Anda di halaman 1dari 124

SELEKSI IN VITRO KALUS EMBRIOGENIK KELAPA

SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MODERAT TAHAN


TERHADAP Ganoderma boninense Pat.

ANTONIUS DONY MADU PRAPTOMO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Seleksi In Vitro
Kalus Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Moderat Tahan
terhadap Ganoderma boninense Pat. adalah karya saya sendiri dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014

Antonius Dony MP
NIM A253100071
RINGKASAN

ANTONIUS DONY MADU PRAPTOMO. 2014. Seleksi In Vitro Kalus


Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Moderat Tahan terhadap
Ganoderma boninense Pat. Dibimbing oleh NI MADE ARMINI WIENDI dan
NURITA TORUAN-MATHIUS.

Variasi somaklonal pada kultur jaringan kelapa sawit berpotensi sebagai


sumber keragaman genetik baru ketahanan terhadap penyakit busuk pangkal
batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma boninense Pat melalui teknik
seleksi in vitro. Tujuan umum penelitian ini yaitu mengembangkan prosedur
teknik seleksi in vitro ketahanan kultur kalus kelapa sawit terhadap G. boninsense
Pat. penyebab penyakit Busuk Pangkal Batang pada tanaman kelapa sawit. Tujuan
khusus penelitian yaitu (i) Mendapatkan isolat G. boninense. yang memiliki
tingkat virulensi tertinggi berdasarkan karakter fisiologisnya, (ii) Menetapkan
kondisi optimal teknik seleksi ketahanan kultur kalus kelapa sawit terhadap
Ganoderma boninense Pat., (iii) Menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat
Ganoderma boninense Pat. penyebab nekrosis sel kalus kelapa sawit.
Sepuluh isolat G. boninense digunakan untuk evaluasi isolat virulen melalui
media 2% malt ekstrak agar (MEA) dan penambahan asam Tanik 5%, 1 mM 2,2-
azino-bis (3-etilbenzotiazolin-6-sulfonat) sebagai media kromogenik melalui
sebelas peubah. Kalus embriogenik remah kelapa sawit Tenera sebanyak 0.1 g
digunakan untuk seleksi dan isolat patogen G. boninense dipilih yang paling
virulen. Panen filtrat dilakukan setiap tiga hari selama 30 hari untuk penentuan
waktu panen filtrat optimal. Konsentrasi letal filtrat ditentukan dari sembilan belas
media uji toksisitas, ditambahkan dari 0 sampai 50% (v/v). Seleksi dilakukan
selama 3 bulan yang diulang empat kali pada konsentrasi filtrat 20%, 24%, 28%,
32%, dan 36% (v/v). Visualisasi area nekrosis dilakukan dengan pewarnaan
jaringan dengan teknik mikrotom. Analisis kimia filtrat G. boninense dilakukan
pada asam organik, ergosterol, protein dan polisakarida. Kebocoran elektrolit
digunakan untuk mengetahui peran senyawa dalam filtrat melalui analisis lintas.
Isolat G. boninense dengan virulensi tertinggi adalah strain G3-11-U5.
Kultur filtrat G. boninense dengan filtrasi pada waktu panen 15 hari setelah
inokulasi digunakan sebagai sumber agen seleksi. Konsentrasi letal filtrat adalah
40% (v/v). Konsentrasi subletal filtrat optimal adalah 32% (v/v). Periode seleksi
terbaik dilakukan selama 3 bulan per siklus selama empat siklus. Aktivitas enzim
peroksidase dan enzim fenilalanina amonia liase dapat digunakan sebagai
indikator peubah ketahanan kalus. Gejala nekrosis teramati pada irisan mikrotome
dipengaruhi konsentrasi dan waktu pemaparan filtrat. Asam oksalat dan kelompok
protein merupakan senyawa fitotoksin terhadap kalus kelapa sawit berdasarkan
analisis lintas. Hasil seleksi in vitro diperoleh enam tunas in vitro putatif moderat
tahan terhadap G. boninense.

Kata kunci: Asam oksalat, Busuk pangkal batang, Fenilalanina amonia liase,
Kebocoran elektrolit, Media kromogenik, Peroksidase.
SUMMARY

ANTONIUS DONY MADU PRAPTOMO. In Vitro Selection of Oil Palm (Elaeis


guineensis Jacq.) Embryogenic Callus Moderate Resistance to Ganoderma
boninense Pat. Supervised by NI MADE ARMINI WIENDI and NURITA
TORUAN-MATHIUS.

Somaclonal variation in oil palm tissue culture have potential as a new


source of genetic variability of resistance to basal stem rot (BPB) disease caused
by G. boninense. The general objective of this research was to develop the of in
vitro selection technique procedure of oil palm callus culture resistance against
G. boninsense Pat. that causes Basal Stem Rot disease. The specific objective of
the research were to: (i) Obtain isolates of Ganoderma boninense Pat. which has
the highest level of virulence based on physiological characteristics, (ii)
Determine the optimal conditions for oil palm callus culture resistance selection
technique against Ganoderma boninense Pat., (iii) Determine the active
compounds in the culture filtrate of Ganoderma boninense Pat. causes cell
necrosis oil palm callus.
Ten isolates of G. boninense were used for the selection of pathogenic
isolates through the test with 5% tannin acid and 1 mM 2,2-azino-bis (3-
etilbenzotiazolin-6-sulfonic acid) as cromogenic medium with five variables.
Embryogenic callus of oil palm Tenera clump about 0.1 g were used to test the
toxicity of the filtrate. Filtrate were harvested every three days up to 30 days to
determine the optimal filtrat harvest time. Lethal concentration of the filtrate was
determined through nineteen toxicity test medium, added by filtate with
concentration from 0 to 50% (v/v). Selection was done for 3 months which was
repeated four times on filtrate concentration of 20%, 24%, 28%, 32%, and 36%
(v/v). Visualization of necrosis area was done using tissue colorization with
microtome technique. Chemical analysis of G. boninense was done for organic
acid, ergosterol, protein, and polysaccharide. Electrolytes leakage was used to
know the role of compound on the filtrate throught path analysis.
The highest virulence of G .boninense was achieved by G3-11-U5 strain.
The optimal harvest time of filtrate was 15 days after inoculation used as
selection agent. The lethal concentration of filtrate was 40% (v/v). The optimal
sublethal concentration of filtrate was 32% (v/v). The best selection was done in 3
month with four cycles. Enzyme activity of peroxidase and phenilalanin ammonia
lyase can be used as an indicator variable resistance of selected callus. Symptoms
of necrosis was observed in slices mikrotome which influenced by concentration
and exposure time. The oxalic acid and protein group were the fitotoksin
compounds to oil palm callus based on path analysis. Results of in vitro selection
technique was six in vitro shoots which indicated putative moderate resistance to
G. boninense.

Keywords: Basal stem rot, Chromogenic medium, Electrolyte leakage,


Peroxidase, Phenilalanin ammonia lyase, Oxalic acid.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SELEKSI IN VITRO KALUS EMBRIOGENIK KELAPA
SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MODERAT TAHAN
TERHADAP Ganoderma boninense Pat.

ANTONIUS DONY MADU PRAPTOMO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc
Judul Tesis : Seleksi In vitro Kalus Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) Moderat Tahan terhadap Ganoderma boninense Pat.
Nama : Antonius Dony Madu Praptomo
NIM : A253100071

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Ni Made Armini Wiendi, MS Dr Nurita Toruan-Mathius, MS


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian : 22 Juli 2014 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian bertema
teknik seleksi in vitro dilaksanakan sejak bulan April 2012 hingga November
2013. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan sumber
genetik baru terutama pada sifat ketahanan terhadap penyakit busuk pangkal
batang yang disebabkan oleh patogen G. boninense. Selanjutnya penelitian
dilakukan dalam beberapa seri penelitian dengan berjudul : Seleksi In vitro Kalus
Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guiniensis Jacq.) Moderat Tahan terhadap
Ganoderma boninense Pat.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr Ir Ni Made Armini Wiendi, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr
Nurita Toruan-Mathius, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang
dengan sabar memberikan bimbingan, arahan dan ilmunya bagi penulis.
2. Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc selaku dosen penguji luar komisi yang
telah memberikan saran dan masukan demi perbaikan tesis ini.
3. Bpk. Jo Daud Darsono selaku HoU dan Dr Tony Liwang, MSc selaku
Division Head of Plant Production and Biotechnology PT. SMART. tbk yang
telah memberi izin dan dana penulis melanjutkan tugas belajar pada jenjang
Magister di IPB.
4. Randi Abdur Rohman, SSi, Hadi Septian Guna Putra, SSi dan Yogo Adhi
Nugroho, MSc yang banyak membantu dan berdiskusi selama proses
penelitian dan penulisan.
5. Ibu Lisa, Ibu Helena, Bpk Irang, Bpk Yanto, Ibu Cyntia, Ibu Urip dan staf
Plant Production lainnya yang telah memberi kultur kalus kelapa sawit dan
dukungan moril.
6. Rekan rekan staf Biotek PT SMART.tbk yang tidak dapat disebutkan satu per
satu atas segala dukungannya.
7. Warid, Tinche, Iin, Irni, Aziz dan rekan-rekan seangkatan PBT IPB 2010
dalam perjuangannya selama ini.
8. Saudara Sanju dan Pipit dengan segala ketelitian dan kesabarannya membantu
secara teknis pelaksanaan penelitian.
9. Bapak Ag. Sudarno, Mas Darwanto, Mbak Novi, Dik Dian, Bpk. Purnama dan
Ibu yang telah memberi dukungan moril kepada penulis.
10. Istri tercinta YMM Anita Nugraheni dan buah hati kami Sebastian Gamma
dengan segala penuh cinta, doa, kerelaan dan kesabaran menemani selama
proses belajar ini.
Serta semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan moril
serta inspirasi bagi penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Antonius Dony MP
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
Bagan Alir Kegiatan Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 5
Variasi Somaklonal pada Kultur Jaringan Kelapa Sawit 5
Patogenesitas G. boninense pada Tanaman Kelapa Sawit 8
Efektor 10
EVALUASI ISOLAT Ganoderma boninense Pat. VIRULEN 12
Pendahuluan 13
Tujuan Penelitian 13
Bahan dan Metode 13
Analisis Data 16
Hasil dan Pembahasan 17
Simpulan 24
OPTIMASI TEKNIK SELEKSI IN VITRO KETAHANAN KALUS
EMBRIOGENIK KELAPA SAWIT TERHADAP Ganoderma boninense Pat. 25
Pendahuluan 26
Tujuan Penelitian 27
Bahan dan Metode 27
Peubah Amatan 32
Analisis Data 32
Hasil dan Pembahasan 34
Simpulan 49
ANALISIS KANDUNGAN SENYAWA AKTIF DALAM FILTRAT DAN
RESPONS KALUS KELAPA SAWIT PADA UJI TOKSISITAS FILTRAT
Ganoderma boninense Pat. 50
Pendahuluan 51
Tujuan 52
Bahan dan Metode 52
Analisis Data 55
Hasil dan Pembahasan 57
Simpulan 73
PEMBAHASAN UMUM 73
SIMPULAN UMUM 78
DAFTAR PUSTAKA 78
LAMPIRAN 92
DAFTAR ISTILAH 105
RIWAYAT HIDUP 108

DAFTAR TABEL
1 Isolat uji virulensi Ganoderma boninense berdasarkan daerah dan jenis
tanah 14
2 Pengaruh jenis isolat terhadap diameter zona reaksi, diameter miselium,
indeks isolat serta intensitas kepekatan warna pada media ATT 18
3 Pengaruh jenis isolat terhadap diameter zona, diameter koloni, indeks
isolat serta intensitas kepekatan warna pada media ABTS 20
4 Pengaruh jenis isolat terhadap laju tumbuh miselium pada media uji
MEA, ATT dan ABTS 22
5 Hasil pengujian karakter fisiologis dalam pendugaan tingkat virulensi
sepuluh isolat G. boninense 23
6 Pengaruh metode modifikasi kultur patogen terhadap penurunan jumlah
kalus hidup dan berat basah kalus 34
7 Waktu panen filtrat terhadap penurunan jumlah kalus hidup 36
8 Uji toksisitas media YMB dan filtrat terhadap jumlah kalus hidup dalam
penentuan konsentrasi letal filtrat G. boninense 39
9 Pengaruh konsentrasi sub letal filtrat terhadap penurunan jumlah kalus
hidup dan selisih berat basah kalus 40
10 Pengaruh siklus seleksi terhadap penurunan jumlah kalus hidup dan
selisih berat basah kalus 41
11 Pengaruh konsentrasi filtrat terhadap perkecambahan embrio somatik
dan pembentukan tunas pada siklus seleksi keempat 43
12 Pengukuran aktivitas enzim kitinase, fenilalaninina amonia liase dan
peroksidase berdasarkan asal kalus dan media induksi 47
13 Pengaruh dual kultur terhadap pencokelatan kalus, penurunan jumlah
regenerasi kalus dan penurunan berat basah kalus 58
14 Pengaruh konsentrasi penduga subletal dan letal filtrat terhadap luas area
nekrosis jaringan kalus kelapa sawit 60
15 Perbandingan konsentrasi asam-asam organik filtrat dan kontrol pada
pengujian kebocoran ion 65
16 Perbandingan konsentrasi total protein filtrat dan kontrol pada pengujian
kebocoran ion 66
17 Perbandingan konsentrasi ergosterol filtrat dan kontrol pada pengujian
kebocoran ion 67
18 Perbandingan konsentrasi total polisakarida filtrat dan kontrol pada
pengujian kebocoran ion 67
19 Korelasi peubah kimia oksalat, ergosterol, polisakarida dan protein pada
filtrat terhadap kebocoran ion kalus 70

DAFTAR GAMBAR
1 Sistem regenerasi in vitro eksplan daun kelapa sawit melalui
embriogenesis tidak langsung 7
2 Skema ilustrasi jaringan tanaman inang terinfeksi patogen sebagai aksi
dari efektor apoplastis dan sitoplasmik 10
3 Media kromogenik pada uji fisiologis isolat.
4 Alur kerja percobaan deteksi isolat virulen G. boninense 16
5 Hasil reaksi oksidasi sepuluh isolat G. bonineses menggunakan media
ATT 17
6 Hasil reaksi oksidasi sepuluh isolat G. bonineses pada media ABTS 19
7 Diameter morfologi koloni G. boninense pada media MEA pada 6 hsi 21
8 Dendrogram berdasarkan karakter fisiologis sepuluh isolat kelompok G.
boninense 24
9 Tahap persiapan teknik seleksi in vitro kultur kalus kelapa sawit untuk
ketahanan terhadap G. boninense 28
10 Metode dual layer G. boninense modifikasi kultur patogen pada seleksi
kalus embriogenik kelapa sawit 30
11 Alur kerja optimasi teknik seleksi in vitro kultur kalus kelapa sawit
untuk ketahanan terhadap G. boninense 33
12 Pengaruh metode modifikasi kultur G. boninense terhadap kalus
embriogenik kelapa sawit selama 2 bulan 35
13 Pola penambahan biomas miselium G. boninense pada setiap waktu
panen filtrat 37
14 Pola perubahan derajat kemasaman media tumbuh G. boninense 38
15 Embrio somatik pada kalus terseleksi pada siklus seleksi keempat 44
16 Inisiasi embrio somatik serta tahapan perkembangan proembrio yang
berasal dari kalus terseleksi pada siklus seleksi pertama 45
17 Berkas jaringan proembrio pada irisan tipis jaringan kalus embriogenik
kelapa sawit 45
18 Germinasi embrio menjadi tunas in vitro hasil seleksi pada konsentrasi
32% (v/v) disiklus ke IV 46
19 Tahap perakaran tunas in vitro kelapa sawit putatif tahan G. boninense 46
20 Kalus terseleksi dan kontrol setelah 3 hari inkubasi untuk uji biokimia
aktivitas enzim peroksidase, PAL dan kitinase 48
21 Alur kerja evaluasi pengaruh fitotoksin filtrat G. boninense terhadap
kalus kelapa sawit 56
22 Penampakan makroskopis jaringan sel clump kalus kelapa sawit 57
23 Penampakan makroskopis clump kalus kelapa sawit yang mengalami
perubahan warna cokelat selama 2 bulan 57
24 Penampakan irisan tipis transversal jaringan kalus kelapa sawit 59
25 Penampakan transversal irisan tipis jaringan kalus kelapa sawit yang
menunjukkan nekrosis 60
26 Embrio somatik pada kalus terseleksi pada siklus seleksi I 61
27 Irisan tipis jaringan sel kalus kelapa sawit terpapar filtrat G. boninense 62
28 Kromatogram asam organik dalam filtrat G. boninense 63
29 Pola kandungan asam organik dalam filtrat pada waktu panen filtrat 64
30 Pola kandungan total protein dalam filtrat pada waktu panen filtrat 65
31 Kromatogram ergosterol pada pengukuran kultur filtrat G. boninense 66
32 Model regresi linier pengaruh filtrat 68
33 Model regresi linier pengaruh asam oksalat 69
34 Model analisis lintas 71
35 Mikrograf elektron penampang kalus embriogenik kelapa sawit 72

DAFTAR LAMPIRAN
1 Sidik ragam diameter zona reaksi isolat pada media ATT 92
2 Sidik ragam diameter koloni isolat pada media ATT 92
3 Sidik ragam indeks isolat pada media ATT 92
4 Skor intensitas warna pada zona reaksi oksidasi di media ATT 92
5 Sidik ragam diameter zona reaksi isolat pada media ABTS 92
6 Sidik ragam diameter miselium isolat pada media ABTS 93
7 Sidik ragam indeks isolat pada media ABTS 93
8 Skor intensitas warna pada zona reaksi oksidasi di media ABTS 93
9 Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media ATT 93
10 Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media ABTS 93
11 Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media MEA 94
12 Analisis cluster berdasarkan sebelas karakter fisiologis 94
13 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup pada metode modifikasi
patogen 94
14 Sidik ragam penurunan berat basah kalus pada metode modifikasi
patogen 94
15 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup dengan kontrol negatif 95
16 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup dengan kontrol positif waktu 95
17 Sidik ragam regresi rasio kalus hidup pada penentuan konsentrasi letal 95
18 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup pada penentuan konsentrasi 95
19 Sidik ragam penurunan selisih berat basah kalus pada penentuan
konsentrasi subletal melalui empat siklus penapisan 96
20 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya terhadap
aktivitas enzim peroksidase 96
21 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya terhadap
aktivitas enzim fenilalanina amonia liase 96
22 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya terhadap
aktivitas enzim kitinase 97
23 Larutan seri Jonsen dan lama waktu perendaman pada tahap fiksasi
spesimen 97
24 Larutan pewarnaan, tahap perendaman dan lama perendaman pada tahap
pewarnaan spesimen 97
25 Model regresi peubah aktivitas enzim fenilalanina amonia liase standar
enzim Rhodotorula glutinis 98
26 Model regresi peubah aktivitas enzim peroksidase standar enzim Horse
radish peroksidase 98
28 Model regresi peubah aktivitas enzim β-N-Acetyl glucosaminidase
standar enzim Canavalia ensiformis 99
27 Kandungan asam α-ketoglutarat dari media YMB 99
29 Kandungan asam sitra dari media YMB 99
30 Kandungan asam malat dari media YMB 100
31 Kandungan asam oksalat dari media YMB 100
32 Kandungan ergosterol dari media YMB 100
33 Kandungan protein total dari media YMB 100
34 Kandungan polisakarida total dari media YMB 101
35 Statistika diskriptif peubah eksogenus dan endogenus pada analisis
lintas 101
36 Korelasi Pearson antar peubah eksogenus dan endogenus pada analisis
lintas 101
37 Sidik ragam regresi kebocoraan elektrolit 102
38 Nilai b peubah eksogenus terhadap peubah kebocoran elektrolit kalus
pada analisis lintas 102
39 Validasi metode analisis kandungan polisakarida total menggunakan
standar β-glukan 102
40 Validasi metode analisis kandungan asam α-ketoglutarat, sitrat, malat
dan oksalat 103
41 Validasi metode analisis kandungan ergostrol menggunakan standar
ergosterol 104
42 Validasi metode analisis kandungan protein total menggunakan standar
Bovin albumin 105
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan penyakit yang sangat


penting pada perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan
Indonesia. Cendawan Ganoderma boninense Pat. diketahui sebagai penyebab
umum penyakit BPB pada kelapa sawit. Pada tahun 1931, penyakit ini untuk
pertama kali dilaporkan oleh Thompson menyerang tanaman kelapa sawit di
Malaysia dan Indonesia. Pada awalnya, G. boninense dianggap menyerang
tanaman kelapa sawit yang sudah tua, namun diketahui dapat menyerang tanaman
yang masih muda. Ariffin et al. (1989) melaporkan bahwa tanaman kelapa sawit
berumur 1 tahun dapat diinfeksi oleh G. boninense.
Zakaria et al. (2005) melaporkan bahwa penyakit BPB memperpendek umur
produktif tanaman kelapa sawit, serta mengakibatkan kehilangan hasil secara
ekonomi. Kerugian ekonomi akibat penyakit BPB antara lain menurunnya hasil
panen tandan buah segar (TBS) dan kematian tanaman. Menurut Roslan dan Idris
(2011) kehilangan hasil TBS kelapa sawit dapat mencapai 0.2 sampai 24.0%,
terhitung sejak tanaman berumur 10 sampai 22 tahun.
Kejadian penyakit BPB di Indonesia dilaporkan dapat mencapai 80% di
beberapa perkebunan yang telah lama berproduksi (Susanto dan Sudharto 2003).
Susanto (2002) melaporkan bahwa kejadian penyakit akan meningkat seiring
dengan replanting tanaman, saat replanting ke empat dapat mencapai 11%.
Kejadian penyakit BPB meningkat pada tanaman yang telah berumur lebih dari 16
tahun dapat mencapai 13% sampai 87% (Virdiana et al. 2011).
Penyakit BPB sukar dikendalikan, hal itu disebabkan oleh cara hidup
cendawan G. boninense dan sifat infeksinya. Sebagai cendawan saprofit fakultatif
yang bersifat nekrotropik, G. boninense mampu hidup pada jaringan mati tanaman
di tanah serta dapat menginfeksi jaringan hidup inangnya. Kisaran inang yang luas
serta mempunyai keragaman genetik mating yang tinggi memberikan peluang G.
boninense bertahan dalam kondisi lingkungan yang berubah. Bentuk miselium
resisten, basidiospora dan struktur klamidospora pada G. boninense dapat
meningkatkan ketahanannya dalam kondisi cekaman.
Proses infeksi yang lambat, menyebabkan gejala eksternal berbeda dengan
gejala internal. Hal tersebut menimbulkan kesulitan dalam mendeteksi gejala
penyakit saat awal infeksinya. Usaha pengendalian penyakit yang dilakukan pada
saat gejala terlihat umumnya sudah terlambat karena perkembangan penyakit telah
mencapai 60% sampai 70% (Shamala et al. 2006).
Beberapa usaha preventif maupun kuratif telah dilakukan untuk
mengendalikan penyakit BPB. Pendekatan kuratif yang telah dilaporkan antara
lain penggunaan fungisida dan surgery (Idris et al. 2004). Pendekatan preventif
yang dilakukan diantaranya melalui kultur teknis dan penggunaan agen antagonis
Trichoderma sp. (Ain-Izzati dan Abdullah 2008). Metode deteksi awal infeksi G.
boninense merupakan salah satu metode preventif lainnya sebagai contoh :
ergosterol (Mohd-Aswad et al. 2011). Menurut laporan Idris (2012) dan Susanto
et al. (2012), pengendalian penyakit BPB di Malaysia dan Indonesia telah
mengkombinasikan usaha preventif dan kuratif tersebut. Namun demikian,
2
hasilnya masih belum memuaskan oleh karena efektifitas metode dan biaya yang
cukup besar dalam aplikasinya.
Penggunaan bahan tanaman kelapa sawit tahan terhadap penyakit BPB
merupakan pengendalian yang lebih efektif dan efisien dalam jangka panjang.
Beberapa persilangan telah dilakukan untuk mendapatkan genotipe tahan terhadap
penyakit BPB, namun belum mendapatkan hasil yang diharapkan. Beberapa
genotipe kelapa sawit Tenera yang berasal dari Afrika terindikasi lebih tahan
terhadap penyakit BPB yang menunjukkan gejala penyakit lebih lambat daripada
Dura Deli (Idris et al. 2004). Laporan tersebut menunjukkan keragaman genetik
untuk sifat tahan terhadap penyakit BPB masih terbatas.
Keragaman genetik yang sempit merupakan salah satu faktor penghambat
keberhasilan program pemuliaan kelapa sawit untuk ketahanan terhadap penyakit
BPB. Sifat ketahanan terhadap penyakit biasanya melibatkan banyak gen minor,
sehingga program pemuliaan memerlukan sumber gen-gen ketahanan baru.
Pendekatan lain perlu dilakukan untuk mendapatkan sumber gen baru sehingga
diharapkan program pemuliaan menjadi relatif singkat, murah dan mudah namun
sifat tahan yang diperoleh dapat stabil ekpresinya secara genetik.
Kultur jaringan kelapa sawit dapat menjadi salah satu sumber keragaman
genetik yang potensial untuk dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman
kelapa sawit. Proses selama tahap kultur jaringan dapat menginduksi perubahan
salinan genetik pada jaringan eksplan yang diinduksi oleh kondisi in vitro.
Menurut Larkin dan Scrowcrot (1981) keragaman genetik yang terinduksi melalui
proses kultur jaringan disebut variasi somaklonal.
Ho dan Tan (1990) melaporkan bahwa tanaman hasil kultur jaringan kelapa
sawit menunjukkan fenomena variasi somaklonal yang disebut buah mantel. Ong-
Abdullah et al. (2005) melaporkan bahawa terdapat beberapa perubahan fenotipe
pada vegetatif tanaman klonal kelapa sawit seperti daun erek, daun kimera dan
beberapa perubahan bentuk yang lain. Walaupun perubahan tersebut cenderung
bersifat negatif, potensi variasi somaklonal kelapa sawit yang bersifat positif
masih belum banyak diketahui sehingga perlu diekplorasi untuk mendapatkan
manfaat.
Teknik seleksi in vitro berpotensi menjadi solusi untuk mendapatkan
genotipe kelapa sawit tahan penyakit BPB melalui pemanfaatan variasi
somaklonal. Teknik ini telah berhasil dimanfaatkan untuk mendapatkan galur-
galur yang toleran terhadap tekanan faktor biotik maupun abiotik (Svabova dan
Lebeda 2005; Rai et al. 2011). Keberhasilan teknik seleksi in vitro pada tanaman
tahunan telah banyak dilaporkan. Sebagai contoh pada Eucalyptus marginata
tahan terhadap Phytophthora cinnamomi (Cahill et al. 1992), tanaman Coffea
arabica tahan terhadap Colletotrichum kahawae (Nyange et al. 1997) dan
tanaman Malus domestica tahan terhadap Phytophthora cactorum (Mezzetti et al.
1992).
Keunggulan teknik seleksi in vitro adalah kemampuan menapis jaringan sel
mutan yang mungkin terdapat pada kultur tanaman selama proses kultur jaringan.
Seleksi pada tingkat sel, mendorong populasi unit seleksi yang mampu dikerjakan
dapat mencapai jutaan sel. Respons ketahanan terhadap cekaman tingkat seluler
dapat dimaksimalkan, sebaliknya pengaruh lingkungan dapat diminimalkan.
Teknik ini juga tidak membutuhkan lahan luas dan dikerjakan dalam waktu relatif
singkat. Hasil penelitian Ganesan dan Jayabalan (2006) dan Kumar et al. (2008a)
3
menunjukkan bahwa teknik seleksi in vitro dapat menginduksi peningkatan
ekspresi patogenesis-related proteins (PR), peptida antifungi atau biosintesis
fitoaleksin.
Beberapa prinsip dasar yang perlu dipenuhi dalam aplikasi teknik seleksi in
vitro pada tanaman, meliputi perbanyakan tanaman secara in vitro melalui somatik
embriogenesis tidak langsung. Kultur in vitro tanaman dapat berupa kultur
suspensi sel, kalus, bahkan tunas in vitro. Proses perbanyakan klonal kelapa sawit
jalur somatik embriogenesis tidak langsung memerlukan waktu yang cukup lama
dan melalui sub kultur berulang. Kondisi tersebut diperkirakan dapat
meningkatkan kejadian mutasi sehingga menimbulkan keragaman genetik. Selain
itu, keragaman genetik dapat berasal dari sumber jaringan eksplan yang digunakan
dalam perbanyakan, disebut pre-existing (Skirvin et al. 1994).
Teknik seleksi in vitro membutuhkan protokol perbanyakan klonal tanaman
secara lengkap dan terbakukan. Hal tersebut berkaitan dengan tujuan akhir dari
teknik ini, yaitu menapis sel mutan yang diinginkan dan meregenerasi sel mutan
tersebut menjadi tanaman lengkap. Sejauh ini telah tersedia protokol dalam proses
perbanyakan tanaman kelapa sawit unggul (Wong et al. 1997). Adanya protokol
tersebut membuat potensi pemanfaatan kultur jaringan kelapa sawit untuk
pengembangan teknik seleksi in vitro semakin terbuka.
Seleksi in vitro memerlukan suatu agen seleksi. Agen seleksi merupakan
faktor yang terlibat secara langsung dalam proses cekaman pada tanaman secara
fisiologis. Agen seleksi untuk ketahanan terhadap penyakit tanaman dapat
menggunakan kultur filtrat patogen, senyawa patotoksinnya atau dengan isolat
patogennya (Svabova dan Labeda 2005). Agen seleksi yang sesuai pada G.
boninense merupakan permasalahan penting dalam pengembangan teknik seleksi
in vitro kelapa sawit untuk ketahanan terhadap penyakit BPB. Dharmaputra et al.
(1990) melaporkan bahwa filtrat G. boninense memiliki potensi digunakan dalam
mempelajari respons sel kelapa sawit terhadap G. boninense.
Menurut Paterson (2007) G. boninense termasuk dalam kelompok cendawan
busuk putih (white rot) yang aktif mensekresikan enzim-enzim lignolitik,
pendegradasi komponen lignin dinding sel tanaman. Elissetche et al. (2006)
melaporkan bahawa terdapat akumulasi asam oksalat pada media tumbuh G.
australe. Kultur cair G. lucidum dilaporkan juga mengandung berbagai macam
senyawa metabolit seperti kelompok terpenoid dan polisakarida (Zhu et al. 2009).
Kehadiran senyawa-senyawa tersebut dalam media tumbuh cendawan
menunjukkan penggunaan fitrat G. boninense berpotensi sebagai agen seleksi
dalam memilih somaklon yang memiliki tingkat ketahanan tertentu dari kultur in
vitro kelapa sawit.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan prosedur teknik seleksi in


vitro ketahanan kultur kalus kelapa sawit terhadap Ganoderma boninsense Pat.
penyebab penyakit Busuk Pangkal Batang pada tanaman kelapa sawit.
4
Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian adalah dapat digunakan sebagai rujukan teknis


tahap awal penerapan teknik seleksi in vitro pada tanaman tahunan khususnya
untuk ketahanan terhadap penyakit Busuk Pangkal Batang yang disebabkan oleh
kelompok cendawan busuk putih.
Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup tiga bagian, yaitu metode seleksi untuk


mendapatkan isolat virulen G. boninense, beberapa seri percobaan penetapan
kondisi optimal agen seleksi pada G. boninense hingga diperoleh tunas in vitro
kelapa sawit, dan menduga jenis senyawa yang terkandung dalam filtrat G.
boninense dalam hubungannya sebagai agen seleksi terhadap kalus kelapa sawit.

Bagan Alir Kegiatan Penelitian

I. Evaluasi Virulensi Isolat Ganoderma boninense Pat.


Tujuan : Mendapatkan isolat Ganoderma boninense Pat. yang memiliki
tingkat virulensi tertinggi berdasarkan karakter fisiologisnya
Output : Isolat Ganoderma boninense Pat. dengan ciri virulensi tertinggi

II. Optimasi Teknik Seleksi Ketahanan Kalus Embriogenik Kelapa Sawit


terhadap Ganoderma boninense Pat. Secara In vitro
Tujuan : Menetapkan kondisi optimal teknik seleksi ketahanan kultur kalus
kelapa sawit terhadap Ganoderma boninense Pat.
Output : Kondisi optimal teknik seleksi in vitro ketahanan kultur kelapa
sawit terhadap Ganoderma boninense Pat dan peubah ketahanan
nya.

III. Analisis Kandungan Senyawa Aktif Dalam Filtrat dan Respons Kalus
Kelapa Sawit pada Uji Toksisitas Filtrat Ganoderma boninense Pat.
Tujuan : Menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat Ganoderma
boninense Pat. penyebab nekrosis sel kalus kelapa sawit
Output : Senyawa aktif dalam kultur filtrat Ganoderma boninense Pat. yang
bersifat fitotoksin terhadap kultur kalus kelapa sawit
5
TINJAUAN PUSTAKA

Variasi Somaklonal pada Kultur Jaringan Kelapa Sawit

Perbanyakan kelapa sawit secara in vitro dapat dikatakan sukses, namun


terdapat aspek negatif berupa abnormalitas tanaman di lapang (Ho et al. 2008).
Ong-Abdullah et al. (2005) melaporkan beberapa tipe keragaman somaklonal
pada organ vegetatif maupun reproduktif tanaman klonal kelapa sawit.
Keragaman organ vegentatif antara lain daun erek, daun kimera dan struktur
bunga berubah menjadi daun. Pada bagian reproduktif dilaporkan ditemukan
tanaman jantan, bunga androgenous, dan buah mantel.
Secara intensif keragaman somaklonal telah banyak diamati pada tanaman
monokotil kurma (Phoenix dactylifera L.). Al Kaabi et al. (2005) melaporkan
sedikitnya ada tujuh keragaman morphologi yang teramati pada tanaman klonal
kurma di antaranya pertumbuhan bushiness (0.1%–1.4%), daun kimera (0.02%),
kerdil (0.4 - 30%), daun putih kehilangan hijau daun (0.06%), deformasi tunas
(0.05%), pembungaan terlambat (abnormalitas organ reproduktif 50%), buah
mantel (80 – 100%).
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab variasi somaklonal pada
tanaman hasil kultur jaringan kelapa sawit adalah :

Genotipe Sumber Bahan Tanam (Ortet)


Perbanyakan klonal kelapa sawit umumnya melalui metode somatik
embriogenesis tidak langsung. Metode ini dikerjakan melalui beberapa tahap yaitu
induksi eksplan menjadi kalus, kalus membentuk embroid dan embroid menjadi
ramet. Perbanyakan klonal kelapa sawit dianggap kurang efisien dalam skala
komersial karena hanya sekitar 50% hingga 80% ortet yang dapat menghasilkan
ramet (Soh et al. 2011). Menurut Soh et al. (2011) kemampuan kalogenesis
eksplan daun kelapa sawit rata-rata sekitar 15% dan hanya 25% ortet yang
menghasilkan embroid dengan poliferasi embroid kurang dari 5%.
Ginting dan Fatmawati (1995) melaporkan kemampuan kalogenesis bahan
ortet berbeda-beda berdasarkan originnya. Kalogenesis bahan ortet asal
Yangambi, Avros, Dumpy Avros dan Cameroon diperkirakan sekitar 20%, asal
Avros, Lame sekitar 16%, sedangkan asal Nifor sekitar 11%. Walau demikian,
Syed Alwee et al. (2010) melaporkan bahwa bahan ortet asal Lame menunjukkan
paling berhasil dalam perbanyakan klonal dibandingkan dengan origin lainnya.
Sanputawong dan Te-chato (2008) melaporkan bahwa perbedan kalogenesis dan
embriogenesis kelapa sawit akibat pengaruh genotipe berdasarkan pada 16
persilangan Dura x Pisifera.

Sumber Jaringan Eksplan


Jaringan akar, bunga atau daun pada perbanyakan klonal kelapa sawit dapat
digunakan sebagai eksplan. Eksplan daun muda kelapa sawit paling sering
digunakan sebagai eksplan. Eksplan daun muda diambil dari daerah pucuk daun
muda tanaman ortet kemudian dibagi menjadi potongan kecil 1 cm2 per eksplan
dan diinokulasikan pada media in vitro (Rohani 2001). Penggunaan eksplan daun
6
muda memberikan keuntungan dalam jumlah eksplan yang diperoleh lebih
banyak, ukuran lebih seragam serta mudah dalam sterilisasinya.
Eksplan asal bunga telah digunakan di beberapa laboratorium. Eksplan
bunga diambil dari bagian bunga muda dengan seludang belum terbuka dan
dipotong kecil sekitar 2 sampai 4 mm lalu dikulturkan (Vovola dan Lord 2004).
Vovola dan Lord (2004) menemukan bahwa penggunaan eksplan bunga mampu
menginduksi abnormalitas morfogenesis sel kalus menjadi tunas.

Media Kultur
Komposisi media dasar in vitro pada banyak tanaman sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan perbanyakan demikian juga pada kelapa sawit. Media dasar
kultur jaringan tanaman umumnya mengandung hara mineral antara lain N, P, K,
Ca, Mg, S, Fe, B, Mn, Cu, Zn dan Mo. Media dasar Murashige dan Skoog (MS)
banyak digunakan dalam perbanyakan in vitro kelapa sawit dengan beberapa
modifikasi (Wooi 1993).
Beberapa penelitian menggunakan media dasar lain, diantaranya media
Eeuwens (Y3), Broun & Wood dan N6 dengan modifikasi tertentu (Sogeke at al.
1999; Muniran et al. 2008; Kramut dan Te-chato 2010). Hasil penelitian Sogeke
(1996) menunjukkan bahwa media Y3 menghasilkan regenerasi kalus dan embrio
somatik yang lebih baik dibandingkan dengan media lainnya. Al-Khayri (2011)
melaporkan adanya perbedaan media dasar untuk setiap tahap perkembangan
kultur tanaman.
Eksplan dalam kondisi in vitro, belum mampu menghasilkan fotosintat
sehingga perlu ditambahkan gula sebagai sumber karbon utama untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Selain sebagai sumber karbon, gula juga
berfungsi sebagai pengatur tekanan osmotik dalam media (George dan Sherington
1984). Sukrosa digunakan lebih sering dalam perbanyakan in vitro kelapa sawit
pada konsentrasi 1% hingga 3% (b/v) (Wooi 1993). Gula diantaranya glukosa,
fruktosa, sorbitol dan manitol juga ditambahkan dalam skala percobaan. Gula
sukrosa pada media in vitro kelapa sawit menunjukkan lebih baik daripada jenis
gula lainnya (Hilae dan Te-chato 2005).
Senyawa organik lain juga ditambahkan pada beberapa media in vitro
kelapa sawit seperti myo inositol, vitamin seperti niasin, tiamin (B1), piridoksin
(B6) dan glisin (Muniran et al. 2008). Penambahan vitamin diharapkan dapat
memperbaiki proses enzimatik pada jaringan kultur tanaman (George dan
Sherington 1984). Senyawa kompleks yang lain juga digunakan, diantaranya
kasein hidrolisat dan air kelapa. Penambahan senyawa tersebut dengan tujuan
memperbaiki pertumbuhan kultur (Wooi 1993). Asam amino seperti glutamin,
arginin dan asparagin terutama pada media dasar Euweans digunakan sebagai
salah satu sumber nitrogen organik (Muniran et al. 2008). Agar-agar digunakan
sebagai bahan pemadat pada media kultur jaringan kelapa sawit. Pada fase
perkembangan tertentu penggunaan pitagel memberikan pengaruh lebih baik dari
pada jenis pemadat lainnya (Wong et al. 1997).

Zat Pengatur Tumbuh


Zat pengatur tumbuh merupakan salah satu bahan esensial dalam sistem
regenerasi in vitro berbagai tanaman. Jenis dan komposisinya pada media in vitro
dapat mendorong arah perkembangan suatu eksplan ke jalur organogenesis atau
7
embriogenesis (George dan Sherington 1984). Efektivitas kalogenesis dan
embriogenesis jaringan eksplan kelapa sawit salah satunya dipengaruhi oleh jenis
dan komposisi zat pengatur tumbuh yang digunakan. Golongan auksin yang
umum digunakan adalah 1-Naphthaleneacetic acid (NAA), 2.4-
Dichlorophenoxyacetic acid (2.4-D), Indole-3-butyric acid (IBA), 3.6-dichloro-2-
methoxybenzoic acid (Decamba) dan pikloram (Wong et al. 1997; Kramut dan Te-
Chato 2010).
Media cair kultur kelapa sawit dapat menggunakan hormon golongan
sitokinin seperti N6-(2-Isopentenyl) adenine (2-IP), 6-benzyladenine (BA) dan
kinetin (Paranjothy et al. 1989; Aberlenc-Bertossi et al. 1999; Te-Chato et al.
2008). Asam giberelat (GA) juga digunakan dalam regenerasi in vitro kelapa
sawit yang berperan dalam induksi pemanjangan jaringan (Suranthran et al.
2011). Namun penggunaan sitokinin cenderung dihindari pada perbanyakan
klonal kelapa sawit, karena diduga dapat menyebabkan abnormalitas organ
generatif maupun vegetatif (Paranjothy et al. 1989; Inpeuy et al. 2011).

Periode Perbanyakan In vitro


Tahap perkembangan eksplan daun kelapa sawit meliputi tahap induksi
kalus, diferensiasi dan perkembangan kalus, pembentukan embroid, pendewasaan
dan perkecambahan embrio. Wong et al. (1997) melaporkan waktu yang
dibutuhkan untuk keselurahan tahapan perbanyakan klonal kelapa sawit antara 9 -
52 bulan (Gambar 1). Periode waktu perbanyakan dapat dikurangi menjadi 29
bulan yaitu melalui pemilihan ortet dilapang dan perbaikan protokol in vitro (Soh
et al. 2011).

Eksplan Daun
Induksi kalus
(1 – 15 bulan)
Kalus
Diferensiasi
(1 - 12 bulan)
Embrioid
Proliferasi dan perkecambahan
Tunas (6 – 10 bulan)

Induksi akar dan perkembangan


Ramet (1 – 15 bulan)

Gambar 1 Sistem regenerasi in vitro eksplan daun kelapa sawit melalui


embriogenesis tidak langsung (Wong et al. 1997)

Tipe Kalus
Menurut Besse et al. (1992) terdapat dua tipe kalus yaitu kalus fast growing
callus (FGC) dan nodular compact callus (NCC). Dua tipe kalus tersebut
memiliki morfologi dan fisiologi yang berbeda, namun mempunyai kemampuan
8
embriogenesis yang hampir sama. Kalus FGC dapat muncul dari jenis kalus NCC.
Hal ini berhubungan dengan umur kalus dan waktu subkultur yang lama.
Ramet kelapa sawit yang dihasilkan dari kalus FGC menunjukkan fenomena
buah mantel lebih tinggi daripada asal kalus NCC (Jaligot et al. 2000). Menurut
Paranjothy et al. (1993) abnormalitas buah dilapang berhubungan dengan
frekuensi subkultur yang tinggi serta umur kalus. Basse et al. (1992) melaporkan
sitokinin endogen lebih rendah pada kalus tipe FGC dibandingkan dengan tipe
kalus NCC. Namun auksin tidak berbeda nyata antara tipe FGC dengan kalus tipe
NCC.
Kalus jenis FGC biasanya muncul secara spontan dengan frekuensi yang
rendah di area tertentu pada kultur kalus. Kalus FGC menunjukkan berwarna
putih lembut dan friabel. Kalus tipe ini mempunyai sel bervakuola dan volume
vakuola bertambah besar pada sel turunannya serta tidak terlihat senyawa fenol.
Bertambahnya waktu subkultur menyebabkan peningkatan pembesaran vakuola
sel dan berat basah kalus jenis ini (Besse et al. 1992).
Keseimbangan eksogen antara auksin dan sitokinin pada media dapat
menstimulasi pembentukan kalus FGC atau jenis NCC secara acak. Morfologi
kalus yang akan terbentuk sangat dipengaruhi oleh jenis eksplan dan keragaman
kondisi lingkungan ortet. Kondisi itu menginduksi perbedaan konsentrasi auksin
dan sitokinin endogen eksplan.
Laporan Muniran et al. (2008) menunjukkan terdapat pengaruh komposisi
media kultur terhadap perbedaan kalogenesis dan embriogenesis kelapa sawit.
Inpeuy et al. (2011) menghasilkan ramet kelapa sawit abnormal pada media kultur
yang mengandung air kelapa dan sitokinin. Hal tersebut menunjukkan ketidak-
seimbangan hara nutrisi pada media kultur jaringan dapat menginduksi kondisi
abnormal pada regeneran, yang menunjukkan plastisitas fenotipe tanaman
terhadap cekaman lingkungan (Brautigam et al. 2013).

Patogenesitas G. boninense pada Tanaman Kelapa Sawit

Proses Infeksi G. boninense pada Tanaman


Cendawan G. boninense dikenal secara umum sebagai patogen penyebab
penyakit busuk pangkal batang (BPB) pada kelapa sawit. Dua spesies Ganoderma
yang lain diketahui juga bersifat patogenik pada kelapa sawit yaitu G. zonatum
and G. miniatocinctum (Idris et al. 2001). Ganoderma merupakan organisme
pendegradasi lignin yang efesien sehingga digolongkan sebagai cendawan busuk
putih (White Rot).
Cendawan Ganoderma hidup sebagai saprofit dengan mengkolonisasi kayu
mati untuk bertahan hidup ketika inang tidak ditemukan (Eriksson et al. 1990).
Cendawan G. bonisnense secara umum bersifat parasit fakultatif oleh karena
beraktivitas parasit, tetapi tidak seutuhnya mengandalkan pada inangnya untuk
menyelesaikan siklus hidupnya (Khairudin 1993).
Khairudin et al. (1991) melaporkan keberhasilan inokulasi buatan G.
bonisnense pada bibit kelapa sawit sehingga menyebabkan gejala penyakit BPB.
Infeksi G. boninense di alam diperkirakan karena adanya kontak antara akar yang
sehat dengan sumber inokulum pada bahan organik kayu atau akar tanaman yang
telah mati, masuk dalam jaringan akar lewat luka atau tanpa adanya luka
(Khairudin 1993; Rees et al. 2009). Miselium menembus jaringan kortek dan
9
tumbuh sepanjang akar terinfeksi menuju bagian pangkal batang melalui jaringan
pembuluh (Arrifin et al. 1991). Hasil pengamatan mikroskopis miselium terlihat
ditemukan pada jaringan korteks, endodermis, xilem, floem dan sel parenkima
(Rees et al. 2009).
Rees et al. (2009) menyatakan bahwa cendawan G. boninense bersifat
hemibiotropi. Massa miselium dalam jumlah cukup dibutuhkan untuk dapat
menyebabkan gejala penyakit. Cendawan G. boninense memerlukan energi untuk
dapat menginfeksi jaringan akar sel inang. Kontak yang baik antara miselium
dengan akar diperlukan untuk dapat berpenetrasi langsung ke dalam jaringan
epidermis akar.
Miselium dalam jaringan epidermis akar berkembang mengkolonisasi
jaringan akar secara cepat. Keadaan tersebut menunjukkan perubahan tipikal dari
nekrotropi. Tahap nekrotropi tersebut dapat terlihat pada jaringan pangkal batang
kelapa sawit berupa perubahan warna kuning kecokelat sampai hitam.
Proses penetrasi dan kolonisasi cendawan umumnya memerlukan kerja
enzim pendegradasi jaringan tanaman di antaranya adalah pektinase, selulase,
hemiselulase dan ligninase. Cendawan busuk putih memiliki kemampuan
mendegradasi komponen lignin kayu lebih dominan daripada mendegradasi
selulosa atau hemiselulosa. Namun, pada G. boninense degradasi selulosa dan
lignin dilakukan hampir bersamaan, kondisi tersebut merupakan ciri dari pelapuk
kayu yang bertipe simultan (Rees et al. 2009).

Produk Enzim Ganoderma Sp. dalam Aktivitas Infeksi


Cendawan G. boninense memiliki kemampuan menghidrolisis pati dengan
cepat pada jaringan parenkima bagian batang bawah kelapa sawit (Rees et al.
2009; Cooper et al. 2011). Hidrolisis pati pada sel parenkim umumnya
menggunakan enzim glukosidase diubah menjadi Asetil-CoA yang diperlukan
dalam metabolisme sel cendawan.
Enzim ekstraseluler lignolitik yang utama pendegradasi lignin adalah lignin
peroksidase (LiP), manganase peroksidase (MnP) dan lakase (Hatakka 2001).
Sejauh ini enzim pendegradasi lignin diketahui ekstraseluler dan non spesifik,
berperan dalam reaksi oksidatif yang berbeda pada struktur aromatik lignin dan
pemutusan ikatan antara unit dasar (Eriksson et al. 1990, Kuhad et al. 1997).
Enzim lignin peroksidase merupakan peroksidase yang mengandung
senyawa heme. Enzim LiP merupakan katalis oksidasi senyawa aromatik non
fenolik. Reaksi ynag dihasilkan berupa radikal kation yang akan mendekomposisi
komponen lignin pada kayu secara kimiawi (Conesa et al. 2002; Martinez 2002).
Pada kebanyakan golongan cendawan busuk putih enzim lignolitik yang paling
banyak adalah MnP dan lakase (Hatakka 2001).
Enzim Mn peroksidase (MnP) merupakan peroksidase yang mengandung
heme yang dihasilkan oleh cendawan pendegradasi lignin. Enzim MnP
mengoksidase senyawa fenolik menjadi radikal fenolik dengan oksidasi Mn (II)
menjadi Mn (III) dengan H2O2 sebagai pengoksidasi. Mn (III) dikelat oleh asam
organik di antaranya asam oksalat di alam. Mn (III) terkelat mengoksidasi gugus
fenolik pada lignin menyebabkan degradasi secara spontan (Hofrichter 2002). Mn
peroksidase mengoksidasi berbagai gugus senyawa dari lignin menjadi polisiklik
aromatik hidrokarbon (PAHs) (Steffen 2003).
10
Enzim lakase merupakan oksidase multikoper fenol, senyawa fenol
teroksidasi menjadi radikal fenolik. Lakase memiliki senyawa mediator di alam,
yang membuat lakase mampu mengoksidasi gugus senyawa non fenolik (Eggert et
al. 1996a). Senyawa mediator secara sintetis seperti ABTS [2,2’-azinobis (3-
etilbenztazoline-6-sulfonate) ]. Lakase pertama kali diisolasi dari tanaman tetapi
terdapat juga pada cendawan dan beberapa bakteri (Thurston 1994). Lakase pada
cendawan berperan dalam proses degradasi lignin, sporulasi produksi pigmen,
pembentukan badan buah dan patogenesitas (Thurston 1994, Mayer dan Staples
2002). Lakase merupakan enzim ekstraseluler lignolitik yang tersekresi saat awal
infeksi ke sekeliling media cendawan.
Menurut Dashtban et al. (2010) degradasi lignoselulose pada kayu
memerlukan kombinasi dari enzim lignolitik, asam organik, mediator dan enzim
pendukung lainnya. Ekstraseluler enzim liknolitik bekerja melalui produksi
radikal bebas hidroksil (.OH) yang akan mengubah struktur polimer fenol pada
lignin menjadi fraksi senyawa yang lebih sederhana. Pemecahan lignin melalui
kerja enzim lignolitik memerlukan bantuan mediator diantaranya asam oksalat,
asam glioksilat, dan veratil alkohol. Senyawa mediator yang kecil memungkinkan
untuk membawa radikal bebas masuk ke dalam dinding sel tanaman, sehingga
menyebabkan komponen senyawa penyusun dinding sel menjadi tidak stabil dan
akhirnya jaringan nekrosis.
Efektor

Interaksi patogen-tanaman melibatkan sekresi protein dan molekul –molekul


lain sehingga patogen mampu memodulasi rangkaian pertahanan tanaman dan
memungkinkan kolonisasi jaringan tanaman (Hogenhout et al. 2009). Istilah
efektor digunakkan untuk memahami fungsi molekul-molekul yang disekresikan
patogen. Hal ini diterima secara luas sebagai konsep penting untuk pemahaman
mekanisme proses kolonisasi jaringan tanaman oleh patogennya.

Gambar 2 Skema ilustrasi jaringan tanaman inang terinfeksi patogen sebagai


aksi dari efektor apoplastis dan sitoplasmik (Sumber: Kamoun 2006)
11
Menurut Kamoun (2006) molekul efektor dapat memanipulasi struktural
dan fungsional sel tanaman inangnya dalam kesuksesan infeksi dan dapat juga
menimbulkan respon pertahanan sel inang. Molekul efektor dapat berfungsi
sebagai elisitor dan toksin. Selanjutnya molekul efektor dapat bekerja di daerah
antar sel (Apoplastis) dan didalam sel (Sitoplasmik) seperti tersaji pada Gambar 2.
Difinisi efektor menunjukkan lebih umum yang mengarah pada tujuan akhir yaitu
suksesnya infeksi suatu patogen pada jaringan inangnya.
Tanaman memiliki strategi pertahanan dalam cakupan yang luas sebagai
proses pertahanan terhadap serangan patogen. Pertahanan tanaman tersebut secara
umum bersifat konstitutif dan sebagian bersifat terinduksi. Respons pertahanan
terinduksi oleh pengenalan berbagai faktor kimia yang disebut elisitor
(Vidhyasekaran 2008). Asal kata elisitor digunakan untuk mendifinisikan
kemampuan suatu molekul menginduksi produksi fitoaleksin namun saat ini
umumnya digunakan untuk senyawa yang menstimulasi berbagai tipe pertahanan
tanaman (Montesano et al. 2003).
Elisitor merupakan molekul yang sangat stabil yang menginduksi respons
imun pada tanaman, berberat molekul rendah dan disintesis atau dilepaskan dari
prekursor polimerik selama infeksi. Elisitor dapat diklasifikasikan sebagai elisitor
fisik dan kimiawi. Elisitor fisik dapat berupa radiasi sinar UV, radioaktif,
cekaman suhu dan pelukaan (Radman et al. 2003). Elisitor kimiawi menurut
asalnya dapat dibagi menjadi biogenik dan abiogenik. Elisitor abiogenik dapat
berupa senyawa logam berat seperti kadnium, perak, europium dan lantanum.
dapat juga merupakan inhibitor metabolisme seperti antibiotik, fungisida dan
asam oksalat (Ozeretskovskaya dan Vasyukova 2002; Kim et al. 2008).
Elisitor biogenik dapat dikelompokkan menjadi elisitor endogen dan elisitor
eksogen, elisitor endogen merupakan senyawa yang dilepaskan oleh tanaman dan
elisitor eksogen dapat berasal dari patogen atau kultur filtrat (Bent dan Mackey
2007). Umumnya elisitor abiogenik diberikan dalam konsentrasi cukup tinggi
sedangkan elisitor biogenik diberikan dalam konsentrasi rendah
Elisitor yang memiliki senyawa kimia kompleks dapat berupa fraksi dinding
sel cendawan, dari miselium atau sporanya. Elisitor biogenik asal patogen dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu elisitor umum dan elisitor spesifik
ras. Elisitor umum merupakan elisitor asal patogen yang memicu respons
pertahanan baik dari tanaman inang maupun bukan inang (Kruger et al. 2003;
Vidhyasekaran 2004).
Elisitor spesifik ras menginduksi respons pertahanan terhadap penyakit
hanya pada spesifik kultivar inang sehingga konsep Gene for Gene berlaku pada
kasus ini (Bonas dan Lahaye 2002; Montesano et al. 2003). Elisitor spesifik ras
dikodekan oleh gen avirulen (avr) patogen memunculkan resistensi hanya dalam
varietas tanaman inang yang membawa gen R sesuai ketahanannya (Nimchuk et
al. 2001; Nurnberger dan Scheel 2001).
12
EVALUASI ISOLAT Ganoderma boninense Pat. VIRULEN

Abstrak
Teknik seleksi in vitro menggunakan patogen Ganoderma boninense Pat.
memerlukan isolat dengan tingkat virulensi tinggi. Karakter fisiologis dapat
menjadi indikator virulensi G. boninense melalui uji media kromogenik. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan isolat G. boninense Pat. yang memiliki
tingkat virulensi tertinggi berdasarkan karakter fisiologisnya. Sepuluh isolat murni
G. boninense berasal dari beberapa area perkebunan di Sumatera yang endemik
penyakit busuk pangkal batang (BPB). Evaluasi virulensi dilakukan menggunakan
media 2 % malt ekstrak agar (MEA), media MEA dengan penambahan 5% asam
tanat (ATT) dan media MEA dengan penambahan 1mM asam 2,2’-azinobis (3-
etilbenztazoline-6-sulfonate) (ABTS). Tingkat virulensi diukur berdasarkan
beberapa peubah, meliputi: diameter koloni, diameter zona reaksi, indeks isolat
dan laju tumbuh miselium. Berdasarkan karakter fisiologisnya dilakukan
pengelompokan isolat uji menggunakan Cluster Analysis. Hasil menunjukkan
bahwa isolat G3-11-U5 memiliki skor karakter fisiologis tertinggi. Sepuluh isolat
uji terbagi dalam empat kelompok pada tingkat kemiripan fisiologis 61.77 %.
Isolat G3-11-U5 membentuk satu kelompok tersendiri sehingga isolat tersebut
dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber agen seleksi.
Kata kunci:Asam tanat, Asam 2,2’-azinobis (3-etilbenztazoline-6-sulfonate),
Media kromogenik, Seleksi isolat

Abstract

In vitro selection techniques using Ganoderma boninense Pat. isolate


required with a high level of virulence. Physiological characteristics can be an
indicator of G. boninense virulence through chromogenic media test. The purpose
of this study was to obtain the G. boninense Pat. isolates highest level of virulence
based on its physiology character. Ten pure isolates of G. boninense was
collected from several endemic Basal Stem Rot (BSR) disease plantation areas in
Sumatra. Virulence evaluation was performed using chromogenic medium,
mycelium of each isolate was inoculated into the malt extract agar (MEA)
medium, with the addition of 5% tannic acid (ATT) and with the addition of 1 mM
2,2 '-azinobis (3-etilbenztazoline-6-sulfonate) (ABTS) acid. Virulence level was
measured by the qualitative variables; include colony diameter, reaction zone
diameter, isolates index, and mycelia growth rate. Based on physiological
characteristics of isolates, grouping test conducted using Cluster Analysis. The
results showed that G3-11-U5 isolate has the highest level of virulence. Tenth
isolates were divided into four groups of physiological character that has 61.77%
similarity. The G3-11-U5 was formed as one independence group, so that isolate
can be use as the only source as selection agent.
Keywords: 2,2’-azinobis (3-etilbenztazoline-6-sulfonate) acid, Chromogenic
media, Isolat selection, Tanic acid
13
Pendahuluan

Patogen Ganoderma boninense Pat. penyebab penyakit busuk pangkal


batang (BPB) pada kelapa sawit menunjukkan virulensi yang berbeda-beda.
Famili Ganodermacea sedikitnya memiliki 250 spesies berdasarkan karakter
makro dan mikro morfologinya (Ryvarden 1991). Beberapa spesies Ganoderma
sp diketahui berhubungan dengan penyakit busuk pangkal batang pada kelapa
sawit diantaranya : G. boninense, G. zonatum, G. miniatocinctum dan G.
tornatum. Ganoderma boninense diketahui paling patogenik sedangkan G.
tornatum dianggap tidak patogenik dan bersifat saprofit (Miller 1995; Idris 1999).
Pilotti (2005) menyatakan bahwa G. zonatum dan G. miniatocinctum kurang
patogenik terhadap kelapa sawit.
Senyawa agen seleksi umumnya berupa senyawa toksin yang tersekresi
selama proses infeksi terjadi. Senyawa tersebut dapat berupa peptida toksin,
enzim atau senyawa metabolit sekunder lainnya. Keragaman karakter fisiologis
secara tidak langsung menunjukkan kemungkinan adanya keragaman genetik
suatu patogen. Gafur (2003) menyatakan bahwa keragaman karakter fisiologi
intraspesies mempengaruhi virulensi cendawan. Hasil penelitian Herliyana (2007)
menunjukkan bahwa media kromogenik dapat membedakan karakter fisiologis
beberapa isolat Pleurotus yang berhubungan dengan kemampuan mendegradasi
kayu.
Jo et al. (2011) menggunakan media kromogenik sebagai indikator enzim-
enzim yang terkait dengan faktor virulensi G. neojavanicum. Media kromogenik
sering digunakan untuk mendeteksi isolat patogenik secara cepat, murah dan
mudah. Pemilihan suatu isolat virulen cendawan busuk putih diduga dapat melalui
pendekatan perbedaan karakter fisiologis dengan menggunakan media
kromogenik. Pemilihan isolat dengan virulensi tinggi, dilakukan sebagai langkah
awal untuk mendapatkan kondisi cekaman yang optimum pada pengembangan
teknik seleksi in vitro yang diarahkan untuk ketahanan terhadap faktor biotik.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan isolat Ganoderma boninense


Pat. yang memiliki tingkat virulensi tertinggi berdasarkan karakter fisiologisnya.

Bahan dan Metode

Isolat Patogen Ganoderma boninense Pat.


Sepuluh isolat yang digunakan dalam uji fisiologi merupakan koleksi
Laboratorium Microbiome Technology PT SMART Bogor. Sepuluh isolat G.
boninense dikoleksi dari perkebunan kelapa sawit di Sumatera yang endemik
penyakit BPB (Tabel 1). Sepuluh nomor isolat koleksi tersebut adalah : BL3-1-
M22-5, BP13-8-M23-1, BL3-1-M22-4, BP4-7-M23-5, BS12-8-M21-5, BP13-2-
M21-1, BL4-3-M21-1, BP13-4-M12-2, BP12-2-M11-5 dan G3-11-U5 (Tabel 1).
Semua isolat teridentifikasi sebagai Ganoderma boninense Pat. terkonfirmasi
dengan teknik internal transcribed spacer (ITS) (Utomo dan Niepold 2000, data
tidak dipublikasi).
14
Media Peremajaan Isolat Ganoderma boninense Pat.
Isolat cendawan G. boninense ditumbuhkan terlebih dahulu pada media
simpan Ganoderma. Media simpan G. boninense berupa serbuk kayu dengan
penambahan glukosa 10%, ekstrak malt 10%, ekstrak yeast 1% (w/w) dan
penambahan air 20% (w/v). Media serbuk dibuat sebanyak 100 g dengan
mencampurkan semua bahan pada alat pencampur (blender) dengan penambahan
20 mL air destilata selama 5 menit dan diulang sebanyak tiga kali. Serbuk kayu
berasal dari kayu mahoni yang diperoleh dari tempat penggergajian kayu, tanpa
diketahui tempat asal kayu. Hasil campuran media serbuk ditimbang 15 g pada
gelas kultur berdiameter 6.5 cm tinggi 13 cm (jam bottle).
Media serbuk pada gelas kultur disterilisasi dengan autoklaf suhu 121 ºC
pada tekanan 15 psi selama 20 menit. Setelah sterilisasi, media serbuk dapat
diinokulasi dengan inokulum G. boninense sebanyak satu pelubang gabus 5 mm
setiap 5 g media serbuk. Media serbuk kayu dapat digunakan sebagai inokulum
primer selama ± 3 bulan.

Tabel 1 Isolat uji virulensi Ganoderma boninense berdasarkan daerah dan jenis
tanah

No Nama isolat Kode Asal kebun Jenis tanah

1 BL3-1-M22-5 A Riau gambut


2 BP13-8-M23-1 B Riau gambut
3 BL3-1-M22-4 C Riau gambut
4 BP4-7-M23-5 D Riau gambut
5 BS12-8-M21-5 E Riau gambut
6 BP13-2-M21-1 F Riau gambut
7 BL4-3-M21-1 G Riau gambut
8 BP13-4-M12-2 H Riau gambut
9 BP12-2-M11-5 I Riau gambut
10 G3-11-U5 J Sumatera Utara mineral

Evaluasi Laju Tumbuh pada Media Malt Extract Agar (MEA)


Percobaan dilakukan dari Mei 2012 sampai Juli 2012 di Laboratorium
Microbiome Technology PT SMART. tbk Bogor. Rancangan percobaan
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor, yaitu jenis isolat,
terdiri dari sepuluh isolat diulang sebanyak tiga kali.
Pembuatan media MEA 2% dilakukan dengan mencampur 2% (w/v) malt
ekstrak, 3% (w/v) agar komersial dan 1 L air destilata dengan pH disesuaikan
menjadi 5.5. Larutan dipanaskan hingga merata dalam microwave dalam mode
high selama 8 menit. Larutan kemudian diautoklaf pada tekanan 15 psi dan suhu
121 ºC selama 15 menit. Setelah agak dingin sebanyak 20 mL dituang dalam
cawan Petri steril berdiameter 90 mm. Inokulasi isolat G. boninense dilakukan
dengan menumbuhkan satu pelubang gabus diameter 0.5 mm, potongan koloni
miselium masing-masing isolat G. boninense kemudian disimpan dalam inkubator
pada suhu 30 ºC. Pengamatan dilakukan pada laju tumbuh miselium (LTM)
=(DM6hari-DM3hari)/3.
15
Evaluasi Produksi Polifenoloksidase pada Media Tanik (ATT)
Evaluasi pada media kromogenik dilakukan menurut teknik uji Bavendam
bereaksi positif dengan mengunakan asam tanat (Nobels 1948). Rancangan
percobaan menggunakan RAL satu faktor, jenis isolat terdiri dari 10 isolat yang
diulang sebanyak lima kali.
Pembuatan media AAT dilakukan dengan melarutkan ekstrak malt 2%
(w/v), agar komersial 3% (w/v), asam tanat 0.5% (w/v) dalam 1 L akua destilata
dengan pH disesuaikan menjadi 5.5. Larutan dicampur merata dalam microwave
dengan kondisi mode high selama 8 menit. Sterilisasi dilakukan dengan diautoklaf
pada tekanan 15 psi suhu 121 ºC selama 15 menit. Larutan dituang dalam cawan
Petri steril (diameter 90 mm) sekitar 20 mL. Inokulasi isolat Ganoderma
dilakukan dengan menumbuhkan satu cork bore (diameter 0.5 mm) potongan
koloni miselium dari masing-masing isolat Ganoderma dibagian tengah cawan
Petri dan disimpan pada suhu 30 ºC pada inkubator.
Pengamatan dilakukan pada 3 dan 6 hari setelah inokulasi (Gambar 3)
terhadap laju tumbuh miselium (LTM), diameter zona reaksi (DZ), diameter
miselium (DM), indeks isolat (IL)= (DZ6 hari/DM6hari) dan intensitas warna(IW)
dengan empat skor yaitu, : + skor 1 : sangat lemah, ++ skor 2 : lemah, +++ skor 3
: kuat dan ++++ skor 4: sangat kuat (Lampiran 4).

Evaluasi Produksi Enzim Lakase pada Media 2,2-azino-bis(3-


ethylbenzothiazoline-6-sulfonic) (ABTS)
Uji media kromogenik untuk deteksi enzim lakase yang dilakukan menurut
(Pointing 1999). Percobaan dikerjakan dengan RAL satu faktor, jenis isolat yang
terdiri dari 10 isolat G. boninense diinokulasikan pada media ABTS. Setiap
perlakuan diulang sebanyak lima kali.
Komposisi media uji ABTS terdiri dari ekstrak malt 2% (w/v), agar
komersial 3% (w/v), dan 1 mM asam 2,2-azino-bis (3-ethylbenzothiazoline-6-
sulfonic) yang dicampurkan dalam aqua destilata 1 L. Cara pelarutan dan
sterilisasi dikerjakan dengan cara yang sama pada pembuatan media ATT.
Inokulasi isolat G. boninense dilakukan dengan menumbuhkan satu cork bore
(diameter 0.5 mm) potongan koloni miselium dari masing-masing isolat G.
boninense dan disimpan pada suhu 30 ºC pada inkubator.
Pengamatan dilakukan pada 3 dan 6 hari setelah inokulasi terhadap laju
tumbuh miselium (LTM), diameter zona reaksi (DZ), diameter miselium (DM),
indeks isolat (IL)= (DZ6 hari/DM6hari) dan intensitas warna(IW) dengan empat skor
yaitu, : + skor 1 : sangat lemah, ++ skor 2 : lemah, +++ skor 3 : kuat dan ++++
skor 4: sangat kuat (Lampiran 8).

Gambar 3 Media kromogenik pada uji fisiologis isolat. A: media ATT, B:


media ABTS. : diameter miselium, : diameter zona
reaksi
16
Analisis Data

Analisis statistika digunakan untuk menduga isolat yang paling virulen


dengan analisis ragam (Anova), apabila hasil analisis nyata dilanjutkan dengan uji
Duncan. Pemilihan isolat virulen G. boninense dilakukan dengan seleksi
berdasarkan pemenuhan kriteria uji. Isolat yang memiliki skor uji Duncan berkode
“a” dan “ab” serta intensitas warna sangat kuat dan kuat yang terbanyak dipilih
sebagai isolat paling virulen. Semua hasil dianalisis dengan program SAS.
Analisis kelompok dilakukan untuk melihat tingkat kemiripan menurut metode
Ward linkage, Euclidean distance menggunakan program Minitab 16. Alur kerja
percobaan deteksi virulensi isolat G. boninense disajikan pada Gambar 4.

Koleksi sepuluh isolat G. boninense Pat.

Evaluasi LTM pada Evaluasi Produksi Polifenoloksidase Evaluasi Produksi Lakase


media MEA pada media ATT pada Media ABTS

Karakter fisiologis isolat


(LTM, DZ, DM, IL, IW)

Uji selang berganda


Duncan α : 5 %

Pemenuhan Kriteria Uji :


 Terbaik, yaitu: skor “a: atau “ab” pada uji Duncan,
dan skor intensitas warna kuat dan sangat kuat
 Terbanyak, dari total 11 karakter uji

Isolat G. boninense Pat.


paling virulen

Gambar 4 Alur kerja percobaan deteksi isolat virulen G. boninense


17
Hasil dan Pembahasan

Evaluasi Produksi Polifenoloksidase pada Media Tanik (ATT)


Hasil penelitian menunjukkan sembilan isolat dari sepuluh isolat yang diuji
mempunyai reaksi positif pada media AAT. Reaksi oksidasi positif isolat pada
media ATT ditandai dengan warna cokelat gelap di sekitar koloni (Gambar 5).
Isolat B, C, F, G, I dan J menunjukkan warna cokelat yang sangat gelap. Isolat A
menunjukkan warna cokelat tua kehitaman dan isolat D dan E menunjukkan
warna cokelat tidak terlalu gelap. Isolat H, tidak menunjukkan reaksi warna.
Warna cokelat akan terlihat dengan bertambahnya waktu dan setiap isolat
memiliki kepekatan warna yang berbeda-beda.
Diameter zona reaksi pada media tanik tertinggi diperoleh dari isolat J
(Tabel 2). Diameter koloni isolat B dan F menunjukkan tidak berbeda dengan
isolat G dan J. Peubah indeks isolat pada media ATT tertinggi diperoleh dari
isolat J dibandingkan dengan isolat lainnya. Hal tersebut menunjukkan setiap
isolat memiliki karakter tertentu yang berbeda-beda. Perbedaan masing-masing
karakter tersebut dapat berkaitan dengan interaksi lingkungan tumbuh dan
genotipenya.
Warna cokelat yang terbentuk pada media ATT merupakan ciri golongan
cendawan pelapuk putih. Media kromogenik pertama kali digunakan oleh
Bavendamm pada tahun 1928 untuk karakterisasi fisiologi cendawan pelapuk
putih. Ariwibowo (1996) menggunakan teknik yang sama untuk mendeteksi
beberapa isolat Ganoderma sp. yang memiliki kemampuan lignolitik terbaik.
Penggunaan media kromogenik saat lebih luas untuk mendeteksi dan seleksi
mikroba tertentu (Tavocoli et al. 2008; Woo-Sik et al. 2011).

Gambar 5 Reaksi oksidasi sepuluh isolat G. boninense menggunakan media


ATT. (A) BL3-1-M22-5, (B) BP13-8-M23-1, (C) BL3-1-M22-4, (D)
BP4-7-M23-5, (E) BS12-8-M21-5, (F) BP13-2-M21-1, (G) BL4-3-
M21-1, (H) BP13-4-M12-2, (I) BP12-2-M11-5 dan (J) G3-11-U5. (z)
zona reaksi

Intensitas warna berbeda antar isolat diduga berhubungan dengan akumulasi


jumlah senyawa produk hasil reaksi oksidasi secara enzimatis oleh isolat G.
boninense yang diuji. Semakin pekat warna pada media ATT menunjukkan
semakin tinggi konsentrasi senyawa produk hasil oksidasi yang terbentuk.
Saparrat et al. (2000) melaporkan bahwa isolat cendawan busuk putih diantaranya
dari Ganoderma sp. menghasilkan enzim ekstraseluler, yaitu polifenoloksidase.
18
Tabel 2 Pengaruh jenis isolat terhadap diameter zona reaksi, diameter miselium,
indeks isolat serta intensitas kepekatan warna pada media ATT
Kode isolat Zona reaksi Koloni Indeks ATTa Intensitas warna
Diameter (mm)a
A 10.60bcd 5.00b 10.20bc +++
B 21.80b 10.60a 18.36bcd ++++
C 9.20bcd 5.00b 18.40bcd ++++
D 6.20cd 5.00b 12.40bcd ++
E 4.00cd 5.00b 8.00cd ++
F 18.00cb 9.40a 14.59bcd ++++
G 18.00cb 7.60ab 22.62bc ++
H 0.00d 5.00b 0.00d +
I 15.00cb 5.00b 30.00b ++++
J 35.75a 7.20ab 51.25a ++++
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5 % (uji selang berganda Duncan)

Diameter zona reaksi pada media ATT menunjukkan area reaksi oksidasi
berlangsung. Rees et al. (2009) menyatakan bahwa zona reaksi juga ditemukan
pada infeksi G. boninense pada jaringan tanaman kelapa sawit yang ditandai
dengan area warna cokelat pada jaringan yang sakit. Zona reaksi oksidasi
menyebar di sekitar koloni miselium, sehingga luas area zona reaksi pada jaringan
terinfeksi menunjukkan keparahan penyakit. Area zona reaksi pada jaringan
terinfeksi secara tidak langsung menunjukkan juga jaringan sel tanaman kelapa
sawit yang mengalami nekrosis. Isolat yang memiliki zona reaksi yang besar
dapat dikatakan lebih virulen daripada isolat dengan zona yang lebih kecil.
Kemampuan tumbuh isolat uji di media ATT dengan kandungan asam tanat
menunjukkan secara tidak langsung sistem pertahanan isolat uji di lingkungan sub
optimum. Seleksi isolat pada media ATT memberikan kondisi sub optimum untuk
pertumbuhan isolat yang diuji, sehingga pertumbuhan koloni akan terhambat.
Semua isolat yang diuji memperlihatkan pertumbuhan miseliumnya terhambat.
Asam tanat memiliki sifat racun terhadap hampir semua mikroorganisme,
hanya sedikit mikroorganisme yang mampu menetralisir efek racunnya (Field dan
Lettinga 1992). Asam tanat merupakan polifenol yang larut dalam air, bersifat anti
mikrooganisme, menggumpalkan protein dan salah satu zat ekstraktif pada sel-sel
kayu. Zat ekstraktif pada tanaman berkayu berfungsi sebagai zat pengawet alami
yang melindungi tanaman dari mikroorganisme parasit (fitoantisipan). Ibrahim-
Mohamad et al. (2005) melaporkan bahwa tanaman kelapa sawit mengandung
4.5% asam tanat.
Sifat racun asam tanat terletak pada gugus OH (pirogalol) dan galoil selain
itu juga mempunyai sifat penghambatan racun (Staples dan Toenniessen 1981).
Senyawa polifenol seperti asam tanat tersusun dari komponen gula dan asam galat
yang akan terurai menjadi katekin dengan gugus dihidroksifenol. Selanjutnya
membentuk kuinon yang berwarna coklat gelap saat teroksidasi (Kameda 2003).
Sifat racun asam galat dapat menurun melalui oksidasi dengan enzim
pengoksidasi oleh cendawan menjadi kuinon (Ikehata dan Nicell 2000).
Persenyawaan komplek asam tanat akan diurai satu persatu menjadi persenyawaan
19
yang lebih sederhana dengan beberapa proses hidrolisis oleh enzim tanase (Beena
2010). Keberadaan enzim tanase pada isolat dapat mempercepat oksidasi
polifenol.
Hasil percobaan menunjukkan isolat J memiliki indeks tanik yang paling
tinggi. Indeks tanik merupakan rasio diameter zona reaksi oksidase dengan
diameter koloni pada media ATT. Suatu isolat yang memiliki nilai rasio tinggi,
dapat dikatakan dengan sedikit biomass, isolat tersebut mampu menghasilkan
enzim dengan aktivitas tinggi. Arthiningsih (2006) menyatakan bahwa suatu jenis
cendawan yang memiliki aktivitas enzim tinggi apabila cendawan tersebut
memiliki diameter koloni yang relatif kecil, tetapi menghasilkan diameter zona
reaksi yang relatif luas. Indeks tanik selain menggambarkan aktivitas enzim
kualitatif, juga menggambarkan kapasitas suatu isolat memproduksi enzim
ekstraseluler oksidase.

Evaluasi Produksi Enzim Lakase pada Media 2,2-azino-bis(3-


ethylbenzothiazoline-6-sulfonic) (ABTS)
Semua isolat G. boninense pada media ABTS menunjukkan bereaksi
positif yang terlihat pada zona warna disekitar miselium. Kepekatan warna pada
masing-masing isolat menunjukkan perbedaan, dengan rentang warna cokelat
kemerahan sampai hijau kebiruan (Gambar 6). Isolat C, E, G, H dan J
menghasilkan intensitas warna hijau biru. Isolat A, B, D, F dan I memberikan
warna cokelat kemerahan. Peningkatan kepekatan warna dapat menunjukkan
perbedaan karakter masing-masing isolat.
Isolat C menunjukkan diameter zona reaksi tertinggi, tetapi tidak berbeda
nyata dengan isolat F, H, I, dan J (Tabel 3). Diameter zona reaksi pada semua
isolat uji di media ABTS dan media ATT menunjukkan perbedaan. Diameter zona
reaksi ABTS lebih besar daripada zona reaksi pada media ATT, hal tersebut
menandakan media ABTS kurang beracun dibandingkan media ATT. isolat C, F
dan J memiliki diameter tertinggi dibandingkan isolat lainnya. Isolat A dan D
memiliki nilai indeks tertingg pada media ABTS.

Gambar 6 Hasil reaksi oksidasi sepuluh isolat G. bonineses pada media ABTS.
(A) BL3-1-M22-5, (B) BP13-8-M23-1, (C) BL3-1-M22-4, (D) BP4-
7-M23-5, (E) BS12-8-M21-5, (F) BP13-2-M21-1, (G) BL4-3-M21-1,
(H) BP13-4-M12-2, (I) BP12-2-M11-5, (J) G3-11-U5. (z) zona reaksi
20
Tabel 3 Pengaruh jenis isolat terhadap diameter zona, diameter koloni, indeks
isolat serta intensitas kepekatan warna pada media uji
Kode Isolat Zona reaksi Koloni Indeks ABTSa Intensitas warna
Diameter (mm)a
A 36.80cd 5.00d 73.60a +++
B 41.80bcd 24.00b 18.47bc +++
C 54.00a 47.20a 11.44c ++++
D 34.00d 6.40d 58.66a +++
E 21.40e 23.60b 8.79c ++++
F 48.80ab 41.40a 11.77c +++
G 36.60cd 27.60bc 14.17bc ++++
H 45.80abc 38.40ab 11.94c ++++
I 47.00abc 26.20b 32.27b +++
J 52.00ab 40.70a 13.44bc ++++
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5 % (uji selang berganda Duncan)

Intensitas warna yang terbentuk disekitar isolat pada media ABTS


merupakan salah satu karakteristik isolat cendawan pelapuk putih. Sapparat et al.
(2000) menggunakan media ABTS untuk mengelompokkan isolat berdasarkan
intensitas warna ke dalam empat kelompok, yaitu tanpa adanya oksidasi, oksidasi
lemah, oksidasi sedang, dan oksidasi kuat terhadap ABTS.
Menurut Rajendran et al. (2008) terdapat korelasi antara virulensi suatu
isolat Ganoderma spp. terhadap tingkat oksidasi ABTS. Desai dan Nityanand
(2011) melaporkan bahwa warna hijau biru yang terbentuk pada media ABTS
menunjukkan aktivitas enzim polifenoloksidase yang spesifik, yaitu enzim lakase.
Kepekatan warna hijau biru yang terbentuk menunjukkan senyawa radikal bebas
yang terbentuk sebagai hasil oksidasi oleh enzim lakase dan berkorelasi dengan
aktivitasnya.
Senyawa ABTS mampu menjadi mediator reaksi oksidasi terhadap
substrat target yang dapat berupa senyawa fenolik atau non fenolik. Senyawa
ABTS dioksidasi oleh enzim lakase melalui mekanisme transfer elektron,
menghasilkan radikal ABTS. Radikal ABTS selanjutnya mampu melakukan
induksi reaksi redoks terhadap senyawa fenol maupun non fenol lain sehingga
mengalami perubahan warna (Baldrian 2005).
Adanya senyawa perantara atau mediator ini, enzim lakase dapat
berpengaruh terhadap lebih banyak jenis senyawa bercincin karbon daripada jenis
enzim oksidator lainnya seperti peroksidase. Johannes dan Majcherczyk (2000)
menyatakan bahwa senyawa fenol, anilin, asam 4-hidrosibensoik dan 4-
hidroksibensil alkohol merupakan contoh mediator alami enzim lakase yang
terdapat pada tanaman.

Evaluasi Laju Tumbuh pada Media Malt Extract Agar (MEA)


Pengamatan morfologis pada media MEA menunjukkan pertumbuhan
normal. Pengamatan morfologi koloni miselium pada semua isolat menunjukkan
adanya beberapa ciri makroskopis seperti warna, tekstur koloni, tepi koloni, dan
ada tidaknya lingkaran konsentris. Seluruh isolat berwarna putih, isolat B, C, E,
G, dan J memiliki tekstur permukan koloni yang rata sebaliknya isolat A, D, F, H
21
dan I bertekstur bergelombang (Gambar 7). Tepi koloni terlihat kasar pada isolat
D, F, G, dan I sedangkan isolat A, B, C, E, H, dan J bertipe halus. Lingkaran
konsentris terlihat pada isolat D, F, G, dan I, namun tidak terlihat pada isolat A,
C, B, E, H dan J. Isolat dengan tepi koloni kasar cenderung menunjukkan
pertumbuhan miselium yang lambat. Seperti halnya isolat yang memiliki
lingkaran konsentris menunjukkan pertumbuhan miselium lebih lambat daripada
tanpa adanya lingkaran konsentris.
Isolat A, C dan J memiliki laju tumbuh miselium tertinggi pada media MEA
dibandingkan dengan isolat lainnya. Berikutnya, isolat B dan F menunjukkan laju
tumbuh miselium tertinggi pada media ATT dan isolat G dan J memiliki laju
tumbuh tertinggi pada media ABTS (Tabel 4). Secara umum laju tumbuh
miselium semua isolat pada media ABTS tidak menghasilkan perbedaan
pertumbuhan miselium dibandingkan dengan media MEA sebagai kontrol
(p=0.12). Akan tetapi laju tumbuh miselium pada media ATT berbeda (p=0.00)
apabila dibandingkan dengan media MEA dan media ABTS (p=0.00).
Laju tumbuh miselium isolat G. boninense pada media ATT lebih rendah
daripada media MEA maupun ABTS, menunjukkan bahwa media ATT bersifat
racun terhadap isolat. Sifat racun diduga berasal dari gugus karboksil asam tanat.
Ariwibowo (1996) menemukan bahwa terjadi penghambatan pertumbuhan isolat
Ganoderma spp. pada media ATT. Herliyana (2007) melaporkan juga terjadi
penghambatan pertumbuhan cendawan Ploterus spp. di media ATT.

Gambar 7 Diameter morfologi koloni G. boninense pada media MEA pada enam
HSI. (A) BL3-1-M22-5, (B) BP13-8-M23-1, (C) BL3-1-M22-4, (D)
BP4-7-M23-5, (E) BS12-8-M21-5, (F) BP13-2-M21-1, (G) BL4-3-
M21-1, (H) BP13-4-M12-2, (I) BP12-2-M11-5, (J) G3-11-U5

Media ATT mensimulasikan kondisi cekaman pada miselium G. boninense


saat menembus pertahanan biokimia tanaman kelapa sawit. Suatu isolat dikatakan
memiliki sistem detoksifikasi terbaik apabila menunjukkan laju tumbuh miselium
tertinggi. Agar dapat tetap tumbuh suatu isolat harus mampu mengatasi sifat racun
asam tanat. Salah satu upaya patogen tersebut dengan detoksifikasi enzimatis,
yaitu dengan mensekresikan polifenol oksidase disekitar koloni, sehingga efek
negatif dari asam tanat tanaman dapat berkurang.
22
Tabel 4 Pengaruh jenis isolat terhadap laju tumbuh miselium pada media uji
MEA, ATT dan ABTS
Media
Kode Isolat
MEA ATT ABTS
a
Laju (mm/hari)
A 11.44a 0.00b 0.00f
B 8.44b 0.73a 4.47e
C 13.00a 0.00b 9.67ab
D 3.33d 0.00b 0.47f
E 8.00b 0.00b 5.07cde
F 7.22bc 0.93a 7.93bcd
G 5.22cd 0.47ab 4.73de
H 8.22b 0.00b 8.27bc
I 7.00bc 0.00b 4.87de
J 11.44a 0.42ab 12.42a
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5 % (uji selang berganda Duncan)

Struktur molekul asam tanat yang kompleks terdiri dari gugus gula dan
fenol perlu diuraikan terlebih dahulu sebelum sifat racun pada gugus fenol dapat
dinetralisir oleh G. boninense. Cendawan memerlukan sistem detoksifikasi yang
kompleks, dan dapat melibatkan lebih dari satu jenis sistem detoksifikasi. Apabila
suatu isolat tidak memiliki sistem detoksifikasi enzimatis atau non enzimatis
secara lengkap maka kemampuan tumbuhnya pada jaringan tanaman akan lebih
rendah dibandingkan dengan isolat yang memiliki sistem detoksifikasi lengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat B, F, G dan J memiliki laju
tumbuh miselium lebih tinggi dibandingkan dengan isolat lainnya pada media
ATT. Hal itu mengindikasikan isolat tersebut memiliki sistem detoksifikasi yang
lebih baik daripada isolat lainnya. Enzim ekstraseluler oksidase yang dihasilkan
isolat G. boninense merupakan salah satu sistem detoksifikasi dan berperan juga
dalam patogenesitasnya. Laju tumbuh miselium pada suatu substrat dapat
dijadikan salah satu indikator keganasan suatu isolat cendawan patogen.

Pendugaan Tingkat Virulensi Isolat Uji Berdasarkan Karakter Fisiologis


Hasil uji media kromogenik pada media ATT dan ABTS memiliki lima
peubah sebagai kriteria pengujian ditambah satu kreteria pada media MEA. Secara
keseluruhan terdapat sebelas kriteria pengujian. Suatu isolat diduga memiliki
tingkat virulensi tinggi jika memiliki ranking tertinggi yang dinotasikan oleh
huruf “a” atau “ab” uji Duncan (α=5%). Pada ranking “a” atau “ab” menganggap
isolat tersebut terbaik dari isolat koleksi yang ada. Semakin banyak isolat uji dan
berasal dari berbagai daerah endemik penuakit BPB, akan semakin baik dalam
penentuan isolat virulen.
Berikutnya, isolat dengan intensitas warna yang memenuhi kreteria skor
kuat dan sangat kuat diduga memiliki tingkat virulensi tinggi. Apabila suatu isolat
memenuhi kriteria pengujian terbanyak dari sebelas kriteria pengujian maka isolat
tersebut diduga lebih virulen dibandingkan dengan isolat uji lainnya.
23
Tabel 5 Hasil pengujian karakter fisiologis dalam pendugaan tingkat virulensi
sepuluh isolat G. boninense
Media
Kode MEA Media ATT Media ABTS Kriteria
Isolat (%)a
LTM DZ DM IL IW LTM DZ DM IL IW LTM
A √ √ √ 27.27
B √ √ √ √ √ 45.45
C √ √ √ √ √ √ 54.55
D √ √ 18.18
E √ √ 18.18
F √ √ √ √ √ 45.45
G √ √ √ 27.27
H √ √ √ 27.27
I √ √ √ 27.27
J √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 90.91
a
Nilai yang memenuhi peringkat “a” atau “ab” uji Duncan dan atau mempunyai skor intensitas
warna sangat kuat atau kuat

Hasil yang diperoleh menunjukkan isolat J memenuhi 91% kriteria


pengujian (Tabel 5). Kandidat isolat virulen yang kedua adalah isolat C yang
memenuhi lebih dari 50% kriteria pengujian. Menurut Barna et al. (2012)
interaksi antara kekuatan sistem pertahanan dan serangan oleh tanaman atau
patogen menentukan terjadinya suatu penyakit. Isolat J memberikan hasil yang
tertinggi pada sistem pertahanan dan serangan sehingga isolat tersebut sebagai
sumber agen seleksi pada percobaan selanjutnya.

Analisis Kelompok Isolat G. boninense Berdasarkan Karakter Fisiologis


Berdasarkan sebelas karakter fisiologis menggunakan analisis kelompok
maka sepuluh isolat uji dapat dibagi menjadi empat kelompok, dengan tingkat
kemiripan antar kelompok 61.77% (Gambar 8). Isolat G. boninense A dan D
sangat dekat sebagai kelompok pertama dengan kemiripan 75.90%. Kelompok
kedua beranggotakan isolat B, G, F, C, dan I dengan kemiripan 61.77%.
Kelompok ketiga terdiri dari isolat E dan H yang memiliki kemiripan 65.79%
antara anggotanya. Kelompok keempat terdiri dari satu anggota, yaitu isolat J.
Hasil dendogram menunjukkan bahwa kelompok pertama tidak memiliki
kemiripan fisiologi dengan kelompok kedua, ketiga, dan keempat. Kelompok
keempat memiliki kemiripan fisiologi sebesar 19.65% dengan kelompok kedua
dan ketiga. Berikutnya, kelompok ketiga memiliki kemiripan fisiologis sebesar
35.30% dengan kelompok isolat kedua.
Empat kelompok yang terbentuk menunjukkan ras fisiologis yang berbeda
dengan batas yang membedakan antar ras sekitar 61.77%. Terbentuknya
kelompok ras fisiologis yang berbeda dalam satu lokasi kebun sangat
dimungkinkan oleh karena adanya out crossing pada sistem reproduksi G.
boninense (Pilotti et al. 2003). Hasil penelitian Miller et al. (1999)
mengindikasikan beberapa isolat G. boninense dalam satu kawasan kebun
memiliki ketidaksesuaian somatik.
24

Gambar 8 Dendrogram berdasarkan karakter fisiologis sepuluh isolat kelompok


G. boninense. (A) BL3-1-M22-5, (B) BP13-8-M23-1, (C) BL3-1-
M22-4, (D) BP4-7-M23-5, (E) BS12-8-M21-5, (F) BP13-2-M21-1,
(G) BL4-3-M21-1, (H) BP13-4-M12-2, (I) BP12-2-M11-5, (J) G3-11-
U5

Pilotti et al. (2005) menemukan bahwa dalam satu tanaman kelapa sawit
dapat terinfeksi oleh beberapa jenis isolat G. boninense yang berbeda. Hal ini
sesuai dengan hipotesis pertama bahwa karakter fisiologis yang berbeda dapat
menunjukkan tingkat virulensi yang berbeda. Berdasarkan pemenuhan kreteria uji
pada Tabel 4. dan hasil analisis kelompok maka kelompok kedua yaitu isolat C, F,
dan B dapat menjadi alternatif untuk digunakan bersama isolat J. Penggunaan
isolat virulen yang berbeda-beda untuk mendapatkan agen seleksi dapat
memperkaya ketahanan tanaman sehingga diharapkan tidak mengalami kerapuhan
genetik.

Simpulan

Berdasarkan sebelas karakter fisiologis yang mencakup laju tumbuh


miselium di media MEA, diameter zona reaksi, diameter miselium, indeks isolat,
intensitas warna, laju tumbuh miselium di media ATT dan ABTS, maka isolat G3-
11-U5 memiliki virulesi tertinggi diantara 10 isolat Ganoderma boninense Pat.
yang diuji. Sepuluh isolat uji terbagi dalam empat kelompok pada tingkat
kemiripan fisiologis 61.77 %, isolat G3-11-U5 membentuk satu kelompok
tersendiri sehingga isolat tersebut dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber
agen seleksi.
25
OPTIMASI TEKNIK SELEKSI IN VITRO KETAHANAN
KALUS EMBRIOGENIK KELAPA SAWIT TERHADAP
Ganoderma boninense Pat.

Abstrak

Teknik seleksi in vitro memiliki potensi digunakan untuk menyeleksi


keragaman genetik dari variasi somaklonal, namun untuk aplikasinya diperlukan
tahap optimasi dan evaluasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan
kondisi optimal teknik seleksi ketahanan kultur kalus kelapa sawit terhadap G.
boninense Pat. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan beberapa seri
percobaan, yaitu penetapan (i) modifikasi kultur patogen yang optimal, (ii) waktu
panen filtrat yang optimal, (iii) konsentrasi letal dan subletal optimal filtrat G.
boninense (iv) jumlah siklus seleksi yang diperlukan, dan (v) peubah ketahanan
terhadap G. boninense. Bahan tanaman ialah kalus embriogenik remah kelapa
sawit Tenera, isolat patogen untuk produksi agen seleksi ialah G3-11-U5. Hasil
menunjukkan bahwa modifikasi kultur patogen terbaik adalah kultur filtrat dengan
cara sterilisasi dengan filtrasi membran. Waktu panen filtrat optimal pada 15 hari
setelah inokulasi. Konsentrasi letal filtrat terhadap kalus embriogenik sekitar 40%
(v/v) dan konsentrasi subletal optimal pada 32% (v/v). Jumlah siklus seleksi
minimal yang dibutuhkan adalah empat siklus. Peubah ketahanan kalus terseleksi
adalah aktivitas enzim peroksidase dan enzim fenilalanina amonia liase.
Kata kunci: Busuk pangkal batang, Kultur filtrat, Peroksidase, Fenilalanina amonia
liase, Seleksi in vitro.

Abstract

In vitro selection techniques has potential to be used for select the genetic
diversity from somaclonal variation, but its need optimization and evaluation to
be applicated. The purpose of this study was to obtain the optimal resistance
selection technique of oil palm callus culture to G. boninense Pat. It was done by
several trial series, include the determination of: (i) optimum modification
pathogen culture, (ii) optimum time harvest of filtrate, (iii) lethal and sublethal
concentrations of G. boninense filtrate, (iv) cycles number was required for
selection, and (v) resistance variables to G. boninense. The results showed that
the best modification pathogen culture was culture filtrate sterilization by using
membrane filtration. The optimum time harvest of filtrate was at 15 days after
inoculation. The filtrate lethal concentration to embryogenic callus was 40%
(v/v), and the optimal sublethal concentration was 32% (v/v). The minimum
number of selection cycles was four cycles. The variables resistance of selected
callus was the activity of peroxidase and phenylalanine ammonia lyase enzyme.
Key words: Basal stem rot, Filtrate culture, In vitro selection, Peroxidase,
Phenylalanine ammonia lyase.
26
Pendahuluan

Keragaman genetik kelapa sawit untuk ketahanan terhadap penyakit Busuk


Pangkal Batang (BPB) masih sangat sempit. Akan tetapi, upaya mendapatkan
kandidat genotipe kelapa sawit tahan terhadap penyakit BPB perlu terus
dilakukan. Teknik seleksi in vitro berpotensi menjadi metode untuk mengisolasi
variasi somaklonal pada kultur kelapa sawit, agar galur sel yang tahan terhadap
penyakit BPB dapat dihasilkan.
Informasi prosedur teknik seleksi in vitro pada kelapa sawit untuk
ketahanan terhadap G. boninense masih sedikit. Oleh sebab itu, optimasi teknik
seleksi in vitro perlu dilakukan sehingga dapat diaplikasikan dalam program
pemuliaan tanaman kelapa sawit. Lebeda dan Svabova (2010) mengusulkan
beberapa seri percobaan dalam upaya mendapatkan prosedur teknik seleksi in
vitro untuk ketahanan terhadap faktor biotik.
Seri percobaan tersebut meliputi karakterisasi isolat patogen, isolasi agen
seleksi, penentuan konsentrasi letal serta beberapa siklus seleksi dalam pendugaan
konsentrasi subletal agen seleksi, dan penentuan peubah ketahanan tanaman.
Selanjutnya tahap evaluasi sifat ketahanannya dilakukan melalui infeksi buatan
serta karakterisasi genotipe tanaman terseleksi. Hasil akhirnya berupa tanaman
dengan sifat tahan terhadap penyakit tertentu yang dapat digunakan sebagai bahan
pemuliaan atau diperbanyak langsung secara vegetatif maupun generatif.
Kultur patogen yang yang memiliki virulensi tinggi dalam fungsinya
sebagai agen seleksi merupakan hal yang penting. Modifikasi kultur patogen dapat
dilakukan melalui beberapa cara, yaitu menggunakan isolat patogen secara
langsung, media dual layer, kultur filtrat atau toksin murni. Masing-masing cara
modifikasi patogen mempunyai kelebihan dan kelemahannya. Prinsipnya adalah
diperoleh model patosistem yang menimbulkan cekaman optimal terhadap kultur
tanaman namun tetap menjaga keseimbangan pertumbuhan antara tanaman dan
patogennya.
Kultur filtrat patogen sering digunakan sebagai agen seleksi dalam seleksi in
vitro pada berbagai tanaman budidaya. Penggunaannya berdasarkan asumsi bahwa
kultur filtrat patogen mengandung faktor virulensi asal patogennya. Sekresi faktor
virulensi ke media buatan oleh patogen dianologikan dengan proses saat patogen
menginfeksi jaringan inang. Pada umumnya, patogen mensekresikan faktor
virulen yang bersifat anti metabolit terhadap jaringan sel tanaman inang saat
infeksi berlangsung.
Selanjutnya, setelah diperoleh bentuk modifikasi kultur patogen perlu
ditentukan kondisi optimum lainnya diantaranya jenis media patogen, atau waktu
aplikasi patogen ke kultur tanaman. Songulashvili et al. (2011) melaporkan bahwa
inokulasi G. lucidum pada kultur cair saat 10 hari setelah menunjukkan aktivitas
enzim lakase tertinggi. Hal tersebut menunjukkan waktu tertentu dalam tahap
pertumbuhan dan perkembangan patogen menghasilkan faktor virulensi tertinggi.
Kondisi optimum patosistem dapat diperoleh dengan mengukur besar
kekuatan cekaman agen seleksi terhadap kultur tanaman. Hal itu dilakukan dengan
penentapan konsentrasi letal dan subletal agen seleksi sesuai jenis kultur tanaman.
Efektivitas seleksi dapat dilihat dari konsentrasi subletal yang memberikan hasil
optimum tunas in vitro dalam beberapa siklus seleksi.
27
Pendugaan peubah ketahanan kultur tanaman inang merupakan bagian
strategi awal dalam karakterisasi sifat tahan terhadap suatu patogen. Ketahanan
tanaman terhadap patogen merupakan suatu karakter yang unik pada suatu
genotipe tanaman. Pemilihan karakter ketahanan yang baik akan berpengaruh
dalam mendapatkan genotipe tahan terhadap penyakit. Pada tahap kultur in vitro
karakter ketahanan dapat dideteksi melalui beberapa aktivitas enzim diantaranya
fenilalanina amonia liase (PAL), peroksidase (POD) dan kitinase.
Enzim PAL merupakan enzim yang penting pada pertahanan tanaman yang
merupakan prekursor awal dalam proses pembentukan lignin dan fitoaleksin
(Hyun et al. 2011). Enzim peroksidase pada tanaman Arabidopsis berfungsi
sebagai pertahanan terhadap radikal peroksida saat sel dalam kondisi tercekam
(Cosio dan Dunand 2008). Selanjutnya, enzim kitinase dikenal sebagai salah satu
pathogenesis-related proteins (PR-3) merupakan protein fungsional pendegradasi
komponen kitin pada dinding sel cendawan (Sharma et al. 2011).

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menetapkan kondisi optimal teknik seleksi


ketahanan kultur kalus kelapa sawit terhadap Ganoderma boninense Pat.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan optimasi teknik meliputi; (i)
metode modifikasi kultur G. boninense yang optimal sebagai agen seleksi, (ii)
waktu panen filtrat yang optimal untuk digunakan sebagai agen seleksi, (iii)
konsentrasi letal dan subletal filtrat sebagai agen seleksi G. boninense (iv) jumlah
siklus seleksi yang diperlukan dalam mendapatkan tunas in vitro putatif moderat
tahan G. boninense dan (v) peubah ketahanan biokimia kalus terseleksi terhadap
agen seleksi G. boninense.

Bahan dan Metode

Percobaan dilakukan dari Juli 2012 sampai November 2013 di


Laboratorium Clonal Technology dan Proteomics-Metabolomics PT. SMART tbk.
Penelitian terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu: (i) penyediaan kultur kalus
tanaman kelapa sawit, (ii) penyediaan kultur filtrat G. boninense, (iii) penetapan
kondisi optimal agen seleksi dilakukan melalui penentuan metode modifikasi
kultur patogen G. boninense secara in vitro, (iv) penentuan waktu panen optimum
agen seleksi, (v) penetapan konsentasi letal dan subletal agen seleksi, dan (vi) uji
aktivitas enzim kalus terseleksi terkait ketahanan kultur tanaman inang.

Penyediaan Kultur Kalus Kelapa Sawit


Kalus kelapa sawit Tenera progeni 9102109E yang digunakan adalah kalus
nodular dalam tahap proembrio yang bersifat remah dan embriogenik (friable
callus), berumur sekitar 1 sampai 2 tahun. Kalus dibiakan dalam Erlenmeyer
volume 100 mL dan dilakukan sub kultur berulang setiap 2 bulan pada media
padat embroid yang mengandung 2.4 D dan NAA. Kalus diinkubasi pada ruang
kultur pada suhu 28 ± 2 ºC, kelembapan nisbi udara 50 ± 10% , intensitas cahaya
1500 – 2500 luks dan lama penyinaran diatur 16 jam per hari.
28
Panen kalus dilakukan mulai 20 sampai dengan 60 hari setelah sub kultur.
Kalus dipisahkan berdasarkan ukuran menggunakan saringan berlubang dengan
diameter lubang antara 1.0 hingga 5.0 mm. Pertama kalus disaring menggunakan
saringan berdiameter 5.0 mm, kalus yang lolos pada ukuran ini disaring kembali
dengan saringan berdiameter 1.0 mm. Kalus yang tidak lolos pada saringan 1.0
mm digunakan untuk bahan tanaman pada seleksi. Kalus terseleksi kemudian
ditimbang dengan berat setiap satuan percobaan sekitar 0.1 g (Gambar 9).

Gambar 9 Tahap persiapan teknik seleksi in vitro kultur kalus kelapa sawit
untuk ketahanan terhadap G. boninense

Penyediaan Kultur Filtrat Patogen G. boninense


Isolat G3-11-U5 cendawan G. boninense digunakan untuk produksi agen
seleksi ditumbuhkan terlebih dahulu pada media peremajaan isolat. Media
peremajaan G. boninense berupa serbuk kayu Mahoni (Swietenia macrophylla
King.) dengan penambahan glukosa 10%, ekstrak malt 10%, ekstrak yeast 1%
(w/w) dan penambahan air 20% (v/w).
Setelah 1 bulan pada media serbuk, inokulum G. boninense dapat digunakan
untuk perbanyakan inokulum dengan menggunakan media Potato Dextrose Agar
(PDA). Komposisi media PDA: 39 g Potato Dextrose Agar dan 1 L aqua destilata.
Media PDA dibuat dengan melarutkan semua bahan pada 1 L aqua destilata.
Larutan dipanaskan hingga merata dalam microwave dalam mode high selama 8
menit. Larutan media PDA kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121
ºC bertekanan 15 psi selama 15 menit. Media diinkubasi pada inkubator dengan
suhu 30 ºC. Koloni miselium pada media PDA berumur 7 sampai 10 hari dapat
digunakan sebagai sumber inokulum untuk media produksi filtrat.
Media produksi filtrat digunakan untuk menghasilkan filtrat sebagai agen
seleksi pada percobaan ini. Produksi filtrat menggunakan modifikasi media yeast
29
malt brot menurut Sivakumar et al. (2010). Media produksi berupa media cair
dengan komposisi: 2% malt ekstrak, 0.25%, yeast ekstrak 2%, Glukosa 3.67 mM
KH2PO4, 0.01 mM MnSO4.H2O dan 0.03 mM CuSO4.5H2O (media YMB). Semua
campuran bahan dilarutkan dalam 1 L akua destilata diaduk merata, derajat
keasaman media diatur sebelum autoklaf, yaitu pH 5.5.
Sebanyak 150 mL media YMB dituangkan ke dalam botol Scott,
selanjutnya disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 ºC bertekanan 15 psi
selama 15 menit. Untuk produksi filtrat, sebanyak 1 cork borer inokulum G.
boninense dikulturkan dalam 10 mL media YMB. Selanjutnya, kultur diinkubasi
pada ruang inkubasi dengan suhu 28 ± 2 ºC dan tanpa pencahayaan.
Filtrat dipanen dari media YMB sesuai waktu panennya, panen dilakukan
dengan menyaring miselium menggunakan kain poliester 5 Mesh (156 inch2).
Berat basah dan berat kering miseliumnya ditimbang setelah dioven pada suhu 60
ºC selama 3 hari. Filtrat yang dihasilkan diukur derajat keasamannya kemudian
pH diatur menjadi 5.8. Filtrat disentrifugasi pada 10,000 rpm pada suhu 4 oC
selama 15 menit dan dilakukan sterilisasi dan dicampur dengan media kalus.

Penentuan Metode Kultur G. boninense dengan Modifikasi


Percobaan dirancang dengan RAL menggunakan empat metode kultur
patogen yang modifikasi, yaitu menggunakan (i) teknik dual layer dengan
mematikan koloni patogen (PM), (ii) metode dual layer tanpa mematikan koloni
patogen (PH), (iii) kultur filtrat yang disterilisasi dengan filtrasi (FF), (vi) kultur
filtrat yang disterilisasi dengan autoklaf (FA) dan sebagai kontrol digunakan
media kalus. Perlakuan dengan ulang tidak sama, lima ulangan untuk metode dual
layer dan diulang lima belas kali untuk metode filtrat, sedang kontrol diulang lima
kali.
Metode modifikasi G. boninense (i) dan (ii) menurut Kasem et al. (1991).
Media dual layer dibuat dengan dua lapis media, lapisan pertama pada bagian
sebelah bawah berupa media PDA yang diinokulasi cendawan G. boninense dan
lapisan di atasnya berupa lapisan media kalus.
Inokulum G. boninense dikulturkan pada media PDA kemudian disimpan
pada inkubator pada suhu 28 ºC selama 7 hari. Setengah jumlah cawan Petri yang
berisi miselium diautoklaf pada suhu 121 ºC tekanan 15 psi selama 15 menit,
sedang sisanya tanpa diautoklaf. Setelah media PDA dengan koloni mendingin,
media kalus dalam keadaan cair dituang di atasnya. Media dua lapisan digunakan
dalam perlakuan metode dual layer dengan mengkulturkan kalus kelapa sawit
dilapisan atas media (Gambar 10).
Teknik modifikasi patogen dengan cara (iii) dan (iv) dilakukan
menggunakan kultur filtrat G. boninense. Cara (iii) dilakukan dengan filtrat
disterilisasi melalui membran berpori 0.22 µm sedangkan cara (iv) filtrat
disterilisasi dengan autoklaf. Kultur filtrat dipanen pada 21 hari setelah inokulasi
(hsi), dikerjakan sesuai dengan prosedur panen pada produksi filtrat patogen.
Pengamatan dilakukan pada jumlah clump kalus hidup per Petri ulangan
(0.1 g kalus) setelah 3 bulan inkubasi. Untuk melihat tingkat penghambatan kalus
oleh karena agen seleksi dilakukan perbandingan dengan tingkat penghambatan
pada media kalus EC1-18 (kontrol negatif) yang disebut persentase penurunan
jumlah kalus hidup dan persentase penurunan berat basah kalus.
30

Gambar 10 Metode dual layer G. boninense modifikasi kultur patogen pada


seleksi kalus embriogenik kelapa sawit

Penentuan Waktu Panen Optimal Agen Seleksi


Hasil pemilihan metode modifikasi kultur patogen, maka digunakan kultur
filtrat patogen yang disterilisasi menggunakan membran filtrasi 0.22 µm. Filtrat
dipanen selama 30 hari dengan selang waktu 3 hari sekali sehingga diperoleh
sepuluh titik panen. Filtrat dari setiap waktu panen dicampurkan dalam media
kalus dengan konsentrasi 20% (v/v). Percobaan disusun dengan RAL satu faktor,
yaitu sepuluh taraf waktu panen filtrat. Setiap perlakuan maupun kontrol positif
diulang sebanyak tujuh kali dan kontrol negatif diulang sebanyak tiga kali.
Media kalus (EC1-18) digunakan sebagai kontrol negatif, sedang media
untuk kontrol positif dibuat dengan mencampurkan media kalus dengan media
YMB tanpa inokulasi G. boninense pada konsentrasi 20% (v/v). Filtrat dicampur
dengan media kalus pada setiap waktu panen, dengan konsentrasi 20% (v/v) dan
disterilisasi melalui membran filtrasi 0.22 µm. Peubah yang diukur adalah
persentase penurunan jumlah kalus hidup.

Penentuan Konsentrasi Letal Filtrat


Media seleksi yang digunakan adalah media EC1-18 yang mengandung
filtrat konsentrasi :10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%, 50% (v/v), dan
kontrol negatif adalah media EC1-18 tanpa media YMB atau filtrat. Pembanding
kontrol positif, yaitu media EC1-18 yang mengandung media YMB saja pada
konsentrasi 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45% dan 50% (v/v).
Rancangan percobaan yang digunakan RAL satu faktor, yaitu media uji toksisitas,
tiap perlakuan dan kontrol negatif diulang sebanyak sepuluh kali dan kontrol
positif sebanyak lima kali.
Panen filtrat dilakukan 15 hari setelah inokulasi (HSI), pH filtrat diatur 5.8
dan disterilisasi melalui membran filtrasi kemudian dicampurkan pada media
kalus sesuai konsentrasi perlakuan. Kalus remah yang telah disaring ditimbang
dengan berat basah sekitar 0.1 g berisi sekitar 10 sampai 35 clump kalus. Setiap
0.1 g kalus dikulturkan pada setiap cawan Petri yang berisi media sesuai
perlakuannya dan diinkubasi dalam ruang gelap dengan kisaran suhu 28 ± 2 ºC.
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah clump kalus hidup setiap cawan Petri
setelah inkubasi 3 bulan.

Penentuan Konsentrasi Subletal Filtrat melalui Empat Siklus Seleksi


Pendugaan taraf konsentrasi subletal berdasarkan konsentrasi letal yang
diperoleh pada percobaan sebelumnya. Konsentrasi subletal diperkirakan sekitar
50%, 60%, 70%, 80%, dan 90% dari konsentrasi letal. Percobaan dilaksanakan
dengan RAL satu faktor, yaitu konsentrasi subletal. Setiap perlakuan dan kontrol
negatif diulang sebanyak sepuluh kali.
31
Peubah yang diamati adalah jumlah kalus hidup dan berat basah kalus dalam
setiap cawan Petri, dilakukan setiap 3 bulan (satu siklus) selama empat kali siklus
seleksi. Pada akhir siklus keempat dilakukan penghitungan jumlah embrio
somatik (ES) tahap kotiledon dan tahap kecambah. Embrio somatik tahap
kotiledon berwarna putih susu, sedang embrio yang berkecambah merupakan ES
tahap kotiledon yang memiliki panjang minimal 1.5 cm.

Penentuan Peubah Respons Biokimia Kalus Terseleksi


Penetapan peubah ketahanan kalus embriogenik terhadap G. boninense
menggunakan kalus hasil seleksi dari media filtrat 20% (v/v) (KT) dan kalus
kontrol dari media EC1-18 (KK) yang diperoleh pada siklus pertama. Perlakuan
dilakukan dengan mengkulturkan kembali kalus terseleksi dan kalus kontrol pada
media EC1-18 tanpa filtrat G. boninense (NF) dan pada media EC1-18 dengan
40% (v/v) filtrat G. boninense (N4), tiap ulangan sebanyak 0.5 g kalus per cawan
Petri. Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali. Inkubasi kultur kalus
ditempatkan dalam ruang gelap dengan suhu 28 ± 2 ºC selama 3 hari.
Ektraksi enzim kasar dilakukan menurut metode Sukma et al. (2008).
Sampel 0.5 g jaringan digerus dengan nitrogen cair sampai halus, kemudian
dilarutkan dengan 2 mL bufer fosfat (50 mM, pH 7) pada suhu 20 ◦C. Campuran
diaduk merata dengan vorteks kemudian sentrifugasi pada kecepatan 5,000 rpm
dan suhu 4 °C selama 10 menit. Supernatan dipisahkan dari pelet sebagai stok
bulk enzim.
Kuantifikasi enzim peroksidase (POD, EC 1.11.1.14) ditentukan menurut
metode SAI (1996). Air deionisasi sebanyak 2.10 mL dicampurkan ke dalam 0.32
mL bufer fosfat (100 mM, pH 6), 0.16 mL H2O2 0.5% (w/w) dan 0.32 mL
pirogalol 5% (w/v). Larutan diinkubasi selama 10 menit. Supernatan ditambahkan
sebanyak 0.1 mL ke dalam campuran substrat, sedangkan sebagai kontrol
digantikan dengan larutan bufer fosfat dalam jumlah yang sama. Campuran
diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang, kemudian konsentrasi enzim
ditetapkan absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420
nm.
Penetapan aktivitas enzim fenilalanina amonia liase (PAL, EC 4.3.1.24)
dilakukan menurut metode SAI (1998). Asam amino L-fenilalanina sebanyak 2.0
mL (3 mM) dicampur dengan 0.9 mL air deionisasi dalam tabung reaksi. Larutan
diinkubasi selama 10 menit. Selanjutnya, larutan tersebut ditambahkan 0.1 mL
supernatan sedangkan pada kontrol digantikan dengan larutan bufer tris-HCl (150
mM, pH 8.5). Larutan diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang kemudian
nilai absorbansi dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 270
nm.
Kuantifikasi aktivitas enzim kitinase (NAGase, EC 3.2.1.30) ditetapkan
menurut metode SAI (1994). Bufer Sitrat (100 mM, pH 5) sebanyak 0.4 mL
dicampurkan dengan 0.5 mL p-nitrofenil N-asetil-β-D-glukosamin (PNP-NAG)
konsentrasi 10 mM dalam tabung reaksi. Larutan diinkubasi selama 10 menit.
Sepernatan ditambahkan sebanyak 0.1 mL ke dalam larutan substrat dan sebagai
untuk kontrol digunakan larutan bufer sitrat. Larutan diinkubasi selama 30 menit
pada suhu ruang. Bufer Borat (200 mM, pH 9.8) sebanyak 3 mL ditambahkan ke
dalam larutan kemudian nilai absorbansinya dibaca pada panjang gelombang 400
nm.
32
Peubah Amatan

1. Persentase jumlah kalus hidup dihitung dengan persamaan :


X(o/t) = HA / HO *100
Keterangan: X(o/t) : persentase jumlah kalus hidup pada media kontrol atau
perlakuan; HA : jumlah clump kalus hidup per cawan Petri saat awal perlakuan ;
HO : jumlah clump kalus hidup per cawan Petri saat akhir perlakuan.

2. Persentase selisih berat basah kalus dihitung dengan persamaan :


S(o/t) = BA / BO *100
Keterangan: S(o/t) : persentase selisih berat basah kalus pada media kontrol atau
perlakuan; BA : selisih berat basah kalus per cawan Petri saat awal perlakuan; BO
: selisih berat basah kalus per cawan Petri pada akhir perlakuan.

3. Penurunan jumlah kalus hidup dihitung dengan persamaan :


PX = (Xo - Xt) / Xo *100
Keterangan: PX : persentase penurunan jumlah kalus hidup; Xo : persentase
jumlah kalus hidup pada media kontrol; Xt : persentase jumlah kalus hidup pada
media perlakuan

4. Penurunan selisih berat basah kalus dihitung dengan persamaan :


PS = (So - St) / So *100
Keterangan: PS : persentase penurunan selisih berat basah kalus; So : persentase
selisih berat basah kalus pada kontrol; St : persentase selisih berat basah kalus
pada perlakuan

Analisis Data

Analisis statistika digunakan untuk menduga metode modifikasi kultur


patogen yang optimal, waktu panen agen seleksi yang optimal, konsentrasi
subletal agen seleksi serta jumlah siklus seleksi dan peubah biokimia terkait
ketahanan kalus terseleksi. Hasil penelitian diolah dengan analisis ragam
(ANOVA), apabila hasil analisis nyata dilanjutkan dengan uji Duncan (α=5%).
Penentuan konsentrasi letal melalui analisis regresi linear sederhana. Semua hasil
dianalisis dengan program SAS 9.0. Bagan alur percobaan ditampilkan pada
Gambar 11.
33
.
Kultur kelapa sawit : Isolat G. boninense paling
Kalus embriogenik remah virulen (G3-11-U5)

Modifikasi kultur patogen


(Patogen langsung / Kultur filtrat)

Tidak Ya Modifikasi kultur


Penghambatan tumbuh
patogen optimal
kalus 75% ≤x>100%

Waktu isolasi agen seleksi


optimal

Tidak Ya Waktu isolasi agen


Penghambatan tumbuh
kalus 75% ≤x>100% seleksi yang optimal

Konsentrasi letal agen seleksi

Tidak Ya
Model matematis Konsentrasi letal
rasio hidup kalus agen seleksi
jika Y = 0; X = konsentrasi letal

Konsentrasi subletal
(50%,60%,70%,80%,90%
dari konsentrasi letal)

Siklus seleksi I
Evaluasi kalus terseleksi
dan kalus kontrol
Siklus seleksi II
Aktivitas enzim tertinggi Peubah ketahanan
PAL, POD, Kitinase kalus terseleksi
Siklus seleksi III

Siklus seleksi IV

Penghambatan tubuh 1. Jumlah siklus seleksi optimal


kalus 75% ≤ x > 100% 2. Konsentrasi subletal
(dua peubah) 3. Tunas hasil seleksi in vitro

Gambar 11 Alur kerja optimasi teknik seleksi in vitro kultur kalus kelapa sawit
untuk ketahanan terhadap G. boninense
34
Hasil dan Pembahasan

Penentuan Metode Modifikasi Kultur G. boninense Secara In vitro


Metode manipulasi menggunakan patogen secara langsung dengan metode
dual layer tanpa mematikan patogen (PH) menunjukkan kematian 100% populasi
kalus (Tabel 6). Selanjutnya, metode yang menggunakan kultur filtrat patogen
dengan cara sterilisasi filtrasi menghasilkan pengurangan jumlah kalus hidup 94%
yang tidak berbeda nyata dengan metode dual layer tanpa mematikan patogen.
Hal tersebut mengindikasikan penggunaan metode PH bersifat letal terhadap kalus
embriogenik.
Semua kalus perlakuan menunjukkan pencoklatan pada pengamatan 2 bulan
setelah inokulasi agen seleksi (Gambar 12). Hal tersebut mengindikasikan telah
terjadi cekaman pada kalus yang mendorong kematian jaringan sel. Perlakuan PH
menunjukkan semua kalus tidak mampu tumbuh oleh karena tertutupi oleh massa
miselium G. boninense, sedangkan perlakuan PM kalus masih hidup. Perlakuan
FF menunjukkan kalus yang hidup lebih sedikit daripada perlakuan PM dan FA.
Selanjutnya, pada kontrol hampir semua kalus hidup.
Metode dual layer dengan koloni hidup menunjukkan penghambatan
pencokelatan saat awal infeksi. Hal ini mungkin disebabkan oleh senyawa tertentu
(efektor) yang disekresikan koloni pada awal infeksi sehingga respon oksidasi
brust inang dihambat. Akan tetapi, saat interaksi koloni G. boninense dengan
kalus mencapai lebih dari 3 minggu gejala pencokelatan mulai terlihat. Hal
tersebut menunjukkan ciri cendawan nekrotropik
Metode PH sebenarnya sama dengan cara seleksi menggunakan patogen
secara langsung seperti uji ketahanan suatu genotipe di lapang. Bedanya
ketahanan tanaman saat infeksi isolat dilapang dipengaruhi lebih besar faktor
lingkungan sedangkan metode PH lingkunganlebih terkontrol. Penguasaan
lingkungan tumbuh oleh koloni diduga menyebabkan kematian kalus lebih tinggi
daripada PM. Metode PH menunjukkan kecenderungan dominasi kultur patogen
lebih besar daripada yang mampu diterima kalus. Fase keseimbang inang-patogen
sering gagal dan sukar mendapatkan regim cekaman yang homogen.

Tabel 6 Pengaruh metode modifikasi kultur patogen terhadap penurunan jumlah


kalus hidup dan berat basah kalus
Perlakuan Jumlah kalus hidup Berat basah kalus
Metode dual layer Penurunan (%)a
Tanpa mematikan patogen (PH) 1.00a 0.96a
Dengan mematikan patogen (PM) 0.90bc 0.57b
Metode kultur filtrat dengan strerilisasi
Membran filtrasi (FF) 0.94ab 0.86a
Autoklaf (FA) 0.84c 0.85a
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5 % (uji selang berganda Duncan)
35

Gambar 12 Pengaruh metode modifikasi kultur G. boninense terhadap kalus


embriogenik kelapa sawit selama 2 bulan. Bar = 1 cm

Koloni miselium yang dimatikan dengan autoklaf diasumsikan


mengakibatkan lisis sel sehingga isi sel koloni G. boninense tersekresi pada media
dual layer. Hal tersebut diduga menyebabkan gejala pencokelatan kalus lebih
cepat dibandingkan dengan tanpa mematikan koloni. Pencokelatan kalus pada
perlakuan dengan mematikan koloni terjadi pada hari ketiga, namun pada kultur
dengan koloni hidup pencokelatan terlihat pada tiga minggu.
Pencokelatan kalus yang cepat pada koloni yang mati diduga merupakan
respons hipersensitif sebagai akibat oksidasi brust oleh pengaruh fitotoksik isi sel
koloni yang tersebar dalam media dual layer. Walaupun berpotensi untuk
digunakan sebagai model seleksi namun metode PM tidak dapat menentukan
besar regim cekaman yang diperlukan.
Metode PM hampir serupa dengan metode FA bedanya, metode FA
menggunakan kultur filtrat cendawan. Kultur filtrat cendawan dianggap
mengandung komponen ekstra seluler yang dilepaskan ke dalam media. Menurut
Esmaiel et al. (2012) metode mematikan koloni pada sistem dual layer digunakan
untuk senyawa fitotoksik yang bersifat termostabil sebagai agen seleksi. Hasil
metode PM dan FA menunjukkan bahwa senyawa yang terdapat di dalam sel dan
tersekresi di luar koloni G. boninense yang bersifat fitotoksik terhadap kalus
kelapa sawit dan berkarakteristik termostabil.
Hasil dengan metode FF menimbulkan gejala kematian yang sama seperti
pada metode yang lain, bahkan lebih tinggi daripada metode FA. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa komponen senyawa fitotoksin pada filtrat G. boninense
berkarakteristik termolabil dan juga termostabil. Senyawa fitotoksik yang
termolabil pada filtrat akan terdegradasi saat proses autoklaf menyebabkan jumlah
kalus hidup lebih tinggi dibandingkan cara filtrasi. Sultana (2007) melaporkan
bahwa metode sterilisasi uap panas (moist heat sterilization) menggunakan uap air
panas dengan suhu 121 ºC sampai 134 ºC dan tekanan selama waktu tertentu
dapat menyebabkan denaturasi komponen sel dan terhidrolisis.
Adanya senyawa fitotoksin yang termolabil pada filtrat G. boninense
menunjukkan metode FF dapat digunakan sebagai metode yang memberikan hasil
seleksi optimal. Seleksi menggunakan koloni hidup (PH) mungkin menjadi cara
yang paling baik daripada metode lainnya, namun dari hasil yang diperoleh kalus
pada metode PH tidak ada yang mampu bertahan. Artinya proses seleksi menjadi
lebih lambat dan potensi genetik dalam kisaran moderat tahan akan tereliminasi
apabila digunakan metode PH.
Penggunaan kultur filtrat G. boninense untuk seleksi dapat menjadi efesien
apabila dalam kultur filtrat tersebut terdapat faktor virulensi yang menjadi
determinan dalam terjadinya penyakit BPB. Seperti diketahui pada kultur filtrat
36
cendawan banyak terdapat senyawa yang mungkin tidak terlibat dalam
patogenesitas penyakit BPB pada kelapa sawit. Walaupun demikian, kultur filtrat
G. boninense kemungkinan juga mengandung senyawa yang terkait dengan faktor
determinan penyakit BPP.
Respons pencokelatan kalus akibat terpapar filtrat merupakan indikator
awal bahwa terdapat komponen senyawa fitotoksin yang mungkin sebagai faktor
virulensi G. boninense. Warna cokelat yang terbentuk pada kalus diduga hasil
oksidasi asam fenolik yang menghasilkan kuinon oleh enzim pengoksidasi
diantaranya polifenoloksidase dan peroksidase. Menurut Dowd dan Norto (1995)
pencokelatan kalus merupakan mekanisme pertahanan sel tanaman. Selanjutnya,
Ahmad et al. (2013) menyatakan bahwa pencokelatan kalus berhubungan dengan
cekaman atau adanya pelukaan makro atau mikroskopis jaringan sel hidup. Jadi
filtrat G. boninense dapat digunakan sebagai sumber agen seleksi dalam seleksi in
vitro ketahanan terhadap penyakit BPB.

Penentuan Waktu Panen Optimal Agen Seleksi


Hasil waktu panen filtrat menunjukkan penurunan jumlah kalus hidup
tertinggi terjadi pada 15 dan 30 hari setelah inokulasi (HSI). Pada semua waktu
panen filtrat dengan pembanding kontrol positif maupun negatif memberikan
penurunan jumlah regenerasi kalus yang berbeda (Tabel 7). Penurunan jumlah
kalus hidup yang ≥75% diperoleh pada panen 15 dan 30 HSI dan menunjukkan
dapat digunakan sebagai waktu optimum panen filtrat G. boninense.
Pola grafik berat kering miselium pada perlakuan waktu panen filtrat
menghasilkan pola kuadratik (Gambar 13). Secara umum pola grafik
menunjukkan pola pertumbuhan mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme
dapat diartikan sebagai penambahan jumlah atau total massa sel yang melebihi
inokulum asalnya.

Tabel 7 Waktu panen filtrat terhadap penurunan jumlah kalus hidup


Penurunan jumlah kalus hidup dibandingkan dengan
Perlakuan Ulangan
Kontrol negatif Kontrol positif
a
Penurunan (%)
P30 7 98.29a 97.71a
P15 7 91.29ab 89.00ab
P18 7 77.29bc 72.14bc
P6 7 75.14c 69.29c
P27 7 70.29c 63.57c
P24 7 53.14d 42.29d
P9 7 52.57d 41.71d
P21 7 44.57de 32.00de
P12 7 33.00e 18.14e
P3 7 17.71f 1.00f
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5 % (uji selang berganda Duncan)
37

Gambar 13 Pola penambahan biomas miselium G. boninense pada setiap


waktu panen filtrat. : berat kering miselium

Kurva pertumbuhan bakteri menunjukkan pola yang sama dengan kurva


penambahan biomas miselium G. boninense, yaitu waktu fase pertumbuhan
lambat, fase pertumbuhan cepat dan fase stasioner sampai umur panen 30 HSI.
Fase pertumbuhan lambat terlihat hanya 3 hari kemudian masuk fase peralihan
pada 6 hari. Fase pertumbuhan cepat di media YMB dicapai pada 7 hari sampai 24
HSI. Fase stasioner diduga hanya sekitar 3 hari pada 25 sampai 28 HSI
selanjutnya koloni masuk pada fase kematian pada 30 HSI. Isolat G. boninense
memiliki fase vegetatif sangat pendek pada media cair.
Pertumbuhan mikroba dalam suatu media tumbuh mengalami beberapa fase,
yaitu fase pertumbuhan lambat (lag), fase pertumbuhan cepat (eksponensial), fase
stasioner dan fase kematian. Kapang yang diinokulasikan ke dalam suatu media,
mula-mula akan mengalami fase adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan media
dan kondisi lingkungan sekitarnya. Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel
karena beberapa enzim belum disintesa. Fase pertumbuhan lambat, sel mulai
membelah dengan kecepatan yang masih rendah karena baru selesai tahap
penyesuaian diri.
Pertumbuhan ekponensial terjadi ketika inokulum mengalami pertumbuhan
yang cepat sampai dicapai pertumbuhan lambat. Pertumbuhan lambat disebabkan
berkurangnya zat nutrisi di dalam media dan adanya hasil metabolisme yang dapat
menghambat pertumbuhan. Fase berikutnya adalah pertumbuhan statis, jumlah sel
pada fase ini tetap. Bila inkubasi dilanjutkan pada fase ini tidak akan menambah
jumlah sel, melainkan jumlah sel hidup akan berkurang serta adanya lisis atau
pecahnya sel karena kerja suatu antibodi. Hal tersebut menyebabkan massa sel
menurun sampai terjadi kematian. Apabila dikaitkan dengan hasil diatas,
penurunan jumlah kalus hidup paling tinggi terjadi pada fase pertumbuhan cepat
dan fase akhir (Tabel 7) Hal tersebut menunjukkan bahwa isolat G. boninense
aktif mensekresikan metabolit sekunder ke dalam media cair saat pembelahan sel
terjadi secara cepat.
38

Gambar 14 Pola perubahan derajat kemasaman media tumbuh G. boninense.


( ) pH awal ( ) pH media kontrol (YMB) ( ) pH filtrat
G. boninense

Akumulasi senyawa aktif diduga terjadi pada 15 HSI, hal ini ditunjukkan
oleh kematian kalus paling tinggi. Selanjutnya kematian kalus pada media filtrat
panen 30 HSI disebabkan oleh akumulasi penurunan pH (Gambar 14). Penurunan
pH media filtrat menandakan terjadi akumulasi senyawa metabolit sekunder.
Famili Ganoderma spp. sering dimanfaatkan sebagai bahan obat karena
komponen senyawa metabolit sekunder yang bermanfaat bagi manusia. Walau
demikian, fase pertumbuhan cepat yaitu pada 15 HSI dapat dianalogikan dengan
tahap kolonisasi patogen pada jaringan sel inang, diduga faktor virulensi tersekresi
optimum difase tersebut.

Penentuan Konsentrasi Letal Filtrat


Inokulasi kalus pada media kontrol negatif, media kontrol positif dan
media filtrat G. boninense menghasilkan pengaruh beragam terhadap rasio hidup
kalus. Media kalus EC1-18 sebagai media kontrol negatif memberikan rasio hidup
sebesar 0.78, yang menunjukkan kondisi kalus pada media tanpa cekaman filtrat
atau media YMB (Tabel 8). Peningkatan konsentrasi pada media kontrol positif
dan media filtrat G. boninense memberikan kecenderungan penurunan rasio hidup
kalus, demikian juga pada selisih rasio hidup kalus dari kedua media tersebut.
Persentase relatif terhadap kontrol negatif dari selisih rasio hidup antara
dua media kontrol positif dan media filtrat G. boninense menghasilkan persamaan
regresi Y= 50.13 - 1.24X, dengan nilai R2 sebesar 0.45. Berdasarkan persamaan
regresi tersebut diperoleh konsentrasi letal filtrat sebesar 40.28% (v/v) atau setara
dengan 40% (v/v). Dharmaputra et al. (1990) menetapkan konsentrasi filtrat G.
boninense terhadap kalus kelapa sawit yaitu uji 50% (v/v). Berikutnya,
Karthikeyan et al. (2008) menetapkan filtrat G. lucidum 0.5% (w/v) fitotoksik
terhadap Cocos nucifera L., sedangkan Sasidharan et al. (2011) menentukan
konsentrasi ekstrak G. boninense sebesar 64% (w/v) bersifat letal terhadap
Artemia salina. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi uji berpengaruh
terhadap nilai letal, seperti jenis isolat, komposisi media dan objek ujinya.
39
Tabel 8 Uji toksisitas media YMB dan filtrat terhadap jumlah kalus hidup dalam
penentuan konsentrasi letal filtrat G. boninense
Media YMB Media filtrat Selisih
Konsentrasi Persentase
% (v/v) Total Hidup Rasio Total Hidup Rasio rasio relatif (%)b
ul ul
(clump ) (clump ) Y (clump ) (clump ) Z (Y - Z)
a
0 10 153 119 0.78 0.78 100.00
10 5 94 32 0.34 10 145 30 0.21 0.13 17.12
15 5 106 6 0.06 10 228 6 0.03 0.03 3.88
20 5 124 25 0.20 10 146 20 0.14 0.06 8.29
25 5 98 19 0.19 10 88 7 0.08 0.11 14.66
30 5 85 22 0.26 10 127 24 0.19 0.07 8.95
35 5 64 12 0.19 10 131 24 0.18 0.00 0.55
40 5 80 3 0.04 10 186 4 0.02 0.02 2.05
45 5 85 5 0.06 10 162 1 0.01 0.05 6.75
50 5 83 2 0.02 10 40 0 0.00 0.02 3.09
a b
Rasio kontrol negatif; Selisih rasio dibagi rasio kontrol negatif ; ul : ulangan

Media kontrol YMB memberikan pengaruh tambahan terhadap


penghambatan pertumbuhan kalus kelapa sawit. Ha ini terlihat dari penurunan
rasio hidup kalus dengan bertambahnya konsentrasi media YMB. Walaupun
demikian, terdapat selisih rasio hidup kalus antara media kontrol YMB dengan
media filtrat G. boninense yang menunjukkan pengaruh langsung komponen agen
seleksi pada G. boninense.
Ekstrak Yeast berpengaruh positif terhadap peningkatan embriogenesis
somatik pada kultur kurma (Phoenix dactylifera L.) (Al-Khayri, 2011). Demikian
juga, Gholami et al. (2013) menunjukkan bahwa malt ekstrak berperan dalam
pematangan embrio somatik (ES) jeruk lemon (Citrus limon L.). Berdasarkan hal
tersebut diduga terdapat komponen lain selain yeast dan malt ekstrak yang
berpengaruh negatif terhadap kalus. Karthikeyan et al. (2008) menyatakan bahwa
terdapat senyawa fitotoksin pada filtrat G. lucidum yang diduga dari golongan
glikoprotein dan bersifat tidak spesifik inang.
Informasi konsentrasi letal agen seleksi pada teknik seleksi in vitro
digunakan untuk perkiraan konsentrasi efektif penapisan sesuai dengan kondisi
kultur tanaman sebagai unit seleksi. Secara prinsip pemuliaan tanaman, agen
seleksi dipandang sebagai cekaman yang mampu membedakan individu yang
berkarakter tahan atau rentan terhadap cekaman yang diberikan. Ketahanan
masing-masing individu terhadap cekaman dapat diatur melalui intensitas seleksi
dengan besaran tertentu. Pada metode seleksi in vitro penentuan konsentrasi letal
agen seleksi akan memberi ukuran besarnya intensitas seleksi yang akan
digunakan, sehingga diharapkan peluang diperoleh varian somaklon yang tahan
dapat lebih besar.

Penentuan Konsentrasi Subletal Filtrat melalui Empat Siklus Seleksi


Berdasarkan konsentrasi letal filtrat G. boninense yang telah diketahui
sebesar 40% (v/v), maka penentuan konsentrasi subletal berdasarkan konsentrasi
letalnya, yaitu 50%, 60%, 70%, 80%, dan 90%. Jadi konsentrasi pendugaan
subletal filtrat diperoleh pada konsentrasi 20%, 24%, 28%, 32%, dan 36% (v/v).
Selanjutnya uji toksisitas dilakukan melalui empat tahapan siklus seleksi masing-
40
masing siklus 3 bulan inkubasi (Tabel 9). Konsentrasi filtrat 20% (v/v)
menghasilkan penurunan jumlah kalus hidup kurang dari 50%. Pada konsentrasi
filtrat 24%, 28%, 32%, dan 36% (v/v) terjadi penurunan jumlah kalus hidup rata-
rata lebih dari 85% dan tidak berbeda dengan konsentrasi letal. Hal ini
menunjukkan konsentrasi filtrat 20% (v/v) bukan pada kisaran konsentrasi
subletal.
Selanjutnya, pada peubah selisih berat basah kalus, konsentrasi filtrat di atas
20% (v/v) juga memberikan hasil tidak berbeda nyata dengan konsentrasi letal
40% (v/v). Selisih berat basah kalus pada kontrol dan konsentrasi filtrat 20% (v/v)
masing-masing sebesar 7.5 dan 6 kali dari berat awal. Hal tersebut menunjukkan
penghambatan penambahan berat basah hampir tidak terjadi pada konsentrasi
tersebut. Konsentrasi filtrat 20% (v/v) tidak dapat dikatakan sebagai konsentrasi
subletal karena tidak memberikan penghambatan sebanding dengan konsentrasi
letal.
Berdasarkan pada peubah jumlah kalus hidup dan selisih berat basah kalus
maka terpilih empat konsentrasi penduga subletal yaitu 24%, 28%, 32%, dan 36%
(v/v). Akan tetapi, menurut Jain (2012) konsentrasi subletal merupakan
konsentrasi yang memberikan tekanan seleksi, yaitu penghambatan pertumbuhan
minimal sebesar 75% dari populasinya. Berdasarkan hal tersebut maka pada
Jumlah kalus hidup dan selisish berat basah kalus terpilih konsentrasi 32% dan
36% (v/v) sebagai konsentrasi penduga subletal filtrat.

Tabel 9 Pengaruh konsentrasi subletal filtrat terhadap penurunan jumlah kalus


hidup dan selisih berat basah kalus
Konsentrasi Jumlah kalus hidup pada siklus Selisih berat basah pada siklus
Filtrat Awal Akhir Penurunan Awal Akhir Penurunan
Rasio Rasio
% (v/v) (clump) (clump) (%)a (g) (g) (%)a
0 16.60 15.60 0.94 0.00c 0.10 0.76 7.55 0.00b
20 17.10 8.58 0.50 46.62b 0.10 0.62 6.18 18.21b
24 19.70 2.65 0.13 85.69a 0.10 0.23 2.32 69.32a
28 17.00 1.98 0.12 87.64a 0.10 0.30 3.00 60.28a
32 16.10 0.63 0.04 95.87a 0.10 0.09 0.91 87.97a
36 14.40 1.43 0.10 89.47a 0.10 0.17 1.69 77.67a
40 15.00 0.63 0.04 95.57a 0.10 0.05 0.50 93.35a
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5 % (uji selang berganda Duncan)

Yusnita et al. (2005) menyatakan bahwa konsentrasi subletal ditentukan


berdasarkan penghambatan proliferasi embrio somatik, yaitu sebesar 95% dari
total populasi. Sedangkan Purwati et al. (2007) menyatakan bahwa konsentrasi
subletal dapat dideteksi dari konsentrasi yang memberikan penghambatan
proliferasi tertinggi. Sharma et al. (2012) mendefinisikan konsentrasi subletal
sebagai konsentrasi yang memberikan penghambatan optimal namun masih
menunjukkan peluang ditemukan galur sel toleran.
Penetapan konsentrasi subletal filtrat patogen dapat saja berbeda pada
masing-masing peneliti tergantung pertimbangan bahwa konsentrasi subletal
tersebut mampu menghasilkan tunas in vitro dari kalus terseleksi. Jain (2012)
41
mendefinisikan konsentrasi subletal merupakan konsentrasi efektif untuk
membedakan galur sel sensitif dengan insensitif terhadap cekaman yang biotik
pada komoditi kurma (Phoenix dactylifera L). Secara umum penentuan batas
kekuatan seleksi perlu ditetapkan untuk melihat efektivitas seleksinya.
Penentuan konsentrasi subletal optimal dilakukan dengan memilih
konsentrasi subletal yang mampu meregenerasikan kalus terseleksi menjadi tunas
in vitro. Oleh sebab itu, konsentrasi subletal optimal perlu dilihat dari sudut
pandang periode siklus seleksi (Tabel 10). Penurunan jumlah kalus hidup yang
diperoleh pada siklus seleksi I menunjukkan berbeda dengan siklus seleksi II, III
dan IV. Penurunan jumlah kalus hidup pada siklus seleksi II juga menunjukkan
perbedaan dengan siklus seleksi III dan IV. Pada siklus seleksi III dan IV
penurunan jumlah kalus hidup tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, hal ini
berarti jumlah kalus yang hidup telah stabil atau tidak terjadi kematian lagi akibat
terpapar filtrat.
Selisih berat basah kalus pada siklus seleksi I secara komulatif
menghasilkan penurunan sekitar 54% dan 64% sampai dengan 65% pada periode
siklus II dan III. Hasil uji Duncan menunjukkan siklus seleksi I tidak berbeda
nyata dengan siklus seleksi II dan III. Peningkatan signifikan berat basah kalus
terjadi pada siklus seleksi IV. Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan selisih
berat basah kalus pada siklus seleksi IV tidak terjadi lagi dengan kata lain terjadi
peningkatan berat basah pada kalus terseleksi.

Tabel 10Pengaruh siklus seleksi terhadap penurunan jumlah kalus hidup dan
selisih berat basah kalus
Jumlah kalus hidup Selisih berat basah kalus
Siklus seleksi Kontrol Perlakuan Penurunan Kontrol Perlakuan Penurunan
(clump) (clump) (%)a (g) (g) (%)a
I 16.20 5.07 68.68c 2.05 0.95 53.74ab
II 15.40 4.56 70.40b 4.60 1.65 64.14a
III 15.40 4.39 71.51a 9.22 3.25 64.75a
IV 15.40 4.30 72.09a 14.34 7.09 50.57b
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5 % (uji selang berganda Duncan)

Berdasarkan pada penurunan jumlah kalus hidup dan selisih berat basah
kalus dapat dikatakan siklus seleksi IV merupakan waktu minimal yang
diperlukan untuk membedakan kultur kelapa sawit insensitif dan sensitif terhadap
filtrat G. boninense. Jumlah kalus yang mati pada siklus III dan IV tidak berbeda
nyata yang berarti bahwa kalus terseleksi telah beradaptasi dalam lingkungan
tercekam filtrat. Pada siklus seleksi IV selisih penurunan berat basah perlakuan
terindikasi semakin kecil. Hal itu menunjukkan kultur teseleksi mengalami
pertumbuhan jaringan walaupun dalam lingkungan tercekam.
Pada penelitian ini digunakan prosedur seleksi bertahap untuk menetapkan
konsentrasi subletal yang optimal yang menghasilkan tunas in vitro. Berkaitan
dengan siklus seleksi, dikenal dua jenis prosedur seleksi, yaitu seleksi satu tahap
dan seleksi bertahap. Seleksi satu tahap merupakan seleksi langsung
menggunakan konsentrasi letal dan seleksi bertahap merupakan prosedur seleksi
42
secara bertahap dari konsentrasi subletal sampai mencapai konsentrasi letal (Jin et
al. 1996 ; Borras-Hidalgo dan Bermudez 2010). Menurut Lebeda dan Svabova
(2010) seleksi in vitro menggunakan beberapa siklus seleksi menunjukkan hasil
lebih baik daripada seleksi satu siklus dalam hal perolehan tunas in vitro
terseleksi. Jumlah siklus seleksi berhubungan dengan cara mengurangi kejadian
escape, jenis kultur tanaman (kalus, tunas, protoplas), upaya mendorong
regenerasi kalus terseleksi. Sebaliknya, beberapa siklus seleksi dapat mendorong
terjadinya adaptasi sel mengarah pada mekanisme epigenetik.
Pemilihan prosedur seleksi dapat berbeda-beda tergantung jenis tanaman
dan patogennya. Prosedur seleksi satu tahap mengunakan konsentrasi letal
memiliki beberapa keuntungan diantaranya sifat ketahanan somaklon yang
diperoleh lebih bersifat genetik dari pada epigenetik. Prosedur seleksi satu tahap
sesuai digunakan untuk kultur suspensi sel atau kultur protoplas serta waktu
seleksi lebih cepat (Jain 2012). Akan tetapi kekurangan dari seleksi satu tahap
adalah kemungkinan mendapatkan somaklon tahan sangat kecil, dan hanya
diaplikasikan apabila agen seleksi yang sudah jelas sebagai determinan
patogenesitasnya.
Kadir (2007) melaporkan bahwa potensi kehilangan genetik pada prosedur
seleksi satu tahap dapat dikurangi dengan menggunakan seleksi bertahap pada
satu konsentrasi subletal. Konsentrasi subletal optimal penting ditetapkan dan
digunakan dalam seleksi in vitro. Seleksi pada konsentrasi subletal memperbesar
peluang diperoleh keragaman genetik pada kultur tanaman namun tingkat
penghambatan agen seleksi dapat dipertahankan mendekati konsentrasi letalnya.
Perkecambahan embrio dan pembentukan tunas in vitro menjadi indikator
dalam penentuan konsentrasi subletal yang optimal. Konsentrasi subletal optimal
tidak hanya menunjukkan kekuatan penghambatan lebih dari 75%, tetapi mampu
meregenerasikan kalus terseleksi menjadi embrio somatik dan menjadi tunas in
vitro.

Pertumbuhan dan Perkembangan Embrio Somatik


Konsentrasi subletal optimal ditentukan melalui pengukuran beberapa
konsentrasi subletal penduga filtrat melalui beberapa siklus seleksi, dan akhirnya
diperoleh tunas in vitro putatif moderat tahan. Hasil percobaan menghasilkan
perkecambahan embrio somatik dan tunas in vitro pada siklus seleksi keempat.
Perkecambahan embrio somatik sampai fase kotiledon hanya diperoleh dari lima
konsentrasi subletal penduga dan satu konsentrasi letal, yaitu 20%, 24%, 28%,
32%, dan 36% (v/v).
Perkecambahan embrio somatik dicirikan dengan embrio berwarna putih
dengan ukuran sekitar 0.5 sampai 1.5 cm. Selanjutnya, tunas in vitro ditentukan
dengan embrio somatik dengan panjang lebih dari 1.5 cm. Total perolehan embrio
somatik fase kotiledon pada semua konsentrasi filtrat sebanyak 309 embrio
sedangkan yang berasal dari konsentrasi subletal 32% dan 36% (v/v) sebanyak
101 dan 30 embrio. Konsentrasi filtrat 32% (v/v) menghasilkan persentase
embrio somatik pada tahap kotiledon yang tertinggi, yaitu sebesar 32.69 %.
Embrio somatik pada tahap kotiledon akan mencapai tahap perkecambahan jika
menunjukkan pemanjangan pada bagian plumula. Pemanjangan bagian radikula
juga dapat terjadi menghasilkan kecambah abnormal.
43
Tabel 11Pengaruh konsentrasi filtrat terhadap perkecambahan embrio somatik dan
pembentukan tunas pada siklus seleksi keempat
Konsentrasi filtrat Berat basah kalus Jumlah embrio somatik
% (v/v) awal siklus (g) Tahap kotiledon Tunas in vitro
0 0.10 0 0
20 0.10 86 0
24 0.10 47 0
28 0.10 40 4
32 0.10 101 6
36 0.10 30 0
40 0.10 5 0

Embrio somatik membentuk tunas pada siklus keempat diperoleh dari dua
konsentrasi filtrat, yaitu 28% dan 32% (v/v) masing-masing sebanyak 4 dan 6
tunas (Tabel 11). Konsentrasi filtrat 32% (v/v) menghasilkan persentase
perkecambahan embrio somatik dan tunas in vitro tertinggi dibandingkan dengan
konsentrasi 36% (v/v). Hal ini dapat dikatakan bahwa konsentrasi subletal filtrat
optimal adalah 32% (v/v). Konsentrasi filtrat 28% (v/v) juga menghasilkan tunas
namun tidak termasuk dalam konsensentrasi subletal.
Menurut Yusnita et al. (2005) konsentrasi subletal filtrat Sclerotium rolfsii
terhadap kalus kacang tanah sebesar 30% (v/v), yang menunjukkan penghambatan
proliferasi somatik embrio hingga 95% pada siklus seleksi ke tiga. Purwati et al.
(2007) menyatakan bahwa strategi dalam pembentukan protokol seleksi in vitro,
meliputi keragaman genetik kultur tanaman ditingkatkan, penggunaan kalus
embriogenik, seleksi pada konsentrasi subletal, dan melalui tiga siklus seleksi
dengan 3 bulan per siklus. Keempat strategi tersebut merupakan langkah dalam
memperbesar peluang mendapatkan sel insensitif dari populasi sel sensitif.
Keberhasilan diperoleh tunas in vitro diduga sangat ditentukan oleh
penggunaan kalus embriogenik. Kalus embriogenik remah diduga dalam tahap
seluler kompeten, sehingga dengan adanya induksi eksternal berupa cekaman
menyebabkan kelompok gen yang berperan dalam embriogenesis terekspresi.
Menurut Feher (2006) kondisi cekaman dapat memicu terjadinya ekspresi gen-gen
yang terlibat dalam pembentukan embrio somatik. Adanya cekaman filtrat G.
boninense diduga menyebabkan sel-sel yang telah berada pada tahap seluler
kompeten berkembang ke tahap seluler embriogenic cell fate. Solis-Ramos et al.
(2012) menyatakan bahwa embriogenesis somatik memerlukan adanya sinyal
ekstarnal yang salah satunya diinduksi oleh adanya cekaman.
Kalus pada perlakuan kontrol hanya menunjukkan proliferasi kalus
walaupun menghasilkan struktur embrio namun tidak mampu berkecambah.
Sumber cekaman dan periode cekaman diperlukan dalam menginduksi terbentuk
tunas in vitro. Besarnya kekuatan cekaman yang terjadi diduga mempengaruhi
periode cekaman yang diperlukan untuk menghasilkan tunas in vitro. Melalui
induksi cekaman dengan konsentrasi serta periode yang mencukupi akan
mendorong sel insensitif terhadap filtrat akan berdediferensiasi membentuk
embrio somatik berkecambah menjadi tunas (Gambar 15).
44

Gambar 15 Embrio somatik pada kalus terseleksi pada siklus seleksi keempat. A)
Kontrol, B) 20%, C) 24% , D)28%, E) 32%, F) 36% dan G) 40% (v/v)
filtrat. : Tunas ; : Embrio kecambah fase kotiledon

Perkembangan Kalus Terseleksi Menjadi Tunas In vitro


Pada siklus penapisan pertama telah terbentuk embrio somatik dari kalus
terseleksi melalui embriogenesis somatik tidak langsung (Gambar 16). Diduga
dalam periode 3 bulan telah terjadi inisiasi embrio somatik dari jaringan
proembrio yang terkandung dalam kalus embriogenik. Proses terbentuknya
embrio diketahui dari sel kompeten membelah diri secara polar, salah satu bagian
akan membentuk bagian calon tunas yang kemudian akan menjadi tunas
(plumula) dan bagian lain merupakan calon akar (radikula).
Penambahan filtrat G. boninense pada media kalus diperkirakan
menimbulkan cekaman oksidatif terhadap kalus. Menurut Zavattieri et al. (2010)
cekaman oksidatif diperlukan pada inisiasi program embriogenesis somatik
melalui reorganisasi kromatin. Jaringan sel kalus embriogenik diduga dalam
kondisi dediferensiasi sehingga adanya cekaman filtrat menyebabkan akusisi ke
tahap embriogenik kompeten. Akusisi ke tahap embriogenik kompeten
mengakibatkan kematian sel terprogram pada massa sel proembriogenik dan
menghasilkan struktur proembrio. Menurut Fanchang et al. (2007) kematian sel
terprogram diperlukan untuk memastikan keberlanjutan embriogenesis somatik
secara normal yaitu transisi dari massa sel proembriogenik menjadi ES dan
mengkoreksi pola bentuk embrionya. Pola bentuk embrio yang dihasilkan
melibatkan keseimbangan antara signal auksin, hemoglobin, nitrit oksida dan
kematian sel terprogram (Hill et al. 2013).
45

Gambar 16 Inisiasi embrio somatik serta tahapan perkembangan proembrio yang


berasal dari kalus terseleksi pada siklus seleksi pertama. A. Embrio
somatik muncul pada jaringan kalus tahan filtrat G. boninense (bar 1
mm), B. Proliferasi embrio somatik (bar 0.5 mm), C. Tahapan
perkembangan embrio somatik (bar 0,1 mm). : bagian nekrosis
kalus, :bagian regenerasi. : berbagai tahap perkembangan
embrio somatik; C1: globular; C2: skutelar; C3a: koleoptular tahap
awal; C3b: koleoptular tahap akhir

Struktur perkembangan embrio somatik kelapa sawit teramati pada


penelitian ini, yaitu globular, skutelar bentuk hati dan koleoptular (Gambar 16C).
Menurut Jimenez dan Thomas (2005) pada tahap koleoptular, embrio akan
mengalami pembesaran dan pematangan. Pembesaran embrio biasanya diikuti
dengan perubahan warna dari putih transparan menjadi warna putih susu yang
menunjukkan adanya akumulasi kompartemen penyimpanan cadangan makanan
sekaligus pengurangan kadar air jaringan. Pembentukan dinding primer sel embrio
somatik juga semakin intensif. Diferensiasi sel kalus menunjukkan adanya
pendewasaan sel yang mendorong peningkatan berat basah kalus. Konsentrasi
filtrat tertentu menciptakan kondisi cekaman yang memicu terjadinya ekspresi
pertahanan sel yang berinteraksi dengan jalur sinyal sel berhubungan dengan
embriogenesis.

Gambar 17 Berkas jaringan proembrio pada irisan tipis jaringan kalus


embriogenik kelapa sawit. : jaringan meristematis
proembrio; : jaringan parenkim kalus; : jaringan
epidermis mengalami nekrosis. Bar 1 mm
46
Irisan tipis jaringan kalus embriogenik kelapa sawit menunjukkan telah
terkandung kumpulan sel meristematis yang bersifat embriogenik (Gambar 17).
Jaringan sel tersebut dapat dibedakan dengan jaringan sel lainnya yaitu pada
kerapatan selnya serta ukuran selnya. Kelompok sel-sel meristematis membentuk
agregat terpisah satu dengan yang lainnya, agregat sel yang meristematis tersebut
disebut proembrio. Menurut Jakubekova et al. (2011) kelompok jaringan
meristematis sering terlihat pada bagian periferal kalus. Apabila telah terbentuk
struktur awal globular maka agregat jaringan sel tersebut akan diikuti dengan
pembentukan lapisan protodermis yang meliputi agregat jaringan sel sehingga
pada tahap akhir globular agregat telah terpisah dari sel kalus asal.

Gambar 18 Perkecambahan embrio menjadi tunas in vitro hasil seleksi pada


konsentrasi 32% (v/v) disiklus ke IV. (A) Tunas in vitro terpisah dari
clump kalus; (B) Struktur tunas in vitro terlihat jelas bagian plumula
dan radikula (Bar 1 mm)

Gambar 19 Tahap perakaran tunas in vitro kelapa sawit putatif tahan G.


boninense (A) tunas in vitro dalam tahap pertumbuhan tunas; (B)
Tunas dalam tahap perakaran (Bar 1 cm)

Berdasarkan bentuk morfologi tunas yang terbentuk, terlihat pada bagian


radikula yang terlah berkembang terlepas dari jaringan kalus asal dan adanya
berkas jaringan penghubung (plasenta) (Gambar 18). Hal tersebut mengindiksikan
47
bahwa jaringan tunas berasal dari galur sel tunggal. Pada kebanyakan embrio
somatik kelapa sawit terbentuk dalam satu klam kalus, sehingga bagian basal
tunas (radikula) perlu dipisahkan sedangkan pada penelitian ini dikerjakan tanpa
perlu pemisahan.
Pembelahan sel meristem dengan cepat dapat menginduksi terjadinya
kesalahan replikasi DNA apabila kesalahan terjadi tanpa mampu diperbaiki oleh
sistem maka mutasi dapat terjadi. Sel termutasi berpeluang besar terdapat pada
jaringan kalus oleh karena sifat pembelahanya yang cepat dan tidak terarah. Jenis
mutasi tertentu pada kalus diduga tahan terhadap cekaman fisiologis filtrat G.
boninense sehingga sel atau agregat sel tersebut tetap tumbuh dan berkembang.
Setelah diperoleh tunas in vitro, kemudian tunas dipindahkan ke media
pertumbuhan tunas. Tunas yang tumbuh pada ruang terang sehingga membentuk
klorofil pada daun (Gambar 19). Saat tinggi tunas telah mencapai 8 cm tunas akan
diseleksi berdasar bentuk tunasnya dan dipindahkan pada media perakaran.
Inkubasi dilakukan di ruang terang sekitar 2 bulan.

Penentuan Peubah Respons Biokimia Kalus Terseleksi


Dua populasi kalus terseleksi dengan kalus kontrol menunjukkan
perbedaan level aktivitas fenilalanina amonia liase dan peroksidase (Tabel 12).
Kalus terseleksi menunjukkan peningkatan level aktivitas enzim POD dan PAL
dibandingkan dengan kalus kontrol, masing-masing sebesar 21.31% dan 100.26%.
Media filtrat mendorong peningkatan aktivitas enzim POD nyata dibandingkan
pada media kontrol. Interaksi asal kalus dan jenis media memberikan pengaruh
nyata terhadap aktivitas enzim kitinase.

Tabel 12Pengukuran aktivitas enzim kitinase, fenilalaninina amonia liase dan


peroksidase berdasarkan asal kalus dan media induksi
Perlakuan Kitinase PAL POD
a
Aktivitas enzim (unit/ml/menit)
Asal kalus
Terseleksi (KT) 0.016a 0.025a 0.143a
Tidak diseleksi (KK) 0.016a 0.012b 0.118b
Media (B)
EC1-18 tanpa filtrat (NF) 0.016a 0.019a 0.121b
EC1-18 dengan filtrat (F4) 0.017a 0.018a 0.141a
Interaksi (A x B)
F4KK 0.019a 0.014a 0.129a
F4KT 0.018a 0.023a 0.153a
NFKT 0.015ab 0.027a 0.134a
NFKK 0.013b 0.011a 0.108a
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5 % (uji selang berganda Duncan)

Peningkatan level aktivitas enzim POD, PAL, dan kitinase pada kalus
terseleksi mengindikasikan dua aspek, yaitu peningkatan ketahanan terinduksi
48
elisitor dan biomarker embriogenesis somatik. Peran elisitor cendawan
menginduksi peningkatan level aktivitas enzim PAL, POD atau NAGase pada
famili Arecaceae telah dilaporkan pada bibit Cocos nucifera L. (Karthikeyan et al.
2010), bibit Elaeis guineensis Jacq. (Naher et al. 2012) dan bibit Phoenix
dactylifera L.(Khaled et al. 2012).
Lingkungan patosistem dalam proses infeksi G. boninense sering
menimbulkan cekaman oksidatif. Kondisi itu pada kalus ditunjukkan oleh gejala
pencokelatan sebagai akibat terbentuknya radikal bebas dari kalus sendiri maupun
dari filtrat (Gambar 20). Tay et al. (2009) melaporkan bahwa respons biokimia
diawal infeksi G. boninense pada tanaman kelapa sawit yang ditunjukkan dari
peningkatan signifikan aktivitas POD dan PAL.
Saat kondisi cekaman fisiologis terjadi pada jaringan tanaman sering
ditemukan akumulasi H2O2. Hidrogen peroksida yang terakumulasi menjadi
sinyal awal cekaman biotik maupun abiotik dalam jumlah berlebihan pada sel
hidup bersifat toksin. Peroksidase merupakan salah satu sistem detoksifikasi pada
tanaman selain katalase, glutation peroksidase dan superoksida dismutase.
Peroksidase pada tanaman Padi diketahui mempunyai fungsi sebagai pertahanan
dalam polimerisasi monolignol membentuk polimer lignin melalui interaksi antara
lakase dan peroksidase (Passardi et al. 2004). Sebagai biomarker, peningkatan
peroksidase diperlukan dalam detoksifikasi H2O2 selama proses akusisi selular ke
tahap embriogenik kompeten (Ma et al., 2012).
Media induksi menunjukkan berpengaruh pada peningkatan level aktivitas
enzim PAL yang berbeda dengan populasi kalus kontrol. Enzim PAL merupakan
enzim yang penting pada tanaman yang mampu mengkonversi L-fenilalanina
menjadi asam trans-sinamik yang merupakan prekursor awal terbentuknya
fenilpropanoid yang selanjutnya membentuk fenol, flavonoid dan kumarin
(Schuster dan Rjetey 1995; Foyer dan Noctor 2005). Pada tahap lebih lanjut dapat
terbentuk fitoaleksi yang merupakan komponen senyawa pertahanan aktif kelapa
sawit (Zain et al. 2013; Tahir et al. 2013).

Gambar 20 Kalus terseleksi dan kontrol setelah 3 hari inkubasi untuk uji biokimia
aktivitas enzim peroksidase, PAL dan kitinase. (A) Kalus kontrol; (B)
Kalus terseleksi. Bar : 1 cm

Peningkatan aktivitas enzim PAL menunjukkan peningkatan produksi


senyawa anti oksidan seperti fenol terlarut (Sagwan et al. 2011). Sistem
pertahanan tanaman tersebut menunjukkan sistem antioksidan non enzim (Mazid
et al. 2011). Suatu genotipe kelapa sawit tahan diduga akan menunjukkan level
ekspresi enzim PAL tinggi dibandingkan dengan genotipa yang rentan.
49
Aktivitas enzim kitinase pada kalus terseleksi menunjukkan hasil interaksi
antara asal kalus dengan media induksi. Hal tersebut menunjukkan peningkatan
kitinase lebih dipengaruhi adanya induksi eksternal, bukan bersifat konstitutif.
Enzim kitinase memiliki kemampuan mendegradasi dinding sel cendawan melalui
hidrolisis monomer kitin (Collinge et al. 1993). Laporan Tay et al. (2009)
menunjukkan enzim kitinase tidak mengalami peningkatan pada bibit kelapa sawit
terinfeksi G. boninense.
Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan terjadi peningkatan aktivitas
enzim kitinase pada tanaman terinfeksi G. boninense (Naher et al. 2012).
Selanjutnya, aktivitas kitinase juga meningkat oleh infeksi Trichoderma
harzianum pada kelapa sawit. Hal ini berarti aktivitas kitinase pada tanaman
kelapa sawit kurang sesuai digunakan sebagai indikator ketahanan. Sebagai
biomarker embriogenesis somatik kehadiran fraksi kitin berupa N-
acetyglucosamine (GlcNAc) diduga dapat menginduksi aktivitas kitinase kalus,
sekaligus meningkatkan kapasitas embriogenik kalus (Fraterova et al., 2013).
Pemberian filtrat cendawan pada kalus memberikan dua aspek yaitu seleksi dan
sekaligus regenerasi.

Simpulan

1. Metode modifikasi kultur patogen yang terbaik untuk mendapatkan agen


seleksi adalah menggunakan kultur filtrat patogen G. boninense dengan cara
sterilisasi melalui filtrasi membran.
2. Waktu panen filtrat G. boninense yang optimal diperoleh pada 15 hari setelah
inokulasi.
3. Konsentrasi letal filtrat G. boninense sebagai agen seleksi sebesar 40% (v/v)
dan konsentrasi subletal optimal filtrat adalah 32% (v/v) terhadap kalus
embriogenik kelapa sawit.
4. Siklus seleksi keempat merupakan siklus yang minimal untuk membedakan
kultur toleran dan intoleran terhadap filtrat G. boninense.
5. Pertahanan aktif kalus kelapa sawit terhadap filtrat G. boninense ditunjukkan
oleh peningkatan level aktivitas enzim peroksidase dan fenilalanin amonia
liease.
6. Tunas in vitro putatif tahan penyakit BPB diperoleh dari konsentrasi subletal
optimal sebanyak 6 tunas.
50
ANALISIS KANDUNGAN SENYAWA AKTIF DALAM
FILTRAT DAN RESPONS KALUS KELAPA SAWIT PADA UJI
TOKSISITAS FILTRAT Ganoderma boninense Pat.

Abstrak

Teknik seleksi in vitro menggunakan filtrat Ganoderma boninense


menyebabkan nekrosis jaringan kalus kelapa sawit. Filtrat G. boninense
diperkirakan mengandung senyawa toksin. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk
menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat G. boninense. penyebab nekrosis
sel kalus kelapa sawit. Untuk itu, tiga kegiatan dilakukan, meliputi (i) visualisasi
respons kalus terhadap filtrat, (ii) pengukuran senyawa aktif filtrat G. ganoderma,
dan (iii) menduga senyawa fitotoksin yang terlibat pada kebocoran elektrolit
jaringan kalus kelapa sawit. Kalus embriogenik kelapa sawit digunakan sebagai
bahan tanaman. Isolat G. boninense strain G3-11-U5 digunakan sebagai sumber
agen seleksi. Penentuan area nekrosis jaringan kalus menggunakan GNU Image
Manipulation Programe dipengaruhi oleh konsentrasi dan waktu pemaparan di
media seleksi. Analisis kimia kandungan filtrat G. boninense dan kontrol
menunjukkan perbedaan kandungan asam oksalat, ergosterol, total protein dan
total polisakarida. Analisis lintas menunjukkan bahwa kebocoran elektrolit kalus
disebabkan oleh asam oksalat dan kelompok senyawa protein.
Kata kunci:Analisis lintas, Asam oksalat, Elaeis guineensis, Kebocoran elektrolit,
Seleksi in vitro.

Abstract
In vitro selection technique using G. boninense filtrate caused oil palm
tissue callus necrotic. Ganoderma boninense filtrate was expected containing
toxic componds. The purpose of this study was to determine active component in
G. boninense filtrate culture that causes necrosis of oil palm cell. For that reason
above, three activities were done, include: (i) callus response visualization
against filtrate, (ii) measure G. boninense filtrate active compound, and (iii)
suspect phytotoxin compounds that involved on ion leakage of oil palm callus
tissue. Oil palm embryogenic callus was used as plant materials. Isolate G.
boninense G3-11-U5 strain was used as source of selection agent. Determination
of callus tissue necrosis area was done using the GNU Image Manipulation
Program. It was influenced by concentration and exposure time on selection
medium. Chemical analysis of G. boninense filtrate and control showed the
different content of oxalic acids, ergosterol, total polysaccharides and total
protein. Test results using Path analysis indicating that the callus tissue
electrolyte leakage caused by oxalic acid and protein compounds.
Keywords: Elaeis guineensis, Electrolyte leakage, In vitro selection, Oxalic acid,
Path analysis.
51
Pendahuluan

Untuk pengembangan teknik seleksi in vitro tahan penyakit BPB


diperlukan informasi mengenai virulensi G. boninense. Tingkat virulensi G.
boninense dalam kondisi in vitro sedapat mungkin menggambarkan kondisi
patosistem yang terbentuk saat infeksi dan kolonisasi G. boninense terjadi
dijaringan kelapa sawit. Dalam proses infeksi dan kolonisasi peranan berbagai
jenis senyawa aktif G. boninense masih sedikit dilaporkan.
Ganoderma boninense merupakan organisme saprofitik dan parasit yang
dapat tumbuh pada batang kayu mati ataupun tanaman hidup. Kapang ini dikenal
sebagai jamur pelapuk putih (white rot fungi) yang mempunyai kemampuan
mensekresikan enzim ekstraseluler. Enzim ekstraseluler pada cendawan pelapuk
kayu menyebabkan perombak serat kayu terutama lignin dan selulosa menjadi
molekul sederhana yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan energi dalam
pertumbuhan (Vares dan Hatakka 1997). Dalam proses infeksi Ganoderma spp.
diketahui mensekresikan berbagai enzim ekstraseluler yang diketahui berperan
dalam menguraikan serat kayu (Ariwibowo 1996).
Hifa cendawan patogen umumnya akan masuk ke dalam jaringan sel
inangnya atau menempel pada permukaan sel inangnya, saat terjadi kontak fisik
terjadi komunikasi kimiawi sehingga menimbulkan respons pengenalan oleh
tanaman. Infeksi cendawan nekrotopik atau hemibiotropik pada jaringan sel inang
akan direspons oleh tanaman seperti nekrosis jaringan sel.
Nekrosis berhubungan dengan akumulasi polifenol pada jaringan yang
sakit. Sel dalam konsidi tercekam dalam kurun waktu tertentu akan mengalami
kematian jaringan sel. Kematian jaringan sel dapat terprogram secara genetik
programe cell death (PCD) yang disebut apoptosis dan melalui mekanisme
nekrosis. Luasan nekrosis per satuan waktu menunjukkan keparahan serangan.
Karena itu, pengukuran keparahan serangan dapat dilihat dari lebar nekrosis yang
terbentuk.
Kompatermen vakuola sel merupakan tempat penyimpanan metabolit
sekunder salah satunya senyawa fenol. Kekacauan membran sebagai akibat
senyawa tertentu asal cendawan patogen menyebabkan senyawa tersebut
tersekresi keluar sel sehingga bereaksi dengan enzim polifenoloksidase pada
dinding sel. Enzim polifenoloksidase mampu mengoksidasi persenyawaan fenol
menjadi radikal fenol dan akhirnya menjadi kuinon.
Pewarna fast green atau safranin biasa digunakan untuk mewarnai dinding
sel tanaman yang mengalami nekrosis jaringan. Jika dinding sel berkelimpahan
fenol maka akan terwarnai merah yang menunjukkan adanya ikatan senyawa fenol
dengan pengemban warna pada safranin sedangkan pewarna fast green hanya
akan mewarnai dinding sel yang tidak mengandung fenol terlarut.
Kendala yang dihadapi dalam pengembangan seleksi in vitro untuk
ketahanan kelapa sawit terhadap G. boninense adalah sedikitnya informasi peran
faktor virulensi G. boninense. Menurut Griffin (1981) terdapat lima jenis
metabolit sekunder asal cendawan meliputi: senyawa poli atau oligosakarida,
polikitide, terpen, fenolik dan peptida asam amino. Zhu et al. (2009) melaporkan
bahwa metabolit sekunder yang dihasilkan G. boninense dapat digolongkan dalam
kelompok senyawa polar dan non polar. Kelompok polar diantaranya polisakarida,
protein, sedangkan kelompok non polar adalah triterpenoid dan asam lemak-
52
lanostreol. Informasi senyawa yang terlibat dalam patogenesitas G. boninense
akan berguna karena dapat menggambarkan kondisi patosistem yang terbentuk
dilapang saat G. boninense berhasil mengkolonisasi jaringan sel kelapa sawit.
Untuk itu perlu dilakukan pendugaan senyawa aktif yang berperan dalam proses
kolonisasi patogen dalam jaringan sel inang kelapa sawit.
Respons sel tanaman terhadap serangan patogen dapat berbentuk nekrosis
jaringan. Saat sebelum gejala nekrosis terlihat pada jaringan, gejala fisiologis
kebocoran elektrolit terjadi, yaitu ion-ion plasma sel tersekresi keluar sel lebih
besar daripada pada kondisi normal. Selektivitas atau permeabilitas membran sel
menjadi berkurang akibat keseimbangan sistem redoks secara seluler terganggu
dan jika cekaman terjadi terus menerus maka sel akan mati.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat
Ganoderma boninense Pat. yang terlibat dalam nekrosis sel kalus kelapa sawit.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan beberapa kegiatan, yaitu (i)
mendapatkan karakter fenotipik makroskopis dan mikroskopis jaringan sel
sebagai respons terhadap toksisitas filtrat. (ii) menetapkan kandungan senyawa
aktif dalam filtrat G. boninense dan (iii) menetapkan senyawa fitotoksin yang
terlibat dalam kebocoran elektrolit jaringan sel kalus kelapa sawit.

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2012 sampai dengan April 2013 di
Laboratorium Anatomi Tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Cibinong dan Laboratorium Proteomics-Metabolomics PT SMART tbk. Bahan
tanaman berupa kalus embriogenik kelapa sawit berumur sekitar 18 bulan yang
berasal dari kalus Tenera. Pada percobaan ini kalus kalus ditimbang dengan berat
setiap satuan percobaan sekitar 0.1 g.
Penelitian terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu uji toksisitas filtrat terhadap
kalus kelapa sawit berdasarkan karakter fenotipik pengamatan makroskopis dan
mikroskopis. Analisis kandungan senyawa aktif kultur filtrat Ganoderma dan
analisis kebocoran elektrolit jaringan sel kalus akibat terpapar filtrat.

Penyediaan sumber filtrat G. boninense


Kultur G. boninensis kode G3-11-U5 sebagai sumber senyawa agen seleksi.
Sebanyak satu inokulum (ɸ 5 mm) setiap 10 mL dibiakkan pada media produksi
filtrat YMB. Media YMB disimpan pada ruangan gelap dengan suhu 28 ± 2 oC
sampai saat panen. Panen filtrat dilakukan 15 HSI, dengan memisahkan miselium
dari media. Filtrat disaring menggunakan kain poliester 5 mesh (156 inch2),
kemudian disentrifugasi kecepatan 10,000 rpm pada suhu 4 oC selama 15 menit
kemudian diatur pH menjadi 5.8.
Sebagian filtrat digunakan untuk deteksi kebocoran ion jaringan kalus
sisanya digunakan untuk penetapan kandungan biokimia, yaitu asam-asam
organik, ergostrerol total polisakarida dan total protein.
53
Uji Toksisitas Filtrat Berdasarkan Karakter Makroskopis dan Mikroskopis
Uji toksisitas filtrat G. boninsense terhadap penampang jaringan kalus
embriogenik kelapa sawit dilakukan dalam dua tahapan, yaitu : (i) menggunakan
konsentrasi subletal filtrat 20%, 24%, 28%, 32%, 36%, dan konsentrasi letal 40%
(v/v), (ii) menggunakan perbedaan waktu cekaman dengan filtrat konsentrasi letal
filtrat 40% (v/v) dilakukan pengambilan sampel setiap hari selama 15 hari.
Pengambilan sampel kalus pada setiap pengamatan uji cekaman sebanyak satu
clump kalus.
Teknik mikrotom, yaitu pembuatan sayatan tipis jaringan kalus menurut
bidang melintang setebal 15-20 mikron dilakukan dengan alat mikrotom geser di
Laboratorium Histologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong.
Teknik mikrotom dengan parafin digunakan untuk mendapatkan sayatan tipis
spesimen jaringan sel kalus. Metode parafin menggunakan seri larutan Johansen
dengan Tertier Butil Alkohol (TBA) sebagai dehidran (Sass 1956). Metode ini
terdiri atas 10 tahap yaitu a) fiksasi, b) pencucian, c) dehidrasi, d) infiltrasi, e)
penanaman (blok), f) penyayatan, g) perekatan, h) pewarnaan, i) penutupan dan j)
pemberian label.
Tahap fiksasi (a) kalus difiksasi dalam larutan FAA (dengan perbandingan
5:5:90 Formaldehid, asam asetat glasial, etanol 70%) selama 24 jam. Tahap
pencucian (b), larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan etanol 50 % sebanyak
tiga kali masing-masing selama 0.5 jam. Tahap dehidrasi (c), dilakukan secara
bertahap dengan merendam kalus dalam larutan seri Jonsen sampai delapan tahap.
Tahap infiltrasi (d) dilakukan secara bertahap dalam botol yang awalnya
berisi 1/4 bagian xylol:parafin disimpan pada suhu kamar selama 3 jam (tutup
dibuka) kemudian disimpan dalam oven (58 oC) selama 12 jam (tutup dibuka) dan
selanjutnya seluruh parafin: xylol dituang, diganti dengan padafin cair murni ¼
bagian kalus. Cara yang sama dilakukan sampai seluruh bagian kalus kemudian
disimpan di dalam oven dengan suhu 58 °C selama 1 jam, selanjutnya kalus
tersebut siap diblok. Tahap penanaman (e), spesimen kalus pada tahap
sebelumnya dimasukan dalam parafin cair dan dibiarkan membeku.
Tahap penyayatan (e) blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan
disayat dengan mikrotom putar setebal 10 µm. Tahap perekatan (g), sayatan
direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi albumin-gliserin dan satu tetes air,
selanjutnya gelas objek tersebut dipanaskan pada hotplate dengan suhu 45 oC dan
fastgreen 0.5% dalam etanol 95%. Tahap pewarnaan (h), secara berturut-turut
gelas objek direndam ke dalam larutan pewarnaan (lampiran 36). Tahap
penutupan (i), bahan diberi media etellan atau canada balsam dan ditutup dengan
penutup kaca. Tahap pelabelan (j), dengan segera setelah penutupan kaca penutup
spesimen kalus ditandai label dengan cara ditempel pada satu sisi gelas objek.
Penyedian kalus embriogenik kelapa sawit

Analisis Kandungan Senyawa dalam Filtrat G. boninense


Penetapan kandungan senyawa kimia dalam filtrat mencakup asam–asam
organik, ergosterol, total polisakarida dan total protein. Penetapan kadar asam-
asam organik dan ergosterol dilakukan menggunakan perangkat alat UPLC Water.
Penetapan kadar total protein dan total polisakarida menggunakan perangkat alat
spektofotometer double beam Hitachi.
54
Analisis Konsentrasi Asam-Asam Organik
Pengukuran kadar asam-asam organik dilakukan secara simultan meliputi:
asam α-ketoglutarat, asam oksalat, asam malat dan asam sitrat. Analisis asam-
asam organik menurut metode Schilling (2006) dengan modifikasi. Sebanyak 5
mL filtrat diatur tingkat kemasamannya menjadi 2.2 dengan penambahan
beberapa tetes HCl 0.1 N. Selanjutnya diambil sebanyak 2 mL filtrat dan
disentrifugasi sebanyak dua kali dengan kecepatan 7.000 rpm selama masing-
masing 10 menit. Arang aktif ditambahkan kedalam filtrat dalam rasio 2:1 (w/v)
kemudian campuran divortek sampai homogen dilanjutkan dengan disentrifugasi
1,000 rpm selama 1 jam pada suhu kamar. Campuran disentrifugasi dengan
kecepatan 7,000 rpm sebanyak dua kali selama sepuluh menit. Sebanyak 1 mL
supernatan digunakan untuk penetapan kandungan asam organik
Kondisi pengukuran UPLC menggunakan kolom Water Acquity UPLC
BEH C18 (2.1 mm x 50 mm, particle size 1.7 µm), volume injeksi 1 µL,
temperatur kolom suhu ruang, detektor photo diode array (PDA) λ 210 nm, flow
rate 0.1 mL/menit, fase gerak air double destilasi pH 2.5 dengan H2SO4 waktu
retensi 4.5 menit.

Analisis Konsentrasi Ergesterol


Analisis asam-asam organik menurut metode Mohd-As’wad et al. (2011)
dengan modifikasi. Analisis ergosterol dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
filtrat dilarutkan dalam metanol dengan perbandingan 1:5 (v/v), sebanyak 10 mL
dipekatkan melalui penangas air dan dihomogenkan dengan sonifikasi pada suhu
60 oC selama 20 menit sampai tersisa 1 mL. Larutan kemudian ditambahkan
kembali metanol pada perbandingan 1:3 (v/v). Campuran kemudian dishaker
dengan kecepatan 200 rpm selama 30 menit dan didiamkan selama 10 menit,
sebanyak 1 mL lapisan suspensi bagian atas dipisahkan dengan pipet dan
disentrifugasi 11,000 rpm selama 10 menit. Kandungan senyawa ergesterol dalam
sampel diukur dengan UPLC.
Kondisi pengukuran UPLC menggunakan kolom Water Acquity UPLC
BEH C18 (2.1 mm x 50 mm, particle size 1.7 µm), volume injeksi 1 µL,
temperatur kolom 40 oC, detektor photo diode array (PDA) λ 282 nm, flow rate
0.1 mL/menit, fase gerak metanol 0:100 dengan waktu retensi 5 menit.

Analisis Konsentrasi Total Polisakarida


Analisis total polisakarida dilakukan menurut metode Dubois et al. (1956)
Total polisakarida ditetapkan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 0.5 mL filtrat
dicampur dengan larutan fenol 4% dan digoyang perlahan. Larutan ditambah
H2SO4 pekat sebanyak 2.5 mL digoyang perlahan dan didiamkan selama 30 menit.
Larutan diencerkan 100 kali dan divortek hingga homogen, dilanjutkan dengan
pengukuran kandungan total polisakarida. Pengukuran dilakukan dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang A490 dengan standar β-Glukan.

Analisis Konsentrasi Total Protein


Pengukuran konsentrasi total protein terlarut dilakukan menurut metode
Lowry et al. (1951). Sebanyak 0.2 mL filtrat dilarutkan dengan 1.125 mL larutan
C kemudian divortek dan diamkan selama 10 menit. Sebanyak 0.375 mL larutan
D ditambahkan ke dalam larutan, divorteks sampai homogen dan diamkan selama
55
2 jam. Kandungan total protein ditetapkan dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang A420 dengan standar protein albumin.

Evaluasi Kebocoran Elektrolit Sel Kalus Kelapa Sawit


Evaluasi kebocoran elektrolit sel kalus dilakukan menurut metode Arvin dan
Donnelly (2008) dengan modifikasi. Peralatan yang digunakan berupa
konduktivitimeter, termometer dan ruang inkubasi. Pengukuran kebocoran
elektrolit sel dilakukan dengan RAL satu faktor yaitu konsentrasi filtrat dengan
lima konsentrasi penduga subletal filtrat G. boninense, yaitu : 20%, 24%, 28%,
32%, 36%, dan 40% (v/v) serta media tanpa filtrat sebagai kontrol dan masing-
masing diulang sepuluh kali.
Kalus embriogenik sebanyak 0.1 g dibilas dengan air double destilasi
sebanyak dua kali, kemudian direndam dalam tabung yang berisi filtrat masing-
masing 5 mL sesuai konsentrasi perlakuannya. Tabung yang berisi perlakuan
disimpan dalam lemari pendingin pada suhu antara 8 sampai 10 oC selama ± 24
jam. Filtrat dari masing-masing perlakuan dibuang diikuti dengan pembilasan
kalus dengan air doubel destilasi. Selanjutnya kalus direndam kembali dalam air
doubel destilasi dan disimpan dalam lemari pendingin suhu 8 sampai 10 oC
selama ± 24 jam. Pengukuran konduktivitas larutan dari air randaman kalus
dilakukan pada masing-masing ulangan sebelum dan sesudah diautoklaf.

Persentase kebocoran elektrolit diukur dengan formula :


(1-((1-T1/T2)/(1-K1/K2)) x 100 %
T1 :konduktivitas air saat sebelum diautoklaf pada perlakuan
T2 :konduktivitas air setelah diautoklaf pada perlakuan
K1 :konduktivitas air saat sebelum diautoklaf pada kontrol
K2 :konduktivitas air saat setelah diautoklaf pada kontrol

Analisis Data

Penghitungan luas area nekrosis pada spesimen jaringan kalus dilakukan


dengan cara menghitung jumlah piksel warna area nekrosis sebagai warna merah
sdan warna hijau sebagai area jaringan sehat. Spesimen jaringan kalus difoto
dengan pembesaran 20 x dengan mikroskop cahaya Nikon Eclipse 50i. Data
digital gambar kemudian diolah dengan program pengolahan gambar GNU Image
Manipulation Program (GIMP 1.2). Area bagian gambar warna merah dan area
warna hijau secara terpisah dapat dideteksi jumlah pikselnya. Perbandingan
jumlah pisel area merah dengan jumlah piksel total area merah dan hijau
merupakan persen area nekrosis.
Komponen biokimia filtrat berupa asam oksalat, ergosterol, total protein
dan total polisakarida diduga berhubungan dengan respons kalus terhadap kondisi
cekaman oleh filtrat G. boninense yaitu adanya kebocoran elektrolit. Gugus data
konsentrasi asam oksalat, ergosterol, total protein dan total polisakarida dianggap
sebagai faktor eksogen dan kebocoran elektrolit kalus sebagai faktor endogen
Korelasi antar peubah menggunakan korelasi Pearson (Steel dan Torie 1980).
Besarnya pengaruh faktor eksogen terhadap faktor endogen kemudian dianalisis
dengan analisis lintas (Sarwono 2012).
56

Kultur kelapa sawit : Isolat G. boninense paling


Kalus embriogenik remah virulen G3-11-U5

Kultur filtrat

Evaluasi pengaruh fitotoksin filtrat G.


boninense terhadap kalus

Karakter visual makroskopis dan Analisis kandungan biokimia


mikroskopis jaringan dengan teknik Filtrat terkait patogenesitas
pewarnaan (mikrotome)
Perbandingan kandungan biokimia
Analisis digital gambar jumlah antara media YMB tanpa dan dengan
pisel warna merah dan hijau inokulasi G. boninense

Penampang jaringan nekrosis kalus


terpapar filtrat menurut lama pemaparan Kandungan senyawa filtrat
dan konsentrasi filtrat G. boninense

Karakter fisiologis sel dalam


cekaman melalui uji kebocoran
elektrolit sel kalus

Analisis lintas kandungan


senyawa filtrat terhadap nilai
kebocoran elektrolit kalus

Putative senyawa fitotoksin filtrat


G. boninense

Gambar 21 Alur kerja evaluasi pengaruh fitotoksin filtrat G. boninense


terhadap kalus kelapa sawit
57
Hasil dan Pembahasan

Uji Toksisitas Filtrat Berdasarkan Karakter Makroskopis dan Mikroskopis


Pencokelatan kalus kelapa sawit terjadi setelah pemaparan ke dalam media
yang mengandung filtrat G. boninense yang diduga terjadi karena filtrat G.
boninense. Pencokelatan kalus terlihat pada 3 hari setelah inokulasi (HSI), yang
ditandai oleh berkas warna cokelat di sekitar media kalus. Pencokelatan pada
kalus menunjukkan gejala nekrosis jaringan sel setelah 2 bulan (Gambar 22).
Pencokelatan terjadi secara bertahap, beberapa kultur teramati mengalami
pencokelatan setelah 3 HSI. Pencokelatan umumnya akan terlihat pada satu
minggu setelah inokulasi pada media seleksi, tingkat kepekatan warna juga
meningkat dengan bertambahnya waktu (Gambar 23). Awalnya pencoklatan
terlihat pada umur satu minggu setelah inokulasi, berkas coklat tipis mulai
tersebar ke media disekitar kalus. Berkas cokelat terlihat semakin nyata menyebar
pada media, yaitu pada minggu ketiga dan pada minggu selanjutnya.

Gambar 22 Penampang makroskopis jaringan sel clump kalus kelapa sawit. (A)
sebelum pemaparan pada media filtrat; (B) kalus mengalami
pencokelatan (nekrosis) setelah pemaparan. Bar : 0.5 mm.

Gambar 23 Penampang makroskopis clump kalus kelapa sawit yang mengalami


perubahan warna cokelat selama 2 bulan. (A) 1 minggu setelah
pengkulturan (MSP); (B) 2 MSP, (C) 3 MSP, (D) 4 MSP, (E) 5 MSP,
(F) 6 MSP, (G) 7 MSP, dan (H) 8 MSP
58
Pengamatan penampang tranversal jaringan kalus mengindikasikan
penambahan luas area nekrosis. Hal itu ditunjukkan oleh pertambahan luas area
warna merah (Gambar 24). Warna merah pada penampang transversal jaringan
kalus menunjukkan jaringan menghasilkan senyawa fenol yang bereaksi dengan
zat warna safranin sedangkan luas area jaringan hidup ditunjukkan warna hijau
fast green. Pengamatan jaringan transversal kalus pada umur 1 hari
memperlihatkan hanya sedikit lapis sel epidermis mengalami pencokelatan, yaitu
sekitar 0.3% dari total area penampang jaringan kalus mengalami pencoklatan
(Tabel 13).

Tabel 13Pengaruh dual kultur terhadap pencokelatan kalus, penurunan jumlah


regenerasi kalus dan penurunan berat basah kalus

Perlakuan Area warna irisan tipis jaringan sel kalus


(Hari) Hijau Merah Hijau Merah Total
Jumlah (Piksel) Luas (%)
1 132,537 444 99.66 0.33 132,981
2 121,298 5,132 95.94 4.06 126,430
3 150,914 5,771 96.32 3.68 156,685
4 158,818 2,045 98.73 1.27 160,863
5 139,618 4,690 96.75 3.25 144,308
6 204,544 15,497 92.96 7.04 220,041
7 131,957 24,324 84.44 15.56 156,281
8 227,183 34,670 86.76 13.24 261,853
9 210,640 19,678 91.46 8.54 230,318
10 73,427 51,267 58.89 41.11 124,694
11 123,004 65,525 65.24 34.76 188,529
12 37,385 88,083 29.80 70.20 125,468
13 47,756 59,981 44.33 55.67 107,737
14 60,296 38,859 60.81 39.19 99,155
15 65,384 34,860 65.22 34.78 100,244

Luas area warna merah tertinggi diperoleh pada 12 HSI, yaitu sebesar
70.20% dari total area penampang kalus, sedangkan pada pengamatan 15 HSI luas
area merah lebih kecil hanya 34.78%. Hal ini menunjukkan luas area warna merah
kurang konsisten apabila didasari asumsi awal bahwa luas area merah akan
bertambah seiring waktu kalus terpapar filtrat pada media seleksi. Bentuk kalus
dalam kisaran diameter 0.1- 0.5 mm menunjukkan keragaman bentuk clump kalus,
Bentuk clump kalus yang berbeda-beda dapat dilihat dari banyaknya lekukan atau
lipatan. Clump kalus yang memiliki lipatan yang banyak memiliki kecenderungan
mudah mengalami nekrosis, karena luas permukaan yang luas menyebabkan daya
infiltrasi toksin atau elisitor menjadi lebih baik.
59
Luas area merah yang berbeda pada tiap clump dapt disebabkan oleh
adanya variasi somaklonal pada setiap clump kalus. Karena itu terjadi perbedaan
daya tahan masing-masing clump kalus terhadap filtrat. Keseluruhan pengamatan
dengan pengolahan gambar, luas area warna merah cenderung bertambah sejalan
dengan waktu kalus terpapar filtrat.

Gambar 24 Penampakan irisan tipis transversal jaringan kalus kelapa sawit yang
menunjukkan perubahan warna (nekrosis) akibat pengaruh waktu
inkubasi pada media filtrat 40% (v/v). (A) – (O) : 1 – 15 hari setelah
pengkulturan (HSP). Bar 0.5 mm
60

Gambar 25 Penampakan transversal irisan tipis jaringan kalus kelapa sawit yang
menunjukkan nekrosis akibat pengkulturan pada media filtrat pada
konsentrasi pendugaan subletal dan letal (A) konsentrasi 20%, (B)
24%, (C) 28%, (D) 32%, (E) 36% dan (F) 40% (v/v). Bar = 1 mm

Pengamatan irisan transversal pada kalus menunjukkan adanya pengaruh


konsentrsai filtrat terhadap proses pencokelatan jaringan kalus. Hasil pengolahan
gambar dengan program GIMP menunjukkan area nekrosis dipengaruhi
perbedaan konsentrasi filtrat (Gambar 25). Semakin tinggi konsentrasi filtrat
semakin luas area nekrosis jaringan kalus terjadi (Tabel 14). Hal ini membuktikan
bahwa filtrat mengandung komponen virulensi G. boninense.

Tabel 14Pengaruh konsentrasi penduga sub letal dan letal filtrat terhadap luas
area nekrosis jaringan kalus kelapa sawit
Konsentrasi filtrat Area warna irisan tipis jaringan sel kalus
% (v/v) Hijau Merah Hijau Merah Total
Jumlah (Piksel) Luas (%)
20 67,114 15,992 80.76 19.24 83,106
24 56,453 28,013 66.84 33.16 84,466
28 50,550 24,427 67.42 32.58 74,977
32 29,249 25,545 53.38 46.62 54,794
36 18,376 32,002 36.48 63.52 50,378
40 13,296 21,506 38.20 61.80 34,802

Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi filtrat 20% memiliki


jumlah piksel pada warna merah paling kecil, yaitu sebesar 19.2%. Jumlah piksel
area merah paling besar pada konsentrasi 36%. Walaupun peningkatan jumlah
piksel warna merah kurang konstan namun terdapat cenderungan peningkatan
secara linear. Hal ini berarti semakin tinggi konsentrasi filtrat terdapat
kecenderungan semakin luas area nekrosis yang terbentuk.
61
Sejalan dengan hasil pengamatan histologi di atas, hasil pengamatan visual
pada kalus terseleksi disiklus seleksi pertama menunjukkan pengaruh konsentrasi
filtrat terhadap proliferasi embrio somatik (Gambar 26). Hasil pengamatan visual
menunjukkan kecenderungan terjadi penghambatan proliferasi embrio somatik
sejalan dengan peningkatan konsentrasi filtrat. Pada konsentrasi 20% filtrat
embrio yang terbentuk berwarna putih dan menunjukkan proliferasi yang baik.
Namun pada konsentrasi 40% warna embrio cenderung cokelat dan menunjukkan
proliferasi yang kurang baik. Hal ini berarti semakin tinggi konsentrasi filtrat
maka terjadi penurunan kuantitas dan kualitas embrio somatik pada kalus
terseleksi.

Gambar 26 Embrio somatik pada kalus terseleksi pada siklus seleksi I (A)
konsentrasi filtrat 20%, (B) 24%, (C) 28% , (D)32%, E) 36% dan (F)
40% (v/v). ( ) embrio somatik. Bar = 1 mm

Berkas protoplasma pada irisan tipis jaringan kalus setelah terpapar filtrat G.
boninense menunjukkan jaringan sel mengalami nekrosis berwarna merah dan
tidak mengalami nekrosis berwarna hijau (Gambar 27). Berkas protoplasma masih
terlihat pada irisan jaringan kalus yang tidak mengalami nekrosis (Gambar 27B).
Berkas protoplasma terdegradasi, demikian juga bagian dinding sel primer, hal
tersebut berarti filtrat G. boninense mampu mendorong kerusakan dinding sel
primer serta membran plasma (Gambar 27C ).
Kerusakan struktur pada area jaringan yang mencokelat pada kalus diduga
sesuai hipotesis awal disebabkan oleh senyawa toksin/enzim atau elisitor pada
filtrat. Filtrat yang mengandung enzim tertentu dapat menginduksi kerusakan
struktural jaringan sel seperti dinding sel, membran sel atau organel sel. Toksin
yang terkandung dalam filtrat dapat mengganggu bagian membran plasma sel atau
membran organel sel.
Elisitor mempengaruhi sinyal pertahanan sel tanaman yang menyebabkan
sel kalus akan mengaktifkan sistem pertahanannya. Sel kalus menangkap sinyal
asal filtrat sebagai cekaman sehingga kalus akan menghasilkan aktif oksigen
spesies (AOS) (Bhattacharjee 2005). Adanya AOS menyebabkan membran
vakuola terganggu sehingga secara intensif fenol terlepas keluar sel, kelebihan
fenol dapat bersifat toksik bagi sel tanaman atau sel kapang. Seringkali kelebihan
fenol tersebut menimbulkan kematian jaringan yang disebut nekrosis.
62
Untuk mengurangi efek toksik dari fenol, tanaman menghasilkan enzim
polifenoloksidase yang bekerja mengoksidasi senyawa fenol menjadi kuinon dan
H2O2 sehingga mudah didegradasi lebih lanjut (Michalak 2006). Kuinon
dioksidasi oleh enzim peroksidase melibatkan H2O2 menghasilkan radikal fenol
yang selanjutnya berpolimerisasi menjadi senyawa berwarna cokelat.
Bertambahnya area nekrosis pada kalus menunjukkan proses kematian jaringan
dapat menular kebagian dalam jaringan sel kalus lainnya. Peran enzim
polifenoloksidase mengoksidasi fenol dan menghasilkan H2O2 diduga
berpengaruh terhadap jaringan bagian kalus lainnya.

Gambar 27 Irisan tipis jaringan sel kalus kelapa sawit terpapar filtrat G. boninense
(A) Penampang irisan radial jaringan terinduksi nekrosis (Bar 0.1 mm)
(B) normal (Bar 0.01 mm) dan (C) nekrosis (Bar 0.01 mm)

Adanya kerusakan struktur sel oleh H2O2 menyebabkan luasan nekrosis


semakin bertambah sejalan dengan waktu pengamatan. Aksi difusi toksin dalam
jaringan kalus menyebabkan kerusakan jaringan semakin meluas. Sifat toksin
yang mengganggu fisiologis sel dan menimbulkan cekaman oksidatif pada
jaringan sel. Difusi toksin ke dalam jaringan kalus akan semakin meningkat
dengan bertambahnya waktu pemaparan kalus pada media yang mengandung
filtrat.
Area nekrosis yang meluas dapat disebabkan oleh aksi dari elisitor dalam
filtrat yang memicu program kematian sel. Kematian sel terprogram akan
memproduksi aktif oksigen spesies yang dihasilkan oleh sel kalus itu sendiri. Hal
ini dapat dikatakan kondisi oksidatif dalam jaringan kalus timbul oleh adanya
filtrat. Aktif oksigen spesies merupakan pemicu terjadinya program kematian sel,
respons hipersensitif berupa nekrosis merupakan salah satu mekanisme tersebut.
Respons tersebut merupakan bentuk pertahanan jaringan kalus terhadap cekaman.

Pengukuran Asam Organik pada Filtrat G. boninense


Hasil analisis kromatografi fitrat G. boninense menunjukkan kandungan
asam-asam organik terlihat pada puncak grafik (Gambar 28). Deteksi asam α-
ketoglutarat, asam oksalat, asam malat dan asam sitrat yang dilakukan secara
simultan. Kandungan asam α-ketoglutarat pada filtrat ditunjukkan oleh puncak
kromatogram pada waktu retensi 0.50 menit dan terdeteksi puncak kromatogram
asam oksalat, asam malat dan asam sitrat masing-masing pada 0.90, 1.00 dan 1.10
menit. Golongan cendawan busuk putih termasuk diantaranya Ganoderma sp
telah diteliti dan diketahui mensekresikan asam karboksilat diantaranya asam
oksalat, format, glioksilat dan malat (Makela et al. 2002; Elissetche et al. 2006).
63

Gambar 28 Kromatogram asam α-ketoglutarat, asam oksalat, asam malat dan


asam sitrat yang dikandung dalam filtrat G. boninense

Hasil pengukuran kandungan asam-asam organik dalam filtrat G. boninense


dari setiap titik panen filtrat dan kontrol (Gambar 29). Pola grafik asam-asam
organik pada setiap titik panen menunjukkan kecenderungan meningkat baik pada
kontrol maupun fitrat. Media kontrol yang berupa media YMB tanpa inokulasi G.
boninense sedang filtrat merupakan media YMB dengan inokulasi. Apabila
dibandingkan antara filtrat dan kontrol maka pola grafik pada masing-masing
asam organik menunjukan pola yang sama, namun pola sedikit berbeda pada
grafik asam oksalat.
Komponen asam-asam organik pada metabolisme asam karboksilat
melibatkan beberapa senyawa salah satunya asam sitrat, asam α-ketoglutarat,
asam malat dan asam oksaloasetat. Umumnya dalam siklus asam kaboksilat hanya
asam oksalat yang disekresikan keluar sel dalam jumlah besar (Mekela 2009).
Pola grafik kandungan asam sitrat, α-ketoglutarat, malat pada filtrat dan kontrol
menunjukkan pola yang relatif sama, kandungan asam organik tersebut diduga
berasal dari media YMB sendiri. Bahan dasar media YMB antara lain adalah
ekstrak malt dan ekstrak yeast diduga mengandung asam sitrat, asam α-
ketoglutarat dan asam malat sehingga terdeteksi pada media kontrol.
Kandungan asam oksalat terdeteksi pada fitrat dan pada beberapa titik
pengamatan pada kontrol. Perbedaan tersebut ditunjukkan oleh pola grafik pada
filtrat yang menunjukan asam oksalat terdeteksi pada titik panen 6, 9, 12, 15 dan
18 hari setelah inokulasi G. boninense pada filtrat. Asam oksalat dianggap tidak
terdeteksi pada titik panen filtrat 3, 21, 24, 27 dan 30 HSI oleh karena antara
filtrat dan kontrol memiliki kandungan yang sama. Asam oksalat dianggap
terdeteksi mulai titik panen 6 HSI dan mengalami peningkatan paling tinggi pada
titiik panen 9 HSI, kemudian menurun pada panen 12 dan 15 HSI. Kandungan
asam oksalat meningkat kembali pada panen 18 HSI kemudian turun kembali
pada panen 21, 24 dan 27 HSI, dan kembali naik pada panen 30 HSI.
Asam oksalat (COOH) merupakan asam organik (dikarboksilat) yang paling
sederhana dan ditemukan pada hampir seluruh jenis organisme termasuk
tumbuhan, hewan, bakteri dan jamur. Pada jamur oksalat disintesis oleh dua jenis
enzim intraseluler, yaitu glioksilat dehidrogenase (GLOXDH) dan oksaloasetase
(OXA) (Munir et al. 2001). Enzim-enzim ini menggunakan senyawa-senyawa
perantara yang terlibat dalam siklus asam karboksilat (siklus Krebs) dan glioksilat
64
(siklur Kornberg). Reaksi dikatalisis oleh kedua enzim ini adalah reaksi glioksilat
menghasilkan oksalat dan oksaloasetat menghasilkan oksalat dan asetat (Munir et
al. 2001).
Pola grafik menurun dan menaik pada asam oksalat diduga dipengaruhi oleh
produksi enzim oksalat dekarboksilase yang dihasilkan oleh koloni G. boninense
dan diskresikan dalam media YMB. Salah satu anggota kelompok kapang pelapuk
putih seperti Phabia radiata dan Dichomitus squalens terbukti mensekresikan
enzim oksalat dekarboksilase ke dalam media tumbuhnya (Makela 2009). Enzim
oksalat dekarboksilase merupakan satu sistem detoksifikasi pada kapang pelapuk
putih. Asam oksalat yang berlebihan bersifat racun terhadap koloni sehingga perlu
didegradasi menjadi senyawa yang tidak beracun.

Gambar 29 Pola kandungan asam-asam organik dalam filtrat pada setiap waktu
panen filtrat ( ) perlakuan filtrat; ( ) kontrol YMB. (i) asam
sitrat; (ii) asam α-ketoglutarat; (iii) asam malat; (iv) asam oksalat
.
Asam oksalat akan diubah menjadi CO2 dan air oleh enzim oksalat
dekarboksilase (Makela et al. 2002) . Berdasarkan pola gafik asam oksalat diduga
enzim oksalat dekarboksilase disekresikan setelah 9 HSI oleh G. boninense.
Beberapa enzim lain yang berperan dalam perombakan asam oksalat, seperti
enzim oksalat oksidase dan oksalat CoA-dekarbosilase. Pengukuran kandungan
asam organik filtrat untuk uji kebocoran ion kalus (Tabel 15). Hasil pengukuran
menunjukkan kandungan asam α-ketoglutarat dan sitrat pada filtrat dan kontrol
menunjukkan tidak berbeda nyata, sedangkan pengukuran asam malat dan oksalat
berbeda nyata. Hal ini diperkirakan asam malat dan oksalat disekresikan ke dalam
media tumbuh cair G. boninense. Sekresi asam oksalat oleh G. boninense pada
media lebih banyak 100 kali dibandingkan dengan sekresi asam malat.
65
Tabel 15 Perbandingan konsentrasi asam-asam organik filtrat dan kontrol pada
pengujian kebocoran ion
Media n α-Ketoglutarat Sitrat Malat Oksalat
konsentrasi (ppm)
Kontrol 3 29.05 ± 11.61 14.26 ± 12.99 0.10 ± 0.07 4.72 ± 3.23
Filtrat 10 28.93 ± 1.70 7.67 ± 1.91 0.42 ± 0.13 24.95 ± 5.31
0.99tn 0.47tn 0.00** 0.00**
Uji t-student : tn tidak nyata; * nyata(5%) ; **sangat nyata (1%)

Pengukuran Protein
Keterangan Total:tn
: Uji t-student pada
tidakFiltrat
nyata; *G. boninense
nyata(5%) ; **sangat nyata (1%)
Pengukuran konsentrasi total protein pada filtrat menunjukkan
kecenderungan menurun seiring waktu panen filtrat (Gambar 30). Pengukuran
total protein pada kontrol pada setiap titik panen menunjukkan pola yang
bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi total protein pada media
kontrol bervariasi tergantung dari botol media YMB. Pola konsentrasi total
protein yang cenderung menurun pada filtrat diduga berhubungan dengan asorbsi
protein pada media oleh koloni. Asorbsi protein pada media oleh koloni akan
diubah menjadi komponen sel dan komponen enzim pada koloni.
Penambahan ekstrak yeast diduga berpengaruh terhadap kandungan protein
media YMB. Pada konsentrasi tertentu saat kandungan protein berkurang pada
substrat kapang pelapuk putih memiliki kecenderungan mensekresikan enzim
oksidatif ke substrat untuk mendapatkan keseimbangan nitrogen dan karbon (C/N
rasio). Kekurangan protein pada substrat dapat sebagai pemicu terjadinya
perombakan selulosa pada substrat, diduga kondisi tersebut dapat terjadi pada
media cair YMB.

Gambar 30 Pola kandungan total protein dalam filtrat pada setiap waktu panen
filtrat. ( ) : filtrat perlakuan; ( ) : kontrol

Pada kondisi tersebut G. boninense akan mensekresikan sejumlah enzim


perobak lignoselulosa, pada media YMB kondisi ini dapat terjadi pada fase
eksponensial. Pada fase eksponensial ini, G. boninense diperkirakan mengalami
penambahan biomass secara cepat sehingga membutuhkan banyak nutrisi dari
66
substrat, sampai titik pengamatan 27 HSI diduga keseimbangan C/N berakhir,
sehingga pada titik panen 30 HSI G. boninense telah memasuki fase stasioner.
Kandungan protein pada filtrat untuk pengujian kebocoran ion menunjukan
lebih besar daripada kontrol (p<0.00). Kandungan protein pada kontrol sebesar
62.26 ppm sendangkan pada filtrat sebesar 90.22 ppm (Tabel 16). Hal tersebut
menunjukkan terdapat sekresi protein ke dalam media pada 15 HSI atau
kandungan protein pada media YMB pada awalnya sudah lebih tinggi dari
kontrol. Namun apabila melihat nilai ragam yang cukup tinggi maka kemungkinan
terdapat perbedaan konsentrasi protein awal pada media YMB.
Pendekatan pengukuran total protein untuk mewakili komponen protein
struktural dan fungsional seperti enzim dan ikatan peptida toksin pada filtrat.
Akan tetapi, pada penelitian ini diharapkan mewakil kelompok protein fungsional.
Cendawan G. boninense diperkirakan mensekresikan berbagai jenis enzim
kedalam media tumbuhnya. Beberapa enzim terkait dengan karakter selulolitiknya
dan ligninolitik, seperti: enzim pektinase, endoglukanase, selobiose lakase, dan
peroksidase (Tseng dan Chang 1988; D’souza 1999; Al Azam 2008).

Tabel 16Perbandingan konsentrasi total protein filtrat dan kontrol pada pengujian
kebocoran ion
Media n Total protein
Konsentrasi (ppm)
Kontrol 3 62.26 ± 8.46
Filtrat 10 90.22 ± 13.04
0.00**
Uji t-student : tn tidak nyata; * nyata(5%) ; **sangat nyata (1%)

Pengukuran Ergostreol pada Filtrat G. boninense


Hasil pengukuran ergosterol menunjukkan terdapat kandungan senyawa
tersebut pada filtrat. Hasil kromatogram kandungan ergosterol terdeteksi sangat
kecil yang terlihat pada waktu retensi 1.6 menit (Gambar 31). Rerata kandungan
ergosterol pada filtrat sangat kecil sekitar 0.004 ppm (Tabel 17). Apabila
dibandingkan dengan media kontrol rerata kandungan ergosterol pada filtrat
menunjukkan dua kali lebih tinggi (p<0.000). Hal ini dapat diartikan pada filtrat
terakumulasi ergosterol yang diduga berasal dari koloni G. boninense.

Gambar 31 Kromatogram menunjukan puncak ergosterol pada pengukuran kultur


filtrat G. boninense
67
Tabel 17Perbandingan konsentrasi ergosterol filtrat dan kontrol pada pengujian
kebocoran ion
Media n Ergosterol
konsentrasi (ppm)
Kontrol 3 0.000 ± 0.00
Filtrat 10 0.002 ± 0.00
0.00**
Uji t-student : tn tidak nyata; * nyata(5%) ; **sangat nyata (1%)

Ergosterol merupakan kelompok senyawa sterol penyusun dinding sel pada


kebanyakan kapang dan disekresikan ekstraseluler. Fungsi ergosterol pada kapang
belum begitu jelas, namun diperkirakan berhubungan dengan pertumbuhan seperti
sporangium, permeabilitas dan reproduksi (Griffin 1981). Menurut Dawson-
Andoh (2002) ergosterol berfungsi menciptakan lapisan batas antara koloni
dengan lingkungannya. Ergosterol telah dilaporkan terakumulasi pada jaringan
tanaman kelapa sawit yang terinfeksi G. boninense (Mohd As’wad et al. 2011).

Pengukuran Polisakarida Total pada Filtrat G. boninense


Pengukuran kandungan polisakarida pada fitrat dilakukan dengan teknik
kromatografi. Hasil pengukuran terhadap kandungan polisakarida total pada filtrat
dan kontrol menunjukkan berbeda nyata (p<0.00). Rerata kandungan polisakarida
total pada kontrol dua setengah kali lebih besar daripada dalam filtrat yang
terdeteksi sebesar 513.93 ppm (Tabel 18).
Kandungan polisakarida pada kontrol yang lebih besar dari pada filtrat
diduga berhubungan dengan berkurangnya senyawa glukosa pada media tumbuh
G. boninense telah terserap menjadi komponen sel koloni. Hal ini serupa dengan
pengukuran total protein, cendawan G. boninense membutuhkan keseimbangan
rasio C/N, sehingga terjadi pengaturan asorbsi polisakarida dan protein dari media
tumbuh.

Tabel 18Perbandingan konsentrasi total polisakarida filtrat dan kontrol pada


pengujian kebocoran ion
Media n Total Polisakarida
Konsentrasi (ppm)
Kontrol 3 513.93 ± 64.68
Filtrat 10 180.36 ± 92.12
0.01**
Uji t-student :tn tidak nyata; * nyata(5%) ; **sangat nyata (1%)

Pengukuran pada total polisakarida mewakili kelompok senyawa


oligosakarida yang juga banyak terdeteksi pada media Ganoderma sp. (Chen et al.
2012). Oligosakarida merupakan bagian dari dinding sel jamur, dinding sel jamur
umumnya akan terdegradasi oleh aksi enzim kitinase asal tanaman atau oleh sebab
lainnya. Polisakarida dinding sel jamur yang terdegradasi dapat membentuk
persenyawaan chitooligosakarida pada bentuk pentamerik dan heksa merik
mampu menginduksi respon hipersensitif sel tanaman padi (Ning et al. 2004).
68
Pendugaan Senyawa Fitotoksik Filtrat G. boninense Penyebab Kebocoran
Ion dengan Pendekatan Analisis Lintas
Model regresi sederhana yang menggambarkan besarnya kerusakan jaringan
sel kalus kelapa sawit oleh karena filtrat G. boninense (Gambar 32). Model linear
regresi yang dapat dibentuk Y= 0.0042x – 0.077 dengan nilai R2 sebesar 0.94. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa terdapat respon kebocoran elektrolit oleh karena
pemaparan filtrat G. boninense terhadap kalus kelapa sawit. Indikasi R2 yang
tinggi dapat mewakili kesesuaian model kebocoran elektrolit yang terjadi pada
jaringan kalus kelapa sawit. Hal ini menunjukkan pada filtrat terdapat komponen
senyawa aktif yang bersifat fitotoksik terhadap kalus kelapa sawit.
Berdasarkan model regresi dapat dikatakan semakin besar konsentrasi filtrat
maka tingkat kebocoran elektrolit pada jaringan kelapa sawit akan semakin besar
sampai batas tertentu. Pengaruh senyawa aktif pada filtrat diduga terjadi karena
adanya kerusakan struktural membran sel kalus kelapa sawit. Kerusakan membran
sel pada kalus dapat terjadi oleh karena depolarisasi membran fosfolipid sebagai
akibat dari lipid peroksidase (Peever dan Higgins 1989;Lacan dan Baccou 1996).
Untuk menduga salah satu senyawa fitotoksik maka digunakan pendekatan
penggunaan senyawa murni asam oksalat sehingga diketahui kebocoran ion yang
terjadi pada kalus.
Ke bocor an El ekt rol it (µS / cm)

0,10
0,09 y = 0.004x - 0.077
0,08 R² = 0.94
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0,00
10 20 30 40 50

Konsentrasi Filtrat %(v/v)

Gambar 32 Model regresi linier pengaruh filtrat terhadap besarnya nilai


kebocoran ion pada kalus

Hasil pengukuran terhadap kebocoran elektrolit pada kalus oleh karena aksi
senyawa oksalat disajikan pada Gambar 33. Model linear regresi, yang diperoleh
dengan persamaan Y=0.094x+0.246 yang memiliki nilai R2 sebesar 0.87. Indikasi
yang sama dengan filtrat kesesuain model regresi asam oksalat pengaruhnya
terhadap besarnya kebocoran elektrolit, hal ini yang berhubungan dengan tingkat
kerusakan struktur jaringan sel kalus kelapa sawit. Nilai kebocoran elektrolit kalus
kelapa sawit yang disebabkan oleh filtrat lebih kecil dibandingkan dengan yang
disebabkan oleh asam oksalat murni. Hal ini menunjukkan besarnya konsentrasi
asam oksalat di dalam filtrat lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi media
dengan oksalat murni.
69

Ke b o c o r an El ek t rol it (µ S / cm)
0,8
y = 0.094x + 0.246
0,7 R² = 0.87

0,6

0,5

0,4

0,3

0,2
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi asam oksalat (mM)

Gambar 33 Model regresi linier pengaruh asam oksalat terhadap besarnya nilai
kebocoran ion pada kalus

Besarnya kebocoran elektrolit pada membran oleh sebab filtrat dan asam
oksalat berkisar antara 0.01 sampai 0.8 µS/cm. Kebocoran elektrolit pada
membran kalus oleh karena filtrat diperkirakan 1/3 dari konsentarasi oksalat 1
mM. Hal ini menunjukkan korelasi yang tinggi antara tingkat kebocoran elektrolit
kalus oleh karena aksi asam oksalat. Asam oksalat diketahui sebagai salah satu
kelator radikal Mn3+ yang dihasilkan oleh Mn-proksidase. Radikal Mn3+
kemudian berikatan dengan oksalat, oleh karena ukuran senyawanya kecil maka
asam oksalat mampu masuk dinding sel membawa radikal yang dapat bereaksi
sewaktu-waktu dengan komponen penyusun dinding sel khusunya ikatan senyawa
pada lignin (Kuan dan Tien 1993).
Salah satu indikator yang banyak digunakan dalam mendeteksi cekaman
pada tanaman yaitu dengan mengukur kebocoran elektrolit sel. Saat awal proses
nekrosis terjadi diperkirakan mengalami mekanisme kobocoran elektrolit sel.
Kebocoran elektrolit sel merupakan respons fisologis sel tanaman terhadap suatu
kondisi fisiologis tertentu. Kondisi tersebut dapat dipicu oleh cekaman faktor
abiotik maupun biotik. Kebocoran elektrolit sel dapat digunakan menjadi ukuran
dalam menilai suatu genotipe digolongkan tahan atau peka terhadap suatu
cekaman tertentu (Bajji et al. 2001).
Teknik ini relatif sederhana, dapat diulang dengan ketepatan yang hampir
sama, tidak membutuhkan peralatan yang mahal, serta dapat diaplikasikan pada
banyak jenis sistem kultur dan dalam jumlah banyak (Arvin dan Donnelly 2008).
Melalui pendekatan ini peneliti mampu mengkuantifikasi besarnya kerusakan
membran sel oleh karena kondisi stres yang disebabkan oleh faktor abiotik dan
biotik tersebut. Kebocoran elektrolit sel menunjukkan proses pertahanan sel
terhadap perubahan kondisi kimiawi daerah apoplas sel, yang menyebabkan
kerusakan stuktur molekul membran dan dinding sel.
Hasil korelasi menunjukkan tiga peubah yaitu asam oksalat, ergosterol, total
protein dan total polisakarida berkorelasi dengan besarnya nilai kebocoran
elektrolit kalus (Tabel 19). Setelah diketahui pola grafik asam-asam organik yang
berbeda hanya pada asam oksalat maka hanya digunakan asam oksalat pada
70
perhitungan analisis lintas (Gambar 28). Asam oksalat telah dilaporkan terlibat
dalam patogenesitas dan proses pelapukan kayu (Dutton dan Evans 1996; Munir
et al. 2001). Total protein mewakili kelompok protein fungsional seperti
kelompok senyawa glikoprotein, enzim pendegradasi pektin, selulosa,
hemiselulosa dan ligninase yang berkaitan dengan patogenesitas Ganoderma sp
(Al-Obaidi et al. 2010; Paterson et al. 2009).
Pengukuran total polisakarida mewakili kelompok senyawa oligosakarida
yang juga banyak terdeteksi pada media Ganoderma sp. (Chen et al. 2012).
Oligosakarida merupakan bagian dari dinding sel jamur. Diding sel jamur
umumnya akan terdegradasi oleh aksi enzim kitinase dan glukanase yang berasal
dari tanaman, yang dapat berfungsi sebagai elisitor. Polisakarida dinding sel jamur
yang terdegradasi dapat membentuk persenyawaan chitooligosakarida pada
bentuk pentamerik dan heksa merik mampu menginduksi respon hipersensitif sel
tanaman padi (Ning et al. 2004).

Tabel 19 Korelasi peubah kimia oksalat, ergosterol, polisakarida dan protein pada
filtrat terhadap kebocoran ion kalus
Kebocoran Total Total Ergosterol Asam
Peubah n elektrolit protein Polisakarida Oksalat
Kebocoran elektrolit 60 0.63 ** 0.25 * 0.53 ** 0.45 **
Total protein 60 0.63 ** . 0.43 ** 0.57 ** 0.40 **
Total Polisakarida 60 0.25 * 0.43 ** . -0.13 tn 0.45 **
Ergosterol 60 0.53 ** 0.57 ** -0.13 tn . -0.09 tn
Asam Oksalat 60 0.45 ** 0.40 ** 0.45 ** -0.09 tn .
n : jumlah sampel ; peluang nyata * 5%, ** 1%.

Ergosterol telah dilaporkan terakumulasi pada jaringan tanaman kelapa


sawit yang terinfeksi G. boninense (Mohd-Aswad et al. 2011). Ergosterol
merupakan senyawa sterol pada kebanyakan jamur, ergosterol diketahui mampu
memicu oxidative burst dan fitoaleksin pada suspensi sel tembakau. Ergosterol
juga memicu terjadinya mobilisasi kalsium sel ke lingkungan eksternal sel melalui
aksi inositol 1,4,5-trifosfat dan serin atau trionin kinase (Kasparovsky et al. 2003).
Secara umum senyawa yang diukur pada percobaan ini merupakan bagian dari
elisitor, yang diperkirakan melalui reseptor tertentu pada membran sel
mempengaruhi proses eksfluks elektrolit sel kalus.
Hasil pemetaan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kebocoran
elektrolit sel kalus kelapa sawit dipengaruhi secara langsung oleh kandungan
asam oksalat (0.28), kelompok senyawa protein (0.58) dan kelompok senyawa
polisakarida (-0.12) (Gambar 34). Ergosterol tidak dapat dimasukan dalam
pengolahan analisi lintas oleh karena terdapat asumsi yang tidak dapat dipenuhi.
Untuk itu analisis lintas hanya melibatkan, kelompok senyawa polisakarida dan
protein serta asam oksalat. Koefisien pengaruh total asam oksalat terhadap
kebocoran elektrolit sebesar 0.54, pengaruh kelompok senyawa protein sebesar
0.67.
Nilai error yang cukup tinggi diduga karena peubah bebas yaitu berupa
senyawa kimia pada filtrat hanya beberapa yang diamati. Nilai error akan
menurun jika peubah bebas ditambah dalam perhitungan analisis lintas. Selain itu
71
jumlah sampel yang digunakan perlu ditambah, yaitu lebih dari 100 ulangan
(Sarwono 2012). Akan tetapi peubah bebas yang akan ditambahkan dalam
perhitungan memiliki alasan ilmiah terlibat dalam patogenesitas G. boninense.
Diagram lintas yang diperoleh menunjukkan nilai kebocoran elektrolit
berbanding lurus dengan konsentrasi kelompok senyawa protein, asam oksalat dan
berbanding terbalik dengan kelompok senyawa polisakarida. Hal tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan kebocoran elektrolit sel kalus sejalan dengan
peningkatan konsentrasi kelompok protein dan asam oksalat. Akan tetapi,
kelompok senyawa polisakarida menunjukkan peranya dalam penurunan
kebocoran elektrolit sejalan dengan peningkatan konsentrasi kelompok senyawa
polisakarida kemungkinan senyawa polisakarida menutup kerusakan sturktural
membran.
Cendawan G. boninense sebagai salah satu jamur pelapuk kayu
mensekresikan beragam enzim pada tahap awal dan tahap lanjut proses infeksi.
Peran kelompok protein fungsional seperti enzim pektinase, ligninnase, dan
selulase diduga berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap
kebocoran elektrolit (Brindha et al. 2012). Manganase peroksidase merupakan
enzim lignolitik yang dapat menginduksi peroksidasi lipid secara langsung
menyebabkan kebocoran elektrolit (Moen dan Hammel 1994).
Enzim Mn peroksidase merupakan salah satu contoh senyawa glikopotein
yang diketahui dengan baik berperan dalam proses depolimerisasi komponen
lignin. Enzim ini diketahui tersekresi oleh jamur pelapuk putih seperti Ganoderma
spp. Mn peroksidase didugakan tersekresi didalam filtrat G. boninense yang dapat
sebagai agen pengoksidasi kation logam menjadi radikal bebas.

X1: Total
Polisakarida ß Y1X1
-0.12
e1
rX1X2 0.73
0.43

ßY1X2
rX1X3 Y1 : Kebocoran
0.45 X2:Total Protein 0.58 elektrolit

rX2X3
0.40
ß Y1X3
0.28
X3: Asam Oksalat

Gambar 34 Model analisis lintas pengaruh asam oksalat, total polisakarida dan
total protein terhadap besarnya nilai kebocoran elektrolit pada kalus

Radikal bebas yang diproduksi akan distabilkan oleh kelator alami, yaitu
asam oksalat. Radikal bebas selanjutnya mampu mengoksidasi lapisan fosfolipid
pada membran sel tanaman diduga terpengaruhi konstitusi membran selnya oleh
karena penarikan satu elektron valensi oleh radikal bebas melalui mekanisme
72
peroksidasi lipid (Enoki et al. 1999). Kondisi lingkungan sel yang oksidatif proses
tersebut terjadi dengan optimal, sehingga frekuensi kecocoran elektrolit
meningkat dan pada akhirnya menyebabkan nekrosis jaringan.
Oksalat pada proses pelapukan kayu diketahui berperan dalam beberapa hal
yaitu depolimerisasi non enzimatik selulosa melalui reaksi feton, menciptakan
kondisi asam pada lingkungan seluler jaringan tanaman sehingga proses kerja
enzim pendegradasi selulase lebih optimal (Cohen et al. 1995). Asam oksalat juga
berperan memediasi terciptanya kondisi oksidatif dalam jaringan yang terinfeksi
jamur pelapuk kayu melalui pengkelatan ion Fe3+ atau ion logam lain
menghasilkan radikal hydrosil yang reaktif baik terhadap struktur lignin dan
mungkin bagi membran sel.
Asam oksalat diduga berpengaruh langsung melalui pengkelatan ion Ca 2+
yang terkandung dilingkungan ektraseluler yaitu didaerah apoplas. Pengkelatan
ion Ca2+ berpengaruh terhadap keseimbangan elektrolit didalam sel dan
lingkungannya. Pada jamur Sclerotia sp, peran oksalat telah diketahui dengan baik
sebagai salah satu faktor penentu patogenesitas, yaitu melalui aksi pengkelatan
kalsium pektat yang terdapat pada daerah antar sel yang dapat menyebabkan
kebocoran elektrolit (Green et al. 1995; Zaeifizadeh et al. 2013).
Nilai error yang cukup tinggi diduga karena peubah bebas yaitu berupa
senyawa kimia pada filtrat hanya beberapa yang diamati. Nilai error akan
menurun jika peubah bebas ditambah dalam perhitungan analisis lintas. Selain itu
jumlah sampel yang digunakan perlu ditambah, yaitu lebih dari 100 ulangan
(Sarwono 2012). Akan tetapi peubah bebas yang akan ditambahkan dalam
perhitungan memiliki alasan ilmiah terlibat dalam patogenesitas G. boninense
.

Gambar 35 Mikrograf elektron penampang kalus embriogenik kelapa sawit (A)


kalus kontrol (25 µm) (B) kalus kontrol (18 µm) (C) kalus terpapar
filtrat (25 µm) (D) kalus terpapar filtrat (56 µm)
73
Hasil pantauan mikrograf elektron menunjukkan telah terjadi kerusakan
struktur jaringan sel kalus oleh karena terpapar filtrat G. boninense (Gambar 35).
Jaringan epidermis kalus menunjukkan kerusakan paling parah yang ditandai
dengan terdegradasinya lapisan tersebut, kemudian pada bagian endodermis
parenkima sel terjadi disintegrasi jaringan. Kerusakan tersebut mengindikasikan
terlepasnya kandungan sitoplasma sel ke lingkungan luar yang terdeteksi oleh
besarnya kebocoran elektrolit sel kalus.

Simpulan

1. Respons jaringan clump sel kalus kelapa sawit terhadap filtrat Ganodema
boninense adalah terjadinya nekrosis yang menyebabkan jaringan sel kalus
mengalami pencokelatan, hal tersebut menunjukkan filtrat bersifat fitotoksik.
2. Kultur filtrat Ganodema boninense mengandung senyawa, asam oksalat, asam
malat, ergosterol, protein dan polisakarida
3. Jenis senyawa fitotoksin yang menyebabkan nekrosis jaringan sel kalus kelapa
sawit adalah kelompok protein dan asam oksalat melalui mekanisme
kebocoran elektrolit sel.

PEMBAHASAN UMUM

Dalam upaya untuk mendapatkan galur ramet tanaman kelapa sawit


moderat tahan terhadap G. boninense, telah dilakukan penelitian memanfaatkan
teknik seleksi in vitro dengan teknologi kultur jaringan. Penelitian ini
menggunakan prinsip dasar mutasi yaitu terjadinya variasi somaklonal yang
diinduksi oleh proses kultur jaringan kelapa sawit. Variasi somaklonal diduga
terjadi selama proses kultur jaringan mulai dari tahap pembentukan kalus yang
berdiferensiasi menjadi embrio somatik, pembentukan tunas, perkembangan tunas
dan induksi perakaran sehingga menghasilkan ramet.
Untuk mencapai hasil berupa galur ramet moderat tahan terhadap G.
boninense, seleksi in vitro yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari
beberapa kegiatan, mencakup (i) mendapatkan isolat G. boninense Pat. dari
beberapa area kebun kelapa sawit yang endemik di Sumatera yang memiliki
tingkat virulensi yang tinggi berdasarkan karakter fisiologisnya; (ii) menetapkan
teknik seleksi ketahanan kultur kelapa sawit terhadap G. boninense Pat.,
dilanjutkan dengan melakukan (iii) menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat
G. boninense Pat. yang terlibat dalam kebocoran elektrolit sel kalus kelapa sawit
Teknik seleksi in vitro membutuhkan isolat G. boninense yang memiliki
tingkat virulensi tertinggi sebagai sumber agen seleksi. Media kromogenik dapat
digunakan untuk membedakan isolat G. boninense paling virulen berdasarkan
beberapa karakter fisiologisnya. Pemilihan isolat menggunakan media
kromogenik merupakan penggambaran kondisi interaksi patogen dengan
inangnya. Jaringan batang kelapa sawit sebagai media tumbuh G. boninense
diperkirakan memiliki sistem pertahanan kimiawi seperti asam tanat. Isolat G.
74
boninense yang memiliki tingkat virulensi tertinggi diperkirakan mampu tumbuh
dengan cepat meskipun pada media asam tanat yang beracun.
Selanjutnya dibagian tanaman inang, perlu dipilih jenis kultur tanaman
inang yang diperlukan sebagai bahan seleksi. Salah satu jenis kalus yang
dihasilkan dalam kultur jaringan kelapa sawit adalah kalus yang bersifat remah.
Kalus remah memiliki kemampuan multiplikasi sel yang cukup tinggi, sehingga
berpotensi untuk menghasilkan variasi somaklonal. Kalus jenis ini memiliki
ukuran clump kalus yang beragam, sehingga dapat dilakukan pemilihan ukuran
yang disesuaikan dengan prosedur seleksinya. Daya multiplikasi yang tinggi
memberikan jumlah unit seleksi (clump) yang memadai untuk diseleksi.
Variasi somaklonal yang terbentuk dapat diarahkan ketahanan terhadap
agen seleksi G. boninense dengan memaparkan kalus embriogenik dalam medium
yang mengandung filtrat G. boninense. Kultur filtrat patogen mungkin
mengandung faktor virulensi suatu penyakit dalam jumlah yang kurang atau lebih
dibandingkan yang ditemukan di jaringan inang yang sakit. Kultur filtrat patogen
diasumsikan mengandung berbagai macam komponen sel patogen seperti
metabolit sekunder, enzim dan zat pengatur tumbuh yang disekresikan ke dalam
media buatan. Metabolit sekunder pada kultur filtrat G. boninense dapat bersifat
toksik terhadap tanaman dan mungkin berperan dalam patogenesitas penyakit
busuk pangkal batang kelapa sawit.
Walupun demikian, kondisi optimal untuk pertumbuhan miselium G.
boninense perlu diketahui. Filtrat dapat diekstraksi dari kultur miselium G.
boninense pada umur 15 hari setelah inokulasi (hsi) karena paling optimal
menyebabkan kematian kalus. Panen filtrat 15 hsi diperkirakan menghasilkan
senyawa yang bertanggung jawab terhadap virulensi tersekresi optimal ke dalam
media tumbuhnnya.
Induksi variasi somaklonal untuk mendapatkan galur embrio somatik yang
moderat tahan terhadap G. boninense dilakukan melalui beberapa tahap seleksi.
Tahapan seleksi adalah dengan melakukan sub kultur kalus beberapa kali ke
media yang mengandung filtrat G. boninense pada konsentrasi subletal pada
periode tertentu. Akan tetapi, penetapan konsentrasi seleksi (subletal) terlebih
dahulu ditetapkan konsentrasi letalnya.
Berdasarkan uji toksisitas filtrat G. boninense terhadap kemampuan hidup
kalus, konsentrasi letal filtrat diperoleh sekitar 40% (v/v). Komposisi media
tumbuh patogen dan filtrat menyebabkan cekaman untuk pertumbuhan kalus
embriogenik kelapa sawit. Media YMB mendorong pertumbuhan optimal bagi G.
boninense tetapi, tidak untuk kalus kelapa sawit. Media tumbuh patogen
sebaiknya memberikan pengaruh penghambatan pertumbuhan kalus seminimal
mungkin, tetapi juga mampu mendorong ekspresi faktor virulen patogennya se-
optimal mungkin.
Selanjutnya, bagian kritis dalam pemanfaatan teknik kultur jaringan untuk
seleksi in vitro spesies rekalsitran seperti kelapa sawit, adalah pada keberhasilan
meregenerasi kalus terseleksi menjadi embrio somatik, diikuti dengan
pembentukan tunas dan ramet. Pada bagian ini, keseimbangan antara kekuatan
cekaman dan daya regenerasi tanaman perlu ditetapkan sehingga diperoleh tunas.
Konsentrasi subletal optimal filtrat G. boninense ditetapkan sebesar 32% (v/v)
setelah melalui empat siklus seleksi (3 bulan per siklus).
75
Menurut Feher (2006) kalus secara in vitro berada pada tahap kompetensi
seluler yang bersifat embriogenik. Pada tahap ini, sel yang telah berdediferensiasi
akan merespons induksi eksternal sehingga dapat berkembang ke tahap
embryogenic cell fate. Pada tahap tersebut secara seluler terjadi kromatin
remodeling, reorganisasi seluler, perubahan fisiologi sel, respons sel terhadap
cekaman, ekspresi gen embriogenik, polaritas dan pembelahan sel. Dalam proses
tersebut cekaman lingkungan berperan sebagai induktor penting untuk melengkapi
keseluruhan embriogenesis.
Cekaman dari filtrat G. boninense merupakan induktor eksternal yang
dapat menginduksi terbentuknya embrio somatik pada kalus sekaligus
meningkatkan ketahanan tunas kelapa sawit. Apabila pada jaringan sel kalus
terdapat variasi somaklonal maka jenis cekaman kemungkinan akan mengarahkan
karakter somaklon yang diperoleh. Embrio somatik asal kalus terseleksi dianggap
telah mampu mengatasi cekaman yang ditimbulkan oleh agen seleksi dalam filtrat
G. boninense. Apabila dalam filtrat terdapat agen seleksi yang merupakan
inhibitor efektif maka karakter tahan ditahap in vitro berkorelasi dengan
ketahanan tanaman terhadap infeksi G. boninense dilapang. Walaupun, hal
tersebut masih perlu diverifikasi pada tahap selanjutnya dari prosedur seleksi ini.
Indikator awal peubah ketahanan kalus terseleksi ditunjukkan pada
peningkatan aktivitas enzim peroksidase (POD) dan fenilalanin amonia liase
(PAL) dengan peningkatan masing-masing sebesar 21.31% dan 100.26%
dibandingkan dengan kalus kontrol. Enzim-enzim tersebut berhubungan dengan
sistem ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Tay et al. (2009)
melaporkan adanya peningkatan yang nyata aktivitas enzim PAL dan POD
sebagai respons infeksi G. boninense secara buatan pada bibit kelapa sawit. Hal
tersebut menunjukkan adanya korelasi peubah ketahanan kelapa sawit dengan
aktivitas enzim PAL dan POD.
Lamanya waktu inkubasi kalus embriogenik menyebabkan terjadi
dehidrasi media yang berimplikasi pada cekaman air terhadap kultur kalus.
Dehidrasi kalus berperan dalam embriogenesis somatik kelapa sawit. Menurut
Jimenez (2001) embrio somatik yang terbentuk memerlukan waktu pendewasaaan
untuk dapat berkecambah, lama periode tersebut berhubungan dengan akumulasi
cadangan energi sel dan waktu desikasi.
Berapa lama waktu seleksi pada setiap siklus seleksi dan beberapa banyak
siklus seleksi yang diperlukan untuk mendapatkan somatik embrio serta tunas in
vitro dari kalus terseleksi, mungkin dipengaruhi oleh genotipe atau spesies
tanaman uji. Hasil pada kelapa sawit menunjukkan lama waktu seleksi yang
diperlukan sekitar 3 bulan dan melalui empat tahap siklus seleksi. Lamanya
periode seleksi tersebut berkaitan dengan proses fisiologis seluler tahapan
perkembangan jaringan sel dalam embriogenesis somatik kelapa sawit.
Lama periode seleksi juga berkaitan dengan tahapan seleksi sel-sel mutan
dari sel-sel normal. Sel-sel mutan yang memiliki karakter fisiologis tahan terhadap
cekaman filtrat G. boninense akan mampu terus hidup sedangkan pada sel normal
sebaliknya akan mati. Seleksi dalam beberapa tahap adalah untuk memastikan
bahwa tunas yang diperoleh memiliki ketahanan terhadap filtrat G. boninense.
Pertumbuhan kalus embriogenik terseleksi dalam medium yang
mengandung filtrat G. boninense selama periode seleksi, dapat memacu
terbentuknya karakter moderat tahan terhadap G. boninense yang diduga bersifat
76
epigenetik. Hal ini disebabkan adanya periode beradaptasi selama siklus seleksi
sehingga hanya sel-sel tertentu yang mampu bertahan terhadap kondisi cekaman
yang diberikan.
Ketahanan terhadap cekaman biotik melibatkan aspek genotipe tanaman
dan patogen yang saling berinteraksi. Dalam proses interaksi inang-patogen
dalam jaringan sel inang melibatkan beberapa komponen senyawa aktif. Faktor
virulensi G. boninense merupakan penentu dari patogenesitas penyakit BPB.
Informasi faktor virulensi ini sangat penting karena menjadi syarat multak yang
menentukan tingkat ketahanan yang diperoleh somaklon terhadap penyakit BPB.
Namun, kajian mekanisme hubungan parasitisme G. boninense pada kelapa sawit
ditingkat seluler hingga saat masih sedikit diteliti.
Setiap patogen diketahui memiliki faktor virulensi yang berkaitan dengan
produksi metabolit sekunder. Metabolit sekunder dapat berperan secara langsung
atau tidak langsung pada tahap infeksi dan kolonisasi patogen di jaringan sel
inang. Metabolit sekunder patogen dapat berpengaruh terhadap kerusakan atau
ketidak-seimbangan fisiologis jaringan sel inang (Fox dan Howlett 2008). Faktor
virulensi patogen tanaman dalam seleksi in vitro berhubungan dengan konsep
toksin dan digunakan sebagai agen seleksi (Svabova dan Lebeda 2005). Toksin
patogen tanaman secara konseptual tersekresi disekitar koloni memberikan
pengaruh fisiologi terhadap jaringan sel inangnya secara signifikan. Toksin
patogen tanaman dapat bersifat inang spesifik atau tidak bersifat inang spesifik.
Seringkali oleh karena keterbatasan pengetahuan tentang toksin pada patogen,
dapat digunakan kultur filtrat patogen sebagai agen seleksi.
Bukti kerusakan jaringan sebagai akibat dari kalus terpapar filtrat pada
media seleksi telah dapat diamati saat proses seleksi terjadi. Penampang irisan
tipis jaringan kalus menunjukkan terjadi proses nekrosis sel yang ditandai
perbedaan warna. Luas bagian penampang kalus yang mengalami pencokelatan
terindikasi meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi filtrat dan lama
waktu pemaparan dalam media seleksi.
Nekrosis sel kalus secara mikroskopis teramati dari berkas protoplasma
yang hilang pada irisan mikrotom jaringan. Sebelum nekrosis terlihat, awalnya
kebocoran elektrolit sel terjadi, hal tersebut sebagai salah satu respons fisiologis
akibat adanya cekaman. Hasil analisis lintas menunjukkan kebocoran elektrolit sel
kalus setelah terpapar filtrat disebabkan oleh kelompok senyawa protein dan asam
oksalat.
Filtrat G. boninense sebagai sumber agen seleksi ditemukan asam oksalat
sebesar 24.95 ppm, sedangkan media yang sama tanpa inokulasi G. boninense
sebesar 4.72 ppm. Sedangkan kelompok senyawa protein yang terkandung dalam
filtrat sebesar 90.22 ppm dan 62.26 ppm pada kontrol. Beberapa kelompok
senyawa protein fungsional yaitu enzim-enzim terlibat dalam patogenesitas genus
Ganoderma sp. seperti lakase, lignin peroksidase, manganase peroksidase
(Hariharan dan Nambisan 2012; Goh et al. 2014) dan pektinase (Tsung-Che dan
Li-Shu 1987).
Elissetche et al. (2006) menemukan juga kandungan asam oksalat dari
hasil fermentasi media yang mengandung serbuk kayu Poplar setelah diinokulasi
dengan G. australe. Asam oksalat banyak dilaporkan berhubungan dengan
patogenesitas beberapa patogen tanaman, terutama dalam mempengaruhi regulasi
ion Ca2+ yang sangat penting bagi tanaman (Dutton dan Evans 1996; Cessna et al.
77
2000; Lehner et al. 2008). Menurut Favaron et. al. (2004) terdapat hubungan
sinergis antara pektinase dan asam oksalat dalam keberhasilan infeksi Sclerotinia
sclerotiorum. Kemungkinan hal tersebut juga terjadi pada proses infeksi G.
boninense.
Munir et al. (2001) menyatakan bahwa asam oksalat secara umum
dihasilkan oleh cendawan pelapuk kayu senyawa tersebut dapat berasal dari siklus
asam trikarboksilat dan siklus glioksilat. Peran asam oksalat diduga sangat
penting dalam keberhasilan G. boninense pada tahap infeksi serta kolonisasi pada
jaringan parenkim akar dan batang kelapa sawit (Paterson 2007). Akusisi selulosa
yang tersimpan dalam jaringan parenkim batang kelapa sawit diduga melibatkan
asam-asam organik seperti oksalat (Tanaka et al. 1994).
Seleksi in vitro pada penelitian ini mampu menghasilkan beberapa tunas
yang tumbuh berkembang dengan baik dalam medium seleksi, yang pada saat
pembuatan laporan ini seluruh tunas telah memasuki fase induksi pembentukan
akar. Penelitian ini mengindikasikan bahwa penggunaan periode waktu siklus
seleksi dengan konsentrasi filtrat yang tepat merupakan salah satu cara yang
sangat efektif untuk mendapatkan tunas hasil seleksi in vitro kelapa sawit. Selain
itu siklus seleksi berulang memberikan kepastian kestabilan ketahanan galur
kecambah kelapa sawit yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa tunas-tunas
yang dihasilkan merupakan kandidat ramet yang moderat tahan terhadap G.
boninense.
Teknik seleksi in vitro ini merupakan salah satu teknik seleksi yang tidak
memerlukan lahan yang luas, populasi yang diseleksi dapat sangat banyak karena
dilakukan pada level sel dan waktu lebih singkat dibandingkan dengan cara
konvensional. Akan tetapi teknik ini kemungkinan memiliki kekurangan seperti
terjadinya escape, karakter ketahanan bersifat epigenetik dan pengaruh epigenetik
pada karakter lainnya seperti adanya bunga mantel yang merugikan.
Potensi escape selalu ada dalam metode seleksi in vitro, demikian juga
perubahan karakter tahan yang bersifat epigenetik. Akan tetapi hal tersebut dapat
dihindari apabila agen seleksi di dalam filtrat telah diketahui dengan pasti sebagai
faktor determinan pada patogenesitas suatu patogen tanaman. Asam oksalat dan
kelompok protein seperti enzim-enzim lignolitik dan pektinase diperkirakan dapat
menjadi faktor determinan patogenesitas G. boninense, namun hal itu perlu
dilakukan pembuktian lebih jauh.
Faktor determinan suatu patogen tanaman apabila merupakan ekspresi dari
gen-gen mayor maka karakter ketahanan dari somaklon yang diperoleh dapat
didekati melalui konsep gene to gene. Situasi akan berbeda jika faktor determinan
pada patogen merupakan ekspresi dari gen-gen minor maka karakter ketahanan
dari somaklon perlu pendekatan pemuliaan kuantitatif. Umumnya ketahanan
tanaman terhadap suatu penyakit merupakan ekspresi dari gen minor sehingga
konsep pemuliaan kuantitatif lebih sering digunakan. Penelitian seleksi in vitro ini
belum seluruhnya selesai dilakukan, namun informasi awal proses seleksi didalam
laboratorium sudah cukup memberi bukti bahwa metode ini dapat digunakan
sebagai alternatif mendapatkan galur-galur tanaman kelapa sawit moderat tahan
terhadap G. boninense.
78
SIMPULAN UMUM

Prosedur teknik seleksi in vitro kalus kelapa sawit untuk ketahanan terhadap
Ganoderma boninense Pat. telah diperoleh, yang dapat menjadi salah satu
alternatif untuk mendapatkan galur ramet tanaman kelapa sawit moderat tahan
terhadap G. boninense. Melalui seleksi in vitro telah diperoleh beberapa galur
ramet kelapa sawit yang moderat tahan terhadap filtrat G. boninense, melalui
pemanfaatan variasi somaklonal pada kultur jaringan kelapa sawit. Prosedur
teknik seleksi in vitro tersebut meliputi; pemilihan isolat patogen G. boninense
yang memiliki virulensi tinggi, kondisi optimal dalam teknik seleksi in vitro
menggunakan filtrat G. boninense sebagai sumber agen seleksi untuk seleksi
ketahanan kalus kelapa sawit terhadap G. boninense. Kelompok senyawa protein
dan asam oksalat merupakan salah satu penyebab dari nekrosis jaringan kalus
kelapa sawit.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah F. 2008. Disease suppression in Ganoderma-infected oil palm seedlings


treated with Trichoderma harzianum. Plant Protec. Sci. 44: 101–107.
Aberlenc-Bertossi F, Noirot M, Duval Y. 1999. BA enhances the germination of
oil palm somatic embryos derived from embryogenic suspension cultures.
Plant Cell Tiss. & Org. Cult. 56(1):53-57.
Ahmad N, Hashim R, Moch Noor A. 2013. The in vitro antibiotic susceptibility of
Malaysian isolates of Burkholderia pseudomallei. Int. J. Microbiol. 1-7.
Article ID 121845. doi:10.1155/2013/121845.
Al Azam YB. 2008. Aktivitas selulase dari Ganoderma lucidum yang
diinkubasikan dalam media jerami padi [Skripsi]. Bogor (ID). Institut
Pertanian Bogor.
Al Kaabi HH, Zaid A, Ainsworth C. 2005. Plant-offtypes in tissue culture-derived
date palm (Phoenix Dactylifera L). Di dalam: unedited. Proceedings of
International workshop on True-to-typeness of date palm tissue culture-
derived plants. Morocco (MA). hlm 14-26.
Al-Khayri JM. 2011. Influence of yeast extract and casein hydrolysate on callus
multiplication and somatic embryogenesis of date palm (Phoenix
dactylifera L.) Sci. Hort. 130: 531-535.
Al-Obaidi JR, Mohd–Yusuf Y, Chin-Chong T, Mhd-Noh N, Othman RY. 2010.
Identification of a partial oil palm polygalacturonase inhibiting protein
(EgPGIP) gene and its expression during basal stem rot infection caused
by Ganoderma boninense. Afr. J. Biotechnol. 9(46):7788-7797. ISSN
1684–5315.
Ariffin D, Idris AS, Abdul HH. 1989. Significance of the black line within oil
palm tissue decay by Ganoderma boninense. Elaeis. 1: 11-16.
Ariffin D, Seman IA. 1991. A selective medium for isolation of Ganoderma from
diseased tissues. Di dalam: unedited. Proceedings of the 1991
79
International Palm Oil Conference, Progress, Prospects and Challenges
towards the 21st Century. Bangi Selangor (MY). hlm 517-519.
Ariwibowo T. 1996. Aktivitas ligninolitik dan selulolitik Ganoderma spp. serta
uji ketergantungan aktivitas ligninolitiknya terhadap selulosa [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Artiningsih T. 2006. Aktifitas ligninolitik jenis Ganoderma pada berbagai sumber
karbon. Biodiversitas. 4: 307-311.
Arvin MJ, Donnelly DJ. 2008. Screening potato cultivars and wild species to
abiotic stresses using an electrolyte leakage bioassay. J. Agric. Sci.
Technol. 10:33-42.
Bajji M, Kinet JM, Lutts S. 2001. The use of the electrolyte leakage method for
assessing cell membrane stability as a water stress tolerance test in durum
wheat. Plant. Growth. Regul. 00:1–10.
Baldrian P. 2005. Fungal laccases occurrenceand properties. FEMS Microbiol
Rev. 30:215–242.
Barna B, Fodor F, Harrach BD Pogany M, Kiraly Z. 2012. The janus face of
reactive oxygen species in resistance and susceptibility of plants to
nicrotrophic and biotrophic pathogens. Plant physiol Biochem. 59:37-43.
Beena PS. 2010. Production, purification, genetic characterization and application
studies of tannase enzyme from marine fungus Aspergillus awamori
[disertasi]. Kerala (IN): Cochin University of Science and Technology.
Bent, Mackey. 2007. Elicitors, effectors, and R genes: the new paradigm and a
lifetime supply of questions. Annu Rev Phytopathol. 45: 399-436.
Besse I, Verdeil JL, Duval Y, Sotta B, Maldiney R, Miginiac E. 1992. Oil palm
(Elaeis guineensis Jacq.) clonal fidelity: endogenous cytokinins and
indoleacetic acid in embryogenic callus cultures. J Exp Bot. 43 (7): 983-
989. doi: 10.1093/jxb/43.7.983.
Bhattacharjee S. 2005. Reactive oxygen species and oxidative burst: Roles in
stress, senescence and signal transduction in plant. Current Science.
89(7):1113-1121.
Bonas U, Lahaye T. 2002. Plant disease resistance triggered by pathogen-derived
molecules: refined models of specific recognition. Curr Opin Microbiol. 5:
44-50.
Borras-Hidalgo O, Bermudez RS. 2010. The pineapple-Fusarium subglutinans
interaction: an early selection system for disease resistance. Di dalam:
Lebeda A, Miranda M, Spencer MM editor. Mass Screening Techniques
for Selecting Crops Resistant to Diseases. Vienna (IT): IAEA press. hlm
159-172.
Brautigam K, Vining KJ, Lafon-Placette C, Fossdal CG, Mirouze M, Marcos JG,
Fluch S, Fraga MF, Guevara MA, Abarca D, et al. 2013. Epigenetic
regulation of adaptive responses of forest tree species to the environment.
Ecology and Evolution. 3:399-415. doi:10.1002/ece3.461.
Brindha S, Maragathavalli S, Gangwar SK, Annadurai B. 2012. Cell wall
maceration and electrolyte leakage by endopolygalacturonase from
Alternaria cepulae causing leafblight disease in onion. IJSN. 3(2): 293-
295.
80
Cahill DM, Benett IJ, McComb AJ. 1992. Resistance of micropropagated
Eucalyptus marginata to Phytophthora cinnamomi. Plant Dis. 76: 630-
632.
Cessna SG, Sears VE, Dickman MB, Low PS. 2000. Oxalic acid, a pathogenicity
factor for Sclerotinia sclerotiorum, suppresses the oxidative burst of the
host plant. The Plant Cell. 12:2191–2199.
Chen S, Xu J, Liu C, Zhu Y, Nelson DR, Zhou S, Li C, Wang L, Guo X, Sun Y, et
al. 2012. Genome sequence of the model medicinal mushroom
Ganoderma lucidum. Nat Commun. 3:913. doi: 10.1038/ncomms1923.
Cohen JD, Bao W, Renganathan V, Subramaniam SS, Loehr TM. 1997.
Resonance ramen spectroscopic studies of cellobiose dehydrogenase from
Phanerochaete chrysosporium. Arch. Biochem. Biophys. 341: 321-328.
Collinge DB, Kragh KM, Mikkelsen JD, Nielsen KK, Rasmussen U, Vad K,
1993. Plant chitinases. Plant J. 3: 31-40.
Conesa A, Punt PJ, Van den Hondel CA. 2002. Fungal peroxidases: molecular
aspects and applications. J Biotechnol. 93:143-58.
Cooper RM, Flood J, Rees RW. 2011. Ganoderma boninense in oil palm
plantations: current thinking on epidemiology, resistance and pathology.
The Planter. 87(1024): 515-526.
Cosio C, Dunand C. 2008. Specific functions ofindividual class III peroxidase
genes. J. Exp BOt. 60(2):391-408.
Dashtban M, Schraft H, Syed TA, Qin WS. 2010. Fungal biodegradation and
enzymatic modification of lignin. Int J Biochem Mol Biol. 1: 36-50.
Dawson-Andoh BE. 2002. Ergosterol content as a measure of biomass of potential
biological control fungi in liquid cultures. HRW. 2: 115-117.
Desai SS and Nityananda C. 2011. Microbial Laccases and their applications: A
review. Asian Journal of Biotechnology. 2:98-124.
Dharmaputra OS, Fadli EM, Suwandi WP, Purba RY. 1990. Inoculation of
Ganoderma boninense Pat. to oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) plantlets
and calli in vitro. Di dalam: Unedited. Plant Disease. Proceedings 3rd
International Conference on Plant Protection in the tropics; Genting, 20-
23 March 1990. Pahang (MY): Malaysian Plant Protection Society. hlm
143-147.
Dowd, Norto. 1995. Browning-associated mechanisms of resistance to insects in
corn callus tissue. Journal of Chemical Ecology. 21(5): 583-599.
D’souza TM, Merritt CS, Reddy CA. 1999. Lignin-modifying enzymes of the
white rot basidiomycete Ganoderma lucidum. Applied. Environ.
Microbiol. 65(12):5307–5313.
Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers JK, Smith F. 1956. Colorimetric
method for determination of sugars and related substances. Analytical
Chemistry. 28(3): 350-356.
Dutton MV, Evans CS. 1996. Oxalate production by fungi: Its role in
pathogenicity and ecology in the soil environment. Can. J. Microbiol.
42:881–895.
Eggert C, Temp U, Dean JF, Eriksson KEL. 1996. A fungal metabolite mediates
degradation of non-phenolic lignin structures and synthetic lignin by
laccase. FEBS Lett. 391:148.
81
Elissetche J-P, Ferraz A, Freer J, Mendonca R, Rodrıguez J. 2006. Thiobarbituric
acid reactive substances, Fe3+ reduction and enzymatic activities in
cultures of Ganoderma australe growing on Drimys winteri wood. FEMS
Microbiol Lett. 260: 112–118. doi:10.1111/j.1574-6968.2006.00304.x.
Eriksson K, Blanchette RA, Ander P. 1990. Microbial and Enzymatic degradation
of wood and wood components. Springer, London. pp 399.
doi:10.1007/978-3-642-46687-8 .
Esmaiel NM, Al-Doss AA, Barakat MN. 2012. In vitro selection for resistance to
Fusarium oxysporum f. sp. dianthi and detection of genetic polymorphism
via RAPD analysis in carnation. Journal of Medicinal Plants Research.
6(23): 3997-4004.
Fanchang Z, Zhang X, Cheng L, Hu L, Zhu L, Cao J, Guo X. 2007. A draft gene
regulatory network for cellular totipotency reprogramming during plant somatic
embryogenesis. Genomics 90:620–628.
Fatmawati, Pamin K, Ginting G, Subronto, Muluk CH. 1997. Performance of oil
palm clones in the field based on ten year observation. Di dalam: unedited.
Proceedings of The Indonesian Biotechnology Conference, Jakarta (ID).
hlm 367-378.
Favaron F, Sella L, D’Ovidio R. 2004. Relationships among endo-
polygalacturonase, oxalate, ph, and plant polygalacturonase-inhibiting
protein (PGIP) in the interaction between Sclerotinia sclerotiorum and
soybean. MPMI. 17(12):1402–1409.
Feher A. 2006. Why Somatic Plant Cells Start to form Embryos? In Mujid A,
Samaj J, eds., Somatic Embryogenesis. Robinson DG, series ed., Springer-
Verlag, Berlin Heidelberg, Germany. Plant Cell Monographs. 2:85-101.
Field, Lettinga. 1992. Toxicity of Tannic Compounds to Microorganisms. Plant
Polyphenols Basic Life Sciences. 59:673-692.
Fox EM, Howlett BJ, 2008. Biosynthetic gene clusters for
pipolythiodioxopiperazines in filamentous fungi. Mycological Research.
112:162-169.
Foyer CH, Noctor G. 2005. Oxidant and antioxidant signalling in plants: a re-
evaluation of the concept of oxidative stress in a physiological context.
Plant, Cell and Environment. 28: 1056–1071. doi: 10.1111/j.1365-
3040.2005.01327.x.
Fraterova L, Salaj T, Matusikova I, Salaj J. 2013. The role of chitinases and
glucanases in somatic embryogenesis of black pine and hybrid firs. Cent. Eur.
J. Biol. 8: 1172-1182.
Gafur A. 2003. Aspek fisiologis dan biokimiawi infeksi jamur patogen tumbuhan.
J.Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 3(1):21-28.
Ganesan M, Jayabalan N. 2006. Isolation of disease-tolerant cotton (Gossypium
hirsutum L. cv. SVPR 2) plants by screening somatic embryos with fungal
culture filtrate. Plant Cell Tissue Organ Cult. 87:273–284.
George EF, Sherrington PD. 1984. Plant propagation by tissue culture. Handbook
and Directory of Commercial Laboratories. Exegetics, Hants, UK. 709 pp.
ISBN: 0-9509325-0-7.
Gholami AA, Alavi SV, Majd A, Fallahian F. 2013. Plant regeneration through
direct and indirect somatic embryogenesis from immature seeds of citrus.
Euro. J.Exp. Biol. 3(3):307-310.
82

Ginting G, Fatmawati RS. 1995. Propagation methodology of oil palm at Marihat.


Di dalam: RaoV, Hension IE, Rajanaidu N. Recent Developments in Oil
Palm Tissue Culture and Biotechnology. Proceedings of the 1993 ISOPB
International Symposium. Bangi (MY). hlm 33-37.
Goh KM, Ganeson M, Supramaniam CV. 2014. Infection potential of vegetative
incompatible Ganoderma boninense isolates with known ligninolytic
enzyme production. Academic J. 13(9): 1056-1066.
Green F, Clausen CA, Kuster TA, Highley TL. 1995. Induction of
polygalacturonase and the formation of oxalic-acid by pectin in brown-rot
fungi. World J. Microbiol. Biotechnol. 11:519–524.
Griffin DH. 1981. Fungal Physiology. New York (USA): John Willey & Sons.
Halim VA, Hunger A, Macioszek V, Landgraf P, Nurnberger T, Scheel D, Rosahl
S. 2004. The oligopeptide elicitor Pep-13 induces salicylic aciddependent
and -independent defense reactions in potato. Physiological and Molecular
Plant Pathology. 64:311–318.
Hatakka A. 2001. Biodegradation of lignin. In: Steinbüchel A. (ed.) Biopolymers.
Hofrichter M., Steinbüchel A, editor. Lignin, Humic Substances and Coal.
Wiley- VCH, Germany. 1:129-180.
Herliyana EN. 2007. Potensi ligninolitik jamur pelapuk kayu kelompok Pleurotus
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hilae A, Te-chato S. 2005. Effects of carbon sources and strength of MS medium
on germination of somatic embryos of oil palm (Elaeis quineensis Jacq.)
Songklanakarin J. Sci. Technol. 27: 629-635.
Hill RD, Huang S, Stasolla C. 2013. Hemoglobins, programmed cell death and
somatic embryogenesis. Plant Sci. 211:35–41.
Ho YW, Tan CC, Soh AC, Wong G, Chong SP, Choo CN, Norazurah A. 2008.
Tissue culture research at Applied Agricultural Resources Sdn. Bhd. –
towards quality planting materials. Presented at 5th National Seed
Congress . 11 -12 March. Kuala Lumpur (MY). PIPOC.
Ho YW, Tan YP. 1990. Experiences with oil palm clones. Di dalam: Jalani BS et
al. Proc. 1989 Int. Palm Oil Dev. Conf. – Agriculture. Palm Oil Res Inst.
Malaysia. Kuala Lumpur. hlm 66-72.
Hofrichter M. 2002. Review: lignin conversion by manganese peroxidase (MnP).
Enzyme and Microbial Technology. 30(4): 454-466.
Hogenhout SA, Van der Hoorn RAL, Terauchi R, Kamoun S . 2009. Emerging
Concepts in Effector Biology of Plant-Associated Organisms. MPMI.
22(2):115-122.
Hyun MWY, Kim YH, Kim J. 2011. Fungal and plant phenylalanine ammonia-
lyase. Mycobiology. 39(4):257-265.
Ibrahim Mohamad MN, Nor Nadiah MY, Amirue AA. 2005. Extraction of tannin
from oil palm empty fruit bunch as a rust deactivator. Di dalam: unedited.
Regional Symposium on Chemical Engineering; 30 November – 2
December; Hanoi, Vietnam, Hanoi (VET): Hanoi Honson Hotel. hlm 197-
201.
Idris A, Kushairi A, Ismail S, Ariffin D. 2004. Selection for partial resistance in
oil palm progenies to Ganoderma basal stem rot. J. Oil Palm Res. 16: 12-
18.
83
Idris AS, Mohd Tayeb D, Ariffin D, Zulkhifli D, Zulkhifli M, Mohd Rafil Y,
Affandi M. 2001. Morphology and pathogenicity of Ganoderma basal
stem rot of oil palm obtained from Sabah and Sarawak. Di dalam:
unedited. Proceeding Malaysian Sci. Technol. Congress;Sabah Malaysia;
Sabah (MY): Kota Kinabalu.
Idris AS. 1999. Basal stem rot (BSR) of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) in
Malaysia : Factors associated with variation in disease severity [Thesis].
London (UK): University of London.
Idris AS. 2012. Letest research and management of Ganoderma disease. Di dalam:
Unedited. Existing and Emerging Pests and Disease of Oil Palm Advences
in Research and Management. Proceedings 4th IOPRI-MPOB
International Seminar; 13 -14 December 2012. Bandung Indonesia;
Indonesia (ID): Grend Royal Panghegar. hlm. 1 -23.
Ikehata K, Nicell JA. 2000. Color and Toxicity Removal following Tyrosinase-
Catalyzed Oxidation of Phenols. Biotechnol. Prog. 16: 533-540.
Inpeuy K, Chaemalee S, Te-chato S. 2011. Cytokinins and coconut water
promoted abnormalities in zygotic embryo culture of oil palm.
Songklanakarin J. Sci. Technol. 336:653-657.
Jain SM. 2012. In vitro mutagenesis in banana (Musa spp.) improvement. Di
dalam: Dubois T, editor. Proc. IC on Banana & Plantain in Africa.
Helsinki (FN). Act Hort. 605-614.
Jakubekova M, Pret'ova A, Obert B. 2011. Somatic embryogenesis and plant
regeneration from immature embryo induced callus of maize (Zea mays
L.). J. Microbiol. Biotechnol. Food Sci. 1: 478-487.
Jaligot E, Rival A, Beulé T, Dussert S, Verdeil JL. 2000. Somaclonal variation in
oil palm (Elaeis guineensis Jacq.): the DNA methylation hypothesis. Plant
Cell Rep. 19(7):684-690.
Jimenez V. 2001. Regulation of in vitro somatic embryogenesis with emphasis on
the role of endogenous hormones. R. Bras. Fisiol. Veg. 13:196-223.
Jimenez VM, Thomas C. 2005. Participation of plant hormones in determination
and progression of somatic embryogenesis. Di dalam: Mujid A, Samaj J.
editor. Somatic Embryogenesis: Plant Cell Monographs. Springer;
Berlin/Heidelberg. 2:103-118.
Jin H, Hartman GL, Huang YH, Nickell CD, Widholm. 1996. Regeneration of
soybean plants from embriogenic suspension cultures treated with toxin
culture filtrate of Fusarium solani and screening of regenerants for
resistance. Resistance. 86(7):714-718.
Jo WS, Park HN, Cho DH, Yoo YB and Park SC. 2011. Detection of Extracellular
Enzyme Activities in Ganoderma neo-japonicum. Mycobiology. 39(2):
118-120.
Johannes C, Majcherczyk A. 2000. Natural mediators in the oxidation of
polycyclic aromatic hydrocarbons by laccase mediator systems. Appl.
Environ. Microbiol. 2(66):524–528.
Kadir A. 2007. Induksi variasi somaklon melalui iradiasi sinar gama dan seleksi in
vitro untuk mendapatkan tanaman nilam toleran terhadap cekaman
kekeringan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
84
Kameda. 2003. Study of the process of obtaining enzyme extract of Agaricus
bisporus for phenol removal in synthetic water waste [Tesis]. Rio de
Janeiro (BR): Universidade Federal do Rio de Janeiro.
Kamoun S. 2006. A Catalogue of the Effector Secretome of Plant Pathogenic
Oomycetes. Annu. Rev. Phytopathol. 44:41–60. doi:
10.1146/annurev.phyto.44.070505.143436.
Karthikeyan M, Bhaskaran R, Radhika K, Mathiyazhagan S, Sandosskumar R,
Samiyappan R, Velazhahan R. 2008. Purification and partial
characterization of a toxin produced by Ganoderma lucidum, the coconut
Ganoderma disease pathogen. Arch. Phytopathol. Plant Protec. 41(7):
507–513.
Karthikeyan M, Radhika K, Mathiyazhagan S, Bhaskaran R, Samiyappan R,
Velazhahan R. 2010. Induction of phenolics and defense-related enzymes in
coconut (Cocos nucifera L.) roots treated with biocontrol agents. Barz. J. Plant
Physiol. 18:367-377.
Kasem ZA, Mesterhfizy A, Sfigi F. 1991. In vitro techniques for selecting wheat
(Triticum aestivum L.) for Fusarium-resistance. I. Double-layer culture
technique. Euphytica. 57: 251-257.
Kasparovsky T, Milat ML, Humbert C, Blein JP, Havel L, Mikes V. 2003.
Elicitation of tobacco cells with ergosterol activates a signal pathway
including mobilization of internal calcium. Plant Physiol. Biochem. 41:
495–501.
Khairudin H, Lim TK, Abdul Razak AR. 1991. Pathogenicity of Ganoderma
boninense pat. on oil palm seedlings. Di dalam: Proceedings of the 1991
PORIM International Congress (Agriculture); Kuala Lumpur, Malaysia;
Kuala Lumpur (MY). hlm 418-423.
Khaled LB, Perez-Gilabert M, Dreyer B, Oihabi A, Honrubia M, Morte A. 2012.
Peroxidase changes in Phoenix dactylifera palms inoculated with mycorrhizal
and biocontrol fungi. Agron. Sustain. Dev. 28:411-418.
Kim KS, Min JY, Dickman MB. 2008. Oxalic acid is an elicitor of plant
programmed cell death during Sclerotinia sclerotiorum disease
development. MPMI. 21(5):605–612.
Kramut P, Te-chato S. 2010. Effect of curture media, plant growth regulators and
carbon sources on establisment of somatic embryo in suspension culture of
oil palm. J. Agric.Technol. 6 (1): 159-170.
Kruger NJ, Ratcliffe RG, Roscher A. 2003. Quantitative approaches for analysing
fluxes through plant metabolic networks using NMR and stable isotope
labelling. Phytochemistry Reviews. 2: 17–30.
Kuan IC, Tien M. 1993. Stimulation of Mn peroxidase activity: a possible role for
oxalate in lignin biodegradation. Proc Natl Acad Sci USA.15(4):1242-6.
Kuhad R, Singh CA, Eriksson KEL. 1997. Microorganisms and enzymes involved
in the degradation of plant fiber cell walls. Di dalam: Eriksson KEL,
editor. Advances in Biochem Eng Biotechnol. Berlin (DE): Spinger-
Verlag. Hlm. 46-125.
Kumar JV, Kumari BDA, Sujatha G, Castano E. 2008a. Production of plants
resistant to Alternria curthami via organogenesis and somatic
embryogenesis of safflower cv. NARI-6 treated with fungal culture
filtrates. Plant Cell Tissue Organ Cult. 93:85-96.
85
Lacan D, Baccou JC. 1996. Changes in lipids and electrolyte leakage during the
ripening of nonnetted muskmelon fruits. J. Am. Soc. Hort. Sci. 121: 554-
558.
Larkin PJ, Scowcroft WR. 1981. Somaclonal variation: a new source of variability
from cell cultures for plant improvement. Theor. Appl. Genet. 60(4):197-
214.
Lebeda A, Svabova L. 2010. Mass Screening Techniques for Selecting Crops
Resistant to Disease. Di dalam: Miranda M, Spencer MM, editor. In Vitro
Screening Methods For Assessing Plant Disease Resistance. Vienna (IT),
IAEA Publ. hlm 5- 45.
Lehner A, Meimoun P, Errakhi R, Madiona K, Barakate M, Bouteau F. 2008.
Toxic and signalling effects of oxalic acid. Plant Signaling & Behavior.
3(9):746-748.
Lowry OH, Rosenbrough NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement
with the Folin Phenol Reagent. J Biol Chem. 193: 265-275.
Ma L, Xie L, Lin G, Jiang S, Chen H, Li H, Taka T, Samaj J, Xu C. 2012.
Histological changes and differences in activities of some antioxidant enzymes
and hydrogen peroxide content during somatic embryogenesis of Musa AAA
cv. Yueyoukang 1. Sci. Hort. 144:87–92.
Makela M, Galkin S, Hatakka A, Lundell T. 2002. Production of organic acids
and oxalate decarboxylase in lignin-degrading white rot fungi. Enzyme and
Microbial Technology. 30:542-549.
Makela MR, Hilden K, Hatakka A, Lundell TK. 2009. Oxalate decarboxylase of
the white-rot fungus Dichomitus squalens demonstrates a novel enzyme
primary structure and non-induced expression on wood and in liquid
cultures. Microbiology. 155(8):2726-2738. doi: 10.1099/mic.0.028860-0.
Martinez AT. 2002. Molecular biology and structure-function of lignin-degrading
heme peroxidases. Enzyme Microb Technol. 30: 425-444.
Mayer AM, Staples RC. 2002. Laccase: new fuctions for an old enzyme.
Phytochemistry. 60: 551-565.
Mazid M, Khan TA, Mohammad F. 2011. Role of secondary metabolites in
defense mechanisms of plants. Biol. And Medicine. 3: 232-249
Mezzetti B, Zimmerman RH, Mischke C, Rosati P, Hammerschlag FA. 1992.
Merocyanine 540 as an optical probe to monitor the effects of culture
filtrates of Phytophtora cactorum on apple cell membranes. Plant Sci.
83:163-167.
Michalak A. 2006. Phenolic compounds and their antioxidant activity in plants
growing under heavy metal stress. Polish J. of Environ. Stud. 15(4):523-
530.
Miller RNG, Holderness M, Bridge PD, Chung GF, Zakaria MH. 1999. Genetic
diversity of Ganoderma in oil palm plantings. Plant Pathol. 48: 595–603.
Miller RNG, Holderness M, Bridge PD, Paterson RRM, Sariah M, Hussin MDZ,
Hilsey EJ. 1995. A multi-disciplinary approach to the characterisation of
Ganoderma in oil-palm cropping systems. Di dalam: Buchanan PK, Hsea
RS, Moncalvo JM, editor. Proceedings of Contributed Symposium 59.
Fifth International Mycological Congress, Vancouver, Canada. hlm 57–
66.
86
Moen MA, Hammel KE. 1994. Lipid peroxidation by the manganese peroxidase
of Phanerochaete chrysosporium is the basis for phenanthrene oxidation
by the intact fungus. Appl. Envir. Microbiol. 60(6):1956-1961.
Mohd As'wad AW, Sariah M, Paterson RMM, Abidin MAZ, Lima N. 2011.
Ergosterol analyses of oli palm seedlings and plants infected with
Ganoderma. Crop Protc. 30: 1438-1442.
Montesano M, Brader G, Palva ET. 2003. Pathogen derived elicitors: Searching
for receptors in plants. Mol. Plant Path. 4:73–79.
Munir E, Yoon JJ, Tokimatsu T, Hattori T, Shimada M. 2001. A physiological
role for oxalic acid biosynthesis in the wood-rotting basidiomycete
Fomitopsis palustris. PNAS. 98(20): 11126–11130.
Muniran F, Subhash JB, Farida HS. 2008. Micropropagation of Elaeis guineensis
Jacq. ‘Dura’: Comparison of three basal media for efficient regeneration.
Indian Journal of Experimental Biology. 46: 79-82
Naher L, S.G. Tan SG, Yusuf UK, Ho CL, Siddiquee S. 2012. Activities of chitinase
enzymes in the oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) in interactions with
pathogenic and non-pathogenic fungi. POJ. 5:333-336.
Nimchuk Z, Rohmer L, Chang JH, Dangl JL. 2001. Knowing the dancer from the
dance: R gene products and their interactions with other proteins from host
and pathogen. Curr Opin Plant Biol. 4: 288-294.
Ning W, Chen F, Mao B, Li Q, Lui Z, Guo Z, He Z. 2004. N-
acetylchitooligosaccharides elicit rice defense responses including
hypersensitive response-like cell death, oxidative brust and defence gene
expression. Physiol. Mol. Plant. Pathol. 64:263-271.
Nobles MK. 1948. Studies in forest pathology VI. Identification of cultures of
wood-rotting fungi. Canad. Journ. Res. C. 26: 281-431.
Nyange N, Williamson B, Lyon GD, Mcnicol RJ, Connolly T. 1997. Responses of
cells and protoplasts of Coffea arabica genotypes to partially purified
culture filtrates produced by Colletotrichum kahawae. Plant Cell Reports.
16(11): 763-769.
Ong-Abdullah M, Othman R, Ishak Z, Hashim AT, Syed-Alwee SSR. 2005.
Handbook : Photographic Perspective On The Anomalies Of Oil Palm.
Kuala Lumpur (MY): MPOB Pr.
Ozeretskovskaya OL, Vasyukova NI. 2002. The use of elicitors for protection of
cultured plants demands caution. Appl. Biochem. Microbiol. 38(3): 277-
279.
Paranjothy K, Othman R, Tan CC, Wang G, Soh AC. 1993. Incidence of
abnormalities in relation to in vitro protocols. Di dalam: Rao V. et al,
editor. Recent Devin Oil Palm Tissue Cult & Biotechnol; Kuala Lumpur.
(MY); hlm 131 -141.
Paranjothy K, Rohani 0, Tarmizi AH, Tan CS, Tan CC. 1989. Current status and
strategies of oil palm research. Di dalam: unedited. Proceedings of the
1989 Palm Oil Development Conference; Bangi (MY). hlm 109-125.
Passardi F, Longet D, Penel C, Dunand C. 2004. The class III peroxidase multigenic
family in rice and its evolution in land plants. Phytochemistry. 65:1879–1893.
Paterson RRM, Sariah M, Lima N. 2009. The feasibility of producing oil palm
with altered lignin content to control Ganoderma disease. J. Phytopathol.
157:649-656.
87
Paterson RRM. 2007. Ganoderma disease of oil palm a white-rot perspective
necessary for integrated control. Crop Protection. 26: 1369-1376.
Peever TL, Higgins VJ. 1989. Electrolyte leakage, lipoxygenase, and lipid
peroxidation induced in tomato leaftissue by specific and nonspecific
elicitors from Cladosporium fulvum. Plant Physiology. 90 (3): 867-875.
Pilotti CA, Sanderson FR, Aitken EAB. 2003. Genetic structure of a population of
Ganoderma boninense on oil palm. Plant Pathology. 52: 455–463.
Pilotti CA. 2005. Stem rots of oil palm caused by Ganoderma boninense:
Pathogen biology and epidemiology. Mycopathologia. 159: 129–137.
Pointing SB. 1999. Qualitative methods for the determination of lignocellulolytic
enzyme production by tropical fungi. Fungal Diversity. 2:17-33.
Purwati RD, Said H, Sudarsono. 2007. In vitro selection of abaca for resistance to
Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Hayati J Biosci. 14(2): 65-70.
Radman R, Saez T, Bucke C, Keshavarz T. 2003. Elicitation of plants and
microbial cell systems. Biotechnol. Appl. Biochem. 37(1): 91-102.
Rai MK, Kaliaa RK, Singha R, Gangolaa MP, Dhawana AK. 2011. Developing
stress tolerant plants through in vitro selection—An overview of therecent
progress. Envir. Exper. Bot. 71:89–98
Rajendran T, Raguchander T and Samiyappan R. 2008. Cloning and
characterization of a laccase gene from Ganoderma spp. causing basal
stem rot disease in coconut. Phytopathol. Mediterr. 47:98–106.
Rees RW, Floodb J, Hasanc Y, Potterd U, Coopera RM. 2009. Basal stem rot of
oil palm (Elaeis guineensis); mode of root infection and lower stem
invasion by Ganoderma boninense. Plant Pathology. 58:982–989.
Rohani, O. 2001. Positional effect of leaf explant on callusing and embryogenesis
in oil palm (Elaeis guineensis). Di dalam: unedited. PIPOC International
Palm Oil Congress, Agriculture Conference;, 20-22 August.; Kuala
Lumpur (MY). hlm 677-685.
Roslan A, Idris AS. 2011. Estimating yield losses due to Ganoderma disease of
oli palm in Malaysia – a case study. Di dalam: unedited. Proceedings of
the Third MPOB-IOPRI International Seminar Integrated Oil Palm Pest
and Diseases Management.; 14 November 2011; Kuala Lumpur,
Malaysia; Kuala lumpur (MY). hlm 197-203
Ryvarden L. 1991. Genera of polypores: nomenclature and taxonomy. Syn Fung.
5:1–363.
Sagwan S, Rao DV, Sharma RA. 2011. In-vitro and in-vivo antioxidant activity
and total phenolic content of Pongamia pinnata (L.) Pierre: An important
medicinal plant. Int. J. Biotech. 4 (6):568-574.
[SAI] Sigma-Aldrich Inc. 1994. Enzymatic Assay of β-N-Acetylglucosaminidase
(EC 3.2.1.30) Sigma Quality Control Test Procedure for Sigma Product.
Riedel de Haen (GER): Sigma. https://www.sigmaaldrich.com [13 Oktober
2012].
[SAI] Sigma-Aldrich Inc. 1996. Enzymatic Assay of Peroxidase (EC 1.11.1.7)
Sigma Quality Control Test Procedure for Sigma Product. Riedel de Haen
(GER): Sigma. https://www.sigmaaldrich.com [13 Oktober 2012].
[SAI] Sigma-Aldrich Inc. 1998. Enzymatic Assay of Phenylalanine Amonia-Lyase
(EC 4.3.1.5) Sigma Quality Control Test Procedure for Sigma Product.
88
Riedel de Haen (GER): Sigma. https://www.sigmaaldrich.com [1 Oktober
2012].
Sanputawong S, Te-chato S. 2008. Effect of genotypes of oil palm as indicator for
speed of callus and embryogenic callus formation. J. Agri. Technol. 4:147-
156.
Saparrat MCN, Bucsinszky AMM, Tournier HA, Cabello MN, Arambarri AM.
2000. Extracellular ABTS-oxidizing activity of autochthonous fungal
strains from Argentina in solid medium. Rev Iberoam Micol. 17: 64-68
Sarwono J. 2012. Metode Riset Skripsi Pendekatan Kuantitatif Menggunakan
Prosedur SPSS. Jakarta (ID): PT Elex Media Komputindo.
Sasidharan S, Jinxuan O, Yoga Latha L, Amutha S. 2011. In vitro toxicity study
of Ganoderma boninense. AJPP. 5(16):1819-1823
Sass JE. 1956. Botanical Micro Technique. Iowa State college Press, Ames, Iowa.
228 pp.
Schilling JS. 2006. Oxalate production and cation translocation during wood
biodegredation by fungi [Desertasi]. Orono (USA). The University of
Maine.
Schuster B, Rjetey J. 1995. The mechanism of action of phenylalanine ammonia-
lyase: The role of prosthetic dehydroalanine. Proc. Natl. Acad. Sci.
92:8433-8437.
Shamala S, Chris D, Sioban O, Idris AS. 2006. Preliminary studies on the
development of monoclonal antibodies against mycelia of Ganoderma
boninense, the causal pathogen of basal stem rot of oil palm. Malaysian J.
Microbiol. 2:30-34.
Sharma N, Sharma KP, Gaur RK, Gupta VK. 2011. Role of chitinase in plant
defense. Asian J. of Biochem. 6(1): 29-37.
Sharma P, Jha AB, Dubey RS, Pessarakli M. 2012. Reactive oxygen species,
oxidative damage, and antioxidative defense mechanism in plants under
stressful conditions. Journal of Botany. Article ID 217037, 26 pages.
doi:10.1155/2012/217037.
Sivakumar R, Rajendran R, Balakumar C, Tamilvendan M. 2010. Isolation,
screening and optimization of production medium for thermostable laccase
production from Ganoderma sp. J. Eng. Sci. Tech. 2(12):7133-7141.
Skirvin, R.M., K.D. McPheeters and M. Norton, 1994. Sources and frequency of
somaclonal variation. Hort. Sci. 29: 1232-1237.
Sogeke AK, Odewale JO, Exe CR, Omamor IB. 1999. Vegetative propagation of
oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Initiation of calus from leaf explants. Di
dalam: unedited. Proceedings of the 1999 PORIM International Palm Oil
Congress - Agriculture. Emerging Technologies and Opportunities in the
Next Millennium. Kuala Lumpur Malaysia. Kuala Lumpur (MY). Palm Oil
Research Institute of Malaysia. hlm 230–235.
Sogeke AK. 1996. Rapid callus proliferation, somatic embrygenesis and
organogenesis of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Elaeis. 8(2): 92-103.
Soh AC, Wong G, Tan CC, Chew PS, Chong SP, Ho YW, Wong CK, Choo CN,
Nor Azura A, Kumar K. 2011. Commercial-scale propagation and planting
of elite oil palm clones: Research and development towards realization. J.
Oil Palm Res. 23:935-952.
89
Solis-Ramos LY, Andrade-Torres A, Carbonell LAS, Salín CMO, De la Serna
EC. 2012. Somatic embryogenesis in recalcitrant plants. Di dalam: Sato K
editor. Embryogenesis. Rijeka (HR), InTech. hlm 599-618.
Songulashvili G, Jimenez-Tobon G, Jaspers C, Penninckx MJ. 2011. High
production of laccase by Ganoderma lucidum 447 in submerged cultivation
on ethanol production residue supplemented with Cu2+. Mycosphere.
2(4):507–513.
Staples RC, Toenniessen GH. 1981. Plant disease control. John Wiley. New York.
361: 512 pp.
Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and procedures of statistics. New York.
McGraw-Hill Book Co. 666 pp.
Steffen KT. 2003. Degradation of recalcitrant biopolymers and polycyclic
aromatic hydrocarbons by litter-decomposing basidiomycetous fungi.
[disertasi]. Helsinki (FI): University of Helsinki.
Sukma D, Poerwanto R, Sudarsono, Khumaida N, Wiyono S, Artika IM. 2008.
Aktivitas kitinase dan peroksidase dari ekstrak protein daun, akar, kalus
dan tunas in vitro Trichosanthes tricuspidata. Lour.Bul.Agron. 36(1):56–
63.
Sultana Y. 2007. Sterilization methods and principles. Di dalam: Hamdard J,
Hamdard N, editor. Pharamaceutical microbology and biotechnology.
Dept.of Pharmaceutics Faculty of pharmacy [Internet]. New Delhi
(110062): Univercity of Daha. hlm 1-21 [diunduh 2013 jam 15].
Suranthran P, Sinniah UR, Subramaniam S, Aziz MA, Romzi N, Gantait S. 2011.
Effect of plant growth regulators and activated charcoal on in vitro growth
and development of oil palm (Elaeis guineensis Jacq. var. Dura) zygotic
embryo. African Journal of Biotechnology. 10 (52):10600-10606. ISSN
1684-5315.
Susanto A, Prasetyo AE, Priwiratama H. 2012. Recent progress of culture practice
on controlling Ganoderma in Indonesia. Di dalam: unedited. Proceedings
4th IOPRI-MPOB International Seminar; 13 -14 December 2012.
Bandung, Indonesia. Bandung (ID). hlm. 42 -48.
Susanto A, Sudharto. 2003. Status of Ganoderma disease on oil palm in
Indonesia. Di dalam : unedited. The International Workshop on
Ganoderma disease of Perennial Crops; March 24 – 26; Medan Indonesia
.Medan (ID).
Susanto A. 2002. Kajian pengendalian hayati Ganoderma boninense Pat.
penyebab penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit [disertasi]. Bogor.
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Svabova L, Lebeda A. 2005. In vitro selection for improved plant resistance to
toxin-producing pathogens. J. Phytopathol. 153: 52-64.
Syed Alwee SSR, Roowi SH, Aw KT, Othman AZ. 2010. Progress of oil palm
tissue culture in Felda and its challenges. Proc Advances In Oil Palm
Tissue Culture. International Oil palm Conference 2010. Yogyakarta 1 - 3
June. Yogyakarta (ID). Indonesian Oil Plam Research.hlm.45–52.
Tahir NI, Shaari K, Abas F, Ahmad Parveez GK, Hashim AT, Ramli US. 2013.
Identification of oil palm (Elaeis guineensis) spear leaf metabolites using
mass spectrometry and neutral loss analysis. J. Oil Palm Res. 25(1): 72-
83.
90
Tanaka N, Akamatsu Y, Hattori T, Shimada M. 1994. Effect of oxalic acid on the
oxidative breakdown of cellulose by the fenton reaction. Wood Research.
81:8-10.
Tavakoli H, Bayat M, Kousha A, Panahi P. 2008. The application of chromogenic
culture media for rapid detection of food and water borne pathogen.
American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci. 4(6): 693-698.
Tay ET, Jaafar HZE, Idris AS, Puad A. 2009. Biochemical responses of oil palm
seedlings to early Ganoderma boninense infection. Di dalam: Omar D,
Jaafar H, Balasundram SK, Loh TC, editor. Proceedings of Agriculture
Congress 2009. 27-29 October 2009. Selangor, Malaysia. hlm 306-308.
Te-chato S, Hilae A, In-perey K. 2008. Effect of cytokinin types and
concentrations on growth and development of cell suspension culture of
oil palm. J. Agric. Tech. 4(2): 157-163.
Thurston CF. 1994. The structure and function of fungal laccases. Microbiology.
140:19-26
Tsung-Che T, Li-Shu C. 1987.Studies on Ganoderma lucidum production of
pectolytic enzyme. Bot. Bull. Academia Sinica. 29:23-32.
Vares T, Hatakka A. 1997 Lignin-degrading activity and ligninolytic enzymes of
different white-rot fungi: effects of manganese and malonate. Can J Bot
75:61-71.
Vidhyasekaran P. 2008. Fungal Pathogenesis in Plants and Crops : Molecular
Biology and Host Defense Mechanisms. Boca Raton (FL). CRC Press.
Virdiana I, Flood J, Sitepu B, Hasan Y, Aditya R, Nelson S. 2011. Interated
disease Management to reduce future Ganoderma infection during oil
palm replanting. Simposium Nasional & Lokakarya Ganoderma “Sebagai
Patogen Penyakit Tanaman dan Bahan Baku Obat Tradisional”; 2-5
November 2011. Bogor Indonesia. Bogor (ID).
Vovola P, Lord S. 2004. Clonal micropropagation of oil palm (Elaeis guineensis
Jacq). Second Kulim Conference. Kimbe, Papua New Guinea.
Wong G, Tan CC, Soh AC. 1997. Large scale propagation of oil palm clones-
experiences todate. Acta Hort. 447:649-658.
Wooi KC. 1993. Oil palm tissue culture – current practice and constraits. Di
dalam: Rao V, Henson IE, Rajanaidu N editor. Recent Developments In
Oil Palm Tissue Culture And Biotechnology. Proceedings of the 1993
ISOPB International Symposium on Recent Developments In Oil Palm
Tissue Culture and Biotechnology; 24 – 25 September 1993; Kuala
Lumpur (MY).hlm. 21-32.
Woo-Sik J, Park HN, Cho DH, Yoo YB, Park SC. 2011. Detection of extracellular
enzyme activities in Ganoderma neo-japonicum. Mycobiology. 39(2):
118–120. doi: 10.4489/MYCO.2011.39.2.118.
Yusnita, Widodo, Sudarsono. 2005. In vitro selection of peanut somatic embryos
on medium containing culture filtrate of Sclerotium rolfsii and plantlet
regeneration. Hayati. 12(2):50-56.
Zaeifizadeh M, Tahmasebi-enferadi S, Mousavi A, Heidari P, Ahmadizadeh M.
2013. Quick method for screening of tolerant sunflower (Helianthus
annuus L.) genotypes to Sclerotinia sclerotiorum at seedling stage.
Biharean Biologist. 7(1):29-32.
91
Zain N, Idris As, Kushairi A, Ramli US. 2013. Metabolite profiling of oil palm
towards understanding basal stem rot (BSR) disease. J. Oil Palm Res. 25(1):58-
71.
Zakaria L, Kulaveraasingham H, Guan TS, Abdullah F, Wan HY. 2005. Random
Amplified Polymorphic DNA (RAPD) and Random Amplified
Microsatellite (RAMS) of Ganoderma from infected oil palm and coconut
stumps in Malaysia. AsPac J. Mol. Biol. Biotechnol. 13(1):23-34.
Zavattieri MA, Frederico AM, Lima M, Sabino R, Arnholdt-Schmitt B. 2010.
Induction of somatic embryogenesis as an example of stress-related plant
reactions. Electron J. Biotech. 13:1-9.
Zhu LW, Zhong JJ, Tang YJ. 2009. Significance of fungal elicitors on the
production of ganoderic acid and Ganoderma polysaccharides by the
submerged culture of medicinal mushroom Ganoderma lucidum. Process
Biochemistry. 43:1359-1370.
92
LAMPIRAN

Lampiran 1 Sidik ragam diameter zona reaksi isolat pada media ATT
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 4301.49 477.94 4.91 0.0002
Galat 39 3798.35 97.39
Total terkoreksi 48 8099.84
2
R : 0.53; Koefisien variasi : 73.60; Simpangan baku galat : 9.87; Nilai tengah :13.41

Lampiran 2 Sidik ragam diameter koloni isolat pada media ATT


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
keragaman bebas kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 201.85 22.43 3.64 0.0022
Galat 39 240.35 6.16
Total terkoreksi 48 442.20
R2 : 0.46; Koefisien variasi : 38.37; Simpangan baku galat : 2.48; Nilai tengah :6.47

Lampiran 3 Sidik ragam indeks isolat pada media ATT


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 75.73 8.41 5.10 0.0001
Galat 39 64.31 1.65
Total terkoreksi 48 140.04
2
R : 0.54; Koefisien variasi : 67.30; Simpangan baku galat : 1.28; Nilai tengah :1.91

Lampiran 4 Skor intensitas warna pada zona reaksi oksidasi di media ATT
S a ng at lem ah lem ah ku at San ga t ku at

Lampiran 5 Sidik ragam diameter zona reaksi isolat pada media ABTS
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 5663.85 629.32 11.58 0.0001
Galat 39 2120.35 54.37
Total terkoreksi 48 7784.20
2
R : 0.73; Koefisien variasi : 17.34; Simpangan baku galat : 7.37; Nilai tengah :42.53
93

Lampiran 6 Sidik ragam diameter miselium isolat pada media ABTS


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 13774.93 1530.55 28.11 0.0001
Galat 39 2123.60 54.45
Total terkoreksi 48 15898.53
2
R : 0.87; Koefisien variasi : 24.78; Simpangan baku galat : 7.38; Nilai tengah :29.78

Lampiran 7 Sidik ragam indeks isolat pada media ABTS


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 234.24 26.03 13.68 0.0001
Galat 39 74.20 1.90
Total terkoreksi 48 308.44
2
R : 0.76; Koefisien variasi : 54.24; Simpangan baku galat : 1.38; Nilai tengah :2.54

Lampiran 8 Skor intensitas warna pada zona reaksi oksidasi di media ABTS
S a ng a t l em a h l em a h ku at San ga t ku at

Lampiran 9 Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media ATT


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 634.10 70.46 12.64 0.0001
Galat 39 217.44 5.58
Total terkoreksi 48 851.54
2
R : 0.74; Koefisien variasi : 41.77; Simpangan baku galat : 2.36; Nilai tengah :5.65

Lampiran 10 Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media ABTS


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 5.71 0.63 3.21 0.0053
Galat 39 7.71 0.20
Total terkoreksi 48 13.41
2
R : 0.43; Koefisien variasi : 176.79; Simpangan baku galat : 0.44; Nilai tengah :0.25
94

Lampiran 11 Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media MEA


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 2.37 0.26 11.98 0.0001
Galat 20 0.44 0.02
Total terkoreksi 29 2.81
2
R : 0.84; Koefisien variasi : 17.81; Simpangan baku galat : 0.15; Nilai tengah :0.83
Lampiran 12 Analisis cluster berdasarkan sebelas karakter fisiologis dengan
metode Euclidean Distance, Ward Linkage Amalgamation Steps
Number
Num of Similarity Distance New obs.in new
Step cluster level level Clusters joined cluster cluster
1 9 87.7097 9.427 2 7 2 2
2 8 84.5922 11.818 3 6 3 2
3 7 75.9018 18.483 1 4 1 2
4 6 70.5063 22.622 2 3 2 4
5 5 65.7784 26.248 5 8 5 2
6 4 61.7731 29.320 2 9 2 5
7 3 35.2900 49.633 2 5 2 7
8 2 19.6372 61.638 2 10 2 8
9 1 -63.0624 125.069 1 2 1 10

Lampiran 13 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup pada metode modifikasi
kultur patogen
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 3 0.13 0.04 5.68 0.0027
Galat 36 0.28 0.01
Total terkoreksi 39 0.41
2
R : 0.32; Koefisien variasi : 9.67; Simpangan baku galat : 0.09; Nilai tengah : 0.91

Lampiran 14 Sidik ragam penurunan berat basah kalus pada metode modifikasi
kultur patogen
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
keragaman bebas kuadrat tengah hitung P>F
Model 3 0.45 0.15 12.08 <.0001
Galat 36 0.45 0.01
Total terkoreksi 39 0.90
R2 : 0.50; Koefisien variasi : 13.42; Simpangan baku galat : 0.11; Nilai tengah : 0.83
95

Lampiran 15 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup dengan kontrol negatif
waktu panen optimal agen seleksi
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
keragaman bebas kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 4.14 0.46 24.68 <.0001
Galat 60 1.12 0.02
Total terkoreksi 69 5.26
2
R : 0.80; Koefisien variasi : 22.27; Simpangan baku galat : 0.10; Nilai tengah :0.61

Lampiran 16 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup dengan kontrol positif
waktu panen optimal agen seleksi
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
keragaman bebas kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 6.20 0.69 24.28 <.0001
Galat 60 1.70 0.03
Total terkoreksi 69 7.90
2
R : 0.78; Koefisien variasi : 32.08; Simpangan baku galat : 0.17; Nilai tengah : 0.52

Lampiran 17 Sidik ragam regresi rasio kalus hidup pada penentuan konsentrasi
letal filtrat terhadap kalus dengan pembanding kontrol negatif
Hasil : | thit | < |tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.34 lebih besar
Sumber
dibandingkan dengan Derajat
taraf nyataJumlah 0.05, maka H0Kuadrat
diterima Nilai
keragaman bebas kuadrat tengah F P>F
Model 1 3576.84 3576.84 6.47 0.03
galat 9 4420.86 552.61
Total 10 7997.69
Jumlah sampel : 10; R2 : 0.45; R2 terkoreksi : 0.38; Standar galat : 23.50; Nilai tengah :70.41

Lampiran 18 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup pada penentuan


konsentrasi subletal melalui empat siklus penapisan
Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P>F
Model 115 367837.94 3198.59 472.74 <.0001
perlakuan 6 305912.24 50985.37 7535.49 <.0001
waktu 52 57613.45 1107.95 163.75 <.0001
r(perlakuan) 3 271.69 90.56 13.38 <.0001
r(waktu) 27 372.72 13.80 2.04 0.00
perlakuan*waktu 18 163.22 9.07 1.34 0.17
Galat 154 1041.97 6.77
Total terkoreksi 269 368879.91
2
R : 0.99; Koefisien variasi : 3.69; Simpangan baku galat : 2.60; Nilai tengah :70.41
96

Lampiran 19 Sidik ragam penurunan selisih berat basah kalus pada penentuan
konsentrasi subletal melalui empat siklus penapisan
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
keragaman bebas kuadrat tengah F hitung P>F
Model 115 572525.37 4978.48 6.73 <.0001
perlakuan 6 283332.60 47222.10 63.83 <.0001
waktu 52 185936.86 3575.71 4.83 <.0001
r(perlakuan) 3 12705.73 4235.24 5.72 0.00
r(waktu) 27 31942.45 1183.05 1.60 0.04
perlakuan*waktu 18 42880.53 2382.25 3.22 <.0001
Galat 154 113938.83 739.86
Total terkoreksi 269 686464.21
R2 : 0.66; Koefisien variasi : 5.03; Simpangan baku galat : 0.12; Nilai tengah :2.40
Transformasi data :log(x+10)

Lampiran 20 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya
terhadap aktivitas enzim peroksidase
Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P>F
Model 3 0.004 0.001 8.440 0.003
Media 1 0.002 0.002 9.860 0.009
Asal kalus 1 0.002 0.002 15.450 0.002
Media*Aslak kalus 1 0.000 0.000 0.010 0.923
Galat 12 0.002 0.000
Total terkoreksi 15 0.006
2
R : 0.68; Koefisien variasi : 9.69; Simpangan baku galat : 0.01; Nilai tengah :0.13

Lampiran 21 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya
terhadap aktivitas enzim fenilalanina amonia liase
Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P>F
Model 3 0.00017 0.00006 4.110 0.032
Media 1 0.00000 0.00000 0.010 0.921
Asal kalus 1 0.00015 0.00015 11.230 0.006
Media*Aslak kalus 1 0.00002 0.00002 1.100 0.315
Galat 12 0.00016 0.00001
Total terkoreksi 15 0.00033
2
R : 0.51; Koefisien variasi : 0.07; Simpangan baku galat : 0.00; Nilai tengah : 5.01
97

Lampiran 22 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya
terhadap aktivitas enzim kitinase
Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P>F
Model 3 0.000083 0.000028 3.550 0.048
Media 1 0.000005 0.000005 0.650 0.437
Asal kalus 1 0.000002 0.000002 0.200 0.663
Media*Aslak kalus 1 0.000077 0.000077 9.800 0.009
Galat 12 0.000094 0.000008
Total terkoreksi 15 0.000177
R2 : 0.47; Koefisien variasi : 17.40; Simpangan baku galat : 0.00; Nilai tengah :0.02
Lampiran 23 Larutan seri Jonsen dan lama waktu perendaman pada tahap
fiksasi spesimen
Larutan seri Jonsen Waktu
Larutan 3 jam
Etanol 70%(v/v) 3 jam
Etanol 95%(v/v) 3 jam
Etanol absolut 3 jam
Etano:xylol (3:1) 3 jam
Etano:xylol(1:1) 3 jam
Xylol I 3 jam
Xylol II 3 jam

Lampiran 24 Larutan pewarnaan, tahap perendaman dan lama perendaman pada


tahap pewarnaan spesimen
Larutan Pewarnaan Perendaman Waktu
xylol 1 (5 menit) 1 x 5 menit
xylol 2 (5 menit) 1 x 5 menit
Etanol absulut 2 x 5 menit
Etanol 95 % 1 x 5 menit
Etanol 70 % 1 x 5 menit
Etanol 50 % 1 x 5 menit
Etanol 30 % 1 x 5 menit
Aquades 1 x 2 menit
Safranin 2 % 1 x 12 jam
Aquades 1 x 2 menit
Etanol 30 % 1 x 3 menit
Etanol 50 % 1 x 3 menit
Etanol 70 % 1 x 3 menit
Etanol 95 % 1 x 3 menit
Fast green 0,5 % 1 x 5 menit
Etanol absolut 2 x 5 menit
xylol 1 1 x 5 menit
xylol 2 1 x 5 menit
98

Lampiran 25 Model regresi peubah aktivitas enzim fenilalanina amonia liase


standar enzim Rhodotorula glutinis

Keterangan : = data =model regresi


Sumber keragaman derajat bebas jumlah kuadrat kuadrat tengah nilai F Significance F
Regression 1 0.19 0.19 2043.14 0.00
Residual 4 0.00 0.00
Total 5 0.19
2 2
Jumlah sampel = 6 ;R = 1.0 ;R terkoreksi = 1.0 ;Standard Error = 0.01
Lampiran 26 Model regresi peubah aktivitas enzim peroksidase standar enzim
Horse radish peroksidase

Keterangan : = data =model regresi


Sumber keragaman derajat bebas jumlah kuadrat kuadrat tengah nilai F Significance F
Regression 1 0.0263 0.0263 0.000 0.0000
Residual 5 0.0000 0.0000
Total 6 0.0263

Jumlah sampel = 7 ;R =
2
1 ;R 2 terkoreksi = 1 ;Standard Error = 0
99

Lampiran 27 Model regresi peubah aktivitas enzim β-N-Acetyl


glucosaminidase standar enzim Canavalia ensiformis

Keterangan : = data =model regresi


Sumber keragaman derajat bebas jumlah kuadrat kuadrat tengah nilai F Significance F
Regression 1 0.073 0.073 2449.228 0.000
Residual 4 0.000 0.000
Total 5 0.073
2 2
Jumlah sampel = 6 ;R = 1 ;R terkoreksi = 1 ;Standard Error = 0.005

Lampiran 28 Kandungan asam α-ketoglutarat (ppm) dari media YMB yang


diinokulasi (filtrat) dan tanpa inokulasi G. boninense (kontrol)
Media n x±sd*
Kontrol 3 29.05±11.61
Filtrat 10 28.93±1.7
*)rerata±standar deviasi
Hipotesis :
H0 : 1 - 2 = 0 (tidak terdapat perbedaan); H1 : 1 - 2 ≠ 0 (terdapat perbedaan)
P(T<=t) two-tail 0.99; t Critical two-tail 2.43
Hasil : | thit | < | tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.99 lebih besar dibandingkan dengan taraf nyata
0.05, maka H0 diterima

Lampiran 29 Kandungan asam sitrat (ppm) dari media YMB yang diinokulasi
(filtrat) dan tanpa inokulasi G. boninense (kontrol)
Media n x±sd*
Kontrol 3 14.26±12.99
Filtrat 10 7.67±1.91
*)rerata±standar deviasi
P(T<=t) two-tail 0.00; t Critical two-tail 2.44
Hasil : | thit | < | tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.00 lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata
0.05, maka H0 ditolak
100

Lampiran 30 Kandungan asam malat (ppm) dari media YMB yang diinokulasi
(filtrat) dan tanpa inokulasi G. boninense (kontrol)
Media n x±sda
Kontrol 3 0.10±0.07
Filtrat 10 0.42±0.13
a
Rerata±standar deviasi
P(T<=t) two-tail 0.00; t Critical two-tail 2.44
Hasil : | thit | < | tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.00 lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata
0.05, maka H0 ditolak

Lampiran 31 Kandungan asam oksalat (ppm) dari media YMB yang diinokulasi
(filtrat) dan tanpa inokulasi G. boninense (kontrol)
Media n x±sda
Kontrol 3 4.72±3.23
Filtrat 10 24.95±5.31
a
Rerata±standar deviasi
P(T<=t) two-tail 0.00; t Critical two-tail 2.44
Hasil : | thit | < | tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.00 lebih kecil dibandingkan dengan taraf
nyata 0.05, maka H0 ditolak

Lampiran 32 Kandungan ergosterol (ppm) dari media YMB yang diinokulasi


(filtrat) dan tanpa inokulasi G. boninense (kontrol)
Media n x±sda
Kontrol 3 0.000±0.000
Filtrat 10 0.002±0.000
a
Rerata±standar deviasi
P(T<=t) two-tail 0.010; t Critical two-tail 2.20
Hasil : | thit | < | tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.01 lebih kecil dibandingkan dengan taraf
nyata 0.05, maka H0 ditolak

Lampiran 33 Kandungan protein total (ppm) dari media YMB yang diinokulasi
(filtrat) dan tanpa inokulasi G. boninense (kontrol)
Media n x±sda
Kontrol 3 62.26±8.46
Filtrat 10 90.22±13.04
a
Rerata±standar deviasi
P(T<=t) two-tail 0.00; t Critical two-tail 2.17
Hasil : | thit | < | tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.00 lebih kecil dibandingkan dengan taraf
nyata 0.05, maka H0 ditolak
101

Lampiran 34 Kandungan polisakarida total (ppm) dari media YMB yang


diinokulasi (filtrat) dan tanpa inokulasi G. boninense (kontrol)
Media n x±sda
Kontrol 3 513.93±64.68
Filtrat 10 180.36±92.12
a
Rerata±standar deviasi
P(T<=t) two-tail 0.010; t Critical two-tail 2.18
Hasil : | thit | < | tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.01 lebih kecil dibandingkan dengan
taraf nyata 0.05, maka H0 ditolak

Lampiran 35 Statistika diskriptif peubah eksogenus dan endogenus pada analisis


lintas
Parameter
Peubah Error of the Estimate Keterangan
n Mean Std. Deviation
Kobocoran elektrolit 60 0.05 0.04 0.03 Layak
Total Protein 60 27.07 7.31 0.03 Layak
Total Polisakarida 60 54.11 22.74 0.03 Layak
Asam Oksalat 60 7.49 2.32 0.03 Layak
Ergosterol 60 0.00 0.00 0.03 Tak Layak

Lampiran 36 Korelasi Pearson antar peubah eksogenus dan endogenus pada


analisis lintas
Peubah
Parameter Peubah Kebocoran Total Total Asam
elektrolit polisakarida protein oksalat
Korelasi
Kebocoran elektrolit 1.00 0.25 0.63 0.50
Pearson
Total polisakarida 0.25 1.00 0.43 0.48
Total protein 0.63 0.43 1.00 0.48
Asam oksalat 0.50 0.48 0.48 1.00
Signifikansi
Kebocoran elektrolit 0.03 0.00 0.00
(1-tailed)
Total polisakarida 0.03 0.00 0.00
Total protein 0.00 0.00 0.00
Asam oksalat 0.00 0.00 0.00
Jumlah sampel Kebocoran elektrolit 60 60 60 60
Total polisakarida 60 60 60 60
Total protein 60 60 60 60
Asam oksalat 60 60 60 60
Signifikansi < 0.05 : berkorelasi
102

Lampiran 37 Sidik ragam regresi kebocoraan elektrolit


Parameter model Jumlah derajat kuadrat tengah nilai F Sig.
kuadrat bebas

Regresi 0.05 3 0.02 16.14 0.00a


Galat 0.06 56 0.00
Total 0.12 59
a
Prediktor : (Konstanta), Oksalat, Total protein, Total polisakarida; R2: 0.55; R2 terkoreksi : 0.52;
Std. Error of the Estimate : 0.03; Durbin-Watson : 1.62

Lampiran 38 Nilai b peubah eksogenus terhadap peubah kebocoran elektrolit


kalus pada analisis lintas
Koefisien belum Koefisien
terstandarisasi terstandarisasi
t Sig.
β Std. Error β
Model
(Konstanta) -0.07 0.02 -3.95 0.00
Total polisakarida 0.00 0.00 -0.19 -1.11 0.00
Total protein 0.00 0.00 0.55 4.73 0.30
Asam oksalat 0.01 0.00 0.30 2.52 0.02
Sig. < 0.05 : berpengaruh nyata

Lampiran 39 Validasi metode analisis kandungan polisakarida total


menggunakan standar β-glukan

Keterangan : = data =model regresi


Sidik ragam regresi dalam validasi metode dengan standar polisakarida β-glukan
Sumber
keragaman derajat bebas jumlah kuadrat kuadrat tengah nilai F signifikansi
Regresi 1 0.006 0.006 338.60 0.000
Galat 4 0.000 0.000
Total 5 0.006
Jumlah ulangan : 6; R2 terkoreksi : 0.99; Standar galat : 0.004
103

Lampiran 40 Validasi metode analisis kandungan asam α-ketoglutarat, sitrat,


malat dan oksalat menggunakan standar asam α-ketoglutarat, sitrat,
malat dan oksalat

AU = area unit ; menute = waktu retensi;1 =asam α-ketoglutarat ; 2 = asam oksalat; 3=asam malat;
4= asam sitrat
Pengukuran standar asam α-ketoglutarat, sitrat, malat dan oksalat pada beberapa
konsentrasi validasi
Rerata luas area asam standar (AU)
Konsetrasi (ppm) n α-Ketoglutarat Sitrat Malat Oksalat
1 5 12,530.40 1,038.60 94,986.67 1,065.00
5 5 36,941.40 4,289.20 460,080.67 13,561.50
10 5 69,845.00 8,879.20 933,027.00 36,304.00
20 5 183,337.40 25,605.60 2,602,782.67 120,138.50
25 5 296,318.40 42,014.00 4,197,524.33 214,296.00
50 5 407,766.60 58,377.00 5,779,115.33 326,436.00

Parameter regresi standar asam α-ketoglutarat, sitrat, malat dan oksalat


Parameter
Peubah a b r
α-Ketoglutarat 8,741.40 8,597.21 0.94
Sitrat 219.72 1,251.22 0.94
Malat 58,274.12 123,584.43 0.94
Oksalat -12,754.88 7,102.07 0.96
Kondisi sistem Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) pada
penetapan kandungan asam α-ketoglutarat, sitrat, malat dan oksalat dalam filtrat
G. boninense
Fasa Gerak : Akuades pH 2.5 (H2SO4)
Flow Rate : 0.100 mL/min
Volume Injeksi : 1 μl
Kolom : Acquity UPLC BEH C18 1.7 μm (2.1 x 50 mm)
Waktu retensi : 4.5 menit
Panjang Gelombang : 210 nm
Temperatur kolom : suhu ruang
104

Lampiran 41 Validasi metode analisis kandungan ergostrol menggunakan


standar ergosterol
0.30

0.25

0.20

0.15
AU

0.10

0.05

0.00
0.00
2.20
2.00
1.80
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
Minutes

Keterangan : AU = area unit ; menit = waktu retensi

Pengukuran standar Ergosterol pada beberapa konsentrasi validasi


Konsetrasi (ppm) n Rerata luas area (AU)
1 5 8,536
5 5 33,538
10 5 70,187
20 5 135,601
Ergosterol - 1.613

25 5 164,533
50 5 299,486

Parameter regresi standar Ergosterol

Parameter
Peubah a b r
Ergosterol 8,539.28 5,951.76 1.00
Kondisi sistem Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) pada
penetapan kandungan ergosterol filtrat G. boninense
Fasa gerak : Metanol
Flow rate : 0.100 mL/min
Volume injeksi : 1 μl
Kolom : Acquity UPLC BEH C18 1.7 μm (2.1 x 50 mm)
Waktu retensi : 5 menit
Panjang gelombang : 282 nm
Temperatur kolom : suhu ruang
105

Lampiran 42 Validasi metode analisis kandungan protein total menggunakan


standar Bovin albumin

Keterangan : = data =model regresi


Sidik ragam regresi dalam validasi metode dengan standar protein Bovin albumin
Sumber derajat
keragaman bebas jumlah kuadrat kuadrat tengah nilai F signifikansi
Regresi 1 1.39 1.39 15,156.35 0.00
Galat 4 0.00 0.00
Total 5 1.39
Jumlah ulangan : 6; R2 terkoreksi : 0.99; Standar galat : 0.0096

DAFTAR ISTILAH

Kalus Embriogenik Salah satu tipe kalus berdasarkan morfologi, berupa clump
kalus bersifat remah yang memiliki potensi membentuk
embrio somatik.
Fitotoksin Senyawa kimia yang bersifat toksin terhadap jaringan sel
tanaman namun belum diketahui mekanisme toksisitasnya.
Elisitor Pengertian umum berbagai jenis induktor eksogenus
maupun endogenus yang memicu proses fisiologis
pertahanan tanaman.
Proliferasi Kemampuan sel untuk tumbuh memperbanyak diri melalui
pembelahan sel.
Konsentrasi letal Tetapan konsentrasi indikator dari suatu senyawa kimia
yang menyebabkan kematian total terhadap objek biologi
106
umumnya dapat diukur dengan pendekatan model statistika.
Konsentrasi Konsentrasi dibawah konsentrasi letal
subletal
Embriogenesis Proses atau tahapan terjadinya embrio dari satu sel somatik
somatik atau kumpulan beberapa sel somatik. Umumnya tahap
perkembangan dari tahap globular, tahap hati, tahap terpedo
dan tahap kotiledon.
Kultur filtrat Media biakan mikroorganisme yang telah dibebaskan dari
inokulum mikroorganisme tersebut dengan cara filtrasi yang
diduga mengandung berbagai metabolit sekunder yang
disekresikan ekstra seluler oleh mikroorganisme tersebut.
Retensi waktu Waktu yang dibutuhkan suatu senyawa tertentu untuk
dideteksi pada panjang gelombang tertentu berdasarkan
polaritasnya.
Pencoklatan Respon suatu jaringan sel tanaman terhadap cekaman
dengan perubahan warna menjadi coklat oleh karena
cekaman oksidatif.
Respons Respon kematian sel tanaman merupakan bagian dari
hipersensitif kematian sel terprogram melibatkan mekanisme genetik.
Reaktif oksigen Senyawa yang mengandung unsur oksigen yang kehilangan
species satu elektron sehingga menjadi tidak stabil yang dihasilkan
oleh aksi enzim pengoksidasi, untuk dapat stabil perlu
senyawa donor atau antioksidan.
Kultur in vitro Bagian jaringan suatu organisme yang dibiakkan di dalam
tabung inkubasi/cawan petri/material tembus pandang dalam
kondisi terkontrol.
Tanaman inang Tanaman organisme tempat parasit tumbuh dan
mendapatkan makan
Saprofit Organisme yang hidup dan mendapat makanan dari
organisme mati
Saprofit fakultatif Organisme yang memiliki kemampuan hidup sebagai
saprobe padahal sebenarnya merupakan parasit
Nekrosis Gejala penyakit yg ditandai dengan degenerasi protoplas
yang diikuti dengan matinya sel-sel jaringan organ/seluruh
tanaman.
Parasit Organisme yang sebagian/seluruh kebutuhan makanannya
bergantung pada organisme hidup lain.
Nekrotopi Organisme yang mematikan jaringan inang sebelum
penetrasi kemudian tetap berkembang dan bersporulasi
setelah jaringan inangnya mati.
Patogen Setiap agen biologi yang menyebabkan penyakit.
107

Inokulum Bagian dari koloni patogen yg dapat digunakan untuk


melakukan inisiasi penyakit seperti penetrasi, inokulasi,
infeksi
Patogenesitas Kemampuan dari suatu pathogen untuk menimbulkan suatu
penyakit
Virulensi Ukuran/tingkat patogenesitas suatu pathogen
Agresifitas Kemampuan parasit per satuan waktu untuk tumbuh dan
berkembangbiak dalam substrat/jaringan inang
Kalus Sekumpulan sel amorphous tidak berbentuk atau belum
terdiferensiasi yang terbentuk dari sel-sel yang membelah
terus-menerus secara in vitro/di dalam tabung
Inkubasi Waktu dari saat paparan agen menular sampai tanda-tanda
dan gejala penyakit muncul
Miselium Bagian jamur multiseluler yang dibentuk oleh kumpulan
beberapa hifa
Mikrotom Teknik untuk mengiris spesimen biologi menjadi bagian
yang sangat tipis untuk pemeriksaan mikroskop.
Media kromogenik Medium yang mampu digunakan untuk membedakan
spesies mikroorganisme berdasarkan perbedaan warna
koloni yang terkait dengan metabolit sekresi ekstraseluler.
Vigor Kemampuan tumbuh sel atau jaringan untuk menghasilkan
tanaman normal pada lingkungan yang kurang memadai
(suboptimum), dan mampu disimpan pada kondisi simpan
yang sub optimum
Termostabil Suatu senyawa yang memiliki suhu aktivitas maksimum
diatas suhu pertumbuhan organisme penghasilnya.
Termolabil Suatu senyawa yang cenderung dapat dirusak atau berubah
banyak oleh pemanasan sederhana (spt protein yg dapat
membeku, jasad-jasad mikro, toksin bakteri dan isomer-
isomer tertentu)
Denaturasi Proses protein atau asam nukleat kehilangan struktur tersier
dan struktur sekunder dengan penerapan beberapa tekanan
eksternal atau senyawa, seperti asam kuat atau basa, garam
anorganik terkonsentrasi, sebuah misalnya pelarut organik
(cth, alkohol atau kloroform), atau panas.
Hidrolisis Reaksi kimia yang memecah molekul air (H2O) menjadi
kation hidrogen (H+) dan anion hidroksida (OH−) melalui
suatu proses kimia.
Media dual layer Media tumbuh agen biologi yang terdiri dari 2 lapisan yang
ditumpuk.
Hemibiotropik Organisme parasit yang dapat hidup jaringan inang tanpa
mematikan jaringan inang saat infeksi kemudian tetap
108
berkembang dan bersporulasi setelah jaringan inangnya
mati.
Difusi Peristiwa mengalirnya/berpindahnya suatu zat dalam pelarut
dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian berkonsentrasi
rendah.
Lisis Hancurnya sel karena robeknya membran plasma. Peristiwa
ini terjadi karena proses osmosis.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 26 Januari 1979 sebagai anak


ketiga dari pasangan Ag. Sudarno dan Th. Marweni (alm). Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian IPB, lulus tahun 2004.
Pada tahun 2010 penulis diterima di Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman dengan Biasiswa pendidikan pasacasarjana diperoleh dari perusahaan
PT SMART tbk.
Penulis bekerja sebagai peneliti muda di Pusat Penelitian PT ARARA
ABADI di Laboratorium kultur jaringan Eukaliptus dari tahun 2004 sampai 2008 .
Selanjutnya penulis bekerja di Pusat Penelitian Bioteknologi PT.SMART tbk di
Laboratorium kultur jaringan kelapa sawit dari tahun 2008 hingga saat ini.

Anda mungkin juga menyukai