Anda di halaman 1dari 33

Bab I

Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas) merupakan elemen yang tidak dapat
dipisahkan dari laporan keuangan. Liabilitas adalah utang entitas masa kini yang timbul dari
peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber
daya entitas yang mengandung manfaat ekonomi. Entitas hampir semua memiliki kewajiban
(liabilitas) untuk mendanai kegiatannya. Jarang sekali entitas hanya menggunakan ekuitas
dalam mendanai entitas. Bahkan untuk beberapa entitas dengan skala besar jumlah utang
melebihi modal entitas. Entitas dengan utang yang tinggi tidak dapat diartikan sesuatu yang
tidak baik. Jumlah liabilitas tinggi, namun entitas memiliki kemampuan membayar pokok
utang dan bunganya akan menghasilkan manfaat bagi entitas dan pemegang saham.
Penggunaan liabilitas untuk mendanai entitas harus dipertimbangkan dengan baik
sehingga tetap memberikan manfaat bagi entitas. Liabilitas yang terkait dengan operasi
biasanya tidak ada bunga. Liabilitas operasional ini biasanya diperoleh perusahaan karena
penundaan pembayaran kepada pemasok, pemerintah, karyawan, atau pihak lain. Entitas akan
memperoleh keuntungan karena dapat menunda pembayaran dan menggunakan dana tersebut
untuk investasi atau aktivitas lain. Liabilitas dengan bunga juga mampu menghasilkan
manfaat untuk entitas jika bunga pinjaman lebih rendah dibandingkan imbal hasil dari
investasi yang didanai dari pinjaman tersebut.
Liabilitas dibagi atas dua jenis, yaitu liabilitas jangka panjang dan liabilitas jangka
pendek. Dimana, dalam PSAK 1 (revisi 2009) mengharuskan entitas untuk menyajikan
liabilitas jangka pendek terpisah dari liabilitas jangka panjang. Namun, untuk industri
perbankan atau keuangan, entitas dapat menyajikannya berdasarkan urutan likuiditas, tanpa
memisahkan liabilitas jangka pendek dan jangka panjang.
Istilah ekuitas berasal dari kata equity atau equity of ownership yang berarti kekayaan
bersih perusahaan. Secara sederhana, ia diformulasikan sebagai total aktiva dikurangi total
pasiva. Pada dasarnya ekuitas berasal dari investasi pemilik dan hasil usaha perusahaan.
Ekuitas akan berkurang terutama dengan adanya penarikan kembali penyertaan oleh pemilik,
pembagian keuntungan atau karena kerugian. Ekuitas terdiri dari modal disetor, saham, laba
ditahan, cadangan laba, dan modal lainnya.
Dalam praktiknya, sering kali terjadi pelanggaran terhadap penerapan standar yang
berlaku terhadap kedua hal tersebut, salah satu contoh kasus yang pernah terjadi yaitu pada
kasus PT. Great River Internasional, Tbk. Kasus tersebut terkait dengan permasalahan
1
restrukturisasi hutang dan adanya perbedaan metode pencatatan dengan standar yang berlaku.
Dalam kasus ini juga melibatkan tuntutan terhadap Kantor Akuntan Publik (KAP) Justinus
Aditya Sidharta selaku KAP yang memeriksa perusahaan tersebut, dan berakhir dengan
pembekuan izin akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama 2 tahun oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas)?
2. Bagaimana penggolongan dari kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas)?
3. Bagaimana standar pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan terhadap
kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas) yang berlaku?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetauhi apa yang dimaksud dengan kewajiban (liabilitas) dan modal
(ekuitas)
2. Untuk mengetahui bagaimana penggolongan dari kewajiban (liabilitas) dan modal
(ekuitas)
3. Untuk mengetahui standar pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan
terhadap kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas) yang berlaku.

2
BAB II
Pembahasan
2.1. Liabilitas
Menurut FASB kewajiban diartikan sebagai pengorbanan manfaat ekonomik masa
datang yang cukup pasti yang timbul dari keharusan sekarang suatu kesatuan usaha untuk
menstransfer aset atau menyediakan/menyerahkan jasa kepada kesatuan lain datang sebagai
akibat transaksi atau kejadian masa lalu.
Statement of Financial Concepts No. 3 mendefinisikan utang sebagai pengorbanan
manfaat ekonomis yang mungkin terjadi di masa yang akan datang yang timbul dari
kewajiban yang ada dari suatu entitas tertentu untuk mentransfer aktiva atau memberikan jasa
ke entitas lainnya di masa yang akan datang sebagai akibat transaksi atau kejadian di masa
lalu.
Sedangkan menurut Kerangka Dasar Pengukuran dan Pengungkapan Laporan
Keuangan (KDP2LK) liabilitas adalah utang entitas masa kini yang timbul dari peristiwa
masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas
yang mengandung manfaat ekonomi.
Terdapat beberapa pengertian lain selain dari FASB yaitu seperti pengertian menurut
IASC, AASB, dan APB No. 4, tetapi pada umumnya dijelaskan bahwa kewajiban memiliki
tiga karakteristik utama yang terdiri atas pengorbanan manfaat ekonomik masa datang,
keharusan sekarang untuk menstransfer aset, dan timbul sebagai akibat transaksi masa lalu.
1. Menjadi pengorbanan sumber ekonomik yang cukup pasti di masa depan (probable
future sacrifices of economic benefits).
2. Menjadi kewajiban saat ini atau periode ini (present obligation) untuk menyerahkan
kas, barang, atau jasa di masa datang.
3. Terjadi karena transaksi masa lalu.
Liabilitas dapat diketahui nilainya dengan pasti, namun ada beberapa jenis liabilitas
yang nilainya diukur dengan estimasi, liabilitas jenis ini diistilahkan sebagai provisi. Sejak
PSAK 1 (revisi 2009) Penyajian Laporan Keuangan, istilah kewajiban ini diganti dengan
liabilitas.
Kewajiban dimasukkan dalam laporan neraca dengan saldo normal kredit, dan biasanya
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu liabilitas jangka pendek dan liabilitas jangka panjang.

3
2.1.1. Liabilitas Jangka Pendek
PSAK 1 (revisi 2009) menjelaskan klasifikasi liabilitas jangka pendek jika memenuhi
kriteria:
1. Entitas mengharapkan akan menyelesaikan liabilitas tersebut dalam siklus operasi
normalnya;
2. Entitas memiliki liabilitas tersebut untuk tujuan diperdagangkan;
3. Liabilitas tersebut jatuh tempo untuk diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan
setelah periode pelaporan; atau
4. Entitas tidak memiliki hak tanpa syarat untuk menunda penyelesaian liabilitas selama
sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan.
Berdasarkan ketentuan diatas, liabilitas jangka pendek dapat diartikan sebagai liabilitas
entitas kini, yang timbul akibat peristiwa masa lalu, yang penyelesaiannya diharapkan
mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas yang akan diselesaikan dalam jangka
waktu satu siklus operasi atau 12 bulan mana yang lebih panjang dan untuk tujuan
diperdagangkan. Kriteria khusus untuk liabilitas jangka pendek adalah jangka waktu
penyelesaian 12 bulan atau satu siklus operasi. Siklus operasi adalah siklus dari pembelian
bahan baku sampai dengan diperolehnya kas dari hasil penjualan produk yang dihasilkan.
PSAK 1 (revisi 2009) menjelaskan item-item minimum dari liabilitas jangka pendek
yang harus disajikan dalam laporan posisi keuangan. Menurut PSAK 1 (revisi 2009), jika
entitas memiliki liabilitas tersebut dalam jumlah material maka entitas harus menyajikan
sebagai unsur yang terpisah. Item minimum yang diharuskan menurut PSAK 1 (revisi 2009)
untuk liabilitas jangka pendek adalah:
1. Utang dagang dan terutang lainnya;
2. Provisi;
3. Liabilitas keuangan jangka pendek (tidak termasuk jumlah yang disajikan dalam
provisi);
4. Liabilitas dan aset pajak kini; sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 46 (revisi
2013) Akuntansi Pajak Penghasilan;
5. Liabilitas dan aset pajak tangguhan; sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 46
(revisi 2013);
6. Liabilitas yang termasuk dalam kelompok yang dilepaskan yang diklasifikasikan
sebagai yang dimiliki untuk dijual sesuai dengan PSAK 58 (revisi 2010) Aset Lancar
yang Tersedia untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan.

