
Operated System (AFQRJOS). Publikasi ini sering disebut dengan Joint
Checklist.

International Air Transport Association (IATA), mempublikasikan dokumen


dengan judul Guidance Material for Aviation Turbine Fuel Specifications.
Dokumen ini berisi spesifikasi empat bahan bakar jet, yaitu tiga bahan bakar
tipr kerosene (Jet A, Jet A-1, dan TS-1) dan satu bahan bakar wide-cut (Jet B).
Jet A sesuai ASTM D 1655, Jet A-1 sesuai persyaratan Joint Checlist, TS-1
sesuai persyaratan GOST Russia dan Jet B sesuai persyaratan CGSB
Canada. The IATA Aviation Fuel Working Group (AFWG) memberikan
dukungan kepada International Specification Liason Group. Kelompok ini
mengadakan pertemuan secara reguler untuk bertukar informasi tentang
perubahan yang hendak dibuat untuk beberapa spesifikasi bahan bakar Jet.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 26 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
ASTM D 6615, spesifikasi ini mencakup bahan bakar jet wide-cut (Jet B). Jet B
pada awalnya masuk dalam spesifikasi ASTM D 1655, kemudian dipisah
tersendiri sejak tahun 2001. The Canadian General Standards Board
specification CGSB-3.22 juga memuat Jet B wide- cut. Hanya terdapat sedikit
perbedaan pada spesifikasi tersebut.

Bahan Bakar Jet Militer


Spesifikasi bahan bakar jet militer biasanya dipisah dengan spesifikasi bahann
bakar jet sipil untuk alas an operasional dan logistic yang berbeda dan juga
karena permintaan unjuk kerja tinggi untuk pesawat jet tempur. Pada Tabel 2.1
tertera bahan bakar jet tempur Amerika Serikat.

Tabel 2.1 Bahan Bakar Jet Tempur Amerika Serikat

Saat ini hanya ada dua bahan bakar yang banyak digunakan militer US, yaitu:
JP-5 oleh Navy dan JP-8 oleh Air Force. Keduanya merupaka tipe kerosene.
Perbedaan utama terletak pada flash point, di samping perbedaan minor
lainnya. Temperatur minimum flash point untuk JP-8 adalah 38°C dan JP-5
adalah 60°C. JP-5 dengan flash point yang lebih tinggi dapat memberikan
derajat keselamatan lebih tinggi dalam penanganan bahan bakar dalam
pesawat carrier.
Pada Tabel 2.2 tertera kesetaraan bahan bakar jet militer yang digunakan oleh
U.S. Military, NATO dan Joint Service Designation. Perbedaan utama bahan

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 27 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
bakar pesawat jet militer dan komersial adalah pada penggunaan aditif. JP-8
dan Jet A-1 memiliki spesifikasi sangat mirip.

Table 2.2 Kesetaraan bahan bakar jet militer yang digunakan oleh U.S. Military, NATO dan
Joint Service Designation

Catatan: JP = Jet Propulsion

Detail persyaratan, spefifikasi produk merupakan dokumen yang secara


periodic di perbaharui. Pada ASTM Standards, suffix mengindikasikan tahun
revisi terakhir, misal D 1655-04 menyatakan bahwa dokumen ini terakhir
direvisi tahun 2004.
Sifat yang dikendalikan oleh spesifikasi tidak semua bergantung satu degan
lainnya. Misal, bila total aromatic meningkat, density, final boiling point, dan
freezing point meningkat, smoke point turun. Pada Tabel 2.3 tertera beberapa
spesifikasi bahan bakar jet sipil.

Tabel 2.3 Perbandingan beberapa spesifikasi (terpilih) bahan bakar jet sipil

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 28 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

Bila ditinjau dari sifat volatilitas dan freezing point, grade bahan bakar jet
adalah sebagai berikut:

1. Kerosene type
Grade Flash point Freezing point
Komersial
Avtur/Jet A-1 min.38°C (100°F) max.- 47°C
Jet A min.38°C (100°F) max.- 40°C

Militer
Avcat/JP-5 min.60°C (140°F) max - 46°C
JP-8 min.38°C (100°F) max - 47°C

2. Wide cut gasoline type


Grade RVP Freezing point
Komersial
Jet B 2 - 3 psi max. - 50°C

Militer

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 29 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Jp - 4/avtag 2 - 3 psi max. - 58°C

3. Special U.S Military Fuels


Grade Flash point Freezing point
JP-9* min.16°C (60°F) max - 54°C
max.27°C (80°F)

JP-10 min.55°C (131°F) max. - 79°C

*dibatasi oleh komposisi kimia

BAB IV. KOMPOSISI BAHAN BAKAR AVTUR


4.1 PENYUSUN BAHAN BAKAR AVTUR

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 30 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Bahan bakar aviation turbine merupakan campuran hidrokarbon. Rentang
ukuran hidrokarbon tersebut (berat molekul atau jumlah atom karbon) dibatasi
oleh persyaratan distilasi, freezing point, naftalena dan smoke point. Bahan
bakar jet tipe kerosine memiliki distribusi karbon antara 8 s.d. 16 jumlah atom
karbon; bahan bakar jet wide cut memiliki distribusi karbon atara 5 s.d. 15
jumlah atom karbon. Kurva distilasi untuk bahan bakar jet tersebut seperti pada
Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Kurva Distilasi ASTM D 86 untuk bahan bakar jet tipe Kerosine dan Wide-Cut

Sebagian besar hidrokarbon yang terdapat dalam bahan bakar penerbangan


adalah paraffin, naphthene atau aromatic. Bahan bakar jet tipe yang sama
dapat berbeda dalam bulk property, karena memiliki proporsi jenis hidrokarbon
yang berbeda.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 31 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Bahan bakar jet tipe kerosene adalah distilat minyak bumi yang lebih berat
dan lebih sukar menguap daripada gasoline, akan tetapi masih lebih ringan dari
gasoil (diesel fuel). Bahan bakar jet tipe kerosene memiliki density berkisar
antara 770 – 830 kg/m3, flash point min. 38°C, dengan rentang didih berkisar
antara 177 – 299°C.
Berdasarkan klasifikasi NFPA 10 maka bahan bakar jet tipe kerosene termasuk
bahan kategori Kebakaran Kelas B atau berdasarkan klasifikasi NFPA 30
termasuk dalam cairan combustible Kelas II, yaitu cairan yang memiliki flash
point pada atau di atas 100°F (37.8°C).

Sifat Hidrokarbon
Dalam Tabel 4.1 tertera titik didih dan freezing point hidrokarbon yang biasa
terdapat dalam bahan bakar jet. Senyawa dengan jumlah karbon yang sama,
titik didih akan semakin meningkat berturut-turut:isoparaffin, n-paraffin,
naphthene dan aromatic. Perbedaan titik didih antara hidrokarbon isoparaffin
dan aromatic untuk jumlah karbon yang sama (40 - 50°C (72 – 90°F)) lebih
besar dibanding perbedaan antara senyawa dengan hidrokarbon yang sama,
berbeda satu jumlah atom karbon (sekitar 20°C (35°F).
Sehingga, senyawa yang mendidih sekitar 225°C (430°F), rentang didih tengah
bahan bakar jet tipe kerosene, mungkin C10 Aromatik, C11 naphthene, dan C12
paraffin.
Freezing point juga meningkat seiring peningkatan jumlah atom karbon untuk
masing-masing kelas tetapi lebih dipengaruhi oleh bentuk molekul. Senyawa
normal paraffin dan aromatic tidak tersubsitusi membeku (mengkristal) pada
temperature lebih tinggi dibandingkan dengankelas hidrokarbon lain dengan
jumlah atom karbon yang sama. Hal tersebut terjadi karena memiliki geometri
sedemikian hingga dapat dengan mudah untuk berhimpitan untuk membentuk
struktur Kristal.

Tabel 4.1 Titik didih dan freezing point hidrokarbon yang biasa terdapat dalam bahan
bakar jet

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 32 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

Pada Tabel 4.3 tertera density dan panas pembakaran untuk beberapa
hidrokarbon yang biasa terdapat dalam bahan bakar jet. Density meningkat
seiring peningkatan jumlah atom karbon dalam kelas yang sama. Untuk
senyawa dengan jumlah atom karbon yang sama, density meningkat berturut-
turut paraffin, naphthene, aromatic.

Tabel 4.3 Density dan panas pembakaran untuk beberapa hidrokarbon yang biasa
terdapat dalam bahan bakar jet

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 33 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

Untuk senyawa dengan jumlah atom karbon yang sama, kandungan energy
per satuan berat meningkat berturut-turut aromatic, naphthene, paraffin.
Dengan basis volume, urutan sebaliknya, paraffin memiliki kandungan energy
paling rendah per satuan volume dan aromatic yang paling tinggi. Bahan bakar
dengan densitas rendah, seperti gasoline, memiliki kandungan energy lebih
tinggi persatuan berat, sedangkan bahan bakar dengan densitas tinggi, seperti
diesel, memiliki kandungan energy lebih tinggi per satuan volume.
Viskositas lebih terkait pada jumlah atom karbon daripada kelas hidrokarbon.
Untuk jumlah atom karbon tertentu, naphthene memiliki viskositas lebih tinggi
dibanding paraffin atau aromatic.

