V-1
V-2
Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa, jumlah responden laki-laki lebih besar
dari jumlah responden perempuan dengan perbandingan 72 orang (72%) dengan
28 orang (28%). Dominasi responden laki-laki dikarenakan pada umumnya kepala
keluarga (pengambil keputusan) dalam suatu rumah tangga adalah laki-laki
sehingga untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam survei, laki-laki lebih
berperan.
5.2.2 Usia
Usia berdasarkan hasil kuesioner pada tabel 5.1 terlihat bahwa responden
paling banyak berada pada usia 37-42 tahun yaitu sebanyak 49 responden dan
responden paling sedikit berada pada usia 49-54 tahun ada 4 orang. Usia menjadi
faktor yang menentukan pola pikir seseorang dalam menentukan jenis barang dan
jasa yang akan dikonsumsi, termasuk keputusan untuk membayar biaya yang
dikeluarkan terhadap keberadaan TPS. Jadi, secara tidak langsung usia akan turut
mempengaruhi besarnya Willingness to Pay (WTP) dan Willingness to Accept
(WTA) terhadap keberadaan TPS Ciwastra.
Menurut Sylvia Amanda (2009) dari WTP Pengunjung Objek Wisata
Danau Situgede dalam Upaya pelestarian Lingkungan, umur berpengaruh
terhadap kesediaan membayar masyarakat. Semakin tinggi tingkat usia responden
maka semakin besar pula kecenderungan peluang responden untuk bersedia
membayar. Hal tersebut dikarenakan semakin tinggi tingkat usia responden maka
kesadaran akan lingkungan pun akan jauh lebih baik.
5.2.3 Pendidikan
Pengelompokkan responden menurut tingkat pendidikannya terdiiri atas
enam kelompok yaitu SD/Sederajat, SMP/Sederajat, SLTA/Sederajat, Diploma,
Sarjana, dan lain-lain. Selengkapnya tingkat pendidikan responden dapat dilihat
pada gambar 5.2.
5.2.4 Pekerjaan
Pekerjaan responden di daerah penelitian cukup bervariasi. Gambar 5.3
menunjukan bahwa pekerjaan responden paling banyak adalah Pegawai Swasta.
V-4
5.2.5 Pendapatan
Dari tabel 5.2 dapat dilihat bahwa pendapatan responden yang paling besar
adalah > Rp 3.000.000 – Rp 4.000.000 yaitu 33 orang, sedangkan pendapatan
responden yang paling kecil adalah > Rp 0 – Rp 1.000.000 dan > Rp 5.000.000 –
Rp 6.000.000 yaitu sebanyak 2 orang. Pendapatan sebagai variabel ekonomi erat
kaitannya dengan kemampuan ekonomi masyarakat dalam membayar biaya
pengelolaan sampah sehari-hari. Asumsi yang berlaku adalah semakin tinggi
pendapatan responden maka semakin besar pula nilai WTP yang akan dibayarkan
oleh responden tersebut (Simanjuntak,2009). Gita Herdiani (2009) menunjukkan
bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi kemampuan ekonominya
V-5
sehingga semakin tinggi kemampuan dan kesempatan individu untuk dapat dan
bersedia membayar biaya perbaikan lingkungan. Selengkapnya tingkat
pendapatan responden dapat dilihat pada tabel 5.2.
sesudah keberadaan TPS tidak terlalu berbeda, yaitu sebelum keberadaan TPS
bernilai 3,45 yang berarti bahwa persepsi responden terhadap kebersihan
lingkungan tergolong netral atau biasa saja mengenai kebersihan lingkungan
sebelum adanya TPS, sedangkan setelah keberadaan TPS bernilai 3,69 yang
berarti persepsi responden setuju bahwa keberadaan TPS membuat lingkungan
menjadi bersih.
Berdasarkan Tabel 5.4 nilai persepsi responden terhadap kenyamanan
tempat tinggal sebelum keberadaan TPS yaitu bernilai 3,46 yang berarti bahwa
responden beranggapan bahwa sebelum keberadaan TPS tempat tinggal mereka
dikategorikan netral atau biasa saja terhadap kenyamanan tempat tinggal sebelum
TPS ada. Sedangkan nilai persepsi responden sesudah keberadaan TPS bernilai
3,61 yang berarti responden beranggapan bahwa kenyamanan tempat tinggal
sesudah keberadaan TPS bisa dikategorikan setuju atau dengan kata lain nyaman
dengan keberadaan TPS. Namun menurut sebagian responden mengatakan bahwa
terdapat dampak yang dirasakan dari keberadaan TPS adalah timbulnya
pencemaran udara, terganggunya aktivitas kegiatan masyarakat, pencemaran bau
serta berkembangnya bibit penyakit yang bersumber dari lalat. Hal ini
menyebabkan ketidaknyamanan masyarakat yang tinggal di sekitar TPS. Selain
dari segi ketidaknyamanan lingkungan yang merugikan masyarakat, dari segi
ekonomi masyarakat juga merasa dirugikan karena harus mengeluarkan biaya
lebih untuk mengatasi ketidaknyamanan ini, yaitu seperti membeli semprotan
pengusir lalat, semprotan penghilang bau dan lainnya.
