Anda di halaman 1dari 2

Merangkai Keberagaman dalam Bingkai Agama dan Budaya di Era

Digital

Pluralisme adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima
adanya “KEMAJEMUKAN” atau “KEANEKARAGAMAN” dalam suatu kelompok
masyarakat

Pluralisme sendiri juga dapat berarti kesediaan untuk menerima keberagaman


(pluralitas), artinya, untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku,
golongan, agama, adat, hingga pandangan hidup.

Cara pandang terhadap pluralisme merupakan suatu yang berperan sangat penting
dalam kehidupan bermasyarakat. Tak jarang cara pandang pluralisme menjadi sorotan yang
utama dan menimbulkan sikap-sikap tertentu, misalnya keterbukaan, ketertutupan, kebencian
dan lain-lain. Diantara banyaknya keberagaman yang kita miliki, agama adalah salah satu
aspek yang dinilai dan dilihat sebagai sesuatu yang paling sering dibicarakan. Hal ini
disebabkan oleh nilai-nilai mutlak yang terkandung didalam ajaran agama tersebut dan juga
karena agama sangat mempengaruhi cara berelasi orang-orang beragama.

Berkenaan dengan munculnya berbagai paham mengenai pluralisme sendiri menjadi


sorotan banyak orang yang menimbulkan pro dan kontra dikalangan cendikiawan, pemikir
dan tokoh agama. Secara khusus dalam hal agama, berbagai masyarakat yang menganut
agama/ kepercayaan berbeda-beda, dengan gambaran seperti itu, dapat dikatakan bahwa
pluralisme agama bukanlah kenyataan yang mengharuskan orang untuk saling menjatuhkan,
saling merendahkan, atau mencampuradukkan antara agama yang satu dengan yang lain,
tetapi justru mempertahankannya pada posisi saling menghormati dan bekerjasama.

Membangun toleransi antar umat beragama pada era teknologi informasi seperti saat ini
bukan hal mudah. Setiap saat arus informasi bergerak dengan deras dari sumber-sumber
informasi sampai ke penerimanya. Melahap apa saja yang disajikan media telah menjadi gaya
hidup masyarakat kita. Informasi itu sendiri sebenarnya bersifat netral, namun setelah
melewati media dan kepentingannya, apalagi sampai ke penerima tanpa filter logika yang
baik, informasi bisa jadi terdistorsi.

Salah satu jurus untuk membangun toleransi adalah dengan dialog antar umat
beragama. Dialog yang dimaksud di sini memiliki makna yang lebih luas daripada sekedar
percakapan antara dua orang atau lebih. Dialog ini bisa diimplementasikan berbeda sesuai
dengan segmen masyarakat yang disasar.

Dialog mengenai kaidah-kaidah agama, dalil dan hal-hal konseptual lainnya lebih
cocok digunakan pada kalangan pemimpin-pemimpin agama. Diasumsikan mereka telah
memiliki kedewasaan berpikir tentang agama dan keimanan, jadi pada saat-saat terjadi
perbedaan (dan memang akan selalu ada perbedaan antar agama) dialog tidak menjadi kaku
melainkan jadi semakin berwarna dan semakin menyingkap keindahan jalan-jalan yang
dipilih manusia untuk sampai pada Sang Khalik. Model ini dapat kita lihat pada forum-forum
diskusi, sarasehan atau semintar lintas agama.
Mengenai hal tersebut, tak hanya pluralisme dan toleransi saja yang perlu
dikembangkan di era digital. Perkembangan teknologi digital juga harus dikembangkan
menjadi teknologi yang berbasis kebudayaan. Menjadikan kebudayaan sebagai landasan
dalam perkembangan era digital saat ini, akan mampu melahirkan generasi muda yang tidak
ahistoris atau lupa pada sejarah.

Selain itu juga mampu memperkuat ikatan emosional antarbangsa, dengan menghargai
kekuatan dari perbedaan yang ada di masyarakat. Kebudayaan sebagai jati diri, akan
memberikan ruang bagi masyarakat untuk terus mengintrospeksi diri di tengah arus
modernisasi yang semakin kuat ini.

Anda mungkin juga menyukai