Bahan bakar Missile: JP-9 dan JP-10 merupakan bahan bakar khusus yang diproduksi atas
permintaan untuk aplikasi tertentu, misal: pesawat terbang peluncur missile. Sifat yang
disyaratkan adalah: kandungan energy volumetric maksimum, pembakaran bersih, dan
memiliki sifat yang baik pada temperature rendah. Untuk memperoleh sifat ini, bahan bakar
diformulasikan menggunakan naphthene yang mendekati bentuk murni. Bahan bakar ini hanya
digunakan dalam volume dan situasi tertentu di mana biaya bukan pertimbangan utama.
JP-10 tersusun atas satu jenis hidrokarbon exo-tetrahydrodicyclopentadiene. Hidrokarbon
tersebut memiliki kandungan panas volumetric 39,434 MJ/m3 (141,500 Btu/gal). Sebagai
perbandingan Jet A atau JP-8 memiliki kandungan energy volumetric sekitar 35,000 MJ/m3
(125,800 Btu/gal), sekitar 11 % lebih rendah. JP-9 merupakan campuran tiga jenis hidrokarbon:

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 34 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
methylcyclohexane, perhydronorbornadiene dimer dan exo-tetrahydrodicyclopentadiene (JP-
10). JP-9 memiliki kandungan energy volumetric minimum 39,573 MJ/m3 (142,000 Btu/gal).

Pada Tabel 4.4 tertera hubungan antara kelas hidrokarbon dan property bahan
bakar jet. Normal paraffin memiliki kandungan energy volumetric rendah dan
property alir pada temperature rendah yang buruk. Aromatik memiliki
kandungan energy volumetric tinggi tetapi kualitas pembakaran dan property
alir pada temperature rendah yang buruk. Isoparaffin dan naphthene memiliki
property di antara normal paraffin dan aromatic.

Tabel 4.4 Pengaruh Kelas Hidrokarbon terhadap beberapa property bahan bakar jet.

4.2 HUBUNGAN ANTARA SIFAT DENGAN KOMPOSISI


Dalam campuran, nilai property merupakan rata-rata terbobot dari nilai property
masing-masng komponen. Sifat yang mengikuti hubungan ini disebut dengan

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 35 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
bulk property. Density merupakan bulk property; nilai density campuran
merupakan rata-rata volume densitas dari masing-masing komponen.
Nilai property lain yang ditentukan oleh keberadaan individual komponen dalam
jumlah kecil, atau trace (kurang dari 1,000 ppm dan seringkali kurang dari 100
ppm), dan tidak mencerminkan komposisi bulk campurannya.
Pada Tabel 4.5 tertera property bahan bakar jet yang termasuk dalam bulk
property dan property yang tergantung ada atau tidak adanya komponen dalam
jumlah kecil (trace). Keberadaan trace components dapat berasal dari bahan
bakunya atau dari sumber lain, misal: aditif atau kontaminan.

Tabel 4.5 Bulk dan trace sifats bahan bakar jet

4.3 KIMIA KETIDAKSTABILAN AVTUR


Kestabilan termal merupakan property bahan bakar jet yang sangat penting.
Ketidakstabilan melibatkan pembentukan peroksida dan hidroperoksida, gum
terlarut dan bahan tak larut yang menempel pada permukaan atau membentuk
partikulat.
Ketidakstabilan melibatkan beberapa tahapan reaksi, termasuk tahapan inisiasi
yaitu reaksi oksidasi. Reaktan yang terlibat diantaranya senyawa yang
mengandung nitrogen dan/atau sulphur, asam organic dan olefin.
Keberadaannya biasanya dalam konsentrasi sangat rendah, biasanya dalam
ppm, yang tidak mungkin diidentifikasi dengan teknik analisis virtual.
Kontaminasi juga berperan. Reaksi oksidasi dipercepat oleh keberadaan
logam-logam terlarut, khususnya tembaga (Cu), yang berfungsi sebagai katalis.
Hasil uji thermal stability yang buruk disebabkan oleh pembentukan senyawa
dengan berat molekul tinggi dengan kelarutan rendah dalam bahan bakar.
Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 36 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Perkembangan ketidaklarutan sangat tergantung pada property bulk dan trace.
Produk kimia dan berat molekul hasil reaksiditentukan oleh reaktan yang ada
dalam jumlah kecil (trace). Tetapi saat produk reaksi terbentuk, solvensi bahan
bakar (yang merupakan fungsi komposisi bulk), yang menentukan produk akan
larut atau tidak larut.
Dua bahan bakar, yang masing-masing stabil, bila dicampur kestabilannya bias
berkurang. Di dalam masing-masing bahan bakar tersebut mungkin terdapat
reaktan yang diperlukan untuk membentuk material yang tidak larut. Jadi hanya
saat dicampur reaktan tersebut terbentuk, sehingga proses konversi yang
sebelumnya tidak terjadi menjadi dapat terjadi. Dalam hal ini kelarutan
campuran tersebut juga berperan.

4.4 AIR DALAM BAHAN BAKAR JET


Air dapat berada di dalam bahan bakar jet dalam tiga bentuk; air terlarut dalam
bahan bakar jet, air terpisah dari bahan bakar jet (air bebas) dan sebagai
emulsi bahanbakar-air. Pada dasarnya pasti terdapat sejumlah air yang terlarut
dalam bahan bakar. Air terlarut ini tidak menjadi masalah; air bebas atau emulsi
adalah yang perlu dihindarkan.
Air masuk di dalam bahan bakar jet dapat melalui beberapa sumber :
- air dari proses, dibatasi oleh spesifikasi Water Reaction & MSEP.
- air dapat masuk avtur pada saat avtur ditransfer dengan tanker,
kebocoran sarfas, gelombang laut, water ballast & air pencuci atau
pembilas / pendorong (flushing)
- air dapat masuk avtur pada saat avtur disimpan, karena kondensasi,
kebocoran, pernapasan, air hujan, dan sisa-sisa dari pembersihan
tangki (tank cleaning)
Sepanjang air itu terpisah atau dapat dipisahkan dengan penurasan, tidak akan
menimbulkan masalah.

4.4.1 Air terlarut


Air dapat sedikit terlarut dalam bahan bakar jet dan sebaliknya, bahan bakar jet
dapat sedikit larut dalam air. Jumlah air yang dapat larut dalam bahan bakar jet

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 37 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
meningkat seiring peningkatan kadar aromatic di dalam bahan bakar dan
peningkatan temperature. Air lebih mudah larut dalam benzene disbanding
jenis hidrokarbon lainnya. Monoaromatik akan melarutkan air 5 -10 kali lebih
besar dibanding hidrokarbon jenuh pada jumlah atom karbon yang sama.
Bahan bakar yang kontak dengan air maka bahan bakar tersebut jenuh oleh
air, yaitu bahan bakar telah melarutkan air sesuai kemampuan bahan bakar
melarutkan air. Bahan bakar tipe kerosene yang jenuh air dapat mengandung
40 s.d. 80 ppm air terlarut pada 21°C (70°F). Bila temperature dinaikkan, maka
bahan bakar tersebut akan dapat melarutkan air lebih banyak. Dan sebaliknya
bila temperature bahan bakar yang jenuh air diturunkan, maka air yang terlarut
dalam bahan tersebut akan terpisah dari bahan bakar.
Dengan tidak adanya air bebas, bahan bakar dapat menyerap air dari udara.
Jumlah air yang diserap tergantung dari kelembaban relative (persentase uap
air yang ada di udara, relative terhadap jumlah maksimum air yang dapat
terkandung di udara pada temperature yang sama) udara. Bahan bakar yang
kontak dengan udara yang mempunyai kelembaban relatif 50 % hanya akan
dapat menyerap air setengah dari jumlah air sebagai bahan bakar jenuh air
pada temperature tersebut.
Pernyataan di atas mengasumsikan bahwa bahan bakar dalam keadaan
setimbang dengan air bebas atau butiran air di udara. Bahan bakar yang dekat
dengan permukaan kontak (interface) bahan balar-air atau bahan bakar –
udara akan mencapai kesetimbangan air dalam beberapa menit. Namun
demikian bila wolume minyak demikian besar dan interface kecil – kondisi yang
ada di tanki timbun bahan bakar yang besar – sejumlah bahan bakar akan
berada beberapa meter dari interface. Bila tidak ada pengadukan, maka untuk
mencapai kesetimbangan air untuk bahan bakar yang jauh dari interface
tersebut memerlukan waktu yang sangat lama. Kenyataan, bahan bakar
dalam tanki timbun besar tidak pernah mencapai kondisi kesetimbangan
tersebut dengan sempurna karena temperature ambien dan kelembaban
relative yang berubah-ubah.

4.4.2 Air Bebas

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 38 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Dalam bahan bakar Jet, air bebas terpisah dari fasa cair bahan bakar. Karena
kerapatan air (densitas lebih tinggi) lebih tinggi disbanding bahan bakar jet, air
bebas, karena gravitasi, selalu terbentuk di lapisan bawah dan bahan bakar jet
dilapisan atas. Bila air dan bahan bakar dicampur, pada kondisi normal akan
segera terpisah kembali. Kecepatan pemisahan dan ketajaman interface air-
minyak merupakan indikasi kemampuan bahan bakar untuk memisahkan air
(water separability).
Bila bahan bakar jet –jenuh air didinginkan, maka air bebas akan terpisah,
berbentuk butiran-butiran kecil air yang disebut dengan dispersed water.
Meskipun tidak distabilkan oleh surfaktan, bergabungnya butiran-butiran air
tersebut sangat lambat karena unkurannya yang kecil. Butiran-butiran air yang
tersuspensi akan memberikan kenampakan berkabut (hazy). Kabut ini akan
hilang bila bahan bakar dipanaskan sehingga air tersebut larut ke dalam bahan
bakar kembali.

