Anda di halaman 1dari 27

SEMINAR AKUNTANSI

MAKALAH

ISU-ISU ISLAMIC ACCOUNTING,BANKING,& AUDIT ACCOUNTING

DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD SUKRI MARSUDI

MUHAMMAD TATA MUSTHAJID

MUHAMMAD VIKRY SYAIFULLAH

MULYADI

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

FAKULTAS EKONOMI

AKUNTANSI S1

2018
LATAR BELAKANG MASALAH

A.ISU-ISU ISLAMIC ACCOUNTING

Perkembangan ekonomi dan bisnis berbasis Islam tumbuh dengan subur di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa akuntansi syariah yang merupakan produk ekonomi Islam sudah
banyak dikenal di masyarakat dan kalangan pebisnis di Indonesia. Ekonomi Islam sendiri
muncul di berbagai negara yang berideologi Islam dan separo lebih penduduknya muslim,
termasuk Indonesia.
Menurut Dimyati (2007) kehadiran ekonomi Islam ini merupakan suatu langkah yang
digunakan untuk melepaskan diri dari jeratan kapitalisme dan sosialisme. Sistem ekonomi ini
menawarkan konsep ekonomi relijius yang merujuk pada dua sumber hukum Islam yaitu al-
Qur’an dan as-Sunnah. Itulah sebabnya seringkali sistem ekonomi tersebut disebut ekonomi
syari’ah atau ekonomi al-Qur‘an. Faktanya, kedua hukum Islam tersebut tidak pernah benar-
benar digunakan sebagai landasan dalam merumuskan konsep epistemologis ekonomi Islam
itu sendiri melainkan fiqh yang “sekedar” rasionalisasi kreatif ulama yang dijadikan sebagai
acuan utamanya. Selain itu, ekonomi Islam banyak mengadopsi begitu saja teori-teori yang
ada dalam ekonomi konvensional dengan melakukan penyesuaian atau dipaksakan dengan
melakukan sedikit penyesuaian atau dipaksakan agar sesuai dengan ayat atau hadis tertentu.
Kalaupun ada ayat atau hadis yang dijadikan sebagai dasar hukum bagi suatu model transaksi
atau praktek ekonomi yang dianggap islam, pembacaan sistematis dan kritis yang memenuhi
prinsip-prinsip interpretasi yang valid tidak dilakukan terlebih dahulu. Akibatnya, apa yang
disebut dengan ekonomi Islam tidak lebih dari kumpulan teori ekonomi konvensional plus al-
Qur’an dan as-Sunnah.
Menurut Suwiknyo (2007) metodologi akuntansi syariah yang sedang berkembang
dewasa ini terbagi menjadi dua kubu yang memiliki pendekatan yang berbeda dalam
merumuskan akuntansi syariah. Satu kubu berusaha keras merumuskan akuntansi syariah dari
basis keilmuan yang dimiliki Islam sedangkan kubu yang lain menghendaki perumusan
akuntansi syariah yang berangkat dari kerangka akuntansi konvensional.
Padahal, menurut Muhammad (2004) aspek-aspek akuntansi konvensional tidak dapat
diterapkan pada lembaga yang menggunakan prinsip-prinsip Islam baik dari implikasi
akuntansi maupun akibat ekonomi. Hal yang sama juga diargumentasikan oleh Gambling dan
Karim (1991 dalam IAI, 2008) berargumentasi bahwa konsep income ekonomi tak bisa
diterima dalam perspektif Islam karena hal-hal yang tak bisa diterima itu begitu fundamental
bagi teori deduktif Barat. Misalnya, model tingkat ekonomi pengembalian modal (economic
rate of return on capital) yang membentuk basis bagi kalkulasi pendapatan di muka dengan
asumsi bahwa uang punya nilai waktu, yang dinyatakan Gambling dan Karim sebagai hal
yang tak ada dalam Islam. Atas dasar ini, bagian dari teori akunting deduktif yang
berlandasan teori ekonomi konvensional tampak bukan sebagai model yang cocok untuk
menciptakan teori akuntansi Islam.
Menurut AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial
Institutions) dalam Majalah Akuntan Indonesia (2008) sejak 1996 mereka telah menerapkan
pendekatan yang mengkomparasikan sasaran-sasaran yang ada dalam akuntansi kontemporer
dan akuntansi syariah, apabila tidak sejalan tinggalkan. Lembaga ini berpendapat bahwa cara
itu konsisten dengan prinsip-prinsip Islam lebih luas bahwa suatu pandangan tak selalu
memerlukan konsep yang mesti diambil dari Syariah. Dengan demikian, konsep informasi
akuntansi berguna, seperti relevansi dan reliabilitas, bisa begitu saja dimasukkan dalam
praktek akuntansi Islami oleh AAOIFI.
Pendekatan yang dilakukan AAOIFI ini mungkin bisa digunakan, namun faktanya
sangat sulit untuk menyatukan dua hal yang berbeda dengan kerangka konseptual yang
berbeda. Oleh karena itu, perlu adanya standar akuntansi yang berbeda untuk akuntansi
syariah ini. Standar akuntansi ini juga didorong oleh kebutuhan rasionalitas kerangka
konseptual akuntansi syariah yang lebih baik lagi.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sejauh ini telah menerbitkan enam standar terkait
dengan akuntansi syariah, yaitu PSAK 101 (penyajian dan pengungkapan laporan keuangan
entitas syariah), PSAK 102 (murabahah), PSAK 103 (salam), PSAK 104 (istishna), PSAK
105 (mudharabah) dan PSAK 106 (musyarakah). Berdasarkan Exposure Draft Kerangka
Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, kerangka dasar ini menyajikan
konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi para penggunanya.
Namun tampaknya adanya standar ini pun tidak membuat pihak-pihak berkepentingan lantas
merasa puas dengan standar ini. Masih terdapat banyak kebimbangan dan ketakutan dalam
mengaplikasikan akuntansi syariah ini. Sementara masalah ini belum terselesaikan, akuntansi
syariah ini juga dihadapkan dengan konvergensi International Financial Reporting Standards
(IFRS) pada standar akuntansi Indonesia.
Menurut Rosita Uli Sinaga, Ketua Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI dalam
seminar FKSPI “IFRS for Auditor” (2011), latar belakang konvergensi IFRS di Indonesia
adalah pengakuan IFRS sebagai standar akuntansi global yang telah digunakan lebih dari 100
negara dan kurang lebih 40% negara-negara global Fortune 500 dan adanya izin yang
diberikan pada emiten dari luar US untuk menggunakan laporan keuangan berbasis IFRS oleh
US SEC pada akhir 2007. Selain itu, konvergensi IFRS ini juga dilatarbelakangi oleh adanya
komitmen dari G-20 Member September 2009 yang lalu untuk melengkapi detail masalah
instrumen keuangan, off-balance sheet item, pengadaan (termasuk ketentuan pinjaman rugi),
dan penilaian gangguan pada akhir 2009 untuk melipatgandakan upaya mereka untuk
mencapai satu set berkualitas tinggi, standar akuntansi global dalam konteks penetapan
standar independen mereka yaitu mengkonvergensi dan menyelesaikan proyek pada Juni
2011. Target Konvergensi IFRS 2012 di Indonesia adalah merevisi PSAK agar secara
signifikan sesuai dengan IFRS per 1 Januari 2009, yang akan efektif pada 2011 atau 2012.
Dalam mencapai target tersebut DSAK IAI menggunakan pendekatan bertahap sehingga pada
tahun 2012 laporan keuangan berdasarkan SAK tidak memerlukan rekonsiliasi signifikan
dengan laporan keuangan berbasis IFRS. Mulai tahun 2008 – 2012 PSAK berbasis industri
sebagian besar dicabut karena IFRS berbasis transaksi.
Konvergensi IFRS ini juga menimbulkan munculnya berbagai isu-isu terkait
akuntansi syariah. Isu-isu ini diteliti oleh sebuah kelompok kerja yang mengurusi masalah
konvergensi IFRS di Asia yaitu Asian-Oceanian Standard Setters Group (AOSSG).
Kelompok ini kemudian menuangkan isu-isu akuntansi tersebut dalam sebuah Research
Paper yang telah dipublikasikan pada bulan September 2010 yang lalu. Isu-isu ini nantinya
diharapkan berguna dalam menyusun sebuah kerangka konseptual yang lebih baik, sehingga
nantinya akan menyesuaikan standar sesuai dengan kondisi yang relevan di Indonesia pada
saat konvergensi IFRS. Makalah ini akan membahas mengenai berbagai isu standarisasi yang
muncul terkait konvergensi IFRS di Indonesia yang mengacu pada Research Paper dari
AOSSG tersebut.
B.ISU-ISU BANKING

Masalah Perbankan di Indonesia Saat Ini -Masalah perbankan kini semakin hangat
saja diberitakan oleh berbagai media. Meskipun dunia perbankan telah lama hadir di
Indonesia dan hampir semua masyarakat Indonesia sering berhubungan dengan bank, tetap
saja masalah perbankan tak habis-habisnya menghantui semua pihak. Apa sebenarnya yang
menyebabkan masalah perbankan ini selalu muncul? Apa saja jenis-jenis masalah tersebut?
Siapa yang salah dalam hal ini? Pihak bank, pemerintah, atau para nasabah?

