Anda di halaman 1dari 25

K3 DI INDUSTRI PERTAMBANGAN

Komitmen dan Pola Kebijakan K3 di Sektor Mineral dan Batubara

Dalam sektor pertambangan mineral dan batubara, K3 merupakan kunci

bisnis yang menjadi prioritas. Seperti yang tercantum dalam Pasal 5, Ayat 1,

Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 555.K/26/M.PE/1995 tentang

K3 Pertambangan Umum, dinyatakan bahwa kegiatan pertambangan, baik

eksplorasi maupun eksploitasi baru dapat dimulai setelah pemegang Kuasa

Pertambangan (sekarang Pemegang Izin Usaha Pertambangan) memiliki Kepala

Teknik Tambang (KTT), yaitu seseorang yang memimpin dan bertanggung jawab

atas terlaksananya serta ditaatinya peraturan perundang-undangan K3 pada suatu

kegiatan usaha pertambangan. Kemudian, ketika kegiatan pertambangan telah

berlangsung, pengusaha harus menghentikan pekerjaan apabila KTT atau petugas

yang ditunjuk tidak berada pada pekerjaan usaha tersebut, seperti yang tercantum

dalam Pasal 4, Ayat 7, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.

555.K/26/M.PE/1995.

K3 juga merupakan kewajiban yang melekat bagi pemegang Izin Usaha

Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sebagaiman

tercantum dalam Pasal 96, Huruf a, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara. Selanjutnya, pelaksanaan K3 pada kegiatan usaha

pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK tersebut

diawasi oleh pemerintah melalui Inspektur Tambang seperti yang tercantum

dalam Pasal 141, Ayat 1 dan Ayat 2, UU No. 4 Tahun 2009.


Dari penjelasan tersebut, sangat jelas bahwa sektor pertambangan mineral

dan batubara memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap K3 yang

pengelolaannya diarahkan untuk mendukung kebijakan dalam menciptakan

kegiatan pertambangan yang aman, bebas dari kecelakaan kerja, kejadian

berbahaya dan penyakit akibat kerja.

Kontrol Pemerintah terhadap Perusahaan/industri Mineral dan Batubara

Berdasarkan Pasal 140 Ayat 3, UU No. 4 Tahun 2009, Menteri, Gubernur

dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas

pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP,

IPR atau IUPK.

Berdasarkan Pasal 141 Ayat 1, hal yang menjadi aspek pengawasan adalah:

 teknis pertambangan,

 pemasaran,

 keuangan,

 pengelolaan data mineral dan batubara,

 konservasi sumber daya mineral dan batubara,

 keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan,

 keselamatan operasi pertambangan,

 pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan pasca tambang,

 pemanfaatan barang, jasa, teknologi dan kemampuan rekayasa dan rancang

bangun dalam negeri,

 pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan,


 pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat,

 penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan,

 kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang

menyangkut kepentingan umum,

 pengelolaan IUP atau IUPK, dan

 jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.

Pengawasan terhadap teknis pertambangan; konservasi sumber daya

mineral dan batubara; keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;

keselamatan operasi pertambangan; pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan

pasca tambang; penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi

pertambangan, dilakukan oleh Inspektur Tambang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan (Pasal 141 Ayat 2).

Khusus untuk K3, pengawasan K3 pertambangan dilaksanakan dengan

tujuan menghindari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Ruang lingkup K3

pertambangan meliputi:

1. Keselamatan kerja,

Yang dimaksud keselamatan kerja antara lain berupa:

 Manajemen risiko,

 Program keselamatan kerja,

 Pelatihan dan pendidikan keselamatan kerja,

 Administrasi keselamatan kerja,

 Manajemen keadaan darurat,

 Inspeksi dan Audit keselamatan kerja,


2. Kesehatan kerja,

Yang dimaksud kesehatan kerja antara lain berupa:

 Program kesehatan kerja

 Pemeriksaan kesehatan pekerja,

 Pencegahan penyakit akibat kerja,

 Diagnosis dan pemeriksaan penyakit akibat kerja

 Hiegiene dan sanitasi,

 Pengelolaan makanan, minuman dan gizi kerja,

 Ergonomis.

3. Lingkungan Kerja,

Yang dimaksud lingkungan kerja antara lain berupa:

 Pengendalian debu,

 Pengendalian kebisingan,

 Pengendalian getaran,

 Pencahayaan,

 Kualitas udara kerja (kuantitas dan kualitas)

 Pengendalian radiasi

 House keeping.

4. Sistem Manajemen K3.

Selain K3, dalam pertambangan mineral dan batubara dikenal pula

“Keselamatan Operasi Pertambangan”. Pengawasan Keselamatan Operasi

Pertambangan dilaksanakan dengan tujuan menciptakan kegiatan operasi


pertambangan yang aman dan selamat. Ruang lingkup Keselamatan Operasi

Pertambangan meliputi:

 Evaluasi laporan hasil kajian,

 Pemenuhan standardisasi instalasi,

 Pengamanan instalasi,

 Kelayakan sarana, prasarana dan instalasi peralatan pertambangan

 Kompetensi tenaga teknik.

Pelaksanaan pengawasan K3 dan keselamatan operasi pertambangan oleh

Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi dilaksanakan dalam

bentuk:

a. Pengawasan Administratif

Pengawasan administratif meliputi:

 Bahan peledak (Format IVi / Rekomendasi)

 Laporan kecelakaan (Format IIIi; Vi; VIi; VIIi; VIIIi; IXi)

 Peralatan (dokumen untuk perijinan)

 Persetujuan (hasil kajian tinggi jenjang, ventilasi, penyanggaan, dan lain-lain)

 Laporan pelaksanaan program K3 (Triwulan)

 Rencana Kerja Tahunan Teknis dan Lingkungan (RKTTL)

 Pengawasan Operasional / Lapangan


b. Pengawasan operasional / lapangan meliputi:

 Inspeksi K3, Inspeksi dilaksanakan oleh PIT/IT yang berkordinasi dengan

pengawas daerah. Contoh objek yang diinspeksi antara lain area penambangan,

haul road, perbengkelan, pabrik, pengolahan, pelabuhan, fasilitas dan instalasi

lainnya.

 Pemeriksaan / Penyelidikan Kecelakaan

 Pemeriksaan / Penyelidikan Kejadian Berbahaya

 Pengujian Kelayakan Sarana, Peralatan dan Instalasi

c. Pengujian sarana, peralatan dan instalasi meliputi:

 Sistem Ventilasi,

 Sistem Penyanggaan,

 Kestabilan Lereng,

 Gudang Bahan Peledak

 Penimbunan Bahan Bakar Cair

 Kapal Keruk

 Kapal Isap

 Alat Angkut Orang, Barang, dan Material

 Alat Angkat

 Bejana Bertekanan

 Instalasi Pipa

 Pressure Safety Valve

 Peralatan Listrik
 Pengujian Kondisi Lingkungan Kerja

 Pengujian/penilaian kompetensi

d. Pengujian/penilaian kompetensi meliputi;

 Penilaian kompetensi calon Kepala Teknik Tambang

 Pengujian kompetensi Juru Ledak

 Pengujian Kompetensi Juru Ukur

 Pengujian Kompetensi Pengawas Operasional (POP; POM; POU)

 Pengujian Kompetensi Juru Las (bekerja sama dengan pihak ke-3)

 Pengujian Kompetensi Operator alat angkat (bekerja sama dengan pihak ke-3)

Peraturan / Undang-undang di Sektor Mineral dan Batubara yang Mengatur

K3

Beberapa peraturan yang menjadi dasar pengelolaan K3 di pertambangan

mineral dan batubara adalah sebagai berikut:

 UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

 UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah

 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

 UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

 PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemprov dan Pemkab/Kota

 PP No.19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan K3 di

Bidang Pertambangan
 Kepmen No.555.K Tahun 1995 tentang K3 Pertambangan Umum

 Kepmen.No.2555.K Tahun 1993 tentang PIT Pertambangan Umum.

 Keputusan Bersama Menteri ESDM dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No.

1247.K/70/MEM/2002 dan No. 17 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Jabatan Fungsional Inspektur Tambang dan Angka Kreditnya

Peran KTT dalam implementasi K3

KTT memiliki peran penting dalam implementasi K3. Seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, KTT adalah seseorang yang memimpin dan bertanggung

jawab atas terlaksananya serta ditaatinya peraturan perundang-undangan K3 pada

suatu kegiatan usaha pertambangan.

Dasar Hukum Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di

Sektor Pertambangan dan Energi Siapa sih yang mau celaka? Tentunya tidak ada

seorang pun yang mau celaka. Tetapi resiko kecelakaan bisa terjadi kapan saja dan

dimana saja termasuk di linkungan tempat kerja. Nah, Keselamatan dan

Kesehatan Kerja yg sering disingkat K3 adalah salah satu peraturan pemerintah

yang menjamin keselamatan dan kesehatan kita dalam bekerja. Jadi, tidak ada

salahnya kita mempelajari lebih jauh mengenai K3.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan

yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi

masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut. Keselamatan

dan kesehatan kerja juga merupakan suatu usaha untuk mencegah setiap perbuatan

atau kondisi tidak selamat, yang dapat mengakibatkan kecelakaan Apa di


Indonesia, ada Undang-Undang yang mengatur mengenai K3? Jawabannya ada.

Undang-Undang yang mengatur K3 adalah sebagai berikut :

 Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

Undang-Undang ini mengatur dengan jelas tentang kewajiban pimpinan tempat

kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja.

 Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

Undang- Undang ini menyatakan bahwa secara khusus perusahaan berkewajiban

memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik pekerja

yang baru maupun yang akan dipindahkan ke tempat kerja baru, sesuai dengan

sifat-sifat pekerjaan yang diberikan kepada pekerja, serta pemeriksaan kesehatan

secara berkala. Sebaliknya para pekerja juga berkewajiban memakai alat

pelindung diri (APD) dengan tepat dan benar serta mematuhi semua syarat

keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan. Undang-undang nomor 23

tahun 1992, pasal 23 Tentang Kesehatan Kerja juga menekankan pentingnya

kesehatan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa

membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya hingga diperoleh

produktifitas kerja yang optimal. Karena itu, kesehatan kerja meliputi pelayanan

kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja.

 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang ini mengatur mengenai segala hal yang berhubungan dengan

ketenagakerjaan mulai dari upah kerja, jam kerja, hak maternal, cuti sampi dengan

keselamatan dan kesehatan kerja. Sebagai penjabaran dan kelengkapan Undang-


undang tersebut, Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan

Keputusan Presiden terkait penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(K3), diantaranya adalah :

 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 11 Tahun 1979 tentang

Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi

 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran,

Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida

 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan

Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan

 Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Akibat

Hubungan Kerja

Undang-Undang Dasar 1945 mengisyaratkan hak setiap warga negara atas

pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Pekerjaan baru dapat

disebut memenuhi kelayakan bagi kemanusiaan, apabila keselamatan tenaga kerja

sebagai pelaksananya terjamin. Kematian, cacat, cedra, penyakit, dan lain-lain

sebagai akibat kecelakaan dalam melakukan pekerjaan bertentangan dengan dasar

kemanusiaan. Maka dari itu, atas dasar landasan UUD 1945 lahir undang-undang

dan ketentuan-ketentuan pelaksanaannya dalam keselamatan kerja.

Pada umumnya setiap sektor mempunyai dasar hukum dalam

bentuk Undang-undang sebagai landasan pelaksanaan kegiatan di

sektor tersebut. Berdasarkan Undang-undang tersebut diterbitkan

berbagai Peraturan Pemerintah (PP) tentang berbagai hal yang

dalam undang-undang dalam Peraturan Pemerintah.


Peraturan Pemerintah disusun atas dasar ketentuan dalam Undang-

undang terkait. Peraturan Pemerintah dibuat sebagai pelaksanaan suatu

Undang-undang. Sejarah pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja di sektor

pertambangan dan energi secara terkendali dimulai pada Tahun 1930 yaitu sejak

dikeluarkannya Undang-Undang Hindia Belanda yakni Mijn Politie Reglement

(MPR) 1930 tentang pengawasan keselamatan kerja perminyakan.

Seirama dengan derap langkah kemajuan pembangunan di sektor

pertambangan dan energi telah melahirkan banyak kebijakan menyangkut

keselamatan dan kesehatan kerja, baik di bidang minyak dan gas bumi, bidang

ketenagalistrikan maupun bidang pertambangan umum. Ini menunjukkan bahwa

penanganan pengawasan keselamatan kerja di sektor pertambangan dan energi

mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah.

Sesuai dengan bidangnya masing-masing dalam sector pertambangan dan

energi, maka pengaturan regulasinyapun diatur berdasarkan bidang-bidang

tersebut, yakni :

Bidang Ketenagalistrikan

Dasar Hukum yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pengawasan

keselamatan dan kesehatan kerja bidang ketenagalistrikan adalah sebagai berikut :

1. UU No.1 / 1970 ttg Keselamatan Kerja

2. UU No.15 / 1985 ttg Ketenagalistrikan

3. PP No.03 / 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun

1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik.


4. PP No.26 / 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10

tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik.

5. Keppres No.22 / 1993 ttg Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja

6. Kep Menaker No.5/Men/1996 ttg Sistem Manajemen K3 (SMK3)

7. Kep Direksi No.090.K/DIR/2005 ttg Pedoman Keselamatan Instalasi

8. Kep Direksi No.091.K/DIR/2005 ttg Pedoman Keselamatan Umum

9. Kep Direksi No.092.K/DIR/2005 ttg Pedoman Keselamatan Kerja

10. Kep Direksi No. 093.K/DIR/2005 ttg Pedoman Keselamatan Lingkungan

Bidang Minyak dan Gas Bumi (Migas)

Dasar Hukum yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pengawasan

keselamatan dan kesehatan kerja bidang minyak dan gas bumi adalah sebagai

berikut :

1. Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

2. Undang-Undang No.1 / 1970 tentang Keselamatan Kerja.

3. Mijn Politie Reglement Staatsblad 1930 Nomor 341 Peraturan Keselamatan Kerja

Tambang.

4. PP. No. 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja

di Bidang Pertambangan.

5. PP. No. 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan

Eksploitasi Migas di Daerah Lepas Pantai.

6. PP. No. 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja pada Pemurnian dan

Pengolahan Minyak dan Gas Bumi.


7. PP. No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas.

8. PP. No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilar Migas.

9. Permen Pertambangan Nomor 02/P/M/Pertamb/1975 Keselamatan Kerja Pada

Pipa Penyalur Serta Fasilitas kelengkapan Untuk Pengangkutan Minyak Dan Gas

Bumi Diluar Wilayah Kuasa Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi.

10. Permen Pertambangan No. 05/P/M/Pertamb/1977 tentang Kewajiban Memiliki

Sertifikat Kelayakan Konstruksi untuk Platform Migas di Daerah Lepas Pantai.

11. Permen Pertambangan dan Energi No. 06P/0746/M.PE/1991 tentang Pemeriksaan

Keselamatan Kerja atas Instalasi, Peralatan dan Teknik yang Dipergunakan dalam

Pertambangan Migas dan Pengusahaan Sumberdaya Panas Bumi.

12. Permen Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 045 Tahun 2006

Pengelolaan Lumpur Bor, Limbah Lumpur Dan Serbuk Bor Pada Kegiatan

Pengeboran Minyak Dan Gas Bumi.

13. Kepmen Pertambangan Dan Energi Nomor 300k/38/Mpe/1997

Keselamatan Kerja Pipa Penyalur Minyak Dan Gas Bumi.

14. Keputusan Direktur Jenderal Minyak Dan Gas Bumi Nomor 39 K/38/DJM/2002

tentang Pedoman Dan Tatacara Pemeriksaan Keselamatan Kerja Atas Tangki

Penimbun Minyak Dan Gas Bumi.

Bidang Pertambangan Umum.

Dasar Hukum yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pengawasan

keselamatan dan kesehatan kerja bidang pertambangan umum adalah sebagai

berikut :
1. Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

2. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

3. PR 1930 No. 341 tentang Peraturan Kepolisian Pertambangan

4. PP No. 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di

Bidang Pertambangan.

5. Peraturan Umum Tenaga Listrik (PUIL).

6. Peraturan Menteri Tamben No. 1/P/M/Pertamb/1978 tentang pengawasan

Keselamatan Kerja Kapal Keruk.

7. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor : 555.K/26/M.PE/1995

tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum.

Peraturan K3 Terkait Sektor Pertambangan dan Energi.

Dalam pelaksanaan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja di sektor

pertambangan dan energi harus memperhatikan undang-undang yang telah dibuat

sebelumnya, yang sampai sekarang ini masih tetap dipakai. Peraturan-peraturan

tersebut di bawah ini, umumnya dapat dikategorikan sebagai landasan sektor

ketenagakerjaan (sektor yang khusus menangani persoalan tenaga kerja serta

segala persoalannya) dalam melakukan pengawasan keselamatan dan kesehatan

kerja.

A. Undang-Undang.

1. Undang-undang Uap Tahun 1930, mengatur tentang keselamatan

dalam pemakaian pesawat uap. Pesawat uap menurut Undang-

undang ini adalah ketel uap, dan alat-alat lain yang bersambungan dengan
ketel uap, dan bekerja dengan tekanan yang lebih tinggi dari

tekanan udara. Undang-undang ini melarang menjalankan atau

mempergunakan pesawat uap yang tidak mempunyai ijin yang

diberikan oleh kepala jawatan pengawasan keselamatan kerja (sekarang

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Ketenaga Kerjaan dan Pengawasan

Norma Kerja-Departemen Tenaga Kerja). Terhadap pesawat uap yang dimintakan

ijinnya akan dilakukan pemeriksaan dan pengujian dan apabila memenuhi

persyaratan yang diatur peraturan Pemerintah diberikan Akte Ijin. Undang-

undang ini juga mengatur prosedur pelaporan peledakan

pesawat uap, serta proses berita acara pelanggaran ketentuan undang-

undang ini.

2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1969 tentang Persetujuan

Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional nomor 120 mengenai

Higiene dalam Perniagaan dan Kantor-kantor. Undang-undang ini

memberlakukan Konvensi ILO nomor 120, yang berlaku bagi badan-

badan perniagaan, jasa, dan bagian bagiannya yang pekerjanya terutama

melakukan pekerjaan kantor. Dalam azas umum konvensi ini

diatur syarat kebersihan, penerangan yang cukup dan sedapat

mungkin mendapat penerangan alam, suhu yang nyaman, tempat

kerja dan tempat duduk, air minum, perlengkapan saniter, tempat

ganti pakaian, persyaratan bangunan dibawah tanah, keselamatan

terhadap bahan, proses dan teknik yang berbahaya, perlindungan

terhadap kebisingan dan getaran, dan perlengkapan P3K.


3. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja terdiri dari XI bab

dan 18 pasal. Didalam penjelasan umum, disebutkan bahwa Undang-

undang ini merupakan pembaharuan dan perluasan dibandingkan dengan

undang-undang sebelumnya (Veilegheids Reglement Tahun 1910).

B. Peraturan Pemerintah

1. Peraturan Uap 1930, mengatur pembagian pesawat uap berdasarkan tekanan

uapnya, yaitu lebih besar dari 1 kg/cm2 di atas tekanan udara luar dan

paling tinggi 1kg/cm2 di atas tekanan udara luar. Peraturan in memuat

ketentuan untuk mendapatkan ijin penggunaan

pesawat uap, serta ketentuan mengenai pesawat uap yang tidak

memerlukan akte ijin. Peraturan ini memuat persyaratan teknis

keselamatan ketel uap dan pesawat uap selain ketel uap, pengering

uap, penguap, bejana uap antara lain mengenai persyaratan bahan pembuat,

perlengkapan pengaman dan tata cara pengujian.

2. Peraturan Pemerintah R.I nomor 19 Tahun 1973 tentang

Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang

Pertambangan, mengatur pengaturan keselamatan kerja di bidang

pertambangan dilakukan oleh Menteri Pertambangan setelah

mendengar pertimbangan Menteri Tenaga Kerja. Menteri

Pertambangan melakukan pengawasan keselamatan kerja

berpedoman kepadan Undang-undang nomor 1 Tahun 1970 serta

Peraturan pelaksanaannya. Pengangkatan pejabat pegawasan keselamatan


kerja setelah mendengar pertimbangan Menteri Tenaga

Kerja. Pejabat tersebut mengadakan kerjasama dengan pejabat

pengawasan keselamatan kerja dari departemen Tenaga Kerja baik di

Pusat dan di Daerah. Juga diatur pelaporan pelaksanaan pengawasan

serta pengecualian pengaturan dan pengawasan ketel uap dari Peraturan

Pemerintah ini.

3. Peraturan Pemerintah R.I nomor 11 Tahun 1975 tentang Keselamatan

Kerja terhadap Radiasi, terdiri dari 9 Bab dan 25 pasal. Peraturan ini mewajibkan

setiap instalasi atom mempunyai petugas proteksi radiasi. Untuk

mengawasi ditaatinya peraturan keselamatan kerja terhadap radiasi perlu ditunjuk

ahli proteksi radiasi oleh instansi yang berwenang. Peraturan Pemerintah ini telah

diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2000 tentang Keselamatan

dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion

4. Peraturan Pemerintah R.I. No. 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja

pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi, yang terdiri dari 31 Bab

dan 58 pasal mengatur tata usaha dan

pengawasan keselamatan kerja pada pemurnian dan pengolahan

minyak dan gas bumi, wewenang dan tanggung jawab menteri

pertambangan, dan dalam pelaksanaan pengawasan menyerahkan

kepada Dirjen dengan hak substitusi sedang tugas dan pekerjaan

pengawasan tersebut dilaksanakan oleh kepala inspeksi dan pelaksana

inspeksi tambang.
5. Peraturan pemerintah ini juga mengatur persyaratan teknis

keselamatan dalam pemurnian dan pengolahan mulai dari

perencanaan, pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan dan

perbaikan instalasi, termasuk persyaratan keselamatan untuk

bangunan, jalan tempat kerja, pesawat dan perkakas, demikian pula

kompressor, pompa vakum, bejana tekan dan bejana vakum, instalasi

uap air, tungku pemanas, dan heat exchanger, instalasi penyalur,

tempat penimbunan, pembongkaran dan pemuatan minyak dan gas

bumi, pengolahan bahan berbahaya, termasuk mudah terbakar dan

mudah meledak dalm ruang kerja, proses dan peralatan khusus, listrik,

penerangan lampu, pengelasan, penyimpanan dan pemakaian zat radioaktif,

pemadam kebakaran, larangan dan pencegahan umum,

pencemaran lingkungan, perlengkapan penyelamatan dan pelindung

diri, pertolongan pertama pada kecelakaan, syarat-syarat pekerja,

kesehatan dan kebersihan , kewajibannnnn umum pengusaha, kepala

teknik dan pekerja, pengawasan, tugas dan wewenang pelaksana

inspeksi tambang, keberatan dan pertimbangan, ketentuan pidana,

ketentuan peralihan dan penutup.

C. Peraturan Menteri.

1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi nomor Per-

03/Men/1978 tentang Persyaratan penunjukan dan

wewenang serta kewajiban Pegawai pengawas keselamatan kerja dan ahli


keselamatan kerja, terdiri atas tujuh pasal. Peraturan menteri

ini mengatur persyaratan untuk ditunjuk sebagai pengawas keselamatan

kerja dan sebagai ahli keselamatan kerja, kewenangan dan kewajiban

pegawai pengawas serta kewenangan dan kewajiban ahli keselamatan. kerja.

2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor Per

02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Kerja dalam

Penyelenggaraan Keselamatan kerja, terdiri atas sebelas pasal.

Semua perusahaan yang termasuk dalam ruang lingkup Undang-

undang Keselamatan kerja harus mengadakan pemeriksaan

kesehatan sebelum bekerja dan pemeriksaan kesehatan berkala.

Pemeriksaan kesehatan khusus dilakukan terhadap tenaga

kerja/golongan tenaga kerja tertentu. Direktur Jenderal dapat

menunjuk Badan sebagai penyelenggara pemeriksaan kesehatan tenaga

kerja.

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor

04/Men/1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat

Pemadam Api ringan, terdiri atas enam bab dan 27 pasal. Dalam peraturan ini

kebakaran digolongkan menjadi golongan A, B, C dan D. Sedang alat pemadam

api ringan dibagi menjadi jenis cairan, jenis busa, jenis tepung kering dan

jenis gas. Alat pemadam api ringan harus ditempatkan pada posisi yang mudah

dilihat dengan jelas, mudah dicapai dan diambil dan dilengkapi tanda

pemasangan. Dalam peraturan menteri ini juga diatur tatacara

pemeiiksaan dan pemeliharaan alat pemadam api ringan.


4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor

01/Men/1982 tentang Bejana Tekan, terdiri atas sepuluh bab dan 48

pasal. Peraturan menteri ini mencabut peraturan khusus FF dan peraturan

khusus DD. Mengatur bejana tekan selain pesawat uap, termasuk botol-

botol baja, bejana transport, pesawat pendingin,

bejana penyimpanan gas yang dikempa menjadi cair terlarut atau

terbeku. Peraturan ini mengatur tentang kode warna, cara pengisian,

pengangkutan, pembuatan dan pemakaian, dan pemasangan, perbaikan dan

perubahan teknis.

5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 02/Men/1982

tentang Kualifikasi Juru Las di Tempat Kerja, terdiri dari enam bab, dan 36 pasal.

Menurut peraturan ini, juru las digolongkan

menjadi juru las kelas I, kelas II, dan kelas III. Juru las dianggap terampil

apabila telah menempuh ujian las dengan hasil memuaskan, dan mempunyai

sertifikat juru las. Pengujian juru las terdiri dari ujian

teori dan ujian praktek. Ujian praktek harus dapat menunjukkan

keterampilan mengelas seperti yang ditentukan peraturan ini.

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 02 Tahun 1983 tentang Instalasi Alarm

Kebakaran Otomatik, terdiri dari delapan bab dan 87

pasal, mengatur perencanaan, pemasangan, pemeliharaan dan

pengujian instalasi alarm kebakaran otomatik di tempat kerja. Diatur

ruangan dan bagiannya yang memerlukan detektor kebakaran. Instalasi

harus dipelihara dan diuji secara berkala, mingguan, bulanan atau tahunan, yang
diatur tatacaranya dalam peraturan ini. Juga diatur berbagai sistem detektor alarm

kebakaran, antara lain sistem deteksi panas, asap dan api.

7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 03 Tahun 1985 tentang

Keselamatan dan Kesehatan kera Pemakaian Asbes, terdiri atas sepuluh

bab dan 25 pasal, melarang pemakaian asbes biru dan cara

penggunaan asbes dengan menyemprotkan. Selain itu diatur

kewajiban pengurus untuk menyediakan alat pelindung diri,

penerangan pekerja, melaporkan proses dan jenis asbes yang

digunakan, memasang tanda/rambu, pengendalian debu asbes, analisa debu

asbes, buku petunjuk mengenai bahaya debu asbes dan

cara pencegahannya. Kewajiban tenaga kerja untuk memakai alat

pelindung diri, memakai dan melepas alat pelidung diri di tempat yang

ditentukan, dan melaporkan kerusakan alat pelindung diri, alat kerja dan/atau

ventilasi. Selain itu diatur kebersihan lingkungan kerja, dan pemeriksaan

kesehatan tenaga kerja.

8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 04 Tahun 1985 tentang Pesawat Tenaga

dan Produksi, terdiri atas dua belas bab dan 147

pasal, mengatur ketentuan umum teknis keselamatan kerja pada

pesawat tenaga dan pesawat produksi, ketentuan mengenai alat

perlindungan, pengujian bagi bejana tekan sebagai penggerak mula

motor diesel, keselamatan perlengkapan transmisi mekanik, keselamatan

mesin perkakas dll. Juga diatur mengenai pemeriksaan, pengujian dan pengesahan

pesawat tenaga dan pesawat produksi.


9. Menteri Tenaga Kerja nomor 05 Tahun 1985 tentang Pesawat

angkat dan Angkut, terdiri atas dua belas bab dan 146 pasal,

mengatur perencanaan, pembuatan, pemasangan, peredaran, pemakaian,

perubahan dan atau perbaikan teknis,serta pemeliharaan pesawat angkat dan

angkut. Syarat keselamatan mencakup bahan

konstruksi, serta perlengkapan pesawat angkat dan angkut, harus cukup

kuat, tidak cacat dan memenuhi syarat. Beban maksimum yang

diijinkan harus ditulis pada bagian yang mudah dilihat dan dibaca dengan

jelas. Setiap pesawat angkat dan angkut tidak boleh dibebani

melebihi beban maksimum yang diijinkan. Peraturan ini mengatur syarat-

syarat teknis berbagai pesawat angkat dan angkut, termasuk komponen-

komponennya. Demikian pula pesawat angkutan di atas landasan dan diatas

permukaan, alat angkutan jalan riil, pengesahan, pemeriksaan dan pengujian.

10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 04 Tahun 1987 tentang Panitia Pembina

Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Tata-cara Penunjukan Ahli Keselamatan

Kerja, terdiri dari 16 pasal. Peraturan Menteri ini mewajibkan pengusaha atau

pengurus tempat kerja yang

mempekerjakan 100 orang pekerja atau lebih atau menggunakan

bahan, proses dan instalasi yang mempunyai risiko besar terjadi

peledakan, kebakaran, keracunan dan penyinaran radioaktif membentuk

P2K3. Keanggotaan P2K3 adalah unsur pengusaha dan unsur pekerja. Sekretaris

P2K3 adalah ahli K3 dari perusahaan yang bersangkutan. Selain mengatur tugas

dan fungsi p2K3, juga mengatur tentang tatacara penunjukan ahli K3.
11. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 01 Tahun 1988 tentang

Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator Pesawat Uap, terdiri atas delapan

bab dan 13 pasal. Kualifikasi operator pesawat uap terdiri dari

operator kelas I dan operator kelas II. Peraturan ini mengatur

persyaratan pendidikan, pengalaman, umur, kesehatan, administrasi,

mengikuti kursus operator dan lulus ujian sesuai kualifikasinya.

Operator diberi kewenangan sesuai dengan kualifikasinya. Jumlah

dan kualifikasi operator untuk ketel uap serta kurikulum operator sesuai

kualifikasinya dicantumkan dalam lampiran peraturan ini.

12. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 04 Tahun 1988 tentang

Berlakunya Standard Nasional Indonesia (SNI) No: SNI-225-1987

Mengenai Peraturan Umum Instalasi Listrik Indonesia 1987 (PUIL

1987) di Tempat Kerja, terdiri atas sepuluh pasal, memberlakukan PUIL

1987 di tempat kerja. Pengurus wajib menyesuaikan instalasi listrik yang

digunakan di tempat kerjanya dengan ketentuan SNI 225-1987.

13. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 01 Tahun 1989 tentang

Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator Keran Angkat, terdiri atas delapan

bab dan 13 pasal. Kualifikasi operator terdiri dari operator

kelas I, Operator kelas II dan operator kelas III. Peraturan ini

mengatur persyaratan pendidikan, pengalaman, umur, kesehatan,

administrasi, mengikuti kursus operator dan lulus ujian sesuai

kualifikasinya. Operator diberi kewenangan sesuai dengan kualifikasinya,

dan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sesuai dengan kualifikasinya.


Jumlah dan kualifikasi operator untuk masing-masing keran dicantumkan dalam

lampiran peraturan ini.

14. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 02 Tahun 1989 tentang Pengawasan

Instalasi Penyalur Petir, terdiri atas sebelas bab dan 60

pasal, mengatur persyaratan istalasi penyalur petir tentang kemampuan

perlindungan, ketahanan teknis dan ketahanan terhadap korosi, persyaratan bahan

dan sertifikat atau hasil pengujian bagian-

bagian instalasi. Memuat persyaratan teknis untuk penerima,

penghantar penurunan, pembumian, menara, bangunan yang

mempunyai antena, persyaratan instalasi penyalur petir untuk

cerobong asap. Selain itu diatur juga pemeriksaan dan pengujian,

pengesahan dan ketentuan pidana.

15. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 02 Tahun 1992 tentang Tatacara

Penunjukan Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan

Kesehatan Kerja, terdiri dari lima bab dan 15 pasal, mengatur

persyaratan untuk dapat ditunjuk menjadi ahli keselamatan dan kesehatan

kerja harus memenuhi persyaratan pendidikan, pengalaman, pekerjaan, dan lulus

seleksi. Ditetapkan berdasarkan permohonan dari

pimpinan instansi dan dokumen pribadi yang perlu dilampirkan..

Kewajibannya adalah membantu mengawasi pelaksanaan peraturan

perundang-undangan K3 dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada

Menteri Tenaga Kerja serta merahasiakan keterangan yang didapat karena

jabatannya. Diatur pula kewenangan Ahli Keselamatan Kerja untuk memasuki


tempat kerja, minta keterangan, memonitor dan menetapkan syarat keselamatan

dan kesehatan kerja.

16. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 05 Tahun 1996 tentang Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, terdiri dari sepuluh bab

dan 12 pasal serta tiga lampiran, mengatur tujuandan

sasaran Sistem Manajemen K3, kriteria perusahaan yang wajib

melaksanakannya, dan harus dilaksanakan oleh pengurus, pengusaha dan seluruh

tenaga kerja sebagai suatu kesatuan. Ketentuan-ketentuan yang wajib

dilaksanakan perusahaan dalam menerapkan SMK3. Selain itu ketentuan

mengenai Audit SMK3 dan Sertifikat Keselamatan dan

Kesehatan Kerja. Lampiran I memuat pedoman penerapan SMK3,

lampiran II memuat pedoman teknis audit, lampiran III memuat formulir laporan

audit dan lampiran IV memuat ketentuan penilaian hasil audit.

17. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 03 Tahun 1998 tentang Tatacara

Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan, terdiri dari enam bab

dan 15 pasal, mengatur kewajiban pengurus atau pengusaha DK3N –

LK3I 12melaporkan kecelakaan, tatacara pelaporan dan pemeriksaan dan

pengkajian kecelakaan oleh pengawas ketenagakerjaan. Lampiran satu adalah

bentuk laporan kecelakaan, lampiran II laporan pemeriksaan dan pengkajian

kecelakaan kerja, lampiran III bentuk laporan pemeriksaan

dan pengkajian penyakit akibat kerja, lampiran IV bentuk laporan

pemeriksaan dan pengkajian peristiwa kebakaran/peledakan/bahaya

pembuangan limbah.

Anda mungkin juga menyukai