4.4.3 Emulsi
Emulsi adalah campuran dua cairan yang tidak saling larut di mana terbentuk
butiran-butiran kecil – dengan diameter kurang dari 100 mikrometer – yang
terdispersi secara merata dalam kedua fasa cairan tersebut.
Cairan yang tidak saling bercampur pada dasarnya terpisah bila memiliki
densitas yang berbeda dan/atau tegangan permukaan yang berbeda dan
emulsi dapat terjadi dalam waktu yang lama. Campuran distabilkan oleh
surfaktan yang berada pada permukaan butiran, mencegah antar butiran untuk
tidak saling menyatu.
Cairan yang tidak saling campur memiliki polaritas yang berbeda. Dalam hal air
dan bahan bakar jet, air adalah polar dan bahan bakar jet adalah non polar.
Terdapat senyawa yang mengandung gugus keduanya yaitu gugus polar dan
gugus non polar dalam satu molekul. Dualitas sifat tersebut mengakibatkan
molekul lebih suka berada diantara dua fasa yang tidak saling larut, dengan
gugus polar beribteraksi dengan cairan polar dan gugus non polar berinteraksi
dengan gugus non polar cairan. Molekul ini disebut dengan surfactant (surface
active agents) sebab senyawa tersebut aktif pada permukaan antara dua

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 39 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
cairan yang tidak saling larut. Dan karena zat tersebut bekerja pada interface,
bukan dalam bulk cairan, jumlah kecil akan dapat mempengaruhi property
cairan dengan volume besar.
Surfaktan dapat ditemukan secara alami di dalam bahan bakar, seperti asam
naftenat dan fenol. Surfaktan lainnya dapat terbentuk saat proses pengolahan,
misal asam sulfonat. Surfaktan lainnya dapat terjadi karena kontaminasi pada
system distribusi bahan bakar. Kontaminasi tersebut ridak perlu besar, karena
surfaktan bekerja efektif dalam jumlah kecil. Surfaktan dapat dihilangkan dari
dalam bahan bakar jet dengan melewatkannya melalui clay (clay treating).
Surfaktan dapat menimbulkan masalah meskipun tidak membentuk emulsi
bahan bakar – air. Surfaktan dapat menggagalkan kemampuan filter/separator
untuk menghilangkan air dalam bahan bakar jet. Hanya bahan bakar yang
bersih dan bebas air yang masuk ke pesawat terbang, sehingga dikembangkan
suatu uji untuk mendeteksi keberadaan surfaktan dalam bahan bakar jet
melalui kemampuannya untuk menstabilkan emulsi. Beberapa jenis surfaktan
seperti tampak pada Gambar 4.2

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 40 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

Gambar 4.2 Beberapa contoh jenis dan struktur molekul surfaktan

4.5 ADITIF
Aditif adalah bahan kimia yang larut dalam bahan bakar yang ditambahkan
dalam jumlah kecil untuk meningkatkan atau mempertahankan unjuk kerja
bahan bakar dan dalam penanganan bahan bakar. Pada umumnya aditif
berbahan dasar dari minyak bumi yang didesain sedemikian hingga
memberikan fungsi dan efek kimia khusus. Aditif akan memberikan pengaruh
seperti yang diinginkan dalam rentang konsentrasi part per million (ppm). (satu
ppm adalah 0.0001 % massa).
Aditif biasa digunakan dalam berbagai turunan minyak bumi, tetapi untuk
bahan bakar penerbangan hanya aditif yang sudah mendapat persetujuan dari
lembaga yang berwenang yang dapat ditambahkan ke dalam bahan bakar jet.
Seluruh spesifikasi bahan bakar jet mencantumkan jenis dan konsentrasi aditif
yang dapat ditambahkan ke dalam bahan bakar jet tersebut. Beberapa aditif
memang dipersyaratkan untuk ditambahkan, beberapa jenis lainnya opsional,
dan aditif lainnya hanya ditambahkan bila ada persetujuan antara pembeli dan
penjual. PAda Gambar 4.3 tertera aditif yang telah disetujui untuk ditambahkan
dalam bahan bakar penerbangan.
Sebelum aditif mendapat persetujuan untuk ditambahkan dalam bahan bakar
jet, harus terlebih dahulu melalui test untuk menunjukkan efektifitasnya dan
tidak merusak terhadap property bahan bakar jet lainnya. Untuk mencegah
terjadinya interaksi aditif, suatu aditif harus diuji empat kali dalam dosis
maksimum dengan keberadaan aditif lain sebelum mendapat persetujuan.
Penggunaan aditif untuk bahan bakar jet komersial dan militer memiliki
perbedaan yang mendasar. Bahan bakar jet Militer U.S. mengandung tida atau
lebih jenis aditif. Jet A-1 mengandung static dissipator additive dan mungkin

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 41 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
juga antioxidant. Jet A di U.S biasanya tidak mengandung aditif atau mungkin
hanya antioksidan. Pada Tabel 4.4 tertera aditif yang disetujui untuk digunakan
dalam bahan bakar jet.

Tabel 4.4 Aditif yang disetujui untuk digunakan dalam bahan bakar jet

4.5.1 Fuel System Icing Inhibitor


Es dapat terbentuk dalam tanki bahan bakar pada temperature yang sangat
rendah seperti yang terjadi pada ketinggian jelajah pesawat. Pada umumnya
ice tersebut terbentuk dari air yang pada awalnya terlarut dalam bahan bakar
saat diisikan ke dalam pesawat tetapi kemudian terpisah dari bahan bakar saat
temperature bahan bakar turun drastic. Pesawat komersial pada umumnya
dilengkapi dengan heater pada filter bahan bakar utama untuk mencairkan es
yang mungkin terbentuk. Tetapi untuk pesawat militer tidak dilengkapi dengan
heater dan memungkinkan terjadi hambatan alir saat terbentuk Kristal es.
Fuel system icing Inhibitor (FSII) bekerja dengan penggabungan dengan es
yang terbentuk dan sekaligus penurunan freezing point campuran sehingga
tidak ada Kristal es yang terbentuk.
FSII yang saat ini disetujui untuk digunakan dalam Jet A, Jet A-1 dan bahan
bakar militer U.S. hanya di-ethylene glycol monomethylether (di-EGME).
Senyawa sejenis, ethylene glycol monomethylether, digunakan dalam bahan
bakar TS-1 Rusia. Sifat EGME dan di-EGME seperti pada Tabel 4.5.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 42 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
di-EGME hanya sedikit larut dalam bahan bakar minyak tetapi sangat larut di
air, sehingga penggunaannya mengakibatkan beberapa masalah dalam
penanganan bahan bakar. Karena hanya sedikit larut dalam bahan bakar,
maka aditif ini hanya ditambahkan dalam jumlah kecil dengan pengadukan
yang memadai untuk meyakinkan bahwa aditif telah larut dengan sempurna
dalam bahan bakar, terutama saat penambahan dilakukan pada temperature
rendah. Dalam pelaksanaannya, aditif diinjeksikan dengan laju tertentu ke
dalam aliran bahan bakar.

Bila bahan bakar yang mengandung FSII kontak dengan air, maka aditif akan
terlepas dari bahan bakar dan membentuk fasa kental dengan air. Untuk
menghindari kontak dengan air, FSII tidak ditambahkan saat di Kilang tetapi
ditambahkan pada saat bahan bakar sudah berada pada system distribusi.
Pada militer, FSII ditambahkan di bandara atau pada saat pengisian bahan
bakar ke pesawat. Demikian pula bila pesawat kecil memerlukan FSII, maka
penambahan dilakuakan saat pengiriman ke pesawat. FSII tidak digunakan
pada pesawat komersial besar.

Tabel 4.5 Sifat EGME dan di-EGME sebagai aditif Fuel System Icing Inhibitor

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 43 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

4.5.2 Thermal Stability


Bahan bakar selain fungsinya sebagai sumber energy juga berfungsi sebagai
peredam panas. Mesin yang digunakan dalam pesawat militer performa tinggi
menanggung beban panas lebih tinggi dibandingkan pesawat komersial. Mesin
pesawat militer masa depan bahkan akan memberikan panas yang lebih besar
kepada bahan bakar.
Berdasarkan hal tersebut, mulai dikembangkan bahan bakar pesawat dengan
peningkatan stabilitas termal. Dalam pengembangan ini mulai diperkenalkan
aditif yang dapat meningkatkan stabilitas termal bahan bakar sekitar 100°F
(60°C), dari sekitar 325°F menjadi 425°F, saat dilakukan pengujian thermal
stability. Aditif ini sudah mengandung dispersan yang dapat menjaga agar zat-
zat yang berpotensi tidak larut dalam bahan bakar dapat tetap dalam larutan
bahan bakar, untuk mencegah pembentukan gum dan sedimen. Aditif tersebut
biasa dikenal sebagai “+100” (plus one hundred). Bahan bakar militer U.S.
yang mengandung aditif ini disebut JP8+100. Aditif ini belum mendapat
persetujuan untuk digunakan dalam pesawat komersial sampai dengan saat
ini.

