Anda di halaman 1dari 34

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Mekarjaya


Berdasarkan catatan Kependudukan Kelurahan Mekarjaya, jumlah
penduduk Kelurahan Mekarjaya dengan jumlah penduduk sebanyak 13.627 jiwa
dan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 4.070 KK. Sehingga dilihat dari jumlah
penduduk yang cukup banyak ini mendorong pengelola TPS untuk
meningkatkan pelayanan dan penyediaan fasilitas yang lebih baik. Jumlah
penduduk dan kepala keluarga Kelurahan Mekarjaya dapat dilihat pada tabel 2.2 .

5.2 Karakteristik Responden


5.2.1 Jenis Kelamin
Untuk melihat lebih jelas mengenai jenis kelamin responden yang
merupakan penduduk Kelurahan Mekarjaya, dapat dilihat dari diagram pada
Gambar 5.1 berikut ini.

Gambar 5.1 Jenis Kelamin Responden Kelurahan Mekarjaya

V-1
V-2

Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa, jumlah responden laki-laki lebih besar
dari jumlah responden perempuan dengan perbandingan 72 orang (72%) dengan
28 orang (28%). Dominasi responden laki-laki dikarenakan pada umumnya kepala
keluarga (pengambil keputusan) dalam suatu rumah tangga adalah laki-laki
sehingga untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam survei, laki-laki lebih
berperan.

5.2.2 Usia
Usia berdasarkan hasil kuesioner pada tabel 5.1 terlihat bahwa responden
paling banyak berada pada usia 37-42 tahun yaitu sebanyak 49 responden dan
responden paling sedikit berada pada usia 49-54 tahun ada 4 orang. Usia menjadi
faktor yang menentukan pola pikir seseorang dalam menentukan jenis barang dan
jasa yang akan dikonsumsi, termasuk keputusan untuk membayar biaya yang
dikeluarkan terhadap keberadaan TPS. Jadi, secara tidak langsung usia akan turut
mempengaruhi besarnya Willingness to Pay (WTP) dan Willingness to Accept
(WTA) terhadap keberadaan TPS Ciwastra.
Menurut Sylvia Amanda (2009) dari WTP Pengunjung Objek Wisata
Danau Situgede dalam Upaya pelestarian Lingkungan, umur berpengaruh
terhadap kesediaan membayar masyarakat. Semakin tinggi tingkat usia responden
maka semakin besar pula kecenderungan peluang responden untuk bersedia
membayar. Hal tersebut dikarenakan semakin tinggi tingkat usia responden maka
kesadaran akan lingkungan pun akan jauh lebih baik.

Tabel 5.1 Usia Responden Kelurahan Mekarjaya

No Struktur Umur (tahun) Jumlah Responden Persentase (%)


1 19 – 24 5 5
2 25 – 30 6 6
3 31 – 36 11 11
4 37 – 42 49 49
5 43 – 48 5 5
6 49 – 54 4 4
7 55 - 60 10 10
8 > 60 10 10
Jumlah 100 100
V-3

5.2.3 Pendidikan
Pengelompokkan responden menurut tingkat pendidikannya terdiiri atas
enam kelompok yaitu SD/Sederajat, SMP/Sederajat, SLTA/Sederajat, Diploma,
Sarjana, dan lain-lain. Selengkapnya tingkat pendidikan responden dapat dilihat
pada gambar 5.2.

Gambar 5.2 Tingkat Pendidikan Responden

Gambar 5.2 menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan responden


paling banyak didominasi tamatan SLTA/Sederajat (57%) atau sebanyak 57
responden, dan responden paling sedikit dengan latar belakang Diploma yaitu
sebanyak 3 responden atau 3%.
Ifabiyi (2011) menyatakan bahwa rumah tangga yang memiliki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi memiliki kesediaan untuk membayar lebih tinggi
WTP serta menurut Simanjuntak (2009) menyatakan tingkat pendidikan sangat
mempengaruhi pola pikir masyarakat terhadap sumber daya alam yang umumnya
digunakan secara bebas dan tidak memerlukan biaya.

5.2.4 Pekerjaan
Pekerjaan responden di daerah penelitian cukup bervariasi. Gambar 5.3
menunjukan bahwa pekerjaan responden paling banyak adalah Pegawai Swasta.
V-4

Responden dengan pekerjaan sebagai Pegawai Swasta berjumlah 37 atau 37%.


Kelompok responden dengan pekerjaan sebagai Wiraswasta/Pedagang sebanyak
menduduki urutan kedua yaitu 17 responden atau 17%. Paling sedikit adalah
responden dengan pekerjaan Penjahit, Petugas Kebersihan, Office boy, Cleaning
Service, Tidak Bekerja, dan Pelajar/Mahasiswa dengan masing-masing sebanayak
1 responden atau 1%.

Gambar 5.3 Pekerjaan Responden

5.2.5 Pendapatan
Dari tabel 5.2 dapat dilihat bahwa pendapatan responden yang paling besar
adalah > Rp 3.000.000 – Rp 4.000.000 yaitu 33 orang, sedangkan pendapatan
responden yang paling kecil adalah > Rp 0 – Rp 1.000.000 dan > Rp 5.000.000 –
Rp 6.000.000 yaitu sebanyak 2 orang. Pendapatan sebagai variabel ekonomi erat
kaitannya dengan kemampuan ekonomi masyarakat dalam membayar biaya
pengelolaan sampah sehari-hari. Asumsi yang berlaku adalah semakin tinggi
pendapatan responden maka semakin besar pula nilai WTP yang akan dibayarkan
oleh responden tersebut (Simanjuntak,2009). Gita Herdiani (2009) menunjukkan
bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi kemampuan ekonominya
V-5

sehingga semakin tinggi kemampuan dan kesempatan individu untuk dapat dan
bersedia membayar biaya perbaikan lingkungan. Selengkapnya tingkat
pendapatan responden dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Pendapatan Responden Kelurahan Mekarjaya

No Pendapatan Jumlah Responden Persentase (%)


1 > Rp 6.000.000 4 4
2 > Rp 5.000.000 - Rp 6.000.000 2 2
3 > Rp 4.000.000 - Rp 5.000.000 12 12
4 > Rp 3.000.000 - Rp 4.000.000 33 33
5 > Rp 2.000.000 - Rp 3.000.000 27 27
6 > Rp 1.000.000 - Rp 2.000.000 20 20
7 > Rp 0 - Rp 1.000.000 2 2
Jumlah 100 100

5.2.6 Status Pernikahan


Untuk perbandingan status pernikahan penduduk di Kelurahan Mekarjaya
dapat dilihat pada Gambar 5.4 berikut ini. Dari gambar diagram tersebut dapat
dilihat bahwa 93% (93 orang) dari jumlah responden mempunyai status sudah
menikah sedangkan sisanya sebesar 7 % (7 orang) berstatus belum menikah.
Status pernikahan berhubungan dengan jumlah tanggungan seseorang. Jika
seseorang sudah menikah maka kemungkinan besar mempunyai jumlah
tanggungan yang lebih banyak, misalnya anak dan istri, dibandingkan
dengan orang yang belum menikah. Jumlah tanggungan yang lebih banyak pada
akhirnya akan mempengaruhi besarnya biaya yang harus dikeluarkan, sehingga
secara tidak langsung akan mempengaruhi dari hasil WTP. Hal tersebut berarti
bahwa status pernikahan mempengaruhi seseorang dalam mengeluarkan biaya
terhadap TPS.
V-6