4
Liabilitas jangka pendek lainnya dapat berupa liabilitas yang tidak diselesaikan dalam
siklus operasi normal, tetapi jatuh tempo dan diselesaikan dalam waktu dua belas bulan
setelah periode pelaporan atau dimiliki untuk tujuan diperdagangkan. Misalnya, liabilitas
keuangan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk diperdagangkan sesuai dengan PSAK
55 (revisi 2013), cerukan bank, bagian jangka pendek dari liabilitas keuangan jangka
panjang, dividen terutang, pajak penghasilan terutang, dan utang nonusaha lainnya. Entitas
mengklasifikasikan liabilitas keuangan tersebut sebagai liabilitas jangka pendek jika
liabiliitas tersebut jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan setelah periode
pelaporan.
Entitas dapat menyajikan komponen yang lebih rinci dari item tersebut. Pertimbangan
untuk menyajikan suatu komponen liabilitas jangka pendek dalam satu line sendiri atau
digabungkan diserahkan kepada manajemen dengan mempertimbangkan kebutuhan informasi
pengguna laporan keuangan. Jika suatu informasi detail diperlukan oleh pengguna laporan
keuangan, maka entitas sebaiknya menyajikan dalam komponen yang terpisah. Dapat juga
entitas menyajikan dalam kelompok minimal sesuai dengan PSAK 1 (revisi 2009) dan
melengkapinya dengan rincian dalam catatan atas laporan keuangan.
PSAK 1 (revisi 2009) hanya menjelaskan tentang bagaimana menyajikan liabilitas
dalam laporan keuangan. Pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan liabilitas
jangka pendek dan jangka panjang diatur lebih lanjut dalam PSAK Instrumen Keuangan yaitu
PSAK 50 (revisi 2013) Penyajian Instrumen Keuangan; PSAK 55 (revisi 2013) Pengakuan
dan Pengukuran Instrumen Keuangan; dan PSAK 60 (revisi 2013) Pengungkapan Instrumen
Keuangan. Untuk liabilitas diestimasi atau sekarang dikenal dengan istilah provisi diatur
dalam PSAK 57 (revisi 2009) Provisi, Liabilitas Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi.
2.1.2. Jenis dan Klasifikasi Liabilitas Jangka Pendek
PSAK 1 (revisi 2009) tidak membahas secara khusus klasifikasi dan jenis liabilitas
jangka pendek. Bentuk usaha entitas akan menentukan jenis dan klasifikasi liabilitas yang
dimiliki sebuah entitas. Klasifikasi dapat dilihat dalam berbagai perspektif dan sudut
pandang. PSAK 1 (revisi 2009) hanya memberikan aturan umum dalam penyajian item dalam
laporan keuangan didasarkan pada relevansi informasi tersebut bagi pengguna laporan
keuangan. Jika informasi tersebut dianggap relevan maka sebaiknya diklasifikasikan secara
terpisah. Materialitas juga menjadi pertimbangan apakah suatu liabilitas perlu
diklasifikasikan tersendiri atau digabung.
Berdasarkan nilainya, liabilitas dapat dikategorikan menjadi liabilitas yang nilainya
pasti dan liabilitas yang nilainya tidak dapat ditentukan sehingga harus diestimasi. Liabilitas
5
yang nilainya pasti, merupakan bentuk liabilitas yang telah jelas berapa jumlah dibayarkan
kepada pihak lain. Liabilitas yang nilainya tidak pasti, jumlahnya diestimasi oleh entitas
berdasarkan informasi yang tersedia. Menurut PSAK 57 (revisi 2009) disebut sebagai provisi.
Liabilitas juga dapat diklasifikasikan berdasarkan asal terjadinya. Liabilitas dapat
terjadi sebagai konsekuensi kegiatan operasi perusahaan dan liabilitas yang berdasarkan
kontrak formal. Liabilitas yang terjadi sebagai konsekuensi operasi misalnya utang dagang,
utang pajak, beban yang masih harus dibayar, pendapatan diterima di muka. Liabilitas
berdasarkan kontrak formal misalnya wesel bayar, utang bank, atau liabilitas jangka panjang
yang akan jatuh tempo dalam dua belas bulan. Berikut beberapa jenis liabilitas jangka
pendek:
 Utang usaha, adalah utang terkait dengan kegiatan utama entitas. Untuk entitas yang
bergerak di bidang perdagangan, utang usaha disebut sebagai utang dagang. Utang
dagang timbul saat entitas melakukan pembelian kepada pemasok secara kredit.
 Wesel bayar, atau sering disebut sebagai notes payable atau promissory notes
merupakan janji dari pihak penarik wesel untuk membayarkan sejumlah nilai tertentu di
masa mendatang. Wesel bayar ditarik untuk pelunasan utang dagang, pembayaran suatu
transaksi atau ditarik untuk mendapatkan uang tunai. Pihak penarik wesel akan
menunjuk bank untuk melakukan penyelesaian pembayaran yang akan diambil dari
rekening penarik / penerbit wesel. Akuntansi untuk wesel bayar tidak berbeda dengan
akuntansi untuk utang bank, perbedaan yang mendasarinya hanyalah dokumen
transaksinya. Dokumen transaksi wesel adalah surat wesel atau promissory notes,
sedangkan bukti transaksi utang bank adalah dokumen kredit bank. Bunga atas wesel
bayar biasanya dihitung berdasarkan nilai nominal yang tertera dalam wesel. Jika dalam
penerbitan wesel bayar, pihak penerbit mengeluarkan biaya transaksi maka biaya
transaksi tersebut akan diperhitungkan menambah biaya bunga sehingga bunga efektif
wesel akan menurun.
 Utang bank jangka pendek, adalah utang suatu entitas kepada bank dengan jangka
waktu satu tahun atau kurang. Utang bank jangka pendek ditarik oleh entitas untuk
memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Utang bank jangka pendek ditarik oleh
entitas pada saat membutuhkan untuk jangka waktu tertentu dan akan dikembalikan
sesuai dengan perjanjian kredit. Utang bank jangka pendek ada bunganya, bunga dapat
dibayarkan pada saat jatuh tempo, selama periode tertentu, bunga dipotong didepan dari
jumlah utang yang ditarik atau kombinasi.

6
 Liabilitas jangka panjang yang akan jatuh tempo, liabilitas jangka panjang yang
akan dilunasi periode berikutnya diklasifikasikan menjadi liabilitas jangka pendek,
kecuali: 1). Dilunasi dengan akumulasi dana yang tidak diklasifikasikan sebagai aset
lancar; 2). Dibiayai kembali atau dilunasi dengan penerbitan liabilitas jangka panjang
yang baru; 3). Dikonversi menjadi saham. Liabilitas jangka panjang yang akan jatuh
tempo dalam jangka waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan tetap
diklasifikasikan dalam jangka pendek.
 Liabilitas jangka pendek yang didanai kembali, liabilitas keuangan yang dibiayai
kembali yang akan jatuh tempo dalam 12 bulan setelah periode pelaporan
diklasifikasikan sebagai liabilitas jangka pendek, jika entitas tidak memiliki hak tanpa
syarat untuk membiayai kembali. Pelanggaran perjanjian utang yang mengakibatkan
kreditur meminta percepatan pembayaran, maka liabilitas tersebut disajikan sebagai
liabilitas jangka pendek, meskipun kreditur mengizinkan penundaan pembayaran
selama 12 bulan setelah tanggal pelaporan tetapi persetujuan tersebut diperoleh setelah
tanggal pelaporan
 Utang dividen, adalah dividen yang telah diumumkan namun belum dibayarkan.Utang
dividen diakui pada saat pengumuman dividen dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
Utang dividen yang diakui hanyalah dividen tunai atau dividen yang diberikan dalam
bentuk aset. Dividen saham tidak dicatat oleh penerima dan tidak ada pengakuan utang.
Dividen saham akan dicatat dengan mereklasifikasikan saldo laba ke modal / agio
saham.
 Uang muka pelanggan (deposit), adalah uang yang dibayarkan pelanggan sebagai
deposit dan akan diberikan kembali kepada pelanggan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan.
 Pendapatan diterima dimuka, adalah pendapatan yang telah diterima secara tunai
namun pendapatannya belum diperoleh. Ini merupakan liabilitas karena entitas sudah
menerima kas atas barang yang belum diserahkan atau jasa yang belum diselesaikan.
 Utang PPN / PPnBM, PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai
yang diciptakan oleh perusahaan. Pajak ini dikenakan atas setiap konsumsi barang atau
jasa didaerah pabean. Menurut UU PPN, saat terutang PPN adalah pada saat
penyerahan barang atau jasa, kecuali jika kas diterima terlebih dahulu sebelum
penyerahan barang atau jasa, maka saat terutang pajak adalah saat penerimaan kas.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan atas

7
penjualan barang mewah. Pajak ini hanya dikenakan pada importer dan produsen
barang mewah, tidak dapat dikreditkan, serta dicatat oleh pembeli sebagai penambah
nilai persediaan.
 Utang pajak penghasilan, entitas pada saat membayar gaji karyawan, akan memotong
PPh 21 atau mencatat utang PPh 21.
 Utang gaji, adalah beban gaji yang telah terjadi namun belum dibayarkan.
 Utang pajak pihak ketiga, entitas diwajibkan dalam peraturan untuk melakukan
pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh pihak lain. Pajak yang dipotong
diantaranya adalah PPh 21 atas gaji yang diterima pekerja, PPh 26 atas penghasilan
yang diterima wajib pajak luar negeri, PPh 23 atas jasa, sewa, bunga royalty.
a. Kewajiban Diestimasi (Provisi) Dan Kewajiban Kontijensi
1. Kewajiban diestimasi (Provisi)
PSAK 57 (revisi 2009) mendefinisikan kewajiban diestimasi (provisi) adalah
sebagai liabilitas kini yang waktu dan jumlahnya belum pasti. Kewajiban diestimasi
(provisi) diakui dalam laporan keuangan, pengukurannya dengan cara melakukan
estimasi. Kewajiban diestimasi dapat dibedakan dari kewajiban lain, seperti utang
dagang dan akrual, karena pada kewajiban diestimasi terdapat ketidakpastian mengenai
waktu atau jumlah yang harus dikeluarkan pada masa datang untuk menyelesaikan
kewajiban diestimasi tersebut. Provisi diakui jika memenuhi tiga syarat, yaitu:
 Perusahaan memiliki kewajiban kini (baik bersifat hukum maupun bersifat
konstruktif) sebagai akibat peristiwa masa lalu;
 Besar kemungkinan (probable) penyelesaian kewajiban tersebut mengakibatkan
arus keluar sumber daya; dan
 Estimasi yang andal mengenai jumlah kewajiban tersebut dapat dibuat.
Adapun pengukuran kewajiban diestimasi (provisi) adalah sebagai berikut:
 Estimasi terbaik, Jumlah yang diakui sebagai provisi adalah hasil estimasi
terbaik pengeluaran yang diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban kini pada
akhir periode pelaporan. (par 36)
 Risiko dan ketidakpastian, Jumlah yang diakui sebagai provisi adalah hasil
estimasi terbaik pengeluaran yang diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban
kini pada akhir periode pelaporan. (par 42)