C.ISU-ISU AUDIT ACCOUNTING

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia sangatlah baik. Adanya perbedaan


antara teori dan praktik pada perbankan syariah menyebabkan laporan atau opini Dewan
Pengawas Syariah yang dilampirkan dalam laporan keuangan bank syariah belum mampu
menjawab rasa penasaran masyarakat dan meyakinkan masyarakat terhadap bank syariah
apakah sudah sesuai dengan syariah. Tidak mengertinya masyarakat terhadap informasi
tentang kepatuhan syariah (shari’a compliance) menyebabkan semakin runcing perdebatan
tentang aspek kepatuhan syariah di bank syariah saat ini.
PEMBAHASAN

A. ISU ISLAMIC ACCOUNTING

Akuntansi untuk Transaksi Keuangan Syariah


Bangkitnya sistem akuntansi syariah dilatarbelakangi oleh banyaknya transaksi
keuangan dengan dasar syariah, baik yang dilakukan lembaga bisnis syariah maupun non
syariah. Hal tersebut menyebabkan perlunya pengaturan atau standar untuk pencatatan,
pengukuran, maupun penyajian sehingga para praktisi dan pengguna keuangan mempunyai
standar yang sama dalam akuntansi (IAI, 2008).
Transaksi keuangan syariah terbentur oleh permasalahan basis akrual dan kas yang
syariah. Menurut Zainulbahar Noor (IAI, 2008) sistem akuntansi konvensional yang berbasis
akrual terbukti mengalami banyak kegagalan, terutama mendorong para akuntan lebih jujur
dan adil, sehinggga dianggap melanggar syariah. Sistem berbasis akrual itu telah mengakui
adanya pendapatan yang terjadi di masa yang akan datang, padahal syariah Islam melarang
untuk mengakui suatu pendapatan yang sifatnya belum pasti. Hal ini disebabkan karena
dalam QS Al-Baqarah:225 masa yang akan datang adalah kekuasaan dan wewenang Allah
sepenuhnya untuk mengetahuinya.
Lain halnya dengan pendapat Ellya (IAI, 2008) yang mengatakan dasar akrual adalah
suatu proses akuntansi untuk mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan non kas. Sistem
berbasis akrual digunakan untuk mengakui adanya pendapatan dan atau peningkatan aktiva
yang akan diterima di masa yang akan datang pada saat transaksi tersebut terjadi. Misalnya,
sebuah perusahaan melakukan penjualan secara kredit, maka perusahaan tersebut akan
mencatat adanya piutang (hak perusahaan tersebut terhadap pembeli yang akan diterima di
masa yang akan datang) dan beliau juga meyakini bahwa model ini tidak bertentangan
dengan kaidah di dalam Islam.
Pro dan kontra transaksi keuangan tersebut nampaknya menimbulkan dilema bagi
para pembuat standar bukan hanya di Indonesia tapi juga di negara ASEAN yang lain.
Menanggapi dilema tersebut Asean-Oceanic Standard Setter Group (AOSSG) dalam
Research Paper-nya tahun 2010 mengatakan bahwa transaksi keuangan Islam banyak
menggunakan kontrak, pengaturan, dan dalam bentuk hukum yang sangat berbeda dari
banyak transaksi yang biasa, sehingga timbul pertanyaan apakah standar akuntansi yang ada
saat ini cukup bisa diggunakan untuk transaksi Islam, atau apakah transaksi itu begitu unik
sehingga membuat beberapa bentuk lain dari kerangka akuntansi akan diperlukan. Belum lagi
menjawab sebuah pertanyaan apakah standar internasional IFRS ini dapat mengatasi masalah
ini atau malah justru semakin membebani teori akuntansi syariah yang diterapkan saat ini.
Transaksi keuangan syariah di beberapa negara termasuk Indonesia sendiri diyakini
oleh AOSSG (2010, para 14) dapat dipertanggungjawabkan menggunakan IFRS di satu sisi
secara umum, namun menurut sisi yang lain ada beberapa orang yang percaya bahwa
dibutuhkan standar akuntansi terpisah yang diwajibkan untuk melaporkan transaksi keuangan
Islam. Lagi-lagi dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dari berbagai pihak yang
kemudian dirinci oleh AOSSG (2010, para 15) sebagai berikut:
1. Time Value-for-Money
Berbagai pihak yang percaya bahwa tidak pantas untuk mencerminkan nilai waktu dari
uang dalam pelaporan transaksi keuangan Islam apabila tidak ada bunga yang dibebankan
atau dikeluarkan dalam transaksi tersebut. Namun, beberapa pihak membantah bahwa ada
suatu konsep sebagai nilai waktu uang. Sebaliknya, yang lain percaya bahwa meskipun
bunga pengisian pada pinjaman dilarang, namun dapat sedikit berdampak pada
pembiayaan transaksi, dan akan memberikan informasi yang akan menguntungkan
pengguna.

2. Substansi Mengungguli Bentuk


Ada orang yang percaya bahwa pengakuan dan pengukuran dari transaksi keuangan Islam
harus memberikan keunggulan untuk bentuk hukumnya sebagai pembeda dari setara
konvensional dirasakan. Seorang penulis bahkan mengklaim bahwa substansi
mengungguli bentuk adalah ‘pelanggaran terang-terangan Syariah’. Sebaliknya, yang lain
percaya bahwa hal itu dapat diterima, dan akan mendapat manfaat lebih banyak pengguna,
untuk menunjukkan substansi ekonomi dari transaksi keuangan Islam, dan informasi
tentang bentuk hukum dapat diturunkan ke catatan atas laporan keuangan.Sebagai contoh,
banyak transaksi keuangan Islam didasarkan pada penjualan. Terdapat argumen bahwa
hasil dari transaksi tersebut harus dicatat sebagai pendapatan dari penjualan barang.
Namun, dalam banyak kasus, pembayaran untuk item yang dijual adalah ditangguhkan.
Berdasarkan IAS 18 ayat 9, pendapatan pada penjualan barang diukur pada nilai wajar
imbalan yang diterima atau receivable. Ketika pembayaran untuk item ditangguhkan, nilai
wajar dari imbalan tersebut mungkin kurang dari jumlah nominal dari kas yang diterima
atau piutang. Entah sengaja atau dengan desain, efek ekonomi dari penjualan erat mungkin
menyerupai transaksi pembiayaan. Dalam keadaan seperti itu, IAS 18 akan memerlukan
perbedaan antara nilai wajar dan jumlah nominal mempertimbangkan untuk diakui sebagai
revenue (IAS 18 ayat 11) bunga.
Perbedaan pendapat tersebut menunjukkan bahwa pihak-pihak ini terbagi menjadi dua
kubu yang berbeda dalam memandang standar dan akuntansi syariah, yaitu dari sisi agama
dan sisi akuntansi konvensional. Bagaimanapun juga, menurut AOSSG (2010)
penggunaan istilah ‘Islam’ untuk menggambarkan standar tidak berarti bahwa mereka
secara universal diterima di seluruh yurisdiksi negara yang berpenduduk mayoritas
Muslim, atau bahwa secara seragam diterapkan ke semua transaksi keuangan Islam.
AOSSG (2010) juga menunjukkan bahwa ada dua negara yang telah menghasilkan standar
akuntansi Islam sendiri yaitu Pakistan dan Indonesia. ICAP Pakistan telah menghasilkan
dua Standar Akuntansi Syariah Keuangan (IFA), yaitu IFA 1 Murabahah dan IFA 2 Ijarah.
Demikian juga, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah membentuk Dewan Standar
Akuntansi Syariah yang merumuskan standar untuk transaksi keuangan sesuai Syariah.
Untuk saat ini, IAI telah mengeluarkan kerangka untuk persiapan dan penyajian Syariah
pada laporan keuangan dan delapan standar akuntansi syariah (kemudian disebut PSAK)
yaitu PSAK 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah, PSAK 102 Akuntansi Murabahah,
PSAK 103 Akuntansi Salam, PSAK 104 Akuntansi Istishna untuk, PSAK 105 Akuntansi
Mudarabah, PSAK 106 Akuntansi Musyarakah, PSAK 107 Akuntansi Ijarah dan PSAK
108 Transaksi Syariah Asuransi. Persyaratan standar akuntansi Islam yang dikeluarkan
oleh ICAP dan IAI didasarkan sebagian pada AAOIFI. Banyak PSAK yang dikeluarkan
oleh AAOIFI tampaknya tidak bertentangan dengan IFRS melainkan hanya persyaratan
untuk pengungkapan tambahan atau presentasi. Perbedaan antara kebutuhan beberapa FAS
AAOIFI dan orang-orang dari IFRS mungkin sebagian dijelaskan oleh penolakan AAOIFI
terhadap nilai waktu dari uang, sebagaimana dinyatakan dalam Pernyataan FAS 2 yaitu
Konsep Akuntansi Keuangan Islam Bank dan Lembaga Keuangan seperti yang dikutip
dalam Research Paper AOSSG (2010:10) ini:
“… [Konsep yang digunakan dalam akuntansi keuangan tradisional, tetapi tidak konsisten
dengan syariat Islam] adalah ditolak atau dimodifikasi secukupnya untuk mematuhi syariat
dalam rangka untuk membuat mereka berguna. Sebuah contoh dari konsep tersebut adalah
nilai waktu dari uang sebagai atribut pengukuran “(ayat 7); dan
“… Memang, uang tidak memiliki waktu-nilai selain dari nilai barang yang sedang
dipertukarkan melalui penggunaan uang, sesuai dengan syariat. … “(Ayat 8). Selain itu,
AAOIFI nampaknya ambigu tentang pandangan pada substansi mengungguli bentuk.
Dalam ayat 111 dari SFA 2, tampaknya mendukung konsep dengan menyatakan: “…
Kehandalan berarti bahwa berdasarkan semua keadaan khusus seputar transaksi atau
peristiwa tertentu, metode yang dipilih untuk mengukur dan/atau mengungkapkan efek
menghasilkan informasi yang mencerminkan substansi dari peristiwa atau transaksi.”
Namun, standar pada Ijarah memerlukan sewa dengan pembelian atau pengaturan transfer
harus diperlakukan sebagai sewa operasi diikuti oleh penjualan dengan keuntungan atau
kerugian pembuangan, sedangkan pengaturan seperti itu kemungkinan besar akan
diperlakukan sebagai sewa pembiayaan dalam akuntansi yang berlaku umum prinsip-
prinsip. Persyaratan seperti itu mungkin menyarankan mendukung bentuk atas substansi
transaksi.
Dengan demikian, kembali lagi pada sebuah pertanyaan apakah IFRS dapat digunakan
pada transaksi keuangan syariah dengan melihat adanya penolakan dari AAOIFI ini?

Konvergensi IFRS pada Transaksi Keuangan Syariah di Indonesia


Penolakan AAOIFI terhadap beberapa tujuan, konsep, dan standar yang ada pada
IFRS didasarkan pada aplikasi penentu standar yang berbeda dengan pendekatan yang sama.
Hal ini mungkin akan terbantahkan dengan fakta penerapan Malaysia Accounting Standard
Board (MASB).
MASB yang berani menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip pelaporan keuangan dalam
IFRS tidak bertentangan dengan syariah, dan pelaporan keuangan adalah fungsi pencatatan
yang akan tidak menyucikan atau membatalkan keabsahan transaksi Syariah. Para MASB
juga menyimpulkan bahwa perbedaan utama antara pelaporan keuangan transaksi keuangan
Islam dan konvensional komparatif mereka bukan pada pengakuan dan pengukuran, namun
sejauh mana informasi yang harus diberikan kepada pengguna. MASB menganggap bahwa
pengizinan untuk melaporkan transaksi sesuai syariah berdasarkan IFRS tidak hanya akan
membersihkan hati nurani pemangku kepentingan muslim, tetapi juga akan membawa
manfaat praktis juga. Sebuah entitas pelapor akan terhindar dari kesulitan pelaporan di bawah
kerangka kerja yang berbeda. Selain itu, akan menghilangkan peluang arbitrase apapun yang
mungkin timbul dari perbedaan dalam perawatan akuntansi dan karena banyak yurisdiksi
telah mencapai berbagai tonggak konvergensi dengan IFRS, pandangan ini akan
memungkinkan mereka untuk terus di jalan itu dengan gangguan minimal (AOSSG, 2010).
Namun nampaknya tidak demikian dengan Indonesia. Staf IAI setuju dengan
penolakan yang diungkap di dalam FAS 2 AAOIFI mengenai persyaratan paragraf 29-30 dari
IAS 18 adalah tidak bisa diterapkan pada transaksi Murabahah dalam yurisdiksinya. Mereka
menyatakannya dalam Research Paper AOSSG (2010:13):
“… Menurut syariah fatwa di Indonesia, penjualan murabahah barang tidak dapat
diperhitungkan sebagai penjualan dan transaksi pembiayaan, karena ini jenis transaksi harus
diperlakukan sebagai transaksi penjualan. Oleh karena itu, pengakuan (pembiayaan) efek
dibentuk suku bunga efektif tidak boleh digunakan “;
“Pembiayaan Islam berdasarkan kontrak penjualan harus diperlakukan pada dasar
aqad. Istilah ‘pembiayaan’ untuk kontrak penjualan adalah tidak tepat untuk digunakan. …
Ketika penjualan (yang) dicatat sebagai pembiayaan, itu akan menghilangkan esensi dari
prinsip syariah. “Lebih lanjut menunjukkan bahwa standar akuntansi Islam di Indonesia
diperlukan “alokasi proporsional dari keuntungan selama periode kredit”.
Pandangan lain dari IAI (AOSSG, 2010) adalah dari pandangan bahwa mengakui
keuntungan dari penjualan ditangguhkan pembayaran berdasarkan metode bunga efektif tidak
akan membuat aliran pendapatan haram. Ini hanya berfungsi untuk melaporkan informasi
tentang nilai waktu dari uang untuk meningkatkan komparabilitas dengan transaksi ekonomi
sejenis lainnya, dan tidak memiliki bantalan pada keabsahan transaksi itu sendiri.
Berdasar pendapat yang dikemukakan oleh MASB, AAOIFI, dan IAI dapat dilihat
bahwa sumber dari pertentangan ini adalah berbagai isu pengakuan dan pelaporan atau isu
standarisasi di dalam akuntansi syariah yang sebenarnya bersumber pada penggunaan sistem
berbasis akrual yang juga menjadi salah satu hasil dari konvergensi IFRS ini nantinya.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai isu-isu standarisasi tersebut.

Isu-isu Standarisasi Akuntansi Syariah terkait dengan Konvergensi IFRS


AOSSG (2010) merinci lima belas isu-isu penting akuntansi syariah dalam kaitannya
dengan konvergensi IFRS dan mengelompokkan lagi isu-isu penting tersebut menjadi
delapan buah berdasarkan tiga lingkup topik yaitu substansi mengungguli bentuk, ukuran
probabilitas, dan time value of money. Berikut akan dibahas mengenai isu-isu penting
tersebut berdasar lingkup topik tersebut.

a. Substansi Mengungguli Bentuk


Menurut Kerangka Konseptual IASB dalam PWC (2011) substansi mengungguli
bentuk merupakan bagian integral yang mewakili transaction faithfully: “Faithfully
representation berarti bahwa informasi keuangan merupakan substansi dari suatu fenomena
ekonomi daripada hanya mewakili bentuk hukumnya.” (Para BC3.26)
Isu yang muncul kemudian adalah ketika pembuat standar konvensional menganggap
substansi mengungguli bentuk terpisahkan dengan pelaporan keuangan, ada keraguan tentang
penerimaan dari perspektif Islam. Beberapa percaya bahwa substansi mengungguli bentuk
akan membuat suatu transaksi keuangan syariah hampir tidak bisa dibedakan dan
dibandingkan dengan akuntansi konvensional. Contohnya adalah Ijarah Muntahia Bittamleek.
Selama periode ijarah, penyewa hanya dianggap menyewa. Selain itu, ada juga janji (wa’ad)
oleh lessor untuk menjual item, dan/atau janji oleh lessee untuk membeli item di akhir
periode ijarah. Pada akhirnya, penjualan terpisah dan perjanjian jual beli dimasukkan ke
dalamnya. Maka dikenal:
a. Pendekatan bentuk mengungguli substansi yang berarti laporan keuangan mengenali dua
transaksi yang terpisah yaitu sewa akan diakui selama periode ijarah dan penjualan akan
diakui pada saat aqad untuk mentransfer ijarah dimasukkan ke dalam.
b. Pendekatan substansi mengungguli bentuk yang berarti laporan keuangan hanya
mengenali satu transaksi saja yaitu akun untuk dua transaksi sama dengan kesepakatan
‘hire purchase’ dengan menggabungkan kedua kontrak menjadi satu. Contoh yang lain
adalah penggunaan kontrak Mudarabah dalam skenario yang berbeda. Banyak institusi
menggunakan kontrak yang klasik dalam produk dan layanan mereka dan Mudarabah,
yang merupakan kontrak bagi hasil umumnya digunakan di bank, sebagai deposito
produk dan manajer aset, sebagai produk investasi. Meskipun memiliki istilah yang
sama, perilaku oleh IFI terhadap produk ini berbeda. Untuk bank, ada harapan regulasi
yang deposan tidak harus kehilangan uang (perlakuan sebagai kewajiban) dan untuk
manajer aset, biasanya tidak memiliki kewajiban atas kerugian (perlakuan sebagai item
off balance sheet).
Dalam IFRS, pendekatan yang digunakan adalah substansi mengungguli bentuk saja,
sehingga IFRS melihat ekonom dan perilaku yang menentukan akuntansi dan bukan apa
bentuk hukum atau apa produk yang disebut. Maka timbullah masalah terutama pada
transaksi Ijarah tersebut.

b. Ukuran Probabilitas (Probability Criterion)


Kerangka Konseptual IASB (dalam PWC, 2011) melakukan pengakuan aktiva dan
kewajiban ketika kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa depan akan mengalir ke atau
dari entitas:
“Konsep probabilitas digunakan … untuk merujuk pada tingkat ketidakpastian bahwa
manfaat ekonomi masa depan berhubungan dengan item tersebut akan mengalir ke atau dari
entitas.” (Ayat 4,40)
IFRS mengakui biaya-biaya tertentu ketika kemungkinan bahwa manfaat ekonomi
masa depan dapat dipastikan. Misalnya, mengarahkan penurunan nilai (impairment) diakui
ketika penurunan tersebut diharapkan terjadi. Masalah yang muncul di sini adalah apakah ada
larangan syariah terhadap pengakuan aset-aset ikewajiban, pendapatan, dan biaya didasarkan
pada ketika kemungkinan tersebut terjadi? Contoh dari masalah ini adalah Mudarabah yang
merupakan perjanjian kemitraan dimana keuntungan dibagi antara mitra pada tingkat yang
disepakati. Dalam menghitung keuntungan, bawah model gangguan mengusulkan IASB,
penurunan akan diakui pada saat penurunan diharapkan. Menurut pendekatan probabilitas
penurunan akan berdampak keuntungan ketika itu adalah kemungkinan, namun pendekatan
yang timbul malah justru penurunan hanya bisa berdampak ketika keuntungan tersebut
terjadi.
c. Time Value of Money
Banyak Standar IASB menggunakan konsep nilai waktu uang. Sebagai contoh, dalam
IAS 39, aktiva tertentu dan kewajiban diukur pada biaya diamortisasi (mengakui pendapatan
pembiayaan atau beban pada hasil konstan).
“Pinjaman dan piutang … harus diukur dengan biaya diamortisasi dengan
menggunakan metode efektif bunga.” (IAS 39, Par. 46 dalam PWC, 2011) Masalah yang
terjadi adalah apakah tidak pantas untuk mencerminkan nilai waktu dari uang dalam
pelaporan transaksi keuangan syariah, apabila tidak ada bunga yang jelas untuk dibebankan
atau dikeluarkan dalam transaksi tersebut? Pertanyaan ini untuk beberapa orang tidak
menyenangkan karena pengaturan ini dibuat untuk menghindari pengisian bunga akan
mengakibatkan pelaporan pendapatan pembiayaan dengan sengaja (AOSSG,
2010).Contohnya adalah kontrak penjualan tangguhan. Sebuah kontrak penjualan di mana
pembayaran ditangguhkan untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan IAS 18 (dalam AOSSG,
2010) jika nilai wajar aktiva yang ditransfer kurang dari kas yang akan diterima, maka
perbedaan tersebut dicatat sebagai pendapatan pembiayaan. Namun dalam akuntansi syariah
justru mengabaikan pendekatan nilai waktu uang sehingga jumlah seluruh kas yang diterima
(atau diterima) akan dicatat sebagai pendapatan penjualan. Selain itu, kelebihan kas yang
diterima atas nilai wajar akan dipertimbangkan untuk ditransfer dan akan dicatat sebagai
pendapatan penjualan, bukan pembiayaan pendapatan.

d. Isu-isu yang lain


Berikut isu-isu lain yang juga dirinci oleh AOSSG dalam research paper-nya di tahun
2010.
1). Syirkah
Isu lain yang terkait dengan konvergensi IFRS menurut AOSSG (2010) adalah
transaksi Syirkah. Masalah yang sering dipertanyakan adalah apakah jumlah yang
diterima atau dipegang oleh suatu badan di bawah pengaturan Syirkah harus mewakili
kepentingan kepemilikan di entitas itu?
Dengan dikeluarkannya IFRS 9, ada juga diskusi tentang apakah aset keuangan
berdasarkan Syirkah akan diukur pada biaya diamortisasi atau nilai wajar. Ayat 4.2
menyatakan bahwa sebuah aset keuangan harus diukur pada biaya diamortisasi jika
kedua kondisi terpenuhi yaitu aset tersebut diadakan dalam model bisnis yang bertujuan
untuk memegang aset dalam rangka untuk mengumpulkan arus kas kontraktual dan
istilah kontrak dari aset keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus kas
yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar. Ayat 4.4
lebih lanjut menyatakan bahwa sebuah aset keuangan harus diukur pada nilai wajar
kecuali diukur pada biaya diamortisasi sesuai dengan ayat 4.2.
Dalam beberapa keadaan, kembali kepada investor dalam suatu pengaturan
Syirkah tergantung pada profit yang dihasilkan oleh asosiasi. Dengan demikian, aset-aset
ini mungkin perlu diukur pada nilai wajar karena arus kas mungkin tidak mewakili
‘semata-mata pembayaran pokok dan bunga. Sebaliknya, ada pengaturan Syirkah mana
tingkat indikasi pengembalian diwakili kepada investor, dan tingkat pengembalian aktual
yang dibayarkan kepada investor akan hampir selalu erat sesuai dengan tingkat indikasi
ini, terlepas dari keuntungan yang dihasilkan oleh investee. Dalam keadaan ini,
dimungkinkan untuk mengukur aktiva dengan biaya diamortisasi karena arus kas dapat
dikatakan mirip ‘pembayaran pokok dan bunga’, dan ayat 10 (b)(ii) FRS 108
memerlukan refleksi dari substansi ekonomi dan bukan hanya bentuk hukum.

2). Special Purpose Entity (SPE)


Dalam sukuk khas, pencetus itu akan mentransfer aset ke entitas tujuan khusus
(SPE). SPE yang pada gilirannya akan menawarkan kepada investor klaim pada mereka
aset, dan hak untuk arus kas masa depan, untuk jangka waktu sukuk, dengan imbalan
uang tunai langsung. Dalam banyak kasus, pengaturan tambahan digunakan untuk secara
efektif menjamin bahwa kembali akan berada pada tingkat pra-ditentukan, hanya tunduk
kepada risiko kredit dari obligor utama. Jadi, selain dari mematuhi syariah ajaran, sukuk
dalam praktek yang serupa dengan baik ikatan tanpa jaminan konvensional, atau
sekuritisasi konvensional.
Meskipun ada pengalihan aset ke SPE, seringkali, transfer disertai dengan
pengaturan untuk aset yang akhirnya akan ditransfer kembali ke originator. Dengan
demikian, dalam keadaan ini, transfer mungkin tidak memenuhi syarat sebagai
penjualan, dan mungkin tidak diakui berdasarkan IFRS.

3). Sukuk Penilaian


Ada larangan perdagangan sukuk baik karena sifat mereka (seperti Bank Sentral
Bahrain sukuk al-salam), atau karena pendapat Syariah mempengaruhi peraturan
yurisdiksi ini (beberapa ahli hukum melarang perdagangan dalam bai ‘al- Dayn,
sementara yang lain memungkinkan kelonggaran dalam keadaan tertentu). Sukuk di
masa lalu telah dilakukan dengan biaya yang diamortisasi, yang tidak akan berbeda
dengan persyaratan sebelumnya IAS 39, di mana non-diperdagangkan sukuk mungkin
bisa diklasifikasikan sebagai ‘pinjaman dan piutang’ baik atau sebagai ‘dimiliki hingga
jatuh tempo investasi ‘, dan diukur setelah pengakuan awal pada biaya diamortisasi.
Namun, niat IFRS 9 mengabaikan manajemen untuk instrumen individu, dan
bukannya berfokus pada model bisnis suatu entitas untuk mengelola aset keuangan. Ayat
4.2 IFRS 9 hanya memungkinkan aset finansial untuk kemudian diukur pada biaya
diamortisasi jika aset tersebut diadakan dalam model bisnis yang bertujuan untuk
memegang aset dalam rangka untuk mengumpulkan arus kas kontraktual dan istilah
kontrak dari aset keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus kas yang
semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar.

4). Menerapkan IFRS 4 untuk Asuransi Syariah (Takaful)


Asuransi syariah berbeda dari asuransi konvensional yang tidak ada penjualan dan
pembelian kebijakan antara perusahaan asuransi dan peserta. Dalam takaful, para peserta
setuju untuk kolam uang mereka dalam dana, dan dana dikelola oleh operator takaful yang
akan bertanggung jawab mendanai biaya manajemen (dalam wakalah, atau struktur
lembaga) dan/atau persentase dari hasil (dalam mudarabah , atau pembagian keuntungan
struktur). Dalam kebanyakan kasus, dana tersebut tidak memiliki kepribadian hukum yang
terpisah, dan dengan demikian biasanya disajikan dalam laporan keuangan operator
asuransi syariah.
Asuransi syariah dikembangkan sebagai alternatif sesuai syariah untuk asuransi,
dan ada persamaan dan perbedaan berbagai antara keduanya. Dengan demikian, ada
beberapa rambut-pemisahan sebagai apakah IFRS 4 akan berlaku untuk takaful. Inti dari
perselisihan terletak pada definisi kontrak asuransi diberikan dalam IFRS 4, yaitu sebuah
kontrak di mana salah satu pihak (perusahaan asuransi) menerima asuransi resiko yang
signifikan dari pihak lain (pemegang polis) dengan menyetujui untuk mengkompensasi
pemegang polis jika peristiwa di masa depan ditentukan pasti (acara tertanggung)
merugikan mempengaruhi pemegang polis.
Beberapa orang percaya bahwa definisi ini tidak termasuk pengaturan takaful
karena di takaful ada risiko-sharing di antara peserta, dan tidak resiko-transfer dari peserta
kepada operator takaful. Selain itu, praktek mungkin berbeda dari teori. Hal ini sering
mengatakan bahwa operator takaful hanya mengelola dana peserta dan tidak menerima
asuransi resiko. Namun, di banyak yurisdiksi, operator takaful mungkin diperlukan,
apakah dengan praktik regulasi atau industri, untuk memberikan bantuan keuangan ketika
ada defisit dana peserta. Bantuan ini umumnya dalam bentuk qardh, atau pinjaman bebas
bunga. Ada harapan peserta akan membayar dana qardh sekali ada kelebihan yang cukup,
namun dalam beberapa wilayah yurisdiksi pembayaran qardh adalah subordinasi untuk
peserta (dan, kadang-kadang kreditur lainnya) klaim. Persyaratan tersebut
mengindikasikan bahwa peran operator takaful tidak dapat dibatasi hanya yang dari
manajer investasi. Jika paparan operator takaful untuk qardh ini dilihat sebagai
penerimaan risiko asuransi (meskipun, penerimaan langsung) dapat dikatakan bahwa
operator takaful juga akan tunduk ke IFRS 4.

5). Klasifikasi dan Pengukuran Qardh


Qardh akan disediakan di luar kebaikan dan penyedia umumnya akan tidak
mengharapkan pembayaran kembali. Namun, karena banyak operasi takaful modern
dijalankan sebagai bisnis, diharapkan bahwa dana akan membayar qardh kepada operator
takaful ketika ada surplus cukup meskipun kepemilikan dapat ditentukan, dan qardh
dianggap ‘dibayar ketika mampu’. Ada beberapa diskusi mengenai bagaimana qardh dari
operator takaful untuk mendanai peserta harus diperlakukan. Saat ini, ada tiga pandangan
utama tentang masalah ini yaitu adalah biaya dari operator takaful, ‘keadilan’ dari operator
takaful di dana, dan merupakan instrumen keuangan.
Sebuah operator takaful, yang seringkali merupakan badan usaha, umumnya akan
berharap bahwa qardh telah diperpanjang akan dilunasi dari surplus dana yang akhirnya
terlepas dari kepemilikan qardh tersebut. Selain itu, puritan bersikeras bahwa peserta
akhirnya harus menanggung risiko takaful, dan karena itu peserta memiliki kewajiban
untuk melunasi qardh tersebut. Jadi, itu harus diakui sebagai instrumen keuangan.
Ada dua pandangan tentang bagaimana untuk diskon penerimaan kas masa depan
qardh yaitu tingkat diskonto harus nihil dan tingkat diskonto harus baik di tingkat internal,
ataun komersial, atau setidaknya bebas resiko. Mayoritas ahli hukum Syariah aturan
bahwa kembali berdasarkan nilai waktu uang tidak dapat dikenakan pada qardh karena
tidak harus komersial. Jadi, tidak ada operator takaful pada biaya bunga qardh. Oleh
karena itu, tingkat diskonto untuk penerimaan kas masa depan dari qardh harus nihil
karena ini adalah “tingkat pasar yang berlaku dari bunga untuk instrumen serupa. Selain
itu, meskipun ‘pasar tingkat’ untuk qardh dapat nihil, memberikan qardh selama periode
ditentukan membawa biaya kesempatan bagi operator takaful. Dengan demikian, akan
lebih berguna untuk menerapkan tingkat diskonto yang mencerminkan biaya entitas dana,
atau pinjaman komersial yang sama seperti faktor-faktor mata uang, panjang, jenis dan
lainnya. Penggunaan angka ini lain akan memberikan informasi tentang biaya kesempatan
yang hilang. Selain itu, di mana qardh diakui sebagai aset operator takaful, mungkin
tunduk pada penurunan, dan persyaratan gangguan yang relevan baik IAS 36 atau IAS 39
akan perlu dipertimbangkan.

6). Penyajian Laporan Keuangan Entitas Asuransi Syariah


Penyajian Qardh sebagai piutang dalam sebuah pernyataan gabungan dari posisi
keuangan mungkin tidak tepat. Sebuah operator takaful dipandang sebagai entitas yang
berbeda dari dana peserta mengelola. Dengan demikian, di beberapa yurisdiksi, mungkin
ada penyajiandan persyaratan pengungkapan untuk penekanan pemisahan ini, seperti
persyaratan untuk menyiapkan laporan terpisah untuk dana peserta.
Dalam yurisdiksi lain, persyaratan untuk penyajian laporan keuangan mungkin
takaful cermin persyaratan untuk asuransi konvensional, dan satu set laporan keuangan
‘gabungan’ mungkin diperlukan harus siap, menggabungkan operator takaful dan dana
peserta, tetapi bahkan kemudian mungkin ada persyaratan untuk mengungkapkan jumlah
yang disebabkan peserta. Ayat 40 memerlukan pengungkapan yang sama untuk berbagai
item kewajiban, dan ayat 2 dari AAOIFI FAS 12 menganggap pernyataan terpisah untuk
pendapatan peserta dan biaya untuk menjadi bagian dari “set lengkap laporan keuangan
yang harus disiapkan oleh perusahaan”. Pengungkapan tersebut dan penyajian yang tidak
diperlukan oleh IFRS saat ini, dan memang tidak hadir dalam laporan keuangan banyak
perusahaan asuransi konvensional. Namun, beberapa percaya bahwa tanpa mereka,
struktur formal dari takaful set-up akan dikaburkan. Mereka mungkin berpendapat bahwa
karena tidak semua aset badan hukum yang tersedia untuk memenuhi semua kewajiban
akan menyesatkan hanya untuk mengkonsolidasikan berbagai pooling asset. Telah
dicatat bahwa hasil penyajian yang tidak biasa dari menggabungkan laporan terpisah dari
operator takaful dan dana peserta ‘ketika qardh diperlakukan sebagai piutang.

7). Derivatif Tertanam


Hari-hari awal keuangan Islam modern yang ditandai dengan prevalensi fixed-rate
pembiayaan. Pada bagian, hal ini disebabkan karena keputusan syariah bahwa harga harus
diketahui pada saat kontrak untuk menghilangkan gharar atau ketidakpastian; yang sering
diartikan bahwa harga harus diperbaiki. Akibatnya, lembaga keuangan Islam menghadapi
risiko ketidakcocokan pendanaan saat memberikan jangka panjang suku bunga tetap
pembiayaan didanai oleh deposito jangka pendek variabel tingkat. Tetap tarif juga
pelanggan nyaman; mereka yang sebelumnya menyesuaikan untuk tingkat yang lebih
tinggi akan dirugikan pada saat harga pasar jatuh.
Untuk meningkatkan manajemen likuiditas dan mengatasi keluhan pelanggan,
pembiayaan tingkat variabel telah dikembangkan berdasarkan beberapa konsep-konsep
Islam. Beberapa orang berkomentar bahwa tingkat keuntungan ini tutup pada variabel-
menilai struktur mungkin derivatif tertanam karena di bawah IAS 39, ayat 10 (dan IFRS 9
ayat 4.6) yang mengatakan bahwa sebuah derivatif tertanam menyebabkan beberapa atau
semua dari arus kas yang seharusnya dapat diperlukan oleh kontrak untuk dimodifikasi
sesuai dengan tingkat bunga tertentu, instrumen keuangan harga, harga komoditas, nilai
tukar asing, indeks harga atau tarif, rating kredit atau kredit indeks, atau variabel lain. IAS
39 selanjutnya membutuhkan bahwa derivatif tertanam dipisahkan dari kontrak utamanya
jika memenuhi kriteria dalam paragraf 11-13.Meskipun IFRS 9 ayat 4.7 tidak memerlukan
derivatif tertanam untuk dipisahkan dari host yang berada dalam lingkup standar, adalah
mungkin bahwa mungkin ada kontrak hibrida Islam di luar lingkup IFRS misalnya, dalam
beberapa kontrak berdasarkan kemitraan seperti beberapa bentuk musharakah berkurang.
Berdasarkan ayat 4,8 IFRS 9, entitas akan perlu untuk menerapkan IAS 39 paragraf 11-13
untuk menentukan apakah derivatif melekat harus dipisahkan dari tuan rumah.
Penyesuaian IFRS pada Teori Akuntansi Syariah di Indonesia
Isu-isu penting yang telah dibahas di atas menunjukkan bahwa prinsip akuntansi
syariah dan akuntansi konvensional berbeda. IFRS yang merupakan standar internasional
yang mengacu pada akuntansi konvensional nampaknya ada beberapa bagian yang tidak
cocok dengan prinsip akuntansi syariah ini.
Menurut Muhamad (2002) pada tataran praktis akuntansi syariah adalah akuntansi
yang berorientasi sosial dan pertanggungjawaban, sebab akuntansi syariah dapat menyajikan
atau mengungkap dampak sosial perusahaan terhadap masyarakat dan sekaligus menyajikan
laporan pertanggungjawaban yang bersifat humanis, emansipatoris, transendental dan
teologikal. Oleh karena itu, konsep dasar akuntansi syariah adalah bersifat zakat dan amanah
oriented. Akuntansi syariah adalah ilmu dan teknologi universal yang tumbuh dan
berkembang sesuai dengan perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya, baik sosial,
ekonomi, politik, peraturan perundangan, kultur, persepsi dan nilai (masyarakat) tempat
akuntansi syariah diterapkan.
Akuntansi syariah adalah akuntansi yang dikembangkan bukan hanya dengan cara
“tambal sulam” terhadap akuntansi konvensional, akan tetapi, merupakan pengembangan
filosofis terhadap nilai-nilai al-Qur’an yang diturunkan ke dalam pemikiran teoritis dan teknis
akuntansi. Berdasarkan hasil tersebut maka bisa dikatakan bahwa konvergensi IFRS terhadap
standar akuntansi syariah yang dilakukan di Indonesia tidak akan bisa sempurna seratus
persen. AAOIFI (dalam Ibrahim, 2009) dalam hal ini telah memformulasikan alternative
standar akuntansi syariah ini berkaitan dengan konvergensi IFRS ini. AAOIFI dalam
formulasinya menyatakan bahwa ketika IFRS tidak bisa diadopsi secara keseluruhan oleh IFI,
ketika IASB tidak memiliki IFRS untuk menutupi praktek perbankan syariah dan praktek
keuangan syariah, dan ketika IFRS dapat diadopsi maka AAOIFI tidak akan mengembangkan
standar atau berkembang dan mengadopsi IFRS. Menurut Khairul Nizam, direktur
pengembangan teknis di AAOIFI (dalam Ibrahim, 2009) bahwa kesenjangan dan perbedaan
ada dan akan terus ada di antara set kedua standar, karena kesenjangan dan perbedaan adalah
hasil alami dari struktural tujuan yang berbeda dari IASB dan AAOIFI.
IAI sendiri dalam hal ini juga mengacu pada AAOIFI dalam menanggapi
permasalahan konvergensi IFRS ini. IFRS yang ada tidak bisa dipaksakan untuk akuntansi
syariah yang memiliki prinsip yang berbeda, seperti yang dikatakan oleh Ibrahim (2009)
dalam pendahuluan papernya yaitu “one size doesn’t fit all!”
B. ISU BANKING