Gambar 5.4 Status Pernikahan Responden Kelurahan Mekarjaya

5.2.7 Jumlah Anggota Rumah Tangga


Berdasarkan hasil kuesioner yang didapat, Gambar 5.5 menunjukkan
jumlah anggota rumah tangga dalam satu Kepala Keluarga yang paling banyak
didominasi dengan 2 orang/KK sebesar 41%.
Norman et al (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan antara jumlah
anggota rumah tangga dengan kesediaan membayar masyarakat untuk
meningkatkan kebersihan lingkungan di sekitar TPS Ciwastra. Semakin besar
jumlah anggota rumah tangga maka juga akan semakin besar kecenderungan
peluang responden untuk bersedia membayar.

Gambar 5.5 Jumlah Anggota Rumah Tangga


V-7

5.2.8 Lama Tinggal


Hasil dari kuesioner didapat responden di daerah penelitian cukup
bervariasi dan merata pada masing-masing waktu. Tabel 5.3 menunjukan bahwa
lama tinggal responden paling banyak adalah 7 - 12 tahun sebanyak 45 orang.
Semakin lama tinggalnya responden maka tingkat kesadaran terhadap kondisi
lingkungan akan semakin meningkat, sehingga akan berpengaruh positif bagi
kualitas lingkungan tersebut.

Tabel 5.3 Lama Tinggal Responden Kelurahan Mekarjaya

No Lama Tinggal/ tahun Jumlah Responden Persentase (%)


1 1 - 6 tahun 39 39
2 7 - 12 tahun 45 45
3 13 - 18 tahun 16 16
Jumlah 100 100

5.2.9 Status Tempat Tinggal


Berdasarkan gambar 5.6 dari hasil kuesioner, didapat bahwa responden di
Kelurahan Mekarjaya umumnya status tempat tinggal milik sendiri sebanyak 96
Kepala Keluarga atau 96% dan yang status tempat tinggal sewa/kontrak sebanyak
4 Kepala Keluarga atau 4%.
Gita Herdiani (2009) menunjukkan bahwa status kepemilikan rumah
berhubungan dengan kesediaan membayar masyarakat. Apabila tempat tinggal
(rumah) yang ditempati oleh responden adalah milik sendiri, maka responden
akan lebih bersedia membayar biaya perbaikan lingkungan tempat tinggalnya. Hal
tersebut dikarenakan responden lebih merasa memiliki terhadap lingkungan yang
berada di sekitar tempat tinggalnya. Selain itu jika milik sendiri, mereka
cenderung akan lebih lama tinggal di rumah tersebut dibandingkan dengan yang
mengontrak sehingga tidak merasa keberatan jika harus mengeluarkan biaya
asalkan lingkungan tempat tinggalnya berada dalam kondisi yang baik.
V-8

Gambar 5.6 Status Tempat Tinggal Responden

5.3 Persepsi Masyarakat Kelurahan Mekarjaya Terhadap Keberadaan


TPS Ciwastra
Persepsi masyarakat Kelurahan Mekarjaya terhadap keberadaan TPS
Ciwastra dilihat berdasarkan persepsi masyarakat terhadap kondisi sebelum dan
sesudah keberadaan TPS. Persepsi masyarakat tersebut diukur mengunakan skala
perbedaan semantik dengan tujuan mengukur persepsi responden melalui skala
bipolar, yaitu skala yang berlawanan seperti sangat setuju - sangat tidak setuju,
setuju – tidak setuju ,dan sebagainya.

5.3.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Kondisi Lingkungan Sebelum dan


Sesudah Keberadaan TPS
Lingkungan merupakan salah satu bagian dari ekosistem tempat manusia
hidup dan berinteraksi. Keberadaan lingkungan memiliki arti penting dalam
menunjang kehidupan manusia. Kondisi dan kualitas lingkungan yang baik dapat
membantu mewujudkan kualitas manusia yang lebih baik.
Pembangunan TPS memberikan perubahan yang besar bagi kondisi dan
kualitas lingkungan di Kelurahan Mekarjaya. Perubahan tersebut berupa
pencemaran udara dan air, berkembangnya bibit penyakit yang bersumber dari
lalat, terganggunya keindahan alam, dan lainnya.
Perubahan kondisi lingkungan dari sebelum keberadaan TPS dan sesudah
keberadaan TPS sangat dirasakan oleh masyarakat sekitar. Hasil penelitian
V-9

terhadap 100 responden di Kelurahan Mekarjaya menunjukan bahwa sebagian


besar responden menilai kondisi lingkungan setelah keberadaan TPS lebih baik di
bandingkan sebelum keberadaan TPS. Namun terdapat responden yang menilai
bahwa kondisi lingkungan sebelum dan setelah keberadaan TPS adalah sama saja.
Penilaian kondisi lingkungan sebelum dan sesudah keberadaan TPS
ditunjukan dari persepsi masyarakat terhadap kebersihan lingkungan, kenyamanan
tempat tinggal. Persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan sebelum dan
setelah keberadaan TPS Ciwastra dalam penelitian ini dinilai menggunakan skala
perbedaan semantik dengan pemberian nilai dari 1 sampai 5 oleh responden
sesuai dengan kondisi yang mereka alami. Hasil perhitungan rata-rata persepsi
masyarakat menggunakan skala perbedaan semantik dari 100 responden dapat
dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Hasil Perhitungan Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan


Sebelum dan Setelah Keberadaan TPS Tahun 2017
Keterangan Sebelum TPS Ada Setelah TPS Ada
Kebersihan Lingkungan 3,45 3,69
Kenyamanan Tempat 3,46 3,61
Tinggal
Rata-rata 3,45 3,65