Berdasarkan Tabel 5.4 hasil perbandingan penilaian rata-rata dari persepsi
terhadap kebersihan lingkungan dan kenyamanan tempat tinggal, dapat
disimpulkan bahwa persepsi responden terhadap kondisi lingkungan setelah
keberadaan TPS lebih baik di bandingkan kondisi lingkungan sebelum keberadaan
TPS. Hal ini merupakan persepsi dari responden bahwa setelah keberadaan TPS di
lingkungan Mekarjaya bersih, masyarakat merasa nyaman untuk tinggal. Namun
masih terdapat pencemaran udara, aktivitas kegiatan masyarakat terganggu, dan
pencemaran bau setelah keberadaan TPS.
V-11
Berdasarkan Tabel 5.5 dari 16 responden dengan lama tinggal paling lama
menunjukkan bahwa perbandingan nilai persepsi rata-rata responden terhadap
kebersihan lingkungan sebelum dan sesudah keberadaan TPS tidak terlalu
berbeda, yaitu sebelum keberadaan TPS bernilai 3,68 yang berarti bahwa persepsi
responden setuju mengenai kebersihan lingkungan sebelum adanya TPS,
sedangkan setelah keberadaan TPS bernilai 3,81 yang berarti persepsi responden
setuju bahwa keberadaan TPS membuat lingkungan menjadi bersih. Dari hasil
tersebut responden dengan lama tinggal paling lama, bahwa kebersihan
lingkungan sebelum dan setelah TPS tetap bersih.
Berdasarkan Tabel 5.5 nilai persepsi responden terhadap kenyamanan
tempat tinggal sebelum keberadaan TPS yaitu bernilai 3,31 yang berarti bahwa
responden beranggapan bahwa sebelum keberadaan TPS tempat tinggal mereka
dikategorikan netral atau biasa saja terhadap kenyamanan tempat tinggal sebelum
TPS ada. Sedangkan nilai persepsi responden sesudah keberadaan TPS bernilai
3,81 yang berarti responden beranggapan bahwa kenyamanan tempat tinggal
sesudah keberadaan TPS bisa dikategorikan setuju atau dengan kata lain nyaman
dengan keberadaan TPS. Namun menurut responden mengatakan bahwa terdapat
dampak yang dirasakan dari keberadaan TPS adalah timbulnya pencemaran udara,
terganggunya aktivitas kegiatan masyarakat, pencemaran bau serta
berkembangnya bibit penyakit yang bersumber dari lalat. Hal ini menyebabkan
ketidaknyamanan masyarakat yang tinggal di sekitar TPS. Selain dari segi
ketidaknyamanan lingkungan yang merugikan masyarakat, dari segi ekonomi
masyarakat juga merasa dirugikan karena harus mengeluarkan biaya lebih untuk
mengatasi ketidaknyamanan ini, yaitu seperti membeli semprotan pengusir lalat,
semprotan penghilang bau dan lainnya.
V-12
lingkungan dari keberadaan TPS yang memberikan dampak positif dan negatif.
Umumnya responden mengeluarkan biaya untuk membayar atas keberadaan TPS
yang rendah karena dilihat dari jumlah pendapatan responden. Jika semakin tinggi
pendapatan responden maka semakin besar pula nilai WTP yang dikeluarakan
oleh responden (Simanjuntak,2009).
Dimana :
EWTP = Dugaan rataan WTP
Wi = Nilai WTP ke-i
Pfi = Frekuensi Relatif
n = Jumlah responden
i = Responden ke-i yang bersedia melakukan pembayaran jasa lingkungan
Nilai Wi (WTP ke-i) yang didapat dikali oleh fruekuensi relatif untuk
mendapatkan dugaan nilai rataan WTP responden seperti contoh perhitungan
berikut ini.
EWTP = ∑ WiPfi
EWTP = 2000 x 0,14
= Rp 280,- /bulan
WTP (Rp)
WTP y = 44.583x + 185.73
R² = 0.723
2500
2000
1500
WTP
1000 Linear (WTP)
500
0 Responden
0 10 20 30 40 50 (orang)
Jumlah WTP (Rp) dalam Gambar 5.8 menunjukkan jumlah WTP yang
dikeluarkan oleh responden untuk membayar jasa lingkungan dari keberadaan
TPS Ciwastra. Sehingga, kurva WTP di atas menggambarkan bahwa semakin
rendah nilai WTP dari suatu jasa lingkungan TPS, maka jumlah responden yang
mau membayar WTP semakin banyak.
Berdasarkan dugaan kurva tawaran WTP dapat dihitung surplus
konsumen yang akan diperoleh masyarakat. Surplus konsumen adalah
surplus/kelebihan yang diterima responden karena nilai WTP yang dibayarkan
lebih tinggi dari pada nilai WTP rata-ratanya.
Hasil dari WTP rata-rata yang dikeluarkan oleh masyarakat sebesar Rp
7.455,-/KK/bulan, sehingga diperoleh rata-rata surplus konsumen yang diterima
responden sebesar Rp 230.990,- KK/bulan. Nilai surplus konsumen ini
menunjukkan surplus/kelebihan yang diterima responden karena nilai WTP yang
diinginkan lebih tinggi dari nilai WTP rata-rata. Adapun perhitungan surplus
konsumen dapat dilihat pada Lampiran 1.
SK = Σ (WTPi – P) dimana WTPi > P
SK = 10.000 – 7.455
= Rp 2.545,- KK/bulan
V-17
Dimana :
SK = Surplus Konsumen
WTPi = WTP responden ke-i
P = WTP rata-rata
Dimana:
TWTP = Total WTP
WTPi = WTP individu sampel ke-i
Ni = Jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar sebesar WTP
N = Jumlah sampel
P = Jumlah populasi
I = Responden ke-i yang bersedia membayar pembayaran jasa lingkungan
Nilai WTPi (WTP individu sampel ke-i) yang didapat dikali oleh hasil dari
pembagian Ni (jumlah sampel WTP ke-i) dengan N (jumlah sampel) kemudian
dikalikan dengan jumlah populasi untuk mendapatkan total WTP responden
seperti contoh perhitungan berikut ini.
𝑛𝑖
TWTP = ∑𝑛𝑖 𝑊𝑇𝑃𝑖 ( 𝑁) P
14
TWTP = 2000 x 𝑥 4070
100
= Rp 1.139.600,- / bulan
Dimana :
EWTA = Dugaan rataan WTA
Wi = Nilai WTA ke-i
Pfi = Frekuensi Relatif
n = Jumlah responden
i = Responden ke-i yang bersedia melakukan pembayaran jasa lingkungan
40000
20000
0
0 5 10 15 20 25 Responden (Orang)
Jumlah WTA (Rp) dalam Gambar 5.9 menunjukkan jumlah WTA yang
diinginkan oleh responden untuk menerima kompensasi dari jasa suatu
lingkungan TPS Ciwastra. Sehingga, kurva WTA di atas menggambarkan bahwa
semakin tinggi nilai WTA yang diinginkan oleh responden dari suatu jasa
lingkungan maka jumlah responden yang menginginkan semakin banyak.
Berdasarkan dugaan kurva tawaran WTA dapat dihitung surplus
konsumen yang akan diperoleh masyarakat. Surplus konsumen adalah
surplus/kelebihan yang diterima responden karena nilai WTA yang diinginkan
lebih tinggi dari pada nilai WTA rata-ratanya
Hasil dari WTA rata-rata yang diterima oleh responden sebesar Rp
718.500,-/KK/bulan, sehingga diperoleh rata-rata surplus konsumen yang diterima
responden sebesar Rp 6.027.000,- KK/bulan. Nilai surplus konsumen ini
menunjukkan surplus/kelebihan yang diterima responden karena nilai WTA yang
diinginkan lebih tinggi dari nilai WTA rata-rata Adapun perhitungan surplus
konsumen dapat dilihat pada Lampiran 1.
SK = Σ (WTAi – P) dimana WTAi > P
SK = 750.000 – 718.500
= Rp 31.500,- KK/bulan
Dimana :
SK = Surplus Konsumen
WTAi = WTA responden ke-i
P = WTA rata-rata
Dimana:
TWTA = Total WTA
WTAi = WTA individu sampel ke-i
V-23
Nilai WTAi (WTA individu sampel ke-i) yang didapat dikali oleh hasil
dari pembagian Ni (jumlah sampel WTP ke-i) dengan N (jumlah sampel)
kemudian dikalikan dengan jumlah populasi untuk mendapatkan total WTA
responden.
Nilai rata-rata WTA responden sebesar Rp 718.500,-/KK/bulan dari total
WTA (TWTA) sebesar Rp 2.918.190.000,-/bulan. Nilai total WTA ini
menunjukkan total dari keseluruhan nilai WTA atas keinginan responden untuk
menerima dana kompensasi dari keberadaan TPS per bulan. Adapun contoh
perhitungan total WTA responden berikut ini.
V-24
𝑛𝑖
TWTA = ∑𝑛𝑖 𝑊𝑇𝐴𝑖 ( 𝑁) P
1
TWTP = 250.000 x 𝑥 4070
100
= Rp 10.175.000,- / bulan
grafik probability plot adalah sebaran data mudah untuk dibaca. Berikut ini adalah
hasil uji normalitas pada penelitian ini:
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa titik-titik data berada pada
mendekati, atau mengikuti garis diagonal pada grafik p-plot. Artinya, data pada
penelitian ini memenuhi asumsi normalitas data. Namun pada grafik tersebut
masih terlihat varians data yang sedikit menyebar dari garis diagonal, sehingga
memerlukan uji heteroskedastisitas untuk mengetahui varians data.
dari nilai tolerance atau Variance Inflation Factor (VIF). Multikolinearitas terjadi
ketika nilai tolerance <0,1 dan nilai VIF>10. Berikut ini adalah hasil pengujian
multikolinearitas pada penelitian ini:
5.7.2 Uji F
Uji F menunjukkan seberapa besar pengaruh variabel bebas secara
bersama-sama terhadap variabel terikat (Ghozali, 2011). Uji F pada penelitian ini
didapat dengan membandingkan antara nilai F tabel dan F hitung serta nilai sig
dari uji F. Pengaruh dikatakan siginifikan jika nilai F hitung berada didaerah
penolakan H0 dan nilai signifikansi uji F < 0,05 (Wijaya, 2010). Sedangkan nilai F
tabel menggunakan Excel dengan fungsi = FINV (probability, degree of freedom
1, degree of freedom 2). Nilai probability yang digunakan adalah 5%, rumus dari
degree of freedom 1 adalah k (jumlah variabel bebas) dikurangi 1, sedangkan
rumus dari degree of freedom 2 adalah n (jumlah observasi) dikurangi variabel
bebas. Maka nilai F tabel adalah 3,09.
Berdasarkan tabel di atas diketahui nilai sig > 0,05 yaitu sebesar 0,142.
Artinya variabel pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan secara simultan
V-30
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel WTP. Sedangkan letak dari
F hitung pada F tabel adalah:
5.7.3 Uji t
Uji t menunjukkan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat
secara parsial atau sendiri-sendiri (Wijaya, 2010). Uji t pada penelitian ini didapat
dengan membandingkan antara nilai t tabel dan t hitung serta nilai sig dari uji t.
Pengaruh dikatakan signifikan jika nilai t hitung berada di daerah penolakan H0
dan nilai signifikansi uji t < 0,05 (Wijaya, 2010). Sedangkan nilai t tabel
menggunakan Excel dengan fungsi = TINV (probability, degree of freedom 1).
Nilai degree of freedom 1 didapatkan dari rumus n(jumlah observasi) dikurangi
k(variabel bebas). Maka nilai t tabel adalah 1,984.
V-31
Berdasarkan tabel di atas diketahui semua nilai sig variabel bebas > 0,05.
Artinya variabel pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan secara parsial
ridak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel WTP. Sedangkan letak dari
t hitung pada t tabel adalah:
Artinya:
a. Nilai 46,5 adalah nilai konstanta. Konstanta adalah nilai tetap yang tanpa
melibatkan tingkat pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan WTP
individu akan sebesar 46,5.
b. -0,028. Artinya pendidikan berkorelasi negatif terhadap WTP sebesar
2,8%. Korelasi negative menandakan hubungan yang bersifat paradoks,
yaitu jika tingkat pendidikan mengalami meningkat akan menyebabkan
WTP individu menjadi menurun, sebaliknya jika tingkat pendidikan
menurun akan menyebabkan WTP individu menjadi menurun.
c. -0,190. Artinya pendapatan berkorelasi negatif terhadap WTP sebesar
19%. Korelasi negative menandakan hubungan bersifat paradoks, yaitu
jika pendapatan semakin besar akan membuat WTP individu menjadi
menurun. Sebaliknya jika pendapatan individu semakin menurun akan
membuat WTP individu menjadi naik.
d. 0,092. Artinya jumlah tanggungan berkorelasi positif terhadap WTP
sebesar 9,2%. Korelasi positif menandakan hubungan bersifat searah, yaitu
V-34