Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penipisan ozon, pemanasan global, penggundulan hutan, dan hilangnya
spesies langka merupakan masalah lingkungan hidup akibat kegiatan manusia1.
Dengan demikian, banyaknya bencana alam yang ditimbulkan akibat kegiatan
manusia mengharuskan adanya perubahan paradigma, baik bagi masyarakat pada
umumnya maupun bagi ilmuwan sosial pada khususnya. Berkenaan dengan hal
itu, Dunlap dan Catton dalam Mehta2 dan Gross3 menyarankan bahwa untuk
keberlangsungan kehidupan manusia/masyarakat di masa yang akan datang, perlu
adanya pergeseran paradigma yang beraliran antroposentrisme (manusia sebagai
pusat atau penentu alam) ke paradigma baru yang lebih mengacu pada
lingkungan, yaitu The New Environmental Paradigm (NEP) tentang hubungan
antara manusia dan lingkungan ekologisnya. Dengan demikian, diharapkan
adanya kestabilan fungsi lingkungan bagi kehidupan manusia.
Paradigma Ekologi baru berawal tahun 1970-an, ketika masih sedikit
sosiolog yang memberikan perhatian terhadap masalah lingkungan hidup. William
Catton dan Riley Dunlap melahirkan paradigma New Environmental Paradigm
(NEP) dengan perhatian terhadap pemikiran hijau yang berawal dari keprihatinan
terhadap tingginya paham antroposentris (berorientasi pada manusia)
dibandingkan paham ekosentris (manusia tidak hanya menjadi satu spesies yang
mendiami bumi). (Hannigan, 1995). Paradigma Lingkungan Hidup Baru ini
muncul untuk menandingi disiplin studi yang didominasi pendekatan
antroposentris yang dikenal dengan Human Exemptionalist Paradigm (HEP).
Paradigma ini menyediakan pengamatan sosial untuk analisis fakta sosial (dengan
menolak keterkaitan studi lain seperti psikologi, biologi dan fisik) dan kemudian

1
Michael Redclift and Ted Benton, Social Theory and The Global Environment, (London & New
York: Routledge, 1994) , h.171.
2
Michael D Mehta & Erick Quellet, Environmental Sociology, Theory and Practice, (Canada
Captus Press, 1995), h.36.
3
Mathhias Gross and Harald Heinrichs, Environmental Sociology European Perspectives and
Interdisciplinary Challenges, (London New York: Springer Dordrecht Heidelberg 2010), h.86.

1
disiplin yang dihadirkan mengabaikan hubungan yang melekat antara masyarakat
dan lingkungan biofisiknya, terutama dampak sosial dalam sistem alam dan
menghasilkan pengaruh seperti perubahan ekologi dalam masyarakat (Catton &
Dunlap, 1978; Dunlap & Brulle, 2015).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan New Environmental Paradigm (NEP)?
2. Bagaimana pengaruh New Environmental Paradigm (NEP) terhadap
lingkungan hidup?
3. Bagaimana perbedaan New Environmental Paradigm (NEP) dengan
paradigma yang lainnya?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian dari New Environmental Paradigm (NEP).
2. Memahami pengaruh New Environmental Paradigm (NEP) terhadap
lingkungan hidup.
3. Memahami perbedaan New Environmental Paradigm (NEP) dengan
paradigma yang lainnya.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah diharapkan pembaca lebih memerhatikan
masalah lingkungan sampai dengan masalah yang mendasar, yaitu antara
masyarakat modern, masyarakat industri, dan lingkungan fisik yang mereka
tempati. Kepedulian terhadap penyebab pencemaran lingkungan dilengkapi
dengan fokus pada dampak sosial dari polusi dan keterbatasan sumber daya.
Selain itu, melalui makalah ini pembaca dapat mengetahui beberapa
paradigma mengenai lingkungan, salah satunya adalah New Environmental
Paradigm (NEP). Paradigma Lingkungan Baru (NEP) ini mencakup ide batas-
batas pertumbuhan, perlunya mencapai "steady-state" ekonomi, pelestarian alam,

2
keseimbangan alam, dan kebutuhan untuk menolak gagasan bahwa alam semata-
mata untuk digunakan oleh manusia. Dengan memahami paradigma mengenai
lingkungan, diharapkan pembaca bisa lebih bijak untuk mengambil keputusan
dalam menangani masalah lingkungan hidup.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lingkungan Hidup
Tiga fungsi dasar lingkungan hidup bagi kehidupan manusia diungkap oleh
4 5 6
(Chiras, 1991), (Wali dkk, 2010), (Cunningham,WP and Marry An
Cunningham. 2004), yakni sebagai berikut:
1. lingkungan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk hidup.
Sumber daya yang dimaksud adalah udara, air, tempat tinggal, sarana
transportasi, dan berbagai macam barang yang bersifat ekonomis;
2. lingkungan berfungsi sebagai penyerap limbah. Pohon menyerap karbon
dioksida (sebagai hasil akhir proses metabolisme mahluk hidup dan
berbagai aktivitas manusia), kemudian mengolah karbondioksida tersebut
menjadi oksigen untuk dikembalikan lagi ke udara;
3. manusia memiliki tempat untuk bertahan hidup, dan lingkungan
menyediakan tempat di mana manusia dapat hidup, bekerja, bermain,
berjalan, dan beraktivitas.
Dengan demikian, lingkungan hidup berfungsi untuk memberikan
kehidupan ruang atau habitat bagi populasi manusia. Akan tetapi, akan terjadi
permasalahan bila manusia/masyarakat berlebihan dalam memanfaatkan ketiga
fungsi lingkungan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.
Chiras dalam buku Environmental Science 7 menyatakan bahwa manusia
sebagai bagian dari alam tidak dapat menghindari pencemaran. Pencemaran
merupakan salah satu dampak negatif dari kegiatan industri. Tidak sedikit
manusia mengalami keracunan akibat penggunaan pestisida, berbagai macam
polutan dari hasil buangan pabrik, asap kendaraan, dan penggunaan bahan-bahan
kimia.

