DISUSUN OLEH :
PENDAMPING :
dr. Vita Purnama Sari
Menyetujui
Pendamping,
NIP. 198205082010012011
1
DAFTAR ISI
Gambar 1. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa (Tanpa kecurigaan : Hasil tes HIV
Tabel 1. Cakupan Penemuan Pasien Baru TB BTA Positif UPT Puskesmas Cibuntu Tahun 2017.................26
Tabel 2. Cakupan Kesembuhan Pasien TB BTA Positif UPT Puskesmas Cibuntu Tahun 2017......................27
Tabel 3. Case Fatality Rate penyakit TBC di UPT Puskesmas Cibuntu Tahun 2017......................................27
Lampiran 5. Buku Saku Kader TEMAN TB; Temukan dan Laporkan Tuberkulosis.....................................43
6
BAB I
PENDAHULUAN
TBC saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya
pengendalian dengan strategi DOTS telah dilaksanakan sejak tahun 1995 (Kemenkes, Pusat Data dan
Informasi, 2016). Tuberkulosis menyebabkan 5000 kematian per hari, atau hampir 2 juta kematian per
tahun di seluruh dunia. TB, HIV/AIDS, dan malaria secara bersama-sama merupakan penyebab 6 juta
kematian setiap tahun. Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang
(13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di
wilayah Afrika (WHO, 2013).
Kelompok usia produktif secara ekonomis (15-50 tahun) menduduki 75% kasus TB.
Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal
akibat TBC, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB
juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat
(KEMENKES RI, 2016).
Menurut Direktorat Jenderat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2014 yang
tertuang dalam Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, penyebab utama meningkatnya beban
masalah TB antara lain adalah
a. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat.
b. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan disparitas yang terlalu lebar, sehingga masyarakat
masih mengalami masalah dengan kondisi sanitasi, papan, sandang, dan pangan yang buruk.
c. Beban determinan sosial yang masih berat seperti angka pengangguran, tingkat pendidikan,
pendapatan perkapita yang masih rendah yang berakibat pada kerentanan terhdapat TB.
d. Kegagalan program TB selama ini, Hal ini diakibatkan oleh:
i. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
ii. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan
kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan
pemantauan, pencatatan, dan pelaporan standar, dan sebagainya).
iii. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan panduan obat yang tidak standar, gagal
menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis).
iv. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG
v. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau
pergolakan masyarakat
vi. Belum adanya sistem jaminan kesehatan yang bisa mencakup masyarakat luas secara merata
7
e. Perubahan demografik.
f. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa mempengaruhi tetap tingginya beban TB seperti gizi
buruk, merokok, dan diabetes.
g. Dampak pandemi HIV
h. Pada saat yang sama terjadi kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (Kemenkes, Pusat
Data dan Informasi, 2016)
Berdasarkan penguraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, didapatkan rumusan
masalah sebagai berikut:
- Bagaimana manajemen dalam upaya meningkatkan tingkat CDR (case detection rate) pada kasus
tuberkulosis paru di Puskesmas Cibuntu pada tahun 2018?
1. Tujuan Umum
Manajemen dalam upaya peningkatan tingkat CDR (case detection rate) pada kasus
tuberkulosis paru di Puskesmas Cibuntu pada tahun 2018
2. Tujuan Khusus
a) Menganalisis prioritas masalah yang terjadi di Puskesmas Cibuntu
b) Menganalisis prioritas penyebab masalah yang terjadi di Puskesmas Cibuntu
c) Menganalisis prioritas alternatif pemecahan masalah di Puskesmas Cibuntu
1. Bagi peneliti
Memperluas pengetahuan dan meningkatkan kemampuan analisis masalah kesehatan di
lingkungan Puskesmas Cibuntu khususnya penyakit tuberkulosis paru sebagai penyakit
menular
2. Bagi instansi terkait
Dapat menjadi masukan bagi puskesmas dalam upaya meningkatkan case detection rate
kasus tuberculosis paru di wilayah kerja Puskesmas Cibuntu
3. Bagi masyarakat
Memperluas pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat terhadap penyakit tuberculosis
paru
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2.2 ETIOLOGI
Myobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1-4
mm
dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen Myobacterium tuberculosis adalah berupa
lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan
faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen.
Oleh karena itu, Myobacterium tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang
kandungan
oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberculosis (PDPI,
2006).
2.3 EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis atau TB sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
dunia walaupun strategi DOTS telah diterapkan dibanyak negara sejak tahun 1995. Berdasarkan laporan
WHO pada tahun 2013, terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantarannya
adalah pasien TB dengan HIV positif. Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 450.000 orang menderita TB
MDR (Kementrian Kesehatan RI, 2014)
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia.
Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 pada tahun 2010 dan estimasi insidensi
berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per
tahunnya. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2014, kasus TB di
Indonesia meningkat dari tahun 2010 yaitu mencapai 1.000.000 kasus dengan jumlah kematian akibat
TB diperkirakan 110.000 kasus setiap tahunnya. Pada tahun 2015, menurut laporan surveilans TB tahun
2015 total penemuan kasus TB sebanyak 330.729 dengan angka keberhasilan pengobatan sebesar 84%
(selesai pengobatan dan sembuh). Sisanya 16% pasien adalah pasien yang tidak menyelesaikan
9
pengobatan, karena: meninggal, pindah tempat tinggal, tidak melanjutkan pengobatan, penyakit kebal
terhadap obat yang diberikan (Kementrian Kesehatan RI, 2016).
2.4 PATOFISIOLOGI
10
2.5 GEJALA DAN TANDA TUBERKULOSIS
Pasien yang terduga TB paru adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis
mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai suspek TB). Biasanya terduga TB datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan dengan berbagai keluhan dan gejala klinis yang mungkin akan menunjukkan
bahwa yang bersangkutan termasuk terduga TB.
Gejala utamanya adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih dan gejala tambahan. Gejala
tambahan yang sering dijumpai adalah:
a. Gejala respiratorik: dahak bercampur darah, sesak napas dan rasa nyeri dada.
b. Gejala sistemik: badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak
badan (malaise), pada malam hari walaupun tanpa kegiatan, demam meriang yang berulang.
Perlu diketahui bahwa gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperi bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-lain. Di negara endemis TB seperti
Indonesia, setiap orang yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas, harus
dianggap sebagai seorang suspek TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikrokopis
langsung terlebih dahulu. (Kementrian Kesehatan RI, 2014; PDPI, 2006).
Seseorang yang menderita TB ekstra paru mungkin mempunyai keluhan/ gejala terkait organ yang
terkena, misalnya.
a. Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan nanah.
b. Nyeri dan pembengkakakn sendi yang terkena TB.
c. Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran bila terkena TB otak (PDPI,
2006)
11
Menurut Kemenkes (2014) ada beberapa pemeriksaan penunjang yang perlu diperhatikan,
yaitu:
12
Gambar 1. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien
dewasa (Tanpa
kecurigaan : Hasil tes HIV (+) atau terduga TB Resisten Obat)
13
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk
berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
1) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. 4.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
14
e. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk
Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik,
bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.
Obat anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB
adalah salah satu upaya efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip :
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat
untuk mencegah resistensi
2. Diberikan dalam dosis yang tepat
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Minum Obat) sampai
selesai pengobatan
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan
untuk mencegah kekambuhan 1
Menurut Kemenkes (2014) pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan:
1. Tahap Awal :
Pengobatan dberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan
secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama
2 bulan. Pada umunya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan
sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
15
2. Tahap lanjutan :
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
a. Jenis dan dosis OAT
1. Isoniazid ( H )
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam
beberapa hari pertama pengobatan. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kk BB, sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
2. Rifampisin ( R )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid dosis 10 mg/kg BB diberikan untuk mengobatan harian maupun
intermiten 3 kali seminggu.
3. Pirazinamid ( Z )
Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali
seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
4. Streptomisin ( S )
Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali
seminggu digunakan dosis yang sama pada penderita umur sampai 60 tahun dosisnya 0,75
gr/hari, sedangkan untuk umur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
5. Etambutol ( E)
Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali
seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB.
16
4. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia terdiri dari
OAT lini kedua yaitu kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin, dan PAS serta OAT lini satu yaitu pirazinamid dan etambutol. Penggunaan
OAT lini kedua tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu
dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
2.9 KOMPLIKASI TB
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dibagi sebagai berikut :
1. Komplikasi dini
Pleuritis, efusi plura, empiemadan laringitis.
2. Komplikasi lanjut
Obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis,
karsinoma paru. (Amien, 2007)
Penderita TB Paru BTA positif yang tidak diobati akan mengalami kematian sebesar 50%, bila
diobati secara massal angka kematiannya sebesar 12% dan jika diobati secara individual masih
memberikan angka kematian sebesar 7,5% (Israr et al, 2009). Pada penderita yang telah mengalami
relaps (kekambuhan), atau terjadi penyulit pada organ paru dan organ lain di dalam rongga dada, maka
penderita-penderita demikian banyak yang jatuh ke kor pulmonal. Bila terbentuk kaverneyang cukup
besar, kemungkinan batuk darah hebat dapat terjadi dan keadaan ini sering menimbulkan kematian,
walaupun secara tidak langsung.
2. 11 PENGENDALIAN TB DI INDONESIA
Pada awal tahun 1990an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang
dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS
terdiri atas
5 komponen kunci, yaitu:
1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopik yang terjamin mutunya
3. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien
4. System pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif
17
5. System monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak
thaun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara
ekonomis sangat efektif (cost-effective). Focus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan
pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai
penularan TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat. (Kementrian Kesehatan RI,
2014)
1. Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate/ CDR)
2. Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate /SR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator nasional tersebut di atas,
yaitu:
Rumus :
݉ܬݑ
ℎܽ ݁ݏݑݏ
ݕ
݃ ݇
݀ ݇
ܽ
݅݁݅ݎݏ
ݑ
݉ ܬ ܽ
ℎ݁ %ݔ 100
݀ ݀ݑ ݇
ݑ
18
Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TB.06) UPK yang
tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek
swasta, indikator ini tidak dapat dihitung.
b. Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek
Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang diperiksa
dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta
kepekaan menetapkan kriteria suspek.
Rumus:
݉ܬݑ
݁݅
ℎܽ ܶ݁ݏ ܶܤ ܶܤܣ ܽ
݅
݅ ݏ
ݐ
ݕ
݃ ݂
݀
݅ ݁ݐ
ܽݑ
݇ ݉
݁
݉ܬݑ
ℎܽ ݁݉ݏݑݎݑℎ
݁ ݏݑݏ
ݕ
݃ ݇ ܶܤ
݀
ܽ݇
100 ݁݅ݎݏ ݔ% ݅
c. Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat/diobati
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien Tuberkulosis
paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular
diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.
Rumus:
݉ܬݑ
݁݅
ℎܽ ܶ݁ݏ ܶܤ ܶܤܣ ܽ
݅
݅ ݏ
ݐ
݂
(ܾ
ܽ + ݎݑ
݉ܽ
ݑℎ)
ܾ
ݑ
݉ ܬ 100 ݔ%
݉ ݁݅
ℎܽ ݁݉ݏݑݎݑℎ (
݁ ݐ ܽ ݁ݏ ܶܤ )݁ݏ
݅ ݑ ܽ
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti
mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular
(pasien BTA Positif).
d. Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB
Adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat.
Rumus :
ݑ݉ ݇ܬ
ܽ ݁݅
ℎܽ ݐ <( ܽ݁ݏ ܶܤ ݁ܣ15 ℎ݁) ݕ
݃
݀
݅ ݁ݐ
ܽ݇݉ݑ
݁
݉ܬݑ 100 ݔ%
ܽ ݁݅
ℎܽ ݁݉ݏݑݎݑℎ ݕ ݐ݁ݎݎ ܽݐݐ
݃ ܽ݁ݏ ܶܤ
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB
pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi
overdiagnosis.
19
Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibanding
jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate
menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.
Rumus:
݉ܬݑ
݁݅
ℎܽ ܶ݁ݏ ܾܽݎݑ ܶܤ ܶܤܣ ܽ
݅
݅ ܲݎݏ
ݐ
݂
݁ܽ ݕ
݃
݁ܽ
ܽ ݇ݎ
07 .݉ ܶܤ
ܲܲݎ ݎ݁ ݁ܽܽ ݇݅ݎ 100 ݔ%
݆݉ݑ
݁݅
ℎܽ ܶܽ݁ݏ ܾܽݎݑ ܶܤ ܶܤܣ
݅
݅ ܲݎݏ
ݐ
݂
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan angka
insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection
Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 70%.
Faktor penyebab rendahnya CDR: (1) Kesulitan suspek kasus mengeluarkan dahak, meskipun
telah diberikan mukolitik-ekspektoran (terutama pasien suspek TB yang telah diobati sebelumnya
dengan obat anti-tuberkulosis/ OAT yang tidak standar); (2) Program TB hanya mengandalkan
Passive Case Finding (PCF) untuk menjaring kasus TB; (3) Penerapan estimasi prevalensi kasus
BTA positif TB yang seragam di seluruh Indonesia, yaitu 107 kasus/100,000 penduduk, untuk semua
kota, kabupaten dan kecamatan; (4) Penyebab lain, seperti penjaringan terlalu longgar (terlalu
sensitif), banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek terjaring, dan kualitas dahak yang
diperiksa kurang baik. Kesulitan dalam memperoleh dahak untuk pemeriksaan diagnostik baik pada
dewasa maupun anak perlu segera diatasi. Perlu dicari prosedur alternatif pemeriksaan dahak yang
bisa dilakukan di tingkat primer.
f. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat diantara
100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan
menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut.
Rumus :
݉ܬݑ
݉ ݁݅
ℎܽ ݕ ݃ (
݁ ݐ ܽ ܽ݁ݏ ܶܤ )݁ݏ
݅ ݑ
ܽ݁
ܽ ݇ݎ
07 .݉ ܶܤ
݉ܬݑ 100 ݔ%
ℎܽ ݁
݇ ݀ ݀ݑ
ݑ
Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya
penemuan pasien pada wilayah tersebut.
g. Angka Konversi (Conversion Rate)
Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang mengalami perubahan
menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Indikator ini berguna untuk
20
mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung
menelan obat dilakukan dengan benar.
Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB paru BTA positif
݉ܬݑ
݁݅
ℎܽ ܶܽ݁ݏ ܾܽݎݑ ܶܤ ܽݎݑ ܶܤܣ
݅
݅ ݏ
ݐ
݅
ݒ݁ݎݏ ݁ ݇ݕ
݃ ݂
݉ܬݑ
݁݅
ℎܽ ܶ݁ݏ ܾܽݎݑ ܶܤ ܽݎݑ ܶܤܣ ܽ
݅
݅ ݏ
ݐ
ݕ
݃ ݂
݀
ܾ ݅
100 ݐ ݔ ݅ %ܽ
Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview
seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian
dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari
laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
h. Angka Kesembuhan (Cure Rate)
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB paru BTA
positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru TB paru BTA positif
yang tercatat.
ݑ
݉ ܬ
݁݅
ℎܽ ܶ݁ݏ ܾܽݎݑ ܶܤ ܶܤܣ ܽ
݅
݅ ݏ
ݐ
݉
ݕ ݁ ܾݏݑ݃ ℎ݂
ݑ
݉ ܬ
݁݅
ℎܽ ܶ݁ݏ ܾܽݎݑ ܶܤ ܶܤܣ ܽ
݅
݅ ݏ
ݐ
ݕ
݃ ݂
݀
ܾ ݅
100 ݐ ݔ ݅ %
ܽ
Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview
seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 9 - 12 bulan sebelumnya, kemudian
dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan. Di tingkat kabupaten, propinsi dan
pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%.
Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap perlu
diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, default, dan
pindah. Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk
daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari 10% untuk daerah
yang sudah ada masalah resistensi obat.
21
Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1.
݉ܬݑ
݁݅
ℎܽ ܶܽ݁ݏ ܾܽݎݑ ܶܤ ܶܤܣ 100 ݔ%
݅
݅ ݏ
ݐ
݉
݂ ( ݁ ܾݏݑℎ +
݁
ܾ ݃
ݐ ܽ ܽ
݁
݁݉݇ ݃
ܽ)
݉ܬݑ
݁݅
ℎܽ ܶܽ݁ݏ ܾܽݎݑ ܶܤ ܶܤܣ
݅
݅ ݏ
ݐ
ݕ
݃ ݂
݀
ܾ ݅
ݐ
݅ ܽ
Error Rate
Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan laboratorium yang menyatakan
prosentase kesalahan pembacaan slide/ sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama
setelah di uji silang (cross check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain.
Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara mikroskopis langsung laboratorium
pemeriksa pertama.
Rumus :
݉ܽܽ݁ܬݑ
݅
ℎܽ ݀݁ݏ
݁ܽ ݕ
݃
ܽܽ
݉ݏℎܽ
ݑ
݉ ܬ ܽ݁ܽ݅
ℎܽ ݁݉ݏݑݎݑℎ ݀݁ݏ
ݕ݁ܽ
݃
݀
ܽ݇
100 ݅ݎݏ ݔ ݁ %
݅
Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransi maksimal 5%.
Apabila error rate ≤ 5 % dan positif palsu serta negatif palsu keduanya ≤ 5% berarti mutu
pemeriksaan baik. Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide yang di uji silang (cross check)
relatif sedikit. Pada dasarnya error rate dihitung pada masing-masing laboratorium pemeriksa, di tingkat
kabupaten/ kota.
Wilayah kerja UPT Puskesmas Cibuntu terdiri dari 3 Kelurahan, yaitu Kelurahan Cibuntu, Caringin
dan Kelurahan Warung Muncang. Luas wilayah kerja ± 206 Ha, dengan jumlah 26 RW dan 182 RT.
22
Keberadaan UPT Puskesmas Cibuntu dan Caringin sebagai pusat kesehatan masyarakat yang dapat di akses
oleh masyarakat mulai dengan berjalan kaki, kendaraan roda dua dan beroda empat.
• Kondisi Geografis
a) Memiliki Wilayah datar berombak besar
b) Curah hujan rata-rata pertahun 2400 mm³.
c) Keadaan suhu rata-rata 25-29oC
• Topografi / Bentang Lahan
a) Dataran :
- Kelurahan Cibuntu : 76 ha.
- Kelurahan Caringin : 60 ha.
- Kelurahan Wr Muncang : 70 ha.
b) Kualitas lingkungan fisik di 3 kelurahan terdiri dari air sumur, udara, sungai dengan keadaan
kurang baik dikarenakan polusi udara kendaraan dan tercemarnya air oleh limbah
industri/home industri.
c) Batas dan Luas Wilayah
UPT Puskesmas Cibuntu terletak di kelurahan caringin RT 01 RW 01 Kecamatan Bandung
Kulon, dengan luas tanah 500 m² dan luas bangunan m².
Adapun luas wilayah
- Kelurahan Caringin : 60 ha.
23
- Kelurahan Cibuntu : 76 ha.
- Kelurahan Wr Muncang : 70 ha.
Batas wilayah Kelurahan Caringin :
- Sebelah Utara : Kelurahan Cibuntu
- Sebelah Selatan : Kelurahan Cigondewah kaler
- Sebelah Barat : Kelurahan Cijerah
- Sebelah Timur : Kelurahan Warung Muncang
Batas wilayah Kelurahan Cibuntu :
- Sebelah Utara : Kelurahan Garuda
- Sebelah Selatan : Kelurahan Caringin
Sebelah Barat : Kelurahan Cijerah
- Sebelah Timur : Kelurahan Warung Muncang
Batas wilayah Kelurahan Warung Muncang :
- Sebelah Utara : Kecamatan Dungus Cariang
- Sebelah Selatan : Kecamatan Babakan
Sebelah Barat : Kecamatan Cibuntu/Caringin
- Sebelah Timur : Kecamatan Sukahaji/Babakan
Jumlah penduduk di wilayah kerja UPT Puskesmas Cibuntu yaitu terdiri dari ± 52,182 jiwa.
Penyebaran penduduk tersebut bervariasi, dan diharapkan semua harus mendapatkan pelayanan kesehatan
secara optimal. Berdasarkan Pedoman kerja Puskesmas jilid I rasio Puskesmas dengan jumlah penduduk
adalah 1: 30.000 penduduk. Dengan kata lain, 1 Puskesmas harus melayani setidaknya sekitar ± 30.000
penduduk yang harus mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan melihat jumlah penduduk yang begitu
besar tentunya UPT Puskesmas Cibuntu harus mempunyai strategi yang lebih akurat dalam hal pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan keberadaan posyandu dan posbindu yang
tersebar diberbagai RW.
Keberadaan posyandu dan posbindu sangatlah penting bagi masyarakat, terutama untuk kelompok bayi,
balita, ibu hamil, ibu bersalin, pasangan usia subur khususnya wanita dan kelompok usia pra lansia dan usia lansia
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal dan profesional.
Tingkat pendidikan formal penduduk yang diselesaikan dapat dijadikan dasar perencanaan program
kesehatan. Dari jumlah 25855 penduduk, jumlah terbanyak adalah penduduk dengan pendidikan tidak/belum
sekolah dan tidak/belum tamat SD sejumlah (28.51% %)penduduk , dan yang terkecil adalah jumlah
penduduk dengan tingkat pendidikan yang ditamatkan S2/S3 sebanyak 0 orang (0%). Berdasarkan data
tersebut, maka cara penyampaian informasi mengenai masalah kesehatan di wilayah kerja UPT Puskesmas
Cibuntu, harus sesederhana mungkin sehinga dgapat mudah dimengerti dan berdampak kepada perubahan
perilaku menuju masyarakat hidup sehat dan mandiri sesuai dengan Visi dan Misi UPT Puskesmas Cibuntu.
Kelurahan Cibuntu memiliki 4856 KK (Kepala Keluarga) dengan kepadatan penduduk 63 km 2.
Kelurahan Caringin memiliki 2828 KK dengan kepadatan penduduk 47 km2. Kelurahan Warung Muncang
24
memiliki 5674 KK dengan kepadatan penduduk 825 km 2. Berdasarkan data tesrebut terlihat kepadatan
penduduk tertinggi diwilayah kerja UPT Puskesmas Cibuntu adalah kelurahan Warung Muncang, dan yang
terendah adalah Kelurahan Caringin . Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran penduduk di wilayah kerja
UPT Puskesmas Cibuntu kurang merata. Di Kelurahan yang padat penduduk perlu diwaspadai adanya
penyebaran penyakit menular dan perlunya penambahan jumlah posyandu untuk dapat memberi pelayanan
yang lebih baik kepada masyarakat.
25
BAB III
3. 1 IDENTIFIKASI MASALAH
Dari latar belakang mengenai masih tingginya kasus tuberkulosis di Indonesia, bagaimana dengan
hasil program Pencegahan Penyakit Menular khususnya tuberkulosis di UPT Puskesmas Cibuntu sendiri?
Berikut adalah hasil pencapaian program Pencegahan Penyakit Menular khususnya tuberkulosis di UPT
Puskesmas Cibuntu pada tahun 2017.
Tabel 1. Cakupan Penemuan Pasien Baru TB BTA Positif UPT Puskesmas Cibuntu Tahun 2017
Puskesmas
No Uraian
Cibuntu
% Cakupan Penemuan
54%
Pasien
baru TB BTA Positif
26
Tabel 2. Cakupan Kesembuhan Pasien TB BTA Positif UPT Puskesmas Cibuntu Tahun 2017
Puskesmas
No
Uraian Cibuntu
% Cakupan
88%
Kesembuhan
Pasien TB BTA Positif
Berdasarkan Tabel 2 diatas, memperlihatkan kesembuhan TB BTA Positif di wilayah kerja UPT
Puskesmas Cibuntu selama tahun 2017 yaitu 29 orang atau 88% dari 33 jumlah pasien baru TB BTA
positif yang diobati. Ini berarti belum mencapai target yaitu 100%. Jadi dengan kata lain penderita
TB BTA yang sudah diobati belum semua sembuh.
Tabel 3. Case Fatality Rate penyakit TBC di UPT Puskesmas Cibuntu Tahun 2017
1 TBC 63 8 71 1 1.4%
JUMLAH
Berdasarkan data pada tabel 3 diatas untuk Case Fatality Rate/CFR (proporsi yang meninggal
akibat suatu penyakit tertentu diantara penyakit) di Wilayah kerja UPT Puskemas Cibuntu adalah
Penyakit TBC dimana dari 71 total kasus TBC didapatkan 1 orang yang meninggal karena TBC ,maka CFR
TBC adalah 1.4%.
TBC saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya
pengendalian dengan strategi DOTS telah dilaksanakan sejak tahun 1995. Di wilayah kerja UPT Puskesmas
Cibuntu, kasus TBC menjadi salah satu fokus masalah dalam program Pencegahan Penyakit Menular (P2M)
bersama dengan program PD3I (Penyakit Dapat Dicegah Dengan Imunisasi), program POPM (Pemberian
Obat Pencegahan Massal), dan penyakit ISPA, pneumonia dan diare,. Di beberapa tahun terakhir, penemuan
27
kasus TBC BTA (+) sebagai salah satu indikator kinerja utama P2M TB Paru masih rendah dalam hal capaian
kinerja. Dengan rendahnya capaian indikator tersebut, meningkatkan pula beban masalah TB di masyarakat.
Rendahnya angka penemuan kasus TBC BTA (+) atau Case Detection Rate/CDR akan berdampak masih
banyaknya kasus TBC di masyarakat yang belum terdeteksi, sehingga kasus tersebut belum diobati dan akan
menjadi potensi penularan serta penyebaran kasus TBC di masyarakat. Oleh karena itu prioritas masalah
adalah rendahnya CDR kasus TBC di wilayah kerja UPT Puskesmas Cibuntu.
Berdasarkan teori Blum, bahwa derajat kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu
perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan underlying disease. Maka untuk mendapatkan
alternatif pemecahan masalah perlu di lihat sumber-sumber permasalahan dari faktor-faktor penunjang
kesehatan tersebut dalam diagram tulang ikan sebagai berikut:
a) Komunikasi dan kerjasama yang kurang antara tenaga kesehatan dengan warga masyarakat,
baik tenaga kesehatan baik bidan desa, mantri, praktek dokter swasta maupun antara tengaa
kesehatan dengan warga masyarakat seperti kader kesehatan dan tokoh masyarakat penting
28
lainnya sehingga menyebabkan kurangnya pelaporan pasien suspek untuk pemeriksaan BTA ke
puskesmas.
b) Pengetahuan pasien tentang penyakit TB yang masih sangat kurang. Contoh pasien dengan
batuk lama jarang memeriksa kesehatannya karena dianggap hanya batuk biasa dan masih
adanya stigma negatif tentang TB di masyarakat sehingga penderita malu. Stigma negative
tersebut dapat menghambat kepatuhan pengobatan dan menghambat deteksi dini pada warga
sekitar pasien.
c) Belum adanya sarana dan prasarana yang tersedia untuk mendeteksi dini TB paru secara
mudah dan cepat selain dengan pemeriksaan dahak. Penggunaan alat skrining TB paru belum
maksimal.
d) Kurangnya tenaga ahli dan kader. Terlalu banyak penduduk, terlalu banyak desa, sementara
tenaga ahli yang mengurus penjaringan TBC hanya 1 orang.
29
3. Komunikasi dan kerjasama - Berkoordinasi dengan fasilitas
yang kurang antara puskesmas pelayanan kesehatan setempat
dengan fasilitas pelayanan terutama terkait pelaporan
kesehatan swasta kasus TB paru di wilayah
kerja UPT Puskesmas Cibuntu
30
3.6 PENENTUAN PRIORITAS ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
MxIx
Alternatif Magnitude Importance Vulnerability Cost Peringkat
V/C
Pelatihan
3 4 4 4 12 1
kader
Pengadaan
alat
5 5 2 5 10 2
diagnostik
yang cepat
Pembuatan
3 3 3 3 9 3
SOP
Penambahan
5 4 2 5 8 4
SDM
Penambahan
2 2 4 2 8 5
penyuluhan
Koordinasi
dengan 5 4 2 5 8 6
pihak swasta
Mendekati
tokoh 2 2 2 2 4 7
masyarakat
Keterangan
31
Dari tabel diatas didapatkan hasil alternatif pemecahan masalah yang mendapatkan skor
tertinggi adalah pelatihan kader sehingga intervensi yang terpilih adalah pelatihan kader kesehatan
yang ada di wilayah kerja Puskesmas Cibuntu.
32
BAB IV
RENCANA KEGIATAN
Kegiatan “Pelatihan Kader ‘Teman TB’; Temukan dan Laporkan Tuberkulosis” ini bertujuan untuk
meningkatkan case detection rate penyakit Tuberkulosis di wilayah kerja UPT Puskesmas Cibuntu
Tujuan Khusus :
1. Mengingatkan kembali para kader akan tugas-tugas kader kesehatan, salah satunya adalah
2. Melatih kader kesehatan agar dapat menjadi sumber pengetahuan bagi masyarakat sekitar
khususnya mengenai TB
3. Melatih kader kesehatan agar dapat menjadi pengawas minum obat (PMO) TB
33
4.5 WAKTU PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan ini dapat dilaksanakan 1 tahun sekali sekitar bulan Maret-April, dalam rangka
menyambut Hari TB Sedunia pada tanggal 28 Maret 2014
Rincian Jumlah Rp
Konsumsi
- Peserta @ 15.000 26 Rp 390.000
- Panitia @ 15.000 3 Rp 45.000
Kesekretariatan
- Cetak Buku Saku @ 26 Rp 98.800
3.800
- Cetak Poster @ 2.600 26 Rp 90.000
- Cetak Soal Pre & Post 52 Rp 13.000
Test @ 250
- ATK Rp 75.000
SPPD
- Peserta @ 50.000 26 RP 1.300.000
Tempat
- Aula Puskesmas Cibuntu Rp 0
Total Rp 2.011.800
34
BAB V
5. 1 KESIMPULAN
1. Tuberkulosis masih menjadi masalah di wilayah kerja UPT Puskesmas Cibuntu, yaitu
rendahnya angka Case Detection Rate kasus TBC dibandingkan dengan standar nasional.
2. Penyebab rendahnya angka Case Detection Rate kasus TBC di wilayah kerja UPT Puskesmas
Cibuntu dianalisis menggunakan diagram tulang ikan dan dianalisis dari masing-masing faktor
yaitu man, method, material/machine, money dan environment.
3. Salah satu alternatif pemecahan masalah adalah pelatihan kader dengan menggunakan program
Pelatihan Kader TEMAN TB; Temukan dan Laporkan Tuberkulosis.
5. 2 SARAN
1. Melakukan program Pelatihan Kader TEMAN TB; Temukan dan Laporkan Tuberkulosis
2. Menganalisa alternatif pemecahan masalah yang lain sebagai upaya peningkatan Case
Detection Rate kasus TBC.
35
DAFTAR PUSTAKA
Boy, E., 2015. Efektifitas Pelatihan Kader Kesehatan dalam Penanganan Tuberkulosis di Wilayan Binaan.
Dirjen P2PL Depkes RI, 2009. Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB. s.l.:s.n.
Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. s.l.:s.n.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 Tahun 2016
Nurliawati, E., Sambas, E. K., Rismawan, W. & Agustin, T., 2016. Pencegahan Penularan Tuberkulosis.
Wahyuni, C. U. & Artanti, K. D., 2013. Pelatihan Kader Kesehatan untuk Penemuan Penderita Suspek
Yanti, N. L. P. E., 2016. Pengendalian Kasus Tuberkulosis Melalui Kelompok Kader Peduli TB (KKP-TB).
36
LAMPIRAN
RW : ………………………………………………….
“TEMAN TB”
37
7. Bagaimana langkah pertama dalam memeriksa TBC di laboratorium?
a. Memeriksakan darah di laboratorium
b. Memeriksakan dahak di laboratorium
c. Melakukan ronsen dada
d. Memeriksakan tekanan darah di laboratorium
9. Manakah di bawah ini yang bukan merupakan faktor risiko penyakit TBC?
a. Merokok
b. Rumah dengan ventilasi yang baik dan terkena sinar matahari
c. Rumah yang lembab
d. Makanan yang tidak bergizi
10. Sebutkan minimal 3 etika batuk agar tidak menularkan kuman TBC ke lingkungan
a.
b.
c.
38
Lampiran 2. Lembar Evaluasi Pelaksanaan Penyuluhan Kesehatan
LEMBAR EVALUASI
PELAKSANAAN PENYULUHAN KESEHATAN
OLEH KADER TEMAN TB DI WILAYAH KERJA UPT PUSKESMAS CIBUNTU
39
11. Memberikan kesempatan
keluarga/ masyarakat untuk
Bertanya
12. Menjawab pertanyaan
keluarga/ masyarakat dengan
Tepat
Terminasi 13. Membuat simpulan materi
yang telah disampaikan
14. Membuat kesepakatan materi
yang akan didiskusikan pada
pertemuan selanjutnya
15. Mengucapkan salam penutup
Keterangan Penilaian:
0: Tidak dilakukan
Total Nilai = Total Nilai Keterampilan x 100
1: Dilakukan tapi tidak sempurna
30
2: Dilakukan dengan sempurna
Total Nilai =
Bandung, …………..……2018
Penilai
(...............................................)
40
Lampiran 3. Lembar Observasi Kemampuan Kemampuan Komunikasi Kader
NO Tahapan Keterampilan
0 1 2
Kemampuan mengidentifikasi suspek
1 Mengidentifikasi tanda dan gejala TB
Pendekatan dengan suspek
2 Memberi salam
3 Menjelaskan tujuan kunjungan rumah
4 Menanyakan gejala
5 Mengklarifikasi upaya yang telah dilakukan untuk
mengurangi gejala
6 Memotivasi untuk melakukan pemeriksaan
7 Kontrak waktu untuk periksa dahak dan mengantarkan
pasien suspek TB ke puskesmas
Melakukan rujukan
8 Mengisi lembar rujukan kasus
9 Mencatat hasilnya di buku kader
Ket:
1.Tidak dilakukan
2.Dilakukan tapi tidak sempurna
3. Dilakukan dengan sempurna Total Nilai = Total Nilai Keterampilan x 100
18
Total Nilai =
41
Lampiran 4. Poster TEMAN TB; Temukan dan Laorkan Tuberkulosis
42
Lampiran 5. Buku Saku Kader TEMAN TB; Temukan dan Laporkan Tuberkulosis
43
44
Lampiran 6. Dokumentasi Presentasi Mini Project
45