8
 Nilai kini, Jika dampak nilai waktu uang cukup material, maka jumlah provisi
adalah nilai kini dari perkiraan pengeluaran yang diperlukan untuk
menyelesaikan kewajiban. (par 45)
 Peristiwa masa depan, Peristiwa masa depan yang dapat mempengaruhi jumlah
yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu kewajiban harus tercermin dalam
jumlah provisi jika ada bukti obyektif bahwa peristiwa itu akan terjadi. (PSAK 57
par 48)
 Rencana pelepasan aset, Keuntungan sehubungan dengan rencana pelepasan
aset tidak boleh dipertimbangkan dalam menghitung suatu provisi (PSAK 57 par
51)
Untuk setiap jenis kewajiban diestimasi, entitas harus mengungkapkan:
 Nilai tercatat pada awal dan akhir periode;
 Kewajiban diestimasi tambahan yang dibuat dalam periode bersangkutan,
termasuk peningkatan jumlah pada kewajiban diestimasi yang ada;
 Jumlah yang digunakan, yaitu jumlah yang terjadi dan dibebankan pada
kewajiban diestimasi selama periode bersangkutan;
 Jumlah yang belum digunakan yang dibatalkan selama periode bersangkutan; dan
 Peningkatan, selama periode yang bersangkutan, dalam nilai kini yang timbul
karena berlalunya waktu dan dampak dari setiap perubahan tingkat
diskonto.ormasi komparatif tidak diharuskan.
Bentuk provisi yang terjadi dalam bisnis dan disajikan dalam laporan keuangan
antara lain, tuntutan hukum yang menimbulkan kerugian bagi entitas, garansi produk
atau premi produk kewajiban pengelolaan lingkungan, kontrak yang memberatkan, dan
restrukturisasi usaha yang menjanjikan suatu kewajiban di masa mendatang.
2. Kewajiban Kontijensi
Liabilitas kontijensi yang tidak memenuhi kriteria sebagai provisi diklasifikasikan
sebagai liablitas kontijensi. Kontijensi adalah suatu keadaan yang masih diliputi
ketidakpastian mengenai kemungkinan diperolehnya laba atau rugi oleh suatu
perusahaan, yang baru akan terselesaikan dengan terjadi atau tidak terjadinya satu atau
lebih peristiwa dimasa yang akan datang.
Kewajiban kontinjensi adalah:
 Kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu, dan keberadaannya
menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu peristiwa atau lebih pada
masa depan yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah; atau
9
 Kewajiban kini yang timbul sebagai akibat peristiwa masa lalu, tetapi tidak diakui
Karena:
 Tidak terdapat kemungkinan besar (not probable ) pemerintah mengeluarkan
sumber daya yang mengandung manfaat ekonomis untuk menyelesaikan
kewajibannya; atau
 Jumlah kewajiban tersebut tidak dapat diukur secara andal.
Liabilitas kontinjensi menurut PSAK 57 (revisi 2009) terdiri dari dua kelompok,
yaitu liabilitas potensial dan liabilitas kini. Keuntungan kontinjensi (gain
contingencies) adalah klaim atau hak untuk menerima aktiva (atau memiliki kewajiban
yang menurun) yang keberadaannya tidak pasti tetapi pada akhirnya akan menjadi sah.
Jenis keuntungan kontinjensi yang khas adalah:
 Penerimaan yang mungkin atas uang dari hadiah, sumbangan, bonus, dan lain
sebagainya.
 Kemungkinan pengembalian dana dari pemerintah atas kelebihan pajak
 Penundaan kasus pengadilan yang hasilnya mungkin menguntungkan
 Kerugian pajak yang dikompensasi ke depan
Kerugian kontingensi (loss contiengencies) adalah situasi yang melibatkan
ketidakpastian atas kemungkinan terjadinya kerugian.Kewajiban yang terjadi sebagai
akibat dari kerugian kontinjensi menurut defenisinya disebut sebagai kewajiban
kontinjen. Kewajiban kontijen (contiegencies liabilities) adalah kewajiban yang
bergantung pada terjadinya atau tidak terjadinya satu atau lebih kejadian di masa depan
untuk mengkonfirmasi jumlah hutang, pihak yang dibayar, tangal pembayaran, atau
keberadaannya. Apabila terdapat kerugian kontinjensi, maka kemungkinan bahwa
kejadian di masa depan akan menguatkan terjadinya kewajiban dapat berkisar dari
sangat mungkin hingga kurang mungkin.
Banyak peristiwa masa lalu yang dapat menimbulkan kewajiban kini. Walaupun
demikian, dalam beberapa peristiwa yang jarang terjadi, misalnya dalam tuntutan
hukum, dapat timbul perbedaan pendapat mengenai apakah peristiwa tertentu sudah
terjadi atau apakah peristiwa tersebut menimbulkan kewajiban kini. Jika demikian
halnya, perusahaan menentukan apakah kewajiban kini telah ada pada tanggal neraca
dengan mempertimbangkan semua bukti yang tersedia, termasuk misalnya pendapat
ahli. Bukti yang dipertimbangkan mencakup, antara lain, bukti tambahan yang
diperoleh dari peristiwa setelah tanggal neraca. Atas dasar bukti tersebut, apabila besar

10
kemungkinan bahwa kewajiban kini belum ada pada tanggal neraca, pemerintah
mengungkapkan adanya kewajiban kontingensi.
Pengungkapan tidak diperlukan jika kemungkinan arus keluar sumber daya kecil.
Kewajiban kontingensi dapat berkembang ke arah yang tidak diperkirakan semula.
Oleh karena itu, kewajiban kontingensi harus terus-menerus dikaji ulang untuk
menentukan apakah tingkat kemungkinan arus keluar sumber daya bertambah besar
(probable). Apabila kemungkinan itu terjadi, maka manajemen akan mengakui
kewajiban diestimasi dalam laporan keuangan periode saat perubahan tingkat
kemungkinan tersebut terjadi, kecuali nilainya tidak dapat diestimasikan secara andal.
Pengukuran besaran kewajiban kontingensi tidak dapat diukur secara eksak. Untuk itu
diperlukan pertimbangan profesional oleh pihak yang berkompeten. Penyajian dan
Pengungkapan Kewajiban kontingensi tidak disajikan pada neraca , namun demikian
perusahaan harus mengungkapkan kewajiban kontingensi pada Catatan atas Laporan
Keuangan untuk setiap jenis kewajiban kontingensi pada tanggal neraca. Pengungkapan
tersebut dapat meliputi:
 Karakteristik kewajiban kontingensi;
 Estimasi dari dampak finansial yang diukur;
 Indikasi tentang ketidakpastian yang terkait dengan jumlah atau waktu arus keluar
sumber daya;
 Kemungkinan penggantian oleh pihak ketiga.
Aset kontinjensi adalah aset potensial yang timbul dari peristiwamasa lalu dan
keberadaannya menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu peristiwa atau
lebih pada masa depan yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali entitas.
Berdasarkan PSAK 57 par 31, entitas tidak diperkenankan mengakui aset kontinjensi
3. Restrukturisasi
Restrukturisasi adalah program yang direncanakan dan dikendalikan oleh
manajemen dan secara material mengubah:
 Lingkup kegiatan usaha suatu entitas; atau
 Cara mengelola usaha tersebut.
Contoh:
 Penjualan atau penghentian suatu lini usaha;
 Penutupan lokasi usaha dalam suatu negara atau kawasan ke negara atau kawasan
lain;

11
 Perubahan dalam struktur manajemen, misalnya menghilangkan satu lapis
manajemen; dan
 Reorganisasi mendasar yang memiliki dampak signifi kan pada karakteristik dan
fokus operasi entitas.
Kewajiban konstruktif untuk melakukan restrukturisasi muncul hanya jika entitas
memiliki rencana formal yang rinci dan menciptakan ekpektasi yang valid pada pihak-
pihak yang terkena dampak restrukturisasi (PSAK 57 par 72).
Provisi restrukturisasi hanya mencakup pengeluaran langsung yang timbul dari
restrukturisasi, yaitu yang memenuhi kedua persyaratan antara lain benar-benar harus
dikeluarkan dalam rangka restrukturisasi, dan tidak terkait dengan aktivitas yang masih
berlangsung pada entitas. Untuk setiap jenis provisi, entitas harus mengungkapkan:
 Nilai tercatat pada awal dan akhir periode;
 Provisi tambahan yang dibuat dalam periode bersangkutan, termasuk peningkatan
jumlah pada provisi yang ada;
 Jumlah yang digunakan, yaitu jumlah yang terjadi dan dibebankan pada provisi
selama periode bersangkutan;
 Jumlah yang belum digunakan yang dibatalkan selama periode bersangkutan; dan
 Peningkatan, selama periode yang bersangkutan, dalam nilai kini yang timbul
karena berlalunya waktu dan dampak dari setiap perubahan tingkat diskonto.
Entitas juga harus mengungkapkan pula:
 Uraian singkat mengenai karakteristik kewajiban dan perkiraan saat arus keluar
sumber daya terjadi;
 Indikasi mengenai ketidakpastian saat atau jumlah arus keluar tersebut jika
diperlukan dalam rangka menyediakan informasi yang memadai, entitas harus
mengungkap kan asumsi utama yang mendasari prakiraan peristiwa masa depan;
 Jumlah estimasi penggantian yang akan diterima dengan menyebutkan jumlah
aset yang telah diakui untuk estimasi penggantian tersebut.
2.1.3. Liabilitas Jangka Panjang
Liabilitas jangka panjang terdiri atas perkiraan aliran sumber daya keluar perusahaan
akibat kewajiban yang tidak dapat diselesaikan dalam kurun waktu 1 tahun atau siklus
operasi perusahaan. Utang obligasi, wesel bayar jangka panjang, utang hipotek, kewajiban
pensiun, dan kewajiban sewa adalah contoh liabilitas jangka panjang.
a. Penerbitan Obligasi
Penerbitan obligasi ke publik emiten harus
12
 Menetapkan penjamin emisi.
 Mendapatkan persetujuan regulasi atas penerbitan obligasi, menjalani proses audit,
dan menerbitkan prospektus.
 Memiliki sertifikat obligasi tercetak.
Harga jual atas penerbitan obligasi ditetapkan oleh:
 Mekanisme permintaan dan penawaran
 Resiko relatif
 Kondisi pasar
 Keadaan ekonomi
Nilai obligasi pada present value dari arus kas masa depan yang diharapkan, yang
terdiri atas bunga dan nilai nominal /principal.
Jumlah bunga yang dibayarkan kepada pemegang obligasi setiap periode :