4.5.3 Antioxidants

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 44 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Oksigen dalam jumlah kecil yang terlarut dalam udara di dalam bahan bakar
dapat menyerang zat reaktif dalam bahan bakar. Penyerangan pertama
memulai suatu rantai reaksi oksidasi. Antioksidan bekerja dengan memutus
rantai reaksi ini, mencegah pembentukan peroksida, gum terlarut atau
partikulat tak larut. Peroksida dapat menyerang elastomer pada system bahan
bakar, gum menyebabkan deposit mesin dan partikulat dapat membuntu filter.
Perlu dicatat bahwa antioksidan efektif untuk meningkatkan stabilitas bahan
bakar dalam penyimpanan, tetapi tidak efektif untuk meningkatkan stabilitas
thermal.
Olefin merupakan senyawa hidrokarbon yang paling reaktif, yang paling mudah
mengalami degradasi oksidatif. Dalam bahan bakar straight run, kadar olefin
sangat rendah dan pada bahan bakar hidrotreated tidak mengandung olefin.
Bahan bakar straight run biasanya mengandung antioksidan natural, sehingga
memiliki stabilitas oksidatif yang baik dan dengan demikian tidak perlu
penambahan antioksidan.
Namun bahan bakar yang dihasilkan dari proses hidrotreating, meskipun
hidrotreating lunak untuk menghilangkan merkaptan, dapat menghilangkan
antioksidan natural tersebut, yang dapat menurunkan kestabilan bahan bakar
tersebut. Untuk alasan itu, sehingga antioksidan ditambahkan ke dalam bahan
bakar dari proses hidrotreating. Agar lebih efektif, penembahan aditif dilakukan
segera setelah proses hidrotreating selesai. Antioksidan yang disetujui untuk
digunakan dalam bahan bakar aviasi adalah phenol terlindung (hiondered
phenol). Konsentrasi maksimum yang diijinkan adalah 24 mg/L.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 45 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
4.5.4 Metal Deactivator
Metaldeactivator merupakan chelating agent, yaitu senyawa kimia yang
membentuk komplek stabil dengan ion logam tertentu. Semakin aktif logam,
seperti tembaga dan zinc, semakin efektif lkogam tersebut sebagai katalis
oksidasi, dan menurnkan kestabilan thermal bahan bakar. Logam tersebut
tidak digunakan dalam system distribusi bahan bakar atau dalam system
bahan bakar mesin turbine. Namun demikian bila bahan bakar terkontaminasi
dengan logam ini, maka penambahan metaldeactivator akan menghalangi
aktivitas logam-logam tersebut. Aditif metal deactivator yan g telah disetujui
adalah N,N”-disalicylidine-1,2-propane diamine.

4.5.5 Corrosion Inhibitor/Lubricity Improver


Konstruksi tanki dan perpipaan pada jalur distribusi bahan bakar pada
umumnya dari baja yang tidak dilapisi. Corossion inhibitor mencegah air dan
oksigen dalam bahan bakar untuk mengkaratkan struktur tersebut.
Lubricity additive digunakan untuk mengkompensasi lubrisitas yang buruk
bahan bakar yang diproduksi dari hidrotreating. Additive tersebut mempunyai
gugus polar yang dapat menempel pada permukaan logam, membentuk suatu
lapisan film aditif. Film tersebut bertindak sebagai boundary lubricant yang
dapat mencegah kontak antara dua permukaan logam. Senyawa ini biasanya
berupa asam karboksilat, dengan komposisi sedemikian rupa.
Korosi dan lubrisitas merupakan fenomena permukaan. Sehingga
penambahan aditif corrosion inhibitor juga memperbaiki lubrisitas.

4.5.6 Electrical-Conductivity Additive

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 46 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Karena potensi bahaya terhadap keselamatan akibat konduktivitas listrik alami
bahan bakar jet yang rendah, diperlukan penambahan aditif untuk
meningkatkan konduktivitas listrik bahan bakar jet. Aditif yang ditambahkan
biasanya disebut dengan static dissipator additive (SDA) sebelum bahan bakar
dimasukkan ke dalam pesawat terbang. SDA yang saat ini disetujui untuk
digunakan adalah Stadis®450, dengan komposisi sedemikian rupa.

4.5.7 Leak Detection


Tracer A® dapat digunakan dalam Jet A dan Jet A-1 untuk mendeteksi
kebocoran yang diterjadi pada system penanganan bahan bakar. Aditif ini
berupa gas yang dapat dideteksi pada konsentrasi sangat rendah. Tracer A ®
dicampur ke dalam bahan bakar saat pemompaan dalam system distribusi.
Bila terdapat kebocoran dalam system maka gas Tracer A® akan keluar.
Adanya gas di luar fuel system menunjukkan lokasi terjadinya kebocoran.

4.5.8 Biocides
Biosida disesain untuk membunuh mikroorganisme, termasuk bakteri dan
jamur (yeast dan mold). Biosida adalah racun, air di dasar yang mengandung
bisoida harus dibuang dengan cara yang benar. Bisoida yang disetujui saat ini
untuk digunakan adalah Biobor™ dan Kathon™.

BAB V. PROSES PENGOLAHAN BAHAN BAKAR AVTUR

Bahan bakar jet sebagian besar diproduksi dari minyak bumi. Hanya sebagian
kecil yang diproduksi dari oil sand. Pada tahun 1970 dan 1980-an telah
diproduksi bahan bakar jet dari shale oil, tetapi kemudian berhenti karena tidak
ekonomis. Saat ini proses Fischer Tropsch telah digunakan untuk membuat
komponen pencampur bahan bakar jet sintetik. Proses ini saat ini sedang
banyak dikembangkan, dengan harapan dapat meningkatkan jumlah bahan
bakar jet di masa depan.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 47 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Pengolahan minyak adalah suatu proses untuk menkonversi minyak bumi
crude oil atau crude menjadi produk-produk dengan nilai tinggi. Produk
pengolahan minyak yang umum digunakan sebagai bahan bakar transportasi
adalah gasoline, bahan bakar jet, bahan bakar diesel. Produk lainnya misal:
aviation gasoline, liquefied petroleum gas (LPG), bahanbakar pemanas,
pelumas, lilin dan aspal.

Gas to Liquids:Para ilmuwan telah lama mencoba mengkonversi gas alam (metana) menjadi
bahan bakar cair. Satu skema konversi telah dikembangkan pada tahuan 1920-an oleh ahli
kimia Jerman : Franz Fischer dan hans Tropsch. Proses Fischer-Tropsch mereaksikan metana
dengan oksigen melalui katalis untuk dihasilkan gas sintetik, yaitu campuran antara karbon
monoksida dan hydrogen. Campuran gas ini kemudian dikonversi menjadi cairan hidrokarbon
menggunakan katalis lainnya.Produk Fischer-Tropsch adlah bebas sulphur dan aromatic.
Proses Fischer Tropsch sampai dengan saat ini masih belum komersial. Perkembangan
terakhir, menyatakan bahwa telah dikembangkan proses ini sedemikian hingga kompetitif.
Bila telah ditemukan teknologi yang diharapkan maka proses ini merupakan sumber untuk
menghasilkan kerosene kualitas tinggi.

5.1 BAHAN BAKU


Saat keluar dari dalam bumi, crude oil dapat berupa crude encer atau crude
pekat. Crude encer memiliki densitas rendah(API gravity tinggi), sedangkan
crude oil yang pekat memiliki densitas tinggi (API gravity rendah). Crude
dengan API gravity tinggi akan menghasilkan fraksi ringan dalam jumlah besar
dan biasanya kandungan sulphur dan nitrogennya rendah sehingga mudah
dalam pengolahannya. Seiring dengan perkembangan teknologi, saat ini
pengolahan crude dengan API gravity rendah sudah tidak menjadi masalah.
Pengolahan crude dengan API gravity rendah membutuhkan peralatan proses
yang lebih kompleks dan mahal, tahapan proses yang lebih banyak dan energy
lebih besar, sehingga memerlukan investasi yang lebih besar.
Crude oil mayoritas tersusun atas hidrokarbon paraffin, naphthene dan
aromatic. Setiap jenis hidrokarbon tersebut memiliki rentang berat molekul
yang lebar. Jenis crude oil yang diolah berpengaruh terhadap mutu dan yield
produk bahan bakar jet yang dihasilkan (Tabel 5.1).

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 48 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

Tabel 5.1 Pengaruh jenis crude oil terhadap mutu dan yield bahan bakar jet

Asal Crude Oil


Sumatran
Sifat Alaska California Light Crude Arab Light Louisiana
Crude Crude (SLC- Crude Crude
Indonesia)
Jet fuel yield, % v/v 10,3 5,7 8,7 12,3 13,5

Density,kg/m3 828 5.7 8.7 12.3 13.5

Sulphur content, % m/m 0,093 - - 801 817

Smoke point, mm 20 17 28 24 23

Freezing point, oC -44 -70 -32 -40 -40

5.2 PROSES PENGOLAHAN


Pengolahan minyak bumi saat ini merupakan gabungan dari beberapa proses
yang saling terkait, sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
kimia, teknik dan metalurgi. Proses tersebut dapat dibagi menjadi tiga golongan
dasar, yaitu:
Proses Separasi, bahan baku dipisahkan menjadi dua atau lebih komponen
berdasrakan sifat fisiknya, biasanya titik didih. Proses ini tidak mengubah sifat
kimia bahan baku. Proses separasi yang umum adalah proses distilasi.
Proses Upgrading, proses ini meningkatkan kualitas bahan baku
menggunakan reaksi kimia atau menghilangkan senyawa yang terdapat dalam
jumlah kecil dalam bahan baku yang bersifat menurunkan kualitas bahan baku.
Dalam proses ini bulk property bahan baku tidak berubah. Proses upgrading
yag umum digunakan dalam pengolahan bahan bakar jet adalah sweetening,
hydrotreating, dan clay treatment.
Proses Konversi, dalam proses ini struktur kimia bahan bakau diubah,
biasanya dengan perengkahan molekul besar menjadi molekul-molekul kecil,
misal: catalytic cracking dan hydrocracking.

