Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 3 Edisi 1 (Mei 2010)

DAMPAK PEMANASAN GLOBAL


TERHADAP EKOSISTEM PESISIR DAN LAUTAN

Husain Latuconsina
Staf Pengajar FPIK UNIDAR Ambon, e-mail: husainlatuconsina@ymail.com

ABSTRAK

Fenomena pemanasan global dan menipisnya lapisan Ozon akibat


peningkatan emisi gas rumah kaca secara berlebihan di atmosfer melalui
penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi dan aktivitas manusia lainnya,
telah berdampak negatif bagi keberlanjutan ekosistem pesisir dan lautan,
diantaranya; (i) komunitas terumbu karang mengalami pemutihan (coral
bleaching) sehingga menurunkan produksi perikanan karang (ii)
meningkatnya radiasi ultraviolet-B yang masuk ke perairan sehingga
menghambat proses fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton sebagai
produsen primer dan penyerap CO2 terbesar di perairan laut, (iii)
terancamnya hewan laut dari kepunahan akibat meningkatnya suhu dan
penurunan salinitas perairan laut, dan (iv) naiknya permukaan laut akibat
mencairnya es di kawasan kutub bumi dapat merendam kawasan pesisir dan
menenggelamkan pulau-pulau kecil. Semuanya berpotensi mengancam
keberlangsungan eksositem pesisir dan lautan sebagai penyangga kehidupan
manusia. Untuk itu upaya menekan laju pemanasan global dengan
mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mengurangi tingginya
tingkat deforestasi serta minimalisasi aktivitas lainnya yang menghasilkan
emisi gas rumah kaca secara berlebihan merupakan tindakan nyata yang
harus segera dilakukan sebelum semuanya terlambat.

Kata Kunci: Pemanasan global, emisi gas rumah kaca, ekositem pesisir dan
lautan

I. PENDAHULUAN dipantulkan bumi sebagai radiasi infra


Beberapa dekade terakhir, merah gelombang panjang dan ultraviolet
keprihatinan dunia Internasional terhadap yang akan diteruskan ke angkasa luar,
fenomena perubahan iklim global (global namun sebagian besar dipantulkan kembali
climate change) semakin tinggi, karena ke bumi oleh gas rumah kaca yang
telah memberikan dampak negatif terhadap terbentuk di atmosfer, sehingga semakin
keberlanjutan kehidupan di muka bumi meningkatkan temperatur bumi.
akibat meningkatnya temperatur bumi yang Disebut gas rumah kaca karena
dikenal dengan pemanasan global (global beberapa gas yang terbentuk di atmosfer
warming). bumi ini berfungsi seperti kaca pada rumah
Pemanasan global terjadi akibat kaca, yang berperan meneruskan cahaya
meningkatnya emisi gas rumah kaca seperti matahari namun menangkap energi panas
karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dari dalamnya. Dengan semakin besar
nitrogen oksida (NOx), chlorofluorocarbon konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer,
(CFC) dan gas lainnya secara berlebihan di akan semakin besar pula energi panas yang
atmosfer, sehingga cahaya matahari yang terperangkap di permukaan bumi.

30
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 3 Edisi 1 (Mei 2010)

Emisi gas rumah kaca lebih banyak meliputi haloflourocarbon (HFC) dan
dihasilkan dari aktivitas manusia yang perfluorocarbon (PFC).
menggunakan bahan bakar fosil berupa CO2 merupakan GRK yang paling
minyak bumi, batu bara dan gas alam dominan dalam menahan radiasi bumi
dalam bentuk asap dari knalpot kendaraan sehingga temperatur udara meningkat.
bermotor dan buangan gas dari cerobong Menurut Manik (2007), emisi CO2 terutama
asap pabrik. Kebakaran hutan juga berasal dari pembakaran bahan bakar fosil
berkontribusi besar bagi pelepasan emisi (minyak bumi, gas alam dan batu bara).
CO2 ke atmosfer, sementara itu Sedangkan sumber emisi NOX dan CH4
penggundulan hutan menjadi penyebab terutama bersal dari bahan bakar fosil dan
berkurangnya penyerapan CO2 oleh pembakaran bahan organik. Sementara itu
vegetasi. CFC merupakan zat kimia ciptaan manusia
Disamping itu, lapisan Ozon (O3) yang banyak digunakan sebagai zat
yang terbentuk secara alamiah melalui pendingin dalam kulkas dan AC, industri
reaksi fotokimia molekul oksigen pada plastik busa, gas pendorong pada kemasan
lapisan Stratosfer dengan ketebalan kurang aerosol (pewangi, hairspray, pembersih
lebih 3 mm yang terletak pada ketinggian kaca dan lainnya) yang berperan terhadap
15 sampai 40 km di atas permukaan bumi, penipisan lapisan Ozon pada atmosfer
yang berfungsi sebagai filtrasi terhadap bumi.
sekitar 80 % radiasi sinar ultraviolet Konsentrasi GRK di atmosfer
bergelombang pendek dan berenergi tinggi mampu menyerap sinar inframerah yang
sebelum masuk ke permukaan bumi, dipantulkan bumi sehingga meningkatkan
kenyataannya dalam beberapa dekade efek rumah kaca yang menyebabkan
terakhir telah mengalami penipisan akibat pemanasan global. Permasalahan ini
penggunaan CFC secara berlebihan oleh berkaitan dengan waktu tinggal gas rumah
manusia. Hasil pengukuran para ilmuan kaca di atmosfer, dimana makin panjang
telah membuktikan terjadinya peningkatan waktu tinggal gas rumah kaca dalam
sinar ultraviolet-B ke permukaan bumi atmosfer maka akan semakin efektif pula
sebanyak 30 %, yang berdampak buruk pengaruhnya terhadap peningkatan
terhadap manusia dan makhluk hidup temperatur bumi. Waktu terpanjang emisi
lainnya. gas rumah kaca di atmosfer adalah CO2
sekitar 50-200 tahun, sementara waktu
II. GAS RUMAH KACA DAN terpendek adalah CH4 yaitu sekitar 10
MEKANISME PEMANASAN tahun.
GLOBAL Efek Rumah Kaca sebenarnya
Terdapat beberapa gas di atmosfir berperan penting dalam mendukung
yang berfungsi sebagai ’perangkap’ energi kelangsungan hidup manusia dan makhluk
panas matahari. Tanpa gas-gas ini, panas hidup lainnya di bumi, karena menurut
akan hilang ke angkasa dan temperatur Soemarwoto (2004) tanpa adanya efek
rata-rata bumi dapat menjadi lebih dingin, rumah kaca maka bumi akan terlalu dingin
karena fungsinya sebagai penjaga untuk ditempati, dengan rata-rata
hangatnya bumi. Gas-gas ini disebut temperatur sekitar -18°C, tetapi dengan
sebagai Gas Rumah Kaca (GRK), adanya efek ini temperatur rata-rata bumi
diantaranya; carbon dioksida (CO2), menjadi 33°C yang sesuai bagi kehidupan
metana (CH4), nitrogen oksida (NOx) yang makhluk hidup. Namun akan timbul
terdiri dari gas nitrogen monoksida (NO) permasalahan apabila efek tersebut terlalu
dan nitrogen dioksida (NO2), besar, karena bumi akan menjadi lebih
chloroflourocarbon (CFC) yang terbagi hangat dari semestinya dan dapat

31
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 3 Edisi 1 (Mei 2010)

berdampak negatif bagi kehidupan alam pesisir dan laut sebagai penyangga
makhluk hidup di muka bumi. kehidupan manusia.
Proses terjadinya pemanasan global
berawal dari matahari sebagai sumber III. DAMPAK BAGI KOMUNITAS
energi di muka bumi. Sebagian besar TERUMBU KARANG
energi tersebut dalam bentuk radiasi Pemanasan global telah
gelombang elektromagnetik yang pendek, menyebabkan penurunan keanekaragaman
termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini hayati laut. Salah satunya terjadi pada
mengenai permukaan bumi, akan berubah komunitas terumbu karang dari jenis
dari cahaya menjadi panas yang hermatifik (hermatypic coral), yaitu hewan
menghangatkan bumi dan permukaan bumi karang pembentuk bangunan/kerangka
akan menyerap sebagian panas serta karang dari tumpukan kapur (CaCO3)
memantulkan kembali sisanya. Sebagian sebagai hasil fotosintesis jutaan alga
dari panas ini sebagai radiasi infra merah zooxanthellae yang hidup bersimbiosis
gelombang panjang dan ultraviolet ke dalam jaringan tubuh hewan karang
angkasa luar. Namun sebagian panas tetap tersebut.
terperangkap di permukaan bumi karena Terumbu karang merupakan
dipantulkan oleh sejumlah gas rumah kaca komunitas biologis di perairan laut dangkal
yang terbentuk di atmosfer, menyebabkan yang umumnya berkembang secara optimal
panas tersebut tersimpan di permukaan pada temperatur perairan 25-29°C dan
bumi. Mekanisme ini terjadi secara terus sangat rentan terhadap perubahan
menerus, mengakibatkan temperatur rata- temperatur perairan yang merupakan salah
rata tahunan bumi mengalami peningkatan. satu faktor pengontrol pertumbuhan dan
Ahli klimatologi memprediksikan perkembangan karang. Sehingga kenaikan
laju kenaikan emisi GRK akan terus temperatur 1oC saja polip karang
mengalami peningkatan di atmosfer pada mengalami stress berat dan jika
masa mendatang yang memacu berlangsung dalam waktu lama (3-6 bulan),
peningkatan temperatur bumi. Dimana akan menyebabkan lepasnya alga
menurut laporan pemantauan zooxanthellae dalam tubuh hewan karang,
Intergovernmental Panel on Climate dimana peristiwa ini disebut
Change (IPCC) dalam Indrawan et al pencucian/pemutihan karang (coral
(2007), telah terjadi kenaikan temperatur bleaching). Belum banyak yang dimengerti
bumi sebesar 0,5oC selama abad 20 dan dari mekanisme coral bleaching, namun
diperkirakan akan meningkat sekitar 1,5o- menurut Westmacott et al, (2000)
5,8 oC pada tahun 2100, bahkan akan diperkirakan kenaikan suhu menganggu
mengalami peningkatan lebih besar lagi kemampuan zooxanthellae untuk
apabila kadar CO2 meningkat lebih cepat di berfotosintesis, dan dapat memacu
atmosfer. produksi kimiawi berbahaya yang merusak
Dampak pemanasan global karena sel-sel mereka.
peningkatan temperatur bumi adalah Hewan karang akan mengalami
berubahnya iklim global berupa perubahan kehilangan 60-90% dari jumlah alga
curah hujan dan naiknya intensitas zooxanthellae-nya dan alga zooxanthellae
frekwensi badai, naiknya paras laut akibat yang masih tersisa dapat kehilangan 50-
memuainya air laut pada temperatur yang 80% dari pigmen fotosintesisnya selama
lebih tinggi dan akibat mencairnya es abadi peristiwa coral bleaching (Glynn, 1996)
di kawasan kutub bumi, salinitas menurun dalam Westmacott et al. (2000). Menurut
dan sedimentasi meningkat di kawasan Supriharyono (2007), laju kalsifikasi
pesisir dan lautan, sehingga semakin (produksi kapur CaCO3) akan meningkat
mengancam keberlanjutan sumberdaya seiring meningkatnya laju fotosintesis alga

32
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 3 Edisi 1 (Mei 2010)

zooxanthellae. Sebaliknya dengan Permasalahan serupa dilaporkan


terhambatnya fotosintesis, akan Burke et al, (2002), bahwa perubahan iklim
menurunkan laju kalsifikasi dan global berpotensi mengancam keberadaan
petumbuhan karang menjadi lambat. terumbu karang di kawasan Asia Tenggara,
Dahuri (2003) menambahkan bahwa dimana peristiwa El Nino Southern
meningkatnya emisi CO2 di atmosfer, turut Oscillation (ENSO) tahun 1997-1998 telah
mempengaruhi perubahan senyawa kimia memacu peristiwa coral bleaching yang
karbon di permukaan laut sehingga terbesar sepanjang sejarah, dan
mempengaruhi penurunan pH dan diperkirakan 18 % terumbu karang
konsentrasi ion karbonat, yang dapat kawasan Asia Tenggara telah rusak parah.
menurunkan kejenuhan CaCO3. Bahkan Wilkinson et al, (1999) dalam Indrawan et
peningkatan CO2 menyebabkan al, (2007) juga melaporkan bahwa hingga
berkurangnya laju kalsifikasi, sehingga akhir 1990-an telah terjadi coral bleaching
menurunkan kemampuan adapatasi karang sebesar 30 % di Indonesia. Di kepulauan
terhadap peningkatan paras laut. Seribu misalnya, sekitar 90-95 % terumbu
Meningkatnya temperatur perairan karang hingga kedalaman 25 m telah
laut diluar batas normal, tingginya mengalami kematian akibat hal yang sama.
intensitas sinar ultraviolet, meningkatnya
kekeruhan dan sedimentasi, serta kondisi IV. DAMPAK BAGI FITOPLANKTON
salinitas yang tidak normal merupakan DAN BIOTA LAUT LAINNYA
beberapa faktor penyebab terjadinya coral Dalam proses fotosintesis di lautan,
bleaching. Namun mayoritas penyebabnya fitoplankton dapat mengikat secara
secara besar-besaran dalam dua dekade langsung CO2 dari atmosfer sebagai bahan
terakhir lebih disebabkan oleh peningkatan dasar untuk kelangsungan proses
temperatur perairan laut. Menurut fotosintesis yang menghasilkan O2 terlarut
Westmacott et al, (2000) dampak gabungan untuk kebutuhan biota laut lainnya dalam
dari tingginya temperatur permukaan laut proses respirasi. Menurut Dahuri (2003),
dan intensitas sinar matahari pada fitoplankton juga berfungsi sebagai
gelombang panjang ultraviolet dapat biological carbon pump yang mampu
mempercepat coral bleaching dengan menyerap CO2 dari atmosfer dan pada
mengalahkan mekanisme alami karang kolom perairan, dikarenakan laut dalam
untuk melindungi diri dari sinar matahari akan melakukan resirkulasi CO2 ke
yang berlebihan. permukaan laut yang kemudian dapat
Fenomena coral bleaching dalam melepaskannya ke atmosfer, sehingga jika
beberapa dekade terakhir telah terjadi fitoplankon mengalami kematian masal
hampir di seluruh perairan laut dunia. maka akan menurunkan penyerapan CO2,
Menurut survei tahun 1982 dan 1983 lautan menyebabkan kandungan CO2 di atmosfer
pasifik mengalami kenaikan suhu, dan di kolom perairan akan meningkat
mengakibatkan coral bleaching sehingga drastis 2-3 kali lipat sekitar 1 abad
menurunkan sekitar 70-95% terumbu kedepan.
karang di daerah tersebut (Primack et al, Menurut Nontji (2008), kemampuan
1998). Sementara itu, Westmacott et al fitoplankton laut untuk menyerap CO2 dari
(2000) melaporkan bahwa sepanjang tahun atmosfer tidak kalah besarnya dengan
1998 telah terjadi dii kawasan Asia-Pasifik kemampuan seluruh tumbuhan yang ada di
yang sangat parah kondisi terumbu daratan dalam menyerap CO2, karena
karangnya akibat bleaching, dengan tingkat fitoplankton laut dapat menyerap sekitar
kerusakan mencapai 75-90 % dari total 40-50 miliar ton karbon per tahun dan
terumbu karang yang berada pada memiliki peranan penting dalam menjaga
kawasan ini. kesimbangan panas bumi melalui

33
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 3 Edisi 1 (Mei 2010)

pengontrolan perluasan dan ketebalan awan telur biota laut, kerusakan jaringan tubuh,
yang melewati lautan sehingga dikenal penurunan laju pertumbuhan dan laju
sebagai pengatur dan pengendali iklim pembentukan cangkang hewan avertebrata
global. Dengan demikian, tanpa kehadiran laut, serta menghambat penyerapan unsur
fitoplankton di lautan maka temperatur hara seperti nitrogen bagi alga laut yang
bumi akan menjadi lebih panas dari menyebabkan menurunnya kuantitas dan
semestinya, yang menyebabkan bumi tidak kualitas kandungan agar dan karagenan.
layak untuk dihuni oleh makhluk hidup. Berdasarkan pemantauan biota laut
Fitoplankton di lautan tidak saja oleh Eliot dan Simmonds pada tahun 2007
mampu mengendalikan dan mengatur iklim dalam Indrawan et al (2007), telah
global, namun juga menerima dampak dianalisis dan diperkirakan sejumlah
negatif dari perubahan iklim akibat dampak langsung akibat perubahan
pemanasan global. Menurut Syamsuddin temperatur bumi yaitu terjadinya
(2000), menipisnya lapisan Ozon telah perubahan pola distribusi dari beberapa
berdampak buruk terhadap komunitas jenis mamalia laut yang berpindah menuju
fitoplankton di lautan akibat peningkatan habitat optimalnya yang tersisa dan dapat
emisi GRK berupa CFC. Diperkirakan 16 mempengaruhi kerentanan peyebaran virus
% pengurangan lapisan Ozon akan dan introduksi kuman penyakit. Sementara
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dampak tidak langsung adalah perubahan
fitoplankton sebagai dasar rantai makanan ketersediaan dan kelimpahan sumber
sehingga menurunkan laju fotosintesis di pakan.
laut yang diperkirakan sudah mencapai Dengan demikian, dikhawatirkan
6-12 %. akan terjadi penurunan tingkat
Dengan semakin kecil ukuran keanekaragaman biota laut di dunia secara
individu dan populasi fitoplankton, akan besar-besaran karena mengalami
menurunkan produktivitas primer yang kerentanan dan ancaman kepunahan.
menyebabkan terganggunya sistem rantai Dimana pemanasan global telah
makanan di perairan laut, karena menyebabkan beberapa parameter fisika
fitoplankton merupakan penghasil bahan dan kimia lingkungan sebagai faktor
organik dan sumber produsen utama di pembatas akan mengalami perubahan
perairan laut. Sehingga akan berpengaruh drastis yang tidak ideal lagi bagi sebagian
langsung terhadap penurunan populasi besar biota laut untuk dapat berkembang
zooplankton sebagai konsumennya dan dan bertahan hidup.
selanjutnya berpotensi terhadap penurunan
kelimpahan ikan sebagai konsumen pada V. DAMPAK BAGI KAWASAN
tingkatan selanjutnya. PESISIR DAN PULAU-PULAU
Radiasi UV-B secara berlebihan KECIL
menurut Syamsuddin (2000), juga dapat Ketika atmosfer menghangat, lapisan
menyebabkan rekombinasi gen, permukaan lautan akan ikut menghangat,
memperlambat pembelahan sel sehingga sehingga memacu kenaikan paras laut.
menghambat laju pertumbuhan biota laut Pemanasan global juga telah mencairkan
dan merusak sistem kekebalan hewan laut, banyak Es di kawasan kutub bumi terutama
terhambatnya reproduksi generatif di sekitar Greenland. Tinggi paras laut di
beberapa hewan laut melalui inaktivasi sel- seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm
sel organ reproduksi berupa kerusakan selama abad ke-20. IPCC memprediksi
kromosom kelamin dari sel telur dan peningkatan paras laut lebih lanjut sekitar 1
spermatozoa, sehingga berpotensi merubah m pada akhir abad ke-21.
rasio perbandingan individu jantan dan Hasil penelitian Fred Pearce tahun
betina. Dapat pula menurunkan daya tetas 2002 dalam Indrawan et al (2007),

34
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 3 Edisi 1 (Mei 2010)

membuktikan bahwa lapisan Es yang dan teluk, dan tenggelamnya terumbu


menyelimuti permukaan bumi telah karang.
berkurang 10 % sejak tahun 1960, Permasalahan serupa akan dialami
sementara ketebalan Es di kawasan Kutub Indonesia sebagai negara kepulauan
Utara telah berkurang 42 % dalam 40 tahun terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508
terakhir. Artinya, ancaman hilangnya buah pulau dan sebagian besarnya
daratan Es di kawasan Kutub bumi merupakan pulau-pulau kecil akan
bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi jika berpotensi kehilangan banyak pulau akibat
pemanasan global terus meningkat dari kenaikan paras laut. Hasil simulasi oleh
tahun ke tahun. Armi Susandi dari Institut Teknologi
IPCC pada tahun 1990 telah Bandung dalam Dault (2008) untuk
membuat skenario terkait kenaikan paras mengetahui ancaman tenggelamnya pulau-
laut, dimana jika tidak terjadi upaya pulau dan daratan pesisir di Indonesia,
manusia untuk mengurangi emisi gas menunjukkan bahwa pada tahun 2100
rumah kaca, khususnya CO2, maka paras sekurang-kurangnya 115 pulau yang berada
laut akan naik kira-kira 1 m pada akhir pada kepulauan Riau, Sulawesi, Maluku
abad ke-21 (2100), namun jika umat dan pantai Utara Jawa akan tenggelam dan
manusia sepakat mengurangi emisi gas terendam air laut.
rumah kaca pada tahun 2025 (berdasarkan Fenomena naiknya paras laut akibat
Protokol Kyoto), maka paras laut masih pemanasan global akan mengancam
tetap naik sekitar 60 cm. Disebabkan CO2 kehidupan manusia dan komunitas biotik
merupakan gas yang dapat tetap bertahan lainnya, dimana secara perlahan kawasan
di atmosfer selama 100 tahun lebih, pesisir akan mengalami perubahan
sebelum akhirnya diambil oleh tumbuhan fungsional dan resiko kehilangan biota
atau dihilangkan oleh proses geokimia. yang hidup pada lingkungan tersebut akan
Penyusutan lapisan es di Greenland sangat besar. Selain itu kawasan pesisir
diproyeksikan berdampak besar terhadap yang berperan penting sebagai pusat
naiknya paras laut pada abad ke-22 dan berbagai aktifitas sosial ekonomi manusia,
lapisan Es tersebut akan habis jika seperti; perindustrian, pertambangan,
pemanasan global rata-rata sebesar 1,9 - pertanian, perikanan, pemukiman
4,6 oC terus berlangsung selama 10 abad, penduduk, perhotelan, pariwisata, kawasan
menyebabkan peningkatan paras laut konservasi dan jasa kepelabuhanan akan
sebesar 7 m, yang berpotensi merendam terganggu akibat ancaman terendam oleh
kawasan pesisir dan menenggelamkan kenaikan paras laut.
pulau-pulau kecil. Sehingga akan
mengancam negara-negara pulau seperti VI. PENUTUP
Singapura, Palau dan Belanda, atau negara Pemanasan global telah menjadi isu
kepulauan yang berukuran kecil di utama dunia internasional karena berkaitan
kawasan Pasifik seperti kepulauan Fiji, dengan keberlanjutan dan perkembangan
Bahama dan Santa Lusia dan lainnya. bumi sebagai tempat hidup manusia dan
Menurut Rais et al (2004), dampak makhluk hidup lainnya pada masa kini dan
yang diperkirakan dapat terjadi dengan di masa yang akan datang. Untuk itu,
naiknya paras laut, diantaranya; upaya mengurangi laju pemanasan global
meningkatnya abrasi pantai, banjir di wajib dan segera dilakukan, melalui ;
wilayah pesisir yang lebih buruk,  Penyusunan berbagai kebijakan terkait
tergenangnya lahan basah pada wilayah pengelolaan lingkungan hidup yang
pesisir, meningkatnya salinitas estuaria, berorientasi pada upaya pengurangan
berubahnya kisaran pasang-surut di sungai laju pemanasan global. Seperti
menekan tingginya tingkat deforestasi

35
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 3 Edisi 1 (Mei 2010)

pada sektor kehutanan, melalui industri maju memenuhi komitmennya


penetapan jeda tebang hutan. Indonesia mengurangi emisi GRK melalui
sebagai negara berkembang dan salah pelibatan negara berkembang karena
satu negara dengan potensi hutan tropis berdasarkan Protokol Kyoto negara
terbesar di Dunia, dapat menggunakan berkembang tidak memiliki kewajiban
Clean Developmen Mechanism (salah membatasi emisi GRK-nya, namun
satu mekanisme fleksibel dalam dapat secara sukarela berpartisipasi
protokol kyoto) untuk mendukung mengurangi emisi global dengan
pelaksanaan program kehutanan menjadi tempat pelaksanaan proyek
nasional seperti rehabilitasi lahan dan CDM, sehingga dapat memberikan
kegiatan penanaman hutan keuntungan bagi negara berkembang
terdegradasi, meliputi; pengentasan seperti Indonesia, melalui pengurangan
kemiskinan masyarakat di sekitar biaya investasi dan mendapatkan
hutan, pemberantasan Illegal Logging, transfer teknologi berbasis energi
pelaksanaan pengelolaan hutan lestari terbaharukan yang ramah lingkungan
melalui sertifikasi hutan, rehabilitasi dan berkelanjutan.
dan konservasi sumberdaya hutan.  Pencegahan penipisan lapisan Ozon
Apabila program ini berjalan dengan yang diperkirakan sudah mencapai 30
baik diharapkan Indonesia dapat % lebih, melalui komitmen bersama
mengambil keuntungan dengan untuk mengurangi penggunaaan dan
menjual hak polusi yang tidak membatasi produksi CFC dengan
digunakannya kepada negara industi pengembangan bahan alternatif
maju sebagai bentuk mekanisme pengganti CFC yang ramah lingkungan
perdagangan emisi (Emission Trading) untuk pendukung aktivitas manusia.
yang termasuk salah satu mekanisme Upaya ini dilakukan agar lapisan Ozon
fleksibel dalam Protokol Kyoto untuk sebagai filtrasi radiasi sinar matahari
mencegah atau mengurangi emisi yang masuk ke Bumi dapat tetap
GRK. terjaga demi keberlanjutan kehidupan
 Pengurangan emisi GRK secara di di muka Bumi, karena walaupun upaya
atmosfer, melalui pengembangan minimalisasi penggunaan CFC telah
teknologi pembangkit listrik berbasis dilakukan, namun manfaatnya belum
energi terbaharukan dengan dapat dirasakan dalam waktu singkat,
memanfaatkan potensi alam pesisir dan disebakan konsentrasi CFC sekitar 8
laut, seperti; energi pasang surut, juta ton yang dilepaskan ke udara
energi gelombang laut, energi angin selama kurun waktu 50 tahun terakhir
laut dan Ocean Thermal Energi hampir seluruhnya masih berada di
Conversion (OTEC) sebagai pengganti atmosfer. Sehingga dibutuhkan waktu
penggunaan energi fosil penghasil yang sangat lama agar senyawa CFC
emisi GRK. Strategi ini diharapkan ini dapat dihilangkan melalui proses
dapat menanggulangi krisis energi di geokimia.
masa mendatang. Walaupun  Pemantauan komunitas fitoplankton
pengembangan teknologi ini di lautan secara simultan dan
membutuhkan investasi yang sangat berkesinambungan untuk mengetahui
besar, namun rekomendasi Protokol pengaruh pemanasan global terhadap
Kyoto yang disebut Clean perkembangan komunitas fitoplankton.
Development Mechanism (CDM) Peranan fitoplankton yang sangat besar
dapat dijadikan solusi. CDM dalam mengendalikan iklim global
merupakan salah satu mekanisme melalui kemampuannya menyerap CO2
fleksibel untuk membantu negara secara langsung baik dari atmosfer

36
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 3 Edisi 1 (Mei 2010)

maupun kolom perairan untuk unggulan yang bernilai ekonomis


kebutuhan proses fotosintesisnya, penting, ternyata dalam berbagai
sehingga upaya mempertahankan penelitian juga diketahui memiliki
komunitas fitoplankton di lautan baik kontribusi positif dalam menyerap CO2
dalam ukuran maupun kelimpahnnya langsung dari atmosfer maupun dari
sangat diperlukan. Dalam beberapa kolom perairan sehingga membantu
percobaan ilmiah pernah dilakukan pengontrolan kadar CO2 di bumi.
pemupukan di Samudera Selatan dekat Khusus bagi Indonesia sebagai negara
Antartika pada area seluas 300 km² bahari yang memiliki banyak teluk,
dengan menggunakan unsur besi (Fe) selat dan pulau-pulau kecil serta
dan dalam waktu delapan minggu telah memiliki luas laut teritorial 3,1 juta
menghasilkan produkstivitas primer km², menjadikan usaha budidaya alga
sebesar 10 kali lipat, sehingga ikut laut sangat prospektif untuk
meningkatkan kemampuan dikembangkan, sehingga dapat
fitoplankton dalam menyerap CO2. meningkatkan pendapatan masyarakat
 Pengembangan budidaya berbagai pesisir, dan secara tidak langsung turut
jenis rumput laut (alga laut), karena memberikan manfaat dalam upaya
selain dikenal sebagai komoditas mengurangi laju pemanasan global.

DAFTAR PUSTAKA

Burke,L., E. Selig, and M. Spalding. 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia
Tenggara. World Resources Institute.Washington DC. USA.

Callan, S.J. and J.M.,Thomas. 2000. Environmental Economics and Management: Theory,
Policy, and Applications, The Dryden Press.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut ; Aset Pembangunan Berkelanjutan.


PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Dault, A. 2008. Pemuda dan Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.

Glynn, P.W. 1996. Coral reef bleaching: facts, hypothesis and implications. Global
Change Biology.

Harijono, S.W.B. 2007. Kondisi Indonesia Saat ini dan Prediksi Iklim Masa yang Akan
Datang. Diskusi Panel Kesiapan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Badan
Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.

Ikawati, Y., P.S.Hanggarwati., H.Parlan., H. Handini dan B.Siswodihardjo. 2001.


Terumbu Karang di Indonesia. Penerbit MAPIPTEK, Jakarta.

Indrawan, M., R.B. Primack, dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi (Edisi Revisi).
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

37

Anda mungkin juga menyukai