𝑺𝒖𝒌𝒖 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂 𝒏𝒐𝒎𝒊𝒏𝒂𝒍 × 𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊 𝒏𝒐𝒎𝒊𝒏𝒂𝒍 𝒐𝒃𝒍𝒊𝒈𝒂𝒔𝒊

Jumlah bunga yang dicatat sebagai beban oleh emiten :

𝑺𝒖𝒌𝒖 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂 𝒑𝒂𝒔𝒂𝒓 × 𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊 𝒕𝒆𝒓𝒄𝒂𝒕𝒂𝒕 (𝒃𝒖𝒌𝒖) 𝒐𝒃𝒍𝒊𝒈𝒂𝒔𝒊

b. Metode Suku Bunga Efektif


Obligasi diterbitkan dengan diskon – jumlah yang dibayar saat jatuh tempo lebih besar
daripada harga penerbitan obligasi.
Obligasi diterbitkan dengan premium – perusahaan menjual obligasi dengan harga lebih
tinggi daripada nilai nominal yang dibayarkan saat jatuh tempo.
Penyesuaian terhadap beban bunga obligasi dicatat melalui proses yang disebut
amortisasi dengan menggunakan metode suku bunga efektif. Dengan menggunakan
metode suku bunga efektif, beban bunga periodik dicatat pada persentase konstan atas
nilai buku obligasi.

1. Obligasi Dijual Di Antara Tanggal Pembayaran Bunga


Pembeli obligasi akan membayar kepada penjual obligasi bunga akrual sejak tanggal
terakhir pembayaran kupon sampai tanggal obligasi dijual. Pada tanggal pembayaran

13
kupon selanjutnya, pembeli obligasi akan mendapatkan pembayaran kupon secara
penuh.
c. Penerbitan Wesel Bayar
Perlakuan akuntansi untuk utang obligasi dan wesel bayar relatif sama, yaitu wesel
bayar dinilai sebesar nilai kini dari arus kas pembayaran di masa depan (baik pokok
maupun bunga).
1. Wesel Bayar Tidak Diterbitkan pada Nilai Nominal
 Wesel Tanpa Bunga (Zero-Interest-Bearing Notes)
Perusahaan penerbit mencatat perbedaan antara nilai nominal dengan present
value (harga jual) sebagai diskon yang diamortisasi sebagai beban bunga selama umur
wesel.
 Wesel dengan Bunga (Interest-Bearing Notes)
Akuntansi pada wesel bayar dengan kupon/bunga serupa dengan akuntansi pada
obligasi. Jika terdapat diskon atau premium, maka jumlah tersebut diamortisasi
selama umur wesel bayar dengan menggunakan metode suku bunga efektif.
2. Situasi Wesel Khusus
 Wesel Yang Diterbitkan Untuk Properti, Barang, Dan Jasa
Ketika melakukan penukaran instrumen liabilitas dengan properti, barang, atau
jasa di dalam transaksi tawar-menawar, maka suku bunga tercantum dianggap wajar,
kecuali:
 Tidak dicantumkan suku bunga, atau
 Suku bunga tercantum tidak masuk akal, atau
 Nilai nominal berbeda secara material dengan harga kas saat transaksi untuk item
serupa atau dari nilai wajar instrumen liabilitas saat transaksi.
 Pemilihan Suku Bunga
Jika perusahaan tidak dapat menentukan nilai wajar atas properti, barang, jasa,
atau hak lainnya, dan belum ada pasar tersedia untuk wesel tersebut, maka perusahaan
harus memperkirakan suku bunga yang dapat digunakan (imputation) di dalam
menggunakan metode suku bunga efektif.Pemilihan suku bunga dipengaruhi oleh:
 Suku bunga berlaku untuk instrumen sejenis.
 Faktor seperti perjanjian pengikat, jaminan, jadwal pembayaran, dan suku bunga
utama.

14
3. Wesel Bayar Mortgage
Wesel bayar mortgage merupakan wesel dengan jaminan dokumen yang
menjanjikan hak untuk properti sebagai pengaman pinjaman. Bentuk paling umum untuk
wesel bayar.
e. Pelunasan Kewajiban Jangka Panjang
1. Pelunasan dengan Kas sebelum Jatuh Tempo
 Harga reakuisisi > Nilai buku bersih = Rugi
 Harga reakuisisi < Nilai buku bersih = Untung
 Pada saat reakuisisi, premium atau diskon harus diamortisasi sampai tanggal
rekuisisi.
2. Pelunasan dengan Pertukaran Aset atau Sekuritas
 Kreditur harus mencatat aset non-kas atau bunga ekuitas yang diterima pada nilai
wajar.
 Debitur mengakui keuntungan sebesar kelebihan nilai buku terutang terhadap
nilai wajar aset atau ekuitas yang ditransfer.
3. Pelunasan dengan Persyaratan Modifikasi
Kreditur dapat menawarkan satu atau kombinasi dari kombinasi berikut:
 Pengurangan suku bunga nominal.
 Perpanjangan jatuh tempo pembayaran nilai nominal utang.
 Pengurangan nilai nominal utang.
 Pengurangan atau penangguhan accrued interest.
f. Opsi Nilai Wajar
Perusahaan dapat memilih mencatat pada nilai wajar pada akun untuk sebagian besar
aset dan liabilitas keuangan, termasuk obligasi dan weset bayar.IASB yakin bahwa
pengukuran instrumen keuangan pada nilai wajar memberikan informasi yang lebih
relevan dan dapat dipahami daripada biaya amortisasi.Ketika perusahaan mencatat pada
nilai wajar, maka laba/rugi yang belum direalisasi dilaporkan sebagai bagian dari laba
bersih.
g. Pembiayaan Di Luar Neraca
Pembiayaan di luar neraca merepresentasikan pinjaman yang tidak dicatat.Tujuannya
untuk meningkatkan rasio keuangan tertentu seperti rasio hutang terhadap ekuitas.Jenis -
jenisnnya antara lain:
 Anak Perusahaan yang Tidak Terkonsolidasi

15
 Entitas dengan Tujuan Khusus
 Sewa Guna Usaha Operasi
2.1.4. Pengakuan dan Pengukuran Liabilitas
a. Pengakuan
Kewajiban diakui pada saat keharusan telah mengikat akibat transaksi yang sebelumnya
terjadi. Kewajiban dapat diakui atas dasar kriteria pengakuan yaitu definisi, keterukuran,
keterandalan, dan keberpautan. Kam (hlm 119-120) mengajukan empat kaidah pengakuan
untuk menandai pengakuan kewajiban yaitu ketersediaan dasar hukum, keterterapan
konsep dasar konservatisme, ketertentuan substansi ekonomik transaksi, dan keterukuran
nilai kewajiban. Keempat kaidah tersebut dapat memberikan petunjuk tentang adanya
bukti teknis untuk mengakui kewajiban.
b. Pengukuran
Penentuan kos kewajiban pada saat terjadinya paralel dengan pengukuran aset, dan
pengukur yang paling objektif untuk menentukan kos kewajiban pada saat terjadinya
adalah dengan penghargaan sepakatan dalam transaksi-transaksi dan bukan jumlah rupiah
pengorbanan ekonomik masa datang. Penghargaan suau kewajiban merefleksi nilai setara
tunai atau nilai sekarang kewajiban yaitu jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonomik
seandainya kewajiban dilunasi pada saat terjadinya.
Dasar pengukuran kewajiban yang paling objektif adalah kos tunai atau kos tunai
implisit. Karena kewajiban merupakan cerminan dari aset, maka pengukurannya juga
mengikuti pengukuran aset.
Nilai nominal atau jatuh tempo obligasi sering dianggap sebagai jumlah rupiah
kesepakatan pada saat penerbitan obligasi baik bagi penerbit maupun bagi kreditor.Dasar
pengukuran demikian tidak tepat.Utang obligasi diukur dan diakui atas dasar jumlah
rupiah yang diterima dalam penerbitan obligasi, sedangkan diskun dan premium obligasi
merupakan jumlah rupiah penyesuaian bunga nominal untuk mendapatkan bunga efektif.
Kewajiban dapat bersifat moneter dan nonmeneter.Kewajiban moneter adalah
kewajiban yang pengorbanan sumber ekonomik masa datangnya berupa kas dengan
jumlah rupiah dan saat saat yang pasti.Kewajiban moneter ini dikukur atas dasar nilai
diskunan pembayaran kas masa datang (jangka panjang) dan atas dasar nilai nominal
(jangka pendek).Kewajiban nonmeneter adalah keharusan untuk menyediakan barang dan
jasa dengan jumlah dan saat yang cukup pasti yang biasanya timbul karena penerimaan
pembayaran dimuka untuk barang dan jasa tersebut.kewajiban nonmeneter diukur atas

