Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

SINDROM OBSTRUKSI PASCA TB (SOPT)

DEFINISI

Sindrom obstruksi pasca TB (SOPT) adalah Obstruksi yang terjadi oleh karena rusaknya
parenkim paru akibat penyakit tuberculosis sehingga timbul fibrosis yang mengakibatkan saluran
nafas menjadi tidak teratur dan terjadi kompensasi.

Sindrom obstruksi difus yang berhubungan dengan TB paru dikenal dengan berbagai nama. Di
Bagian Unit Paru RSUP Persahaban Jakarta, dikenal dengan nama TB paru dengan sindrom
obstruksi dan sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Kekerapan sindrom obstruksi pada TB paru
bervariasi antara 16%¬50%.

PATOGENESIS

LULUH PARU (DESTROYED LUNG):

Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara
klinis disebut luluh paru.
Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,ektasis/ multikavitas dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi ataupenyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut.

Cor Pulmonal Chronic

PENGERTIAN

Kor pulmonal merupakan suatu keadaan dimana timbul hipertrofi dan dilatasi ventrikel
kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan; timbul akibat penyakit yang menyerang struktur
atau fungsi paru-paru atau pembuluh darahnya. Definisi ini menyatakan bahwa penyakit jntung
kiri maupun penyakit jantung bawaan tidak bertanggung jawab atas patogenesis kor pulmonale.
Kor pulmonale bisa terjadi akut (contohnya, emboli paru-paru masif) atau kronik.

Menurut WHO ( 1963 ), Definisi Cor Pulmonale adalah: Keadaan patologis dengan di
temukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur
paru. Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit
jantung konginetal ( bawaan ).

PATOFISIOLOGI

Fungsi Normal dari Sirkulasi Paru-paru.

Sirkulasi paru-paru terletak diantara ventrikel kanan dan kiri untuk tujuan pertukaran gas.
Dalam keadaan normal, aliran darah dalam anyaman vaskuler paru-paru tidak hanya tergantung
dari ventrikel kanan tetapi juga dari kerja pompa pada pergerakan pernapasan. Karena sirkulasi
paru-paru normal merupakan sirkulasi yang bertekanan dan resistensi rendah; maka curah
jantung dapat meningkat sampai beberapa kali (seperti yang terjadi pada waktu latihan fisik)
tanpa peningkatan bermakna dari tekanan arteria pulmonalis. Keadaan ini dapat terjadi karena
besarnya kapasitas anyaman vaskuler paru-paru, dimana perfusi normal hanya 25% dalam
keadaan istirahat, serta kemampunan untuk menggunakan lebih banyak pembuluh sewaktu
latihan fisik.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS.

Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonale adalah penyakit yang secara
primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-paru berulang, dan penyakit
yang mengganggu aliaran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.
PPOM terutama jenis bronkitis, merupakan penyebab tersering dari kor pulmonale. Penyakit-
penyakit pernapasan restriktif yang menyebabkan kor pulmonal dapat berupa penyakit-penyakit
”intrinsik” seperti fibrosis paru-paru difus, dan kelainan ”ektrinsik” seperti obesitas yang
ekstrim, kifoskoliosis, atau gangguan neuromuskuler berat yang melibatkan otot-otot pernapasan.
Akhirnya, penyakit vaskuler paru-paru yang mengakibatkan obstruksi terhadap aliran darah dan
kor pulmonale cukup jaran terjadi dan biasanya merupakan akibat dari emboli paru-paru
berulang.

Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonale biasanya terjadi peningkatan resistensi
vaskuler paru-paru dan hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmonar pada akhirnya meningkatkan
beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal
jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi
vaskuler paru-paru pada arteria dan arteriola kecil.

Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru-pru


adalah :

1. Vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-paru.

2. Obstruksi dan/atau obliterasi anyaman vaskuler paru-paru.

Mekanisme yang pertama tampaknya paling penting dalam patogenesis kor pulmonale.
Hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari PPOM bronkitis lanjut
adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana kedua mekanisme itu terjadi.
Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang lebih kuat untuk menimbulkan
vasokontriksi pulmonar daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan
terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat
terhadap hipoksia akut. Asidosis, hiperkapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam
menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia
dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnea, juga ikut
meningkatkan tekanan arteria paru-paru.

Mekanisme kedua yang turut meningkatkann resistensi vaskuler dan tekanan arteria paru-paru
adalah bentuk anatomisnya. Emfisema dicirikan oleh kerusakan bertahap dari struktur alveolar
dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya
pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu,
pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru-paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik
dari volume paru-paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap
anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor
pulmonale. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami
obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru-paru yang bermakna.
Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif
sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi.

Dalam pembahasan diatas jelas diketahui bahwa setiap penyakit paru-paru yang mempengaruhi
pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau anyaman vaskuler paru-paru dapat mengakibatkan kor
pulmonale.

MANIFESTASI KLINIS.

Diagnosis kor pulmonale terutama berdasarkan pada dua kriteria yaitu:

1 Adanya penyakit pernapasan yang disertai hipertensi pulmonal.

2 Bukti adanya hipertrofi ventrikel kanan.

Adanya hipoksemia menetap, hiperkapnea, dan asidosis atau pembesaran ventrikel kanan pada
radiogram menunjukan kemungkinan penyakit paru-paru yang mendasarinya. Adanya emfisema
cenderung mengaburkan gambaran diagnosis kor pulmonale. Dispnea timbul sebagai gejala
emfisema dengan atau tanpa kor pulmonale. Dispnea yang memburuk dengan mendadak atau
kelelahan, siknop pada waktu bekerja, atau rasa tidak enak angina pada substernal
mengisyaratkan keterlibatan jantung. Tanda-tanda fisik dari hipertensi pulmonal berupa kuat
angkat sistolik pada area parasternal, mengerasnya bunyi pulmonik kedua,dan bising akibat
insufisiensi katup trikispidalis dan pulmonalis, irama gallop (S3 dan S4) distensi vena jugularis
dengan gelombang A yang menonjol, hepatomegali, dan edema perifer dapat terlihat pada pasien
dengan gagal ventrikel kanan.

DIAGNOSIS

Pada anamnesis, biasanya pasien mengeluhkan :


 Fatigue, takipnue, exertional dyspnea, dan batuk
 Nyeri dada atau angina yang disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan atau teregangnya
arteri pulmonalis.
 Hemoptisis, karena rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau
terdilatasi akibat hipertensi pulmonal.
 Bisa juga ditemukan variasi gejala-gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan
hipoksemia.
 Pada tahap lanjut, gagal jantung kanan akan mengakibatkan kongestif hepar, sehingga muncul
gejala anoreksia, nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut kanan atas, dan ikterus.

pada pemeriksaan fisik, bisa didapatkan :

 Inspeksi : diameter dinding dada yang membesar, sianosis


 Palpasi : edema tungkai, peningkatan vena jugularis yang menandakan terjadinya gagal jantung
kanan.
 Perkusi : pada paru bisa terdengar hipersonor pada PPOK, pada keadaan yang berat bisa
menyebabkan asites.
 Auskultasi :pada paru ditemukan wheezing dan rhonki, bisa juga ditemukan bising sistolik di
paru akibat turbulensi aliran pada rekanalisasi pembuluh darah pada chronic thromboembolic
pulmonary hypertension. Split pada bunyi jantung II, dapat ditemukan pada tahap awal, namun
pada tahap lanjut dapat terdengar systolic ejection murmur yang terdengar lebih keras di area
pulmonal. Bunyi jantung III dan IV juga terdengar serta mumur sistolik dari regurgitasi
pulmonal.

Pada pemeriksaan penunjang:

 Pada foto thorak, ditemukan corakan vaskuler meningkat, pelebaran hilus dan trunkus
pulmolnal. Kemudian tanda-tanda pembesaran ventrikel kanan, seperti apeks terangkat,
pinggang jantung menghilang.
 Pada EKG, ditemukan gelompang P pulmonal, deviasi aksis jantung ke kanan dan RVH.
 Pada Echokardiografi ditemukan penebalan dinding ventrikel kanan, pelebaran rongga ventrikel
kanan ke arah kiri, septum interventrikuler bergeser ke kiri dan bergerak berlawanan selama
siklus jantung.
 Kateterisasi jantung, akan membantu untuk menilai tekanan vaskuler paru, kalkulasi tahanan
vaskular paru serta responnya terhadap pemberian oksigen dan vasolilator.

PENATALAKSANAAN.

Tujuan dari terapi pada kor pulmonal kronik adalah :

1. Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas


2. Menurunkan hipertensi pulmonal
3. Meningkatkan kelangsungan hidup
4. Pengobatan penyakit dasar dan komplikasinya.

Penatalaksanaan tentu diawali dengan istirahat, diet jantung yang rendah garam, kemudian
menghentikan faktor resiko seperti merokok pada pasien PPOK. Kemudian penatalaksanaan
selanjutnya sebagai berikut :

Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan hidup belum diketahui
pasti, namun ada 2 hipotesis : (1) terapi oksigen mengurangi vasikontriksi dan menurunkan
resistensi vaskular paru yang kemuadian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan. (2) terapi
oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak
dan organ vital lainnya.

Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute of Health, USA); 15 jam
(British Medical Research Counsil) meningkatkan kelangsungan hidup dibanding pasien tanpa
terapi oksigen. Indikasi terapi oksigen adalah : PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%, PaO2 55-59
mmHg disertai salah satu dari : edema disebabkan gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG,
eritrositosis hematokrit > 56%.

Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik, ACE-
I, dan postaglandin belum direkomendasikan secara rutin. Vasodilator dapat menurunkan
tekanan pulmonal pada kor pulmonal kronik, meskipun efisiensinya lebih baik pada hipertensi
pulmonal yang primer. Vasodilator yang biasa dipakai adalah nifedipine dengan dosis 10-30 mg
PO 3 kali sehari, maksimal 120 -180 mg per hari.

Digitalis
Hanya digunakan pada pasien kol pulmonal bisa disertai gagal jantung kiri. Digoksin bisa
diberikan dengan dosis 0,125-0,375 mg PO 1 x 1. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai
resiko aritmia.

Diuretik
Diberikan bila ditemukan gagal jantung kanan, pemberian diuretik berlebihan dapat
menimbulkan alkalosis metabolik yang dapat memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu
pemberian diuretik dapat menimbulkan kekurangan cairan sehingga mengakibatkan preload
ventrikel kanan dan curah jantung menurun. Furosemid dapat diberikan dengan dosis 20-80 mg
per hari PO / IV, dosis maksimal 600 mg per hari.

Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tombroemboli akibat disfungsi dan pembesaran
ventrikel kanan adanya faktor imobilisasi pada pasien. Warfarin dapat diberikan dengan dosis 2-
10 mg PO 1 x 1.

PROGNOSIS
Pada kor pulmonal kronik yang disertai gagal jantung kanan, prognosisnya buruk. Namun
dengan pemberian terapi oksigen dalam jangka panjang dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien.
Kepustakaan

1. Sjaharuddin Harun dan Ika Prasepta Wijaya, Kor Pulmonal Kronik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. InternaPublishing2009; 287: 1842-44
2. Braunwald E, Heart Failure and cor pulmonale, dalam Harisson’s Principles Internal Medicine, edisi 16.
New York, McGraw-Hill, 2005; 216 : 1367-78
3. Weitzenblum E, Chronic Cor Pulmonale. Heart 2003; 89:225-30. Diakses dari situswww.bmj-
heart.com tanggal 18 desember 2010.
4. Ali A Sovari, Cor Pulmonale. University of Illinois at Chicago, 2010. Diakses dari
situswww.emedicine.com tanggal 18 desember 2010

Anda mungkin juga menyukai