Penilaian kebersihan lingkungan diukur dengan cara responden diminta


memilih dari 1 sampai 5, dimana nilai 1 menunjukkan sangat tidak setuju
persepsi responden terhadap kebersihan lingkungan dan kenyamanan tempat
tinggal sebelum dan sesudah TPS ada, nilai 2 menunjukkan tidak setuju persepsi
responden terhadap kebersihan lingkungan dan kenyamanan tempat tinggal
sebelum dan sesudah TPS ada, nilai 3 menunjukkan netral persepsi responden
terhadap kebersihan lingkungan dan kenyamanan tempat tinggal sebelum dan
sesudah TPS ada, nilai 4 menunjukkan setuju persepsi responden terhadap
kebersihan lingkungan tdan kenyamanan tempat tinggal sebelum dan sesudah TPS
ada, serta nilai 5 menunjukkan sangat setuju persepsi responden terhadap
kebersihan lingkungan dan kenyamanan tempat tinggal sebelum dan sesudah TPS
ada. Berdasarkan Tabel 5.4 dari 100 responden menunjukkan bahwa perbandingan
nilai persepsi rata-rata responden terhadap kebersihan lingkungan sebelum dan
V-10

sesudah keberadaan TPS tidak terlalu berbeda, yaitu sebelum keberadaan TPS
bernilai 3,45 yang berarti bahwa persepsi responden terhadap kebersihan
lingkungan tergolong netral atau biasa saja mengenai kebersihan lingkungan
sebelum adanya TPS, sedangkan setelah keberadaan TPS bernilai 3,69 yang
berarti persepsi responden setuju bahwa keberadaan TPS membuat lingkungan
menjadi bersih.
Berdasarkan Tabel 5.4 nilai persepsi responden terhadap kenyamanan
tempat tinggal sebelum keberadaan TPS yaitu bernilai 3,46 yang berarti bahwa
responden beranggapan bahwa sebelum keberadaan TPS tempat tinggal mereka
dikategorikan netral atau biasa saja terhadap kenyamanan tempat tinggal sebelum
TPS ada. Sedangkan nilai persepsi responden sesudah keberadaan TPS bernilai
3,61 yang berarti responden beranggapan bahwa kenyamanan tempat tinggal
sesudah keberadaan TPS bisa dikategorikan setuju atau dengan kata lain nyaman
dengan keberadaan TPS. Namun menurut sebagian responden mengatakan bahwa
terdapat dampak yang dirasakan dari keberadaan TPS adalah timbulnya
pencemaran udara, terganggunya aktivitas kegiatan masyarakat, pencemaran bau
serta berkembangnya bibit penyakit yang bersumber dari lalat. Hal ini
menyebabkan ketidaknyamanan masyarakat yang tinggal di sekitar TPS. Selain
dari segi ketidaknyamanan lingkungan yang merugikan masyarakat, dari segi
ekonomi masyarakat juga merasa dirugikan karena harus mengeluarkan biaya
lebih untuk mengatasi ketidaknyamanan ini, yaitu seperti membeli semprotan
pengusir lalat, semprotan penghilang bau dan lainnya.
Berdasarkan Tabel 5.4 hasil perbandingan penilaian rata-rata dari persepsi
terhadap kebersihan lingkungan dan kenyamanan tempat tinggal, dapat
disimpulkan bahwa persepsi responden terhadap kondisi lingkungan setelah
keberadaan TPS lebih baik di bandingkan kondisi lingkungan sebelum keberadaan
TPS. Hal ini merupakan persepsi dari responden bahwa setelah keberadaan TPS di
lingkungan Mekarjaya bersih, masyarakat merasa nyaman untuk tinggal. Namun
masih terdapat pencemaran udara, aktivitas kegiatan masyarakat terganggu, dan
pencemaran bau setelah keberadaan TPS.
V-11

Tabel 5.5 Hasil Perhitungan Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan


Sebelum dan Setelah Keberadaan TPS Tahun 2017
Keterangan Sebelum TPS Ada Setelah TPS Ada
Kebersihan Lingkungan 3,68 3,81
Kenyamanan Tempat 3,31 3,81
Tinggal
Rata-rata 3,5 3,81

Berdasarkan Tabel 5.5 dari 16 responden dengan lama tinggal paling lama
menunjukkan bahwa perbandingan nilai persepsi rata-rata responden terhadap
kebersihan lingkungan sebelum dan sesudah keberadaan TPS tidak terlalu
berbeda, yaitu sebelum keberadaan TPS bernilai 3,68 yang berarti bahwa persepsi
responden setuju mengenai kebersihan lingkungan sebelum adanya TPS,
sedangkan setelah keberadaan TPS bernilai 3,81 yang berarti persepsi responden
setuju bahwa keberadaan TPS membuat lingkungan menjadi bersih. Dari hasil
tersebut responden dengan lama tinggal paling lama, bahwa kebersihan
lingkungan sebelum dan setelah TPS tetap bersih.
Berdasarkan Tabel 5.5 nilai persepsi responden terhadap kenyamanan
tempat tinggal sebelum keberadaan TPS yaitu bernilai 3,31 yang berarti bahwa
responden beranggapan bahwa sebelum keberadaan TPS tempat tinggal mereka
dikategorikan netral atau biasa saja terhadap kenyamanan tempat tinggal sebelum
TPS ada. Sedangkan nilai persepsi responden sesudah keberadaan TPS bernilai
3,81 yang berarti responden beranggapan bahwa kenyamanan tempat tinggal
sesudah keberadaan TPS bisa dikategorikan setuju atau dengan kata lain nyaman
dengan keberadaan TPS. Namun menurut responden mengatakan bahwa terdapat
dampak yang dirasakan dari keberadaan TPS adalah timbulnya pencemaran udara,
terganggunya aktivitas kegiatan masyarakat, pencemaran bau serta
berkembangnya bibit penyakit yang bersumber dari lalat. Hal ini menyebabkan
ketidaknyamanan masyarakat yang tinggal di sekitar TPS. Selain dari segi
ketidaknyamanan lingkungan yang merugikan masyarakat, dari segi ekonomi
masyarakat juga merasa dirugikan karena harus mengeluarkan biaya lebih untuk
mengatasi ketidaknyamanan ini, yaitu seperti membeli semprotan pengusir lalat,
semprotan penghilang bau dan lainnya.
V-12

Berdasarkan Tabel 5.5 hasil perbandingan penilaian rata-rata dari persepsi


terhadap kebersihan lingkungan dan kenyamanan tempat tinggal, dapat
disimpulkan bahwa persepsi responden terhadap kondisi lingkungan setelah
keberadaan TPS lebih baik di bandingkan kondisi lingkungan sebelum keberadaan
TPS. Hal ini merupakan persepsi dari responden bahwa setelah keberadaan TPS di
lingkungan Mekarjaya bersih, masyarakat merasa nyaman untuk tinggal. Namun
masih terdapat pencemaran udara, aktivitas kegiatan masyarakat terganggu, dan
pencemaran bau setelah keberadaan TPS.

5.3.2 Persepsi Responden Berdasarkan Penyakit


Selain itu persepsi responden juga diberikan terhadap banyaknya penyakit
orang responden sebesar 53% responden tidak setuju atau dengan kata lain tidak
pernah mengalami penyakit khusus yang disebabkan keberadaan TPS.
Perbandingan persentase jumlah responden yang pernah mengalami penyakit
khusus akibat keberadaan TPS dan yang tidak pernah mengalami dapat dilihat
pada Gambar 5.7.