5.2.1 Distilasi

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 49 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Distilasi merupakan proses separasi yang paling umum digunakan dalam
pengolahan minyak bumi. Produk pengolahan ditentukan berdasarkan rentang
didih dan proses distilasi yang digunakan untuk memisahkan campuran
dengan rentang didih lebar menjadi produk dengan rentang didih lebih sempit.
Pemisahan dicapai dengan pemanasan minyak bumi sehingga komponen
yang lebih ringan menguap. Uap tersbeut masuk ke dalam kondensor, yang
mendinginkan uap tersebut menjadi cairan kembali.
Crude oil tersusun atas ribuan komponen mulai dari gas yang mendidih di
bawah temperature ambien sampai dengan produk yang tidak dapat didistilasi
pada temperature 538°C (1000°F).
Dalam distilasi crude oil, crude panas dipompakan ke dalam kolom distilasi
dan hidrokarbon teringan dalam crude oil, biasanya gas propane dan butane,
naik menuju puncak kolom dan keluar dari puncak kolom. Gasoline yang
sedikit lebih berat dibanding gas propane dan butane naik tetapi tidak sampai
puncak kolom, dan keluar melalui samping kolom. Berturut –turut kerosine dan
minyak diesel merupakan produk yang lebih berat dari gasoline dan keluar
melalui samping kolom pada titik lebih rendah. Produk yang diperoleh langsung
dari distilas crude oil disebut produk straight run, misal: bahan bakar jet straight
run. Komponen yang terlalu berat untuk menguap pada kondisi distilasi
atmosferik keluar dari dasar kolom (atmospheric bottom).
Produk bottom kolom dapat difraksinasi lebih lanjut dengan distilasi berikutnya
yang dilakukan pada tekanan rendah. Tekanan rendah dalam kolom distilasi
akan mengakibatkan komponen-komponen dengan titik didih tinggi dapat
menguap. Proses ini disebut dengan vacuum distillation, produk bagian atas
disebut vacuum gasoil (VGO) dan bottom productnya disebut dengan vacuum
residu (VR) atau vacuum resid.
Pengaturan kondisi operasi pengolahan akan berpengaruh terhadap property
produk bahan bakar jet yang dihasilkan. Beberapa contoh pengaturan kondisi
yang dimaksud adalah:
a. Pengaruh menurunkan initial boiling point (IBP)
Akan menaikkan: Akan menurunkan:
Titik asap Density
Kadar hydrogen Titik nyala

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 50 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Nilai kalori, MJ/kg Kadar aromat
Tekanan uap Kadar naftalen
Freezing point
Viscosity
Nilai kalori, MJ/m3

Akan dihasilkan bahan bakar jet:


Mutu pembakaran lebih baik
Kinerja pada suhu rendah lebih baik
Nilai kalori per satuan berat lebih tinggi
Keselamatan dalam penanganan lebih buruk
Nilai kalori per satuan volume lebih rendah

b. Pengaruh meningkatkan final boiling point (FBP)


Akan menaikkan: Akan menurunkan:
Density Titik asap
Kadar aromat Kadar hydrogen
Naftalene Nilai kalori, MJ/kg
Freezing point
Kekentalan
Nilai kalori, MJ/ m3

Hasil akhirnya cenderung akan:


Menurunkan mutu pembakaran
Memperburuk kinerja pada suhu rendah
Menurunkan nilai kalor persatuan berat
Menaikkan nilai kalori per satuan isi
Keselamatan dalam penanganan tidak berubah

Karena komposisi dari crude oil, pengolahan hanya dengan distilasi tidak
mampu memenuhi tuntutan pasar akan produk-produk ringan sejak awal abad
20-an. Distilasi terlalu banyak menghasilkan produk-produk berat. Di samping
itu kualitas produk hasil distilasi biasanya rendah. Sehingga diperlukan proses
upgrading dan konversi untuk memenuhi kebutuhan pasar.

5.2.2 Upgrading
Proses sweetening digunakan untuk menghilangkan senyawa sulphur yang
disebut dengan mercaptan dalam bahan bakar jet. Mercaptan tidak
dikehendaki keberadaannya karena bersifat korosif dan juga penyebab bau.
Beberapa proses telah dikembangkan untuk menghilangkan mercaptan
dengan mengkonversi mercaptan menjadi disulfida. Disulfida tidak korosif dan
baunya cukup lunak dibanding mercaptan.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 51 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Sodium plumbite (Doctor dan Bender treating) dan copper choride (Linde
treating) pernah digunakan sebagai katalis untuk konversi merkaptan, saat ini
yang digunakan adalah katalis cobalt dengan proses yang disebut dengan
Merox® (mercaptan oxidation). Proses sweetening tidak mengurangi kadar
sulphur dalam bahan bakar, tetapi mengkonversi senyawa sulphur menjadi
senyawa sulphur lainnya. Terdapat proses Merox® yang dilengkapi dengan
proses ekstraksi disulfide yang terbentuk dan dengan demikian juga
mengurangi kadar sulphur dalam bahan bakar.

Hydroprocessing, adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan proses


yang menggunakan hydrogen dan katalis yang sesuai untuk menghilangkan
komponen yang tidak diinginkan dalam produk pengolahan. Proses ini meliputi
kondisi lunak untuk menghilangkan senyawa reaktif seperti olefin dan sulphur
serta nitrogen, sampai dengan kondisi keras untuk menjenuhkan cincin
aromatic dan menghilangkan hampir seluruh senyawa sulphur dan nitrogen.
Hydroprocessing memecah molekul yang mengandung sulphur dan
menkonversinya menjadi hydrogen sulfida yang selanjutnya dipisahkan dari
bahan bakar.

Senyawa polar tertentu dapat dihilangkan dari bahan bakar jet dengan
menggunakan clay treating. Dalam proses sederhana ini, bahan bakar dialirkan
ke dalam tempat berisi slay. Senyawa polar tertentu, khususnya yang bersifat
sebagai surfactant, teradsorb pada permukaan clay sehingga hilang dari bahan
bakar. Dalam proses Merox®, surfactant dapat terbentuk dan biasanya

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 52 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
memerlukan clay treating setelah proses Merox® tersebut untuk
menghilangkannya.
Clay treating juga digunakan dalam skala lebih kecil di luar kilang, misal pada
terminal atau depot bahan bakar di bandara, untuk menghilangkan surfactant
dalam bahan bakar. Dalam kondisi tersebut, clay dikemas dalam canister atau
wadah kain tertentu. Wadah berisi clay tersebut dimasukkan ke dalam vessel
dan kemudian bahan bakar dipompa melalui clay tersbeut. Penggunaan wadah
akan mempermudah penanganan clay.

5.2.3 Conversion Processes


Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 53 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Hidrokarbon dengan titik didih tinggi (dari dasar kolom distilasi) dapat dipecah
(cracked) menjadi hidrokarbon dengan titik didih lebih rendah dengan
menggunakan temperature sangat tinggi. Pada awalnya, proses yang umum
digunakan adalah thermal cracking, tetapi kemudian penggunaan panas yang
sangat tinggi mulai digantikan dengan penggunaan katalis, sehingga dari
thermal cracking menjadi catalytic cracking. Catalytic cracking dapat
menghasilkan produk dengan kualitas lebih tinggi dibandingkan thermal
cracking. Terdapat banyak jenis proses catalytic cracking yang digunakan
dalam proses konversi, tetapi yang paling umum digunakan adalah fluid
catalytic cracking (FCC).
Hydrocracking, merupakan proses konversi yang juag sering diaplikasikan.
Seperti halnya catalytic reforming, yang juga menggunakan katalis, dalam
proses hydrocracking reaksi terjadi dengan hidrogen tekanan tinggi. Bahan
baku hydrocracking biasanya adalah heavy VGO. VGO yang memiliki ukuran
molekul besar dipecah menjadi molekul-molekul lebih kecil dengan memutus
ikatan karbon-karbon dan dilanjutkan dengan penambahan hydrogen terhadap
hasil fragmentasi tersebut. Dalam kondisi proses hydrocracking terjadi
perubahan kimia lain: cincin senyawa aromatic terjenuhkan oleh hidroge, dan
hamper seluruh senyawa yang mengandung sulphur dan nitrogen hilang.
Proses hydrocracking menghasilkan produk dalam rentang krosine dan diesel
dalam jumlah besar.

5.3 PROSES PENGOLAHAN MODERN


Skematik pengolahan modern dan terintegrasi untuk memproduksi bahan
bakar jet seperti pada Gambar 5.1. Crude oil diumpankan dalam kolom distilasi
di mana produk straight run gasoline ringan dan berat, kerosene, dan diesel
dipisahkan pada tekanan atmosferik. Produk dasar kolom atmosferik didistilasi
vakum untuk diperoleh gas oil untuk umpan FCC atay hydrocracker. Gas oil
dapat diproses dulu dalam hydrotreating untuk mengurangi sulphur dan
nitrogen sampai pada level sedemikian hingga dapat meningkatkan unjuk kerja
proses FCC.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 54 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Sebelumnya, vacuum resid yang memiliki nilai rendah hanya digunakan
sebagai bahan bakar generator listrik atau bahan bakar kapal. Untuk tujuan
peningkatan nilai tambah, vacuum resid dapat dikirim pada unit conversi
residu, seperti resid cracker, solvent extraction unit atau coker. Unit-unit ini
menghasilkan bahan bakar transportasi atau gas oil, dan residua tau coke
dalam jumlah sedikit.

Gambar 5.1 Kilang terintegrasi


5.3.1 Blending
Bahan bakar jet yang dihasilkan dari pengolahan mungkin semua berupa
straight run atau produk hydroprocessed, atau mungkin merupakan campuran
dari straight run dengan hydroprocessed dan/atau produk hydrocracked.
Sejumlah kecil komponen gasoline berat juga mungkin ditambahkan. Staright
run kerosene dari crude oil rendah sulphur mungkin dapat langsung
menghasilkan bahan bakar jet yang memenuhi spesifikasi. Tetapi straight run
kerosene pada umumnya diupgrading dulu melalui proses Merox treating, clay
treating atau hydrotreating sebelum digunakan sebagai bahan bakar jet.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 55 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Pengolahan minyak harus mencampur produk stream yang ada, intuk
menghasilkan bahan bakar yang memenuhi persyaratan yang berlaku,
ekonomis dan tersedia dalam jumlah yang memadai. Saat ini telah
dikembangkan program yang dapat mengatur seluruh aspek operasi
pengolahan (tidak hanya untuk memproduksi bahan bakar jet), termasuk
sampai tahapan pencampuran.
Namun demikian pengolahan minyak tidak memiliki kemampuan untuk
mengendalikan komposisi detail bahan bakar jet yang dihasilkan. Biasanya hal
ini ditentukan dari komposisi crude oil yang dipilih berdasarkan ketersediaan
dan harga. Reaksi kimia yang terjadi pada proses konversi masih kurang
specific untuk merancang produk dengan komposisi kimia seperti yang
dikehendaki.
Di luar keterbatasan tersebut, pengolahan minyak setiap hari menghasilkan
produk dalam jumlah besar yang telah memenuhi persyaratan spesifikasi.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 56 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

BAB VI. MESIN TURBINE PESAWAT TERBANG

Pada akhir perang dunia II, pesawat terbang bermesin piston telah
dikembangkan dengan maksimum tetapi hanya sedikit kemajuan yang dicapai.
Penggunaan mesin turbine membawa perubahan yang pesat terhadap unjuk
kerja pesawat. Pesawat mesin turbine mampu terbang melebihi kecepatan
suara.
Secara umum pesawat turbine/jet dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Berdasarkan desain mesin:
Turbine jet atau turbojet atau jet
Turbofan
Turbo propeller disingkat turboprop
b. Berdasarkan posisi sayapnya:
Pesawat sayap tetap (fixed wing)
Pesawat sayap berputar (rotary wing)
c. Berdasarkan design bodinya:
Pesawat badan sempit (narrow body)
Pesawat badan lebar (wide body)

6.1 PRINSIP OPERASI


Mesin turbine pada dasarnya sangat sederhana: mengkonversi energy kinetic
fluida yang mengalir menjadi energy mekanik dengan menggunakan gerakan
fluida untuk memutar rotor. Rotor yang dihubungkan dengan perlatan lainnya
dapat menghasilkan kerja yang diinginkan. Fluida bergerak bias berupa air,
steam, udara atau gas panas. Turbin yang digerakkan oleh steam bias
digunakan dalam generator listrik.
Mesin turbin pesawat terbang menghasilkan gas yang panas dan bertekanan
yang diperoleh dari pembakaran bahan bakar pada ruang tertutup. Gas, dalam
proses keluar dari mesin, memutar turbion yang selanjutnya menjalankan

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 57 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
compressor untuk menekan udara yang masuk ke dalam mesin. Gas panas
bertekanan yang keluar dari mesin pada kecepatan tinggi, menghasilkan thrust
yang mendorong pesawat bergerak ke depan.

Thrust adalah gaya yang memberikan tenaga pada pesawat terbang. Thrust diukur dalam
Newton untuk system metric dan dalam pound untuk system U.S. Satu pound thrust adalah
gaya yang diperlukan untuk mengatasi percepatan gravitasi, 32 ft/sec2, terhadap satu pound
massa. Mesin turbin menghasilkan 1000 pound thrust yang dapat membawa 1000 pount
massa ke udara bila thrust diarahkan menjauhi bumi, melawan gaya tarik gravitasi.

Mesin turbin pesawat terbang biasa juga disebut dengan mesin reactor karena
memenuhi Hukum Newton III yaitu: Pada setiap aksi akan diperoleh reaksi
yang setara dengan arah berlawanan. Dalam hal ini, sebagai aksi adalah gas
panas yang keluar dari mesin pesawat. Sebagai reaksi adalah thrust yang
diberikan kepada mesin-thrust yang oleh mesin selanjutnya dipindahkan
keseluruh badan pesawat.
Mesin turbine gas terdiri atas tiga bagian yang masing-masing memiliki fungsi
yang berbeda: bagian kompressor, bagian pembakaran dan bagian turbin.

Bagian kompressor menarik dan menekan udara ambien dan mengirim udara
bertekanan yang dihasilkan ke bagian pembakaran. Terdapat dua tipe
compressor, yaitu: axial dan centrifugal. Dalam compressor axial, udara
bergerak parallel sepanjang axis mesin setelah keluar dari compressor. Dalam
compressor sentrifugal, udara bergerak secara radial menuju chamber, suatu
diffuser, yang mengarahkannya ke dalam bagian pembakaran.
Mesin pesawat terbang modern dapat dilengkap[I dengan dua atau tiga set
compressor yang bekerja seri untuk memperoleh daya kompresi yang
diperlukan. Pada bagian kompresi ini, dihasilkan udara dengan tekanan 30 s.d.
35 atmosfir dan temperature 550°C (1020°F) s.d. 625°C (1160°F).
Dalam bagian pembakaran, bahan bakar diinjeksikan secara kontinyu ke
dalam udara bertekanan melalui sejumlah nozzle. Bahan bakar segera
menguap saat bercampur dengan udara panas dan kemudian terbakar. Gas
pembakaran yang panas diarahkan ke bagian turbine oleh pekanan tinggi pada

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 58 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
outlet compressor. Diskusi lebih jauh mengenai pembakaran seperti di bawah
ini.
Bagian turbine terdiri atas suatu seri pasangan stator vane dan rotor blade.
Stator Vane yang stasionair mempercepat aliran gas untuk mendorong rotor
blade. Rotor terhubung ke compressor oleh shaft. Tekanan akibat aliran gas
pembakaran ke rotor blade akan memutar turbine dan compressor.
Selanjutnya, campuran gas pembakaran dan udara panas dipercepat menuju
nozzle pada bagian belakang mesin. Aliran buangan yang menghasilkan thrust
selanjutnya menggerakkan pesawat.
Kombinasi trubinem compressor dan koneksi shaft disebut spool. Mesin
dengan dua compressor juga mempunyai dua turbine yang berdiri sendiri.
Tekanan tinggi compressor yang dihasilkan oleh tekanan tinggi turbin
merupakan spool bagian dalam. Tekanan rendah compressor yang dihasilkan
oleh tekanan rendah turbin merupakan spool bagian luar. Shaft dua spool ini
bergerak secara terpisah satu dengan lainnya pada kecepatan yang berbeda.

Mesin turbine vs. mesin piston: Mesin turbine lebih kecil dibandingkan mesin piston dengan
tenaga yang sama dan memiliki rasio tenaga – berat yang lebih baik. Namun demikian biaya
pembuatan mesin turbin lebih tinggi dibandingkan mesin piston dan karena dioperasikan pada
penerbangan yang lebih tinggi dan kecepatan tinggi maka lebih memerlukan perancangan dan
bahan yang lebih baik. Mesin turbin bekerja lebih baik pada load konstan (terbang jelajah)
sedangkan mesin piston dapat menghadapai load fluktuatif lebih baik (pada jam sibuk). Mesin
turbine sesuai untuk kebutuhan energy besar dibandingkan mesin piston dan memiliki
ketahanan yang lebih baik dibandingkan mesin piston.

Sistem Kendali Mesin


Selain menyediakan sumber energy yang diperlukan sebagai tenaga untuk
dapat terbang, bahan bakar juga digunakan untuk mengendalikan beberapa
parameter mesin. Mesin utma mengendalikan ukuran bahan bakar
berdasarkan kebutuhan throttle dari cocpit dan juag mengendalikan berbagai
parameter operasi mesin. Bahan bakar digunakan sebagai cairan hidrolik untuk
memindahkan signal tekanan dalam pengendali dan memposisikan peralatan
mesin, seperti posisi stator vane compressor atau posisi valve air blade

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 59 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
compressor, untuk menghasilkan kondisi operasi yang diinginkan. Bahan bakar
juga digunakan sebagai pendingin mesin.

6.2 TIPE-TIPE MESIN


Mesin turbin pada awal perkembangannya menggunakan spool tunggal dan
disebut dengan mesin turbojet. Mesin turbojet menunjukkan unjuk kerja yang
baik pada ketinggian dan kecepatan udara tinggi, tetapi kurang efisein pada
saat pesawat terbang rendah dan kecepatan udara rendah.
Saat ini sebagian besar mesin pesawat menggunakan mesin turbofan. Meisn
turbofan menggunakan mesin turbojet sebagai mesin utama, tetapi memiliki fan
besar yang dipasang didepan bagian compressor. Fan ini tampak didepan
bagian mesin pesawat jet komersial. Fan seperti halnya komrpessor
dikendalikan oleh turbine, yang bertindak seperti propeller; menekan udara
untuk membentuk thrust. Fan berbeda dengan propeller konvensional di mana
fan memiliki blade lebar dengan jarak rapat dan dilengkapi dengan penutup.
Perbandingan mesin jet turbojet turboprop dan turbofan seperti pada Gambar
6.1.

Gambar 6.1 Perbandingan mesin jet jenis turbojet, turboprop dan turbofan

Diameter fan berkisar antara 8 s.d. 12 feet, dua kali lebih besar dibanding
diameter mesin turbojet-nya. Sebagian udara yang melalui fan masuk ke dalam

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 60 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
mesin turbojet dan sebagian lagi menuju bagian luar mesin turbojet. Udara
bypass ini menghasilkan 85 % thrust dalam high bypass mesin turbofan,
mungkin hanya 15 % yang dihasilkan dari gas buang panas. Gambar 6.2
menunjukkan skema mesin turbofan komersial.

Gambar 6.2 Skema bagian-bagian mesin turbofan komersial

Propeller lebih efisein dibanding mesin turbojet pada kondisi terbang rendah
dan kecepatan udara rendah. Turbofan menggabungkan dua kelebihan yang

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 61 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
dimiliki oleh kedua sistem. Turbofan juga lebih tidak bising dibanding turbojet
karena udara bypass meredam suara gas buang panas.
Mesin Turboshaft merupakan tipe mesin turbin pesawat terbang ketiga
terbesar. Turboshaft menggunakan mesin turbojet, tetapi gas buang
menggerakkan turbine tekanan rendah, yang terhubung ke gearbox. Bila
gearbox menggerakkan propeller maka disebut turboprop. Gearbox juga dapat
terhubung dengan generator listrik, peralatan pompa atau di helicopter, suatu
rotor. Dalam aplikasi ini mesin ini disebut dengan turboshaft.

6.3 PEMBAKARAN DALAM MESIN


Pembakaran merupakan reaksi oksidasi yang sangat cepat dengan melepas
panas dan biasanya cahaya. Karbon dioksida dan air merupakan hasil akhir
dari pembakaran sempurna. Pembakaran terjadi pada fasa gas; padatan atau
cairan tidak dapat terbakar karena tidak terdapat cukup oksigen dalam fasa
dengan kerapatan tinggi untuk dapat mendukung terjadinya pembakaran. Saat
padatan atau cairan tampak terbakar, sebenarnya yang terbakar adalah
komponen-komponen volatile dari bahan tersebut yang menguap pada
permukaan dan bercampur dengan udara sehingga terbakar. Diperlukan
sumber energy untuk terjadi pembakaran, tetapi begitu pembakaran terjadi,
maka pembakaran akan terus berlangsung selama terdapat bahan bakar dan
oksigen (udara) pada proporsi yang sesuai.
Mesin turbin harus memiliki pemantik api untuk mengawali terjadinya
pembakaran. Setelah itu, pembakaran akan terus terjadi dengan injeksi bahan
bakar secara kontinyu ke dalam nyala. Tetapi hal ini terlalu disederhanakan.
Pembakaran kontinyu memerlukan kenstabilan nyala, yang berarti harus
terdapat kesesuaian laju alira bahan bakar dan udara dengan laju penjalaran
nyala.
Laju penjalaran nyala hidrokaron rendah, berkisar antara 0.5 m/sec. untuk
campuran static, sampaidengan 10 – 30 m/sec untuk kondisi aliran turbulen.
Nyala dalam daerah pembakaran akan stabil bila kecepatan penjalaran nyala
lebih besar disbanding kecepatan udara utama. Kalau tidak maka api akan
seperti ditiup padam dan pembakaran yang stabil tidak mungkin terbentuk.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 62 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Dalam bagian pembakaran, aliran udara dipisah sehingga hanya prosi tertentu
yang masuk dalam daerah pembakaran utama disekitar fuel nozzle. Sebagian
dari total aliran udara ini, membentuk kubah udara (dome air) dan udara utama
(primary air), yang diperkirakan cukup untuk membentuk stoikiometri
pembakaran bahan bakar. Sebagian lain udara diguankan untuk mendinginkan
dinding ruang bakar. Udara yang masih ada disebut dengan udara pengencer
(dilution air) dan masuk ke sekitar ruang bakar sebagai pendingin dan
bercampur dengan gas panas sebelum mencapai blade turbin. Gambar 6.2
menunjukkan diagram aliran udara dalam bagian pembakaran.

Gambar 6.2 Diagram aliran udara dalam bagian pembakaran mesin jet.
Kecepatan udara keluar dari bagian kompressor yang berkisar antara 150
m/sec, terlalu cepat untuk menghasilkan pembakaran kontinyu. Kecepatan
udara hasru diturunkan menjadi sekitar 25 m/sec di dekat nozzle bahan bakar
dengan meningkatkan luasan area dekat jalur masuk ke bagian pembakaran
dan mengalihkan udara sekunder dan pengencer di sekitar daerah
pembakaran utama.
Bahan bakar diinjeksikan kedalam ruang nakar melalui injector dengan
tekanan sekitar 50 kg/cm2 (700 psi). pada kondisi ini, bahan bakar yang keluar

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 63 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
dari nozzle dengan kecepatan 30 m.sec, membentuk jet dari atomisasi lembut
bahan bakar. Sehingga kecepatan spray bahan bakar, kecepatan udara primer,
dan kecepatan panjalaran nyala turbulen menjadi sesuai dan terbentuk nyala
stabil. Dengan demikian pembentukan nyala stabil merupakan kondisi yang
sangat sulit.
Temperatur nyala tertinggia sekitar 2050°C (3725°F), terjadi pada daerah
pembakaran utama di mana rasio udara-bahan bakar mendekati
stoikiometerik. Masuknya udara pengencer, disertai dengan udara pendingin
dinding ruang bakar, dapat menurunkan temperature menjadi 1500°C (2730°F)
pada jalur masuk bagian turbin.
Hubungan antara kualitas bahan bakar jet pada pembakaran dan pengaruh

terhadap mesin turbin a dalah sebagai


berikut :
Masalah - terkait dengan
Penyebab Pengaruh
bahan bakar

Mesin gagal atau tidak dapat di-


Atomisasi buruk Viskositas tinggi
start

Deposit pada nozzle Stabilitas rendah Turbine blade gagal

Radiasi Nyala Rasio H/C rendah Memperpendek umur mesin

Deposit karbon Rasio H/C rendah Pemanasan setempat

Satu detik dalam mesin turbine. Saat Boeing 747-400 menjelajah pada ketinggian 35,000
feet, setiap empat mesinnya menghasilkan 12,000 pound thrust. Untuk menghaslkan thrust
tersebut, mesin menarik 700 pound udara tiap detik, sekitar 80 % diantaranya melalui bypass.
120 pound udara yang masuk ke dalam mesin ditekan sampai lebih dari 150 pound per inchi 2
dan dipanaskan lebih dari 850°F di bagian compressor. Satu tiga perempat pound bahan bakar
diinjeksikan ke dalam udara panas bertekanan dan dibakar untuk menghasilkan gas
pembakaran dengan temperature lebih dari 2000°F. Turbine mengambil energy gas
pembakaran ini untuk memutar fan dengan kecepatan 3,300 rpm dan compressor dengan
kecepatan sekitar 9,500 rpm. Saat campuran gas keluar dari bagian turbine, kecepatannya
mencapai 1,400 feet per second dan temperature masih di atas 1,000°F.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 64 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

Tanki bahan bakar


Pesawat terbang komersial menyimpan bahan bakarnya di bagian sayap.
Gambar 6.3 menunjukkan skema tanki bahan bakar pesawat dalam Boeing
747-400. Pesawat terbang komersial memiliki dua tanki bahan bakar utama
dan satu tanki bahan bakar cadangan tepat ditengah sayap dalam badan
pesawat. Beberapa jenis pesawat Boeing 747-400 juga dilengkapi dengan
tangki bahan bakar tambahan didalam ekor stabilizer horizontal. Setiap tanki
utama memiliki pompa untuk mensuplai bahan bakar ke manifold yang
kemudian mensuplai mesin.
Boeing 747-400 memliki kapasitas bahan bakar 216,389 liter (57,164 U.S.
gallon) dengan berat sekitar 175,275 kg (386,411 lbs) pada densitas bahan
bakar 0.810 g/mL (6.76 lbs/gal). Airbus A380, dapat memuat 310,000 L (81,900
U.S. gallons) bahan bakar.

Gambar 6.3 Diagram tanki bahan bakar pesawat Boeing 747-400

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 65 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Beberapa contoh pesawat jet berbahan bakar Avtur / Jet A-1 adalah sebagai
berikut:
a. Pesawat jet jenis Airbus: A-300, A-310, A- 320, A-330, A-340, A-350, A-
360, A-370, A-380
b. Pesawat jet jenis Boeing: 727, 737, 747
c. Pesawat jet jenis Casa N/C-212 Series
d. Pesawat jet jenis IPTN CN 235, N 250
e. Pesawat jet jenis Mc. Donell Douglass: DC-9, DC-8, DC 10, MD 11, MD
82
f. Pesawat jet jenis Fokker F-27, F-28, F-70, F-100

Beberapa contoh pesawat jet tempur milik TNI AU - RI berbahan bakar Avtur /
Jet A-1 dan JP-8 adalah sebagai berikut:
a. A-4 skyhawk (bahan bakar avtur)
b. F-5E tiger (bahan bakar JP-8/NATO F-34)
c. F-16 falcon (bahan bakar JP-8/NATO F-34)
d. MIG 17, 21, 23, 25 (bahan bakar avtur)
e. HAWK 100, HAWK 200 (bahan bakar avtur)

BAB VII. KIMIA HIDROKARBON

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 66 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
Hidrokarbon adalah senyawa yang tersusun atas atom-atom karbon dan
hydrogen. Terdapat empat tipe hidrokarbon, yaitu: paraffin, olefin, naphthene
dan aromatic. Setiap anggota dari masng-masing tipe tersebut memiliki
jumlah atom karbon yang berbeda, tetapi memiliki struktur molekul yang
sejenis. Penggolongan tipe hidrokarbon tersebut berdasarkan penataan atom
karbon, yaitu ikatan yang terbentuk antara karbon yang satu dengan karbon
lainnya dan rasio atom hydrogen terhadap karbon.

Paraffin
Paraffin mempunyai rumus umum CnH2n+2, di mana n adalah jumlah atom
karbon. Atom-atom karbon dalam paraffin saling berikatan dengan ikatan
tunggal. Atom-atom karbon sebagai penyusun utama molekul membentuk
ikatan zigzag tetapi lebih sering ditulis dalam struktur linear.
Paraffin dengan empat atau lebih atom karbon dapat memiliki jumlah atom
karbon dan hydrogen yang sama, tetapi struktur molekul yang berbeda
demikian pula sifat kimia dan fisikanya. Struktur seperti itu disebut dengan
isomer (berbeda dalam penataan atom-atom karbon). Pada normal paraffin,
atom-atom karbon berikatan membentuk struktur seperti rantai lurus. Pada
isoparaffin, atom-atom karbon berikatan seperti pada normal paraffin tetapi
mempunyai cabang ikatan karbon lainnya. Normal octane dan isooctane
merupakan contoh struktur isomer dengan delapan atom karbon (C8H18).
Isooctane merupakan nama umum untuk 2,2,4-trimethylpentane; angka-
angka tersebut menunjukkan terdapat tiga gugus methyl yang melekat pada
struktur utamanya (pentane). Paraffin merupakan hydrocarbon yang dominan
baik dalam bahan bakar jet maupun avgas.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 67 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

Olefin
Olefin juga biasa disebut alkena, mirip dengan paraffin dengan jumlah atom
hydrogen lebih sedikit dibanding pada paraffin, yaitu paling tidak selisih dua
atom hydrogen dan memiliki paling tidak satu ikatan rangkap. Olefin dengan
satu ikatan r5angkap dua memiliki formula CnH2n. Tidak ditemukan secara
alami di dalam crude oil, namun baru terbentuk setelah proses pengolahan.
Seperti halnya paraffin, olefin dengan paling sedikit memiliki atom karbon
dapat mempunyai struktur isomer. Olefin hanya terdapat dalam jumlah kecil;
(trace) baik di dalam bahan bakar jet ataupun avgas.

Naphthene
Naphthene, juga disebut dengan cycloparaffin, merupakan molekul
hidrokarbon mirip dengan paraffin tetapi membentuk struktur cincin.
Naphthene yang sering ditemukan dalam produk minyak bumi adalah cincin
dengan lima dan enam atom karbon. Satu cincin naphthene memiliki formula
CnH2n. Seperti halnya paraffin, ikatannya membentuk struktur zigzag tetapi

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 68 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
lebih sering digambar mendatar. Naphthene biasanya ditemukan dalam
avgas dengan konsentrasi kurang dari 1 %, tetapi merupakan unsur utama
dalam bahan bakar jet.

Aromatic.
Seperti halnya naphthene, aromatic juga memiliki struktur cincin, tetapi
terhubung melalui ikatan aromatic, bukan ikatan tunggal. Struktur benzene
merupakan aromatic yang paling sederhana. Setiap ikatan rangkap aromatic
dipisahkan oleh satu ikatan tunggal (ikatan rangkap konjugasi). Struktur
cincin dan ikatan rangkap terkonjugasi serta sifat electron yang dapat
berpindah maka ikatan rangkap dalam cincin aromatic terdistribusi secara
merata pada cincin. Untuk menggambarkan hal tersebut, aromatic biasanya
disimbulkan dengan bantuk hexagonal yang di dalamnya terdapat lingkaran.
Cincin tunggal (monocyclic) aromatic seperti halnya benzene, mengandung
enam atom karbon dan memiliki formula CnH2n-6. Pada polycyclic aromatic
tiap cincin juga mengandung enam atom karbon tetapi terdapat pemakaian
atom karbon bersama pada cincin disebelahnya. Naphthalene merupakan
aromatic dengan cincin ganda (dicyclic).
Kandungan monoaromatic pada Avgas dibatasi oleh persyaratan distilasi.
Biasanya senyawa aromatic yang terdapat dalam avgas adalah toluene.
Mono dan dicyclic aromatic dalam bahan bakar jet dibatasi oleh persyaratan
distilasi. Total aromatic dalam Jet A dan Jet A-1 dibatasi maksimum 25 % vol.
dan kandungan naphthalene total dibatasi maksimum 3 % vol.
Paraffin dan naphthalene digolongkan senbagai hidrokarbon jenuh karena

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 69 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
tidak dapat ditambahkan lagi hydrogen tanpa memecah ikatan karbon-
karbon. Olefin dan aromatic digolongkan sebagai hidrokarbon tak jenuh
karena masih mungkin di tambahkan atom hydrogen pada karbon yang
memiliki ikatan rangkap atau pada ikatan aromatic. Dengan penambahan
hydrogen, ikatan yang sebelumnya rangkap menjadi tunggal, dengan
demikian penambahan atom hydrogen dapat menjenuhkan senyawa
hidrokarbon.

Senyawa-senyawa lain
Selain hidrokarbon sebagai senyawa yang dominan dalam crude oil, terdapat
senyawa lain yang mengandung unsur selain karbon dan hydrogen. Unsur-
unsur tersebut disebut dengan heteroatom (atom-atom lainnya). Bila
heteroatom berikatan dan membentuk struktur molekul dengan karbon dan
hydrogen maka molekul yang dihasilkan sudah tidak dapat disebut dengan
hidrokarbon.
Sulfur dan nitrogen merupakan heteroatom yang biasa terdapat dalam crude
oil. Meskipun kandungan senyawa sulfur dan nitrogen dalam crude oil hanya
kecil, tetapi berperan besar dalam menentukan sifat bahan bakar, missal:
pengaruhnya terhadap sifat kestabilan.
Salah satu golongan senyawa sulfur dalam crude oil adalah mercaptan.
Mercaptan memiliki atom sulfur yang terikat pada gugus hidrokarbon dan
mengikat satu atom hydrogen. Mercaptan dapat teroksidasi menjadi
disulfide, yaitu senyawa sulfur yang memiliki dua atom sulfur yang saling
Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 70 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
berikatan dan masing-masing atuom sulfur tersebut juga terikat pada gugus
hidrokarbon.
Tipe senyawa sulfur lainnya adalah sulfide, yaitu suatu senyawa di mana
sulfur terikat pada dua atom karbon. Senyawa thiophene, memiliki sulfur
yang terikat pada cincin aromatic.
Karena sifat pengolahannya, Avgas hanya sedikit mengandung heteroataom.
Untuk bahan bakar jet, kandungan sulfur diperbolehkan sampai 0.3 % mass
dan mercaptan sebesar 0.003 % massa. Biasanya, kandungan senyawa
tersebut dalam bahan bakar jet kurang dari setengah batasan
maksimumnya. Senyawa nitrogen hanya ditemukan sangat kecil (trace)
dalam bahan bakar jet.

Sifat-sifat hidrokarbon
Sifak kimia dan fisika hidrokarbon tergantung dari tipe dan jumlah atom
karbon. Pada Tabel 7.1 tertera beberapa sifat hidrokarbon yang dipilih terkait
dengan hidrokarbon sebagai bahan bakar penerbangan. Karena spesifikasi
bahan bakar jet dan avgas berbeda, maka hanya sedikit hidrokarbon yang
sama yang terdapat pada kedua bahan bakar tersebut.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 71 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B

DAFTAR PUSTAKA

Hemighaus, G., Boval, T., Bacha, J., Barnes, F., Franklin M., Gibbs, L.,
Hogue, N., Jones, J., Lesnini, D., Lind, J., dan Morris, J., 2006,
Aviation Fuels Technical Review, Chevron Corporation, Houston.

ASTM, 2008, Technical & Professional Training : Aviation Fuels: Specification

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”
Hal : 72 dari
PENYEGARAN AVIASI TYPE B
72
PUSDIKLAT MIGAS AVIATION TURBINE FUEL B
& Test Methods Course Notes AVF-SK-CN Version 1.4A, ASTM
International, West Conshohocken.

Parkash, S., 2010, Petroleum Fuels Manufacturing Handbook: Including


Specialty Products and Sustainable Manufacturing Techniques,
The McGraw-Hill Companies, Inc., New York.

NFPA 10, 1996, Standard for Portable Fire Extinguisher, NFPA.

NFPA 30, 1996, Flammable and Combustible Liquids Code, NFPA.

Buku ini milik dan hanya dipergunakan untuk kegiatan “Pusdiklat Migas Cepu”

Anda mungkin juga menyukai