4
Daniel D. Chiras, loc.cit.
5
Mohan K. Wali, Falih E, op. cit., h. 3.
6
William P. Cunningham and Marry An Cunningham, Principles of Environmental Science. 2nd
ed, ( New York: Mc Graw-Hill., 2004), h.196.
7
Daniel D.Chiras, op. cit.,h.39.

4
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Lester Milbrath dalam Haniggan (2006)8
menegaskan bahwa paradigma sosial dominan yang dikonstruksi pada saat
revolusi industri ternyata banyak memunculkan persoalan lingkungan. Bahkan,
sebelumnya, Messarovic telah memperingatkan dalam laporannya yang berjudul
“Mankind at The Turning Point”9 bahwa keadaan di Asia Tenggara akan menjadi
sangat buruk dan penderitaan manusia akan sangat menyedihkan jika tidak
diambil langkah-langkah perbaikan yang dimulai dari saat sekarang. Keadaan
yang perlu diperbaiki, terutama dalam hubungan interaksi kependudukan dan
alam (pangan dan energi).

B. Ekologi Manusia
Dunlap dan Catton (1978) mengajukan NEP dengan mengedepankan dalil
bahwa alam memiliki keterbatasan, dalil tersebut adalah : (1) manusia hanya satu
spesies yang terdiri dari banyak spesies yang memiliki ketergantungan dalam
komunitas biotik yang membentuk kehidupan sosial; (2) Keterkaitan yang rumit
menyebabkan dampak dan memberi umpan balik pada jaringan alam yang
memunculkan konsekuensi yang tidak diinginkan yang berbeda dengan aksi
manusia yang disengaja; (3) Potensi keterbatasan fisik dan biologis menghambat
pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan fenomena kemasyarakatan lainnya.
Lebih lanjut, Dunlap kemudian memberi definisi sosiologi lingkungan hidup
adalah studi interaksi masyarakat dan lingkungan hidup yang memasukkan
variabel lingkungan hidup dalam analisa sosiologi. Lebih lanjut, perspektif
ekologi Dunlap berfokus pada: pertama, perhatian bahwa paradigma
‘Exemptionalist (HEP)’ mendasari teori sosiologi tradisional dan diperbaharui
dengan sebutan NEP; Kedua, perhatian mengenai upaya untuk memahami
kesatuan POET (Population, Social-Organization, Environment dan Technology)
sebagai permasalahan lingkungan hidup yang utama dan kompleks dan ketiga,
menggunakan perspektif ‘realis’ untuk menganalisis masalah-masalah lingkungan

8
John Haniggan, Environmental Sociology, Second edition, (London & New York: Routledge
Taylor&Francise Group, 2006), h.146.
9
Donella H. Meadows , Dennis L. Meadows. Jorgens Randers and William W. Behrens III,
Batas- Batas Pertumbuhan, (Jakarta: Gramedia,1972), h. xxvi.

5
hidup (Vaillancourt, 2010; Dunlap & Marshal, 2007).
Micklin dan Poston (1998) memberikan terobosan mengenai ruang lingkup
bidang kajian ekologi manusia. Terdapat empat bidang utama dalam komplek
studi ekologi manusia (Human-Ecological Complex) yang dikenal dengan
Population, Social-Organization, Environment and Technology (POET).
Kemudian sistem ekologi manusia menjadi analisa dalam studi sosiologi dengan
pembagian sebagai berikut: people (mengenai tata kehidupan dan dinamika dalam
konteks biologis); society (tata kehidupan dan dinamika manusia dan alam yang
terbentuk dalam sistem) dan nature (tata lingkungan yang menjadi tempat hidup
dan menyediakan fasilitas bagi kehidupan manusia). Merujuk pada studi ekologi
manusia menurut Rambo dan Sajise (1984) bahwa esensi ekologi manusia terjadi
pertukaran energi, materi dan informasi antara dua sistem yaitu sistem manusia
dan sistem ekologi. Sistem manusia terdiri dari populasi, organisasi sosial,
pengetahuan, nilai-norma, dan teknologi. Sedangkan sistem ekologi terdiri dari
tanah, air, udara; tanaman; hewan; organisme mikro; dan infrastruktur.
Perspektif ekologi manusia menurut Rambo dan Sajise (1978) dengan
konsep sebagai berikut: (1) Perspektif yang memperlihatkan sistem sudut pandang
dari dua bagian masyarakat dan alam; (2) menjelaskan dua perilaku internal dari
ekosistem dan sistem sosial dan interaksinya antara gerakan atau aliran energi,
materi dan informasi; (3) memahami sistem organisasi dalam jaringan dan
hierarkis dan (4) dinamika perubahan sistem. Sistem sosial dalam POET memiliki
kaitan satu sama lain. Salah satu, contohnya dalam sistem tata surya atau
komponen fisik dan biotik dari ekosistem. Kemudian sistem sosial manusia
menggunakan pengaruh dari setiap komponen dan juga dipengaruhi dari perilaku
dari komponen-komponen lainnya. Komponen lainnya seperti agama, aspek
ideologi dan ritual dipengaruhi oleh karakter dari struktur sosial dan bekerja untuk
memperkuat struktur sosial.
Ekologi manusia didasarkan pada sistem sosial POET sebagai unit analisa
utama dalam populasi manusia dengan asumsi bahwa populasi memiliki unit
karakter dan integritas. Selain itu, populasi memiliki kepemilikan dan
menghubungkan manusia yang tidak hanya terpaku pada jumlah dari bagian

6
komponen. Yang terpenting menurut Poston dan Frisbie (dalam Micklin &
Poston, 1998) adalah keberadaan populasi secara kolektif dan kemampuan
beradaptasi terhadap pergantian kondisi yang menghadapi populasi termasuk
penggunaan teknologi, ukuran, komposisi dan distribusi populasi dengan
perhatian ekologi manusia tidak sebagai ruang melainkan sebagai organisasi. Tiga
dimensi terdiri dari materi, informasi dan energi yaitu: 1) materi meliputi alat,
kapital, perlengkapan, mesin; 2) informasi meliputi pengetahuan, teknik,
penemuan ilmiah dan 3) energi. Permasalahan dalam tingkat masyarakat petani
mengenai konsep teknologi secara kritis meliputi penggunaan teknologi mengolah
lahan untuk produksi intensif maupun pupuk untuk pertanian. Sementara untuk
pertanian skala besar penggunaan teknologi seperti mesin untuk menggarap lahan.
Penggunaan teknologi menimbulkan permasalahan terhadap lingkungan
hidup yang seringkali digunakan manusia untuk memanipulasi pengelolaan
ekosistem. Pemahaman ekologis perlu terkonstruksi secara sosial menurut Dunlap
(2002) karena terdapat tiga latar belakang yaitu altruistik (kesetaraan; keadilan
sosial dan kedamaian), egoistik (kekuatan sosial, kemakmuran, kewenangan dan
ambisi) dan biosferik (menghargai bumi, mencegah polusi, bersatu dengan alam
dan melindungi lingkungan hidup). Penggunaan teknologi yang memanipulasi
pengelolaan ekosistem bersandar pada latar belakang egoistik yang menempatkan
manusia yang memiliki kuasa terhadap alam. Pada titik ini, NEP berupaya
mencari penekanan dimensi ekologis dalam masyarakat, yang kemudian
membentuk paradigma ekologi manusia. Dunlap (2002) meyakini NEP dapat
memimpin pembangunan teori ekologi untuk masyarakat dengan membentuk
tingkat pada masyarakat sebagai pengukuran pandangan ekologis untuk
memunculkan environmentalisme. Pengukuran keadaan lingkungan hidup sebagai
variabel yang kemudian dikenal dengan Environmental Attitude.

C. Hubungan Manusia dengan Lingkungan Fisik


Dunlap dan Catton 1979 menyatakan bahwa hubungan antara manusia dan
lingkungan fisik dikenal dengan istilah ''interaksi sosial-lingkungan''. Interaksi itu
termasuk cara-cara lingkungan dipengaruhi oleh manusia dengan cara

7
memodifikasinya. Relevansi interaksi itu terjadi berdasarkan fakta bahwa untuk
kelangsungan hidupnya, populasi manusia tergantung pada lingkungan biofisik.10
Hubungan manusia dengan lingkungan menurut Duncan seperti yang
11
dikutip dalam Mehta dipengaruhi oleh empat variabel interdependen, yaitu
populasi (P), organisasi (O), teknologi (T), dan lingkungan (E) seperti
digambarkan di bawah ini :

O E

Gambar 2.1: Ecological Complex Menurut Duncan


Beberapa variabel tersebut mengalami perkembangan,12 misalnya variabel
organisasi berkembang menjadi kebudayaan, sosial, dan faktor personal.
Sementara itu, konsep lingkungan menjadi modified environment, social
environment, natural environment, dan built environment. Hal itu dapat
digambarkan sebagai berikut ini :

10
Jhon Haniggan, op.cit., hh. 3-12.
11
Michael D Mehta & Erick Quellet, op.cit., h.8.
12
https://www.google.co.id/#hl=id&tbo=d&sclient=psyab&q=relevansi+status+so
sial%2Candromeda%2Cfisip+ui- =497, (diakses 23 Desember 2012)

8
Populatio
n

Social Environment Built Environment

Technolo Personali
gy
Modified Environment Natural
Environment

Culture Social culture


Gambar 2.2: Ecological Complex Menurut Luke Martel

Gambar tersebut menjelaskan bahwa terjadi saling pengaruh antara


populasi-teknologi, teknologi- kebudayaan, kebudayaan - struktur sosial, dan
begitu seterusnya. Dengan demikian, variabel-variabel seperti pada gambar
tersebut secara keseluruhan memengaruhi kondisi lingkungan hidup.
Menurut Dunlap dan Catton dalam Haniggan (2006)13, sosiologi
lingkungan dibangun dari beberapa konsep yang saling berkaitan, yaitu
1. ketidakmampuan sosiologi konvensional membicarakan persoalan-
persoalan sosial dan biofisik sehingga gagal menjawab permasalahan
lingkungan,
2. keterbatasan ekosistem yang tidak sebanding dengan masyarakat modern
yang hidup dengan sumber daya yang sangat terbatas (unsustainable).
Proses ini diperparah dengan pertumbuhan populasi yang sangat pesat
sehingga proses renewable membutuhkan waktu yang lama,

13
Jhon Haniggan, op.cit., h. 147.

9
3. masyarakat dengan populasi yang tinggi akan berhadapan dengan kondisi
ekologis,
4. jika krisis lingkungan ingin dihindari, ilmu lingkungan modern hendaknya
mendokumentasikan persoalan yang pelik dalam lingkungan yang
selanjutnya membutuhkan penyelesaian,
5. penolakan terhadap paradigma yang dominan sosial ke arah penerimaan
paradigma ekologi baru. Penerimaan ini penting sebagai upaya pengenalan
dimensi-dimensi krisis lingkungan yang menyumbang pada “pergeseran
paradigma” dalam masyarakat secara umum, dan
6. melakukan perbaikan paradigma serta reformasi lingkungan sehingga
melahirkan paradigma ekologi baru di kalangan masyarakat.
Manusia sangat tergantung pada lingkungannya. Hal itu mengisyaratkan
bahwa dalam praktik kehidupan sehari-hari, sangat dibutuhkan moral yang tinggi
di dalam lingkungan tempat manusia berada. Bagaimanapun, kebutuhan dasar
manusia seperti kesehatan, ketersediaan makanan, kenyamanan, tempat tinggal,
dan kebebasan merupakan fakta yang menyebabkan manusia tetap eksis di dalam
lingkungannya.14
Sifat manusia sangat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan. Namun,
potensi manusia sangat rentan terhadap lingkungan yang buruk. Dalam konteks
itu, semakin sering terjadi ketidakadilan sosial, semakin tampak "ketidakadilan
biologis". Hal ini terlepas dari fakta bahwa manusia berproses menjadi manusia
sepenuhnya dengan cara mengoptimalkan semua potensi untuk beraktualisasi
dalam keluarga, budaya, dan masyarakat. 15
Forrester telah mengembangkan suatu model matematika yang
mensimulasikan situasi dunia dan kecenderungan-kecenderungannya untuk
menjelaskan Limits to Growth (Batas-batas Pertumbuhan). Dalam model itu,
dipergunakan lima variabel yang bersifat independen, yakni kependudukan,
penanaman modal, konsumsi sumber alam yang tidak dapat diperbarui, polusi,
dan pengadaan pangan. Jika kecenderungan-kecenderungan sebagaimana

14
Soran Reader, Needs and Moral Necessity,(London & New York: Routledge), 2006), h. 96.
15
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, By Harper & Row Publishers, 1970 h.18.

10
diperlihatkan di masa lampau tetap berlangsung, dalam beberapa generasi
mendatang dunia akan melampaui batas-batas kemampuannya untuk berkembang
sehingga akan mengalami bencana.16
Akhir 1970-an merupakan era pertumbuhan yang dinamis bagi lingkungan
sosiologi Amerika. Masalah lingkungan mewakili apa yang disebut masalah
sosiologi lingkungan. Banyak ilmuwan sosial lebih memerhatikan masalah
lingkungan sampai dengan masalah yang mendasar, yaitu antara masyarakat
modern, masyarakat industri, dan lingkungan fisik yang mereka tempati.
Kepedulian terhadap penyebab pencemaran lingkungan dilengkapi dengan fokus
pada dampak sosial dari polusi dan keterbatasan sumber daya.17
18
Dunlap dan van Liere (1978) dalam Michael Lück mencatat bahwa
masalah ekologi berasal dari nilai-nilai/sikap tradisional dan keyakinan umum
dalam masyarakat. Nilai-nilai umum itu lebih mengarah pada Paradigma Sosial
Dominan (DSP), yaitu keyakinan akan ilmu pengetahuan dan teknologi,
ekonomi pemerintah terbatas, dan hak milik pribadi". DSP merupakan paradigma
"anti-ekologi" dan karena itu merusak lingkungan.
Sementara itu, terdapat paradigma lain yang dapat menjadi alternatif, yaitu
Paradigma Lingkungan Baru (NEP) yang mencakup ide batas-batas pertumbuhan,
perlunya mencapai "steady-state" ekonomi, pelestarian alam, keseimbangan
alam, dan kebutuhan untuk menolak gagasan bahwa alam semata-mata untuk
digunakan oleh manusia.
Pada hakikatnya, paradigma menurut Ritzer dalam Mehta19 adalah sebuah
gambaran/ pandangan dasar suatu subjek ilmu. Ritzer menambahkan bahwa
paradigma memiliki empat komponen, yaitu (1) bagian dari pekerjaan yang
ditetapkan sebagai model, (2) gambaran suatu bidang ilmu, (3) teori, dan (4)
beberapa metode serta instrumen. Berdasarkan komponen-komponen itu, NEP

16
Donella H. Meadows , Dennis L. Meadows. Jorgens Randers and William W. Behrens III,
op.cit., hh. xxiv-xxv
17
Mathhias Gross, and Harald Heinrichs, op.cit., h.4.
18
Michael Lück ,The ‘New Environmental Paradigm’: is the scale of Dunlap and Van Liere
applicable in a tourism context?. Tourism Geographies 5 (2) 228–240.,. (Canada: Routledge-
taylor and Francis Group, 2003),hh. 228-229.
19
Michael D. Mehta & Erick Quellet, loc.cit.,

11
dapat diidentifikasi sebagai segala sesuatu fakta yang ada di lingkungan, definisi
tentang lingkungan, dan tingkah laku terhadap lingkungan.
Andrew Gilg, dkk. menggambarkan sebuah model konseptualisasi sosial
dan nilai-nilai lingkungan . Mereka menjelaskan bahwa faham yang menyertai
NEP adalah Biocentric yang sangat berlawanan dengan faham Anthropocentric.
Faham Anthropocentric menyatakan bahwa bumi sebagai pesawat ruang angkasa
tidak adanya batas–batas pertumbuhan dan manusia menguasai alam.
Adapun O’Riordan melihat adanya hubungan antara manusia dan alam.
Oleh karena itu, dia menambahkan konsep Technocentrisme dan Ecocentrisme,
yaitu keterlibatan manusia dalam mengelola alam menjadi sebuah teknologi tidak
terlepas dari nilai-nilai ekologi. Dengan demikian, tindakan manusia terhadap
lingkungan harus selalu dievaluasi untuk perlindungan lingkungan.
Sejak tahun 1978, Riley E. Dunlap dan Kent D. van Liere mulai
memperkenalkan The New Environmental Paradigm,20 yakni sebuah pergeseran
paradigma sosiologi klasik melalui kekuatan lingkungan sebagai variabel objektif
yang direkomendasikan sebagai alat ukur prolingkungan. Kedua pakar itu
menyusun The New Environmental Paradigm (NEP) Scale untuk mengukur
pemikiran dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Pada awalnya, di dalam
NEP Scale ada 12 pernyataan untuk diskor berdasarkan skor Likert. NEP ini
disusun sebagai “tandingan” terhadap Dominant Social Paradigm yang cenderung
antilingkungan. Pada tahun 2000, Dunlap dan van Liere bersama dua kolega
lainnya merevisi NEP Scale menjadi 15 pertanyaan. NEP yang sudah direvisi ini
tidak sekadar mengukur pemikiran dan perilaku prolingkungan, tetapi juga
mengukur yang tidak prolingkungan atau antilingkungan.

D. Paradigma Ekologi Baru


Dunlap dalam sebuah kuliah umum yang peneliti kutip dalam laman
Youtube menyatakan perkembangan sosiologi lingkungan hidup tertinggal
dibandingkan dengan studi lingkungan hidup dan studi terkait, namun terdapat
dua faktor penting mengapa sosiologi memerlukan NEP yaitu pertama, sosiologi

20
Mathhias Gross and Harald Heinrichs, op.cit., h.3.

12
hadir pada masa dimulainya industri yang dipengaruhi oleh Dominant Western
Worldview (DWW) bahwa manusia ditempatkan sebagai ‘penakluk alam’. Kedua,
diktum anti reduksionisme Emile Durkheim yang mengabaikan kondisi ekologis.
Dunlap berupaya mempertahankan NEP untuk pemahaman mengenai bagaimana
masyarakat modern memiliki ketergantungan ekologi (Vaillancourt, 2010).
Orientasi ekologi yang membuat Dunlap menggunakan perspektif konstruksionis
yang moderat dengan catatan Dunlap tidak berharap NEP menggantikan sosiologi
klasik seperti Marxist, Weberian, fungsionalis atau perspektif teori lainnya, tetapi
berupaya untuk merangsang pembangunan teori versi hijau dari teori-teori
tersebut (Dunlap, 2002).
Skala NEP dirumuskan Dunlap dan Liere pada tahun 1976 untuk
membangun validitas mengenai nilai fundamental, sistem kepercayaan terhadap
lingkungan hidup, dan menemukan konfirmasi penemuan empiris. NEP terdiri
dari tiga dimensi yang berbeda yaitu: balance of nature, limits to growth, dan
dominasi manusia terhadap alam. Konseptualisasi yang disebut NEP (New
Environmental Paradigm) fokus pada kepercayaan kemampuan manusia untuk
mengacaukan kesimbangan alam, terbatasnya kemampuan masyarakat dan hak
manusia untuk mengatur alam. Selain itu, NEP dilengkapi dengan telaah tiga
perilaku lingkungan hidup (seperti egoistik, sosial altruistik dan biosferik)
menjadi ukuran kepercayaan konsekuensi dari kondisi lingkungan untuk individu
(terdiri dari dua hal), semua orang (terdiri dari dua hal) atau tanaman dan hewan
(terdiri dari empat hal). Sedangkan empat hal lainnya fokus terhadap perilaku
antroposentrisme (Dunlap et al., 2000). Namun dalam perkembangannya,
kepercayaan dan nilai yang harus dibuktikan dan skala perilaku lingkungan hidup
menjadi ukuran meluas dengan ukuran terhadap lingkungan hidup, kemudian
mendorong penamaan lingkungan hidup diganti dengan nama New Ecological
Paradigm.
Perilaku lingkungan hidup ditujukan untuk mengukur perhatian publik
terhadap kualitas lingkungan hidup atau perhatian terhadap lingkungan hidup.
Tidak hanya permasalahan lingkungan hidup yang signifikan seperti polusi,
sampah, dan permasalahan lingkungan hidup terkait geografis, tetapi juga

13
membahas permasalahan seperti penipisan ozon, deforestasi, kepunahan aneka
ragam hayati dan perubahan iklim. Maka, kemudian muncul upaya untuk meneliti
permasalahan lingkungan hidup dan perilaku terhadap lingkungan hidup (Stern,
2000; Dunlap et al., 2000). Skala NEP ditujukan sebagai pengukuran dukungan
paradigma fundamental atau sudut pandang mengenai perilaku, kepercayaan dan
nilai lingkungan hidup.
Dalam studi lingkungan hidup mengenai nilai dan kepercayaan terdapat
tiga aspek yang teridentifikasi: pertama, terbatasnya kepentingan memberikan
variabel dari situasi alam dalam penentuan perilaku lingkungan hidup; kedua,
tingkat pengukuran perilaku lingkungan hidup, secara umum terlihat abstrak atau
karakter hipotesis, digunakan dalam studi dan ketiga, sebagai hasil, persentasi
yang rendah yang menjelaskan perbedaan prediksi model perilaku lingkungan
(Coraliza & Berenguer, 2000). Permasalahan analisa NEP dimulai dari
pengukuran perilaku, adapun skala NEP muncul karena keterbatasan pengukuran
perilaku terhadap lingkungan hidup. Namun skala NEP karya Dunlap dan Liere
diyakini dapat mewakili pendekatan yang digunakan terhadap perilaku lingkungan
hidup (Schultz & Zelezny, 1999).

E. Perilaku Lingkungan Hidup (Environmental Attitude)


Studi mengenai perilaku lingkungan hidup mendapatkan pengaruh dari
studi psikologi sosial yang menelaah pola yang berbeda dari teori Value, belief
and Norms (VBN). Psikologi sosial melihat kepercayaan sebagai hal yang
mempengaruhi perilaku skala besar mengenai masalah lingkungan hidup tertentu
(Fernandez-Manzanal et al., 2007). Dalam telaah psikologi, komponen perilaku
lingkungan hidup yang sangat berpengaruh yaitu pengetahuan (kognisi) dan niat
yang digunakan secara paralel untuk memprediksikan perilaku secara ekologis.
Perilaku tidak hanya evaluasi dari beberapa hasil perkiraan dari kemungkinan
yang ada, informasi yang menonjol atau pengetahuan faktual berpengaruh
terhadap pra kondisi NEP merupakan tradisi penelitian perilaku lingkungan hidup
yang banyak digunakan untuk mengamati perilaku terhadap lingkungan hidup
(Kaiser et al., 1999).

14
Menurut Stern (2000) bahwa teori VBN menawarkan pengukuran
pembentukan objek perilaku dan bagaimana perhatian lingkungan hidup dan
masalah lingkungan hidup secara sosial terkonstruksi. Studi mengenai perilaku
lingkungan hidup telah ditandai oleh studi yang lengkap dari perbedaan faktor
kebudayaan (nilai) dan psikologi (kepercayaan) yang menjelaskan hubungan
antara lingkungan hidup dan manusia. Berdasarkan kontribusinya, Coraliza dan
Berenguer (2000) menegaskan bahwa dalam setiap budaya terdapat nilai yang
tertata yang memiliki dua dimensi bersama yaitu: yang pertama, memperluas
peningkatan kutub kepentingan diri (egoisme) terhadap kutub transedensi diri
(altruisme); kedua, dimensi kontras nilai diasosiasikan dengan keterbukaan
terhadap perubahan nilai-nilai konservatif.
Dalam pandangan Stern bahwa altruistik (termasuk perilaku pro
lingkungan hidup) terjadi sebagai respon moral individu pada individu yang aktif
yang mempercayai kondisi tertentu memunculkan ancaman tertentu bagi yang
lainnya (kesadaran dari konsekuensi yang merugikan atau Adverse Consequences-
AC) dan aksi yang dapat diinisiasi dengan mencegah konsekuensi (penentuan
tanggung jawab sendiri atau Ascription of Responsibility to self-AR). Kemudian
hubungan teori nilai, nilai aktivasi norma dan perspektif NEP saling berhubungan
dari lima variabel yang berpengaruh terhadap perilaku yaitu: nilai pribadi
(terutama nilai altruistik); NEP; AC; kepercayaan AR mengenai kondisi umum
dalam lingkungan biofisik dan norma pribadi dalam aksi pro lingkungan hidup.
Teori nilai, kepercayaan dan norma dengan teori nilai untuk menggerakkan
aktivasi norma dengan mengaktifkan norma pribadi yang memiliki kesadaran
akan konsekuensi merugikan kepada nilai individu yang lain. Manusia yang
memiliki nilai tinggi terhadap spesies lain dipusatkan oleh kondisi lingkungan
hidup yang mengancam nilai objek, seperti altruistik yang peduli terhadap
manusia lain dengan perhatian kondisi lingkungan hidup yang mengancam
manusia lainnya. Keterkaitan teori nilai, kepercayaan dan norma dengan NEP
adalah mengenai aktivasi norma, menurut Stern (2000) bahwa NEP merupakan
jenis teori ekologi dengan konsekuensi merugikan (AC) dari perubahan
lingkungan. Sedangkan norma pribadi terhadap aksi pro lingkungan hidup

15
diaktifkan oleh kepercayaan bahwa kondisi lingkungan hidup mengancam nilai
individual dan individu dapat bertindak mengurangi ancaman (AR). Teori nilai,
kepercayaan dan norma menjadi landasan kecenderungan individu bergerak ke
aksi mendukung lingkungan hidup.
Aksi yang mendukung lingkungan hidup diidentifikasi menjadi perilaku
lingkungan hidup. Perilaku lingkungan hidup secara signifikan beralasan untuk
didefinisikan oleh Stern (2000) berdasar dampaknya yaitu keberlanjutan
perubahan ketersediaan material atau energi dari lingkungan hidup atau mengubah
struktur dan dinamika dari ekosistem atau biosfer. Perilaku lingkungan hidup
menyediakan pemahaman yang baik terhadap seperangkat kepercayaan,
kepentingan atau aturan yang mempengaruhi environmentalisme atau aksi pro
lingkungan hidup (Fernandez-Manzanal et al., 2007). Beberapa perilaku
lingkungan hidup yang signifikan diantaranya: aktivisme lingkungan hidup;
perilaku non aktivis dalam ruang publik dan environmentalisme ruang privat.
Dalam perkembangannya, indicator New Ecological Paradigm yang
disempurnakan berbentuk Environmental Attitude yang terdiri dari: limits to
growth; penolakan dominasi manusia pada alam; keseimbangan alam; resiko
ekokrisis dan penolakan dari human exemptionalism (Dunlap et al., 2000).
Adapun penjelasan utuhnya di bawah ini:
1. Limits to Growth
 Kami mendekati batas jumlah manusia di bumi yang dapat mendukung.
 Bumi memiliki banyak sumber daya alam jika kita mencoba
mendalaminya.
 Bumi seperti ruang angkasa hanya memiliki ruang dan sumber daya
terbatas.

2. Anti-anthropocentrism
 Manusia memiliki hak untuk mengubah alam sesuai kebutuhannya.
 Tanaman dan hewan memiliki hak sebagaimana manusia berad.
 Manusia memiliki aturan mengatur alam.

16
3. Balance of Nature
 Ketika manusia ikut campur terhadap alam maka hal ini memproduksi
konsekuensi bencana alam
 Keseimbangan alam lebih kuat untuk mengatasi dampak bangsa
industrial modern.
 Keseimbangan alam rumit dan mengecewakan.

4. Rejection of Exemptionalism
 Kecerdikan manusia akan memastikan kami tidak membuat bumi tidak

layak huni. 


 Walaupun kemampuan special manusia masih menjadi subjek mengatur

alam. 


 Manusia pada akhirnya akan belajar cukup mengenai bagaimana alam

bekerja untuk mengawasinya. 


5. Possibility of an Eco-crisis

 Manusia cenderung menyalahgunakan lingkungan. 


 Disebut ‘krisis ekologi’ dihadapi umat manusia cenderung dibesar-

besarkan. 


 Jika hal ini berlanjut saat ini, kami akan menghadapi pengalaman
bencana ekologi segera.

F. Pertarungan Paradigma Ekologi Baru


Umumnya studi sosiologi dipengaruhi pemilikiran Barat yang
menonjolkan industrialisme yang meminggirkan pertanian yang memiliki
ketergantungan pada lingkungan biofisik (Dunlap, 2002). Sosiologi lingkungan
hidup berangkat dari kritisi terhadap pemikiran Durkheim mengenai fakta sosial
yang kemudian menyebabkan struktur sosial dan aktor yang dibebaskan dari

17
ketergantungannya pada alam (Dunlap & Catton, 1994). Landasan tersebut
membentuk HEP (Human Exemptionalism Paradigm) yang cenderung pada
perilaku manusia berdasar aspek material dengan landasan: (1) manusia unik
karena menciptakan budaya; (2) variasi budaya hampir bervariasi pada waktu dan
ruang dan berkembang lebih cepat daripada kemampuan biologi; (3) kemudian
banyak orang yang berbeda warisan genetisnya; (4) konsekuensinya, akumulasi
kebudayaan berarti peningkatan dapat berlanjut tanpa batas, membuat semua
masalah sosial teratasi (Vaillancourt, 2010).
Pandangan HEP terkait erat dengan DSP (Dominant Social Paradigm)21
merupakan gagasan Pirages dan Ehrlich (1974) didefinisikan sebagai tujuan untuk
pengejaran diri (ekonomi), pengaturan diri (politis) dan efisiensi (teknologi) atau
sebagai tujuan dari hal baik untuk masyarakat (etis). (Lundmark, 2007) DSP
menunjukkan kepercayaan bahwa kemajuan manusia seharusnya dilihat utamanya
dalam ranah material (produksi dan konsumsi) yang mana menurunkan legitimasi
dominasi manusia terhadap alam (Buttel, 2010). Kemajuan manusia berawal dari
kepercayaan bahwa teknologi merupakan solusi dari masalah sosial atau fisik
yang dapat muncul dalam masyarakat (Kilbourne & Carlson, 2008). DSP
kemudian mendapatkan penolakan dari New Environmental Paradigm oleh
Dunlap dan Van Lierre (1978) dan kemudian diperbaharui oleh New Ecological
Paradigm (NEP) oleh Dunlap, Van Lierre, Mertig dan Jones (2000) yang menolak
keberadaan alam semata hanya untuk melayani kebutuhan manusia. NEP diakui
oleh Dunlap et al. (2000) sebagai kepercayaan primitif mengenai hubungan alam
dan manusia.
Dalil NEP terdiri dari: (1) manusia merupakan satu spesies di antara
banyak komunitas biotik dan tergantung pada komunitas biotik untuk membentuk
kehidupan sosial; (2) keterhubungan rumit menjadi penyebab, dampak dan umpan
balik dalam jaring alam memproduksi banyak konsekuensi yang berasal dari
tujuan aksi manusia yang berbeda; (3) dunia merupakan satu, maka fisik
potensial dan keterbatasan biologi menghambat pertumbuhan ekonomi, kemajuan

18
sosial dan fenomena sosial lainnya (Vaillancourt, 2010). NEP menekankan
dimensi ekologi masyarakat sebagai ukuran pandangan ekologi yang muncul dari
environmentalisme dan memiliki ukuran sikap lingkungan hidup dengan
seperangkat kepercayaan, pola pandang mengenai alam dan fungsi biosfer yang
disebut environmental attitude melalui lima nilai yaitu limits to growth, anti
antroposentrisme (dominasi manusia terhadap alam), keseimbangan alam,
penolakan exemptionalisme (manusia dibebaskan dari alam) dan resiko eko krisis
(Dunlap &Van Lierre, 1978, Dunlap et al., 2000; Stets & Biga, 2003). Dunlap et
al. (2000) menyatakan bahwa environmental attitude yang memperkuat NEP
sebagai perspektif yang menekankan ketergantungan manusia terhadap alam.

Tabel 2.1. Perbandingan Asumsi DSP, HEP dan NEP


Dominant Human New Ecological
Social Exemptionalism Paradigm (NEP)
Paradigm Paradigm (HEP)
(DSP)
Asumsi DSP menyatakan HEP menyatakan NEP pada
mengenai bahwa manusia bahwa manusia dasarnya ketika
alam secara memiliki warisan manusia
fundamental kebudayaan memiliki
berbeda dari sehingga berbeda karakteristik
semua makhluk dengan spesies pengecualian
yang ada di lainnya. (budaya,
bumi, maka teknologi dan
manusia yang lainnya), mereka
mendominasi tetap satu di
antara banyak
spesies yang
tergantung pada
ekosistem global.

19
Asumsi DSP, ketika HEP, faktor sosial NEP, urusan
mengenai manusia dapat dan kebudayaan manusia
penyebab menguasai (terutama dipengaruhi tidak
sosial nasibnya, teknologi) menjadi hanya oleh
mereka dapat determinan utama faktor-faktor
memilih dari urusan sosial dan
tujuannya dan manusia budaya, tetapi
belajar untuk juga
apapun yang keterhubungan
penting untuk yang rumit dari
diraih. penyebab,
dampak dan
umpan balik
dalam jaringan
alam. Kemudian
tindakan manusia
yang bertujuan
memiliki banyak
konsekuensi
yang tidak
diinginkan.
Asumsi DSP, dunia HEP, sosial dan NEP, manusia
dalam begitu luas dan kebudayaan hidup dan
konteks kemudian merupakan konteks tergantung pada
masyarakat menyediakan penting bagi urusan lingkungan
kesempatan manusia yang biofisik yang
tidak terbatas terkait dengan mengalami
bagi manusia lingkungan keterbatasan
biofisik. sehingga
berpotensi
mengekang

20
urusan manusia
secara fisik dan
biologis.
Asumsi DSP, sejarah HEP, budaya NEP, walaupun
keterbatasan kemanusiaan adalah kumulatif, daya temu dari
masyarakat adalah satu kemudian manusia dan
kemajuan dan teknologi dan kekuatan untuk
kemajuan yang kemajuan sosial melanjutkan
tidak pernah dapat berlanjut batasan kapasitas
berhenti. tanpa batas dan ekologi.
sehingga semua
masalah sosial pada
akhirnya dapat
dipecahkan.

21
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Dalam perkembangan sosiologi lingkungan hidup tidak terlepas dari
pertarungan tiga paradigm yaitu New Ecological Paradigm, Human
Exemptionalism dan Dominant Social Paradigm. Namun, Riley E. Dunlap yang
memimpin pemikiran mengenai New Ecological Paradigm kurang lebih dalam 40
tahun ini. New Ecological Paradigm dikaitkan dengan perkembangan Human
Ecology studies yang terkait erat dengan Population, Organization, Environment
and Technology. Poin terakhir adalah masalah serius terkait tiga paradigma yang
berbeda. Dalam Dominant Social Paradigm dengan yakin bahwa teknologi
merupakan gambaran manusia modern dan teknologi mampu mengatasi segala
hal. Sementara menurut New Ecological Paradigm bahwa teknologi tidak mampu
memecahkan persoalan karena manusia hanyalah satu spesies di bumi dan
keterkaitan manusia dan alam sangatlah rumit segingga teknologi tidak mampu
menandingi alam. Selama bertahun-tahun, Dunlap berupaya memperbaiki New
Ecological Paradigm agar terlihat nyata. Hasilnya adalah indikator mengenai
environmental attitude yang terfokus pada balance of nature, limits to growth,
anti antroposentrisme, resiko ekokrisis dan penolakan dari human exemptionalism.

B. Saran
Melihat banyaknya bencana alam yang ditimbulkan akibat kegiatan
manusia mengharuskan adanya perubahan paradigma, baik bagi masyarakat pada
umumnya maupun bagi ilmuwan sosial pada khususnya. Untuk
keberlangsungan kehidupan manusia/masyarakat di masa yang akan datang, perlu
adanya pergeseran paradigma yang beraliran antroposentrisme (manusia sebagai
pusat atau penentu alam) ke paradigma baru yang lebih mengacu pada
lingkungan, yaitu The New Environmental Paradigm (NEP) tentang hubungan

22
antara manusia dan lingkungan ekologisnya. Dengan demikian, diharapkan
adanya kestabilan fungsi lingkungan bagi kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Mathhias Gross and Harald Heinrichs, Environmental Sociology European


Perspectives and Interdisciplinary Challenges, (London New York: Springer
Dordrecht Heidelberg 2010)

Utari, Enggar. Paradigma baru Lingkungan, The New Environmental Paradigm


(NEP).

Wulansari, Icha. 2018. Paradigma Ekologi Baru dalam Sosiologi Lingkungan


Hidup. https://i.ytimg.com/vi/Ee7xdTTrLl0/maxresdefault.jpg. Diakses tanggal:
15 September 2019.

23

Anda mungkin juga menyukai