16
dasar pembayaran tersebut yang menunjukkan harga yang disepakati untuk barang dan
jasa.
c. Penyajian dan pengungkapan
Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca berdasarkan urutan kelancarannya
sejalan dengan aset. PSAK No. 1 menggariskan bahwa aset lancar disajikan menurut
urutan likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh tempo. Ini berarti
kewajiban jangka pendek disajikan lebih dahulu daripada kewajiban jangka panjang. Hal
ini dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengevaluasi likuiditas
perusahaan.PSAK No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi
kriteria sebagai kewajiban jangka pendek diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka
panjang. Kriteria tersebut adalah (a) diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu
siklus normal operasi perusahaan, atau (b) jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas
bulan dari tanggal neraca.
Dalam praktek, kewajiban lancar biasanya dicatat dalam catatan akuntansi dan
dilaporkan dalam laporan keuangan pada nilai penuh jatuh temponya. Karena singkatnya
periode waktu yang terlibat, yang sering kali kurang dari satu tahun. Maka perbedaan
antara nilai sekarang kewajiban lancar dan nilai jatuh temponya biasanya tidak besar.
Akun kewajiban lancar biasanya disajikan sebagai klasifikasi pertama dalam kelompok
kewajiban dan ekuitas pemegang saham di neraca. Dalam kelompok kewajiban lancar
akun-akun itu dapat dicantumkan menurut jatuh temponya, dalam jumlah yang menurun,
atau menurut prefensi likuiditasnya.
Perusahaan yang mempunyai banyak terbitan hutang jangka panjang dalam jumlah
besar seringkali hanya melaporkan satu akun dalam neraca dan mendukungnya dengan
komentar serta skedul dalam catatan yang menyertainya. Pengungkapan catatan umumnya
berisi dari kewajiban, tanggal jatuh tempo, suku bunga, provisi penarikan, pembatasan
yang dilakukan oleh kreditor, dan aktiva yang disepakati atau digadaikan sebagai
jaminan.
2.2. Ekuitas
Istilah ekuitas berasal dari kata equity atau equity of ownership yang berarti kekayaan
bersih perusahaan. Secara sederhana, ia diformulasikan sebagai total aktiva dikurangi total
pasiva. Ekuitas merupakan bagian hak pemilik dalam perusahaan yaitu selisih antara aktiva
dan kewajiban yang ada, dan dengan demikian tidak merupakan ukuran nilai jual perusahaan
tersebut. Pada dasarnya ekuitas berasal dari investasi pemilik dan hasil usaha perusahaan.

17
Ekuitas akan berkurang terutama dengan adanya penarikan kembali penyertaan oleh pemilik,
pembagian keuntungan atau karena kerugian.
2.2.1. Struktur Organisasi Perusahaan
Berdasarkan kepemilikan, struktur organisasi perusahaan dapat dibedakan menjadi 3
kelompok besar, yaitu:
 Perusahaan Perseorangan, adalah perusahaan yang dimiliki oleh perseorangan.
 Perusahaan Persekutuan, adalah perusahaan yang dimiliki oleh dua orang atau lebih
yang membentuk persekutuan.
 Perusahaan Perseroan Terbatas, adalah perusahaan yang dimiliki oleh lebih dari dua
orang atau badan hukum, melalui penerbitan surat saham.
2.2.2. Perusahaan Terbatas (PT)
Ada dua macam PT, yaittu PT Tertutup dan PT Terbuka. PT Tertutup adalah perseroan
yang tidak menerbitkan saham untuk publik. Sementara PT terbuka, adalah perseroan yang
menerbitkan saham di pasar modal sehingga publik dapat membelinya.
Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, syarat formal
pembentukan PT yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
 Pendiri minimal terdiri atas 2 orang atau lebih
 Akta notaris yang berbahasa Indonesia
 Setiap pendiri harus mengambil bagian atas saham, kecuali dalam rangka peleburan
 Akta pendirian harus disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM, dan diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia (BNRI)
 Modal dasar minimal Rp 50.000.000 dan modal disetor minimal 25% dari modal dasar
 Minimal harus memiliki 1 orang direktur dan 1 orang komisaris.
 Pemegang saham harus WNI atau Badan Hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia, kecuali yang merupakan Penanaman Modal Asing.
2.2.3. Karakteristik Saham
a. Hak pembagian proporsional :
 Atas laba dan kerugian.
 Dalam manajemen (hak voting).
 Atas aset saat likuidasi.
 Atas penerbitan saham baru untuk kelas saham yang sama the preemptive right.
b. Memiliki resiko kerugian terbesar.
c. Memperoleh keuntungan atas keberhasilan perusahaan.

18
d. Tidak ada jaminan memperoleh dividen dan aset atas pembubaran perusahaan.
2.2.4. Prosedur Penerbitan Saham
Terdapat beberapa tahapan dalam prosedur penerbitan saham sebagai berikut:
 Tahap Persiapan: Persetujuan RUPS dan menunjuk penjamin emisi (underwriter)
 Tahap Pengajuan dan Pernyataan Pendaftaran: Otorisasi BAPEPAM-LK
 Tahap Penawaran/Penjualan Saham
 Tahap Pencatatan Saham Di Bursa Efek
Semua biaya langsung yang terkait atas penerbitan saham (biaya penjamin emisi,
akuntansi, biaya hukum, percetakan, pajak, dsb.) mengurangi pendapatan atas penjualan
saham.
2.2.5. Saham Biasa
a. Penerbitan Dengan Nilai Nominal
Saham dapat diterbitkan dengan nilai nominal (par value) tertentu untuk setiap
lembarnya.Penentuan besar kecilnya nilai nominal ini bergantung pada masing-masing
perusahaan. Apabila harga saham perdana atau harga penerbitan saham lebih tinggi
daripada nilai nominal, maka perusahaan akan mencatat timbulnya agio saham (share
premium).
b. Penerbitan Tanpa Nilai Nominal
Di beberapa negara, saham dapat diterbitkan tanpa nilai nominal, dengan alasan agar:
1. Perusahaan terhindar dari liabilitas kontinjensi
2. Perusahaan maupun investor terhindar dari kebingungan antara mencatat nilai
nominal atau nilai wajar pasar.
Di beberapa negara, saham tanpa nilai nominal tetap harus memiliki nilai yang
ditetapkan (stated value) yang berfungsi seperti nilai nominal.
c. Penerbitan dengan Sekuritas Lain
Dari segi pancatatan akuntansi, terdapat dua cara untuk mengakui dana yang diterima,
yaitu metode proporsional dan metode inkremental.
d. Penerbitan Secara Non-Tunai
Secara umum dalam transaksi seperti ini, perusahaan perlu mencatat saham yang
diterbitkan sebesar nilai wajar barang atau jasa yang diterima, atau jika nilai wajar barang
atau jasa tidak dapat diukur secara andal, maka sebesar nilai wajar saham yang diterbitkan.
2.2.6. Pembelian kembali Saham
Alasan perusahaan membeli kembali saham beredarnya sendiri :

19
 Meningkatkan earnings per share dan return on equity.
 Menyediakan saham untuk kontrak kompensasi pegawai atau untuk memenuhi
kebutuhan merger potensial.
 Menggagalkan usaha pengambilalihan atau untuk mengurangi jumlah pemegang saham.
 Mempengaruhi harga pasar dengan meningkatkan permintaan  harga stabil atau
meningkat.
2.2.7. Saham Treasuri
Reakuisisi saham yang telah dibeli kemudian ditarik (retirement) atau dijual kembali di
masa depan. Jika saham tidak ditarik dari peredaran, maka disebut saham treasuri.Saham
treasuri tidak digolongkan ke dalam aset dan mengurangi nilai aset bersih. Kepemilikan
saham treasuri tidak memberikan hak-hak pemegang saham.
Jika entitas memperoleh kembali instrumen ekuitasnya, maka instrumen tersebut
(saham treasuri) dikurangkan dari ekuitas. Keuntungan atau kerugian yang timbul dari
pembelian, penjualan, penerbitan, atau pembatalan instrumen ekuitas entitas tersebut tidak
diakui dalam laba rugi. Saham treasuri tersebut dapat diperoleh dan dimiliki oleh entitas yang
bersangkutan atau oleh anggota lain dalam kelompok usaha yang dikonsolidasi. Imbalan yang
dibayarkan atau diterima diakui secara langsung di ekuitas.
Nilai saham treasuri yang dimiliki diungkapkan secara terpisah, dalam Iaporan posisi
keuangan atau catatan atas laporan keuangan, sesuai dengan PSAK 1 (revisi 2009): Penyajian
Laporan Keuangan. Entitas mengungkapkan sesuai dengan PSAK 7 (revisi 2010):
Pengungkapan Pihak-pihak Berelasi jika saham treasuri diperoleh oleh pihak-pihak berelasi.
2.2.8. Saham Preferen
Saham preferen (preferred stock) merupakan jenis saham yang diterbitkan oleh
perusahaan dengan karakteristik atau fitur tertentu, yaitu:
1. Preferensi saat pembagian dividen
2. Preferensi saat pembagian aset, dalam proses likuidasi perusahaan
3. Dapat dikonversikan (convertible) menjadi saham biasa atau sekuritas lainnya
4. Dapat ditarik kembali (callable), sebagai eksekusi hak opsi bagi perusahaan
5. Tidak memiliki hak suara
6. Sifat dividen dapat kumulatif, artinya dividen yang tidak dibagikan dapat
diakumulasikan ke periode berikutnya
7. Partisipatif, yaitu kemungkinan mendapatkan dividen tambahan setelah pengalokasian
dividen untuk pemegang saham biasa