Masalah Perbankan Terus Menghantui Kasus kejahatan dan penyimpangan perbankan


dari hari ke hari semakin menghantui perekonomian Indonesia. Bila pihak terkait, dalam hal
ini pemerintah dan BI, tidak mampu menyelesaikan masalah ini dengan cara pengawasan
yang ketat, tentu akan berdampak pada kinerja sektor riil. Oleh sebab itu, para penegak
hukum harus menghukum berat pihak-pihak yang melanggar UU Perbankan.
Tapi sayang, penanganan kasus perbankan dianggap kurang transparan sehingga kasus-kasus
yang sama sering terulang di berbagai bank. Selama ini, pengaduan nasabah perbankan ke
BPSK (Badan Pengaduan Penyelesaian Sengketa) terkesan tertutup. Jika pun kasusnya
ditangani pengadilan, sangat jarang dipublikasikan dan tidak diketahui bagaimana proses dan
apa hasilnya. Masalah-masalah Perbankan yang Sering Diadukan Nasabah Sejauh ini,
terdapat lima masalah yang sering diadukan konsumen perbankan. Apa saja lima masalah
tersebut? Masalah pertama adalah seputar tingkat bunga yang dianggap berlebihan,
ketidakadilan penetapan biaya atau charge, dan penalti. Pengaduan kedua dan ketiga adalah
iklan perbankan yang dianggap menyesatkan serta sikap tidak sopan sekaligus tidak etis
penagih utang. Sementara itu, pengaduan berikutnya, yaitu keempat dan kelima adalah surat
klausula baku yang tak adil serta permasalahan ganti rugi.

Selain mengadu langsung ke pihak bank bersangkutan, para konsumen ini mengadukan
masalahnya ke berbagai lembaga lainnya. Lembaga-lembaga yang dijadikan tempat aduan
konsumen yaitu lembaga konsumen seperti YLKI, pengadilan, biro mediasi perbankan,
media massa dengan mengisi surat pembaca, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK), dan lain sebagainya. Pengaduan-pengaduan yang disampaikan oleh para konsumen
ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi konsumen lainnya yang memakai layanan
serupa.Selain itu, pengaduan ini pun dapat dijadikan masukan bagi para pelaku usaha untuk
segera meningkatkan kualitas produk serta layanannya. Jika pelaku-pelaku usaha banyak
memperoleh keluhan, hal ini memperlihatkan usahanya memiliki masa depan cerah sebab
masih ada banyak orang yang peduli. Sementara itu, bagi pemerintah, pengaduan konsumen
ini dapat dijadikan masukan untuk memperbaiki penetapan kebijakan-kebijakan terkait.
Pengaduan Masalah Perbankan Meningkat Sampai semester pertama 2012, BI (Bank
Indonesia) sudah menerima pengaduan perbankan sebanyak 216.708 kasus. Jumlah ini
meningkat sebanyak 1417 kasus jika dibanding dengan tahun lalu di periode yang sama. Ini
artinya permasalahan perbankan menagalami peningkatan. Direktur Eksekutif Kepala
Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia mengatakan bahwa kasus
yang paling mendominasi adalah kasus seputar produk kartu kredit dan ATM.
Jumlahnya mencapai 96,31 persen dari jumlah total pengaduan. Meningkatnya jumlah
dispute atau pengaduan kartu kredit ini disebabkan oleh sejumlah faktor seperti kartu yang
tertelan lalu terdebet dan kartu nasabah hilang tetapi terjadi transaksi. Untuk menurunkan
jumlah kasus, pihak terkait, dalam hal ini Direktur Eksekutif Kepala Departemen Investigasi
dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, akan memanggil pengawas bank bersangkutan untuk
mengonfiormasi hal tersebut. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan pelayanan, Bank
Indonesia akan menelaah besaran nilai yang disengketakan. Sebelumnya, Bank Indoenesia
hanya bersedia menangani nilai sengketa di bawah 500 juta rupiah.
Posisi Nasabah Dianggap Lemah dalam Masalah Perbankan Masih ingat kasus Bank
Century? Kasus Bank Century yang merugikan nasabahnya sekitar 6,7 triliun rupiah sampai
saat ini belum juga tuntas. Kasus yang sama pun terjadi di Provinsi Jawa Tengah, yaitu di
Bank Jateng Syariah Cabang Surakarta. Seorang nasabah Bank Jateng Syariah Cabang
Surakarta mengalami kerugian sekitar 6 miliar rupiah. Nasabah ini mengatakan bahwa
rekening tabungannya raib dibobol pegawai bank sebab surat kuasa miliknya dipalsukan.
Terkait dengan kasus ini, Bank Jateng pusat tak mengakui secara hukum Bank Jateng Syariah
Cabang Surakarta ada di bawah naungannya. Sebenarnya, nasabah yang merasa dirinya
dirugikan oleh pihak bank bisa membuat surat pengaduan lewat media. Jika pihak bank tidak
dengan segera menindaklanjuti pengaduan tersebut, akan berpengaruh terhadap reputasi bank
yang bersangkutan.Jika jumlah tabungan nasabah nilainya di bawah 500 juta rupiah, Bank
Indonesia bersedia melakukan mediasi. Tapi, untuk permasalahan nasabah yang jumlah
tabungannya lebih dari itu, Bank Indonesia tak bisa memediasi dan harus ditangani oleh
lembaga lain seperti pengadilan. Pihak nasabah dan pihak bank sebaiknya menyelesaikan
sengketanya terlebih dahulu. Tapi, bila nasabah merasa kurang puas, pihak pengadilan akan
menentukan kebenaran surat kuasa palsu tersebut. Dalam dunia perbankan di Indonesia,
pihak nasabah masih ditempatkan dalam posisi yang lemah. Hal ini wajar karena klausul-
klausul dalam industri perbankan Indonesia belum memihak kepada nasabah sebagai
penabung. Masalah Perbankan Muncul karena Minimnya Edukasi Masyarakat Benarkah
minimnya edukasi masyarakat tentang dunia perbakan menjadi penyebab munculnya masalah
dunia perbankan?

Ya, minimnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap lembaga jasa keuangan atau
perbankan menjadi penyebab menjamurnya permasalahan yang terjadi di dunia perbankan.
Oleh sebab itu, pemberian edukasi seputar perbankan kepada masyarakat diharapkan akan
menekan tejadinya krisis di sektor keuangan. Jika edukasi didorong dan dilakukan secara
intens, dispute atau pengaduan di perbankan akan berkurang. Bahkan, pemahaman persoalan
seputar keuangan akan membuat kegiatan layanan keuangan menjadi lebih terbuka.
Permasalahan di perbankan yang dialami oleh masyarakat terjadi karena kurangnya edukasi.
Bila distatistikkan, kelemahan ini menjadi yang utama dan pertama. Tapi, dengan semakin
meningkatnya pengetahuan masyarakat seputar lembaga jasa keuangan, maka semakin
membaik pula dunia perbankan. Hal ini karena ruang pengaduan masyarakat atau dispute
akan semakin berkurang. Untuk meningkatkan edukasi masyarakat tentang dunia perbankan,
OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan membuat sejumlah program. Bahkan, akan dibentuk pula
dewan komisioner yang bertugas memimpin komite edukasi dan perlindungan konsumen.
Komiter perlindungan konsumen ini melibatkan banyak pihak. Pada intinya, OJK (Otoritas
Jasa Keuangan) akan membangun postur edukasi serta perlindungan konsumen sebaik-
baiknya. Masalah Perbankan - Perbankan Harus Miliki Divisi Khusus Pengaduan Nasabah
Masalah dunia perbankan kini semakin menjadi perhatian khusus pemerintah. Walaupun di
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tidak disebutkan spesifikasi
jasa atau produk tertentu, selama ini masalah dunia perbankan terus diproses BPKN (Badan
Perlindungan Konsumen Nasional).
Meskipun tak ada spesifikasi tertentu, permasalahan perbankan yang diadukan oleh
konsumen selalu direspons dengan memberi rekomendasi kepada pemerintah sebagai
pemegang kewenangan. Berdasarkan penjelasan para konsumen, mereka sangat mengeluhkan
pelayanan perbankan yang berkaitan dengan pengaduan nasabah. Para konsumen perbankan
atau nasabah merasa kesulitan mendapat solusi yang sesuai dengan harapan. Para nasabah
sering sekali mengeluhkan kurangnya perhatian dari lembaga penyedia jasa perbankan
tentang pengaduan masalah yang tengah dialami. Tak tersedianya loket khusus pelayanan
pengaduan nasabah telah membuat para konsumen merasa kecewa. Itulah masalah-masalah
perbankan yang sering muncul di Indonesia. Tentunya permasalahan ini bisa diatasi jika
pihak bank mau lebih menyeleksi dan memberikan layanan terbaiknya kepada para nasabah.
Konsumen atau nasabah adalah aspek utama dalam keberhasilan sebuah bank. Oleh karena
itu, berikan fasilitas pada konsumen, serta selesaikan segala masalah nasabah dengan cepat
agar mereka tidak komplain (permasalahan perbankan paling banyak). Tak jarang para
nasabah sulit menyampaikan masalah dan sulit mendapat solusi dari masalah yang dialami.
Untuk itu, perbankan juga seharusnya memiliki divisi khusus pengaduan nasabah sehingga
masalah ini dapat teratasi.

