SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Seleksi In Vitro
Kalus Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Moderat Tahan
terhadap Ganoderma boninense Pat. adalah karya saya sendiri dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Antonius Dony MP
NIM A253100071
RINGKASAN
Kata kunci: Asam oksalat, Busuk pangkal batang, Fenilalanina amonia liase,
Kebocoran elektrolit, Media kromogenik, Peroksidase.
SUMMARY
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SELEKSI IN VITRO KALUS EMBRIOGENIK KELAPA
SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MODERAT TAHAN
TERHADAP Ganoderma boninense Pat.
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc
Judul Tesis : Seleksi In vitro Kalus Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) Moderat Tahan terhadap Ganoderma boninense Pat.
Nama : Antonius Dony Madu Praptomo
NIM : A253100071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian bertema
teknik seleksi in vitro dilaksanakan sejak bulan April 2012 hingga November
2013. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan sumber
genetik baru terutama pada sifat ketahanan terhadap penyakit busuk pangkal
batang yang disebabkan oleh patogen G. boninense. Selanjutnya penelitian
dilakukan dalam beberapa seri penelitian dengan berjudul : Seleksi In vitro Kalus
Embriogenik Kelapa Sawit (Elaeis guiniensis Jacq.) Moderat Tahan terhadap
Ganoderma boninense Pat.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr Ir Ni Made Armini Wiendi, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr
Nurita Toruan-Mathius, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang
dengan sabar memberikan bimbingan, arahan dan ilmunya bagi penulis.
2. Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc selaku dosen penguji luar komisi yang
telah memberikan saran dan masukan demi perbaikan tesis ini.
3. Bpk. Jo Daud Darsono selaku HoU dan Dr Tony Liwang, MSc selaku
Division Head of Plant Production and Biotechnology PT. SMART. tbk yang
telah memberi izin dan dana penulis melanjutkan tugas belajar pada jenjang
Magister di IPB.
4. Randi Abdur Rohman, SSi, Hadi Septian Guna Putra, SSi dan Yogo Adhi
Nugroho, MSc yang banyak membantu dan berdiskusi selama proses
penelitian dan penulisan.
5. Ibu Lisa, Ibu Helena, Bpk Irang, Bpk Yanto, Ibu Cyntia, Ibu Urip dan staf
Plant Production lainnya yang telah memberi kultur kalus kelapa sawit dan
dukungan moril.
6. Rekan rekan staf Biotek PT SMART.tbk yang tidak dapat disebutkan satu per
satu atas segala dukungannya.
7. Warid, Tinche, Iin, Irni, Aziz dan rekan-rekan seangkatan PBT IPB 2010
dalam perjuangannya selama ini.
8. Saudara Sanju dan Pipit dengan segala ketelitian dan kesabarannya membantu
secara teknis pelaksanaan penelitian.
9. Bapak Ag. Sudarno, Mas Darwanto, Mbak Novi, Dik Dian, Bpk. Purnama dan
Ibu yang telah memberi dukungan moril kepada penulis.
10. Istri tercinta YMM Anita Nugraheni dan buah hati kami Sebastian Gamma
dengan segala penuh cinta, doa, kerelaan dan kesabaran menemani selama
proses belajar ini.
Serta semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan moril
serta inspirasi bagi penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Antonius Dony MP
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
Bagan Alir Kegiatan Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 5
Variasi Somaklonal pada Kultur Jaringan Kelapa Sawit 5
Patogenesitas G. boninense pada Tanaman Kelapa Sawit 8
Efektor 10
EVALUASI ISOLAT Ganoderma boninense Pat. VIRULEN 12
Pendahuluan 13
Tujuan Penelitian 13
Bahan dan Metode 13
Analisis Data 16
Hasil dan Pembahasan 17
Simpulan 24
OPTIMASI TEKNIK SELEKSI IN VITRO KETAHANAN KALUS
EMBRIOGENIK KELAPA SAWIT TERHADAP Ganoderma boninense Pat. 25
Pendahuluan 26
Tujuan Penelitian 27
Bahan dan Metode 27
Peubah Amatan 32
Analisis Data 32
Hasil dan Pembahasan 34
Simpulan 49
ANALISIS KANDUNGAN SENYAWA AKTIF DALAM FILTRAT DAN
RESPONS KALUS KELAPA SAWIT PADA UJI TOKSISITAS FILTRAT
Ganoderma boninense Pat. 50
Pendahuluan 51
Tujuan 52
Bahan dan Metode 52
Analisis Data 55
Hasil dan Pembahasan 57
Simpulan 73
PEMBAHASAN UMUM 73
SIMPULAN UMUM 78
DAFTAR PUSTAKA 78
LAMPIRAN 92
DAFTAR ISTILAH 105
RIWAYAT HIDUP 108
DAFTAR TABEL
1 Isolat uji virulensi Ganoderma boninense berdasarkan daerah dan jenis
tanah 14
2 Pengaruh jenis isolat terhadap diameter zona reaksi, diameter miselium,
indeks isolat serta intensitas kepekatan warna pada media ATT 18
3 Pengaruh jenis isolat terhadap diameter zona, diameter koloni, indeks
isolat serta intensitas kepekatan warna pada media ABTS 20
4 Pengaruh jenis isolat terhadap laju tumbuh miselium pada media uji
MEA, ATT dan ABTS 22
5 Hasil pengujian karakter fisiologis dalam pendugaan tingkat virulensi
sepuluh isolat G. boninense 23
6 Pengaruh metode modifikasi kultur patogen terhadap penurunan jumlah
kalus hidup dan berat basah kalus 34
7 Waktu panen filtrat terhadap penurunan jumlah kalus hidup 36
8 Uji toksisitas media YMB dan filtrat terhadap jumlah kalus hidup dalam
penentuan konsentrasi letal filtrat G. boninense 39
9 Pengaruh konsentrasi sub letal filtrat terhadap penurunan jumlah kalus
hidup dan selisih berat basah kalus 40
10 Pengaruh siklus seleksi terhadap penurunan jumlah kalus hidup dan
selisih berat basah kalus 41
11 Pengaruh konsentrasi filtrat terhadap perkecambahan embrio somatik
dan pembentukan tunas pada siklus seleksi keempat 43
12 Pengukuran aktivitas enzim kitinase, fenilalaninina amonia liase dan
peroksidase berdasarkan asal kalus dan media induksi 47
13 Pengaruh dual kultur terhadap pencokelatan kalus, penurunan jumlah
regenerasi kalus dan penurunan berat basah kalus 58
14 Pengaruh konsentrasi penduga subletal dan letal filtrat terhadap luas area
nekrosis jaringan kalus kelapa sawit 60
15 Perbandingan konsentrasi asam-asam organik filtrat dan kontrol pada
pengujian kebocoran ion 65
16 Perbandingan konsentrasi total protein filtrat dan kontrol pada pengujian
kebocoran ion 66
17 Perbandingan konsentrasi ergosterol filtrat dan kontrol pada pengujian
kebocoran ion 67
18 Perbandingan konsentrasi total polisakarida filtrat dan kontrol pada
pengujian kebocoran ion 67
19 Korelasi peubah kimia oksalat, ergosterol, polisakarida dan protein pada
filtrat terhadap kebocoran ion kalus 70
DAFTAR GAMBAR
1 Sistem regenerasi in vitro eksplan daun kelapa sawit melalui
embriogenesis tidak langsung 7
2 Skema ilustrasi jaringan tanaman inang terinfeksi patogen sebagai aksi
dari efektor apoplastis dan sitoplasmik 10
3 Media kromogenik pada uji fisiologis isolat.
4 Alur kerja percobaan deteksi isolat virulen G. boninense 16
5 Hasil reaksi oksidasi sepuluh isolat G. bonineses menggunakan media
ATT 17
6 Hasil reaksi oksidasi sepuluh isolat G. bonineses pada media ABTS 19
7 Diameter morfologi koloni G. boninense pada media MEA pada 6 hsi 21
8 Dendrogram berdasarkan karakter fisiologis sepuluh isolat kelompok G.
boninense 24
9 Tahap persiapan teknik seleksi in vitro kultur kalus kelapa sawit untuk
ketahanan terhadap G. boninense 28
10 Metode dual layer G. boninense modifikasi kultur patogen pada seleksi
kalus embriogenik kelapa sawit 30
11 Alur kerja optimasi teknik seleksi in vitro kultur kalus kelapa sawit
untuk ketahanan terhadap G. boninense 33
12 Pengaruh metode modifikasi kultur G. boninense terhadap kalus
embriogenik kelapa sawit selama 2 bulan 35
13 Pola penambahan biomas miselium G. boninense pada setiap waktu
panen filtrat 37
14 Pola perubahan derajat kemasaman media tumbuh G. boninense 38
15 Embrio somatik pada kalus terseleksi pada siklus seleksi keempat 44
16 Inisiasi embrio somatik serta tahapan perkembangan proembrio yang
berasal dari kalus terseleksi pada siklus seleksi pertama 45
17 Berkas jaringan proembrio pada irisan tipis jaringan kalus embriogenik
kelapa sawit 45
18 Germinasi embrio menjadi tunas in vitro hasil seleksi pada konsentrasi
32% (v/v) disiklus ke IV 46
19 Tahap perakaran tunas in vitro kelapa sawit putatif tahan G. boninense 46
20 Kalus terseleksi dan kontrol setelah 3 hari inkubasi untuk uji biokimia
aktivitas enzim peroksidase, PAL dan kitinase 48
21 Alur kerja evaluasi pengaruh fitotoksin filtrat G. boninense terhadap
kalus kelapa sawit 56
22 Penampakan makroskopis jaringan sel clump kalus kelapa sawit 57
23 Penampakan makroskopis clump kalus kelapa sawit yang mengalami
perubahan warna cokelat selama 2 bulan 57
24 Penampakan irisan tipis transversal jaringan kalus kelapa sawit 59
25 Penampakan transversal irisan tipis jaringan kalus kelapa sawit yang
menunjukkan nekrosis 60
26 Embrio somatik pada kalus terseleksi pada siklus seleksi I 61
27 Irisan tipis jaringan sel kalus kelapa sawit terpapar filtrat G. boninense 62
28 Kromatogram asam organik dalam filtrat G. boninense 63
29 Pola kandungan asam organik dalam filtrat pada waktu panen filtrat 64
30 Pola kandungan total protein dalam filtrat pada waktu panen filtrat 65
31 Kromatogram ergosterol pada pengukuran kultur filtrat G. boninense 66
32 Model regresi linier pengaruh filtrat 68
33 Model regresi linier pengaruh asam oksalat 69
34 Model analisis lintas 71
35 Mikrograf elektron penampang kalus embriogenik kelapa sawit 72
DAFTAR LAMPIRAN
1 Sidik ragam diameter zona reaksi isolat pada media ATT 92
2 Sidik ragam diameter koloni isolat pada media ATT 92
3 Sidik ragam indeks isolat pada media ATT 92
4 Skor intensitas warna pada zona reaksi oksidasi di media ATT 92
5 Sidik ragam diameter zona reaksi isolat pada media ABTS 92
6 Sidik ragam diameter miselium isolat pada media ABTS 93
7 Sidik ragam indeks isolat pada media ABTS 93
8 Skor intensitas warna pada zona reaksi oksidasi di media ABTS 93
9 Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media ATT 93
10 Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media ABTS 93
11 Sidik ragam laju pertumbuhan miselium pada media MEA 94
12 Analisis cluster berdasarkan sebelas karakter fisiologis 94
13 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup pada metode modifikasi
patogen 94
14 Sidik ragam penurunan berat basah kalus pada metode modifikasi
patogen 94
15 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup dengan kontrol negatif 95
16 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup dengan kontrol positif waktu 95
17 Sidik ragam regresi rasio kalus hidup pada penentuan konsentrasi letal 95
18 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup pada penentuan konsentrasi 95
19 Sidik ragam penurunan selisih berat basah kalus pada penentuan
konsentrasi subletal melalui empat siklus penapisan 96
20 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya terhadap
aktivitas enzim peroksidase 96
21 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya terhadap
aktivitas enzim fenilalanina amonia liase 96
22 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya terhadap
aktivitas enzim kitinase 97
23 Larutan seri Jonsen dan lama waktu perendaman pada tahap fiksasi
spesimen 97
24 Larutan pewarnaan, tahap perendaman dan lama perendaman pada tahap
pewarnaan spesimen 97
25 Model regresi peubah aktivitas enzim fenilalanina amonia liase standar
enzim Rhodotorula glutinis 98
26 Model regresi peubah aktivitas enzim peroksidase standar enzim Horse
radish peroksidase 98
28 Model regresi peubah aktivitas enzim β-N-Acetyl glucosaminidase
standar enzim Canavalia ensiformis 99
27 Kandungan asam α-ketoglutarat dari media YMB 99
29 Kandungan asam sitra dari media YMB 99
30 Kandungan asam malat dari media YMB 100
31 Kandungan asam oksalat dari media YMB 100
32 Kandungan ergosterol dari media YMB 100
33 Kandungan protein total dari media YMB 100
34 Kandungan polisakarida total dari media YMB 101
35 Statistika diskriptif peubah eksogenus dan endogenus pada analisis
lintas 101
36 Korelasi Pearson antar peubah eksogenus dan endogenus pada analisis
lintas 101
37 Sidik ragam regresi kebocoraan elektrolit 102
38 Nilai b peubah eksogenus terhadap peubah kebocoran elektrolit kalus
pada analisis lintas 102
39 Validasi metode analisis kandungan polisakarida total menggunakan
standar β-glukan 102
40 Validasi metode analisis kandungan asam α-ketoglutarat, sitrat, malat
dan oksalat 103
41 Validasi metode analisis kandungan ergostrol menggunakan standar
ergosterol 104
42 Validasi metode analisis kandungan protein total menggunakan standar
Bovin albumin 105
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
III. Analisis Kandungan Senyawa Aktif Dalam Filtrat dan Respons Kalus
Kelapa Sawit pada Uji Toksisitas Filtrat Ganoderma boninense Pat.
Tujuan : Menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat Ganoderma
boninense Pat. penyebab nekrosis sel kalus kelapa sawit
Output : Senyawa aktif dalam kultur filtrat Ganoderma boninense Pat. yang
bersifat fitotoksin terhadap kultur kalus kelapa sawit
5
TINJAUAN PUSTAKA
Media Kultur
Komposisi media dasar in vitro pada banyak tanaman sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan perbanyakan demikian juga pada kelapa sawit. Media dasar
kultur jaringan tanaman umumnya mengandung hara mineral antara lain N, P, K,
Ca, Mg, S, Fe, B, Mn, Cu, Zn dan Mo. Media dasar Murashige dan Skoog (MS)
banyak digunakan dalam perbanyakan in vitro kelapa sawit dengan beberapa
modifikasi (Wooi 1993).
Beberapa penelitian menggunakan media dasar lain, diantaranya media
Eeuwens (Y3), Broun & Wood dan N6 dengan modifikasi tertentu (Sogeke at al.
1999; Muniran et al. 2008; Kramut dan Te-chato 2010). Hasil penelitian Sogeke
(1996) menunjukkan bahwa media Y3 menghasilkan regenerasi kalus dan embrio
somatik yang lebih baik dibandingkan dengan media lainnya. Al-Khayri (2011)
melaporkan adanya perbedaan media dasar untuk setiap tahap perkembangan
kultur tanaman.
Eksplan dalam kondisi in vitro, belum mampu menghasilkan fotosintat
sehingga perlu ditambahkan gula sebagai sumber karbon utama untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Selain sebagai sumber karbon, gula juga
berfungsi sebagai pengatur tekanan osmotik dalam media (George dan Sherington
1984). Sukrosa digunakan lebih sering dalam perbanyakan in vitro kelapa sawit
pada konsentrasi 1% hingga 3% (b/v) (Wooi 1993). Gula diantaranya glukosa,
fruktosa, sorbitol dan manitol juga ditambahkan dalam skala percobaan. Gula
sukrosa pada media in vitro kelapa sawit menunjukkan lebih baik daripada jenis
gula lainnya (Hilae dan Te-chato 2005).
Senyawa organik lain juga ditambahkan pada beberapa media in vitro
kelapa sawit seperti myo inositol, vitamin seperti niasin, tiamin (B1), piridoksin
(B6) dan glisin (Muniran et al. 2008). Penambahan vitamin diharapkan dapat
memperbaiki proses enzimatik pada jaringan kultur tanaman (George dan
Sherington 1984). Senyawa kompleks yang lain juga digunakan, diantaranya
kasein hidrolisat dan air kelapa. Penambahan senyawa tersebut dengan tujuan
memperbaiki pertumbuhan kultur (Wooi 1993). Asam amino seperti glutamin,
arginin dan asparagin terutama pada media dasar Euweans digunakan sebagai
salah satu sumber nitrogen organik (Muniran et al. 2008). Agar-agar digunakan
sebagai bahan pemadat pada media kultur jaringan kelapa sawit. Pada fase
perkembangan tertentu penggunaan pitagel memberikan pengaruh lebih baik dari
pada jenis pemadat lainnya (Wong et al. 1997).
Eksplan Daun
Induksi kalus
(1 – 15 bulan)
Kalus
Diferensiasi
(1 - 12 bulan)
Embrioid
Proliferasi dan perkecambahan
Tunas (6 – 10 bulan)
Tipe Kalus
Menurut Besse et al. (1992) terdapat dua tipe kalus yaitu kalus fast growing
callus (FGC) dan nodular compact callus (NCC). Dua tipe kalus tersebut
memiliki morfologi dan fisiologi yang berbeda, namun mempunyai kemampuan
8
embriogenesis yang hampir sama. Kalus FGC dapat muncul dari jenis kalus NCC.
Hal ini berhubungan dengan umur kalus dan waktu subkultur yang lama.
Ramet kelapa sawit yang dihasilkan dari kalus FGC menunjukkan fenomena
buah mantel lebih tinggi daripada asal kalus NCC (Jaligot et al. 2000). Menurut
Paranjothy et al. (1993) abnormalitas buah dilapang berhubungan dengan
frekuensi subkultur yang tinggi serta umur kalus. Basse et al. (1992) melaporkan
sitokinin endogen lebih rendah pada kalus tipe FGC dibandingkan dengan tipe
kalus NCC. Namun auksin tidak berbeda nyata antara tipe FGC dengan kalus tipe
NCC.
Kalus jenis FGC biasanya muncul secara spontan dengan frekuensi yang
rendah di area tertentu pada kultur kalus. Kalus FGC menunjukkan berwarna
putih lembut dan friabel. Kalus tipe ini mempunyai sel bervakuola dan volume
vakuola bertambah besar pada sel turunannya serta tidak terlihat senyawa fenol.
Bertambahnya waktu subkultur menyebabkan peningkatan pembesaran vakuola
sel dan berat basah kalus jenis ini (Besse et al. 1992).
Keseimbangan eksogen antara auksin dan sitokinin pada media dapat
menstimulasi pembentukan kalus FGC atau jenis NCC secara acak. Morfologi
kalus yang akan terbentuk sangat dipengaruhi oleh jenis eksplan dan keragaman
kondisi lingkungan ortet. Kondisi itu menginduksi perbedaan konsentrasi auksin
dan sitokinin endogen eksplan.
Laporan Muniran et al. (2008) menunjukkan terdapat pengaruh komposisi
media kultur terhadap perbedaan kalogenesis dan embriogenesis kelapa sawit.
Inpeuy et al. (2011) menghasilkan ramet kelapa sawit abnormal pada media kultur
yang mengandung air kelapa dan sitokinin. Hal tersebut menunjukkan ketidak-
seimbangan hara nutrisi pada media kultur jaringan dapat menginduksi kondisi
abnormal pada regeneran, yang menunjukkan plastisitas fenotipe tanaman
terhadap cekaman lingkungan (Brautigam et al. 2013).
Abstrak
Teknik seleksi in vitro menggunakan patogen Ganoderma boninense Pat.
memerlukan isolat dengan tingkat virulensi tinggi. Karakter fisiologis dapat
menjadi indikator virulensi G. boninense melalui uji media kromogenik. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan isolat G. boninense Pat. yang memiliki
tingkat virulensi tertinggi berdasarkan karakter fisiologisnya. Sepuluh isolat murni
G. boninense berasal dari beberapa area perkebunan di Sumatera yang endemik
penyakit busuk pangkal batang (BPB). Evaluasi virulensi dilakukan menggunakan
media 2 % malt ekstrak agar (MEA), media MEA dengan penambahan 5% asam
tanat (ATT) dan media MEA dengan penambahan 1mM asam 2,2’-azinobis (3-
etilbenztazoline-6-sulfonate) (ABTS). Tingkat virulensi diukur berdasarkan
beberapa peubah, meliputi: diameter koloni, diameter zona reaksi, indeks isolat
dan laju tumbuh miselium. Berdasarkan karakter fisiologisnya dilakukan
pengelompokan isolat uji menggunakan Cluster Analysis. Hasil menunjukkan
bahwa isolat G3-11-U5 memiliki skor karakter fisiologis tertinggi. Sepuluh isolat
uji terbagi dalam empat kelompok pada tingkat kemiripan fisiologis 61.77 %.
Isolat G3-11-U5 membentuk satu kelompok tersendiri sehingga isolat tersebut
dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber agen seleksi.
Kata kunci:Asam tanat, Asam 2,2’-azinobis (3-etilbenztazoline-6-sulfonate),
Media kromogenik, Seleksi isolat
Abstract
Tujuan Penelitian
Tabel 1 Isolat uji virulensi Ganoderma boninense berdasarkan daerah dan jenis
tanah
Diameter zona reaksi pada media ATT menunjukkan area reaksi oksidasi
berlangsung. Rees et al. (2009) menyatakan bahwa zona reaksi juga ditemukan
pada infeksi G. boninense pada jaringan tanaman kelapa sawit yang ditandai
dengan area warna cokelat pada jaringan yang sakit. Zona reaksi oksidasi
menyebar di sekitar koloni miselium, sehingga luas area zona reaksi pada jaringan
terinfeksi menunjukkan keparahan penyakit. Area zona reaksi pada jaringan
terinfeksi secara tidak langsung menunjukkan juga jaringan sel tanaman kelapa
sawit yang mengalami nekrosis. Isolat yang memiliki zona reaksi yang besar
dapat dikatakan lebih virulen daripada isolat dengan zona yang lebih kecil.
Kemampuan tumbuh isolat uji di media ATT dengan kandungan asam tanat
menunjukkan secara tidak langsung sistem pertahanan isolat uji di lingkungan sub
optimum. Seleksi isolat pada media ATT memberikan kondisi sub optimum untuk
pertumbuhan isolat yang diuji, sehingga pertumbuhan koloni akan terhambat.
Semua isolat yang diuji memperlihatkan pertumbuhan miseliumnya terhambat.
Asam tanat memiliki sifat racun terhadap hampir semua mikroorganisme,
hanya sedikit mikroorganisme yang mampu menetralisir efek racunnya (Field dan
Lettinga 1992). Asam tanat merupakan polifenol yang larut dalam air, bersifat anti
mikrooganisme, menggumpalkan protein dan salah satu zat ekstraktif pada sel-sel
kayu. Zat ekstraktif pada tanaman berkayu berfungsi sebagai zat pengawet alami
yang melindungi tanaman dari mikroorganisme parasit (fitoantisipan). Ibrahim-
Mohamad et al. (2005) melaporkan bahwa tanaman kelapa sawit mengandung
4.5% asam tanat.
Sifat racun asam tanat terletak pada gugus OH (pirogalol) dan galoil selain
itu juga mempunyai sifat penghambatan racun (Staples dan Toenniessen 1981).
Senyawa polifenol seperti asam tanat tersusun dari komponen gula dan asam galat
yang akan terurai menjadi katekin dengan gugus dihidroksifenol. Selanjutnya
membentuk kuinon yang berwarna coklat gelap saat teroksidasi (Kameda 2003).
Sifat racun asam galat dapat menurun melalui oksidasi dengan enzim
pengoksidasi oleh cendawan menjadi kuinon (Ikehata dan Nicell 2000).
Persenyawaan komplek asam tanat akan diurai satu persatu menjadi persenyawaan
19
yang lebih sederhana dengan beberapa proses hidrolisis oleh enzim tanase (Beena
2010). Keberadaan enzim tanase pada isolat dapat mempercepat oksidasi
polifenol.
Hasil percobaan menunjukkan isolat J memiliki indeks tanik yang paling
tinggi. Indeks tanik merupakan rasio diameter zona reaksi oksidase dengan
diameter koloni pada media ATT. Suatu isolat yang memiliki nilai rasio tinggi,
dapat dikatakan dengan sedikit biomass, isolat tersebut mampu menghasilkan
enzim dengan aktivitas tinggi. Arthiningsih (2006) menyatakan bahwa suatu jenis
cendawan yang memiliki aktivitas enzim tinggi apabila cendawan tersebut
memiliki diameter koloni yang relatif kecil, tetapi menghasilkan diameter zona
reaksi yang relatif luas. Indeks tanik selain menggambarkan aktivitas enzim
kualitatif, juga menggambarkan kapasitas suatu isolat memproduksi enzim
ekstraseluler oksidase.
Gambar 6 Hasil reaksi oksidasi sepuluh isolat G. bonineses pada media ABTS.
(A) BL3-1-M22-5, (B) BP13-8-M23-1, (C) BL3-1-M22-4, (D) BP4-
7-M23-5, (E) BS12-8-M21-5, (F) BP13-2-M21-1, (G) BL4-3-M21-1,
(H) BP13-4-M12-2, (I) BP12-2-M11-5, (J) G3-11-U5. (z) zona reaksi
20
Tabel 3 Pengaruh jenis isolat terhadap diameter zona, diameter koloni, indeks
isolat serta intensitas kepekatan warna pada media uji
Kode Isolat Zona reaksi Koloni Indeks ABTSa Intensitas warna
Diameter (mm)a
A 36.80cd 5.00d 73.60a +++
B 41.80bcd 24.00b 18.47bc +++
C 54.00a 47.20a 11.44c ++++
D 34.00d 6.40d 58.66a +++
E 21.40e 23.60b 8.79c ++++
F 48.80ab 41.40a 11.77c +++
G 36.60cd 27.60bc 14.17bc ++++
H 45.80abc 38.40ab 11.94c ++++
I 47.00abc 26.20b 32.27b +++
J 52.00ab 40.70a 13.44bc ++++
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5 % (uji selang berganda Duncan)
Gambar 7 Diameter morfologi koloni G. boninense pada media MEA pada enam
HSI. (A) BL3-1-M22-5, (B) BP13-8-M23-1, (C) BL3-1-M22-4, (D)
BP4-7-M23-5, (E) BS12-8-M21-5, (F) BP13-2-M21-1, (G) BL4-3-
M21-1, (H) BP13-4-M12-2, (I) BP12-2-M11-5, (J) G3-11-U5
Struktur molekul asam tanat yang kompleks terdiri dari gugus gula dan
fenol perlu diuraikan terlebih dahulu sebelum sifat racun pada gugus fenol dapat
dinetralisir oleh G. boninense. Cendawan memerlukan sistem detoksifikasi yang
kompleks, dan dapat melibatkan lebih dari satu jenis sistem detoksifikasi. Apabila
suatu isolat tidak memiliki sistem detoksifikasi enzimatis atau non enzimatis
secara lengkap maka kemampuan tumbuhnya pada jaringan tanaman akan lebih
rendah dibandingkan dengan isolat yang memiliki sistem detoksifikasi lengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat B, F, G dan J memiliki laju
tumbuh miselium lebih tinggi dibandingkan dengan isolat lainnya pada media
ATT. Hal itu mengindikasikan isolat tersebut memiliki sistem detoksifikasi yang
lebih baik daripada isolat lainnya. Enzim ekstraseluler oksidase yang dihasilkan
isolat G. boninense merupakan salah satu sistem detoksifikasi dan berperan juga
dalam patogenesitasnya. Laju tumbuh miselium pada suatu substrat dapat
dijadikan salah satu indikator keganasan suatu isolat cendawan patogen.
Pilotti et al. (2005) menemukan bahwa dalam satu tanaman kelapa sawit
dapat terinfeksi oleh beberapa jenis isolat G. boninense yang berbeda. Hal ini
sesuai dengan hipotesis pertama bahwa karakter fisiologis yang berbeda dapat
menunjukkan tingkat virulensi yang berbeda. Berdasarkan pemenuhan kreteria uji
pada Tabel 4. dan hasil analisis kelompok maka kelompok kedua yaitu isolat C, F,
dan B dapat menjadi alternatif untuk digunakan bersama isolat J. Penggunaan
isolat virulen yang berbeda-beda untuk mendapatkan agen seleksi dapat
memperkaya ketahanan tanaman sehingga diharapkan tidak mengalami kerapuhan
genetik.
Simpulan
Abstrak
Abstract
In vitro selection techniques has potential to be used for select the genetic
diversity from somaclonal variation, but its need optimization and evaluation to
be applicated. The purpose of this study was to obtain the optimal resistance
selection technique of oil palm callus culture to G. boninense Pat. It was done by
several trial series, include the determination of: (i) optimum modification
pathogen culture, (ii) optimum time harvest of filtrate, (iii) lethal and sublethal
concentrations of G. boninense filtrate, (iv) cycles number was required for
selection, and (v) resistance variables to G. boninense. The results showed that
the best modification pathogen culture was culture filtrate sterilization by using
membrane filtration. The optimum time harvest of filtrate was at 15 days after
inoculation. The filtrate lethal concentration to embryogenic callus was 40%
(v/v), and the optimal sublethal concentration was 32% (v/v). The minimum
number of selection cycles was four cycles. The variables resistance of selected
callus was the activity of peroxidase and phenylalanine ammonia lyase enzyme.
Key words: Basal stem rot, Filtrate culture, In vitro selection, Peroxidase,
Phenylalanine ammonia lyase.
26
Pendahuluan
Tujuan Penelitian
Gambar 9 Tahap persiapan teknik seleksi in vitro kultur kalus kelapa sawit
untuk ketahanan terhadap G. boninense
Analisis Data
Tidak Ya
Model matematis Konsentrasi letal
rasio hidup kalus agen seleksi
jika Y = 0; X = konsentrasi letal
Konsentrasi subletal
(50%,60%,70%,80%,90%
dari konsentrasi letal)
Siklus seleksi I
Evaluasi kalus terseleksi
dan kalus kontrol
Siklus seleksi II
Aktivitas enzim tertinggi Peubah ketahanan
PAL, POD, Kitinase kalus terseleksi
Siklus seleksi III
Siklus seleksi IV
Gambar 11 Alur kerja optimasi teknik seleksi in vitro kultur kalus kelapa sawit
untuk ketahanan terhadap G. boninense
34
Hasil dan Pembahasan
Akumulasi senyawa aktif diduga terjadi pada 15 HSI, hal ini ditunjukkan
oleh kematian kalus paling tinggi. Selanjutnya kematian kalus pada media filtrat
panen 30 HSI disebabkan oleh akumulasi penurunan pH (Gambar 14). Penurunan
pH media filtrat menandakan terjadi akumulasi senyawa metabolit sekunder.
Famili Ganoderma spp. sering dimanfaatkan sebagai bahan obat karena
komponen senyawa metabolit sekunder yang bermanfaat bagi manusia. Walau
demikian, fase pertumbuhan cepat yaitu pada 15 HSI dapat dianalogikan dengan
tahap kolonisasi patogen pada jaringan sel inang, diduga faktor virulensi tersekresi
optimum difase tersebut.
Tabel 10Pengaruh siklus seleksi terhadap penurunan jumlah kalus hidup dan
selisih berat basah kalus
Jumlah kalus hidup Selisih berat basah kalus
Siklus seleksi Kontrol Perlakuan Penurunan Kontrol Perlakuan Penurunan
(clump) (clump) (%)a (g) (g) (%)a
I 16.20 5.07 68.68c 2.05 0.95 53.74ab
II 15.40 4.56 70.40b 4.60 1.65 64.14a
III 15.40 4.39 71.51a 9.22 3.25 64.75a
IV 15.40 4.30 72.09a 14.34 7.09 50.57b
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5 % (uji selang berganda Duncan)
Berdasarkan pada penurunan jumlah kalus hidup dan selisih berat basah
kalus dapat dikatakan siklus seleksi IV merupakan waktu minimal yang
diperlukan untuk membedakan kultur kelapa sawit insensitif dan sensitif terhadap
filtrat G. boninense. Jumlah kalus yang mati pada siklus III dan IV tidak berbeda
nyata yang berarti bahwa kalus terseleksi telah beradaptasi dalam lingkungan
tercekam filtrat. Pada siklus seleksi IV selisih penurunan berat basah perlakuan
terindikasi semakin kecil. Hal itu menunjukkan kultur teseleksi mengalami
pertumbuhan jaringan walaupun dalam lingkungan tercekam.
Pada penelitian ini digunakan prosedur seleksi bertahap untuk menetapkan
konsentrasi subletal yang optimal yang menghasilkan tunas in vitro. Berkaitan
dengan siklus seleksi, dikenal dua jenis prosedur seleksi, yaitu seleksi satu tahap
dan seleksi bertahap. Seleksi satu tahap merupakan seleksi langsung
menggunakan konsentrasi letal dan seleksi bertahap merupakan prosedur seleksi
42
secara bertahap dari konsentrasi subletal sampai mencapai konsentrasi letal (Jin et
al. 1996 ; Borras-Hidalgo dan Bermudez 2010). Menurut Lebeda dan Svabova
(2010) seleksi in vitro menggunakan beberapa siklus seleksi menunjukkan hasil
lebih baik daripada seleksi satu siklus dalam hal perolehan tunas in vitro
terseleksi. Jumlah siklus seleksi berhubungan dengan cara mengurangi kejadian
escape, jenis kultur tanaman (kalus, tunas, protoplas), upaya mendorong
regenerasi kalus terseleksi. Sebaliknya, beberapa siklus seleksi dapat mendorong
terjadinya adaptasi sel mengarah pada mekanisme epigenetik.
Pemilihan prosedur seleksi dapat berbeda-beda tergantung jenis tanaman
dan patogennya. Prosedur seleksi satu tahap mengunakan konsentrasi letal
memiliki beberapa keuntungan diantaranya sifat ketahanan somaklon yang
diperoleh lebih bersifat genetik dari pada epigenetik. Prosedur seleksi satu tahap
sesuai digunakan untuk kultur suspensi sel atau kultur protoplas serta waktu
seleksi lebih cepat (Jain 2012). Akan tetapi kekurangan dari seleksi satu tahap
adalah kemungkinan mendapatkan somaklon tahan sangat kecil, dan hanya
diaplikasikan apabila agen seleksi yang sudah jelas sebagai determinan
patogenesitasnya.
Kadir (2007) melaporkan bahwa potensi kehilangan genetik pada prosedur
seleksi satu tahap dapat dikurangi dengan menggunakan seleksi bertahap pada
satu konsentrasi subletal. Konsentrasi subletal optimal penting ditetapkan dan
digunakan dalam seleksi in vitro. Seleksi pada konsentrasi subletal memperbesar
peluang diperoleh keragaman genetik pada kultur tanaman namun tingkat
penghambatan agen seleksi dapat dipertahankan mendekati konsentrasi letalnya.
Perkecambahan embrio dan pembentukan tunas in vitro menjadi indikator
dalam penentuan konsentrasi subletal yang optimal. Konsentrasi subletal optimal
tidak hanya menunjukkan kekuatan penghambatan lebih dari 75%, tetapi mampu
meregenerasikan kalus terseleksi menjadi embrio somatik dan menjadi tunas in
vitro.
Embrio somatik membentuk tunas pada siklus keempat diperoleh dari dua
konsentrasi filtrat, yaitu 28% dan 32% (v/v) masing-masing sebanyak 4 dan 6
tunas (Tabel 11). Konsentrasi filtrat 32% (v/v) menghasilkan persentase
perkecambahan embrio somatik dan tunas in vitro tertinggi dibandingkan dengan
konsentrasi 36% (v/v). Hal ini dapat dikatakan bahwa konsentrasi subletal filtrat
optimal adalah 32% (v/v). Konsentrasi filtrat 28% (v/v) juga menghasilkan tunas
namun tidak termasuk dalam konsensentrasi subletal.
Menurut Yusnita et al. (2005) konsentrasi subletal filtrat Sclerotium rolfsii
terhadap kalus kacang tanah sebesar 30% (v/v), yang menunjukkan penghambatan
proliferasi somatik embrio hingga 95% pada siklus seleksi ke tiga. Purwati et al.
(2007) menyatakan bahwa strategi dalam pembentukan protokol seleksi in vitro,
meliputi keragaman genetik kultur tanaman ditingkatkan, penggunaan kalus
embriogenik, seleksi pada konsentrasi subletal, dan melalui tiga siklus seleksi
dengan 3 bulan per siklus. Keempat strategi tersebut merupakan langkah dalam
memperbesar peluang mendapatkan sel insensitif dari populasi sel sensitif.
Keberhasilan diperoleh tunas in vitro diduga sangat ditentukan oleh
penggunaan kalus embriogenik. Kalus embriogenik remah diduga dalam tahap
seluler kompeten, sehingga dengan adanya induksi eksternal berupa cekaman
menyebabkan kelompok gen yang berperan dalam embriogenesis terekspresi.
Menurut Feher (2006) kondisi cekaman dapat memicu terjadinya ekspresi gen-gen
yang terlibat dalam pembentukan embrio somatik. Adanya cekaman filtrat G.
boninense diduga menyebabkan sel-sel yang telah berada pada tahap seluler
kompeten berkembang ke tahap seluler embriogenic cell fate. Solis-Ramos et al.
(2012) menyatakan bahwa embriogenesis somatik memerlukan adanya sinyal
ekstarnal yang salah satunya diinduksi oleh adanya cekaman.
Kalus pada perlakuan kontrol hanya menunjukkan proliferasi kalus
walaupun menghasilkan struktur embrio namun tidak mampu berkecambah.
Sumber cekaman dan periode cekaman diperlukan dalam menginduksi terbentuk
tunas in vitro. Besarnya kekuatan cekaman yang terjadi diduga mempengaruhi
periode cekaman yang diperlukan untuk menghasilkan tunas in vitro. Melalui
induksi cekaman dengan konsentrasi serta periode yang mencukupi akan
mendorong sel insensitif terhadap filtrat akan berdediferensiasi membentuk
embrio somatik berkecambah menjadi tunas (Gambar 15).
44
Gambar 15 Embrio somatik pada kalus terseleksi pada siklus seleksi keempat. A)
Kontrol, B) 20%, C) 24% , D)28%, E) 32%, F) 36% dan G) 40% (v/v)
filtrat. : Tunas ; : Embrio kecambah fase kotiledon
Peningkatan level aktivitas enzim POD, PAL, dan kitinase pada kalus
terseleksi mengindikasikan dua aspek, yaitu peningkatan ketahanan terinduksi
48
elisitor dan biomarker embriogenesis somatik. Peran elisitor cendawan
menginduksi peningkatan level aktivitas enzim PAL, POD atau NAGase pada
famili Arecaceae telah dilaporkan pada bibit Cocos nucifera L. (Karthikeyan et al.
2010), bibit Elaeis guineensis Jacq. (Naher et al. 2012) dan bibit Phoenix
dactylifera L.(Khaled et al. 2012).
Lingkungan patosistem dalam proses infeksi G. boninense sering
menimbulkan cekaman oksidatif. Kondisi itu pada kalus ditunjukkan oleh gejala
pencokelatan sebagai akibat terbentuknya radikal bebas dari kalus sendiri maupun
dari filtrat (Gambar 20). Tay et al. (2009) melaporkan bahwa respons biokimia
diawal infeksi G. boninense pada tanaman kelapa sawit yang ditunjukkan dari
peningkatan signifikan aktivitas POD dan PAL.
Saat kondisi cekaman fisiologis terjadi pada jaringan tanaman sering
ditemukan akumulasi H2O2. Hidrogen peroksida yang terakumulasi menjadi
sinyal awal cekaman biotik maupun abiotik dalam jumlah berlebihan pada sel
hidup bersifat toksin. Peroksidase merupakan salah satu sistem detoksifikasi pada
tanaman selain katalase, glutation peroksidase dan superoksida dismutase.
Peroksidase pada tanaman Padi diketahui mempunyai fungsi sebagai pertahanan
dalam polimerisasi monolignol membentuk polimer lignin melalui interaksi antara
lakase dan peroksidase (Passardi et al. 2004). Sebagai biomarker, peningkatan
peroksidase diperlukan dalam detoksifikasi H2O2 selama proses akusisi selular ke
tahap embriogenik kompeten (Ma et al., 2012).
Media induksi menunjukkan berpengaruh pada peningkatan level aktivitas
enzim PAL yang berbeda dengan populasi kalus kontrol. Enzim PAL merupakan
enzim yang penting pada tanaman yang mampu mengkonversi L-fenilalanina
menjadi asam trans-sinamik yang merupakan prekursor awal terbentuknya
fenilpropanoid yang selanjutnya membentuk fenol, flavonoid dan kumarin
(Schuster dan Rjetey 1995; Foyer dan Noctor 2005). Pada tahap lebih lanjut dapat
terbentuk fitoaleksi yang merupakan komponen senyawa pertahanan aktif kelapa
sawit (Zain et al. 2013; Tahir et al. 2013).
Gambar 20 Kalus terseleksi dan kontrol setelah 3 hari inkubasi untuk uji biokimia
aktivitas enzim peroksidase, PAL dan kitinase. (A) Kalus kontrol; (B)
Kalus terseleksi. Bar : 1 cm
Simpulan
Abstrak
Abstract
In vitro selection technique using G. boninense filtrate caused oil palm
tissue callus necrotic. Ganoderma boninense filtrate was expected containing
toxic componds. The purpose of this study was to determine active component in
G. boninense filtrate culture that causes necrosis of oil palm cell. For that reason
above, three activities were done, include: (i) callus response visualization
against filtrate, (ii) measure G. boninense filtrate active compound, and (iii)
suspect phytotoxin compounds that involved on ion leakage of oil palm callus
tissue. Oil palm embryogenic callus was used as plant materials. Isolate G.
boninense G3-11-U5 strain was used as source of selection agent. Determination
of callus tissue necrosis area was done using the GNU Image Manipulation
Program. It was influenced by concentration and exposure time on selection
medium. Chemical analysis of G. boninense filtrate and control showed the
different content of oxalic acids, ergosterol, total polysaccharides and total
protein. Test results using Path analysis indicating that the callus tissue
electrolyte leakage caused by oxalic acid and protein compounds.
Keywords: Elaeis guineensis, Electrolyte leakage, In vitro selection, Oxalic acid,
Path analysis.
51
Pendahuluan
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat
Ganoderma boninense Pat. yang terlibat dalam nekrosis sel kalus kelapa sawit.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan beberapa kegiatan, yaitu (i)
mendapatkan karakter fenotipik makroskopis dan mikroskopis jaringan sel
sebagai respons terhadap toksisitas filtrat. (ii) menetapkan kandungan senyawa
aktif dalam filtrat G. boninense dan (iii) menetapkan senyawa fitotoksin yang
terlibat dalam kebocoran elektrolit jaringan sel kalus kelapa sawit.
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2012 sampai dengan April 2013 di
Laboratorium Anatomi Tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Cibinong dan Laboratorium Proteomics-Metabolomics PT SMART tbk. Bahan
tanaman berupa kalus embriogenik kelapa sawit berumur sekitar 18 bulan yang
berasal dari kalus Tenera. Pada percobaan ini kalus kalus ditimbang dengan berat
setiap satuan percobaan sekitar 0.1 g.
Penelitian terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu uji toksisitas filtrat terhadap
kalus kelapa sawit berdasarkan karakter fenotipik pengamatan makroskopis dan
mikroskopis. Analisis kandungan senyawa aktif kultur filtrat Ganoderma dan
analisis kebocoran elektrolit jaringan sel kalus akibat terpapar filtrat.
Analisis Data
Kultur filtrat
Gambar 22 Penampang makroskopis jaringan sel clump kalus kelapa sawit. (A)
sebelum pemaparan pada media filtrat; (B) kalus mengalami
pencokelatan (nekrosis) setelah pemaparan. Bar : 0.5 mm.
Luas area warna merah tertinggi diperoleh pada 12 HSI, yaitu sebesar
70.20% dari total area penampang kalus, sedangkan pada pengamatan 15 HSI luas
area merah lebih kecil hanya 34.78%. Hal ini menunjukkan luas area warna merah
kurang konsisten apabila didasari asumsi awal bahwa luas area merah akan
bertambah seiring waktu kalus terpapar filtrat pada media seleksi. Bentuk kalus
dalam kisaran diameter 0.1- 0.5 mm menunjukkan keragaman bentuk clump kalus,
Bentuk clump kalus yang berbeda-beda dapat dilihat dari banyaknya lekukan atau
lipatan. Clump kalus yang memiliki lipatan yang banyak memiliki kecenderungan
mudah mengalami nekrosis, karena luas permukaan yang luas menyebabkan daya
infiltrasi toksin atau elisitor menjadi lebih baik.
59
Luas area merah yang berbeda pada tiap clump dapt disebabkan oleh
adanya variasi somaklonal pada setiap clump kalus. Karena itu terjadi perbedaan
daya tahan masing-masing clump kalus terhadap filtrat. Keseluruhan pengamatan
dengan pengolahan gambar, luas area warna merah cenderung bertambah sejalan
dengan waktu kalus terpapar filtrat.
Gambar 24 Penampakan irisan tipis transversal jaringan kalus kelapa sawit yang
menunjukkan perubahan warna (nekrosis) akibat pengaruh waktu
inkubasi pada media filtrat 40% (v/v). (A) – (O) : 1 – 15 hari setelah
pengkulturan (HSP). Bar 0.5 mm
60
Gambar 25 Penampakan transversal irisan tipis jaringan kalus kelapa sawit yang
menunjukkan nekrosis akibat pengkulturan pada media filtrat pada
konsentrasi pendugaan subletal dan letal (A) konsentrasi 20%, (B)
24%, (C) 28%, (D) 32%, (E) 36% dan (F) 40% (v/v). Bar = 1 mm
Tabel 14Pengaruh konsentrasi penduga sub letal dan letal filtrat terhadap luas
area nekrosis jaringan kalus kelapa sawit
Konsentrasi filtrat Area warna irisan tipis jaringan sel kalus
% (v/v) Hijau Merah Hijau Merah Total
Jumlah (Piksel) Luas (%)
20 67,114 15,992 80.76 19.24 83,106
24 56,453 28,013 66.84 33.16 84,466
28 50,550 24,427 67.42 32.58 74,977
32 29,249 25,545 53.38 46.62 54,794
36 18,376 32,002 36.48 63.52 50,378
40 13,296 21,506 38.20 61.80 34,802
Gambar 26 Embrio somatik pada kalus terseleksi pada siklus seleksi I (A)
konsentrasi filtrat 20%, (B) 24%, (C) 28% , (D)32%, E) 36% dan (F)
40% (v/v). ( ) embrio somatik. Bar = 1 mm
Berkas protoplasma pada irisan tipis jaringan kalus setelah terpapar filtrat G.
boninense menunjukkan jaringan sel mengalami nekrosis berwarna merah dan
tidak mengalami nekrosis berwarna hijau (Gambar 27). Berkas protoplasma masih
terlihat pada irisan jaringan kalus yang tidak mengalami nekrosis (Gambar 27B).
Berkas protoplasma terdegradasi, demikian juga bagian dinding sel primer, hal
tersebut berarti filtrat G. boninense mampu mendorong kerusakan dinding sel
primer serta membran plasma (Gambar 27C ).
Kerusakan struktur pada area jaringan yang mencokelat pada kalus diduga
sesuai hipotesis awal disebabkan oleh senyawa toksin/enzim atau elisitor pada
filtrat. Filtrat yang mengandung enzim tertentu dapat menginduksi kerusakan
struktural jaringan sel seperti dinding sel, membran sel atau organel sel. Toksin
yang terkandung dalam filtrat dapat mengganggu bagian membran plasma sel atau
membran organel sel.
Elisitor mempengaruhi sinyal pertahanan sel tanaman yang menyebabkan
sel kalus akan mengaktifkan sistem pertahanannya. Sel kalus menangkap sinyal
asal filtrat sebagai cekaman sehingga kalus akan menghasilkan aktif oksigen
spesies (AOS) (Bhattacharjee 2005). Adanya AOS menyebabkan membran
vakuola terganggu sehingga secara intensif fenol terlepas keluar sel, kelebihan
fenol dapat bersifat toksik bagi sel tanaman atau sel kapang. Seringkali kelebihan
fenol tersebut menimbulkan kematian jaringan yang disebut nekrosis.
62
Untuk mengurangi efek toksik dari fenol, tanaman menghasilkan enzim
polifenoloksidase yang bekerja mengoksidasi senyawa fenol menjadi kuinon dan
H2O2 sehingga mudah didegradasi lebih lanjut (Michalak 2006). Kuinon
dioksidasi oleh enzim peroksidase melibatkan H2O2 menghasilkan radikal fenol
yang selanjutnya berpolimerisasi menjadi senyawa berwarna cokelat.
Bertambahnya area nekrosis pada kalus menunjukkan proses kematian jaringan
dapat menular kebagian dalam jaringan sel kalus lainnya. Peran enzim
polifenoloksidase mengoksidasi fenol dan menghasilkan H2O2 diduga
berpengaruh terhadap jaringan bagian kalus lainnya.
Gambar 27 Irisan tipis jaringan sel kalus kelapa sawit terpapar filtrat G. boninense
(A) Penampang irisan radial jaringan terinduksi nekrosis (Bar 0.1 mm)
(B) normal (Bar 0.01 mm) dan (C) nekrosis (Bar 0.01 mm)
Gambar 29 Pola kandungan asam-asam organik dalam filtrat pada setiap waktu
panen filtrat ( ) perlakuan filtrat; ( ) kontrol YMB. (i) asam
sitrat; (ii) asam α-ketoglutarat; (iii) asam malat; (iv) asam oksalat
.
Asam oksalat akan diubah menjadi CO2 dan air oleh enzim oksalat
dekarboksilase (Makela et al. 2002) . Berdasarkan pola gafik asam oksalat diduga
enzim oksalat dekarboksilase disekresikan setelah 9 HSI oleh G. boninense.
Beberapa enzim lain yang berperan dalam perombakan asam oksalat, seperti
enzim oksalat oksidase dan oksalat CoA-dekarbosilase. Pengukuran kandungan
asam organik filtrat untuk uji kebocoran ion kalus (Tabel 15). Hasil pengukuran
menunjukkan kandungan asam α-ketoglutarat dan sitrat pada filtrat dan kontrol
menunjukkan tidak berbeda nyata, sedangkan pengukuran asam malat dan oksalat
berbeda nyata. Hal ini diperkirakan asam malat dan oksalat disekresikan ke dalam
media tumbuh cair G. boninense. Sekresi asam oksalat oleh G. boninense pada
media lebih banyak 100 kali dibandingkan dengan sekresi asam malat.
65
Tabel 15 Perbandingan konsentrasi asam-asam organik filtrat dan kontrol pada
pengujian kebocoran ion
Media n α-Ketoglutarat Sitrat Malat Oksalat
konsentrasi (ppm)
Kontrol 3 29.05 ± 11.61 14.26 ± 12.99 0.10 ± 0.07 4.72 ± 3.23
Filtrat 10 28.93 ± 1.70 7.67 ± 1.91 0.42 ± 0.13 24.95 ± 5.31
0.99tn 0.47tn 0.00** 0.00**
Uji t-student : tn tidak nyata; * nyata(5%) ; **sangat nyata (1%)
Pengukuran Protein
Keterangan Total:tn
: Uji t-student pada
tidakFiltrat
nyata; *G. boninense
nyata(5%) ; **sangat nyata (1%)
Pengukuran konsentrasi total protein pada filtrat menunjukkan
kecenderungan menurun seiring waktu panen filtrat (Gambar 30). Pengukuran
total protein pada kontrol pada setiap titik panen menunjukkan pola yang
bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi total protein pada media
kontrol bervariasi tergantung dari botol media YMB. Pola konsentrasi total
protein yang cenderung menurun pada filtrat diduga berhubungan dengan asorbsi
protein pada media oleh koloni. Asorbsi protein pada media oleh koloni akan
diubah menjadi komponen sel dan komponen enzim pada koloni.
Penambahan ekstrak yeast diduga berpengaruh terhadap kandungan protein
media YMB. Pada konsentrasi tertentu saat kandungan protein berkurang pada
substrat kapang pelapuk putih memiliki kecenderungan mensekresikan enzim
oksidatif ke substrat untuk mendapatkan keseimbangan nitrogen dan karbon (C/N
rasio). Kekurangan protein pada substrat dapat sebagai pemicu terjadinya
perombakan selulosa pada substrat, diduga kondisi tersebut dapat terjadi pada
media cair YMB.
Gambar 30 Pola kandungan total protein dalam filtrat pada setiap waktu panen
filtrat. ( ) : filtrat perlakuan; ( ) : kontrol
Tabel 16Perbandingan konsentrasi total protein filtrat dan kontrol pada pengujian
kebocoran ion
Media n Total protein
Konsentrasi (ppm)
Kontrol 3 62.26 ± 8.46
Filtrat 10 90.22 ± 13.04
0.00**
Uji t-student : tn tidak nyata; * nyata(5%) ; **sangat nyata (1%)
0,10
0,09 y = 0.004x - 0.077
0,08 R² = 0.94
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0,00
10 20 30 40 50
Hasil pengukuran terhadap kebocoran elektrolit pada kalus oleh karena aksi
senyawa oksalat disajikan pada Gambar 33. Model linear regresi, yang diperoleh
dengan persamaan Y=0.094x+0.246 yang memiliki nilai R2 sebesar 0.87. Indikasi
yang sama dengan filtrat kesesuain model regresi asam oksalat pengaruhnya
terhadap besarnya kebocoran elektrolit, hal ini yang berhubungan dengan tingkat
kerusakan struktur jaringan sel kalus kelapa sawit. Nilai kebocoran elektrolit kalus
kelapa sawit yang disebabkan oleh filtrat lebih kecil dibandingkan dengan yang
disebabkan oleh asam oksalat murni. Hal ini menunjukkan besarnya konsentrasi
asam oksalat di dalam filtrat lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi media
dengan oksalat murni.
69
Ke b o c o r an El ek t rol it (µ S / cm)
0,8
y = 0.094x + 0.246
0,7 R² = 0.87
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi asam oksalat (mM)
Gambar 33 Model regresi linier pengaruh asam oksalat terhadap besarnya nilai
kebocoran ion pada kalus
Besarnya kebocoran elektrolit pada membran oleh sebab filtrat dan asam
oksalat berkisar antara 0.01 sampai 0.8 µS/cm. Kebocoran elektrolit pada
membran kalus oleh karena filtrat diperkirakan 1/3 dari konsentarasi oksalat 1
mM. Hal ini menunjukkan korelasi yang tinggi antara tingkat kebocoran elektrolit
kalus oleh karena aksi asam oksalat. Asam oksalat diketahui sebagai salah satu
kelator radikal Mn3+ yang dihasilkan oleh Mn-proksidase. Radikal Mn3+
kemudian berikatan dengan oksalat, oleh karena ukuran senyawanya kecil maka
asam oksalat mampu masuk dinding sel membawa radikal yang dapat bereaksi
sewaktu-waktu dengan komponen penyusun dinding sel khusunya ikatan senyawa
pada lignin (Kuan dan Tien 1993).
Salah satu indikator yang banyak digunakan dalam mendeteksi cekaman
pada tanaman yaitu dengan mengukur kebocoran elektrolit sel. Saat awal proses
nekrosis terjadi diperkirakan mengalami mekanisme kobocoran elektrolit sel.
Kebocoran elektrolit sel merupakan respons fisologis sel tanaman terhadap suatu
kondisi fisiologis tertentu. Kondisi tersebut dapat dipicu oleh cekaman faktor
abiotik maupun biotik. Kebocoran elektrolit sel dapat digunakan menjadi ukuran
dalam menilai suatu genotipe digolongkan tahan atau peka terhadap suatu
cekaman tertentu (Bajji et al. 2001).
Teknik ini relatif sederhana, dapat diulang dengan ketepatan yang hampir
sama, tidak membutuhkan peralatan yang mahal, serta dapat diaplikasikan pada
banyak jenis sistem kultur dan dalam jumlah banyak (Arvin dan Donnelly 2008).
Melalui pendekatan ini peneliti mampu mengkuantifikasi besarnya kerusakan
membran sel oleh karena kondisi stres yang disebabkan oleh faktor abiotik dan
biotik tersebut. Kebocoran elektrolit sel menunjukkan proses pertahanan sel
terhadap perubahan kondisi kimiawi daerah apoplas sel, yang menyebabkan
kerusakan stuktur molekul membran dan dinding sel.
Hasil korelasi menunjukkan tiga peubah yaitu asam oksalat, ergosterol, total
protein dan total polisakarida berkorelasi dengan besarnya nilai kebocoran
elektrolit kalus (Tabel 19). Setelah diketahui pola grafik asam-asam organik yang
berbeda hanya pada asam oksalat maka hanya digunakan asam oksalat pada
70
perhitungan analisis lintas (Gambar 28). Asam oksalat telah dilaporkan terlibat
dalam patogenesitas dan proses pelapukan kayu (Dutton dan Evans 1996; Munir
et al. 2001). Total protein mewakili kelompok protein fungsional seperti
kelompok senyawa glikoprotein, enzim pendegradasi pektin, selulosa,
hemiselulosa dan ligninase yang berkaitan dengan patogenesitas Ganoderma sp
(Al-Obaidi et al. 2010; Paterson et al. 2009).
Pengukuran total polisakarida mewakili kelompok senyawa oligosakarida
yang juga banyak terdeteksi pada media Ganoderma sp. (Chen et al. 2012).
Oligosakarida merupakan bagian dari dinding sel jamur. Diding sel jamur
umumnya akan terdegradasi oleh aksi enzim kitinase dan glukanase yang berasal
dari tanaman, yang dapat berfungsi sebagai elisitor. Polisakarida dinding sel jamur
yang terdegradasi dapat membentuk persenyawaan chitooligosakarida pada
bentuk pentamerik dan heksa merik mampu menginduksi respon hipersensitif sel
tanaman padi (Ning et al. 2004).
Tabel 19 Korelasi peubah kimia oksalat, ergosterol, polisakarida dan protein pada
filtrat terhadap kebocoran ion kalus
Kebocoran Total Total Ergosterol Asam
Peubah n elektrolit protein Polisakarida Oksalat
Kebocoran elektrolit 60 0.63 ** 0.25 * 0.53 ** 0.45 **
Total protein 60 0.63 ** . 0.43 ** 0.57 ** 0.40 **
Total Polisakarida 60 0.25 * 0.43 ** . -0.13 tn 0.45 **
Ergosterol 60 0.53 ** 0.57 ** -0.13 tn . -0.09 tn
Asam Oksalat 60 0.45 ** 0.40 ** 0.45 ** -0.09 tn .
n : jumlah sampel ; peluang nyata * 5%, ** 1%.
X1: Total
Polisakarida ß Y1X1
-0.12
e1
rX1X2 0.73
0.43
ßY1X2
rX1X3 Y1 : Kebocoran
0.45 X2:Total Protein 0.58 elektrolit
rX2X3
0.40
ß Y1X3
0.28
X3: Asam Oksalat
Gambar 34 Model analisis lintas pengaruh asam oksalat, total polisakarida dan
total protein terhadap besarnya nilai kebocoran elektrolit pada kalus
Radikal bebas yang diproduksi akan distabilkan oleh kelator alami, yaitu
asam oksalat. Radikal bebas selanjutnya mampu mengoksidasi lapisan fosfolipid
pada membran sel tanaman diduga terpengaruhi konstitusi membran selnya oleh
karena penarikan satu elektron valensi oleh radikal bebas melalui mekanisme
72
peroksidasi lipid (Enoki et al. 1999). Kondisi lingkungan sel yang oksidatif proses
tersebut terjadi dengan optimal, sehingga frekuensi kecocoran elektrolit
meningkat dan pada akhirnya menyebabkan nekrosis jaringan.
Oksalat pada proses pelapukan kayu diketahui berperan dalam beberapa hal
yaitu depolimerisasi non enzimatik selulosa melalui reaksi feton, menciptakan
kondisi asam pada lingkungan seluler jaringan tanaman sehingga proses kerja
enzim pendegradasi selulase lebih optimal (Cohen et al. 1995). Asam oksalat juga
berperan memediasi terciptanya kondisi oksidatif dalam jaringan yang terinfeksi
jamur pelapuk kayu melalui pengkelatan ion Fe3+ atau ion logam lain
menghasilkan radikal hydrosil yang reaktif baik terhadap struktur lignin dan
mungkin bagi membran sel.
Asam oksalat diduga berpengaruh langsung melalui pengkelatan ion Ca 2+
yang terkandung dilingkungan ektraseluler yaitu didaerah apoplas. Pengkelatan
ion Ca2+ berpengaruh terhadap keseimbangan elektrolit didalam sel dan
lingkungannya. Pada jamur Sclerotia sp, peran oksalat telah diketahui dengan baik
sebagai salah satu faktor penentu patogenesitas, yaitu melalui aksi pengkelatan
kalsium pektat yang terdapat pada daerah antar sel yang dapat menyebabkan
kebocoran elektrolit (Green et al. 1995; Zaeifizadeh et al. 2013).
Nilai error yang cukup tinggi diduga karena peubah bebas yaitu berupa
senyawa kimia pada filtrat hanya beberapa yang diamati. Nilai error akan
menurun jika peubah bebas ditambah dalam perhitungan analisis lintas. Selain itu
jumlah sampel yang digunakan perlu ditambah, yaitu lebih dari 100 ulangan
(Sarwono 2012). Akan tetapi peubah bebas yang akan ditambahkan dalam
perhitungan memiliki alasan ilmiah terlibat dalam patogenesitas G. boninense
.
Simpulan
1. Respons jaringan clump sel kalus kelapa sawit terhadap filtrat Ganodema
boninense adalah terjadinya nekrosis yang menyebabkan jaringan sel kalus
mengalami pencokelatan, hal tersebut menunjukkan filtrat bersifat fitotoksik.
2. Kultur filtrat Ganodema boninense mengandung senyawa, asam oksalat, asam
malat, ergosterol, protein dan polisakarida
3. Jenis senyawa fitotoksin yang menyebabkan nekrosis jaringan sel kalus kelapa
sawit adalah kelompok protein dan asam oksalat melalui mekanisme
kebocoran elektrolit sel.
PEMBAHASAN UMUM
Prosedur teknik seleksi in vitro kalus kelapa sawit untuk ketahanan terhadap
Ganoderma boninense Pat. telah diperoleh, yang dapat menjadi salah satu
alternatif untuk mendapatkan galur ramet tanaman kelapa sawit moderat tahan
terhadap G. boninense. Melalui seleksi in vitro telah diperoleh beberapa galur
ramet kelapa sawit yang moderat tahan terhadap filtrat G. boninense, melalui
pemanfaatan variasi somaklonal pada kultur jaringan kelapa sawit. Prosedur
teknik seleksi in vitro tersebut meliputi; pemilihan isolat patogen G. boninense
yang memiliki virulensi tinggi, kondisi optimal dalam teknik seleksi in vitro
menggunakan filtrat G. boninense sebagai sumber agen seleksi untuk seleksi
ketahanan kalus kelapa sawit terhadap G. boninense. Kelompok senyawa protein
dan asam oksalat merupakan salah satu penyebab dari nekrosis jaringan kalus
kelapa sawit.
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran 1 Sidik ragam diameter zona reaksi isolat pada media ATT
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 4301.49 477.94 4.91 0.0002
Galat 39 3798.35 97.39
Total terkoreksi 48 8099.84
2
R : 0.53; Koefisien variasi : 73.60; Simpangan baku galat : 9.87; Nilai tengah :13.41
Lampiran 4 Skor intensitas warna pada zona reaksi oksidasi di media ATT
S a ng at lem ah lem ah ku at San ga t ku at
Lampiran 5 Sidik ragam diameter zona reaksi isolat pada media ABTS
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 5663.85 629.32 11.58 0.0001
Galat 39 2120.35 54.37
Total terkoreksi 48 7784.20
2
R : 0.73; Koefisien variasi : 17.34; Simpangan baku galat : 7.37; Nilai tengah :42.53
93
Lampiran 8 Skor intensitas warna pada zona reaksi oksidasi di media ABTS
S a ng a t l em a h l em a h ku at San ga t ku at
Lampiran 13 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup pada metode modifikasi
kultur patogen
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
Keragaman Bebas Kuadrat tengah hitung P>F
Model 3 0.13 0.04 5.68 0.0027
Galat 36 0.28 0.01
Total terkoreksi 39 0.41
2
R : 0.32; Koefisien variasi : 9.67; Simpangan baku galat : 0.09; Nilai tengah : 0.91
Lampiran 14 Sidik ragam penurunan berat basah kalus pada metode modifikasi
kultur patogen
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
keragaman bebas kuadrat tengah hitung P>F
Model 3 0.45 0.15 12.08 <.0001
Galat 36 0.45 0.01
Total terkoreksi 39 0.90
R2 : 0.50; Koefisien variasi : 13.42; Simpangan baku galat : 0.11; Nilai tengah : 0.83
95
Lampiran 15 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup dengan kontrol negatif
waktu panen optimal agen seleksi
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
keragaman bebas kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 4.14 0.46 24.68 <.0001
Galat 60 1.12 0.02
Total terkoreksi 69 5.26
2
R : 0.80; Koefisien variasi : 22.27; Simpangan baku galat : 0.10; Nilai tengah :0.61
Lampiran 16 Sidik ragam penurunan jumlah kalus hidup dengan kontrol positif
waktu panen optimal agen seleksi
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F
keragaman bebas kuadrat tengah hitung P>F
Model 9 6.20 0.69 24.28 <.0001
Galat 60 1.70 0.03
Total terkoreksi 69 7.90
2
R : 0.78; Koefisien variasi : 32.08; Simpangan baku galat : 0.17; Nilai tengah : 0.52
Lampiran 17 Sidik ragam regresi rasio kalus hidup pada penentuan konsentrasi
letal filtrat terhadap kalus dengan pembanding kontrol negatif
Hasil : | thit | < |tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.34 lebih besar
Sumber
dibandingkan dengan Derajat
taraf nyataJumlah 0.05, maka H0Kuadrat
diterima Nilai
keragaman bebas kuadrat tengah F P>F
Model 1 3576.84 3576.84 6.47 0.03
galat 9 4420.86 552.61
Total 10 7997.69
Jumlah sampel : 10; R2 : 0.45; R2 terkoreksi : 0.38; Standar galat : 23.50; Nilai tengah :70.41
Lampiran 19 Sidik ragam penurunan selisih berat basah kalus pada penentuan
konsentrasi subletal melalui empat siklus penapisan
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
keragaman bebas kuadrat tengah F hitung P>F
Model 115 572525.37 4978.48 6.73 <.0001
perlakuan 6 283332.60 47222.10 63.83 <.0001
waktu 52 185936.86 3575.71 4.83 <.0001
r(perlakuan) 3 12705.73 4235.24 5.72 0.00
r(waktu) 27 31942.45 1183.05 1.60 0.04
perlakuan*waktu 18 42880.53 2382.25 3.22 <.0001
Galat 154 113938.83 739.86
Total terkoreksi 269 686464.21
R2 : 0.66; Koefisien variasi : 5.03; Simpangan baku galat : 0.12; Nilai tengah :2.40
Transformasi data :log(x+10)
Lampiran 20 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya
terhadap aktivitas enzim peroksidase
Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P>F
Model 3 0.004 0.001 8.440 0.003
Media 1 0.002 0.002 9.860 0.009
Asal kalus 1 0.002 0.002 15.450 0.002
Media*Aslak kalus 1 0.000 0.000 0.010 0.923
Galat 12 0.002 0.000
Total terkoreksi 15 0.006
2
R : 0.68; Koefisien variasi : 9.69; Simpangan baku galat : 0.01; Nilai tengah :0.13
Lampiran 21 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya
terhadap aktivitas enzim fenilalanina amonia liase
Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P>F
Model 3 0.00017 0.00006 4.110 0.032
Media 1 0.00000 0.00000 0.010 0.921
Asal kalus 1 0.00015 0.00015 11.230 0.006
Media*Aslak kalus 1 0.00002 0.00002 1.100 0.315
Galat 12 0.00016 0.00001
Total terkoreksi 15 0.00033
2
R : 0.51; Koefisien variasi : 0.07; Simpangan baku galat : 0.00; Nilai tengah : 5.01
97
Lampiran 22 Sidik ragam pengaruh media dan asal kalus serta interaksinya
terhadap aktivitas enzim kitinase
Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung P>F
Model 3 0.000083 0.000028 3.550 0.048
Media 1 0.000005 0.000005 0.650 0.437
Asal kalus 1 0.000002 0.000002 0.200 0.663
Media*Aslak kalus 1 0.000077 0.000077 9.800 0.009
Galat 12 0.000094 0.000008
Total terkoreksi 15 0.000177
R2 : 0.47; Koefisien variasi : 17.40; Simpangan baku galat : 0.00; Nilai tengah :0.02
Lampiran 23 Larutan seri Jonsen dan lama waktu perendaman pada tahap
fiksasi spesimen
Larutan seri Jonsen Waktu
Larutan 3 jam
Etanol 70%(v/v) 3 jam
Etanol 95%(v/v) 3 jam
Etanol absolut 3 jam
Etano:xylol (3:1) 3 jam
Etano:xylol(1:1) 3 jam
Xylol I 3 jam
Xylol II 3 jam
Jumlah sampel = 7 ;R =
2
1 ;R 2 terkoreksi = 1 ;Standard Error = 0
99
Lampiran 29 Kandungan asam sitrat (ppm) dari media YMB yang diinokulasi
(filtrat) dan tanpa inokulasi G. boninense (kontrol)
Media n x±sd*
Kontrol 3 14.26±12.99
Filtrat 10 7.67±1.91
*)rerata±standar deviasi
P(T<=t) two-tail 0.00; t Critical two-tail 2.44
Hasil : | thit | < | tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.00 lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata
0.05, maka H0 ditolak
100
Lampiran 30 Kandungan asam malat (ppm) dari media YMB yang diinokulasi
(filtrat) dan tanpa inokulasi G. boninense (kontrol)
Media n x±sda
Kontrol 3 0.10±0.07
Filtrat 10 0.42±0.13
a
Rerata±standar deviasi
P(T<=t) two-tail 0.00; t Critical two-tail 2.44
Hasil : | thit | < | tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.00 lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata
0.05, maka H0 ditolak
Lampiran 31 Kandungan asam oksalat (ppm) dari media YMB yang diinokulasi
(filtrat) dan tanpa inokulasi G. boninense (kontrol)
Media n x±sda
Kontrol 3 4.72±3.23
Filtrat 10 24.95±5.31
a
Rerata±standar deviasi
P(T<=t) two-tail 0.00; t Critical two-tail 2.44
Hasil : | thit | < | tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.00 lebih kecil dibandingkan dengan taraf
nyata 0.05, maka H0 ditolak
Lampiran 33 Kandungan protein total (ppm) dari media YMB yang diinokulasi
(filtrat) dan tanpa inokulasi G. boninense (kontrol)
Media n x±sda
Kontrol 3 62.26±8.46
Filtrat 10 90.22±13.04
a
Rerata±standar deviasi
P(T<=t) two-tail 0.00; t Critical two-tail 2.17
Hasil : | thit | < | tcritical 2 tail | atau nilai P-value = 0.00 lebih kecil dibandingkan dengan taraf
nyata 0.05, maka H0 ditolak
101
AU = area unit ; menute = waktu retensi;1 =asam α-ketoglutarat ; 2 = asam oksalat; 3=asam malat;
4= asam sitrat
Pengukuran standar asam α-ketoglutarat, sitrat, malat dan oksalat pada beberapa
konsentrasi validasi
Rerata luas area asam standar (AU)
Konsetrasi (ppm) n α-Ketoglutarat Sitrat Malat Oksalat
1 5 12,530.40 1,038.60 94,986.67 1,065.00
5 5 36,941.40 4,289.20 460,080.67 13,561.50
10 5 69,845.00 8,879.20 933,027.00 36,304.00
20 5 183,337.40 25,605.60 2,602,782.67 120,138.50
25 5 296,318.40 42,014.00 4,197,524.33 214,296.00
50 5 407,766.60 58,377.00 5,779,115.33 326,436.00
0.25
0.20
0.15
AU
0.10
0.05
0.00
0.00
2.20
2.00
1.80
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
Minutes
25 5 164,533
50 5 299,486
Parameter
Peubah a b r
Ergosterol 8,539.28 5,951.76 1.00
Kondisi sistem Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) pada
penetapan kandungan ergosterol filtrat G. boninense
Fasa gerak : Metanol
Flow rate : 0.100 mL/min
Volume injeksi : 1 μl
Kolom : Acquity UPLC BEH C18 1.7 μm (2.1 x 50 mm)
Waktu retensi : 5 menit
Panjang gelombang : 282 nm
Temperatur kolom : suhu ruang
105
DAFTAR ISTILAH
Kalus Embriogenik Salah satu tipe kalus berdasarkan morfologi, berupa clump
kalus bersifat remah yang memiliki potensi membentuk
embrio somatik.
Fitotoksin Senyawa kimia yang bersifat toksin terhadap jaringan sel
tanaman namun belum diketahui mekanisme toksisitasnya.
Elisitor Pengertian umum berbagai jenis induktor eksogenus
maupun endogenus yang memicu proses fisiologis
pertahanan tanaman.
Proliferasi Kemampuan sel untuk tumbuh memperbanyak diri melalui
pembelahan sel.
Konsentrasi letal Tetapan konsentrasi indikator dari suatu senyawa kimia
yang menyebabkan kematian total terhadap objek biologi
106
umumnya dapat diukur dengan pendekatan model statistika.
Konsentrasi Konsentrasi dibawah konsentrasi letal
subletal
Embriogenesis Proses atau tahapan terjadinya embrio dari satu sel somatik
somatik atau kumpulan beberapa sel somatik. Umumnya tahap
perkembangan dari tahap globular, tahap hati, tahap terpedo
dan tahap kotiledon.
Kultur filtrat Media biakan mikroorganisme yang telah dibebaskan dari
inokulum mikroorganisme tersebut dengan cara filtrasi yang
diduga mengandung berbagai metabolit sekunder yang
disekresikan ekstra seluler oleh mikroorganisme tersebut.
Retensi waktu Waktu yang dibutuhkan suatu senyawa tertentu untuk
dideteksi pada panjang gelombang tertentu berdasarkan
polaritasnya.
Pencoklatan Respon suatu jaringan sel tanaman terhadap cekaman
dengan perubahan warna menjadi coklat oleh karena
cekaman oksidatif.
Respons Respon kematian sel tanaman merupakan bagian dari
hipersensitif kematian sel terprogram melibatkan mekanisme genetik.
Reaktif oksigen Senyawa yang mengandung unsur oksigen yang kehilangan
species satu elektron sehingga menjadi tidak stabil yang dihasilkan
oleh aksi enzim pengoksidasi, untuk dapat stabil perlu
senyawa donor atau antioksidan.
Kultur in vitro Bagian jaringan suatu organisme yang dibiakkan di dalam
tabung inkubasi/cawan petri/material tembus pandang dalam
kondisi terkontrol.
Tanaman inang Tanaman organisme tempat parasit tumbuh dan
mendapatkan makan
Saprofit Organisme yang hidup dan mendapat makanan dari
organisme mati
Saprofit fakultatif Organisme yang memiliki kemampuan hidup sebagai
saprobe padahal sebenarnya merupakan parasit
Nekrosis Gejala penyakit yg ditandai dengan degenerasi protoplas
yang diikuti dengan matinya sel-sel jaringan organ/seluruh
tanaman.
Parasit Organisme yang sebagian/seluruh kebutuhan makanannya
bergantung pada organisme hidup lain.
Nekrotopi Organisme yang mematikan jaringan inang sebelum
penetrasi kemudian tetap berkembang dan bersporulasi
setelah jaringan inangnya mati.
Patogen Setiap agen biologi yang menyebabkan penyakit.
107
RIWAYAT HIDUP