20
8. Dapat dijual kepada pihak perusahaan yang menerbitkan saham (redeemable).
2.2.9. Kebijakan Dividen
Alasan distribusi dividen tidak dimaksimalkan berdasarkan jumlah laba ditahan yang
tersedia:
 Memelihara persetujuan dengan kreditur.
 Memenuhi persyaratan regulasi negara / UU PT.
 Membiayai pertumbuhan dan ekspansi.
 Mempengaruhi arus kas / likuiditas.
 Berjaga terhadap kemungkinan kerugian dan masalah likuiditas.
Terdapat beberapa jenis dividen, antara lain
1. Dividen kas
2. Dividen property
3. Dividen likuidasi
4. Dividen saham.
Semua dividen selain dividen sahammengurangi total ekuitasperusahaan. Ketika
perusahaan mengumumkan dividen saham, perusahaan tidak membayarkan sejumlah aset
atau mengakui kewajiban, tetapi hanya menerbitkan saham tambahan ke masing-masing
pemegang saham.
2.3. Kasus PT . Great River Internasional Tbk
PT Great River International Tbk. (GRI) didirikan di Indonesia berdasarkan Akta
Notaris Warda Sungkar Alurmei, SH No. 75 tanggal 22 Juli 1976 yang telah diubah dengan
Akta Notaris Abdul Latief SH No. 117 tanggal 23 Nopember 1976. Akta Pendirian ini
disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusan
No.Y.A.5/3/5.Th.78 tanggal 15 Februari 1978 serta diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia No. 21 Tambahan No. 124 tanggal 11 Maret 1980. Anggaran Dasar
Perusahaan telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir dengan Akta Notaris Imas
Fatimah, SH No. 2 tanggal 2 Desember 2003 antara lain mengenai peningkatan modal disetor
dan ditempatkan melalui pembagian saham bonus. Perubahan Anggaran Dasar tersebut
belum disetujui oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
2.3.1. Bidang Usaha
Sesuai dengan pasal 3 anggaran dasar Perusahaan, kegiatan Perusahaan antara lain
meliputi industri pakaian jadi dan perdagangan.

21
2.3.2. Sejarah Singkat Perseroan
1976 : Didirikan oleh Sukanta Tanudjaja dan Sunjoto Tanudjaja dengan nama PT
Great River Garments Industries, dengan karyawan 150 orang
1977/78 : Memperoleh lisensi pertama berupa pakaian pria dan pakaian dalam wanita
1987 : Berturut-turut setiap tahun memperoleh lisensi merek-merek international
terkemuka
1989 : Saham Perseroan tercatat di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya
1991 : Meraih predikat “Indonesia Best Managed Company” dari majalah Asiamoney
Menjalin kerjasama dengan Tomen Co. dari Jepang mendirikan perusahaan
patungan PT GT Utama Garments
1992 : Berganti nama menjadi PT Great River Industries
Menjalin kerjasama dengan Mitsui Corp.dan Itabashi Co. dari Jepang, mendirikan
perusahaan patungan PT Great Iphock International, memproduksi knitwear
Menjalin kerjasama dengan Gunze Ltd. dari Jepang, mendirikan perusahaan
patungan PT Gunze Indonesia, memproduksi benang jahit
1993 : Melaksanakan right issue yang pertama
Mendirikan anak perusahaan, PT Inti Fasindo Internasional untuk menangani
usaha distribusi dan retail
1994 : Menjalin kerjasama dengan Toyobo Co.dari Jepang mendirikan perusahaan
patungan PT Toyobo Knitting Indonesia, memproduksi knit, dyeing & finishing
Menjalin kerjasama dengan Gunze Ltd. dari Jepang mendirikan perusahaan
patungan PT Gunze Sock Indonesia, memproduksi kaus kaki
1995 : Menjalin kerjasama dengan van Laack GmbH, dari Jerman mendirikan perusahaan
patungan Great River/ van Laack International, memproduksi pakaian pria
Lisensi yang ditangani oleh Perseroan mencapai lebih dari 30 merek internasional,
terdiri dari pakaian dalam, kemeja, pakaian kasual, pakaian anak-anak, household
1996 : Melaksanakan right issue yang kedua
Berganti nama menjadi PT Great River International
1997 : Meraih sertifikasi ISO 9002 untuk quality management dan diperbarui tahun 1999
Meraih predikat “Indonesia Best Managed Company” dari majalah Asiamoney
untuk kedua kali
2000 : Meraih kualifikasi “Kecelakaan Kerja Nihil” (Zero Accidents) dari Departemen
Tenaga Kerja
Usaha ekspor Perseroan mencapai 69% dari total nilai penjualan
22
2001 : Menyelesaikan restrukturisasi tahap I dengan Termsheet melalui Prakarsa Jakarta
Nilai penjualan ditargetkan meningkat 9,6%, dengan usaha ekspor mencapai 65%
dari total penjualan Fasilitas Produksi
2.3.3. Kendala-Kendala Internal
1. Kepastian hukum, kondisi sosial, politik, keamanan kurang kondusif
2. Kurangnya kenyamanan dan ketenangan berusaha
3. Kenaikan UMR, TDL, BBM secara berturut-turut berdampak pada meningkatnya
biaya operasional
4. Daya beli pasar domestik masih lemah.
2.3.4. Kendala-Kendala Eksternal
1. Sistem kuota
2. Menurunnya perekonomian dunia berpengaruh terhadap eksport
3. Dampak pasca tragedi ‘911’
4. Tariff & non-tariff barriers
5. Proteksi dari negara industri seperti Uni Eropa (ISO, Eco-labeling, ILAC, CSM-2000)
dan Amerika Serikat (WRAP)
2.3.5. Potensi Pertumbuhan Perusahaan
1. Great River merupakan perusahaan pakaian jadi terkemuka di Indonesia, meliputi
produksi, distribusi dan retail
2. Memiliki 6000 konsumen ritel dan 71 unit toko milik sendiri
3. Tetap konsisten pada bisnis inti (core bisnis)
4. Aliansi strategis dengan Dept Store nasional dan internasional
5. Negara tujuan ekspor melebihi 20 negara
6. kapasitas produksi mencapai 44 juta potong per tahun
7. Ekspansi melalui “ Direct Selling” dengan 67,500 Fashion Dealers
8. Strategi operasional melalui usaha patungan
2.3.6. Keadaan Perseroaan Saat Ini
 Kegiatan operasional Perseroan berjalan normal, pabrik masih berproduksi
 Kondisi karyawan terkendali. Seluruh karyawan baik dari pabrik, kantor pusat, maupun
kantor cabang, masuk seperti biasa
 Listrik di Gedung Plaza GRI Kantor Pusat dimatikan, sehingga kegiatan di kantor pusat
terhambat
 Perseroan belum mampu untuk melakukan pembayaran terhadap kewajiban yang harus
dibayarkan
23
2.3.7. Latar Belakang Permasalahan
 Perseroan mengalami kekurangan modal kerja
 Tidak tercapainya target penjualan domestic karena masuknya barang berharga murah
dari China dan Vietnam, sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan stok di toko-
toko
 Penjualan ekspor mengalami tekanan harga jual sehingga margin keuntungan turun,
karena persaingan yang berat
 Biaya operasional yang tinggi dan meningkat secara signifikan setiap tahun (kenaikan
UMP dan biaya TDL, telpon dan bahan bakar)
 Secara umum, perseroan tidak cukup fleksibel menghadapi perubahan dan tantangan
yang terjadi di pasar dengan tingkat persaingan yang semakin ketat
2.3.8. Kondisi Hutang Perseroan
Perseroan memiliki hutang obligasi senilai Rp 300 Miliar. Penggunaan dana hasil
obligasi tersebut adalah :
 74% untuk melunasi hutang bank jangka panjang perseroan
 26% untuk pembelian aset seperti penambahan mesin jahit dan modal kerja Perseroan
Perseroan memiliki total kewajiban sebesar lebih dari Rp 300 Miliar (Hutang Bank,
Hutang Usaha, dan Kewajiban lainnya)
2.3.9. Kronologis Kasus
PT Great River International merupakan perusahaan pakaian jadi berkualitas tinggi
dan terkemuka di Indonesia. PT Great River International Didirikan oleh Sukanta Tanudjaja
dan Sunjoto Tanudjaja pada tahun 1976 dengan nama PT. Great River Garments Industries.
Kemudian pada tahun 1996 Berganti nama menjadi PT Great River International. Pada
awalnya, PT Great River International mengalami perkembangan yang sangat pesat hal ini
ditandai dengan diperolehnya beberapa kali penghargaan dari majalah Asiamoney dan
berhasil lulus sertifikasi ISO 9002 untuk quality management.
Namun mulai tahun 2002, PT.Great River International mulai mengalami kesulitan
keuangan dengan mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) ke Pengadilan Niaga. Permohonan PKPU tersebut diajukan sehubungan dengan
permohonan pailit yang diajukan oleh Citibank atas utang senilai US $10 juta yang berasal
dari US $ 2 juta dari Revolving Credit Agreement pada 16 Februari 1994 dan US $ 8 juta dari
Revolving Credit Agreement-Domestic Trade Payable Onshore tanggal 16 November 1995..

24
PT Great River International memperkirakan jumlah kewajibannya yang telah dan
akan jatuh tempo, di luar utangnya kepada Citibank, adalah sebesar US $179.291.292.
Sedangkan total aset yang dimiliki diperkirakan sebesar Rp1.674.716.315.355. Perusahaan
garmen PT Great River International Tbk membukukan laba bersih sebesar Rp 1,023 trilyun
per September 2002, melonjak dari periode yang sama tahun sebelumnya yang masih
membukukan rugi bersih Rp 11,298 milyar. Demikian dikemukakan Dirut Great River
Sunjoto Tanudjaja dalam laporan keuangan kepada Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Lonjakan laba bersih itu lebih disebabkan adanya pendapatan pos luar biasa dari
hasilrestrukturisasi utang sebesar Rp 1,277 trilyun. Dari total utang sebesar 172,5 juta dollar
AS,Great River memperoleh potongan utang (hair cut) sebesar 85 persen atau untuk setiap
dollarutangnya, perseroan hanya membayar 15 sen. Oleh karena itu, pos-pos yang tadinya
untukmembayar utang, karena ada koreksi pembukuan, berubah menjadi keuntungan. Secara
langsung, pendapatan dari pos luar biasa tersebut tidak mempengaruhi aliran dana tunai (cash
flow) perusahaan, tetapi mengubah struktur keuangan perseroan menjadi positif.
Sebagaimana dialami berbagai emiten lainnya, perusahaan garmen ini mengalami
kesulitan keuangan semenjak krisis ekonomi tahun 1998. Melonjaknya nilai tukar dollar AS
terhadap rupiah membuat nilai utang perseroan melejit ke atas. Proses restrukturisasi yang
sudah dirintis manajemen selama 4 tahun, sejak tahun 1998 tersebut akhirnya membuahkan
hasil dengan penandatanganan scheme buy back (skema pembelian kembali) utang pada
bulan Agustus 2002.
Pada tahun 2005, salah satu pemegang saham PT. Great River International Tbk
mengajukan diadakannya Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk
menindaklanjuti hasil audit investigasi Akuntan Publik Amir Abadi Jusuf dan Mawar. Dalam
RUPLSB tersebut, akan dimintakan persetujuan pelaksanaan kuasi reorganisasi terhadap hasil
audit investigasi terhadap perseroan yang dilakukan oleh KAP Amir Abadi Jusuf & Mawar
pada November 2005. Selain itu, RUPLSB juga akan meminta persetujuan soal
restrukturisasi seluruh utang perseroan yakni mengkonversi sebagian atau seluruh utang
menjadi saham perseroan. Termasuk pula persetujuan soal penambahan modal sehubungan
dengan konversi sebagian atau seluruh utang perseroan menjadi saham perseroan.
Akuntan publik Justinus Aditya Sidharta diindikasi melakukan kesalahan dalam
mengaudit laporan keuangan PT. Great River Internasional, Tbk. Kasus tersebut muncul
setelah adanya temuan auditor investigasi dari Bapepam yang menemukan indikasi
penggelembungan account penjualan, piutang dan asset hingga ratusan milyar rupiah pada
laporan keuangan Great River yang mengakibatkan perusahaan tersebut akhirnya kesulitan
25
arus kas dan gagal dalam membayar utang. Berdasarkan investigasi tersebut Bapepam
menyatakan bahwa akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan Great River ikut
menjadi tersangka. Oleh karenanya Menteri Keuangan RI terhitung sejak tanggal 28
November 2006 telah membekukan izin akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama dua
tahun karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesi Akuntan Publik
(SPAP) berkaitan dengan laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Great River
tahun 2003.
Dalam konteks skandal keuangan di atas, muncullah pertanyaan apakah trik-trik
rekayasa tersebut mampu terdeteksi oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan
tersebut atau sebenarnya telah terdeteksi namun auditor justru ikut mengamankan praktik
kejahatan tersebut. Tentu saja jika yang terjadi adalah auditor tidak mampu mendeteksi trik
rekayasa laporan keuangan maka yang menjadi inti permasalahannya adalah kompetensi atau
keahlian auditor tersebut. Namun jika yang terjadi justru akuntan publik ikut mengamankan
praktik rekayasa tersebut, seperti yang terungkap juga pada skandal yang menimpa Enron,
Andersen, Xerox, WorldCom, Tyco, Global Crossing, Adelphia dan Walt Disney (Sunarsip
2002 dalam Christiawan 2003:83) maka inti permasalahannya adalah independensi auditor
tersebut.
Terkait dengan konteks inilah, muncul pertanyaan seberapa tinggi tingkat kompetensi
dan independensi auditor saat ini dan apakah kompetensi dan independensi auditor tersebut
berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik. Kualitas audit ini
penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan
yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan.
Auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan
keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-
kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada
tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari.Namun sesuai dengan
tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan suatu perusahaan,
maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki kompetensi atau keahlian saja tetapi juga
harus independen dalam mengaudit.Tanpa adanya independensi, auditor tidak berarti apa-apa.
Masyarakat tidak percaya akan hasil audit dari auditor sehingga masyarakat tidak akan
meminta jasa pengauditan dari auditor. Atau dengan kata lain, keberadaan auditor ditentukan
oleh independensinya (Supriyono, 1988).
Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa “Dalam
semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus
26
dipertahankan oleh audito “. Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap
independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk
kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus
melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik
perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas
laporan keuangan audited.
Selama izinnya dibekukan, Justinus dilarang memberikan jasa atestasi (pernyataan
pendapat atau pertimbangan akuntan publik) termasuk audit umum, review, audit kerja dan
audit khusus. Dia juga dilarang menjadi Pemimpin Rekan atau Pemimpin Cabang Kantor
Akuntan Publik (KAP).Namun yang bersangkutan tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa
yang telah diberikan serta wajib memenuhi ketentuan untuk mengikuti Pendidikan
Profesional Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu ini merupakan tindak lanjut
atas Surat Keputusan Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP) Nomor 002/VI/SK-
BPPAP/VI/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang membekukan Justinus dari keanggotaan Ikatan
Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Hal ini sesuai dengan
Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2006 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003 yang menyatakan bahwa
AP dikenakan sanksi pembekuan izin apabila AP yang bersangkutan mendapat sanksi
pembekuan keanggotaan dari IAI dan atau IAI-KAP.
Menurut Fuad Rahmany, Ketua Bapepam-LK, pihaknya sedang melakukan
penyidikan terhadap AP yang memeriksa laporan keuangan Great River. Kalau ditemukan
unsur pidana dalam penyidikan itu, maka AP tersebut bisa dijadikan sebagai tersangka. “Kita
sedang proses penyidikan terhadap AP yang bersangkutan. Kalau memang nanti ditemukan
ada unsur pidana, maka dia akan kita laporkan juga Kejaksaan,” ujar Fuad.
Seperti diketahui, sejak Agustus lalu, Bapepam menyidik akuntan publik yang
mengaudit laporan keuangan Great River tahun buku 2003.Fuad menyatakan telah
menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan Great
River.Sayangnya, dia tidak bersedia menjelaskan secara detail praktek konspirasi dalam
penyajian laporan keuangan emiten berkode saham GRIV itu. Fuad juga menjelaskan tugas
akuntan adalah hanya memberikan opini atas laporan perusahaan. Akuntan, menurutnya,
tidak boleh melakukan segala macam rekayasa dalam tugasnya.“Dia bisa dikenakan sanksi
berat untuk rekayasa itu,” katanya untuk menghindari sanksi pajak. Menanggapi tudingan itu,
Kantor akuntan publik Johan Malonda & Rekan membantah telah melakukan konspirasi
dalam mengaudit laporan keuangan tahunan Great River. Deputy Managing Director Johan
27
Malonda, Justinus A. Sidharta, menyatakan, selama mengaudit buku Great River, pihaknya
tidak menemukan adanya penggelembungan account penjualan atau penyimpangan dana
obligasi. Namun dia mengakui metode pencatatan akuntansi yang diterapkan Great River
berbeda dengan ketentuan yang ada.“Kami mengaudit berdasarkan data yang diberikan
klien,” kata Justinus.
Menurut Justinus, Great River banyak menerima order pembuatan pakaian dari luar
negeri dengan bahan baku dari pihak pemesan. Jadi Great River hanya mengeluarkan ongkos
operasi pembuatan pakaian. Tapi saat pesanan dikirimkan ke luar negeri, nilai ekspornya
dicantumkan dengan menjumlahkan harga bahan baku, aksesori, ongkos kerja, dan laba
perusahaan. Justinus menyatakan model pencatatan seperti itu bertujuan menghindari dugaan
dumping dan sanksi perpajakan. Sebab, katanya, saldo laba bersih tak berbeda dengan yang
diterima perusahaan. Dia menduga hal itulah yang menjadi pemicu dugaan adanya
penggelembungan nilai penjualan. Sehingga diinterpretasikan sebagai menyembunyikan
informasi secara sengaja. Johan Malonda & Rekan mulai menjadi auditor Great River sejak
2001.Saat itu perusahaan masih kesulitan membayar utang US$ 150 Juta kepada Deutsche
Bank. Pada 2002, Great River mendapat potongan pokok utang 85 persen dan sisa utang
dibayar menggunakan pinjaman dari Bank Danamon. Setahun kemudian Great River
menerbitkan obligasi Rp 300 miliar untuk membayar pinjaman tersebut.“Kami hanya tahu
kondisi perusahaan pada rentang 2001-2003,” kata Justinus.
Sebelumnya Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)
telah melimpahkan kasus penyajian laporan keuangan konsolidasi Great River ke Kejaksaan
Agung pada tanggal 20 Desember 2006. Dalam laporan tersebut, empat anggota direksi
perusahaan tekstil itu ditetapkan menjadi tersangka, termasuk pemiliknya, Sunjoto Tanudjaja.
Kasus tersebut muncul setelah adanya temuan auditor investigasi Aryanto, Amir Jusuf, dan
Mawar, yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang, dan aset
hingga ratusan miliar rupiah di Great River. Akibatnya, Great River mengalami kesulitan arus
kas dan gagal membayar utang.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam terdapat indikasi penipuan dalam penyajian
laporan keuangan. Pasalnya, Bapepam menemukan kelebihan pencatatan atau overstatement
penyajian account penjualan dan piutang dalam laporan tersebut. Kelebihan itu berupa
penambahan aktiva tetap dan penggunaan dana hasil emisi obligasi yang tanpa pembuktian.
Akibatnya, Great River kesulitan arus kas. Perusahaan tidak mampu membayar utang Rp 250
miliar kepada Bank Mandiri dan gagal membayar obligasi senilai Rp 300 miliar.

28
2.3.10. Identifikasi Kasus PT Grear River International Tbk
1. Tahun 2002 PT. Great River International mulai mengalami kesulitan keuangan dengan
mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke
Pengadilan Niaga.
2. Selain itu, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) juga akan meminta
persetujuan soal restrukturisasi seluruh utang perseroan yakni mengkonversi sebagian
atau seluruh utang menjadi saham perseroan.
3. Bapepam menyatakan telah menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian
laporan keuangan PT. Great River International Tbk khususnya dalam penyajian laporan
keuangan pada tahun 2003 untuk penerbitan obligasi perseroan yang gagal bayar .
4. Adanya metode pencatatan akuntasi yang berbeda dengan ketentuan yang ada. Terdapat
keterkaitan kesalahan pencatatan atas laporan keuangan dengan kesulitan perusahaan
dalam membayar utangnya. Sehingga mengakibatkan perusahaan tidak mampu
membayar hutang Rp. 250 miliar kepada Bank Mandiri dan gagal membayar obligasi
senilai 300 miliar.
5. Terhitung sejak tanggal 28 November 2006, Mentri Keuangan RI telah membekukan izin
akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama 2 tahun, sanksi tersebut diberikan
karena Justinus terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporan audit atas laporan keuangan
konsolidasi PT Great River International Tbk tahun 2003.
2.3.11. Pembahasan Kasus PT. Great River International Tbk
1. PT. Great River melakukan restrukturisasi hutang pada tahun 2002. Restrukturisasi
hutang merupakan suatu proses untuk merestruktur hutang bermasalah dengan tujuan
untuk memperbaiki posisi keuangan debitur, (Darmadji, 2001:69). Menurut IAI dalam
PSAK No.54 (1999:1), restrukturisasi hutang bermasalah terjadi jika berdasarkan
pertimbangan ekonomi atau hukum, kreditur memberikan konsesi khusus kepada debitur
yaitu konsesi yang tidak akan diberikan dalam keadaan tidak terdapat kesulitan keuangan
di pihak debitur. Konsesi ini dapat berasal dari perjanjian antara kreditur dan debitur, atau
dari keputusan pengadilan, atau dari peraturan hukum. Restrukturisasi hutang bermasalah
dapat terjadi sebelum, pada, atau sesudah tanggal jatuh tempo hutang yang tercantum
dalam perjanjian, dan akan terdapat rentang waktu diantara saat perjanjian, keputusan
pengadilan, dan sebagainya. Dengan tanggal efektif persyaratan baru atau terjadinya
peristiwa lain yang merupakan pelaksanaan restrukturisasi, yang dimaksud dengan ini
yaitu tanggal efektif pelaksanaan merupakan saat restrukturisasi.
29
2. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) juga akan meminta persetujuan
soal restrukturisasi seluruh utang perseroan yakni mengkonversi sebagian atau seluruh
utang menjadi saham perseroan. Menurut PSAK No. 54 “Restrukturisasi hutang
bermasalah dapat berupa penyelesaian sebagian hutang dengan pengalihan aset debitur
atau pemberian saham (atau keduanya) kepada kreditur dan modifikasi persyaratan
hutang yang masih tersisa”.
3. Berdasarkan investigasi yang dilakukan, Bapepam telah menemukan adanya:
a) Overstatement atas penyajian akun penjualan dan piutang dalam Laporan Keuangan
PT. Great River Inetrnational Tbk per 31 Desember 2003; dan
b) Penambahan aktiva tetap perseroan, khususnya yang terkait dengan penggunaan dana
hasil emisi obligasi, yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Sehingga perusahaan tekstil tersebut mengalami kelebihan pendapatan (overstatement)
yang seharusnya justru merugi.
4. Overstatement dalam arti lain penggelembungan atas penyajian akun penjualan dan
piutang dalam Laporan Keuangan PT. Great River Inetrnational Tbk per 31 Desember
2003 telah diakukan dalam pencatatan akuntasi yang berbeda dengan ketentuan yang
mengakibatkan perusahaan tidak mampu membayar hutang Rp. 250 miliar kepada Bank
Mandiri dan gagal membayar obligasi senilai 300 miliar. PT. Great River International
Tbk, jelas melakukan pelanggaran terhadap laporan keuangan konsolidasinya. Sesuai
dengan PSAK No.4 menyebutkan “Laporan keuangan konsolidasi disusun dengan
menggunakan kebijakan akuntansi yang sama untuk transaksi, peristiwa dan keadaan
yang sama atau sejenis. Apabila tidak mungkin digunakan kebijakan akuntansi yang sama
dalam menyusun laporan keuangan konsolidasi, maka harus diungkapkan penggunaan
kebijakan akuntansi yang berbeda tersebut dan proporsi unsur yang terkait dengan
kebijakan akuntansi tersebut terhadap unsur sejenis dalam laporan keuangan konsolidasi.”
5. Pembekuan izin oleh Menkeu ini merupakan tindak lanjut atas Surat Keputusan Badan
Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP) Nomor 002/VI/SK-BPPAP/VI/2006 tanggal
15 Juni 2006 yang membekukan Justinus dari keanggotaan Ikatan Akuntan Indonesia
Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Hal ini sesuai dengan Keputusan Menkeu
Nomor 423/KMK.06/2006 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003 yang menyatakan bahwa Akuntan Publik
dikenakan sanksi pembekuan izin apabila Akuntan Publik yang bersangkutan mendapat
sanksi pembekuan keanggotaan dari IAI dan atau IAI-KAP.

30
Kasus PT Great River International, Tbk di atas, yang melibatkan akuntan publik
Justinus Aditya Sidharta, dianggap telah menyalahi aturan mengenai kode etik profesi
akuntan, terutama yang berkaitan dengan integritas dan objektivitas. Akuntan publik Justinus
Aditya Sidharta dianggap telah melakukan tindak kebohongan publik, dimana dia tidak
melaporkan kondisi keuangan PT Great River International, Tbk secara jujur.
Menurut pengertiannya, integritas dapat berarti kepatuhan terhadap nilai-nilai moral,
prinsip-prinsip, serta nilai-nilai lainnya yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya.
Pelanggaran integritas berarti seseorang telah melanggar aturan-aturan yang telah disepakati
secara umum. Sedangkan objektivitas merupakan pernyataan jujur dan apa adanya terhadap
suatu hal. Pelanggaran objektivitas menunjukkan bahwa seseorang telah berani melakukan
tindak kebohongan / kecurangan dalam melakukan suatu hal. Kedua nilai ini, bersama dengan
independensi, merupakan nilai dasar yang harus dimiliki oleh seorang akuntan publik agar
seorang akuntan publik dapat menghasilkan suatu laporan yang sifatnya akurat dan dapat
dipercaya. Tanpa adanya nilai-nilai dasar tersebut, seorang akuntan publik tidak ada bedanya
dengan seorang penjahat yang tidak bermoral.
Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa “Dalam
semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus
dipertahankan oleh auditor“. Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap
independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk
kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus
melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik
perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas
laporan keuangan audited.
Salah satu hal yang ditekankan pasca skandal ini adalah perlunya etika profesi.
Selama ini bukan berarti etika profesi tidak penting bahkan sejak awal profesi akuntan sudah
memiliki dan terus menerus memperbaiki Kode Etik Professinya baik di USA maupun di
Indonesia. Etika adalah aturan tentang baik dan buruk. Kode etik mengatur anggotanya dan
menjelaskan hal apa yang baik dan tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan
sebagai anggota profesi baik dalam berhubungan dengan kolega, langganan, masyarakat dan
pegawai. Kenyataannya konsep etika yang selama ini dijadikan penopang untuk menegakkan
praktik yang sehat yang bebas dari kecurangan tampaknya tidak cukup kuat menghadapi sifat
sifat “selfish dan egois”, kerakusan ekonomi yang dimiliki setiap pelaku pasar modal, dan
manajemen yang bermoral rendah yang hanya ingin mementingkan keuntungan ekonomis
pribadinya.
31
Profesi akuntan publik bisa dikatakan sebagai salah satu profesi kunci di era
globalisasi untuk mewujudkan era transparansi bisnis yang fair, oleh karena itu kesiapan
yang menyangkut profesionalisme mensyaratkan hal utama yang harus dipunyai oleh setiap
anggota profesi yaitu: keahlian, berpengetahuan dan berkarakter. Dalam kenyataannya,
banyak akuntan yang tidak memahami kode etik profesinya sehingga dalam prakteknya
mereka banyak melanggar kode etik. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan
publik terhadap profesi akuntansi. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perilaku beberapa
akuntan yang sengaja melanggar kode etik profesinya demi memenuhi kepentingan mereka
sendiri.
Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode
etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan
Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada
akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan
masyarakat.Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien,
pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa
yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur
dalam kode etik profesi.

32
BAB III
Penutup
3.1. Kesimpulan
Liabilitas adalah utang entitas masa kini yang timbul akibat masa lalu.Penyelesaiannya
diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas yang mengandung manfaat
ekonomi.Pengkauan pengukuran penyajian dan pengungkapan liabiltas jangka pendek dan
panjang diatur dalam PSAK 50 Rev 2013 PSAK 55 dan PSAK 60.Liabilitas kontinjensi tidak
diakui dalam laporan keuangan, hanya diungkapkan dalam CALK.
PT perusahaaan berbadan hukum yang kepemilikannnya terbagi ke dalam
saham.Dengan kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pemiliknya.Saham biasa dan saham
preferen yang diterbitkan dicatat sebagai modal yang disetor sebesar nilai nominal yang
diterbitkan.Kelebihan nominal dicatat sebagai agio saham.
3.2. Saran
Hendaknya restrukrisasi yang dilakukan manajemen PT Great River memiliki rencana
formal yang rinci dan menciptakan ekspektasi yang valid pada pihak-pihak yang terkena
dampak restrukrisasi (PSAK 57).Laporan keuangan PT Great River seharusnya disusun
sesuai dengan peraturan yang berlaku PSAK 1.Apabila ada konversi atas liabilitas jangka
panjang harus diungkapkan dalam catatan CALK.

33

Anda mungkin juga menyukai