Gambar 5.7 Persentase Responden Berdasarkan Mengalami Penyakit di


Kelurahan Mekarjaya Tahun 2017
V-13

5.4 Analisis Willingness to Pay Masyarakat Terhadap TPS Ciwastra


Dalam penelitian ini ditanyakan mengenai kesediaan masyarakat untuk
membayar dari keberadaan TPS Ciwastra tanpa ditanyakan nilai maksimum WTP
mereka dengan tanpa adanya nilai awal yang disarankan kepada mereka.
Kesediaan membayar dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kemampuan
maksimum responden dalam membayar keberadaan TPS Ciwastra dalam rangka
memperbaiki kualitas lingkungan.
Pendekatan CVM dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis
WTP responden terhadap pembayaran jasa lingkungan yang akan diterapkan di
TPS Ciwastra. Hasil pelaksanaan CVM adalah sebagai berikut :

A. Membangun Pasar Hipotesis (Setting-up the Hypothetical Market)


Pasar hipotesis pada valuasi ini berdasarkan pada dampak positif dan
negatif yang diberikan oleh TPS kepada masyarakat sekitar. Dampak positifnya
adalah masyarakat dapat membuang sampahnya pada suatu tempat yang telah
disediakan sehingga tidak perlu lagi mencari tempat untuk membuang sampahnya,
sedangkan dampak negatifnya adalah kebaradaan TPS ini dapat menimbulkan
bau yang tidak sedap, pemandangan yang tidak indah dan lain sebagainya. Disini
membahas berapa nilai WTP maksimum masyarakat terhadap jasa yang TPS telah
berikan kepada Masyarakat.

B. Memperoleh Nilai WTP (Open ended question)


Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Open-ended question,
yaitu metode pertanyaan terbuka dimana setiap individu ditanyakan nilai
maksimum WTP mereka tanpa adanya nilai awal yang disarankan kepada mereka.
Berdasarkan pernyataan dan interval nilai, maka diperolah besarnya nilai
WTP yang bersedia dibayarkan responden. Dari hasil perhitungan statistik,
diperolah rata-rata nilai WTP responden sebesar Rp 7.455,-/KK/bulan, untuk tabel
perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1. Nilai ini mencerminkan kemampuan
responden untuk membayar WTP dengan biaya retribusi pengelolaan sampah
sebesar Rp 3.000,-/KK/bulan sehingga dilihat dari nilai WTP dan biaya retribusi
pengelolaan sampah maka responden mampu untuk membayar kondisi kualitas
V-14

lingkungan dari keberadaan TPS yang memberikan dampak positif dan negatif.
Umumnya responden mengeluarkan biaya untuk membayar atas keberadaan TPS
yang rendah karena dilihat dari jumlah pendapatan responden. Jika semakin tinggi
pendapatan responden maka semakin besar pula nilai WTP yang dikeluarakan
oleh responden (Simanjuntak,2009).

C. Menghitung Dugaan Nilai Rataan WTP (Estimating Mean


WTP/EWTP)
Dugaan nilai (EWTP) bertujuan untuk menguji hasil perhitungan dari
WTP rata-rata responden yang dihitung berdasarkan data distribusi WTP
responden dan dengan menggunakan rumus:
EWTP = ∑𝑁
𝑖 WiPfi

Dimana :
EWTP = Dugaan rataan WTP
Wi = Nilai WTP ke-i
Pfi = Frekuensi Relatif
n = Jumlah responden
i = Responden ke-i yang bersedia melakukan pembayaran jasa lingkungan

Tabel 5.6 Dugaan Nilai Rataan WTP


kelas frekuensi frekuensi Jumlah Total
(Rp/KK/bulan) (responden) relatif (Rp/bulan)
2000 14 0.140 280
2500 2 0.020 50
3000 5 0.050 150
5000 46 0.460 2300
5500 1 0.010 55
6000 5 0.050 300
6500 1 0.010 65
7000 4 0.040 280
7500 1 0.010 75
10000 12 0.120 1200
12500 1 0.010 125
15000 4 0.040 600
V-15

kelas frekuensi frekuensi Jumlah Total


(Rp/KK/bulan) (responden) relatif (Rp/bulan)
20000 1 0.010 200
25000 1 0.010 250
50000 1 0.010 500
100000 1 0.010 1000
Jumlah 100 1.000 7430

Nilai Wi (WTP ke-i) yang didapat dikali oleh fruekuensi relatif untuk
mendapatkan dugaan nilai rataan WTP responden seperti contoh perhitungan
berikut ini.
EWTP = ∑ WiPfi
EWTP = 2000 x 0,14
= Rp 280,- /bulan

Dengan demikian kelas WTP responden diperoleh dengan menentukan


terlebih dahulu nilai terkecil sampai nilai terbesar WTP yang ditawarkan
responden. Dari hasil perhitungan diperoleh dugaan nilai rataan WTP (EWTP)
sebesar Rp 7.430,-/KK/bulan. Hasil dari dugaan nilai rataan WTP mencerminkan
bahwa hasil tersebut benar dan mendekati hasil dari WTP rata-rata yang
dikeluarkan oleh responden.

D. Memperkirakan Kurva WTP (Estimating Bid Curve)


Kurva WTP responden dibuat berdasarkan nilai WTP terhadap keberadaan
TPS Ciwastra. Kurva ini menggambarkan hubungan tingkat WTP (dalam
Rp/bulan) dengan jumlah responden (orang). Berdasarkan jawaban yang
diperoleh dari responden, didapatkan kurva WTP yang dapat dilihat pada gambar
5.8.
V-16

WTP (Rp)
WTP y = 44.583x + 185.73
R² = 0.723
2500

2000

1500
WTP
1000 Linear (WTP)

500

0 Responden
0 10 20 30 40 50 (orang)

Gambar 5.8 Dugaan Kurva WTP Responden Kelurahan Mekarjaya Tahun


2017

Jumlah WTP (Rp) dalam Gambar 5.8 menunjukkan jumlah WTP yang
dikeluarkan oleh responden untuk membayar jasa lingkungan dari keberadaan
TPS Ciwastra. Sehingga, kurva WTP di atas menggambarkan bahwa semakin
rendah nilai WTP dari suatu jasa lingkungan TPS, maka jumlah responden yang
mau membayar WTP semakin banyak.
Berdasarkan dugaan kurva tawaran WTP dapat dihitung surplus
konsumen yang akan diperoleh masyarakat. Surplus konsumen adalah
surplus/kelebihan yang diterima responden karena nilai WTP yang dibayarkan
lebih tinggi dari pada nilai WTP rata-ratanya.
Hasil dari WTP rata-rata yang dikeluarkan oleh masyarakat sebesar Rp
7.455,-/KK/bulan, sehingga diperoleh rata-rata surplus konsumen yang diterima
responden sebesar Rp 230.990,- KK/bulan. Nilai surplus konsumen ini
menunjukkan surplus/kelebihan yang diterima responden karena nilai WTP yang
diinginkan lebih tinggi dari nilai WTP rata-rata. Adapun perhitungan surplus
konsumen dapat dilihat pada Lampiran 1.
SK = Σ (WTPi – P) dimana WTPi > P
SK = 10.000 – 7.455
= Rp 2.545,- KK/bulan
V-17

Dimana :
SK = Surplus Konsumen
WTPi = WTP responden ke-i
P = WTP rata-rata

E. WTP Agregat atau Total WTP (TWTP)


Hasil perhitungan TWTP dapat dilihat pada tabel 5.7. Berdasarkan hasil
perhitungan diperoleh nilai total (TWTP) responden dihitung berdasarkan data
distribusi WTP responden dan dengan menggunakan rumus:
𝑛𝑖
TWTP = ∑𝑛𝑖 𝑊𝑇𝑃𝑖 ( 𝑁) P

Dimana:
TWTP = Total WTP
WTPi = WTP individu sampel ke-i
Ni = Jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar sebesar WTP
N = Jumlah sampel
P = Jumlah populasi
I = Responden ke-i yang bersedia membayar pembayaran jasa lingkungan

Tabel 5.7 WTP Agregat atau Total WTP


frekuensi Jumlah Total
kelas (Rp/KK/bulan) Populasi
(responden) (Rp/bulan)
2000 14 570 1139600
2500 2 81 203500
3000 5 204 610500
5000 46 1872 9361000
5500 1 41 223850
6000 5 204 1221000
6500 1 41 264550
7000 4 163 1139600
7500 1 41 305250
10000 12 488 4884000
12500 1 41 508750
15000 4 163 2442000
20000 1 41 814000
25000 1 41 1017500
V-18

frekuensi Jumlah Total


kelas (Rp/KK/bulan) Populasi
(responden) (Rp/bulan)
50000 1 41 2035000
100000 1 41 4070000
Jumlah 100 4070 30240100

Nilai WTPi (WTP individu sampel ke-i) yang didapat dikali oleh hasil dari
pembagian Ni (jumlah sampel WTP ke-i) dengan N (jumlah sampel) kemudian
dikalikan dengan jumlah populasi untuk mendapatkan total WTP responden
seperti contoh perhitungan berikut ini.
𝑛𝑖
TWTP = ∑𝑛𝑖 𝑊𝑇𝑃𝑖 ( 𝑁) P
14
TWTP = 2000 x 𝑥 4070
100

= Rp 1.139.600,- / bulan

Nilai rata-rata WTP responden sebesar Rp 7.455,-/KK/bulan dari total


WTP (TWTP) sebesar Rp 30.240.100,-/bulan. Nilai total WTP ini menunjukkan
total dari keseluruhan nilai WTP atas kemampuan responden untuk membayar
dari keberadaan TPS per bulan.

F. Evaluasi Pelaksanaan CVM WTP


Berdasarkan hasil analisis regresi berganda seperti pada gambar 5.8 cukup
baik karena diperoleh nilai R2 sama dengan 72,3%. Penelitian ini berkaitan
dengan benda-benda lingkungan yang dapat mentolerir nilai R2 sampai dengan 15
persen (Mitchell dan Carson, 1989 diacu dalam Hanley dan Spash, 1993), hal ini
karena penelitian ini tentang lingkungan berhubungan dengan perilaku manusia
sehingga nilai R2 tidak harus besar. Oleh karena itu, hasil pelaksanaan CVM
dalam penelitian ini masih dapat diyakini kebenaran dan keandalannya.

5.5 Analisis Willingness to Accept Masyarakat Terhadap TPS Ciwastra


Dalam penelitian ini ditanyakan mengenai kesediaan masyarakat untuk
menerima dana kompensasi dari keberadaan TPS Ciwastra tanpa ditanyakan nilai
maksimum WTA mereka dengan tanpa adanya nilai awal yang disarankan kepada
mereka. Kesediaan menerima dana kompensasi dalam penelitian ini didefinisikan
V-19

sebagai keinginan maksimum responden dalam menerima dana kompensasi akibat


keberadaan TPS Ciwastra.
Pendekatan CVM dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis
WTA responden terhadap keberadaan TPS Ciwastra. Hasil pelaksanaan CVM
adalah sebagai berikut :

A. Membangun Pasar Hipotesis (Setting-up the Hypothetical Market)


Pasar hipotesis pada valuasi ini berdasarkan pada dampak negatif yang
diberikan dari keberadaan TPS Ciwastra, dari pihak instansi terkait berencana
memberikan ganti rugi kepada masyarakat Kelurahan Mekarjaya atas penurunan
kualitas lingkungan akibat keberadaan TPS Ciwastra . Ganti rugi ini berupa dana
kompensasi atau perbaikan infrastruktur seperti perbaikan jalan, pengadaan klinik
kesehatan, saluran air yang bersih, dan penyemprotan untuk menghilangkan bau
yang akan diberikan pihak instansi terkait kepada masyarakat di sekitar lokasi
TPS yang terkena dampak negatif. Disini membahas berapa nilai WTA
masyarakat terhadap keberadaan TPS.

B. Memperoleh Nilai WTA (Open ended question)


Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Open-ended question,
yaitu metode pertanyaan terbuka dimana setiap individu ditanyakan nilai
maksimum WTA mereka tanpa adanya nilai awal yang disarankan kepada
mereka. Berdasarkan pernyataan dan interval nilai yang ditawarkan dalam
kuesioner, maka diperolah besarnya nilai WTA atau dana kompensasi responden.
Dari hasil perhitungan statistik, diperolah rata-rata nilai WTA responden sebesar
Rp 718.500,- KK/bulan untuk tabel perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Nilai ini mencerminkan keinginan responden terhadap nilai WTA, umumnya
responden menginginkan dana kompensasi yang tinggi karena dilihat dari jumlah
pendapatan responden. Jika semakin rendah pendapatan responden maka semakin
tinggi pula nilai WTA yang diinginkan oleh responden. Selain itu, mencerminkan
keinginan responden untuk adanya ganti rugi yang berupa perbaikan kondisi dari
kualitas lingkungan yang tercemar maupun infrastruktur yang diakibatkan oleh
V-20

transportasi pengangkut sampah dari keberadaan TPS. Responden menginginkan


dana kompensasi yang tinggi karena biaya hidup yang semakin meningkat.

C. Menghitung Dugaan Nilai Rataan WTA (Estimating Mean


WTA/EWTA)
Dugaan nilai (EWTA) bertujuan untuk menguji hasil perhitungan dari
WTA rata-rata responden dihitung berdasarkan data distribusi WTA responden
dan dengan menggunakan rumus:
EWTA = ∑𝑁
𝑖 WiPfi

Dimana :
EWTA = Dugaan rataan WTA
Wi = Nilai WTA ke-i
Pfi = Frekuensi Relatif
n = Jumlah responden
i = Responden ke-i yang bersedia melakukan pembayaran jasa lingkungan

Tabel 5.8 Dugaan Nilai Rataan WTA


kelas frekuensi frekuensi Jumlah Total
(Rp/KK/bulan) (responden) relative (Rp/bulan)
250000 1 0.010 2500
300000 1 0.010 3000
350000 1 0.010 3500
500000 15 0.150 75000
550000 3 0.030 16500
600000 3 0.030 18000
650000 6 0.060 39000
700000 13 0.130 91000
750000 20 0.200 150000
800000 17 0.170 136000
850000 13 0.130 110500
900000 2 0.020 18000
950000 2 0.020 19000
1000000 2 0.020 20000
1500000 1 0.010 15000
Jumlah 100 1 717000
V-21

Dengan demikian kelas WTA responden diperoleh dengan menentukan


terlebih dahulu nilai terkecil sampai nilai terbesar WTA yang ditawarkan
responden. Dari hasil perhitungan diperoleh dugaan nilai rataan WTA (EWTA)
sebesar Rp 717.000,-/KK/bulan. Nilai ini mencerminkan keinginan responden
menginginkan adanya ganti rugi yang berupa perbaikan kondisi dari kualitas
lingkungan yang tercemar maupun infrastruktur yang diakibatkan oleh
transportasi pengangkut sampah dari keberadaan TPS.
Nilai Wi (WTA ke-i) yang didapat dikali oleh fruekuensi relatif untuk
mendapatkan dugaan nilai rataan WTA responden seperti contoh perhitungan
berikut ini.
EWTA = ∑ WiPfi
EWTA = 250.000 x 0,010
= Rp 2.500,- /bulan

D. Memperkirakan Kurva WTA (Estimating Bid Curve)


Kurva WTA responden berdasarkan nilai WTA terhadap dana kompensasi.
Kurva ini menggambarkan hubungan tingkat WTA (dalam Rp/bulan) dengan
jumlah responden (orang). Berdasarkan jawaban yang diperoleh dari responden,
didapatkan kurva WTA yang dapat dilihat pada gambar 5.9.

WTA (Rp) WTA y = 7251.3x - 541.81


R² = 0.9494
160000
140000
120000
100000
80000 WTA

60000 Linear (WTA)

40000
20000
0
0 5 10 15 20 25 Responden (Orang)

Gambar 5.9 Dugaan Kurva WTA Responden Kelurahan Mekarjaya


Tahun 2017
V-22

Jumlah WTA (Rp) dalam Gambar 5.9 menunjukkan jumlah WTA yang
diinginkan oleh responden untuk menerima kompensasi dari jasa suatu
lingkungan TPS Ciwastra. Sehingga, kurva WTA di atas menggambarkan bahwa
semakin tinggi nilai WTA yang diinginkan oleh responden dari suatu jasa
lingkungan maka jumlah responden yang menginginkan semakin banyak.
Berdasarkan dugaan kurva tawaran WTA dapat dihitung surplus
konsumen yang akan diperoleh masyarakat. Surplus konsumen adalah
surplus/kelebihan yang diterima responden karena nilai WTA yang diinginkan
lebih tinggi dari pada nilai WTA rata-ratanya
Hasil dari WTA rata-rata yang diterima oleh responden sebesar Rp
718.500,-/KK/bulan, sehingga diperoleh rata-rata surplus konsumen yang diterima
responden sebesar Rp 6.027.000,- KK/bulan. Nilai surplus konsumen ini
menunjukkan surplus/kelebihan yang diterima responden karena nilai WTA yang
diinginkan lebih tinggi dari nilai WTA rata-rata Adapun perhitungan surplus
konsumen dapat dilihat pada Lampiran 1.
SK = Σ (WTAi – P) dimana WTAi > P
SK = 750.000 – 718.500
= Rp 31.500,- KK/bulan
Dimana :
SK = Surplus Konsumen
WTAi = WTA responden ke-i
P = WTA rata-rata

E. WTA Agregat atau Total WTA (TWTA)


Hasil perhitungan TWTA dapat dilihat pada tabel 5.8. Berdasarkan hasil
perhitungan diperoleh nilai total (TWTA) responden dihitung berdasarkan data
distribusi WTA responden dan dengan menggunakan rumus:
𝑛𝑖
TWTA = ∑𝑛𝑖 𝑊𝑇𝐴𝑖 ( 𝑁) P

Dimana:
TWTA = Total WTA
WTAi = WTA individu sampel ke-i
V-23

Ni = Jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar sebesar WTA


N = Jumlah sampel (Responden)
P = Jumlah populasi (Kepala Keluarga)
I = Responden ke-i yang bersedia membayar pembayaran jasa lingkungan

Tabel 5.9 WTA Agregat atau Total WTA


frekuensi Jumlah Total
kelas (Rp/KK/bulan) Populasi
(responden) (Rp/bulan)
250000 1 41 10175000
300000 1 41 12210000
350000 1 41 14245000
500000 15 611 305250000
550000 3 122 67155000
600000 3 122 73260000
650000 6 244 158730000
700000 13 529 370370000
750000 20 814 610500000
800000 17 692 553520000
850000 13 529 449735000
900000 2 81 73260000
950000 2 81 77330000
1000000 2 81 81400000
1500000 1 41 61050000
Jumlah 100 4070 2918190000

Nilai WTAi (WTA individu sampel ke-i) yang didapat dikali oleh hasil
dari pembagian Ni (jumlah sampel WTP ke-i) dengan N (jumlah sampel)
kemudian dikalikan dengan jumlah populasi untuk mendapatkan total WTA
responden.
Nilai rata-rata WTA responden sebesar Rp 718.500,-/KK/bulan dari total
WTA (TWTA) sebesar Rp 2.918.190.000,-/bulan. Nilai total WTA ini
menunjukkan total dari keseluruhan nilai WTA atas keinginan responden untuk
menerima dana kompensasi dari keberadaan TPS per bulan. Adapun contoh
perhitungan total WTA responden berikut ini.
V-24

𝑛𝑖
TWTA = ∑𝑛𝑖 𝑊𝑇𝐴𝑖 ( 𝑁) P
1
TWTP = 250.000 x 𝑥 4070
100

= Rp 10.175.000,- / bulan

F. Evaluasi Pelaksanaan CVM WTA


Berdasarkan hasil analisis regresi berganda seperti pada gambar 5.9 sangat
baik karena diperoleh nilai R2 sama dengan 94,94%. Penelitian ini berkaitan
dengan benda-benda lingkungan yang dapat mentolerir nilai R2 sampai dengan 15
persen (Mitchell dan Carson, 1989 diacu dalam Hanley dan Spash, 1993), hal ini
karena penelitian ini tentang lingkungan berhubungan dengan perilaku manusia
sehingga nilai R2 tidak harus besar. Oleh karena itu, hasil pelaksanaan CVM
dalam penelitian ini masih dapat diyakini kebenaran dan keandalannya.

5.6 Uji Asumsi Klasik


Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP maka
telah ditetapkan 3 variabel independen yang diduga mempengaruhi variabel
dependen yaitu tingkat pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan dengan
analisis regresi linear berganda. Pemilihan ketiga variabel tersebut berdasarkan
penelitian terdahulu dalam analisis CVM tentang TPA Cipayung Kota Depok.
Sebelum dilakukan analisis regresi linear berganda, maka beberapa uji verifikatif
ini harus dilakukan, yaitu uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji
multikolinearitas, dan uji autokorelasi.

5.6.1 Uji Normalitas


Uji normalitas adalah sebuah uji yang dilakukan dengan tujuan untuk
menilai sebaran data pada sebuah kelompok data atau variable, apakah sebaran
data tersebut telah berdistribusi normal atau tidak (Latan& Temalagi, 2013). Salah
satu metode untuk menguji normalitas adalah dengan menggunakan grafik
probability plot (P-Plot). Jika titik-titik data berada di garis diagonal, mendekati
atau mengikuti garis diagonal, maka dapat disimpulkan data tersebut memiliki
distribusi yang normal (Latan& Temalagi, 2013). Keuntungan menggunakan
V-25

grafik probability plot adalah sebaran data mudah untuk dibaca. Berikut ini adalah
hasil uji normalitas pada penelitian ini:

Gambar 5.10 Uji Normalitas Menggunakan Grafik P-Plot

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa titik-titik data berada pada
mendekati, atau mengikuti garis diagonal pada grafik p-plot. Artinya, data pada
penelitian ini memenuhi asumsi normalitas data. Namun pada grafik tersebut
masih terlihat varians data yang sedikit menyebar dari garis diagonal, sehingga
memerlukan uji heteroskedastisitas untuk mengetahui varians data.

5.6.2 Uji Heteroskedastisitas


Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi
terjadi kesamaan varians residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain
(Wijaya, 2010). Jika varians dari residual satu pengamatan ke satu pengamatan
yang lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut
Heteroskedastisitas (Ghozali, 2011). Uji Heteroskedastisitas yang akan dilakukan
dalam penelitian ini menggunakan grafik Scatterplot. Apabila titik-titik
membentuk pola tertentu atau berada di sekitar angka 0 pada sumbu Y pada
V-26

Scatterplot, maka dapat disimpulkan terdapat heteroskedastisitas dan model


regresi harus diperbaiki (Wijaya, 2010). Maka hasil dari uji heteroskedastisitas
pada penelitian ini adalah:

Gambar 5.11 Uji Hetersokedastisitas Menggunakan Scatter Plot

Berdasarkan gambar di atas dapat terlihat bahwa titik-titik data tidak


membentuk pola tertentu dan banyak diatas dan dibawah titik 0 pada sumbu Y
pada grafik Scatter plot. Artinya, varians residual dari satu pengamatan ke
pengamatan lain tetap dan membentuk garis linear sehingga layak untuk
dilakukan uji regresi linear berganda karena data bersifat homoskedastisitas.

5.6.3 Uji Multikolinearitas


Penelitian ini menggunakan 3 variabel bebas yang diantaranya tingkat
pendidikan, pekerjaan dan jumlah tanggungan ketika diuji pengaruhnya terhadap
variable terikat. Masing-masing variable bebas tersebut harus indpenden satu
dengan yang lain sehingga dibutuhkan uji multikolinearitas. Uji multikolinearitas
bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar
variable bebas (indeependen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
korelasi diantara variable bebas (Ghozali, 2011). Multikolinearitas dapat dilihat
V-27

dari nilai tolerance atau Variance Inflation Factor (VIF). Multikolinearitas terjadi
ketika nilai tolerance <0,1 dan nilai VIF>10. Berikut ini adalah hasil pengujian
multikolinearitas pada penelitian ini:

Tabel 5.10 Uji Multikolinearitas Menggunakan Nilai Tolerance atau VIF


Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) 46.548 3.218 14.463 .000
X1 -.172 .690 -.028 -.249 .804 .763 1.311
X2 -.925 .556 -.190 -1.664 .099 .752 1.330
X3 .393 .428 .092 .918 .361 .971 1.029
a. Dependent Variable: Y

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa masing-masing variable


bebas mempunyai nilai tolerance > 0,1 dan nilai VIFnya <10. Artinya, masing-
masing variable bebas bersifat independen terhadap variable bebas yang lain.
Variabel pendidikan tidak berhubungan dengan variable pendapatan, dan jumlah
tanggungan. Begitu juga dengan variable bebas yang lain, bersifat independen
terhadap variable bebas yang lain.

5.6.4 Uji Autokorelasi


Uji autokorelasi digunakan menguji apakah dalam model regresi linear ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan
pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya) (Wijaya,2010). Autokorelasi akan
muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama
lain, ini timbul karena residual tidak bebas dari satu observasi ke observasi
lainnya biasanya ditemukan pada data time series (Ghozali, 2013). Salah satu uji
yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya data autokorelasi
adalah perbandingan antara nilai Durbin Watson dengan nilai dL atau dU. Jika
nilai Durbin Watson > dU, maka tidak terdapat autokorelasi positif atau jika (4-
Durbin Watson) > dU maka tidak terdapat autokorelasi negatif.
V-28

Nilai dU dan dL didapatkan dari table Durbin Watson dengan melihat


tingkat signifikansi, nilai n (observasi), dan nilai k (variable bebas). Nilai
signifikansi yang dapat digunakan adalah 10%, 5%, dan 1%, jumlah observasi
dalam penelitian ini adalah 100 responden, dan jumlah variable bebas pada
penelitian ini adalah 3. Jika menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5%, maka
nilai dLnya berdasarkan table adalah 1,6131 dan nilai dUnya berdasarkan table
adalah 1,7364.
Setelah diketahui nilai dL dan dUnya, maka langkah selanjutnya adalah
dengan melihat nilai hitung Durbin Watson yang dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 5.11 Uji Autokorelasi Menggunakan Durbin Watson


Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
1 .234a .055 .025 6.14777 1.216
a. Predictors: (Constant), X3, X1, X2
b. Dependent Variable: Y

Berdasarkan tabel di atas, maka diketahui:


a. Nilai Durbin Watson (1,216) < dU (1,7364). Artinya bahwa data tidak
memenuhi syarat pertama. Maka dilanjutkan untuk melihat syarat kedua.
b. (4-1,216 (Durbin Watson) = 2,784) > dU (1,7582). Artinya data memenuhi
syarat kedua. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini tidak mengandung
autokorelasi dan dapat dilanjutkan pada analisis regresi linear berganda.

5.7 Analisis Regresi Linear Berganda


5.7.1 Koefisien Determinasi
Dikarenakan data sudah memenuhi semua uji asumsi klasik, maka dapat
dilakukan uji regresi linear berganda. Dalam uji regresi linear berganda, maka hal
yang harus diperhatikan adalah nilai R, R2, Adjusted R Square, signifikansi nilai t
dan F. Nilai R menunjukkan kekuatan hubungan antara variable bebas dengan
terikat, nilai R2 menunjukkan pengaruh satu variable bebas terhadap variable
terikat, dan Adjusted R Square menunjukkan pengaruh lebih dari satu variable
bebas terhadap variable terikat. Nilai R tidak menunjukkan arah variable mana
V-29

yang mempengaruhi variable tertentu, sedangkan R2 dan Adjusted R Square


menunjukkan arah pengaruh, Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 5.6.
Jenis penelitian ini adalah kausal atau menguji pengaruh variabel tingkat
pendidikan, pendapatan dan jumlah tanggungan terhadap variabel WTP. Jumlah
variabel bebas dalam penelitian ini lebih dari 1 sehingga nilai yang digunakan
adalah Adjusted R Square. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa ketiga
variabel bebas berpengaruh sebesar 2,5% terhadap variabel terikat, sedangkan
sisanya sebesar 97,5% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti pada
penelitian ini.

5.7.2 Uji F
Uji F menunjukkan seberapa besar pengaruh variabel bebas secara
bersama-sama terhadap variabel terikat (Ghozali, 2011). Uji F pada penelitian ini
didapat dengan membandingkan antara nilai F tabel dan F hitung serta nilai sig
dari uji F. Pengaruh dikatakan siginifikan jika nilai F hitung berada didaerah
penolakan H0 dan nilai signifikansi uji F < 0,05 (Wijaya, 2010). Sedangkan nilai F
tabel menggunakan Excel dengan fungsi = FINV (probability, degree of freedom
1, degree of freedom 2). Nilai probability yang digunakan adalah 5%, rumus dari
degree of freedom 1 adalah k (jumlah variabel bebas) dikurangi 1, sedangkan
rumus dari degree of freedom 2 adalah n (jumlah observasi) dikurangi variabel
bebas. Maka nilai F tabel adalah 3,09.

Tabel 5.12 Uji F


ANOVAa
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 210.678 3 70.226 1.858 .142b
Residual 3628.322 96 37.795
Total 3839.000 99
a. Dependent Variable: Y
b. Predictors: (Constant), X3, X1, X2

Berdasarkan tabel di atas diketahui nilai sig > 0,05 yaitu sebesar 0,142.
Artinya variabel pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan secara simultan
V-30

tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel WTP. Sedangkan letak dari
F hitung pada F tabel adalah:

Gambar 5.12 Letak F hitung

Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa nilai F hitung berada di


daerah penerima H0. Artinya variabel pendidikan, pendapatan, dan jumlah
tanggungan secara simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
WTP.

5.7.3 Uji t
Uji t menunjukkan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat
secara parsial atau sendiri-sendiri (Wijaya, 2010). Uji t pada penelitian ini didapat
dengan membandingkan antara nilai t tabel dan t hitung serta nilai sig dari uji t.
Pengaruh dikatakan signifikan jika nilai t hitung berada di daerah penolakan H0
dan nilai signifikansi uji t < 0,05 (Wijaya, 2010). Sedangkan nilai t tabel
menggunakan Excel dengan fungsi = TINV (probability, degree of freedom 1).
Nilai degree of freedom 1 didapatkan dari rumus n(jumlah observasi) dikurangi
k(variabel bebas). Maka nilai t tabel adalah 1,984.
V-31

Tabel 5.13 Uji t


Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta T Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) 46.548 3.218 14.463 .000
X1 -.172 .690 -.028 -.249 .804 .763 1.311
X2 -.925 .556 -.190 -1.664 .099 .752 1.330
X3 .393 .428 .092 .918 .361 .971 1.029
a. Dependent Variable: Y

Berdasarkan tabel di atas diketahui semua nilai sig variabel bebas > 0,05.
Artinya variabel pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan secara parsial
ridak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel WTP. Sedangkan letak dari
t hitung pada t tabel adalah:

Gambar 5.13 Letak t Hitung X1


V-32

Gambar 5.14 Letak t Hitung X2

Gambar 5.15 Letak t Hitung X3


V-33

Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa masing-masing nilai t hitung


berada di daerah penerima H0. Artinya variabel pendidikan, pendapatan, dan
jumlah tanggungan secara parsial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel WTP.

5.7.4 Persamaan Regresi Linear Berganda WTP


Persamaan regresi bertujuan untuk mengukur ada atau tidaknya korelasi
antar variabel yang dinyatakan dalam persamaan matematika yang menyatakan
fungsional antara variabel-variabel. Persamaan regresi pada penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui korelasi dari konstanta dan ketiga variabel
independen dengan variabel terikat yaitu WTP. Melalui analisis regresi,
persamaan variabel bebas terhadap variabel terikat akan menjadi lebih akurat.
Berdasarkan tabel 5.12 maka persamaan regresi linear berganda pada penelitian
ini adalah:
Ŷ = 46,5 - 0,028 X1 – 0,190 X2 + 0,092 X3

Artinya:
a. Nilai 46,5 adalah nilai konstanta. Konstanta adalah nilai tetap yang tanpa
melibatkan tingkat pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan WTP
individu akan sebesar 46,5.
b. -0,028. Artinya pendidikan berkorelasi negatif terhadap WTP sebesar
2,8%. Korelasi negative menandakan hubungan yang bersifat paradoks,
yaitu jika tingkat pendidikan mengalami meningkat akan menyebabkan
WTP individu menjadi menurun, sebaliknya jika tingkat pendidikan
menurun akan menyebabkan WTP individu menjadi menurun.
c. -0,190. Artinya pendapatan berkorelasi negatif terhadap WTP sebesar
19%. Korelasi negative menandakan hubungan bersifat paradoks, yaitu
jika pendapatan semakin besar akan membuat WTP individu menjadi
menurun. Sebaliknya jika pendapatan individu semakin menurun akan
membuat WTP individu menjadi naik.
d. 0,092. Artinya jumlah tanggungan berkorelasi positif terhadap WTP
sebesar 9,2%. Korelasi positif menandakan hubungan bersifat searah, yaitu
V-34

jika jumlah tanggungan bertambah, akan menyebabkan WTP individu


menjadi naik. Sebaliknya, jika jumlah tanggungan turun, akan
menyebabkan WTP individu menjadi turun.

5.8 Nilai Ekonomi TPS Ciwastra


Nilai ekonomi dari TPS Ciwastra berdasarkan metode contingent valuation
method didapatkan dengan mengalikan surplus konsumen dengan jumlah populasi
kepala keluarga Kelurahan Mekarjaya sebesar 4.070 KK. Sehingga dari hasil
tersebut didapat nilai ekonomi TPS Ciwastra sebesar Rp 940.129.300,-. Adapun
contoh perhitungan sebagai berikut:
Nilai Ekonomi TPS Ciwastra = SK WTP x P
= Rp 230.990 x 4.070
= Rp 940.129.300
Dimana:
SK WTP : Surplus Konsumen WTP
P : Jumlah Populasi
Dari nilai ekonomi tersebut menggambarkan harga pasar ekonomi sebagai
upaya pelestarian lingkungan dan proses peningkatan kesejahteraan masyarakat
yang berada di lingkungan TPS Ciwastra. Dari nilai tersebut, peran valuasi
ekonomi terhadap pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sangat penting
dalam penentuan suatu kebijakan pembangunan. Dalam bidang teknik lingkungan,
nilai ekonomi dari TPS Ciwastra dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat
suatu perencanaan TPS dengan memperhatikan analisis fisik dari TPS tersebut.
Sehingga nilai ekonomi dari TPS tidak akan terlalu berbeda dengan keadaan fisik
yang sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai