MAKALAH
DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD SUKRI MARSUDI
MULYADI
FAKULTAS EKONOMI
AKUNTANSI S1
2018
LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan ekonomi dan bisnis berbasis Islam tumbuh dengan subur di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa akuntansi syariah yang merupakan produk ekonomi Islam sudah
banyak dikenal di masyarakat dan kalangan pebisnis di Indonesia. Ekonomi Islam sendiri
muncul di berbagai negara yang berideologi Islam dan separo lebih penduduknya muslim,
termasuk Indonesia.
Menurut Dimyati (2007) kehadiran ekonomi Islam ini merupakan suatu langkah yang
digunakan untuk melepaskan diri dari jeratan kapitalisme dan sosialisme. Sistem ekonomi ini
menawarkan konsep ekonomi relijius yang merujuk pada dua sumber hukum Islam yaitu al-
Qur’an dan as-Sunnah. Itulah sebabnya seringkali sistem ekonomi tersebut disebut ekonomi
syari’ah atau ekonomi al-Qur‘an. Faktanya, kedua hukum Islam tersebut tidak pernah benar-
benar digunakan sebagai landasan dalam merumuskan konsep epistemologis ekonomi Islam
itu sendiri melainkan fiqh yang “sekedar” rasionalisasi kreatif ulama yang dijadikan sebagai
acuan utamanya. Selain itu, ekonomi Islam banyak mengadopsi begitu saja teori-teori yang
ada dalam ekonomi konvensional dengan melakukan penyesuaian atau dipaksakan dengan
melakukan sedikit penyesuaian atau dipaksakan agar sesuai dengan ayat atau hadis tertentu.
Kalaupun ada ayat atau hadis yang dijadikan sebagai dasar hukum bagi suatu model transaksi
atau praktek ekonomi yang dianggap islam, pembacaan sistematis dan kritis yang memenuhi
prinsip-prinsip interpretasi yang valid tidak dilakukan terlebih dahulu. Akibatnya, apa yang
disebut dengan ekonomi Islam tidak lebih dari kumpulan teori ekonomi konvensional plus al-
Qur’an dan as-Sunnah.
Menurut Suwiknyo (2007) metodologi akuntansi syariah yang sedang berkembang
dewasa ini terbagi menjadi dua kubu yang memiliki pendekatan yang berbeda dalam
merumuskan akuntansi syariah. Satu kubu berusaha keras merumuskan akuntansi syariah dari
basis keilmuan yang dimiliki Islam sedangkan kubu yang lain menghendaki perumusan
akuntansi syariah yang berangkat dari kerangka akuntansi konvensional.
Padahal, menurut Muhammad (2004) aspek-aspek akuntansi konvensional tidak dapat
diterapkan pada lembaga yang menggunakan prinsip-prinsip Islam baik dari implikasi
akuntansi maupun akibat ekonomi. Hal yang sama juga diargumentasikan oleh Gambling dan
Karim (1991 dalam IAI, 2008) berargumentasi bahwa konsep income ekonomi tak bisa
diterima dalam perspektif Islam karena hal-hal yang tak bisa diterima itu begitu fundamental
bagi teori deduktif Barat. Misalnya, model tingkat ekonomi pengembalian modal (economic
rate of return on capital) yang membentuk basis bagi kalkulasi pendapatan di muka dengan
asumsi bahwa uang punya nilai waktu, yang dinyatakan Gambling dan Karim sebagai hal
yang tak ada dalam Islam. Atas dasar ini, bagian dari teori akunting deduktif yang
berlandasan teori ekonomi konvensional tampak bukan sebagai model yang cocok untuk
menciptakan teori akuntansi Islam.
Menurut AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial
Institutions) dalam Majalah Akuntan Indonesia (2008) sejak 1996 mereka telah menerapkan
pendekatan yang mengkomparasikan sasaran-sasaran yang ada dalam akuntansi kontemporer
dan akuntansi syariah, apabila tidak sejalan tinggalkan. Lembaga ini berpendapat bahwa cara
itu konsisten dengan prinsip-prinsip Islam lebih luas bahwa suatu pandangan tak selalu
memerlukan konsep yang mesti diambil dari Syariah. Dengan demikian, konsep informasi
akuntansi berguna, seperti relevansi dan reliabilitas, bisa begitu saja dimasukkan dalam
praktek akuntansi Islami oleh AAOIFI.
Pendekatan yang dilakukan AAOIFI ini mungkin bisa digunakan, namun faktanya
sangat sulit untuk menyatukan dua hal yang berbeda dengan kerangka konseptual yang
berbeda. Oleh karena itu, perlu adanya standar akuntansi yang berbeda untuk akuntansi
syariah ini. Standar akuntansi ini juga didorong oleh kebutuhan rasionalitas kerangka
konseptual akuntansi syariah yang lebih baik lagi.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sejauh ini telah menerbitkan enam standar terkait
dengan akuntansi syariah, yaitu PSAK 101 (penyajian dan pengungkapan laporan keuangan
entitas syariah), PSAK 102 (murabahah), PSAK 103 (salam), PSAK 104 (istishna), PSAK
105 (mudharabah) dan PSAK 106 (musyarakah). Berdasarkan Exposure Draft Kerangka
Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, kerangka dasar ini menyajikan
konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi para penggunanya.
Namun tampaknya adanya standar ini pun tidak membuat pihak-pihak berkepentingan lantas
merasa puas dengan standar ini. Masih terdapat banyak kebimbangan dan ketakutan dalam
mengaplikasikan akuntansi syariah ini. Sementara masalah ini belum terselesaikan, akuntansi
syariah ini juga dihadapkan dengan konvergensi International Financial Reporting Standards
(IFRS) pada standar akuntansi Indonesia.
Menurut Rosita Uli Sinaga, Ketua Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI dalam
seminar FKSPI “IFRS for Auditor” (2011), latar belakang konvergensi IFRS di Indonesia
adalah pengakuan IFRS sebagai standar akuntansi global yang telah digunakan lebih dari 100
negara dan kurang lebih 40% negara-negara global Fortune 500 dan adanya izin yang
diberikan pada emiten dari luar US untuk menggunakan laporan keuangan berbasis IFRS oleh
US SEC pada akhir 2007. Selain itu, konvergensi IFRS ini juga dilatarbelakangi oleh adanya
komitmen dari G-20 Member September 2009 yang lalu untuk melengkapi detail masalah
instrumen keuangan, off-balance sheet item, pengadaan (termasuk ketentuan pinjaman rugi),
dan penilaian gangguan pada akhir 2009 untuk melipatgandakan upaya mereka untuk
mencapai satu set berkualitas tinggi, standar akuntansi global dalam konteks penetapan
standar independen mereka yaitu mengkonvergensi dan menyelesaikan proyek pada Juni
2011. Target Konvergensi IFRS 2012 di Indonesia adalah merevisi PSAK agar secara
signifikan sesuai dengan IFRS per 1 Januari 2009, yang akan efektif pada 2011 atau 2012.
Dalam mencapai target tersebut DSAK IAI menggunakan pendekatan bertahap sehingga pada
tahun 2012 laporan keuangan berdasarkan SAK tidak memerlukan rekonsiliasi signifikan
dengan laporan keuangan berbasis IFRS. Mulai tahun 2008 – 2012 PSAK berbasis industri
sebagian besar dicabut karena IFRS berbasis transaksi.
Konvergensi IFRS ini juga menimbulkan munculnya berbagai isu-isu terkait
akuntansi syariah. Isu-isu ini diteliti oleh sebuah kelompok kerja yang mengurusi masalah
konvergensi IFRS di Asia yaitu Asian-Oceanian Standard Setters Group (AOSSG).
Kelompok ini kemudian menuangkan isu-isu akuntansi tersebut dalam sebuah Research
Paper yang telah dipublikasikan pada bulan September 2010 yang lalu. Isu-isu ini nantinya
diharapkan berguna dalam menyusun sebuah kerangka konseptual yang lebih baik, sehingga
nantinya akan menyesuaikan standar sesuai dengan kondisi yang relevan di Indonesia pada
saat konvergensi IFRS. Makalah ini akan membahas mengenai berbagai isu standarisasi yang
muncul terkait konvergensi IFRS di Indonesia yang mengacu pada Research Paper dari
AOSSG tersebut.
B.ISU-ISU BANKING
Masalah Perbankan di Indonesia Saat Ini -Masalah perbankan kini semakin hangat
saja diberitakan oleh berbagai media. Meskipun dunia perbankan telah lama hadir di
Indonesia dan hampir semua masyarakat Indonesia sering berhubungan dengan bank, tetap
saja masalah perbankan tak habis-habisnya menghantui semua pihak. Apa sebenarnya yang
menyebabkan masalah perbankan ini selalu muncul? Apa saja jenis-jenis masalah tersebut?
Siapa yang salah dalam hal ini? Pihak bank, pemerintah, atau para nasabah?
Selain mengadu langsung ke pihak bank bersangkutan, para konsumen ini mengadukan
masalahnya ke berbagai lembaga lainnya. Lembaga-lembaga yang dijadikan tempat aduan
konsumen yaitu lembaga konsumen seperti YLKI, pengadilan, biro mediasi perbankan,
media massa dengan mengisi surat pembaca, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK), dan lain sebagainya. Pengaduan-pengaduan yang disampaikan oleh para konsumen
ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi konsumen lainnya yang memakai layanan
serupa.Selain itu, pengaduan ini pun dapat dijadikan masukan bagi para pelaku usaha untuk
segera meningkatkan kualitas produk serta layanannya. Jika pelaku-pelaku usaha banyak
memperoleh keluhan, hal ini memperlihatkan usahanya memiliki masa depan cerah sebab
masih ada banyak orang yang peduli. Sementara itu, bagi pemerintah, pengaduan konsumen
ini dapat dijadikan masukan untuk memperbaiki penetapan kebijakan-kebijakan terkait.
Pengaduan Masalah Perbankan Meningkat Sampai semester pertama 2012, BI (Bank
Indonesia) sudah menerima pengaduan perbankan sebanyak 216.708 kasus. Jumlah ini
meningkat sebanyak 1417 kasus jika dibanding dengan tahun lalu di periode yang sama. Ini
artinya permasalahan perbankan menagalami peningkatan. Direktur Eksekutif Kepala
Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia mengatakan bahwa kasus
yang paling mendominasi adalah kasus seputar produk kartu kredit dan ATM.
Jumlahnya mencapai 96,31 persen dari jumlah total pengaduan. Meningkatnya jumlah
dispute atau pengaduan kartu kredit ini disebabkan oleh sejumlah faktor seperti kartu yang
tertelan lalu terdebet dan kartu nasabah hilang tetapi terjadi transaksi. Untuk menurunkan
jumlah kasus, pihak terkait, dalam hal ini Direktur Eksekutif Kepala Departemen Investigasi
dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, akan memanggil pengawas bank bersangkutan untuk
mengonfiormasi hal tersebut. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan pelayanan, Bank
Indonesia akan menelaah besaran nilai yang disengketakan. Sebelumnya, Bank Indoenesia
hanya bersedia menangani nilai sengketa di bawah 500 juta rupiah.
Posisi Nasabah Dianggap Lemah dalam Masalah Perbankan Masih ingat kasus Bank
Century? Kasus Bank Century yang merugikan nasabahnya sekitar 6,7 triliun rupiah sampai
saat ini belum juga tuntas. Kasus yang sama pun terjadi di Provinsi Jawa Tengah, yaitu di
Bank Jateng Syariah Cabang Surakarta. Seorang nasabah Bank Jateng Syariah Cabang
Surakarta mengalami kerugian sekitar 6 miliar rupiah. Nasabah ini mengatakan bahwa
rekening tabungannya raib dibobol pegawai bank sebab surat kuasa miliknya dipalsukan.
Terkait dengan kasus ini, Bank Jateng pusat tak mengakui secara hukum Bank Jateng Syariah
Cabang Surakarta ada di bawah naungannya. Sebenarnya, nasabah yang merasa dirinya
dirugikan oleh pihak bank bisa membuat surat pengaduan lewat media. Jika pihak bank tidak
dengan segera menindaklanjuti pengaduan tersebut, akan berpengaruh terhadap reputasi bank
yang bersangkutan.Jika jumlah tabungan nasabah nilainya di bawah 500 juta rupiah, Bank
Indonesia bersedia melakukan mediasi. Tapi, untuk permasalahan nasabah yang jumlah
tabungannya lebih dari itu, Bank Indonesia tak bisa memediasi dan harus ditangani oleh
lembaga lain seperti pengadilan. Pihak nasabah dan pihak bank sebaiknya menyelesaikan
sengketanya terlebih dahulu. Tapi, bila nasabah merasa kurang puas, pihak pengadilan akan
menentukan kebenaran surat kuasa palsu tersebut. Dalam dunia perbankan di Indonesia,
pihak nasabah masih ditempatkan dalam posisi yang lemah. Hal ini wajar karena klausul-
klausul dalam industri perbankan Indonesia belum memihak kepada nasabah sebagai
penabung. Masalah Perbankan Muncul karena Minimnya Edukasi Masyarakat Benarkah
minimnya edukasi masyarakat tentang dunia perbakan menjadi penyebab munculnya masalah
dunia perbankan?
Ya, minimnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap lembaga jasa keuangan atau
perbankan menjadi penyebab menjamurnya permasalahan yang terjadi di dunia perbankan.
Oleh sebab itu, pemberian edukasi seputar perbankan kepada masyarakat diharapkan akan
menekan tejadinya krisis di sektor keuangan. Jika edukasi didorong dan dilakukan secara
intens, dispute atau pengaduan di perbankan akan berkurang. Bahkan, pemahaman persoalan
seputar keuangan akan membuat kegiatan layanan keuangan menjadi lebih terbuka.
Permasalahan di perbankan yang dialami oleh masyarakat terjadi karena kurangnya edukasi.
Bila distatistikkan, kelemahan ini menjadi yang utama dan pertama. Tapi, dengan semakin
meningkatnya pengetahuan masyarakat seputar lembaga jasa keuangan, maka semakin
membaik pula dunia perbankan. Hal ini karena ruang pengaduan masyarakat atau dispute
akan semakin berkurang. Untuk meningkatkan edukasi masyarakat tentang dunia perbankan,
OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan membuat sejumlah program. Bahkan, akan dibentuk pula
dewan komisioner yang bertugas memimpin komite edukasi dan perlindungan konsumen.
Komiter perlindungan konsumen ini melibatkan banyak pihak. Pada intinya, OJK (Otoritas
Jasa Keuangan) akan membangun postur edukasi serta perlindungan konsumen sebaik-
baiknya. Masalah Perbankan - Perbankan Harus Miliki Divisi Khusus Pengaduan Nasabah
Masalah dunia perbankan kini semakin menjadi perhatian khusus pemerintah. Walaupun di
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tidak disebutkan spesifikasi
jasa atau produk tertentu, selama ini masalah dunia perbankan terus diproses BPKN (Badan
Perlindungan Konsumen Nasional).
Meskipun tak ada spesifikasi tertentu, permasalahan perbankan yang diadukan oleh
konsumen selalu direspons dengan memberi rekomendasi kepada pemerintah sebagai
pemegang kewenangan. Berdasarkan penjelasan para konsumen, mereka sangat mengeluhkan
pelayanan perbankan yang berkaitan dengan pengaduan nasabah. Para konsumen perbankan
atau nasabah merasa kesulitan mendapat solusi yang sesuai dengan harapan. Para nasabah
sering sekali mengeluhkan kurangnya perhatian dari lembaga penyedia jasa perbankan
tentang pengaduan masalah yang tengah dialami. Tak tersedianya loket khusus pelayanan
pengaduan nasabah telah membuat para konsumen merasa kecewa. Itulah masalah-masalah
perbankan yang sering muncul di Indonesia. Tentunya permasalahan ini bisa diatasi jika
pihak bank mau lebih menyeleksi dan memberikan layanan terbaiknya kepada para nasabah.
Konsumen atau nasabah adalah aspek utama dalam keberhasilan sebuah bank. Oleh karena
itu, berikan fasilitas pada konsumen, serta selesaikan segala masalah nasabah dengan cepat
agar mereka tidak komplain (permasalahan perbankan paling banyak). Tak jarang para
nasabah sulit menyampaikan masalah dan sulit mendapat solusi dari masalah yang dialami.
Untuk itu, perbankan juga seharusnya memiliki divisi khusus pengaduan nasabah sehingga
masalah ini dapat teratasi.
Di tengah pertumbuhan yang pesat dan tingginya animo masyarakat terhadap perbankan
Syariah mengakibatkan terjadinya ketimpangan karena pemahaman masyarakat terhadap
produk, istilah dari keuangan dan perbankan Syariah masih rendah ditambah lagi kualitas
SDM Syariah juga masih kurang memadai baik dari kualitas dan kuantitas dalam bidang
perbankan Syariah sehingga kondisi ini berpotensi sebagai gap yang pada akhirnya bisa
berpotensi terhadap penyimpangan. Perkembangan yang pesat perbankan Syariah dengan
jumlah asset pertumbuhan yang makin meningkat yang melebihi perkembangan perbankan
konvensional menjadikan isu transparansi pada bank Islam menjadi hal yang sangat penting
dan mendesak. Dengan banyaknya kasus penyelewengan dan skandal di bank konvensional
sehingga publik mempunyai harapan yang tinggi terhadap performance bank Syariah sebagai
alternatif dalam sistem ekonomi.
KESIMPULAN