C. ISU AUDIT ACCOUNTING

Di tengah pertumbuhan yang pesat dan tingginya animo masyarakat terhadap perbankan
Syariah mengakibatkan terjadinya ketimpangan karena pemahaman masyarakat terhadap
produk, istilah dari keuangan dan perbankan Syariah masih rendah ditambah lagi kualitas
SDM Syariah juga masih kurang memadai baik dari kualitas dan kuantitas dalam bidang
perbankan Syariah sehingga kondisi ini berpotensi sebagai gap yang pada akhirnya bisa
berpotensi terhadap penyimpangan. Perkembangan yang pesat perbankan Syariah dengan
jumlah asset pertumbuhan yang makin meningkat yang melebihi perkembangan perbankan
konvensional menjadikan isu transparansi pada bank Islam menjadi hal yang sangat penting
dan mendesak. Dengan banyaknya kasus penyelewengan dan skandal di bank konvensional
sehingga publik mempunyai harapan yang tinggi terhadap performance bank Syariah sebagai
alternatif dalam sistem ekonomi.

Adanya Potensi Penyimpangan Pada Bank Syariah


Melihat kondisi perkembangan perbankan syariah saat ini diperkirakan memiliki
potensi penyelewengan dan skandal yang kemungkinan sama dengan bank konvensional.
Para bankir Syariah, jajaran eksekutif dan pejabat bank, termasuk komisaris juga manusia
biasa yang memiliki nafsu yang tergoda akan materi yang bergelimangan, sehingga tidak
mustahil kasus korupsi dan penyimpangan dapat terjadi sehingga transparasi pada bank
Syariah menjadi sangat penting demi mencegah potensi skandal.
Potensi penyimpangan pada bank Syariah yang sering menjadi pertanyaan dan
menimbulkan kegelisahan publik adalah apakah sistem perbankan Syariah sudah sesuai
dengan kaidah atau kepatuhan Syariah Islam (Shariah compliance) atau belum? Publik
menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara bank Syariah dan bank konvensional karena,
publik masih mengalami kesulitan membedakan antara akad di bank Syariah dengan
transaksi pada bank konvensional.
Karena perbankan Syariah menggunakan akad sebagai dasar dari transaksinya
sehingga terdapat potensi penyimpangan pada akad misalnya pada akad wadiah atau dalam
istilah bank konvensional adalah deposito. Menurut Bank Indonesia dalam kamus keuangan
dan perbankan Syariah wadiah secara umum adalah penempatan sesuatu di tempat yang
bukan pemiliknya untuk dipelihara.
Sementara menurut pendapat ahli fiqih untuk Madzah Hanafi mendefinisikan wadiah
adalah “mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang
jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat”. Sementara konsep wadiah yang digunakan
pada bank Syariah adalah wadiah yad ad-dhamanah (titipan dengan resiko ganti rugi).
A. Transparansi Bank Syariah
Terkait dengan transparansi pelaporan keuangan pada bank Syariah sebagai lembaga
standar dan pengawasan yang berkedudukan di Bahrain, terhadap performance bank Syariah
menurut Accounting, Auditing, Governance Standards for Islamic Financial Institutions
(AAOFI) bank Syariah harus mengungkap 19 item disclosure dalam laporan keuangannya di
antaranya adalah yang paling penting untuk mengetahui shariah compliance dengan
mengungkapkan dan menyajikan pendapatan atau pengeluaran yang baik yang sesuai dengan
shariah maupun yang dilarang oleh shariah pada semua transaksi dan peristiwa bank Syariah
dan memberikan penjelasan.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Noraini (peneliti IIUM), Simon Archer
(Peneliti UK) dan Rifaat Ahmed Abdul Karem (mantan sekjen AAOIFI dan sekarang sekjen
IFSB-Malaysia) yang melakukan riset terhadap transparansi pada bank Islam di 14 negara
yang mempunyai bank Syariah termasuk Indonesia dengan jumlah bank 28 bank Syariah
sebagai perwakilan dari setiap negara tersebut. Mereka menemukan bahwa transparansi pada
bank Syariah masih kurang terkait dengan resiko pengungkapan/disclosure.
B. Penerapan Akuntansi Syariah
Salah satu syarat penting dari objektif bank Syariah pada prinsip penerapan akuntasi
Syariah adalah melakukan pengungkapan dengan full disclosure tanpa ada yang ditutupi
salah satunya adalah sumber pendapatan halal atau haram sebagai bentuk akuntabilitas
Syariah yang tidak hanya melakukan pelaporan keuangan yang harus akuntabel kepada
pemilik modal tapi lebih akuntabel kepada masyarakat di dunia dan Allah SWT di akhirat
kelak, terhadap semua transaksi bisnis yang dilakukan pada bank Syariah sehingga bisa
tercapai maslahah (social benefit) dan tidak membawa keburukan pada masyarakat.
Pada prakteknya banyak laporan keuangan dalam bank Syariah, secara umum kurang
melakukan penerapan full disclosure (pengungkapan penuh) informasi tentang perputaran
uang yang disimpan. Dalam laporan keuangan tidak dijelaskan secara sempurna apakah dana
yang telah disimpan atau diinvestasikan sudah sesuai dengan kepatuhan Syariah (shariah
compliance) yaitu dengan tidak melakukan investasi pada yang dilarang oleh Islam dan tidak
mendatangkan keburukan bagi masyarakat dan lingkungan.
Menurut Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) 101 tentang penyajian
laporan keuangan Syariah mensyaratkan adanya full disclosure, dimana masyarakat
mendapatkan semua informasi dalam laporan keuangan sehingga membantu pengguna
laporan keuangan untuk memahami bagaimana transaksi dan peristiwa tersebut sesuai dengan
kepatuhan Syariah atau tidak. Pengguna laporan keuangan khususnya nasabah harus
mendapatkan kepastian secara jelas dengan transparansi dana yang disimpan pada bank
Syariah.
Contoh Kasus Penyimpangan Pada Bank Syariah
Studi kasus pada bank Syariah di Malaysia dimana secara asidental internal auditor
bank Syariah menemukan bahwa bank Syariah yang merupakan cabang dari bank
konvensional telah melakukan pembiayaan kepada sebuah rumah sakit namun ternyata terjadi
transaksi non shariah compliance pada rumah sakit tersebut. Sementara pembiayaan itu sudah
berlangsung selama empat tahun dan selama empat tahun rumah sakit tersebut membayar
margin tiap bulan kepada bank Syariah artinya karena pengelolaannya rumah sakit tersebut
tidak shariah compliance maka secara tidak langsung bank mendapatkan margin dari
penghasilan non halal dari rumah sakit tersebut sehingga penghasilan bank Syariah tersebut
bercampur dengan pendapatan halal dan non halal.
Dari kasus tersebut berdasarkan pada prinsip akuntansi Syariah yang full disclosure
dan transparasi terhadap akuntabilitas Syariah maka bank Syariah dalam laporan
keuangannya harus mengungkapkan semua transaksi tersebut terkait dengan pendapatan non-
halal selama empat tahun dengan membuat catatan tambahan atas laporan keuangan tersebut
tentang dana penghasilan yang telah digunakan dan dibagikan kepada nasabah dalam bentuk
non-halal sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan sesuai dengan
standard AAOIFI dan PSAK di Indonesia dan untuk sisa margin non halal dari rumah sakit
tersebut dikembalikan dalam bentuk sedekah dan memperbaiki akad rumah sakit menjadi
shariah compliance.
Secara umum semua produk perbankan Syariah terkait dengan isu transparansi akan
pendapatan non-halal baik itu akad murabahah sebagai produk yang paling banyak
ditawarkan. Potensi penyimpangan di bank Syariah akan selalu terjadi. Oleh karena itu,
komitmen dan kualitas sumber daya manusia yang memahami Syariah baik dari aspek
shariah compliance dan best practice-Islamic bank harus ditingkatkan dan harus benar-benar
merujuk kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekonomi dan bisnis Islam yang telah
diterapkan oleh Rasulullah serta meningkatkan pengawasan internal bank Syariah serta
Dewan Syariah Nasional (DSN) harus memperketat dalam mengeluarkan dan menyetujui
fatwa terhadap produk perbankan Syariah sehingga terhindar dari dugaan mengakomodasi
kepentingan tertentu.
C. Menakar Kepatuhan Syariah
Bank umum syariah yang ada saat ini masih ada yang mengakui adanya pendapatan
bunga dari penempatan dananya dibank konvensional sebagai pendapatan utama, bahkan
termasuk komponen yang dibagi hasilkan kepada nasabah deposan. Untuk mengidentifikasi
ada tidaknya bunga dan pendapatan haram lainnya maka bisa dianalisis sumber-sumber
pendapatan yang diperoleh bank syariah. Sumber pendapatan yang harus diperhatikan adalah
sumber pendapatan bunga yang berasal dari penempatan dana bank syariah di bank
konvensional. Berdasarkan PSAK Syariah maka pendapatan bunga dan denda tidak boleh
diakui sebagai pendapatan bank syariah, tetapi harus diakui sebagai pendapatan dana
kebajikan. Atas kasus tersebut belum ada pengungkapan informasi dari Dewan Pengawas
Syariah dan Bank Indonesia mengapa hal tersebut masih dikatakan sesuai syariah dalam opini
DPS bank syariah yang bersangkutan yang dilampirkan dalam publikasi laporan keuangan.
Untuk mengidentifikasi apakah dalam bank syariah terdapat unsur time value of
money dapat dilihat dalam catatan atas laporan keuangan tentang metode akuntansi yang
digunakan dalam pengakuan pendapatan margin murabahah. Berdasarkan PSAK Syariah 102
tentang akuntansi murabahah paragraph 23 samapai dengan 25 menyebutkan bahwa
pengakuan pendapatan margin murabahah yang diperkenankan adalah secara proporsional.
Berdasarkan penelitian penulis, saat ini masih banyak bank syariah yang menggunakan
metode anuitas dalam pengakuan pendapatan margin murabahah. Metode anuitas akan
menguntungkan bagi bank syariah karena margin murabahah diakui diawal lebih besar dan
akan menurun terus sampai pada angsuran terakhir. Sehingga jika metode anuitas masih
digunakan dalam pengakuan pendapatan margin murabahah maka bank syariah masih
memegang prinsip-prinsip time value of money.
Untuk melihat ada atau tidaknya unsur gharar dalam bank syariah bisa diukur dan
dianalisis dari laporan rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil. Pendapatan yang
dibagihasilkan oleh bank syariah harus bersifat cash basis tidak boleh pendapatan accrual.
Ada beberapa bank yang tidak menyajikan laporan rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil
sehingga tidak bisa diketahui apakah pendapatan yang dibagihasilkan ke nasabah deposan
adalah yang riil ataukah masih accrual. Teknik kedua adalah dengan melihat pengukuran
pendapatan yang dibagi hasilkan apakah menggunakan metode revenue sharing atau gross
profit sharing ? Jika bank syariah masih menggunakan revenue sharing maka masih ada
unsur kedzaliman. Berdasarkan fatwa DSN No.15 Tahun 2000 sistem distribusi bagi hasil
yang diperbolehkan adalah gross profit sharing atau profit loss sharing.
Teknik selanjutnya dalam menganalisis kepatuhan syariah di bank syariah adalah
dengan melihat apakah bank syariah menyajikan laporan sumber dan penggunaan dana
kebajikan. Jika bank syariah tidak menyajikan laporan sumber dan penggunaan dana
kebajikan maka perlu dipertanyakan tentang pengelolaan dana-dana non halal dalam bank
syariah tersebut. Begitu juga masyarakat dapat menilai bagaimana pengelolaan dana zakat
oleh bank syariah, terutama dalam aspek penyaluran dana zakat apa sesuai dengan syariah
atau tidak. Hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan dana zakat adalah dana zakat tidak
boleh disalurkan atau digunakan untuk melakukan penghapusan piutang pembiayaan nasabah
bank syariah dengan alasan masuk dalam asnaf gharimin.
D. Peran DPS Pada Bank Syariah
Disetiap lembaga keuangan perbankan syariah ditempatkan suatu Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang mengawasi operasionalisasi jalannya Bank Syariah apakah sesuai dengan
syariah atau tidak (Syariah Compliance). DPS hanya mengawasi (sharia compliance)
operasionalisasi Produk Bank Syariah saja sedangkan Sharia Complance terhadap SDI &
SDM nya tidak. DPS hanya mengawasi ketaatan syariah terhadap operasionalisasi Produk
Bank Syariah saja (Produk Dana, Produk Pembiayan, dan Produk Jasa), sedangkan
pengawasan terhadap segi syariah dibidang SDM, AKUNTANSI SYARIAH, IT/MIS
Syariah, MANAGEMENT SYARIAH, AUDIT Syariah tidak dimonitoring tentang
kesyariahnya (sharia compliance) sehingga Bank Syariah sama saja dengan Bank
Konvensional. DPS cenderung hanya mengawasi produk syariah saja, ketika ada produk baru
misal DPS hanya diminta melakukan kajian fatwa dll untuk menentukan apakah produk
tersebut bisa diterapkan di Bank Syariah atau tidak.
E. Bagiaman dengan AUDIT nya apakah auditnya telah dilaksnakan dengan
prinsip2 audit syariah ?
Pengawas Kepatuhan terhadap Syariah (sharia compliance) di bank syariah dilakukan
oleh berbagai pihak dan unit kerja di internal bank serta pengawas eksternal (BI, KAP). Di
Internal Bank dalam operasioanal sehari-hari dilakukan oleh Satuan Kerja Kepatuhan & DPS
(ex ante) dan oleh SKAI & DPS (ex post) = mereka (selain DPS) adalah alat kelengkapan
Direksi. Serta Komite Audit dan Komite Pemantau Risiko (Alat kelengkapan Komisaris).
Satuan Kerja Kepatuhan, SKAI dan Komite Audit, Komite Pemantau Risiko wajib
didukung oleh personil yang memiliki keahlian di bidang perbankan syariah dan
memahami operasional perbankan syariah sebagaimana diatur dalam PBI No.11/33/2009,
Tentang GCG. Idealnya di Satuan Kerja KEPATUHAN diperlukan personil yang
memahami dengan sangat baik Fiqh Muamalat dan memahami literatur/referensi Fiqh
yang ditulis dalam bahasa ARAB, sebagai partner DPS juga. Dari Eksternal bank syariah
di audit oleh BI dan KAP (salah satu objek audit adalah pemenuhan/ketaatan pada prinsip
syariah).

KESIMPULAN

Perbedaan pendapat tentang bagaimana untuk memperhitungkan transaksi keuangan


akuntansi syariah dan isu-isu standarisasi yang muncul akibat konvergensi IFRS merupakan
sebuah pembelajaran yang penting dalam pengembangan teori akuntansi syariah yang ada
saat ini, terutama dalam makalah ini adalah Indonesia. Penyatuan dua prinsip yang berbeda
tidak akan menyelesaikan masalah di antara kedua teori akuntansi yang berbeda, maka
penyesuaian merupakan salah satu strategi untuk menghadapi konvergensi IFRS di Indonesia
ini. Apabila memang sebuah konsep tidak sesuai dengan IFRS sebaiknya jangan dipaksakan
untuk digunakan dan apabila dapat digunakan maka pergunakanlah sebaik mungkin,
KESIMPULAN
Perbedaan pendapat tentang bagaimana untuk memperhitungkan transaksi keuangan
akuntansi syariah dan isu-isu standarisasi yang muncul akibat konvergensi IFRS merupakan
sebuah pembelajaran yang penting dalam pengembangan teori akuntansi syariah yang ada
saat ini, terutama dalam makalah ini adalah Indonesia. Penyatuan dua prinsip yang berbeda
tidak akan menyelesaikan masalah di antara kedua teori akuntansi yang berbeda, maka
penyesuaian merupakan salah satu strategi untuk menghadapi konvergensi IFRS di Indonesia
ini. Apabila memang sebuah konsep tidak sesuai dengan IFRS sebaiknya jangan dipaksakan
untuk digunakan dan apabila dapat digunakan maka pergunakanlah sebaik mungkin.
Tantangan untuk para pembuat standar dan pihak yang berkepentingan adalah untuk
meningkatkan komparabilitas lintas batas transaksi keuangan syariah, sementara
memperhatikan sensitivitas agama dan bukannya memaksakan standar IFRS yang ada untuk
digunakan. Meskipun IFRS merupakan standar yang diterima secara internasional, namun
adanya kenyataan bahwa terdapat beberapa prinsip IFRS yang tak dapat diaplikasikan dengan
interpretasi syariah, serta bahwa kerangka kerja pelaporan keuangan yang terpisah untuk
transaksi keuangan syariah dibenarkan untuk dilakukan.
Sedangkan untuk banking ,Tentunya permasalahan ini bisa diatasi jika pihak bank
mau lebih menyeleksi dan memberikan layanan terbaiknya kepada para nasabah. Konsumen
atau nasabah adalah aspek utama dalam keberhasilan sebuah bank. Oleh karena itu, berikan
fasilitas pada konsumen, serta selesaikan segala masalah nasabah dengan cepat agar mereka
tidak komplain (permasalahan perbankan paling banyak). Tak jarang para nasabah sulit
menyampaikan masalah dan sulit mendapat solusi dari masalah yang dialami. Untuk itu,
perbankan juga seharusnya memiliki divisi khusus pengaduan nasabah sehingga masalah ini
dapat teratasi.
Dan untuk permasalah isu audit accounting perlunya ada nya sebuah pengawasan dan
pengontrolan,dimana harus sesuai dengan prinsip-prinsip auditing itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai