Anda di halaman 1dari 149

BAB I

BANGSA INDONESIA

Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan


konsep bangsa, proses pembentukan bangsa Indonesia, masalah
kemajemukan bangsa Indonesia, yang terkait dengan masalah integrasi,
konflik, faktor-faktor pemersatu bangsa, dan jati diri bangsa.

Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari


berbagai ikatan primordial—agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat—yang
berbeda satu sama lain. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan perbedaan-perbedaan
yang ada itu menimbulkan berbagai masalah integrasi dan konflik yang berkaitan dengan
keberadaan dasar dan ideologi bangsa , yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai pengikat
bangsa, faktor-faktor pemersatu bangsa lainnya, serta jati diri bangsa.

1. Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa


Secara konseptual, yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat
yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan
sendiri. Contoh: Bangsa Indonesia, India, dsb.1 Sekelompok masyarakat yang
membentuk suatu bangsa, sebagaimana definisi bangsa tersebut tidaklah sesederhana itu.
Suatu bangsa terbentuk melalui suatu proses perjalanan sejarah, yang berbeda dengan
bangsa lain. Keberadaan suatu bangsa pun seringkali dipengaruhi oleh interaksinya
dengan bangsa-bangsa lain.
Sebagai suatu bangsa, Indonesia mempunyai ciri atau corak yang khas. Ciri khas
itu muncul karena latar belakang sejarah pembentukannya yang berbeda dengan bangsa
lain. Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang menonjol adalah bahwa bangsa

1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke III.
Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 102.

1
Indonesia dibentuk oleh kesatuan dari berbagai suku bangsa sehingga disebut bangsa
yang majemuk.
Mengenai pengertian konsep suku bangsa, Koentjaraningrat memberikan
penjelasan sebagai berikut. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang
dapat berwujud sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok
adat lainnya, menampilkan corak khas tertentu yang terutama dilihat oleh orang luar yang
bukan warga masyarakat bersangkutan. Corak khas tersebut dapat dilihat pada unsur-
unsur kebudayaan yang ada pada komunitas itu, misalnya hasil kebudayaan fisik dan
pranata-pranata yang ada pada pola sosial khusus. Kekhasan corak kebudayaan pada
suatu masyarakat itu yang membedakannya dengan masyarakat lainnya. Dalam etnografi
(deskripsi atau tulisan tentang bangsa-bangsa), suatu kebudayaan dengan corak khas itu
dinamakan suku bangsa atau kelompok etnik (ethnic group).
Di antara kedua istilah di atas —suku bangsa dan kelompok etnik—istilah yang
lebih tepat bagi kelompok masyarakat dengan corak yang khas tersebut adalah suku
bangsa, bukan kelompok etnik karena suku bangsa merupakan golongan sosial bukan
kelompok sosial. Golongan sosial dan kelompok sosial merupakan dua konsep mengenai
kesatuan-kesatuan sosial atau unsur-unsur masyarakat. Kedua konsep itu mempunyai
pengertian yang berbeda. Golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang
ditandai oleh suatu ciri tertentu, yang mempunyai ikatan identitas sosial. Kelompok sosial
merupakan suatu masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya, yaitu adanya sistem
interaksi antara para anggota, adat-istiadat serta sistem norma yang mengatur interaksi
itu, kontinuitas, serta adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota tadi. Di
samping ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai
ciri tambahan, yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan dan selalu tampak sebagai
kesatuan-kesatuan dari individu-individu yang pada masa-masa tertentu, secara berulang,
berkumpul dan kemudian bubar lagi.
Suku bangsa sebagai golongan sosial adalah golongan manusia yang terikat oleh
identitas dan kesadaran akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas itu sering
kali dikuatkan pula oleh kesatuan bahasa. “Kesatuan kebudayaan” tersebut bukan
ditentukan oleh pihak luar, misalnya ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau ahli lainnya,
dengan metode-metode analisis ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri.

2
Contoh kebudayaan suku bangsa yang diuraikan di atas ialah kebudayaan Sunda
yang merupakan suatu kesatuan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Jawa atau
Batak. Kesatuan kebudayaan Sunda itu bukan ditentukan oleh pihak luar, melainkan
karena orang-orang Sunda sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman mengenai
kebudayaan mereka, yang mempunyai kepribadian dan identitas khusus, yang berbeda
dengan kebudayaan lain. Apalagi adanya bahasa Sunda, yang berbeda dengan bahasa
Jawa atau Batak, menyebabkan semakin tingginya kesadaran akan kepribadian khusus
tadi. (Koentjaraningrat, 2002: 263—266.)
Menurut Suparlan, suku bangsa merupakan kategori atau golongan sosial yang
askriptif, yaitu keanggotaan dalam suku bangsa tersebut diperoleh bersama dengan
kelahiran, yang mengacu kepada asal orang tua yang melahirkan dan asal daerah tempat
seseorang dilahirkan. Sebagai golongan sosial, suku bangsa terwujud sebagai perorangan
atau individu dan kelompok. Sebagai kelompok, suku bangsa terwujud sebagai keluarga,
komuniti, masyarakat, atau juga berupa perkumpulan suku bangsa. Sebagai kelompok,
suku bangsa mempunyai ciri-ciri berikut.
a. Suku bangsa merupakan satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang
biak dan lestari, yaitu dengan adanya keluarga yang dibentuk melalui perkawinan.
b. Suku bangsa mempunyai kebudayaan bersama yang merupakan pedoman bagi
kehidupan mereka, dan secara umum berbeda dengan kelompok suku bangsa lain.
c. Keanggotaan di dalam suku bangsa bercorak askriptif.
Keanggotaan seseorang di dalam sebuah suku bangsa yang bercorak askpritif
berbeda dari keanggotaan seseorang di dalam sebuah kelas sosial atau kelompok profesi
yang coraknya diperoleh melalui prestasi kerja atau usaha. Keanggotaan seseorang di
dalam suatu suku bangsa adalah keanggotaan terus-menerus atau untuk selamanya,
sedangkan keanggotaan di dalam kelas sosial atau kelompok profesi akan hilang pada
waktu yang bersangkutan tidak lagi mampu menunjukkan kemampuan ekonomi yang
menjadi ciri-ciri dari kelas sosial yang di dalamnya dia tergolong atau pada waktu
seseorang itu tidak lagi mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya. (Suparlan,
2005: 3—6.)
Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu jati diri atau
identitas diri. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia maka jati diri seseorang merupakan

3
jati diri bangsa Indonesia. Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
didukung oleh kesatuan dari aneka suku bangsa, maka diperlukan pemahaman terhadap
suku-suku bangsa tersebut. Corak jati diri atau identitas diri bangsa Indonesia sangat
ditentukan oleh jati diri suku-suku bangsa pendukung bangsa Indonesia. Jati diri suku
bangsa atau kesukubangsaan termasuk salah satu di antara jati diri yang dapat menjadi
jati diri utama, atau dapat juga menjadi jati diri yang menempel dan memperkuat jati diri
utama seseorang. Oleh karena itu interaksi antar-suku bangsa, yang masing-masing
mempunyai corak jati diri yang berbeda itu, perlu pula dilakukan dengan tetap
mengedepankan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Permasalahan bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang majemuk berkaitan dengan interaksi antar-suku bangsa akan
diuraikan lebih lanjut pada sub-bab mengenai masyarakat majemuk bangsa Indonesia.

2. Indonesia Bangsa yang Majemuk

Menurut Haviland, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki


keberagaman pola-pola kebudayaan (societies that have a diversity of cultural patterns)
(Haviland, 2000: 386). Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang
majemuk akan melahirkan kebudayaan majemuk, yang merupakan interaksi sosial dan
politik dari orang-orang yang cara hidup dan cara berpikirnya berbeda dalam suatu
masyarakat (Haviland, 2000: 805).
Dimaksud dengan bangsa, menurut kamus istilah antropologi, adalah kumpulan
manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum,
dan biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Pengertian bangsa ini tidak jauh
berbeda dengan yang dikemukakan oleh Haviland, yaitu suatu komunitas orang-orang
yang memandang dirinya sebagai “kesatuan manusia” yang didasari oleh nenek moyang,
sejarah, masyarakat, institusi, ideologi, bahasa, wilayah, dan seringkali kepercayaan yang
sama (Haviland, 2000: 664).

a. Kemajemukan Bangsa Indonesia sebagai Realitas

Di samping pengertian bangsa dalam arti kenegaraan tersebut di atas, bangsa


Indonesia terdiri dari berbagai bagian lagi yang disebut sebagai suku bangsa. Berbagai

4
suku bangsa tersebut ialah suku bangsa Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, dan
lain-lain. Masing-masing suku bangsa itu mempunyai kebudayaan sendiri, yang berbeda
dengan suku bangsa lainnya, yaitu berbeda bahasa, adat-istiadat, cara hidup, dan
sebagainya. Sesungguhnya suku bangsa itu masing-masing merupakan satu bangsa dalam
arti etnik, yaitu kebulatan kemasyarakatan yang mempunyai kebudayaan sendiri, karena
berasal dari satu keturunan.
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan aneka suku bangsa yang
membentuk satu kesatuan, yaitu bangsa Indonesia. Berdasarkan data sensus penduduk
tahun 2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku bangsa di Indonesia adalah
sebanyak 1.128 suku bangsa, dengan jumlah penduduk keseluruhannya sebanyak
237.556.363 orang, dan dengan luas wilayahnya sekitar 1.910.931 km2.2
Menurut Suparlan, Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas
masyarakat-masyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai
satu bangsa atau nasion, yaitu bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia dikatakan
sebagai sebuah masyarakat yang majemuk karena mengenal tiga sistem yang digunakan
sebagai acuan atau pedoman di dalam kehidupan warga masyarakatnya. Sistem-sistem itu
adalah 1) sistem nasional, 2) sistem suku bangsa, dan 3) sistem tempat-tempat umum.
Sebagai sebuah bangsa, masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik, yaitu
sebuah negara kesatuan yang menempati sebuah wilayah yang dinamakan Negara
Republik Indonesia. Sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah suku bangsa,
hubungan-hubungan sosial di antara warga suku bangsa yang berbeda itu lazim
berlangsung di tempat-tempat umum (pasar, tempat-tempat hiburan, kegiatan-kegiatan
sosial bersama) yang menjadikan fungsi tempat-tempat umum tersebut menjadi penting
untuk berinteraksi. (Suparlan, 2005: 54—60.)
Aneka suku bangsa yang terdapat dalam Negara Republik Indonesia adalah sama
banyak jumlahnya dengan bahasa-bahasa mereka, yang disebut bahasa daerah (Loebis,
1979: 10—11). Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan suatu realita yang tidak
dapat diingkari. Oleh karena itu, aneka suku bangsa yang ada perlu disikapi dengan
kesadaran akan Indonesia sebagai bangsa yang satu.

2
Rusman Heriawan, Kepala BPS, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu tanggal
3 Februari 2010.

5
Bentuk pluraritas bangsa Indonesia setidaknya dapat dilihat dalam dua macam,
yaitu 1) pluralitas horizontal, misalnya keberagaman etnis, agama dan bahasa, dan 2)
pluralitas vertikal, misalnya keanekaragaman profesi, tingkat ekonomi, dan pendidikan.
Di samping itu, bentuk pluralitas bangsa Indonesia dapat pula dilihat dari keberagaman
kelompok, lapisan, dan golongan (meskipun substansinya sama dengan bentuk pluralitas
yang disebutkan terdahulu). Keberagaman kelompok berkaitan antara lain dengan
keberagaman kelompok etnik, afiliasi politik, dan agama yang dianut.

b. Masalah-Masalah Terkait Pluralitas Bangsa Indonesia

Konsekuensi dari pluralitas atau heterogenitas masyarakat Indonesia adalah


potensi terjadinya konflik atau integrasi. Konflik berpotensi terjadi apabila terdapat cara
pandang tertentu seperti sikap etnosentrisme atau primordialisme, yang diwujudkan
antara lain dalam bentuk stereotip etnik pada suku bangsa lain. Di sisi lain integrasi
bangsa dapat didorong oleh aspek-aspek seperti pengalaman sejarah yang sama, tujuan
yang sama, bahasa dan simbol-simbol yang sama sebagai identitas kebangsaan.
Mengapa kemajemukan masyarakat menjadi salah satu sebab munculnya
persoalan konflik atau masalah integrasi bangsa di Indonesia? Hal ini dapat dijelaskan
dengan menunjukkan bahwa keberagaman suku bangsa di Indonesia menimbulkan
beberapa konsekuensi ketika anggota masyarakat dari berbagai suku bangsa itu
berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi antar-anggota masyarakat yang berbeda suku
bangsa itu akan muncul jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan masing-masing yang
diakui oleh anggota masyarakat dari suatu suku bangsa maupun oleh anggota masyarakat
suku bangsa lainnya dalam interaksi yang terjadi. Acuan jati diri suku bangsa adalah
kebudayaan suku bangsa yang terwujud dalam bentuk atribut-atribut yang menjadi ciri-
ciri dari suku bangsa masing-masing pelaku dalam suatu interaksi.
Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kelompok kerabat pada
dasarnya adalah kebudayaan suku bangsa. Sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya
secara langsung atau tidak langsung berasal dari satu keturunan yang sama, atau yang
selama beberapa generasi menempati suatu wilayah, adalah sebuah masyarakat suku

6
bangsa. Masyarakat suku bangsa ini, sama halnya dengan keluarga atau kelompok
kekerabatan, adalah sebuah masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsa.
Pada masyarakat suku bangsa, kebudayaan suku bangsa menjadi sebuah acuan
utama dalam menghadapi lingkungan sosial budaya dari masyarakat tersebut. Dalam
masyarakat luas yang heterogen atau majemuk, kebudayaan masing-masing suku bangsa
berisikan keyakinan-keyakinan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa dan mencakup juga
pengetahuan mengenai diri atau suku bangsa sendiri yang berbeda dengan suku bangsa
lainnya. Perbedaan atau pertentangan dengan suku bangsa lainnya itu—secara sadar atau
tidak sadar—memunculkan keberadaan jati diri suku bangsa sendiri dan jati diri suku-
suku bangsa lainnya.
Pengetahuan mengenai suku bangsa sendiri dan suku-suku bangsa lainnya yang
hidup bersama-sama dalam sebuah masyarakat akan memunculkan keyakinan-keyakinan
mengenai kebenaran yang subjektif terkait dengan pengetahuan mengenai ciri-ciri suku-
suku bangsa lainnya itu. Pengetahuan anggota masyarakat suatu suku bangsa terhadap
suatu suku bangsa lainnya berisikan konsep-konsep yang sering kali digunakan sebagai
acuan dalam menghadapi anggota-anggota suku-suku bangsa lainnya itu. Konsep-konsep
ini disebut stereotip (stereotype), dan stereotip dapat berkembang menjadi prasangka
(prejudice).
Sebuah stereotip mengenai sesuatu suku bangsa biasanya muncul dari
pengalaman seseorang atau sejumlah orang dalam berhubungan dengan para pelaku dari
suku bangsa itu. Dari sejumlah pengalaman yang terbatas itu, yang dipahami dengan
mengacu pada kebudayaannya, muncullah pengetahuan yang diyakini kebenarannya dan
menjadi bagian dari kebudayaan suku bangsa tertentu, yaitu pengetahuan mengenai ciri-
ciri suku bangsa itu. Pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang atau sejumlah anggota
masyarakat suku bangsa mengenai sesuatu suku bangsa tersebut kemudian
disebarluaskan kepada sesama anggota masyarakat sehingga pengetahuan yang sifatnya
terbatas mengenai ciri-ciri sesuatu suku bangsa tersebut menjadi sebuah pengetahuan
yang bersifat umum dan baku yang diyakini kebenarannya. Padahal, sebenarnya,
pengetahuan itu amat terbatas dan subjektif karena berisikan interpretasi dari pengalaman
si pelaku sendiri yang terbatas jumlah dan ruang lingkupnya tetapi kemudian

7
digeneralisasi sebagai ciri-ciri dari sesuatu suku bangsa tersebut. Demikianlah
pengetahuan itu disebut stereotip. (Suparlan, 2005: 3—6.)
Berkaitan dengan permasalahan masyarakat Indonesia yang majemuk, Jatiman
mengemukakan bahwa akar dari bangsa Indonesia adalah satuan sosial atau kelompok
yang berbeda-beda dalam suku bangsa, agama dan ras (SARA). Oleh sebab itulah, maka
permasalahan integrasi nasional berkaitan dengan konflik dalam hal SARA. Namun lebih
jauh dikemukakan bahwa permasalahan yang sesungguhnya bukan hanya itu melainkan
juga kesepakatan bangsa tentang keberadaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai cita-cita,
mengingat bahwa integrasi bangsa Indonesia dilandasi oleh kesamaan nasib dan
kesamaan cita yang kemudian secara konkret dituangkan dalam Pancasila dan UUD
1945.
Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan keberagaman kelompok, lapisan dan
golongan melahirkan keberagaman kebudayaan pula. Kebudayaan yang beragam itu
menyebabkan sistem hukum yang ada juga beragam, di samping hukum negara dan
hukum internasional. Kemajemukan budaya melahirkan kemajemukan hukum,
mengingat hukum merupakan aspek kebudayaan yang memiliki fungsi sebagai pedoman
bertingkah laku dan fungsi kontrol sosial. Hukum merupakan aturan yang menjadi
pedoman hidup seseorang atau suatu masyarakat. Aturan tersebut antara lain adalah
aturan adat, aturan agama, dan aturan nasional.
Aturan adat ialah orientasi nilai, atau norma/pedoman hidup yang mengatur
bagaimana masyarakat adat berperilaku. Orientasi nilai ini sangat ditentukan oleh
pranata-pranata primordial dan ikatan kekerabatan yang dijaga melalui mitos-mitos lama,
yaitu persamaan nenek moyang, persilangan darah, dan daerah asal. Sebagai contoh, di
Maluku Tengah ada aturan adat yang dinamakan pela, yakni kewajiban-kewajiban yang
oleh orang-orang Maluku Tengah diakui dan harus dipenuhi berdasarkan perjanjian di
antara nenek moyang mereka di masa lalu. Perjanjian itu biasanya dibuat antara dua klen
atau negeri, yang di dalamnya ditentukan bahwa para warga klen atau negeri itu dan
keturunannya akan selalu saling membantu dan mereka tidak boleh mengadakan
hubungan perkawinan. Aturan adat hanya dapat hidup pada perangkat sosial yang paling
dasar, yaitu klen (clan), seperti suku di Minang, marga di Tapanuli, dan soa di Maluku
Tengah (Ihromi, 1986: 4—7).

8
Aturan agama tidak ditentukan oleh pranata kekerabatan, melainkan oleh
kesamaan keyakinan religius yang melintasi dan meniadakan perbedaan asal-usul, bahkan
ras dan golongan. Aturan nasional merupakan produk dari pranata politik nasional.
Biasanya aturan ini dikembangkan dalam bentuk produk hukum formal yang mencakup
masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya, misalnya kebijakan politik, kebijakan
ekonomi, dan peraturan perundang-undangan.
Masyarakat memiliki tingkat kepatuhan yang berbeda-beda kepada ketiga
orientasi nilai tersebut. Hal ini disebabkan mobilitas sosial yang berbeda di dalam seting
persekutuan hidup tertentu. Ketiga pedoman perilaku di atas merupakan pemberi dasar
kehidupan kesatuan bangsa dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Ketiganya juga
menjadi pertimbangan utama dalam sistem pengelolaan konflik.
Masalah integrasi dan konflik merupakan konsekuensi dari suatu masyarakat yang
majemuk. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pemersatu bangsa Indonesia
sebagaimana diuraikan berikut ini.

3. Faktor-faktor Pemersatu Bangsa Indonesia

Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan perekat atau pemersatu bangsa, antara
lain: 1) latar belakang sejarah bangsa, 2) Pancasila dan UUD 1945, 3) simbol-simbol
atau lambang-lambang persatuan bangsa, dan 4) kebudayaan nasional. Faktor-faktor itu
tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling terkait satu sama lain sebagai landasan bagi
tumbuhnya jati diri bangsa. Di samping itu, keberadaan faktor-faktor itu perlu selalu
dijaga untuk dapat tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

a. Latar Belakang Sejarah Bangsa Indonesia


Terbentuknya Negara Indonesia (state building) terjadi melalui suatu proses
panjang sejarah pembentukan Bangsa Indonesia (nation building) terlebih dahulu.
Sebagaimana telah dikemukakan, Indonesia merupakan kumpulan suku bangsa dalam
satu kesatuan, yaitu bangsa Indonesia, yang mempunyai bahasa kesatuan, yaitu bahasa
Indonesia, dan satu negara, yaitu negara Republik Indonesia. Kata bangsa di sini ialah
bangsa dalam arti politis (kenegaraan), yaitu sebagai pendukung dari negara.

9
Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia secara garis besar diawali dengan
timbulnya kesadaran rakyat untuk menjadi bangsa. Bangsa Indonesia yang terbentuk itu
berusaha dengan kuat, berjuang membentuk negara Indonesia merdeka. Setelah merdeka,
seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam negara Indonesia berjuang untuk mengisi
kemerdekaannya dengan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya
(Simbolon, 1995: xviii—xix).
Dalam proses perjalanan bangsa Indonesia yang berjuang untuk menjadi bangsa
yang merdeka dan kemudian membangun bangsanya, dilakukan upaya-upaya untuk
mencapai keseimbangan antara kepentingan masyarakat di satu pihak dan kekuasaan
(negara) di lain pihak. Keseimbangan tersebut diwujudkan dalam bentuk lembaga atau
pranata (institutions) yang merupakan aturan-aturan, baik yang formal seperti undang-
undang atau peraturan, maupun yang informal seperti adat, kebiasaan, dan tata krama.
Dalam hal ini lembaga berfungsi sebagai pengatur hubungan antarmanusia. Lembaga
dengan aturan-aturan di dalamnya itu terdapat di setiap kehidupan kelompok masyarakat.
Berbeda dengan istilah “lembaga” (dalam arti sebagai institusi, organisasi atau
wadah), “pranata” adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian
tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam
kehidupan masyarakat. Lembaga (institute) adalah badan atau organisasi yang
melaksanakan aktivitas itu. Dalam menjalankan kehidupannya, individu-individu dalam
suatu masyarakat banyak melakukan tindakan dalam berinteraksi antara yang satu dengan
yang lainnya. Di antara semua tindakannya yang berpola tadi, ada yang merupakan
tindakan-tindakan yang dilakukannya menurut pola-pola yang tidak resmi, dan ada yang
menurut pola-pola yang resmi. Sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan
warga masyarakat itu berinteraksi menurut pola-pola resmi, dalam ilmu sosiologi dan
antropologi disebut pranata (bahasa Inggris institution), bukan lembaga (institute)
(Koentjaraningrat, 2002: 162—171). Pranata yang terkait dengan rangkaian upaya
mencapai keseimbangan antara kepentingan masyarakat di satu pihak dan kekuasaan
(negara) di lain pihak selalu ada di setiap masyarakat, baik pada kondisi masyarakat
yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks.
Pranata atau lembaga dalam rangkaian upaya tersebut di atas ada di setiap tahap
pembentukan bangsa Indonesia, yang kemudian dalam tahap selanjutnya akan

10
membentuk negara Indonesia. Tahap awal pembentukan bangsa Indonesia dimulai
dengan tahap persebaran penduduk ke Indonesia pada masa prasejarah. Tahap
berikutnya—secara berturut-turut— ialah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan-
kerajaan Islam, kedatangan Portugis, pendudukan VOC dan penjajahan Belanda,
pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan.
Dalam sejarah persebaran penduduk ke Indonesia, berdasarkan penelitian
terhadap fosil-fosil yang ditemukan antara lain di beberapa desa di daerah lembah
Bengawan Solo, ternyata manusia Indonesia tertua sudah ada kira-kira satu juta tahun
yang lalu. Waktu itu dataran Sunda masih merupakan daratan, Asia Tenggara merupakan
bagian benua dan bagian kepulauan yang masih bersambung menjadi satu. Persebaran
manusia yang masuk ke Indonesia merupakan manusia dengan ciri-ciri Austro-
Melanosoid (ciri-ciri ras penduduk pribumi Australia, sebelum orang kulit putih
menduduki benua itu) yang menyebar ke Papua. Ketika itu Papua masih menjadi satu
dengan benua Australia, dan terpisah ketika jaman es keempat berakhir. Selain di Papua,
manusia Austro-Melanosoid juga berada di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan.
Di samping pengaruh dari ras Austro-Melanosoid, manusia Indonesia juga
dipengaruhi oleh ras Mongoloid. Ras Mongoloid berasal dari Asia Timur yang menyebar
ke selatan melalui kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi
(sampai ke Sulawesi Selatan). Mengingat manusia Austro-Melanosoid juga masuk
sampai ke Sulawesi Selatan, maka daerah Sulawesi Selatan dapat dianggap sebagai
tempat perpaduan antara berbagai macam pengaruh kebudayaan dan percampuran antara
berbagai ras manusia, yang datang dari berbagai tempat (Koentjaraningrat, 1981: 2—20).
Catatan sejarah lainnya menjelaskan bahwa persebaran penduduk Indonesia, atau
rakyat kerajaan kuno Nusantara berasal dari daerah Cina Selatan (propinsi Yunan).
Mereka dikenal sebagai ras Melayu, yang datang secara bergelombang. Dua gelombang
terpenting adalah Proto-Melayu, yang datang sekitar 3000 tahun lalu, dan Deutro-
Melayu, sekitar 2000 tahun yang lalu. Proto-Melayu (Melayu-Polynesia) tersebar dari
Madagaskar sampai ke Pasifik Timur. Kebudayaannya masih merupakan kebudayaan
batu (neolithicum). Berbeda dengan Proto-Melayu, Deutro-Melayu sudah membawa
kebudayaan besi.

11
Persebaran penduduk melalui proses rumit dan perjalanan panjang melalui
berbagai wilayah di dunia tersebut di atas menjadi awal terbentuknya penduduk
Indonesia. Penduduk Indonesia atau masyarakat Nusantara pada waktu itu diperintah
oleh raja-raja. Ciri pokoknya adalah pembauran manusia dari berbagai ras dan daerah
asal, sebagai ciri “bhinneka tunggal ika.”
Tahap kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, memberikan pengaruh kepada
kebudayaan bangsa Indonesia. Catatan sejarah kerajaan Hindu diperoleh dari batu-batu
bertulis yang ada di Jawa Barat, di daerah sungai Cisadane, Bogor, dan di pantai
Kalimantan Timur, daerah Muara Kaman, Kutai, sekitar abad IV Masehi. Menurut ahli
sejarah purbakala Indonesia, kerajaan-kerajaan yang disebut dalam tulisan-tulisan pada
batu-batu tadi merupakan kerajaan-kerajaan Indonesia asli, yang hidup makmur berkat
perdagangan dengan negara-negara di India Selatan. Raja-rajanya mengadopsi konsep-
konsep Hindu dengan cara mengundang ahli-ahli dan orang-orang pandai dari golongan
Brahmana (pendeta) di India Selatan yang beragama Wisnu dan Brahma.
Tahap kerajaan-kerajaan Islam juga memberikan pengaruh kepada kebudayaan
Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam
melalui hubungan perdagangan. Para penyebar dakwah atau mubaligh mengajarkan
agama Islam kepada para pedagang penduduk asli yang kemudian menyebarkannya
kepada penduduk lainnya. Kerajaan Islam di Nusantara yang dipengaruhi oleh kerajaan
atau kesultanan Islam di tanah Arab ialah—antara lain—Kerajaan Samudera Pasai di
Aceh, Kerajaan Mataram di Jawa, serta Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di
Maluku.
Tahap kekuasaan lokal Nusantara di atas merupakan kekuasaan raja-raja sebelum
kedatangan bangsa-bangsa Barat, baik yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha maupun
Islam. Menurut beberapa penafsiran dari fakta sejarah yang ada, sifat kekuasaan lokal
Nusantara tersebut terpusat di tangan raja. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat
kelembagaan dan kepastian, serta kerasnya penggunaan kekuasaan yang ada bahkan
menimbulkan peristiwa berdarah sehingga pada akhirnya kekuasaan raja-raja tersebut
runtuh (Simbolon, 1995: 6—32).
Tahap setelah kekuasaan raja-raja di Nusantara adalah tahap kolonialisasi atau
tahap pejajahan bangsa Indonesia oleh VOC (1602—1800) yang diteruskan oleh Belanda

12
(1800—1942), dan Jepang (1942—1945). Akibat perang di Eropa, kekuasaan atas
Indonesia pernah diambil alih oleh Inggris (1811—1816).
Masa penjajahan yang dialami bangsa Indonesia dari 1602—1945 itu juga
merupakan proses panjang pembentukan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai
suku bangsa. Proses pembentukan bangsa Indonesia tersebut merupakan salah satu ciri
dari suatu proses yang disebut unintended consequences. Istilah ini dapat diartikan
sebagai terjadinya akibat yang tidak diperhitungkan dari tindakan yang dilakukan
terhadap suatu susunan kehidupan, baik tindakan-tindakan yang dicita-citakan dan
direncanakan, maupun yang tidak. Dalam hal ini pengembangan kebangsaan Indonesia
merupakan akibat yang tidak diperhitungkan oleh penguasa kolonial terhadap susunan
kehidupan masyarakat yang kini disebut sebagai bangsa Indonesia. Ini terjadi karena
masyarakat Indonesia bukanlah peralatan otomatis yang reaksinya selalu dapat
diperhitungkan oleh penggunanya (Simbolon, 1995: xxii).
Dalam masa penjajahan Belanda, perlakuan-perlakuan kolonial terhadap bangsa
Indonesia justru menjadi pemicu munculnya kesadaran berbangsa yang satu sebagai
bangsa Indonesia. Hal ini tentu tidak diinginkan dan tidak diduga oleh Belanda yang
ingin tetap bertahan sebagai penguasa kolonial di Nusantara. Dua peristiwa bersejarah
yang menunjukkan adanya kesadaran berbangsa yang satu sebagai bangsa Indonesia yang
ingin merdeka dari penjajahan yang terjadi antara tahun 1899 sampai 1942 ialah
Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan
ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik
etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli (dr. Douwes Dekker).
Politik etis merupakan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang seolah-olah
memberikan kebaikan-kebaikan kepada bangsa Indonesia sebagai tanda balas budi.
Namun sesungguhnya hal itu dilakukan dalam rangka mempertahankan statusnya sebagai
penguasa di tanah jajahan. Dalam melakukan politik etis untuk mempertahankan
kekuasaannya, pemerintah kolonial Belanda selalu berupaya menanamkan pengaruhnya
kepada para penguasa pribumi melalui birokrasi dan melalui pendidikan bagi generasi
penerus para penguasa. Para pemuda dari kalangan elit itu dididik oleh Belanda untuk
menjadi penguasa yang mengabdi kepada pemerintah kolonial Belanda. Mereka dididik
di berbagai lembaga pendidikan Belanda, baik di Indonesia—yang umumnya dipusatkan

13
di Pulau Jawa—maupun di Negeri Belanda. Tanpa disadari, Belanda telah mendorong
dan menciptakan ruang gerak terjadinya interaksi antar-berbagai suku bangsa melalui
interaksi antarpemuda dari kalangan elit suku bangsa. Interaksi ini terjadi terutama di
dalam berbagai institusi buatan Belanda, baik pemerintah maupun swasta, yang bergerak
di bidang pemerintahan maupun pendidikan.
Di dalam institusi pendidikan terjadi interaksi yang intensif antara pemuda-
pemuda yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, tidak hanya yang berada
di Pulau Jawa, tetapi juga yang di negeri Belanda. Melalui interaksi itu tumbuhlah benih-
benih solidaritas baru yaitu perasaan senasib sebagai bangsa yang terjajah. Ikatan
solidaritas ini terus berkembang menjadi suatu semangat persatuan sebagai satu bangsa
yang menginginkan kemerdekaannya. Keadaan itulah yang mendorong Kebangkitan
Nasional yang ditandai oleh lahirnya kelompok kebangsaan Boedi Utomo pada tanggal
20 Mei tahun 1908.
Hal yang sama juga memunculkan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928, yaitu semangat persatuan yang berkembang dari berbagai suku bangsa
yang saling berinteraksi, yang dirumuskan dalam satu kesepakatan dalam bentuk ikrar
bahwa mereka: “Bertumpah darah satu Indonesia, Berbangsa satu Indonesia, dan
Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Solidaritas yang menumbuhkan
semangat persatuan ini melahirkan cita-cita membangun bangsa Indonesia yang merdeka
dan berdaulat. Kebangkitan Bangsa dan Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah
yang menandai kelahiran bangsa Indonesia dari berbagai suku bangsa melalui
kesepakatan normatif.3
Bangsa Indonesia menghadapi babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa yang
dimulai dari masa pembentukan bangsa sampai masa pembentukan Negara Indonesia
yang merdeka dan berdaulat, yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945
oleh Soekarno dan Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Tanggal 17
merupakan tanggal yang sengaja dipilih Bung Karno dengan alasan tertentu sebagaimana
terungkap dalam dialog antara Bung Karno dengan para pemuda yang menculik dan

3
Sardjono Jatiman, “Integrasi Bangsa: Antara Kesepakatan Normatif dan Kenyataan Empirik,” makalah
yang disampaikan pada Seminar Nasional Tinjauan Kritikal tentang Integrasi Bangsa, Depok, 16—17
Januari 1996.

14
membawanya ke Rengasdengklok: “Dengan suara rendah ia (Bung Karno) mulai
berbicara, ‘Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang
tepat. … Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17
lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa
itu adalah saat yang baik. Tanggal 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang
berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang
paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat
yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang
17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia’” (Hardi, 1984:
61).
Penjajahan terhadap bangsa Indonesia berhasil diakhiri dengan proklamasi
kemerdekaaan yang memanfaatkan keadaan setelah Jepang dibom oleh Amerika Serikat
pada tanggal 6 Agustus 1945 di atas kota Hiroshima. Melalui Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Inkai)
Indonesia menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Setelah
bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945, yang
menyebabkan Jepang menyerah kepada sekutu, maka Indonesia memanfaatkan keadaan
dengan memproklamasikan kemerdekaannya.
PPKI adalah panitia baru, yang dibentuk untuk melanjutkan tugas Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI; dalam bahasa Jepang
disebut Dokuritsu Junbi Cosakai) yang sebelumnya telah dibentuk pada 29 April 1945.
PPKI dibentuk pada tanggal 12 Agustus 1945 (bukan 7 Agustus 1945 karena pada
tanggal 7 Agustus 1945 yang terjadi hanyalah pemberian izin oleh pemerintahan Jepang
di Tokyo untuk mendirikan PPKI, sedangkan pembentukannya secara resmi adalah pada
tanggal 12 Agustus 1945). Tugas BPUPKI adalah menyiapkan Rancangan Undang-
Undang Dasar guna menyongsong kemerdekaan, sedangkan PPKI dibentuk untuk
menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan dan melakukan peralihan kekuasaan dari
negara jajahan menjadi negara merdeka (Kusuma, 2004: 1—13).
Setelah melalui tahap pembentukan bangsa dan tahap pembentukan negara, tahap
perkembangan bangsa Indonesia selanjutnya adalah tahap mengisi kemerdekaan yang
telah diproklamasikan oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Namun setelah proklamasi

15
kemerdekaan 17 Agustus tahun 1945, Negara Indonesia yang masih baru itu masih
mengalami berbagai ujian untuk mempertahankan kemerdekaannya itu. Kerajaan
Belanda ketika itu ingin menjajah kembali Indonesia dengan alasan Indonesia dulunya
adalah bagian sah dari kerajaan Belanda, namun diambil alih oleh Jepang karena Belanda
yang bergabung dengan sekutu-sekutunya telah kalah perang dengan Jepang pada tahun
1941. Pada perkembangan selanjutnya, dengan kekalahan Jepang dalam perang Pasifik
pada tahun 1945, maka Belanda mengklaim bahwa Indonesia secara hukum internasional
kembali menjadi bagian dari kerajaan Belanda.  
Indonesia baru berhasil mempertahankan kemerdekaannya setelah melalui
berbagai upaya seperti perang yang disebut revolusi kemerdekaan sebagai perang
konvensional, dan ‘perang’ diplomasi melalui perundingan-perundingan antar
pemerintah kedua negara, sampai akhirnya dicapai persetujuan melakukan Perjanjian
Meja Bundar yang berhasil memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
Namun pengakuan itu disertai syarat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
diubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat. Setelah syarat dipenuhi, yaitu NKRI
diubah menjadi NRIS berdasarkan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal 29 Desember 1949,
maka sejak itu secara de jure Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, bukan 17
Agustus 1945 (Mahfud, 2009: 120-122).  
Setelah proklamasi dan masa transisi sampai tahun 1949, mulailah masa
Demokrasi Liberal (1950—1959), yang secara berturut-turut diikuti oleh era Demokrasi
Terpimpin—yang kemudian disebut Orde Lama—(1959—1965), Orde Baru (1966—
1998), dan era Reformasi (1998—sekarang) Proses pembentukan Negara dan hal-hal
yang berhubungan dengan negara akan diuraikan lebih lanjut dalam bab II mengenai
negara Indonesia.

b. Pancasila dan UUD 1945


Persatuan suku-suku bangsa menjadi bangsa Indonesia dalam suatu negara
memerlukan dasar dan ideologi negara sebagai landasan berbangsa dan bernegara, yaitu
Pancasila dan UUD 1945. Pancasila adalah dasar dan ideologi negara Indonesia yang
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Dengan demikian Pancasila
merupakan kaidah-kaidah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. UUD

16
1945, yang mencantumkan Pancasila dalam bagian pembukaaannya, merupakan hukum
dasar yang mengatur prinsip-prinsip dan mekanisme ketatanegaraan untuk menjamin
demokrasi, dan juga memasang rambu-rambu untuk menjaga keutuhan bangsa. Dengan
kata lain, Pancasila dan UUD 1945 merupakan dasar pemersatu dan pengikat untuk
menjamin keberlangsungan integrasi dan demokrasi di Negara Indonesia.
Mengingat pentingnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka
keberadaannya harus dipertahankan dan butir-butir muatannya diamalkan agar
kelangsungan dan keutuhan bangsa dan negara tetap terjaga. Dalam kenyataannya
persoalan Pancasila bukan hanya masalah menghapal lima butir Pancasila, namun banyak
persoalan atau kendala dalam pengamalannya yang terkait dengan kondisi dan kesadaran
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila dapat dilihat sekurang-kurangnya
dari tiga aspek, yakni aspek filosofis, yuridis, dan politis. Secara filosofis, Pancasila
merupakan dasar keyakinan tentang masyarakat yang dicita-citakan serta dasar bagi
penyelenggaraan negara yang dikristalisasikan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan
berkembang serta berakar jauh dari kehidupan leluhur atau nenek moyang bangsa
Indonesia. Secara yuridis, Pancasila merupakan cita hukum (rechtside) yang harus
dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Oleh sebab itu hukum di Indonesia
harus berdasar pada Pancasila. Isi hukum konsisten atau sesuai dengan Pancasila, mulai
dari hukum yang hierarkinya paling atas sampai dengan yang paling bawah. Secara
politis, Pancasila dipandang sebagai kesepakatan luhur (modus vivendi) yang
mempersatukan semua ikatan primordial ke dalam satu bangsa yaitu bangsa Indonesia
dalam prinsip persatuan.
Selain Pancasila, UUD 1945 juga merupakan perekat integrasi dan pengawal
demokrasi di Indonesia. UUD 1945 memuat dasar aturan politik mengenai mekanisme
ketatanegaraan yang demokratis, yang juga menjamin integrasi bangsa dan negara. Hal
itu diwujudkan antara lain melalui pemilihan umum (pemilu), yaitu pemilihan pejabat-
pejabat publik tertentu secara jujur dan adil dan melalui pengawasan dan perimbangan
(checks and balances) antar-lembaga-lembaga kekuasaan.
Lembaga-lembaga kekuasaan itu adalah kekuasaan kehakiman yang mengawal
hukum bagi setiap perbuatan pemerintah dan rakyat yang mengancam integrasi atau

17
mengancam tatanan dan aturan main. Kekuasaan eksekutif, selain menjalankan roda
pemerintahan, juga mengawal negara menghadapi ancaman terhadap persatuan dan
kesatuan bangsa melalui kekuatan pertahanan dan keamanan. Demikian pula dengan
kekuasaan lainnya, yaitu yudikatif, melalui peradilan melawan setiap gerakan
disintegratif, dan kekuasaan dari lembaga legislatif yang melakukannya secara politik
melalui pembentukan undang-undang. Semua lembaga kekuasaan negara tersebut harus
bekerja secara sinergis.
Beberapa muatan dari UUD 1945 yang mengikat bangsa dalam kesatuan bangsa
Indonesia adalah yang berikut.
1) Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
Republik. Pasal ini juga dipagari oleh pasal lainnya yaitu Pasal 18 dan Pasal 37 ayat
(5).
2) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD, yang menunjukkan bahwa sebagai negara kebangsaan
Indonesia menganut prinsip dan sistem demokrasi.
3) Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya,
setiap kegiatan bangsa dan negara haruslah berdasarkan hukum (nomokrasi).
Demokrasi harus berjalan di atas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urut
perundang-undangan yang mendasarinya. Demokrasi tanpa nomokrasi dapat menjadi
anarki dan dapat mengancam integrasi bangsa.
4) Pasal 26 mengatur mengenai warga negara dan penduduk, yang sekarang tidak lagi
membedakan orang Indonesia asli dan yang tidak asli. Perbedaan tersebut hanya
menunjukkan latar belakang sejarah tetapi tidak untuk membedakan hak dan
kewajiban secara diskriminatif.
5) Pasal 30 mengatur tugas pertahanan dan keamanan yang masing-masing dilakukan
oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
terhadap ancaman dari luar maupun perpecahan di dalam negeri.
Bagaimana mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 juga menyangkut
ketahanan nasional bangsa Indonesia. Menurut Sunardi, ketahanan nasional adalah
“kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi

18
segala macam ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar
maupun dari dalam, secara langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas,
indentitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan
pembangunan nasional” (Sunardi, 2004: 190—195).
Ketahanan nasional diperlukan agar negara Indonesia sebagai Negara Kebangsaan
dapat berlangsung. Namun ketahanan nasional merupakan salah satu saja dari sekurang-
kurangnya tiga syarat berlangsungnya Negara Kebangsaan, yaitu kedaulatan,
nasionalisme, dan ketahanan (Mahmud MD, 2009: 40—54).
Ancaman terhadap ketahanan nasional atau disintegrasi bangsa dapat berasal dari
luar maupun dari dalam negeri Indonesia sendiri. Contoh ancaman dari luar ialah
westernisasi atau “pembaratan” yaitu masuknya nilai-nilai budaya Barat yang belum
tentu sehat dan sesuai dengan budaya Indonesia, yang melanda masyarakat Indonesia,
terutama kaum muda. Contoh ancaman dari dalam negeri ialah kesenjangan taraf hidup
masyarakat yang masih tinggi, korupsi yang merajalela, pertentangan antarkelompok, dan
lemahnya penegakan hukum.

c. Simbol-simbol/Lambang-lambang Persatuan Bangsa


Di samping berbagai istilah yang dikenakan kepada diri manusia, seperti manusia
sebagai insan akali dan makhluk sosial, manusia juga disebut manusia budaya yang
dengan kegiatan akalnya dapat mengubah dan bahkan menciptakan realitas dengan
menggunakan sistem perlambangan, misalnya bahasa atau lambang-lambang tertentu
lainnya. Artinya, dalam kehidupan sebagai manusia kita tidak terlepas dari simbol-simbol
atau lambang-lambang. Umpamanya, Universitas Indonesia menggunakan makara
sebagai lambang yang mempunyai makna khusus di samping sebagai salah satu identitas
sebagai suatu perguruan tinggi. Demikian pula dalam bernegara, rasa keterikatan,
solidaritas dan identitas anggota masyarakatnya dijaga sebagai satu kesatuan bangsa dan
negara dengan menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang persatuan.
Beberapa lambang persatuan itu adalah bendera merah putih, bahasa nasional,
lambang negara, dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Penggunaan lambang-lambang
persatuan negara itu diatur dalam UUD 1945: Pasal 35 (mengenai Bendera Merah Putih),
Pasal 36 (mengenai Bahasa Indonesia), Pasal 36A (mengenai lambang negara Garuda

19
Pancasila), dan Pasal 36B (mengenai lagu kebangsaan “Indonesia Raya”) dan dalam UU
No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, dikemukakan bahwa bendera, bahasa, dan
lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas,
dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Lambang-lambang tersebut merupakan manifestasi kebudayaan yang
berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan
kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.4

d. Kebudayaan Nasional
Pluralitas bangsa Indonesia bukan hanya keanekaan suku bangsanya saja,
melainkan juga keragaman agama, pelapisan sosial, dan kelompok yang melahirkan
kebudayaan yang beragam pula. Dalam kebudayaan yang beragam itu tentu dapat muncul
loyalitas terhadap suku bangsa atau kelompok, yang dalam skala tertentu dapat
menimbulkan primordalisme, entnosentrisme, dan sikap stereotip etnik terhadap suku
bangsa atau kelompok lainnya. Oleh karena itu, untuk menjaga keutuhan persatuan
bangsa dalam Negara Republik Indonesia, kebudayaan nasional mempunyai arti penting
sebagai perekat rasa persatuan sebagai satu bangsa dan negara.

(1) Konsep Kebudayaan


Secara konseptual, kebudayaan mempunyai arti yang beragam. Keberadaan
kebudayaan tidak terlepas dari adanya suatu masyarakat karena masyarakat merupakan
pendukung dari kebudayaan, dan kebudayaan mengatur bagaimana masyarakatnya itu
berperilaku. Dengan kata lain, kebudayaan ada dalam berbagai aspek kehidupan yang
meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan juga hasil dari
kegiatan manusia yang khas pada suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu,
yang tercermin dalam perilakunya. Semua itu adalah milik bersama para anggota

4
UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109; Tambahan Lembaran Negara Nomor
5035).

20
masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan yang
sesuai dengan kebudayaannya itu. Kebudayaan tidak diwariskan secara biologis
melainkan harus dipelajari, terutama melalui sarana bahasa.
Unsur-unsur yang ada pada kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang
terpadu atau terintegrasi. Kebudayaan ada untuk menangani masalah dan persoalan yang
dihadapi suatu masyarakat. Oleh karena itu, kelestarian kebudayaan harus dipelihara
sehingga kebudayaan dapat mengatur anggota-anggota masyarakatnya untuk dapat hidup
secara teratur. Dalam hal ini kebudayaan harus dimiliki bersama dan digunakan untuk
menemukan keseimbangan antara kepentingan pribadi masing-masing orang dan
kebutuhan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Akhirnya, kebudayaan harus memiliki
kemampuan untuk berubah agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru.
(Haviland, 1995: 331—342.)
Konsep kebudayaan muncul dan dikembangkan oleh para ahli antropologi
menjelang akhir abad XIX. Salah satu di antaranya ialah Sir Edward Burnett Tylor,
seorang antropolog Inggris, yang pada tahun 1871 mendefinisikan kebudayaan sebagai:
“kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapat atau dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri
atas segala sesuatu yang dipelajari oleh pola-pola perilaku yang normatif, artinya
mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak” (Ranjabar,
2006: 21).

Pada tahun 1950-an, A. L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, mendefinisikan


kebudayaan modern sebagai “seperangkat peraturan standar yang—apabila dipenuhi oleh
para anggota masyarakat—menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat
diterima oleh para anggotanya.
R. Radcliffe-Brown (1881-1955), mendefinisikan kebudayaan sebagai
“seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat
yang kalau—dilaksanakan oleh para anggotanya—melahirkan perilaku yang oleh mereka
dipandang layak dan dapat diterima.” Masyarakat di sini didefinisikan sebagai
“sekelompok orang yang mendiami suatu daerah tertentu dan yang bersama-sama
memiliki tradisi kebudayaan yang sama” (Haviland, 1995: 331—342).

21
Koentjaraningrat (2002: 179—185) mendefinisikan kebudayaan yang didasarkan
pada pemikiran mengenai sistem tindakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya.
Sistem tindakan itu tidak terkandung di dalam gen manusia, sehingga harus dibiasakan
melalui proses belajar, sebagai aspek yang penting, selama manusia hidup. Oleh karena
itu, kebudayaan didefinisikan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar.” Definisi tersebut sejalan dengan yang dikemukakan E. B. Tylor tersebut
di atas.
Secara etimologis kata kebudayaan berasal dari kata buddhaya (bentuk jamak dari
kata buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’ dalam bahasa Sansekerta). Dengan demikian,
kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Istilah Inggris
culture berasal dari kata Latin colere yang berarti ‘mengolah’ atau ‘mengerjakan’,
terutama mengolah tanah atau ‘bertani’. Istilah ini berkembang artinya sebagai “segala
daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”
Definisi kebudayaan lain adalah “sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang
secara bersama dimiliki oleh para warga sebuah masyarakat.” Dapat dikatakan pula
bahwa “kebudayaan adalah sebuah pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah
masyarakat dan para warganya.” Definisi kebudayaan tersebut antara lain dikemukakan
oleh Malinowski (1961) dalam karya-karyanya mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia
dan pemenuhannya melalui fungsi dan pola-pola kebudayaan. Kluckhon (1944) melihat
kebudayaan sebagai blue print bagi kehidupan manusia. Dalam pada itu Geertz (1973)
melihat kebudayaan sebagai sistem-sistem makna.
Dalam perspektif tersebut kebudayaan terdiri atas konsep-konsep, teori-teori, dan
metode-metode yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat pemiliknya.
Kebudayaan yang demikian merupakan sistem-sistem acuan yang ada pada berbagai
tingkat pengetahuan dan kesadaran, dan bukan hanya pada tingkat gejala sebagai tingkat
kelakuan atau hasil kelakuan sebagaimana didefinisikan oleh Koentjaraningrat.
Sebagai sistem-sistem acuan, konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode
dipilih secara selektif, mana yang paling sesuai sebagai acuan bagi para pemilik
kebudayaan dalam menghadapi lingkungannya. Pilihan selektif itu digunakan untuk
menginterpretasi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya dalam bentuk tindakan

22
untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai manusia. Tindakan itu dapat berbentuk
dorongan atau motivasi bagi pemenuhan kebutuhan maupun sebagai tanggapan-
tanggapan (response) atas rangsangan (stimuli) dari lingkungannya.
Kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah fungsional dalam struktur kegiatan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Kebudayaan merupakan acuan bagi
manusia dalam berhubungan/berinteraksi dan mengidentifikasi berbagai gejala sebagai
kategori-kategori yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya tersebut (Koentjaraningrat, 2002: 179—185).

(2) Gagasan Kebudayaan Nasional


Mengenai Kebudayaan Nasional (dalam konteks Indonesia), beberapa
cendekiawan mempunyai gagasan berbeda, yang dapat dikelompokkan dalam dua
golongan. Golongan yang pertama menyatakan bahwa suatu pengembangan kebudayaan
nasional Indonesia berlandaskan pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di
daerah. Salah satu tokohnya adalah Ki Hajar Dewantara, yang mengemukakan bahwa
kebudayaan nasional harus unik, berkepribadian khas, dan bermutu tinggi sehingga dapat
memenuhi kebutuhan setiap warga bangsa Indonesia akan perasaan bangga terhadap
bangsanya sendiri dan menjadi identitas nasionalnya. Disarankan agar unsur-unsur
puncak (dalam arti ‘yang paling’) dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah dan
unsur-unsur warisan nenek moyang dijadikan sebagai isi kebudayaan nasional.
Golongan yang kedua menyarankan suatu pengembangan kebudayaan nasional
Indonesia baru, yang lepas dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah dan berorientasi
ke peradaban dunia masa kini. Salah satu tokoh golongan kedua ini adalah Sutan Takdir
Alisjahbana. Gagasannya adalah kebudayaan nasional Indonesia harus dipahami setiap
warga Indonesia. Oleh karena itu, unsur-unsur dari kebudayaan nasional tidak dapat
diambil dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah atau dari warisan nenek-moyang.
Kebudayaan nasional Indonesia sebaiknya diciptakan baru karena kebudayaan nasional
Indonesia harus mengacu ke masa depan, mementingkan sains dan teknologi.
Secara teoretis, suatu kebudayaan nasional mempunyai dua fungsi, yaitu 1)
memperkuat rasa identitas nasional warga suatu bangsa atau negara dan 2) memperluas
rasa solidaritas nasional warga suatu bangsa atau negara. Berdasarkan dua fungsi itu,

23
sebenarnya gagasan dari dua golongan cendekiawan di atas saling melengkapi untuk
memenuhi kedua fungsi tadi. Gagasan kebudayaan nasional dari golongan pertama
memenuhi fungsi pertama, dan gagasan kebudayaan nasional dari golongan kedua
memenuhi fungsi kedua.
Contoh kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan
daerah antara lain adalah Borobudur, batik tradisional, tari-tarian tradisional, angklung,
gamelan, karapan sapi, dan lain-lain, yang merupakan unsur kebudayaan warisan nenek-
moyang. Menurut ahli psikologi E. H. Erikson, rasa identitas diri dapat dikuatkan apabila
individu yang bersangkutan dapat mengacu pada suatu karya unik yang dapat
dibanggakan. Oleh karena itu, identitas nasional dapat dikuatkan oleh hasil-hasil karya
unik yang dapat dibanggakan sebagai hasil karya bangsanya (Koentjaraningrat, 1987a).
Contoh unsur-unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas atau
yang dapat memenuhi fungsi kedua tadi antara lain adalah bahasa nasional (bahasa
Indonesia), seni drama masa kini, seni film, dan sistem hukum nasional. Unsur-unsur ini
harus dapat mengintensifkan komunikasi antar-suku bangsa yang berbeda-beda dan dapat
dipahami maknanya sehingga dapat menumbuhkan toleransi dan solidaritas.
Sebagian besar unsur-unsur kebudayaan nasional tersebut perlu terus dilestarikan
dan dikembangkan. Yang perlu diperhatikan adalah upaya pengembangan kebudayaan
nasional tidak hanya menyangkut pengembangan unsur-unsur bagian kebudayaan saja,
tetapi juga sistem nilai budayanya. Sistem nilai budaya merupakan inti dari suatu
kebudayaan (yang dianggap bernilai tinggi) yang menjiwai semua pedoman yang
mengatur tingkah laku warga kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu
adalah adat-istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun,
pandangan hidup, dan lain-lain. Menurut C. Kluckhohn, masalah-masalah dalam
kehidupan manusia yang dinilai tinggi dan universal ada di setiap kebudayaan di dunia
itu menyangkut setidaknya lima hal, yaitu 1) masalah makna atau hakekat hidup manusia,
2) masalah makna pekerjaan/karya dan amal perbuatan manusia, 3) masalah persepsi
manusia terhadap waktu, 4) masalah hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan 5)
masalah manusia dengan manusia (Koentjaraningrat, 1987b).
Salah satu dari kebudayaan nasional kita yang perlu terus dikembangkan adalah
hukum nasional. Pembentukan hukum nasional itu harus ditujukan untuk mencapai

24
tujuan-tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu
membangun segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan
kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia.
Dalam pembangunan hukum, Pancasila merupakan dasar pencapaian tujuan
negara yang melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum. Kaidah-kaidah bagi hukum
yang dibuat di Indonesia haruslah 1) bertujuan membangun dan menjamin integrasi
bangsa Indonesia, baik secara teritorial maupun secara ideologis; 2) didasarkan pada
demokrasi dan nomokrasi sekaligus; 3) ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia; dan 4) didasarkan pada toleransi beragama yang berkeadaban
(Mahfud MD, 2009: 52—54).

4. Jati Diri Bangsa

Belakangan ini kita sering melihat gaya hidup masayarakat kita, khususnya kaum
muda, seperti dalam berbahasa, bertingkah laku maupun berbusana (misalnya, kebarat-
baratan) yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Hal ini menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan jati dirinya sebagai bagian dari bangsa
Indonesia.
Di sini terjadi suatu pemahaman keliru antara menjadi modern dan menjadi
seperti orang Barat, atau antara mordernisasi dengan westernisasi. Menurut Wilbert
Moore, modernisasi adalah penggabungan diri pada masyarakat/bangsa yang telah
mengakumulasikan berbagai hasil dari telaah ilmiah dan menerapkannya, serta
menggunakan hasil temuan ilmiah dan teknologi tersebut untuk memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi. Hanya untuk masalah-masalah kebendaan dan fisik teori Moore
dapat digunakan. Haviland mengkritik konsep modernisasi karena, menurutnya, konsep
itu bersudut pandang etnosentris. Artinya, konsep modernisasi ini terbentuk berdasarkan
cara pandang satu kelompok masyarakat yang melihat bahwa kebudayaan yang
dimilikinya lebih superior daripada kebudayaan kelompok masyarakat lainnya (Haviland,
2000: 755).
Dewasa ini kita juga sering mendengar berita-berita di televisi atau media lainnya
mengenai banyak peristiwa yang dapat mengarah kepada kondisi disintegrasi bangsa.

25
Peristiwa-peristiwa itu antara lain ialah konflik/perkelahian antara suku bangsa yang satu
dengan suku bangsa yang lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok yang lain,
dan perkelahian massal atau tawuran banyak terjadi di kalangan murid sekolah. Hal ini
menunjukkan, antara lain: lemahnya toleransi terhadap perbedaan pendapat; munculnya
elemen-elemen separatisme dan kedaerahan/primordialisme; penafsiran keliru terhadap
otonomi daerah sebagai federalisme; pendekatan fragmentatif dalam menghadapi
persoalan-persoalan bangsa; ketiadaan atau kelangkaan tokoh panutan; lemahnya
perasaan gotong-royong, solidaritas, dan kemitraan; dan ketidaksepahaman dalam
menyikapi proses globalisasi.5 Semua itu merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa
Indonesia.
Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan rasa kebangsaan anggota masyarakat
sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang juga berhubungan dengan jati diri bangsa.
Istilah jati diri dapat diartikan sebagai ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang
atau suatu benda. Jati diri pun diartikan sebagai identitas.6 Jadi jati diri bangsa Indonesia
adalah ciri-ciri atau identitas kita sebagai bangsa Indonesia.
Telaah terhadap jati diri bangsa tidak terlepas dari kondisi bangsa Indonesia yang
berasal dari ikatan-ikatan primordial. Pluralitas bangsa Indonesia adalah suatu kenyataan.
Oleh karena itu perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diterima sebagai kekayaan bangsa
Indonesia. Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia, mulai dari pembentukan
kesadaran berbangsa, kemudian pembentukan negara, sampai dengan pengisian
kemerdekaan Indonesia sebagai negara bangsa yang berdaulat, perlu menjadi bahan
refleksi kita dalam memandang keberadaan kita sekarang. Persatuan bangsa perlu terus
diupayakan keutuhannya dengan menyadari jati diri bangsa kita sebagai bangsa
Indonesia.
Mengingat bangsa Indonesia berasal dari ikatan-ikatan primordial, maka jati diri
bangsa Indonesia diarahkan pada nilai-nilai yang menunjukkan diri kita sejatinya sebagai
5
Muladi, “Jati Diri Bangsa”, makalah pada Diskusi Panel Revitalisasi Jati Diri Bangsa yang
diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia
bersama Biro Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik, Kantor Sekretariat Negara
RI, Jakarta, 14 Juni 2006.
6
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: 2002), hlm.
462.

26
bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu mengikat bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan
bangsa, yang terumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itulah maka acuan
bagi jati diri bangsa Indonesia sebagai pedoman tertinggi bangsa atau ideologi dan
hukum dasar dalam bernegara adalah Pancasila dan UUD 1945, yang harus dilaksanakan
secara benar dan konsisten.
Di samping itu bentuk dari jati diri bangsa Indonesia dapat dikenali dengan
mengacu kepada kebudayaan nasional, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ikatan-
ikatan primordial atau dari berbagai suku bangsa. Kebudayaan nasional dimaksud adalah
yang berlandaskan pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah (puncak-
puncak kebudayaan daerah) yang dapat menimbulkan perasaan bangga terhadap bangsa
sendiri dan berfungsi untuk memperkuat rasa identitas nasional warga bangsa atau
negara.7 Selain itu jati diri bangsa juga harus ditopang oleh rasa solidaritas bersama antar-
suku bangsa atau antar-ikatan primordial yang ada di Indonesia. Hal itu dapat dijalankan
melalui fungsi kedua kebudayaan yaitu memperluas rasa solidaritas nasional warga
bangsa atau negara. Kebudayaan nasional itu adalah yang dapat dipahami oleh setiap
warga Indonesia, diciptakan baru dan mengacu ke masa depan.8
Dalam perjalanan bangsa Indonesia selanjutnya, kesadaran akan jati diri bangsa
haruslah terus diperjuangkan, mengingat keberadaan bangsa Indonesia bukanlah di ruang
hampa. Arus globalisasi dengan kemajuan transportasi dan telekomunikasi menjadi salah
satu ancaman dari luar yang perlu disadari dan dihadapi dengan bijaksana oleh segenap
bangsa Indonesia.
Pengalaman sejarah merupakan “guru” yang baik bagi kita sebagai bangsa. Perlu
diresapi bagaimana semangat kebangsaan itu tumbuh di masa lalu. Semangat kebangsaan
sebagai bangsa yang satu itu tumbuh karena perasaan senasib sepenanggungan sebagai
bangsa yang terjajah. Semangat itu diwujudkan dengan lahirnya Kebangkitan Nasional
tahun 1908 dan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Pada saat ini ketika kita sudah merdeka, maka pemahaman musuh bersama itu
harus digantikan dengan masalah-masalah yang melanda bangsa Indonesia yang harus

7
Lihat uraian di atas mengenai golongan pertama yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional;
contohnya ialah batik, tari-tarian, dan masakan tradisional Indonesia.
8
Lihat uraian di atas mengenai golongan kedua yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional;
contohnya ialah bahasa nasional dan hukum nasional.

27
kita hadapi secara bersama-sama. Perasaan sebagai bagian dari negara kesatuan harus
dikembangkan, antara lain melalui pendekatan kebudayaan dan pengembangan
kebudayaan nasional. Pendekatan kebudayaan sebagai media untuk dapat saling
memahami antar-suku bangsa, dan pengembangan kebudayaan nasional sebagai upaya
untuk meningkatkan rasa soliaritas dan menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa
Indonesia.
Di samping itu, dalam pembentukan jati diri bangsa juga diperlukan teladan yang
baik dari pemimpin-pemimpin bangsa yang tangguh, baik yang sudah tiada (pahlawan
bangsa) maupun yang sekarang berkuasa atau menduduki jabatan. Dengan demikian
diharapkan berbagai upaya yang dilakukan akan dapat membentuk jati diri bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat.

5. Nilai Kebangsaan
Perjalanan sejarah pembentukan bangsa Indonesia yang diawali dengan berdirinya
organisasi pemuda Budi Utomo, mendorong terjadinya pergerakan pemuda yang
melahirkan Sumpah Pemuda merupakan tekad awal kesadaran kehidupan berbangsa.
Proses ini terus berlangsung sampai akhirnya bermuara pada proklamasi kemerdekaan
Negara Indonesia. Sesungguhnya pada saat itulah mulai tumbuh nilai-nilai kebangsaan
pada rakyat atau bangsa Indonesia menuju terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Untuk selanjutnya nilai kebangsaan yang tertanam dalam sanubari
seluruh rakyat Indonesia dalam naungan NKRI tersebut menjadi faktor penting dan
menentukan bagi keberlangsungan keberadaan bangsa dan Negara Republik Indonesia.

a. Arti Nilai Kebangsaan


Dari sisi bahasa, ‘nilai’ mempunyai arti antara lain sesuatu yang berharga; sifat-
sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; sesuatu yang
menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Sedangkan kata ‘kebangsaan’
sendiri antara lain mempunyai arti ciri-ciri yang menandai golongan bangsa; perihal
bangsa; mengenai (yang bertalian dengan) bangsa; atau kesadaran diri sebagai warga dari
suatu Negara.9 Sehingga Nilai Kebangsaan dapat diartikan sebagai suatu kesadaran dari

9
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Op. Cit. Hal. 783

28
warga Negara yang dianggap penting atau berharga bahwa dirinya merupakan bagian dari
suatu Negara yang mempunyai cir-ciri tertentu yang menandainya.
Pemahaman akan nilai kebangsaan yang kuat akan menumbuhkan nasionalisme
pada bangsanya. Menurut Kohn, nasionalisme adalah suatu paham, yang berpendapat
bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan
sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan
tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya (Kohn, 1984: 11-13).
Bagi bangsa Indonesia, pada hakekatnya nilai kebangsaan tersebut tercermin
dalam Konstitusi Negara, UUD 1945, khususnya pada bagian Pembukaan. Dalam salah
satu alinea pada bagian Pembukaan tersebut mengatakan bahwa: “ ...berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya,” merupakan tekad untuk menjadi bangsa yang bebas dalam sebuah
Negara merdeka dengan tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur, merupakan
wujud dari nilai kebangsaan tersebut, sehingga Nilai Kebangsaan itu menjadi inti dari
upaya mewujudkan tujuan bersama bangsa di masa depan dan menjaga keberlangsungan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

b. Sumber Nilai Kebangsaan


Sumber Nilai Kebangsaan Indonesia dapat dilihat dari: 1) aspek sejarahnya; dan
2) aspek kondisi sosial/ masyarakatnya. Dilihat dari aspek sejarahnya, nilai kebangsaan
merupakan nilai-nilai yang ada sebelum dan sesudah Negara Indonesia terbentuk. Pada
waktu sebelum Negara Indonesia terbentuk, proses sejarah perjalanan bangsa
mengajarkan nilai-nilai perjuangan mempersatukan aneka suku bangsa karena dirasakan
mempunyai nasib dan tujuan yang sama.
Selain itu, adanya pergerakan kebangsaan Budi Utomo (1908) dan lahirnya
Sumpah Pemuda (1928), menunjukkan adanya nilai untuk berani menunjukkan sikap atas
suatu kehendak, yaitu menyatakan mereka bertanah air satu tanah air Indonesia,
berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Pemahaman dari frasa “menjunjung bahasa persatuan” adalah suatu kenyataan bahwa
bagaimanapun mereka berasal dari berbagai suku bangsa yang mempunyai bahasa

29
daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan dan menjaga persatuan
bangsa, maka bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa persatuan yang harus dijunjung
tinggi.
Setelah kemerdekaan Indonesia atau setelah terbentuknya NKRI, Nilai
Kebangsaan yang ditanamkan berasal dari kesepakatan dan cita-cita bangsa Indonesia
yang dituangkan dalam UUD 1945, berisikan 4 sumber acuan nilai, yaitu: 1) Pancasila
sebagai falsafah bangsa; 2) Konstitusi Negara, yaitu UUD 1945; 3) NKRI sebagai bentuk
Negara; dan 4) Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan kesatuan bangsa.

c. Nilai Kebangsaan dan Pembentukan Karakter


Karakter suatu bangsa tergantung pada nilai-nilai lokal yang hidup pada
masyarakatnya. Nilai-nilai kebangsaan yang hidup dan berkembang itu menjadi bagian
dalam pembentukan karakter bangsa yang kuat. Karakter yang berkaitan dengan status
seseorang sebagai warganeragara, menyadarinya sebagai bagian dari suatu negara dan
terus menjaga keberlangsungan keberadaan negaranya itu.
Dalam pembentukan karakter tersebut, dunia pendidikan mempunyai peran yang
sangat penting. Dilihat dari aspek sejarahnya, hal ini pun sudah disadari oleh para pendiri
bangsa Indonesia. Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 merupakan buah
perjuangan terkait dengan pendidikan bangsa. Salah satu tokohnya, yaitu Dr Wahidin
Soedirohoesodo menjadikan masalah pendidikan sebagai titik perhatian utama.
Mencerdaskan bangsa adalah strategi perjuangan sehingga masyarakat sadar akan
pentingnya pendidikan. Pendidikanlah yang dapat mengubah nasib bangsa. Apabila
pendidikan rakyat meningkat maka keadaan ekonomis pun dapat menjadi lebih baik.
(Syamsah Nas, 1990:1-5)
Melalui pendidikan diharapkan akan tumbuh kesadaran pentingnya berbangsa.
Merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, yang majemuk dan mempunyai tujuan
bersama akan membangun ketahanan nasional dalam menghadapi berbagai tantangan
atau permasalahan dalam menjaga keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia. Dengan
kata lain pemahaman nilai-nilai kebangsaan ini berkaitan dengan jati diri, wawasan
kebangsaan sebagai bangsa yang satu (NKRI), yang didasarkan pada falsafah bangsa,
yaitu Pancasila dan Pedoman dasar negara, yaitu UUD 1945.

30
Secara lebih khusus, pembentukan karakter di dunia pendidikan saat ini antara
lain diatur oleh UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam bagian
Menimbang dikemukakan bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan
nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang
berkelanjutan.
Sasaran pembelajaran pendidikan karakter di Perguruan Tinggi yang terkait
dengan nilai kebangsaan antara lain adalah ditanamkannya prinsip-prinsip moral yang
mendorong mahasiswa bersikap sesuai dengan kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotoriknya sebagai bangsa Indonesia, yang perilakunya mencerminkan jati diri
bangsa. Sehingga akan melahirkan lulusan yang apabila terjun ke masyarakat akan
menjadi pendorong terwujudnya masyarakat madani (civil society), yaitu suatu
masyarakat yang mengenal hak dan kewajibannya, serta bersama-sama bertanggung
jawab dalam mewujudkan kesejahteraan dalam lingkup masyarakatnya sendiri. Sehingga
pada lingkup yang lebih luas sebagai bagian suatu bangsa, dapat mempertahankan
keberlanjutan dan mencapai cita-cita bangsa dalam NKRI.

31
BAB II
NEGARA INDONESIA

Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami


konsep negara, ideologi dan konstitusi, serta mampu membangun
pikiran yang terbuka dan kritis terhadap masalah negara dalam arti
wilayah yang terkait dengan konsep geostrategi dan geopolitik/
wawasan nusantara, maupun dalam arti institusi/organisasi negara
yang terkait dengan sistem pemerintahannya.

1. Hakikat Negara
Menurut Ir. Soekarno di hadapan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), “Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan.
Tidak dapat dipisahkan dari bumi yang ada di bawah telapak kakinya” (Setneg 1992, 66).
Oleh karena itu, setelah membangsa orang menyatakan tempat tinggalnya sebagai negara. 
Konsep ini dikenal sebagai konsep negara berdasarkan geografi. Dari bentuk geografi-
nya dibedakan: 1) negara daratan (land lock country); 2) negara pantai (coastal
archipelago); 3) negara pulau (oceanic archipelago); dan 4) negara kepulauan
(archipelago).  
Untuk melindungi wilayah bangsa, dibentuk organisasi yang kemudian disebut
negara (state). Dalam pengertian ini, negara meliputi: 1) penduduk (rakyat, penghuni
tetap, warga negara); 2) wilayah atau lingkungan kekuasaan pemerintah; 3) penguasa
yang berdaulat (membedakan organisasi Pemerintah dengan organisasi sosial); dan 4)
pengakuan kedaulatan dari negara lain. Keempat kesepakatan ini merupakan hasil
Konvensi negara-negara Pan Americana di Montevideo, Uruguay tahun 1933. Di
samping keempat syarat tersebut dapat ditambahkan pula: adanya konstitusi dan tujuan
negara yang tersirat/tersurat dalam konstitusi negara (Ditjen Dikti, 2001: 36).

32
1. 1. Negara Berdasarkan Geografi  
Pengertian negara berdasarkan bentuk geografi antara lain negara daratan (land lock
country)—disebut juga negara terisolasi—yaitu negara yang tidak memiliki akses ke
laut, dengan kata lain akses ke laut harus melalui satu atau dua negara tetangga. Negara
Daratan dapat pula di kelilingi satu negara saja, seolah-olah seperti suatu enclave. Masa
moderen—pasca Perang Dunia II—perbatasan negara ditentukan oleh perjanjian
internasional. Kini ada negara daratan yang diberi akses ke laut melalui koridor yang
diberikan oleh negara tetangga.
Masa lampau—abad pertengahan—perbatasan negara sangat tergantung pada para
penguasa, karena negara bukan milik penduduk/rakyat. Wilayah dapat dianeksasi atau
dijual kepada penguasa lain tanpa setahu penduduk. Oleh karena itu, hubungan
internasional di abad pertengahan merupakan hubungan antarkeluarga (dinasti). Kaisar
Perancis terakhir Louis XVI berpermaisuri Marie Antoinette putri Kaisar Franz Joseph
dengan Ratu Maria Theresia dari Kekaisaran Romawi Suci Austria (Roberts, 2004: 605).
Negara yang berbatasan dengan laut meliputi: 1) Negara Pantai (coastal
archipelago); 2) Negara Pulau (oceanic archipelago), negara dengan satu pulau utama
dan beberapa pulau kecil; 3) Negara Kepulauan (archipelago), negara yang terdiri dari
beberapa gugus pulau. Setiap pantai—daratan—memiliki wilayah laut selebar 3 nautical
miles (NM) dari garis pantai (coastline). Oleh karena itu, wilayah perairan antara pulau
dapat saja berstatus laut bebas.

33
Ketentuan ini sangat dipengaruhi pakar hukum laut Inggris dan Belanda. Seperti
kita ketahui bersama, perkembangan hukum laut bersamaan dengan perkembangan
teknologi perkapalan, kepelabuhanan serta kemampuan persenjataan orang Inggris dan
Belanda (etnis Vlaam). Para pakar hukum laut saat itu—John Selden, Hugo Grotius, C.
Bijenkerschoek—yang bersepakat memutuskan luas laut yang dimiliki negara-negara
pantai hanya 3 NM dari garis pantai (coast line) saat pasang “surut". Sudah barang tentu
tidak cocok lagi di jaman moderen (abad XX), dimana jangkauan meriam sudah melebihi
3 NM.
Pada abad XX Rezim hukum laut klasik ditentang oleh negara yang merdeka pasca
Perang Dunia II. Terutama berkaitan definisi tentang negara kepulauan, karena pada
rezim hukum laut klasik negara kepulauan menjadi tidak utuh. Laut menjadi pemisah dari
pulau, bukan penghubung antar pulau. Pemerintah Indonesia melalui Deklarasi yang
disampaikan P.M. Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 menetapkan teritori laut
selebar 12 NM dari garis pangkal (base line)—garis yang menghubungkan titik terluar
pulau terluar—berdasarkan “point to point theory”, dan laut antara dua pulau menjadi
bagian dari teritori negara kepulauan. Deklarasi Djuanda baharu disetujui negara
merdeka—pasca Perang Dunia II yang berkepentingan atas laut—setelah 25 tahun

34
melalui United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 di kota
Montego Bay, Jamaica. Keputusan UNCLOS ’82 lainnya adalah menetapkan jenis-jenis
laut menjadi: 1) perairan pedalaman (internal waters); 2) perairan kepulauan
(archipelagic waters); 3) laut teritorial (territorial sea); 4) zona tambahan (contiguous
zone); 5) zone ekonomi eksklusif (economic exclusive zone); 6) landas kontinen
(continental shelf); 7) laut bebas (high seas). Penetapan ini di kemudian hari akan
menjadi masalah antarnegara yang berhadapan dan bertetangga, yakni masalah
prioritas—1st come 1st serve—hak pengelolaan tambang di laut bebas (high seas).

1. 2. Negara Berdasarkan Institusi


Setelah mendeklarasikan wilayah sebagai tempat tinggalnya, bangsa harus
membentuk organisasi guna melindungi milik maupun dirinya. Organisasi itu dinamakan
negara (state). Oleh karenanya persyaratan utama negara adalah harus ada penduduk dan
wilayah sebagai tempat tinggalnya. Untuk menentukan status suatu negara, negara-negara
yang bergabung dalam Pan Americana menyelenggarakan Konvensi di Montevideo,
Uruguay. Konvensi—Montevideo on Rights and Duties of States, berakhir pada 26
Desember 1933—menghasilkan kesepakatan persyaratan suatu negara demokrasi
moderen. Dalam pengertian ini, negara meliputi: 1) rakyat; 2) wilayah; 3) pemerintah
yang berdaulat; dan 4) pengakuan kedaulatan dari negara lain. Di samping keempat
syarat tersebut dapat ditambahkan pula adanya konstitusi dan tujuan negara yang
tersirat/tersurat dalam konstitusi negara; (Ditjen Dikti, 2001: 36).
1.2.1 Rakyat
Rakyat adalah penduduk—semua orang yang bertujuan menetap dalam wilayah
tertentu untuk jangka waktu lama—dapat diklasifikasikan sebagai: 1) penghuni tetap
maupun berpindah-pindah (nomad) dalam wilayah tersebut; 2) warga negara dan warga
negara asing. Konsep tentang rakyat adalah penghuni. Dimaksudkan untuk
mengantisipasi bahwa saat ini, di era global amat jarang terdapat negara yang
rakyatnya—dari segi ras dan etnik—bersifat homogen. Lalu lintas penduduk semakin
lancar baik antarsuatu daerah dengan daerah lain maupun antarnegara. Apalagi di era
globalisasi dapat menyebabkan rakyat suatu negara akan semakin lama semakin
majemuk. Oleh karena itu, peran Imigrasi sebagai lambang kekuasaan negara perlu

35
didukung segenap warga negara. Konsep warga negara dan warga negara asing,
menekankan bahwa dalam wilayah tersirat adanya asas egaliter pada penduduk, dengan
kata lain bukan kaula negara. Penjelasan lebih lanjut pada Bab IV.

1.2.2. Wilayah
Wilayah atau lingkungan kekuasaan pemerintah, meliputi: 1) wilayah darat; 2)
wilayah laut; 3) wilayah udara; dan 4) wilayah ekstrateritorial. Wilayah darat ditandai
dengan batas-batas alamiah/geografi maupun buatan. Batas wilayah darat ditentukan oleh
pemerintah. Sampai dengan pasca Perang Dunia II—terutama di Eropa dan daerah
jajahannya—batas wilayah ditentukan penguasa/pemegang kendali, yakni dinasti. Batas
wilayah darat bersifat sementara (semi permanen), karena dapat berubah setiap saat.
Kepemilikan wilayah darat yang berubah terjadi karena akneksasi maupun penjualan oleh
dinasti yang berkuasa. Rakyat sebagai salah satu unsur utama negara tidak ikut campur.
Misalnya, Negara Bagian Alaska dan Louisiana di Amerika, merupakan hasil pembelian
Pemerintah Amerika dari Rusia (dinasti Romanov) dan Perancis (Pemerintah Napoleon).
Konvensi Montevideo berupaya menentukan bahwa batas wilayah, merupakan hasil
perjanjian bilateral antara negara yang yang tetangga. Wilayah laut ditentukan sesuai
dengan rezim—hukum laut—klasik. Namun sejak dekade kesembilan abad XX, melalui
UNCLOS ’82 batas laut dan definisi tentang kepulauan juga diubah. Dengan demikian,
laut bukan merupakan pembatas suatu daerah melainkan menjadi penghubung antar
daerah dalam negara. Penentuan wilayah udara mengacu pada konvensi Paris yang
ditandatangani pada 23 Oktober 1919, memutuskan bahwa setiap negara mempunyai
kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya.
Tujuannya adalah agar setiap negara memiliki kedaulatan (air sovereignty) di atas
wilayahnya. Sejak 1944 (Konvensi Chicago) wilayah kedaulatan udara terbentang di atas
daratan dan lautan suatu negara. Pasca Perang Dunia II ditentukan adanya ruang angkasa
dan berada di atas ruang udara masing-masing negara. Pembahasan lebih lanjut dari
naskah ini pada bagian lain.
Di samping menentukan 3 demensi wilayah Negara Konvensi Montevideo
mengakomodasi pula hasil Kongres Wina 1815 dan Kongres Aachen 1818 tentang
wilayah ekstrateritorial. Wilayah ekstrateritorial adalah daerah perwakilan diplomatik dan

36
kapal yang berlayar di bawah bendera suatu negara. Oleh karena itu, nakhoda kapal
bertindak sebagai pejabat pencatatan sipil.
1.2.3. Pemerintah yang Berdaulat
Pemerintah—yang berdaulat—untuk membedakan organisasi Pemerintah dengan
organisasi sosial kemasyarakatan. Pemerintah adalah pemegang dan penentu kebijakan
yang berkaitan dengan pembelaan negara. Pemerintah yang berdaulat mempunyai
kekuasaan ke dalam—merumuskan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh
penduduk—di wilayahnya dan ke luar—mempertahankan kemerdekaan dari serangan
negara lain dan hubungan diplomatik—berkaitan perjanjian internasional. Untuk itu
diperlukan loyalitas dari warga ne-garanya untuk mengamankan dan mempertahankan
Negara (Budihardjo, 2008: 54). Menurut Max Weber, kekuasaan tersebut—dari membuat
semua aturan, memaksa agar tertib hingga memonopoli penggunaan kekerasan—dapat
berakibat hancurnya negara. Oleh karenanya diperlukan adanya pemisahan kekuasaan
(separation of power). Pemisahan kekuasaan adalah pemisahan lembaga-lembaga negara
secara horizontal menurut fungsinya, sebagaimana dinyatakan dalam doktrin Trias
Politica. Doktrin itu membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bagian, yaitu: 1) legislatif,
kekuasaan membuat undang-undang (rule-making function); 2) eksekutif, kekuasaan
melaksanakan undang-undang (rule-application function); 3) yudikatif, kekuasaan
mengawasi pelaksanaan undang-undang atau kekuasaan mengadili pelanggaran undang-
undang (rule-adjudication function). Penafsiran Trias politica tidak lagi sebagai
pemisahan kekuasaan tetapi sebagai pembagian kekuasaan. Artinya, hanya fungsi pokok
yang dibedakan menurut sifatnya dan diserahkan kepada badan yang berbeda, tetapi kerja
sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi
(Budiarjo, 2008: 151—155).
Menurut Prof.Miriam Budiardjo, kedaulatan artinya kekuasaan tertinggi dan
merupakan suatu konsep yuridis. Konsep kedaulatan tidak sama pada setiap negara. Oleh
karena itu, konsep kedaulatan yang mutlak tidak ada, menurutnya pemimpin kenegaraan
otokrasi—raja atau diktator—melaksanakannya kekuasaan secara mutlak dalam tekanan
dari luar dirinya, apalagi bila datang dari dunia internasional. Seperti kita ketahui bersama
pemerintahan otokarasi di negara-negara “Poros”, karena sekutu tidak menghendaki
pemerintahan Jerman, Italia dan Jepang yang kuat. Apalagi rakyat Jerman merasa

37
diremehkan oleh sekutu terutama Perancis. Di negara-negara demokrasi modern sikular,
kedaulatan didasari atas persetujuan rakyat (yang akan diperintah).

1.2.4. Pengakuan Kedaulatan


Pengakuan kedaulatan dari negara lain bukanlah merupakan unsur pembentuk
negara, tetapi sifatnya hanya menerangkan saja tentang adanya negara. Dengan kata lain
pengakuan dari negara lain hanya bersifat deklaratif. Pengakuan kedaulatan dibedakan
dengan status de facto, berdasarkan fakta yang ada dan de jure, berdasarkan hukum.
Dengan adanya kedua jenis status pengakuan, hubungan kedua negara dapat
meningkatkan hubungan diplomatik kedua negara hingga tingkat Duta Besar.
1.2.5. Konstitusi
Persayaratan lain suatu negara modern, menurut Prof DR Sri Soemantri (Ditjen
Dikti, 2001: 36), adalah adanya konstitusi. Kata konstitusi, dari bahasa Perancis
constituir yang ber-arti “membentuk”. Diartikan sebagai pengaturan dasar pembentukan
suatu negara. Negara Moderen—terutama sejak berdirinya USA—konstitusi merupakan
prasyarat bagi suatu negara bangsa (nation state).
Orang Belanda menyebutnya Grondwet yang mengandung arti aturan dasar atau
“fundamental law”. Yang dimaksud dengan aturan dasar adalah sejumlah ketentuan yang
dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga negara dan lembaga pemerintah,
termasuk kerja sama antara rakyat (masyarakat) dan negara dalam rangka kehidupan ber-
bangsa dan bernegara. Di negara kita, konstitusi dikenal sebagai Undang Undang Dasar
(UUD). Dalam kepustakaan Belanda—menurut van Appeldorn—dalam UUD ada aturan
dasar yang tertulis dan tidak tertulis, yang tertulis dikenal sebagai contitutie dan tidak
tertulis seba-gai hukum dasar (Budiardjo, 2008: 169). Oleh karena itu, dalam mengkaji
konstutusi perlu dikaji sejarah dan suasana batin terjadinya UUD/konstitrusi. Suasana
batin itu sering dituangkan dalam penjelasan Konstitusi.
Ciri-ciri konstitusi berisikan: 1) Organisasi negara, pembagian kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif; 2) Hak Asasi Manusia—biasanya disebut bill of rights—dan
ditulis tersendiri; 3) Prosedur mengubah kontitusi (amandemen); 4) Ada kalanya ada
larangan sifat tertentu dalam konstitusi untuk diubah; 5) Merupakan aturan hukum yang

38
tertinggi. Tidak jarang dibuat Pembukaan atau Mukadimah dasar yang berisikan cita-cita
atau ideologi negara (Budiardjo, 2008: 178).
1.2.6. Tujuan Negara
Tujuan negara sebaiknya tersurat, paling tidak tersirat dalam konstitusi. Rumusan
tuju-an nasional dalam konstitusi merupakan pedoman untuk mencapai tujuan nasional
dalam bernegara. Sedangkan tujuan nasional pada dasarnya sejalan dengan tujuan hidup
manusia pada umumnya yakni menciptakan rasa aman—mempertahankan hidupnya—
dan membangun kemakmuran bagi rakyat. Oleh karenanya, negara berhak menuntut
kesetiaan para warganya untuk menghadapi musuh. Sebaliknya pemerintah berkewajiban
pula memberi dan melatih pengetahuan untuk mempertahankan negara.
2. 1. Geopolitik
Untuk mempertahankan wilayah yang sudah dideklarasikan sebagai milik bangsa,
seorang pemimpin harus memiliki pandangan—wawasan ke depan—agar pengelolanya,
sesuai dengan tujuan bangsa. Konsep wawasan kebangsaan tentang wilayah mulai dikem-
bangkan sebagai ilmu pada akhir abad XIX. Konsepsi ini dikenal sebagai geopolitik,
yang pada mulanya membahas geografi dari segi politik negara. Kemudian berkembang
konsep politik, dalam arti distribusi kekuatan, pada hamparan geografi negara. Karenanya
tidaklah berlebihan bahwa geopolitik sebagai ilmu “baru” dicurigai sebagai upaya
pembenaran atas konsepsi ruang (Sunardi, 2004: 157). Selanjutnya dalam membahas
geopolitik sebagai wawasan nasional, dibahas sejarah bangsa dan sudah barang tentu
dibahas teori dan implementasi geopolitik terutama dalam mengatur pemerintahan di
daerah.
Sesuai dengan zamannya, awal pemikiran geopolitik hanya berfokus pada
pembahasan elemen fisik geografi, yaitu berkaitan dengan masalah ruang hidup (tanah),
bentuk wilayah, cuaca dan sumber daya alam. Dengan kata lain, masih ke arah
pembangunan kekuatan fisik negara demi keamanan. Masalah yang berkaitan peta bumi
ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan negara belum menjadi perhatian. (Collins, 1973:
167-168).
Konsep wawasan nasional harus ditindaklanjuti melalui pembuatan konsep
geostrategi. Strategi, menurut J. C. Wilie—seorang perwira AL Amerika—adalah
“rencana aksi untuk mengakhiri keinginan bersama dan dapat diukur hasilnya” (Collins,

39
1973: 15). Dalam hal ini keinginan bersama itu, adalah politik nasional. Konsep
geostrategi, yang merupakan pelaksanaan dari geopolitik, perlu dilakukan pengkajian
mengenai siapa “mitra strategi” dan “apa lingkungan strategi” yang akan mempengaruhi
politik negara. Dengan pengkajian tentang mitra strategi dan lingkungan strategi para
ilmuwan dan praktisi politik dan militer mulai memikirkan bahwa perang akan menjadi
total—karena melibatkan rakyat yang telah sadar untuk membela negara—dan menjadi
lebih dahsyat. Hal ini diungkapkan oleh Churchill pada awal abad XX “war of the people
more tarrible than those of king". Pandangan Churchill ini menggambarkan perlu
pendidikan kesadaran bela negara.
Upaya mencapai tujuan nasional bangsa perlu dilakukan melalui strategi-strategi
yang tidak dapat dilakukan secara singkat, namun harus dilakukan sepanjang hayat.
Untuk keperluan tersebut perlu disusun pedoman pelaksanaan yang dikenal sebagai
politik nasional dan strategi nasional.
2. 2. Geopolitik dan Implementasi Hukum Kewilayahan
Konsep geopolitik dan geostrategi berkembang seiring kesadaran manusia untuk
ber-bangsa dan bernegara, yaitu mulai dari terbentuknya bangsa, kemudian negara, dan
tidak boleh diabaikan adanya kemajuan teknologi—transportasi, komunikasi, peralatan
militer—dan kebangkitan demokrasi (Wright, 1942: 16). Kebangkitan demokrasi menjadi
komponen pemikiran perencanaan strategi pasca Perang Dunia II. Oleh karenanya para
penulis geopolitik dan geostrategi pra Perang Dunia II belum memasukkan sumber daya
manusia—rakyat militan—sebagai elemen kekuatan suatu negara.
Gagasan awal geopolitik ditulis oleh Friedrich Ratzel yang mengatakan bahwa ter-
bentuknya negara ibarat pertumbuhan makhluk hidup yang membutuhkan ruang untuk
pertumbuhannya, seperti teori Charles Darwin. Gagasan itu diperkuat oleh tulisan Rudolf
Kjellen yang mengatakan bahwa untuk berkembang diperlukan kekuatan dan intelektual
bangsa. Menurutnya, perbatasan negara hanya bersifat sementara sehingga teorinya
dikenal sebagai Teori Kekuatan.
Teori mereka ditulis ulang dan menjadi disertasi Karl Haushofer—seorang Perwira
Jerman yang menjadi atase militer di Jepang Pasca Perang Dunia I—yang
menitikberatkan pembentukan ruang dan kekuatan. Teorinya itu kemudian menjadi
wawasan nasional Jerman, yang terpuruk pasca Perang Dunia I. Perang Dunia I

40
sebenarnya merupakan upaya negara Eropa Barat—terutama Perancis—yang bersekutu
dengan Inggris untuk membangkitkan gerakan nasionalisme Eropa Timur serta Asia dari
kekuasaan dinasti yang ada (Habsburg dan Romanov). Mereka juga ingin mengkerdilkan
dinasti Usmaniah—dikenal dengan konsep membagi The Ottoman Herritage—yang
terbentang di kawasan Balkan, Jazirah Arab, dan Afrika Utara.
Pokok-pokok teori Haushofer adalah sebagai berikut: 1) negara harus mempunyai
ruang hidup “cukup”; 2) negara harus swasembada; dan 3) dunia dibagi atas empat pan-
region dan setiap pan-region harus dipimpin dan dikendalikan oleh bangsa (ras)
unggulan. Dalam menentukan ras unggulan Haushoffer dipengaruhi situasi internasional
saat itu, bahwa ras unggulan adalah ras Eropa dan Jepang—pasca Jepang menang perang
lawan Rusia di tahun 1905—ras unggulan non Eropa. Haushoffer seorang pengagum
James Monroe Presiden Amerika—dikenal pula sebagai pendiri negara di Afrika Barat
untuk para budak Amerika Serikat—dan ajaran “Bushido” rakyat Jepang. Haushoffer
memilih Amerika Serikat dan Jepang sebagai bangsa unggulan di luar benua Eropa.
Keempat pan-region adalah: 1) wilayah Eropa-Afrika (Jerman); 2) wilayah Rusia-
India (Rusia); 3) wilayah Asia Timur, termasuk Australia (Jepang); dan 4) benua
Amerika (Amerika Serikat). Konsep yang bernuansa rasialis ini benar-benar dihayati
oleh ras Astro-Jerman—etnis terbesar di Daratan Eropa—yang belum menegara nasional.
Teori Haushofer didahului beberapa doktrin wawasan yang bersifat pembangunan
kemitraan berkaitan dengan perkembangan teknologi transportasi, telekomunikasi, dan
kesenjataan.

2.2.1. Wawasan Maritim


Wawasan Maritim—geopoltik matra laut—dikembangkan oleh Sir Walter Raleight
dan Alfred Thayer Mahan, seorang Perwira Angkatan Laut Amerika Serikat. Wawasan
Maritim yang dikembangkan oleh Raleight berkaitan dengan teknologi kapal dan kepela-
buhan Inggris yang lebih unggul dari Spanyol dan Portugis. Seperti kita ketahui bersama
pasca Perang Sabil/Perang Salib, laut di Utara Khatulistiwa dikuasai Spanyol dan di
Selatan Khatulistiwa dikuasai Portugal serta Laut Tengah untuk negara Venesia. Awal
wawasan maritim—yang dikembangkan Raleight—berorientasi mencari asal
commodities yang dibutuhkan Eropa—Inggris dan Belanda—yaitu rempah-rempah dan

41
sutera. Semboyan yang dikembangkan antara lain: “Siapa yang menguasai laut akan
menguasai perdagangan; siapa yang menguasai perdagangan akan menguasai kekayaan
dunia—artinya, akan menguasai dunia.” Konsep ini menggambarkan adanya perebutan
ruang hidup dan laut secara fisik, yang tidak dapat terhindari. Negara pantai yang lemah
akan dikuasai oleh Inggris dan Belanda. Apalagi orang Belanda—ras Vlaam yang sedang
menegara—mendirikan perusahaan dagang, untuk mencari rempah-rempah dan koloni.
Dewan Pimpinan Perusahaan—De Heeren XVII—memberi hak octrooi dan mandat
penuh kepada nakhoda kapal untuk melakukan perdagangan dengan penguasa lokal
antara Ambon-Amsterdam. Dengan demikian antara Perusahaan dan negara telah kerjadi
penggabungan yang bersifat oligarki (Simbolon, 2007: 66).
Oleh karena itu, patut diduga bahwa korupsi di negara kita juga berawal dari masa
ini. Dimulai dengan adanya oligopoli hubungan dagang antara penguasa lokal—sultan,
raja, karaeng, bupati—dengan pengusaha—dalam hal ini nakhoda—kapal dagang. Para
nakhoka kapal diberi wewenang untuk menindak pihak-pihak yang melakukan wan
prestasi. Dan yang patut diketahui bahwa pada masa itu setiap kapal dagang dilengkapi
meriam.
Manusia mulai mempelajari sifat-sifat khusus laut, apalagi setelah seorang perwira
angkatan laut Amerika Serikat Alfred T. Mahan banyak menulis perlunya memiliki
kekuatan nyata dari matra laut. Mereka juga menyadari bahwa laut tidak dapat dibagi-
bagi (dikapling-kapling). Muncul konsep-konsep: 1) rezim hukum tradisional (klasik); 2)
perang laut; dan 3) rezim hukum international (telah dibahas di atas). Ia mengemukakan
bahwa “Sumber daya laut, termasuk akses ke laut, harus dipertahankan dan
dimanfaatkan.” Melalui konsep ini, menyebabkan orang berlomba-lomba mengeksploitasi
sumber daya laut sesuai dengan konsep rezim klasik hukum laut yang beranggapan bahwa
laut merupakan hak bersama (common heritage of mankind), pemikiran bahwa siapa yang
datang lebih dahulu mendapat hak lebih dahulu (first come first served), dan laut tetap
utuh tidak dapat dibagi-bagi (sea as a whole in one). Inggris sampai dengan Perang Dunia
II, mengobarkan semangat bangsanya dengan semboyan “Britain rules the waves.”
Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 mengubah pandangan manusia
tentang definisi negara kepulauan dan penetapan garis pangkal (base line) untuk
menentukan laut teritorial. Rezim klasik hukum laut, menentukan bahwa laut teritorial

42
yang menjadi milik negara pantai hanya 3 NM dari garis pantai pada saat surut dan laut
antar pulau dapat menjadi laut internasonal apabila jaraknya di atas 12 NM. Kini awal
perhitungan memulai dari Garis Pangkal, yaitu garis imajinar yang menghubungkan titik
terluar pulau terluar dengan lebar teritorial 12 NM. Perairan antarpulau menjadi laut
teritorial atau laut pedalaman. Negara Kepulauan menjadi suatu entitas ditengah jalur
pelayaran internasional. Pemerintah negara kepulauan diwajibkan membuka dan
menentukan alur laut kepulauan. Hukum laut internasional membedakan yuridiksi laut
menjadi beberapa jenis seperti dijelaskan sebelumnya.

2.2.2. Wawasan Benua


Wawasan Benua atau kontinental dikembangkan oleh Sir Halford Mackinder,
bahwa kekayaan di bumi terdapat “Pulau Dunia” yang meliputi benua Eropa, Asia, dan
Afrika. Wilayah dunia yang lain disebut kepulauan dan samudera. Pada Pulau Dunia
wilayah dibagi atas daerah Jantung dan daerah Bulan Sabit. Daerah Bulan Sabit meliputi
pantai-pantai Asia Timur, Asia Selatan, Eropa Selatan dan Eropa Barat. Kekayaan dunia
ada di daerah Jantung—kira-kira Siberia sekarang. Untuk menguasai daerah Jantung
perlu dibangun kekuatan darat. Bila kita simak pandangan Mackinder tampaknya ia ingin
mengalihkan perhatian para pemimpin Eropa Daratan agar berfokus pada eksplorasi dan
eksploitasi di daerah pulau dunia. Seperti kita ketahui bersama Napoleon dan Hitler ingin
menaklukan Eropa Timur, yang tidak ada apa-apanya.

Nicholas Spykman memperbaiki teori di atas dengan teori Daerah Batas (Rimland).
Menurutnya, wilayah dunia terdiri atas: 1) Pivot Area (daerah jantung); 2) Offshore

43
Continent Land, yaitu daerah pantai Eropa dan Asia; 3) Oceanic Belt (pulau dan pantai di
luar pantai Eropa-Asia) termasuk daerah ini Afrika Selatan: dan 4) The New World
(benua Amerika). Wilayah yang akan menjadi daerah penting adalah Offshore continent
land. Wilayah ini merupakan pusat pergolakan dunia karena memiliki sifat maritim dan
kontinental. Sedangkan Amerika merupakan daerah aman dari pergolakan—konflik
bersenjata—karena untuk menuju Amerika dibutuhkan teknologi maju. Oleh karena itu,
setiap negara hendaknya menggunakan integrasi kekuatan darat dan laut dalam upaya
penyusunan pertahanan negara. Ramalan atau visi Spykman dapat kita kenali sekarang,
dengan banyaknya daerah bergolak sekitar offshore continent land.

2.2.3. Wawasan Dirgantara


Seiring dengan kemajuan teknologi dirgantara, manusia mulai membangun
kekuatan udara yang terpisah dari Angkatan Laut dan Angkatan Dara. Alasan utamanya
bahwa Angkatan Udara dapat beroperasi sendiri dan mampu menghancurkan musuh di
kandang sendiri. Dengan demikian, akan menghemat tenaga dan sumber daya bagi negara
pemenang perang. Meskipun pada Perang Dunia I telah ada kegiatan perang tanding (dog
fight) antarpesawat terbang, para pemimpin bangsa masih menganggap bahwa satuan
udara merupakan bantuan tempur bagi AD dan AL.
Konvensi Hukum Udara Paris 1919—diikuti 27 negara Sekutu dan Amerika
Latin—memutuskan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif
atas Ruang Udara (Airspace) yang terdapat di atas wilayahnya. Konvensi Chicago 1944
menjelaskan bahwa wilayah negara juga termasuk laut wilayah. Tahun 1967—traktat

44
Ruang Angkasa—disahkan adanya Ruang Angkasa (Aerospace). Batas Ruang Udara dan
Ruang Angkasa adalah 33.979 Km, Prinsip kebebasan dalam outer space treaty 1967,
terangkum, bahwa ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya bebas
untuk dimanfaatkan.

2.3. Geostrategi
Konsep geopolitik harus ditindak lanjuti melalui pembuatan konsep geostrategi.
Strategi—dari bahasa Yunani strategos—berarti “cara memenangkan perang”. Kini
hakekat strategi menurut J. C. Wilie—perwira angkatan laut Amerika—adalah “rencana
aksi untuk mengakhiri keinginan bersama dan dapat diukur hasilnya” (Collins, 1973: 15).
Dalam hal ini keinginan bersama adalah politik nasional. Pada konsep geostrategi, yang
merupakan pelaksanaan dari geopolitik, perlu dilakukan pengkajian mengenai siapa
“mitra strategi” dan “apa lingkungan strategi” yang akan mempengaruhi proses
pengambilan keputusan politik.Karenanya sebagai seorang pemimpin sebelum
menentukan geostrategi harus tahu betul wilayah sendiri. Seperti instruksi Kaisar Frederik
Agung dari Prusia pada jendralnya: “Knowledge of the country is to a general, what a
45
musket is to an infantryman. If he does not know the country he will be nothing but make
grave mistakes” berarti ia harus tahu secara detail apa yang jadi tanggung jawabnya
seperti seorang prajurit yang tahu tentang seluk beluk senapan yang menjadi pegangannya
(Collins, 1973: 167). Dalam masa damai strategi diartikan bagaimana dapat
melaksanakan pembangunan sesuai dengan visi para pemimpin.
Untuk dapat mengenal lingkungan strategis dan mitra strategis para ilmuwan—
militer maupun politik—mulai memilah apa saja yang tergolong dalam elemen kekuatan
bangsa, agar dapat diberikan prioritas pembangunannya. Penjelasan di atas ternyata
bahwa para ahli geopolitik—sejak Ratzel hingga Spijkman—masih berfikir bahwa
elemen wilayah (daratan) yang dominan. Bahkan dalam teori Rimland, Spykman
menyebut:”siapa kuasai Rimland kuasai Eurasia; kuasasi Eurasia berarti kuasai dunia”.
Pada kenyataannya kedua teori Mackinder maupun Spykman tidak terbukti. Pernyataan
mereka ada benarnya, yakni berkaitan dengan Belgia yang berwilayah sempit tidak
mungkin dapat mendominasi politik internasional (Chandra, 1982: 64). Dengan
mengapresiasi tulisan Morgenthau tentang elemen kekuatan nasional, Chandra
membedakan dan mengelompokkannya elemen kekuatan bangsa menjadi tiga; 1)
Kekuatan Alamiah yang meliputi: Geografi, Sumber daya alam, dan Demografi; 2)
Kekuatan Sosial yang mencakup: Pembangunan ekonomi, Struktur Politik, Budaya
nasional, dan Moral; 3) Kekuatan Lain-lain, seperti: ideologi, dan berdiplomasi, kearifan
pemimpin (wisdom of leadership) (Chandra, 1982: 70-74)
Kini banyak penulis politik dan militer yang mengapresiasi tulisan Morgenthau
tentang elemen kekuatan negara yang akan mendominasi percaturan politik antar bangsa
dan negara. Menurut Morgenthau kekuatan itu meliputi: 1) Geografi, yang mampu
memberikan ruang hidup cukup dan iklim yang sesuai dengan kebutuhan mausia; 2)
Sumber daya alam yang mampu memberikan pangan dan bahan baku industri; 3)
Kapasitas industri, mampu mengatasi logistik masa perang; 4) Kesiagaan militer, ini
sangat tergantung pada kemampuan teknologi, kepemimpinan, kualitas, dan kuantitas
militer; 5) Demografi, yang mampu mengubah potensi sumber daya alam menjadi
kekuatan nyata; 6) Karakter nasional/bangsa; 7) Moral nasional/bangsa, secara rinci dua
acuan terakhir (karakter dan moral) telah dibahas pada Buku Ajar I; 8) Kualitas
Diplomasi; dan 9) Kualitas Pemerintah, kedua hal terakhir sangat dipengaruhi

46
kemampuan para politisi untuk melihat visi ke depan, yaitu upaya dunia yang damai serta
kemampuan menggunakan lingua franca (bahasa penghubung) para politisi (Morgenthau,
1962: 110-133),
3. Negara Kesatuan Republik Indonesia
3.1.Ciri Khas Wilayah Negara Indonesia

Ada empat ciri khas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditinjau
dari segi bentuk dan letak geografis. Wilayah NKRI merupakan entitas berada di posisi
silang antara Lautan India di sebelah Barat dengan Lautan Pasifik di sebelah Timur.
Sedangkan di sebelah Utara adalah benua Asia dan Australia di Selatan. Sebagai entitas
besar harus membuka jalan untuk lalu lintas perdagangan dan manusia. Namun, kita harus
tetap waspada terutama akan menghadapi masalah sosial, ekonomi dan berlanjut ke
tindak-tindak kriminal, terorisme dan berarkhir dengan masalah pertahanan negara perang
perbatasan.
Ciri khas kedua merupakan negara kepulauan terbesar, seluas 1.904.569 km2
dengan jumlah 17.504 pulau (CIA International Report, Juli 2014). Memiliki Garis Pantai
sepanjang 54.715 km. Negara kepulauan besar lainnya: 1) Madagaskar luas 587.401 km2;
2) Papua Nugini luas 472.377 km2. Meskipun Indonesia negara kepulauan terbesar,

47
namun bukan merupakan negara kepulauan yang terbanyak pulaunya. Republik
Finlandia—negara pantai—memiliki pulau sebanyak 179.584, atau 10 kali lipat dari
jumlah pulau Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar masih memiliki tugas berat
antara lain inventarisasi 11.801 pulau yang belum bernama untuk diberi nama, karena
baru 5.703 pulau yang bernama.  Luas daratan 1,9 Juta KM2. Luas Perairan 3,1 Juta KM2,
terdiri dari Laut Teritorial 0,3 Juta KM2, Perairan Nusantara (inner waters) 2,8 Juta
KM2. Luas Zona Ekonomi Ekslusif 3.0 Juta KM2
Ciri khas ketiga bahwa Indonesia merupakan salah satu dari delapan negara yang
di bawah lintasan Geo Stationary Orbit (GSO). GSO sendiri merupakan suatu lingkaran
orbit yang sejajar dengan garis Khaulistiwa di bumi. Lingkaran orbit terletak pada 6
radian bumi di atas garis khatulistiwa di ketinggian + 36.000 km, dengan tebal + 75 km,
dan lebar + 15 km. GSO pada orbit ini akan mengelilingi bumi dari Barat ke Timur
dengan masa orbit 23 jam, 56 menit, 4 detik. Oleh karena itu, apabila satelit ataupun
benda-benda angkasa yang ditempatkan di orbit ini, seolah-olah diam, karena periode
putarnya hampir sama dengan periode putar bumi. Indonesia memiliki lintasan GSO
terpanjang. Panjang Garis Khatulistiwa Indonesia 6.110 km, lingkaran GSO Indonesia
9.997 km atau 12,8 % dari keliling GSO.
Ciri khas keempat dilintasi 3 (tiga) dari 7 (tujuh) selat teramai/tersibuk dunia
(Sunardi, 2002: 175). Ketiga selat itu: 1) Selat Malaka—no. 2 setelah selat Dover—
merupakan jalur angkutan migas untuk Asia Timur dan Pasifik; 2) Selat Sunda (no 6),
dan 3) Selat Lombok (no 7), keduanya merupakan jalur pelayaran dari negara-negara
Asia Timur dengan negara-negara Pasifik Selatan. Masa perang dingin ketiga selat ini
“dikuasai” oleh Amerika Serikat.

3.2. Negara Indonesia Ditinjau dari Segi Institusi


Secara formal Indonesia menjadi negara—merujuk Konvensi Montevideo 1933—
sejak Proklamasi Kemerdekaan. Wujud Keformalan Indonesia berupa: 1) penduduk atau
rakyat yang mendiami wilayah; 2) wilayah, eks wilayah Hindia Belanda; 3) pemerintah
yang berbentuk republik, sejak terpilihnya Presiden; 4) kedaulatan, sejak Proklamasi
Kemerdekaan; 5) konstitusi; 6) tujuan negara, yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur ber-dasarkan Pancasila; 7) bentuk negara yang berupa negara kesatuan.

48
3.2.1. Penduduk
Merujuk pada Konvensi Montevideo 1933, syarat utama negara Indonesia telah
berpenduduk. Penduduk/rakyat Indonesia terdiri dari berbagai etnik, agama dan golongan
kaula Belanda—onderdaan—maupun orang asing. Orang asing dibedakan antara turunan
Eropa—Jepang digolongkan sebagai orang Eropa—dan Timur asing, yaitu Cina, Arab,
India. Setelah proklamasi kemerdekaan berbagai penduduk yang berada di Indonesia
sebelum tanggal 17 Agustus 1945 diakomodasi sebagai warga negara Indonesia. Masalah
pluralitas bangsa telah dibahas pada Bab I dan akan dilanjutkan pada Bab IV masalah
Kebangsaan Indonesia.

3.2.2. Wilayah
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditentukan oleh BPUPKI
adalah wilayah Eks Hindia Belanda (Setneg, tt: 25). Sesuai dengan hukum kewilayahan
pada masa itu, wilayah Hindia Belanda sesusai dengan Peraturan Hindia Belanda, yaitu
Ordonantie nr. 446/1939 tentang Territorale Zee Maritieme Kringen Ordonantie
(TZMKO). Wilayah Hindia Belanda, menganut rezim hukum laut klasik. Perairan
teritorrial 3 NM pada saat pasang “surut” sesuai kontur pulau, wilayah laut dan udara di
luarnya menjadi laut dan udara bebas. Akibatnya laut menjadi pemisah antara pulau-
pulau. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi terbuka—terutama ketika
terjadi pemberontakan daerah—di luar P. Jawa. Para pemberontak dibantu oleh para
petualang penerbang—eks penerbang PD II—menyerbu wilayah Indonesia dari negara
lain baik yang telah merdeka maupun masih terjajah. Kapal-kapal transportasi antarpulau
milik perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) bernakhoda warga negara
Belanda—warga negara Indonesia, baru sedikit yang berkualifikasi nakhoda pelayaran
besar—sehingga menimbulkan kekhawatiran atas keselamatan para penumpang terutama
anggota TNI.
Untuk mengatasi itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan deklarasi tentang
ketentuan batas wilayah laut yang ditandatangani PM Djuanda pada tanggal 13 Desember
1957. Isi deklarasi—yang merupakan konsepsi politik—untuk memperkuat konsepsi
wilayah maritim. TZMKO yang merupakan konsep maritim Belanda dirombak total
menjadi tata lautan yang diperbaharui “berasas negara kepulauan” (archipelagic state

49
principle). Lahirlah konsepsi kewilayahan baru, yang berupa negara kepulauan dengan
wilayah meliputi: darat, laut, dan udara yang merupakan satu kesatuan utuh. Pengertian
yang universal dan berlaku pula bagi Fiji, Bahama, Norwegia, Philipina. Awalnya konsep
ini ditentang oleh Inggris, Belanda, Australia, dan Amerika. Namun dengan semakin
banyaknya “negara merdeka” yang baru, maka melalui Sidang Konvensi PBB tentang
Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) pada tahun
1982 di Montego Bay, Jamaica, perjuangan tersebut baru berhasil, setelah 25 tahun.
Pasal 46 UNCLOS ’82 menyebutkan : Kepulauan berarti suatu gugusan pulau,
termasuk bagian. pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang
hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan
wujud alamiah lainnya merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang
hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Negara Kepulauan berarti
suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup
pulau-pulau lain. Dengan pengertian ini wilayah Indonesia terdiri dari sepertiganya
daratan dan duapertiganya laut. Dikenal pula sebagai benua maritim.
3.2.3. Pemerintah Indonesia
Pemerintah Indonesia ada sejak 18 Agustus 1945, yaitu hasil sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
1) Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD yang diambil dari Rancangan
Undang Undang yang disusun Panitia Perumus tanggal 22 Juni 1945;
2) Menetapkan dan mengesahkan UUD yang bahannya hampir seluruhmya dari
RUU yang disusun Panitia Perancang UUD tanggal 16 Juni 1945;
3) Memilih Ketua PPKI dan Wakilnya sebagai Presiden dan Wakil Presiden;
4) Peker-jaan Presiden sementara dibantu PPKI yang kemudian menjadi Komite
Nasional Indonesia (KNI). Dengan terbentuknya kabinet Presidensiil, KNI berfungsi
sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan lembaga yudikatif tetap mengacu pada
organisasi sebelum kemerdekaan.
Implementasi Trias politica—pasca orde baru—merujuk UUD NRI 1945, tidak lagi
sebagai pemisahan kekuasaan tetapi sebagai pembagian kekuasaan. Fungsi dan
kekuasaan negara itu tidak dibagi secara terpisah dalam tiga lembaga saja tapi
didistribusikan ke dalam enam lembaga tinggi negara. UUD NRI 1945 menghapus satu

50
lembaga tinggi negara, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang sebelumnya
mempunyai kekuasaan konsultatif bagi Presiden. Selanjutnya dibentuk satu lembaga
tinggi negara yang baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
Pendistribusian kekuasaan negara pada lembaga-lembaga tinggi negara merupakan
bentuk pembatasan antarlembaga secara horizontal. Pembatasan tersebut juga
menunjukkan pembagian kewenangan pada beberapa lembaga tinggi negara sehingga
kewenangan tidak didominasi oleh satu lembaga saja. Hal ini memungkinkan adanya
saling kontrol di antara lembaga-lembaga tersebut dalam permasalahan yang saling
berkaitan. Berikut ini uraian mengenai lingkup kewenangan dari beberapa lembaga
negara tersebut.
Pemerintah atau badan eksekutif adalah organisasi yang berwenang merumuskan
dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk dalam
suatu wilayah. Pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan
negara. Di negara demokrasi biasanya badan eksekutif terdiri dari kepala negara atau
kepala peme-rintahan, beserta menteri-menteri, pegawai negeri sipil, dan militer.
Pengertian badan eksekutif dipersempit, yakni hanya mencakup kepala negara, kepala
pemerintahan, dan para menterinya. Tugas badan eksekutif, menurut tafsiran tradisional
asas trias politika, hanya melaksanakan kebijakan yang telah ditentukan oleh badan
legislatif. Tetapi pada kenyataan-nya badan eksekutif lebih luas ruang geraknya
dibandingkan dengan badan legislatif. Untuk memperlancar tugasnya dibentuklah badan
pelaksana yang bersifat permanen dan profesional yakni birokrasi. Birokrasi dibangun
untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi yang bersifat teknis yang tentu tidak dapat
ditangani sendiri oleh para politisi. Oleh karenanya tidak terelakkan bahwa kaum ahli
perlu ditunjuk. Terdapat kontroversi mengenai perlu tidaknya dibentuk birokrasi. Harold
Laski tidak setuju dibentuk birokrasi dan mengatakan bahwa kekuasaan kaum birokrat
tidak mudah dikendalikan oleh lembaga-lembaga demokratis. Lembaga demokrasi, partai
politik maupun lembaga sosial masyarakat sering tidak profesional, dalam arti tidak ada
kaderisasi yang mantap. Kaum birokrat secara terus menerus memperluas ruang lingkup
kekuasaannya sehingga sulit dikendalikan. Di sisi lain, Max Weber setuju dengan adanya
lembaga ini dan menyatakan bahwa birokrasi mampu mencapai efisiensi yang paling
tinggi dan bentuk administrasi yang paling rasional karena birokrasi merupakan

51
pelaksana badan eksekutif. Pengendalian dilakukan oleh pemerintah melalui ilmu
pengetahuan (Budiardjo, 2008: 49-55). Dalam kaitan ini militer, yaitu angkatan darat,
laut, dan udara, adalah bagian dari birokrasi yang harus langsung di bawah Kepala
Negara bukan di bawah Kepala Pemerintahan.
Badan Yudikatif, merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam konsep politik, badan yudikatif
sebenarnya berperan juga sebagai penguji peraturan perundang-undangan (judicial
review). Dalam konsep trias politika klasik, ketiga cabang kekuasaan harus benar-benar
dipisahkan (Budiardjo, 2008: 200). Pada kenyataannya, pemisahanan tidak mungkin
dapat dilaksanakan sepenuhnya, sehingga pada zaman modern ini yang ada adalah
distribusi kekuasaan saja. Artinya, hanya fungsi pokoknya saja yang dipisahkan
sedangkan fungsi lainnya yang bersifat teknis dari ketiga cabang tersebut terjalin satu
sama lain. Ini disebabkan semakin kompleks-nya tugas-tugas kenegaraan. Indonesia kini
memiliki tiga badan yudikatif, yakni.
1)Mahkamah Agung (MA), berfungsi menyelenggarakan peradilan termasuk
menguji materi perundang-undangan di bawah UU;
2)Mahkamah Konstitusi (MK), berfungsi a) mengadili untuk menguji UU terhadap
UUD, b) memutuskan sengketa kewenangan lembaga yang kewenangannya
diberikan UUD, termasuk membubarkan partai politik, c) memutuskan
perselisihan hasil pemilihan umum, d) MK wajib memberikan pendapat atas
pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden;
3)Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk mengusulkan Hakim Agung dan
kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran, martabat, serta perilaku hakim.
Badan Legislatif adalah badan yang membuat undang-undang. Anggotanya
dianggap mewakili rakyat. Menurut teori yang berlaku, maka rakyatlah yang berdaulat
dan mempunyai suatu kemauan. Badan legislatif dianggap merumuskan kemauan rakyat
dengan jalan menentukan kebijakan umum (public policy) yang mengikat seluruh
masyarakat. Kenyataannya, bentuk dan susunan badan-badan legislatif berbeda pada tiap
negara. Berdasarkan ketentuan UUD NRI 1945, kekuasaan yang ada pada negara
didistribusikan kepada.

52
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tinggi negara yang memiliki
kekuasaan konstitutif, yaitu kekuasaan membentuk Undang-Undang Dasar;
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga tinggi negara yang memiliki
kekuasaan legislatif, yaitu membentuk undang-undang;
3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lembaga tinggi negara yang memiliki
kekuasaan legislatif yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam
pembentukan undang-undang.
Status Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tidak lagi menjadi Lembaga
Tertinggi Negara. Oleh karena itu, apakah masih berhak melantik Presiden/Wakil
Presiden, mengingat mereka kini dipilih langsung. Presiden bukan lagi mandataris MPR
yang harus tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Kewenangan MPR merumuskan,
membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dihapus, rakyat/bangsa kini tidak
lagi menentukan haluan dan tujuan masa depannya. Perwakilan golongan—yang
mencerminkan golongan rakyat non politisi—tidak ada lagi di MPR, pada hal MPR
merupakan cerminan penjelmaan seluruh rakyat. Permasalahan MPR kini, apakah perlu
jadi lembaga permanen, lembaga non permanen atau suatu sidang gabungan (joint
session). Dalam organisasi MPR, kini ada sistem Majelis 2 (dua) kamar: Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), namun DPD kurang
difungsikan. Kedudukan dan otoritas DPR menjadi lebih kuat, sehingga “DPR heavy”.
Otoritas yang seharusnya melekat pada Presiden menjadi peluang bagi DPR, misalnya
ikut menyeleksi para pejabat publik. Pada faktanya wawancara—sebagai bagian dari
pemilihan jabatan publik—yang dilakukan anggota badan legislatif terkesan kurang
serius. Kekurangseriusan ini juga berakibat bahwa peraturan perundang-undangan tidak
diperhatikan oleh anggota legislatif sebagai pembuatnya. Terbukti hingga tahun 2016,
masih banyaknya para anggota legislatif—pusat dan daerah, malahan termasuk pimpinan
badan legislatif pusat—yang belum membuat dan menyerahkan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara sejak dilantik Oktober tahun 2014. Padahal LHKPN merupakan
salah satu bahan untuk pembuatan perhitungan pajak perseorangan (Kompas, 19/3-2016
hal 3).
Perlu ditambahkan nama-nama Badan legislatif di Indonesia: 1) Volksraad (1912-
1942); 2) Komite Nasional Indonesia (1945-1949); 3) DPR dan Senat RIS (1949-1950);

53
4) DPR Sementara (1950-1956); 5) DPR Hasil Pemilu (1956-1959); 6) Dewan
Konstituante—hasil pemilu 1955—bertugas membuat UUD (1956-1959); 7) DPR
Peralihan (1959-1960); 8) DPR Gotong-Royong semasa Demokrasi Terpimpin (1960-
1966); 9) DPR Gotong-Royong, semasa Demokrasi Pancasila (1966-1971); 10) DPR
hasil Pemilihan Umum secara periodik (1971-2004); 11) DPR dan DPD hasil Pemilihan
Umum 2004, 2009, dan 2014.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lembaga tinggi negara (baru) yang memiliki
kekuasaan inspektif, yaitu melakukan pemeriksaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan
keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai dengan
kewenangannya. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan pendapat
DPD dan diresmikan oleh Presiden Keanggotaannya Kedudukan BPK di ibu kota negara
dan mempunyai perwakilan di setiap provinsi. Dari pasal-pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa DPR menjadi sangat dominan, dan ditercermin pula di provinsi.
Akibatnya sering terjadi kehebohan politik atas temuan BPK Provinsi yang belum tentu
tepat. Sebagai contoh yang terjadi di Provinsi DKI dan ternyata ada kesalahan dari
laporan BPK.

3.2.4. Pengakuan Kedaulatan dari Negara Lain


Mesir merupakan negara asing pertama yang mengakui kemerdekaan dan
kedaulatan Republik Indonesia. Pengakuan de facto dilakukan pada tanggal 22 Maret
1946, dengan menyatakan bahwa pengurusan tentang masalah Indonesia tidak dilakukan
melalui Kedutaan Besar Belanda. Selanjutnya Mesir mengajak anggota Liga Arab untuk
mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan de jure baru dilaksanakan pada 10 Juni
1947.
Negara kedua adalah India setelah merdeka dari Inggris pada 15 Agustus 1947.
India menggagas resolusi bangsa-bangsa Asia-Afrika yang mengecam agresi militer
Belanda ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948. Perdana Menteri India J. Nehru
menggelar konferensi Asia bersama Pakistan, Sri Lanka, Nepal, Libanon, Siria dan Irak
yang mendesak Pemerintah Belanda meninggalkan Indonesia.
Vatican sebagai negara Tahta Suci mengakui eksistensi bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang merdeka pada tanggal 6 Juli 1947 dan menunjuk apostolik sebagai

54
penghubung Vatican-Indonesia. Vatikan menjadi entitas politik pertama di Eropa yang
menerima kedau-latan Indonesia. Pengakuan Vatikan yang simbolik mengubah
pandangan negara dan bangsa Eropa tentang kemerdekaan Indonesia.

55
Pengakuan Australia secara nyata, setelah bersama India mengajukan resolusi
kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) pada tanggal 31 Juli
1947, memaksa Belanda menghentikan serangan apapun ke wilayah Republik Indonesia.
Sayang, resolusi tersebut diveto oleh Perancis—anggota tetap DK PBB—di PBB.
Andaikan Perancis tidak memveto agressi Milter Belanda, mungkin hal itu tidak terjadi.

3.2.5. Konstitusi
Secara hakiki, konstitusi berarti perjanjian antar masyarakat dalam bernegara, dan
merupakan kontrak sosial. Pengertian konstitusi secara terminologi adalah sejumlah
aturan dasar dan ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur
lembaga pemerin-tahan termasuk hubungan kerjasama antar negara dan masyarakat
dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Prof Miriam Budiardjo (2008:
171) dalam negara demokrasi konstitusional,konstitusi/UUD berfungsi khas membatasi
kekuasaan pemerintah sedemikian rupa hingga penyelenggaraan kekuasaan tak bersifat
sewenang-wenang. Dalam perjalanan sejarah, UUD kita yang berlaku sekarang
merupakan hasil dari 4 (empat) kali amandemen dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun (1999-
2002). Secara resmi, konstitusi kita bernama UUD NRI 1945, masyarakat sering
menamakan UUD 2002. Perubahan UUD 1945 dapat digambarkan sebagai berikut.
Undang-Undang Dasar(asli) terdiri dari 3 (tiga bagian): 1) Pembukaan
(Preambule); 2) Batang Tubuh; dan 3) Penjelasan. Pembukaan terdiri atas 4 (empat)
alinea, yang menggambarkan hakikat nilai-nilai hukum: Tuhan, kodrat, etis dan filosofis
dalam UUD. Batang Tubuh merupakan jabaran pelaksanaan hukum dasar, terdiri atas: 16
(enambelas) Bab, dan tertuang dalam 37 (tigapuluh tujuh) pasal; 4 (empat) pasal Aturan
Peralihan; dan 2 (dua) pasal Aturan Tambahan. Penjelasan: untuk memudahkan
masyarakat memahami dan mendalami isi serta hakikat: Pembukaan dan Batang Tubuh
UUD, sehingga dapat dihayati dan dilaksanakan. Salah satu pasal aturan tambahan
menimbulkan penafsiran yang keliru oleh negara-negara “pemenang perang”.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan hasil empat
kali amandemen, dengan ciri antara lain: 1) tidak memuat penjelasan, ini dapat
menyebabkan multitafsir; 2) judul bab dan pasal banyak mengalami perubahan; 3)
jumlah bab, pasal, dan ayat berubah secara drastis, namun penomoran bab dan pasal tetap

1
sama, hanya dengan menyisipkan “huruf” pada nomor bab dan nomor pasal yang ada; 4)
UUD NRI 1945 kini memiliki 21 bab, 73 pasal, dan 173 ayat, serta hanya 6 (enam) pasal
yang tidak diubah; yakni pasal-pasal: 4; 10; 12; 29; 35; dan 36; 5) hanya 1/8 (12,5%)
kententuan asli, selebihnya ketentuan baru.
UUD NRI 1945 tanpa ada penjelasandapat menyebabkan terjadi multitafsi isi UUD
NRI 1945. Masyarakat tidak menghayati adanya konvensi ketatanegaraan yang
mendorong timbulnya Living Constitution, yang benar-benar hidup di dalam masyarakat,
tidak hanya terdiri dari naskah tertulis saja, tetapi juga meliputi konvensi
ketatanegaraan.Ada perubahan dari sistem otoritarian ke sistem demokrasi. yang berlanjut
ke kegaduhan politik nasional. Kegaduhan politik nasional yang berlanjut dapat
menurunkan mutu karakter bangsa dan berlanjut pada penurunan kualitas pemerintah.
Akhirnya Indonesia hanya sebagai penonton dalam percaturan politik dunia. Hal ini
merupakan kontraproduktif dari butir ke-empat tujuan nasional, yaitu ikut serta dalam
upaya perdamaian dunia.
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapus dan diganti oleh Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres). DPA sebagai lembaga konstitusional yang pertimbangannya
tertulis dan dapat diakses oleh masyarakat/rakyatmerupakan penjelmaan raad van staat,
council of state.Wantimpers diangkat oleh Presiden. Keberadaannya melekat pada
Presiden dengan pertimbangan yang bersifat rahasia sehingga cukup berkoordinasi
dengan Presiden saja.Akan tetapi, kewenangan Wantimpers tumpang tindih dengan Unit
Kerja Presiden untuk Pengelola Program Reformasi (UKP3R) yang dibentuk oleh
Presiden.
Materi baru muncul dalam UUD NRI 1945, yang perlu menjadi catatan kita semua:
1) dengan adanya DPD, Indonesia kini menganut sistem bikameral, yang umumnya
dianut Negara Federal; 2) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diangkat sebagai lembaga
tinggi negara; 3) wilayah NKRI dinyatakan sebagai negara kepulauan (nusantara) sesuai
dengan Deklarasi Juanda; 4) Hak Asasi Manusia (HAM) dikembangkan meski
dipengaruhi HAM Universal (Universal Declaration of Human Rights), yang kini banyak
ditentang oleh negara merdeka “baru”; 5) bela negara tertuang dalam dua pasal sebagai
bela negara dan upaya ikut serta dalam pertahanan dan keamanan; 6) Pemilihan Umum
(Pemilu) diupayakan langsung hanya untuk Presiden dan Wakil Presiden, namun

2
berkembang menjadi Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung; dan 7) pimpinan
eksekutif di pusat maupun daerah maksimal hanya dijabat 2(dua) periode saja.
Perkembangan UUD NKRI : 1)UUD (17/8-1945 – 27/12-1949); 2) Konstitusi RIS
(27/12-1949 – 17/8-1950); 3) UUDS RI (17/8-1950 – 5/7-1959); 4) UUD-1945 (5/7-1959
– 1 19/10-1999); 5) UUD-1945 + Amandemen I (19/10-1999 – 18/8-2000); 6)UUD-1945
+ Amandemen I & II (18/8-2000 – 9/11-2001); 7) UUD-1945 + Amandemen I s/d III
(9/11-2001 – 10/8-2002); 8) UUD NRI 1945 (10/8-2002 kini), merupakan Amandemen I
s/d IV
Berikut ini adalah tata urut Perundangan-undangan NRI: 1) Peraturan Dasar (UUD,
Perubahan UUD, Piagam Dasar); 2) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu)/Jurispru-densi; 3) Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden; 4) Peraturan
Menteri (Permen), Peraturan Pejabat setingkat Menteri: 5) Peraturan Daerah Provinsi
(Perdaprov); 6) Peraturan Gubernur; 7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
(Perdakab/Perdakot); 8) Peraturan Bupati/Walikota; dan 9) Peraturan Desa.

3.2.6. Tujuan Negara


Tujuan nasional suatu negara sebenarnya merupakan jabaran dari tujuan hidup
manusia terutama setelah membentuk bangsa. Oleh karena itu, tujuan negara dimasukkan
ke dalam konstitusi negara. Demikian juga pada UUD kita tujuan nasional kita, ditulis
dalam Pembukaan UUD dan tidak boleh diubah. Secara singkat Pembukaan UUD berisi
empat alinea, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) alinea pertama berisikan tentang
Hukum Kodrat dan Hukum Etis yang telah dihayati oleh bangsa Indonesia; 2)alinea
kedua, memuat cita-cita bangsa kita untuk merdeka; 3)alinea ketiga, merupakan hakikat
dari Hukum Tuhan dan Hukun Etis; 4)alinea keempat berisikan tujuan negara dan
sekaligus falsafah Pancasila dipakai untuk pedomanan berbangsa dan bernegara. Isi
Tujuan Nasional dapat ditulis secara singkat sebagai berikut: 1)melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) untuk memajukan kesejah-
teraan umun; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; 4) dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia.
Pada alinea keempat juga tersirat dan tersurat falsafah/ideologi Pancasila sebagai
dasar berbangsa dan bernegara: 1) ketuhanan Yang Maha Esa; 2) kemanusiaan yang adil

3
dan beradab; 3) persatuan Indonesia; 4) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; 5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

3.2.7. Bentuk Negara


Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, demikian bunyi
Pasal 1 ayat 1, UUD-1945 (asli). Dalam penjelasan UUD—yang kini dihapus—
menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan suatu “eenheidstaat”, artinya tidak ada
daerah yang bersifatstaat (negara bagian). Jadi, Indonesia bukan suatu negara federasi,
dimana ada negara dalam negara, melainkan negara kesatuan yang kekuasaan utamanya
berada di tangan Pemerintah Pusat
Dengan demikian, negara Indonesia bukan negara federasi, melainkan negara
kesatuan yang kekuasaan utamanya berada di tangan Pemerintah Pusat. Pengertian yang
tidak boleh dilupakan adalah kehendak rakyat kepulauan nusantara untuk bersatu sebagai
bangsa Indonesia. NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan UU (ps 18 ay (1) UUD NRI-1945).
Pemerintah Daerah (Pemda) provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan perbantuan (ps 18 ay (2) UUD
NRI-1945). Bentuk geografi NKRI adalah negara kepulauan, oleh karenanya para
pemuda generasi penerus harus memahami benar makna negara kepulauan yang telah
diperjuangkan di forum internasional selama 25 tahun. 

3.3. Geopolitik Indonesia


Salah satu dari empat ciri khas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkaitan
dengan wilayah adalah negara kepulauan. Ciri khas lainnya adalah keragamana etnik dan
agama sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab I. Ciri khas ini menghendaki bangsa
Indonesia memiliki cara pandang yang sama dalam upaya mengelola wilayah. Kesamaan
gagasan dan cara pandang untuk membentuk negara bangsa dituangkan melalui ideologi
Pancasila. Hal ini telah dipaparkan di Bab III. Oleh karena itu, disusunlah doktrin
geopolitik Indonesiayang merupakan kesatuan pandang bangsa tentang diri dan

4
lingkungannya. Geopolitik Indonesiadisebut Wawasan Nusantara, didefinisikan sebagai
cara pandang dan sikap bangsa Indonesia tentang dirinya yang bhineka (telah dibahas
dalam Bab I), dan lingkungan geografinya yang berwujud negara kepulauan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 (Panitia LEMHANNAS, 1980: 72).
Pada awal era reformasi istilah Wawasan Nusantara menjadi tidak populer. Para elit
politik enggan menggunakan istilah ini sehingga tidak tercantum lagi dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) 1999—yang terakhir—sebagai wawasan bangsa
Indonesia.
Tujuan Wawasan Nusantara adalah untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan
segenap aspek kehidupan nasional yang dikenal sebagai “astagatra”. Astagatra
meliputitrigatra berupa 3 aspek kekuatan yang selalu dimiliki negara: geografi,
demografi dan sumber daya alam yang merupakan aspek potensi alamiah (Chandra.
1982: 77); sertapancagatra berupa: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan militer
(kini pertahanan-keamanan), yang merupakan aspek potensi sosial yang turut serta
menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia. Oleh karena itu, hakikat tujuan Wawasan
Nusantara adalah kesatuan dan persatuan dalam kebhinekaan, yang merupakan
penjabaran tujuan nasional yang telah diselaraskan dengan kondisi, posisi, dan potensi
geografi dan pedoman pola tindak dan pola pikir kebijaksanaan nasional.
Wawasan Nusantara sebagai paradigma sistem kehidupan bangsa Indonesia
diurutkan sebagai berikut: 1)Pancasila sebagai filsafat, ideologi bangsa dan dasar negara;
2)UUD-1945 sebagai konstitusi negara; 3)Wawasan Nusantara sebagai geopolitik bangsa
Indonesia; 4)Ketahanan Nasional sebagai geostrategi bangsa dan negara Indonesia; dan
5) Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional sebagai doktrin dasar pengaturan
kehidupan nasional. Yang dimaksud dengan doktrin adalah himpunan prinsip atau teori
yang diajarkan, dianjurkan, dan diterima sebagai kebenaran, untuk dijadikan pedoman
dalam melaksanakan kegiatan dalam upaya mencapai tujuan. Doktrin dasar merupakan
doktrin yang timbul dari pemikiran yang bersifat filosofis.
Wawasan Nusantara berperan untuk 1) mewujudkan serta memelihara persatuan
dan kesatuan yang serasi dan selaras, segenap aspek kehidupan nasional (astagatra); 2)
menum-buhkan rasa tanggung jawab atas pemanfaatan lingkungan; 3) menegakkan
kekuasaan guna melindungi kepentingan nasional; dan 4) merentang hubungan

5
internasional dalam upaya ikut menegakkan perdamaian. Berdasarkan keempat peran itu
Wasasan Nusantara dipakai sebagai 1) pola dasar perencanaan pembangunan nasional; 2)
pola dasar pemanfaatan ling-kungan yang ada hubungan erat dan saling terkait serta
tergantung antara masyarakat dengan ruang hidupnya; 3) pola dasar implementasi konsep
pertahanan keamanan untuk menjamin segenap wilayah Indonesia; 4) dengan kedudukan
negara Indonesia pada posisi silang dan negara kepulauan terbesar dapat melaksanakan
salah satu tujuan nasional, yaitu ikut serta dalam upaya perdamaian dunia.
Dengan implementasi konsep pertahanan dan keamanan segenap wilayah
Indonesia, bangsa Indonesia diharapkan mampu memberi makna kepada tanah air, benua
maritim, dan hakikat laut. Tanah air berarti bahwa tanah dan air merupakan satu maujud
atau entitas yang utuh. Benua maritim berarti bahwa air diberlakukan sebagai
penyambung daratan dan bukan sebagai pemisah. Hakikat laut tidak dapat dibagi-bagi
tetapi dapat dibedakan dalam rezim hukum yang mengaturnya.
Konsep Wawasan Nusantara merupakan gambaran “dunia ideal” yang kita kejar
dan hendaknya diikuti oleh konsep “dunia nyata” yang harus diwujudkan. Dunia nyata
yang harus diwujudkan tidak lain adalah konsep geostrategi Indonesia. Konsep itu
disebut Ketahanan Nasional.
3.3.1 Wawasan Nusantara sebagai wawasan Kewilayahan
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi dan
setiap provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang masing-masing mempunyai
pemerintah daerah (Pasal 2, UU Nomor 32/2004). Pemerintah daerah mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan perbantuan dengan
tujuan meningkatkan kesejah-teraan masyarakat, pelayanan, dan daya saing daerah.
Untuk menjalankan pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-luasnya dibentuk
pemerintah daerah yang terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah dan DPRD.
Urusan pemerintahan yang tidak diturunkan kewenangannya kepada daerah
meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan
agama (Pasal 10 ayat (3) UU No 32/2004). Kewenangan yang diberikan kepada
pemerintah daerah provinsi meliputi 16 urusan antara lain perencanaan dan pengendalian
pembangunan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelengaraan

6
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, serta penyediaan sarana dan prasarana
umum.
Urusan pemerintahan provinsi bersifat pilihan sesuai dengan kondisi dan kekhasan
provinsi (Pasal 13, UU No 32/2004). Demikian pula kewenangan daerah kabupaten/kota,
namun dalam skala kabupaten/kota (Pasal 14, UU No 32/2004). Pemerintah provinsi
yang berbatasan dengan laut memiliki kewenangan wilayah laut sejauh 12 NM, diukur
dari garis pantaike arahlaut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, dan wilayah
kabupaten/kota memperoleh 1/3 dari wilayah provinsi. Kewenangan atas wilayah laut
meliputi pengelolaan sumber daya eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan
laut; pengaturan adminis-trasi; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap
peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan dari Pemerintah; ikut
serta dalam pemeliharaan keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara
(Pasal 18, UU No 32/2004). Tentunya kita harus memikirkan kembali terutama wilayah
antar provinsi dalam wilayah Indonesia.
Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah diperlukan dana, tetapi tidak
semua daerah mampu mendanai sendiri jalannya roda pemerintahan. Dana untuk
keperluan pembinaan wilayah meliputi Pendapatan Asli Daerah (pendapatan yang
diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah) Dana Perimbangan yang
berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dengan tujuan mengurangi
kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Pinjaman Daerah yang
bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan
Pemerintah Daerah, dan penda-patan-pendapatan lain yang ditujukan untuk memberikan
peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain yang disebut di atas (UU No
33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah).
Falsafah yang harus diperhatikan oleh seorang pimpinan daerah otonom adalah
bahwa “Pemerintah Daerah ada karena ada rakyat yang harus dilayani dan bahwa rakyat
adalah pemberi legitimasi”. Oleh karena itu, keluaran (output) hendaknya berupa
pemenuhan bahan kebutuhan pokok rakyat dan peraturan daerah yang tertib dan
berkepastian hukum. Akan tetapi, ada di antara kandidat kepala daerah yang kurang
menguasai ajaran Wawasan Nusantara (geopolitik Indonesia) yang setelah terpilih

7
berupaya meningkatkan pendapatan daerah, tanpa melihat potensi wilayahnya secara
keseluruhan, dan tidak jarang dapat menyebabkan timbulnya masalah kerusakan
lingkungan.
Pimpinan daerah, politisi, maupun para pejabat di tingkat pusat, hendaknya
menyadari dan mendalami makna falsafah otonomi daerah sehingga wilayah yang
terpencil tidak rusak dan terisolasi dari akses nyata maupun maya pada era globalisasi.
Daerah terisolasi atau tertinggal ini dikenal sebagai daerah pedalaman (hinterland).
Daerah tertinggal sering berbatasan dengan kabupaten lain dalam propinsi. Namun
daerah tertinggal akan menjadi persoalan antar-bangsa,apabila terjadi di perbatasan antar-
negara. Daerah ini dikenal sebagai daerah beranda depan (frontier). Apabila perbatasan
(boundary) merupakan sempadan resmi dari dua negara, beranda depan merupakan batas
imajiner dari dua negara. Daerah beranda depan (frontier)terjadi karena pengaruh dari
negara di luar perbatasan, sifatnya sangat dinamis, dapat digeser-geser dan berada di
antara masyarakat bangsa.
Secara politis pengaruh efektif dari Pemerintah (pusat) tidak lagi mencakup seluruh
wilayah kedaulatan tetapi dikurangi luas wilayah sampai dengan batas beranda depan
yang sudah dipengaruhi kekuasaan asing dari seberang perbatasan. Pengaruh asing dapat
berawal dari budaya, ekonomi, sosial, agama, dan ras, yang masuk karena kurang/tidak
ditangani oleh pusat pemerintahan kabupaten dengan baik. Pengaruh itu kemudian dapat
berubah menjadi pengaruh politik yang berujung pada pemisahan diri masyarakat daerah
beranda depan (Sunardi, 2004:175.)
Akibat lain dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung memunculkan
fenomena rezim keluarga dan primordialisme. Rezim keluarga mengandung arti
bahwa,yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah berasal dari satu keluarga, misalnya
isteri, suami, dan bahkan anak. Primordialisme berarti bahwa yang harus jadi pemimpin
adalah kelompok dengan mayoritas etnik, agama, dan antar golongan dalam daerah
pemilihan (dapil), sehingga kelompok minoritas tertutup peluangnya untuk menjadi
pemimpin, meski sesungguhnya berpotensi untuk menjadi pimpinan..
Permasalahan di atas, sebenarnya tidak menjadi masalah apabila: 1) calon kepala
daerah memang benar-benar mempunyai komitmen dan kompetensi yang tinggi terhadap
wilayah-nya; 2) memiliki rekam jejak (track record) sebagai pemimpin yang baik dan

8
tidak tercela; 3) telah memasuki “usia matang” bagi seorang calon pimpinan daerah—
Gubernur, Bupati, Walikota, dan Ketua DPRD—dalam kancah politik, paling tidak di
daerah. Apabila kualitas kompetensinya rendah, hal itu akan berdampak pada
menurunnya kualitas kepala daerah yang akan terpilih. Dalam menjaring calon pimpinan
daerah peran partai politik sebagai perwujudan demokrasi perlu dipertaruhkan. Untuk itu
perlu direnungkan pendapat Lord Acton yang secara lengkap: “Power tends to corrupt,
and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” (Cohen
dan Cohen, 1980: 1).
Kasus Bupati Ogan Ilir yang berusia di bawah 30 tahun dan ternyata pecandu
narkoba mencerminkan bahwa partai politik tidak memiliki kader calon pimpinan. Oleh
karena itu, tidak terlalu salah jika orang-orang di kota-kota besar lebih suka memiliki
calon independen untuk menduduki jabatan pimpinan daerah. Mereka membentuk
kelompok relawan untuk mendukung calon kepala daerah independen dan tidak diusung
oleh partai politik. Oleh karenanya, kini—menghadapi pilkada tahun tahun 2017—para
anggota partai politik berupaya mengubah aturan persyaratan bagi calon independen.
Mereka—para politisi—memandang maraknya kelompok mendukung calon independen
sebagai upaya depolitisasi, yang berarti menurunkan kadar kehidupan demokrasi.
Fenomena yang terjadi tahun 2011 tentang masalah otonomi daerah adalah
kemung-kinan kebangkrutan yang dialami sejumlah daerah. Kebangkrutan terjadi bukan
semata akibat buruknya perencanaan anggaran daerah, tetapi juga dipicu oleh persoalan
yang lebih serius, yaitu terjadinya proses pembiayaan politik. Ini dapat terjadi karena
calon-calon kepala daerah kurang menyadari bahwa alokasi Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) sangat terbatas, dengan perbandingan 60% merupakan belanja
atau gaji pegawai, dan hanya 40% untuk pembangunan. Ironisnya, ada beberapa daerah
yang menjadi bangkrut dan tidak dapat membayar gaji pegawai meskipun telah mendapat
dana bagi hasil dari minyak dan gas. Dari sisi anggaran, daerah itu seharusnya lebih
makmur dibandingkan dengan daerah lain. Ke-bangkrutan di daerah menunjukkan telah
terjadi penyimpangan berkaitan dengan pemerin-tahan yang baik (good governance)
(Kompas, 12 April 2011)
Meskipun urusan luar negeri menjadi urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah
harus ikut mewaspadai manuver negara lain yang berkepentingan atas wilayah kita.

9
Disahkannya konsep negara kepulauan oleh PBB tahun 1994 (melalui UNCLOS 1982),
menimbulkan tantangan, ancaman, dan gangguan bagi Indonesia. Ada empat golongan
negara yang sangat berkepentingan dengan wilayah kita, yaitu 1) negara-negara tetangga
(beberapa negara anggota ASEAN dan Austalia); 2) negara dengan armada perikanan
besar (salah satu di antaranya Jepang); 3) negara pemilik perusahaan perkapalan (sea
liners); dan 4) negara adidaya untuk memudahkan manuver armada militernya dalam
rangka melaksanakan strategi global geopolitiknya (Kusumaatmadja, 2003: 25).

3.4. Geostrategi Indonesia


Untuk melaksanakan konsep Wawasan Nusantara, disusunlah konsep geostrategi
yang disebut ketahanan nasional. Gagasan konsep ketahanan nasional berawal dari pidato
Presiden Sukarno di Kotaraja—kini Banda Aceh—pada tanggal 16 Juni 1948 dalam
rangka meninjau wilayah Indonesia yang tidak diduduki oleh Pemerintah Belanda
(Netherland Indonesia Civil Administration). Konsep Presiden Sukarno itu menekankan
pentingnya penyusunan konsep ketahanan jiwa bangsa (Basry, 1995; 50-51).
Setelah pengakuan kemerdekaan 1950 garis besar pembangunan politik Indonesia
adalah nation and character building, yang sebenarnya merupakan pembangunan jiwa
bangsa. Bung Karno tahun 1965 mendirikan Lembaga Pertahanan Nasional—kini Lem-
baga Ketahanan Nasional—yang bertugas mempelajari dan membahas masalah
ketahanan nasional dan menghasilkan konsep Ketahanan Nasional (Tannas). Konsep
yang dihasilkan pada tahun-tahun 1968 dan 1969 pada awalnya hanya berlaku di
Indonesia. Akan tetapi, menurut Brigjen TNI Haryomataram, konsep yang
disempurnakan tahun 1972 diharapkan dapat diterapkan di negara sedang berkembang
(Panitia LEMHANNAS, 1980: 85).
Ketahanan Nasional diartikan sebagai kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi
keu-letan dan ketangguhan, serta kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional
dalam menghadapi segala ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang
langsung atau tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa
Indonesia (Panitia LEMHANNAS, 1980: 227). Dalam konsep ini, bangsa Indonesia
mengutamakan pembangunan kekuatan sosial sebagai prioritas utama dan pembangunan
kekuatan fisik (keamanan) sebagai prioritas selanjutnya.

10
KonsepKetahanan Nasional disusun dengan sistematika seperti dalam
konsepWawasan Nusantara: astagatra yang terdiri dari trigatra yaitu aspek kekuatan
alamiah (geografi, kekayaan alam, dan kemampuan penduduk) dan pancagatra berupa
aspek kekuatan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan-
keamanan).Kaidahnya yaitu: 1) menggunakan kerangka pikir Pancasila yang
komprehensif-integral; 2) dalam pengaturan dan penyelenggaraan negara (kehidupan
nasional) masalah keamanan dan kesejahteraan ibarat sebagai sebuah koin; dan 3)
ketahanan nasional merupakan integrasi dari ketahanan masing-masing aspek kehidupan
sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan-keamanan).
Ketahanan nasional merupakan integrasi ketahanan masing-masing aspek
kehidupan nasional. Konsep ketahanan nasional merupakan konsep pengaturan keamanan
dan kesejahteraan dalam kehidupan nasional. Hubungan antargatra dalam astagatra dapat
digambarkan sebagai berikut. 1) Trigatra dan pancagatra merupakan satu kesatuan yang
bulat. 2) Ketahanan nasional pada hakikatnya tergantung kepada kemampuan bangsa dan
negara dalam memanfaatkan trigatra sebagai modal dasar peningkatan pancagatra. 3)
Kelemahan di salah satu gatra dapat mengakibatkan kelemahan pada gatra lainnya dan
akan mempengaruhi kondisi keseluruhan.Oleh karena itu, konsepketahanan nasional
meliputi masa damai maupun perang. Prinsip perang dan damai bangsa Indonesia
menjadi satu bagian integral dengan sifat-sifat: 1) cinta damai tetapi lebih cinta
kemerdekaan; 2) tidak mengenal menye-rah; 3) rela berkorban untuk tanah air.
Menghadapi berbagai kecenderungan regional maupun global, konsep geopolitik
dan geostrategi perlu ditindaklanjuti dengan menyiapkan konsep ketahanan regional.
Regional diartikan sebagai kawasan sekitar kita (Sunardi, 2004:212) dan sekaligus
merupakan ling-kungan dan mitra strategis kita. Kita tidak dapat melawan “serbuan”
negara-negara maju, khususnya negara-negara demokrasi liberal yang sudah mapan
dengan liberalisasi perdagang-an dan demokrasi politik. Oleh karena itu, bangsa
Indonesia mengutamakan pembangunan kekuatan sosial sebagai prioritas utama dan
pembangunan kekuatan fisik sebagai prioritas selanjutnya.
Kekuatan sosial yang terbina dengan baik secara persuasif akan mampu mengajak
masyarakat untuk membangun kekuatan fisik untuk kesejahteraan dan keamanan negara
dan bangsa. Seperti halnya konsep Wawasan Nusantara, konsep ketahanan nasional juga

11
“tersisih” di era Reformasi karena keengganan elit politik untuk membicarakan konsep
ini, yang diko-notasikan dengan era sebelumnya—Orde Lama dan Orde Baru.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa konsep Wawasan Nusantara
merupakan gambaran “dunia ideal” yang kita kejar dan hendaknya diikuti oleh konsep
“dunia nyata” yang harus diwujudkan. Dunia nyata yang harus diwujudkan tidak lain
adalah konsep geostrategi Indonesia. Konsep itu disebut Ketahanan Nasional.

Kepustakaan :
UUD 1945 (berikut amendemen I s/d IV)
UU No. 24/1992 ttg Penataan Ruang
UU No. 23/1997 ttg Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 32/2004 ttg Pemerintah Daerah
UU No. 33/2004 ttg Perimbangan Keuangan Pusat – Daerah
Basrie, Drs Chaidir, MSi, 1995. Wawasan Nusantara, Jakarta : LIH ITI.
Basry, M.Hasan, 1995, Untuk Apa Kita Merdeka: Kumpulan Amanat Bung Karno di
Sumatera dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945-1948, Jakarta, KOPKAR PTP.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar IlmuPolitik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chandra, Prakash. 1982, InternationalPolitics. New Delhi, Vikas Publishing House PVT
Cohen, J. M.& M.J. Cohen, 1980. The Pinguin Dictionary of Quotations. Middlesex, UK
Collins, John M., 1974. Grand Strategy, Principle and Practices. Annapolis, Ma: USN
Institute
Ditjen Dikti, 2001. Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan (untuk Mahasiswa) bag
I & II, Jakarta, Ditjen Dikti Depnas
Djalal, Hasyim, 1995. Indonesia and the Law of the Sea. Jakarta, CSIS
Huntington, Samuel T, 1998, The Clash of Civilization and the Remaking of World
Order, London: Tochtone Books.
Kaelan, M. S. 2002. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan, MS. 2012. Problem Estimologis Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara.
Yogyakarta: Penerbit Paradigma
Kusumatmadja, Mochtar, 2003, Konsepsi Hukum Negara Nusantara Pada Konvensi
Hukum Laut III. Bandung: Alumni.
Mahfud MD, Moh. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Morgenthau, Hans J, (revised by Thompson & Clinton), 2006. Politics Among Nations,
the struggle for Power and Peace, New York: Mc Graw Hill.
Roberts, J.M. 2002. The New Penguin History of the Workd. London: Penguin Book
Sekretariat Negara RI, tt. Himpunan Risalah Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI yang
berhubungan dengan Penyusunan UUD-45. Jakarta, Setneg RI
Simbolon, Parakitri T. 1995. Menjadi Indonesi, Buku I Akar-akar Bangsa indonesia.
Jakarta, Kompas
Sunardi, R.M., 2004, Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam rangka Memperkokoh
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: Kuaternita Adidarma.
Wright, Quincy, 1942. Study of War. Chicago, Ill: The Chicago University Press

12
BAB III
PANCASILA

Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan


nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.

Sejarah, Tumbuh dari Ibu Pertiwi


Keinginan kita untuk mengenal Pancasila umumnya akan terjebak pada hal-hal
politis dan sejarah. Dari sudut kebudayaanporsi pemahaman Pancasila agak kurang. Cara
sederhana untuk mengetahuinya cukup sederhana. Apakah memang kebudayaan
Indonesia mampu melahirkan Pancasila? Mari kita kembali mengingat bagaimana
Soekarno menjelaskan tentang munculnya ide Pancasila. Ia mengatakan bahwa
penggalian terhadap Pancasila telah melalui eksplorasi tahapan perkembangan bangsa,
dimulai dari masa pra-Hindu, masa Hindu, sampai masa penjajahan (Soekarno,
1958/2008).
Beberapa kajian juga menemukan kembaliadanya keselarasan Pancasila dalam
masyarakat dan budaya di Indonesia. Untuk nilai pertama, Tinambunan (2015) menggali
melauli mitos Mulajadi Na Bolon dari lokal Batak. Untuk nilai kedua misalnya dilihat
dari bagaimana masyarakat Manggarai menghargai sesama dengan ritus Tiba Meka
(Pandor, 2015). Nilai ketiga dikaji melalui kehidupan persatuan keluarga dari masyarakat
Kei (Ohoitimur, 2015). Kajian untuk nilai keempat dilihat dari cerita rakyat Sunda, yakni
cerita pantun Mundinglaya Di Kusumah (Bolo, 2015). Nilai kelima dilihat dari adat
kebiasaan masyarakat Dayak, yakni salam asat Tabik-tabik (Muhrotein, 2015).
Meinarno (2010) mengungkapkan bahwa dari cerita rakyat di masyarakat
Indonesia khususnya Sumatra dan Jawa mengandung nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Dengan demikian, kekonsitenan nilai Pancasila yang ada memang terlahir dari

13
nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya. Tampaknya klaim ini bisa dipertahankan untuk
generasi berikut.

Lahir di Saat Genting: Rapat BPUPKI di Penghujung Perang Dunia II


Para pendiri bangsa mengadakan rapat persiapan kemerdekaan. Salah satu pidato
Soekarno berisi tentang pandangan hidup bangsa. Saat itu ia menyebutnya sebagai Panca
Sila. Munculnya konsep itu yang kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila yakni
1 Juni 1945 (Latif, 2013: 39).
Negara-negara yang baru saja merdeka dan berdaulat menghadapi masalah
bagaimana membangun rasa kebangsaan. Para pendiri bangsa yang sejak awal menyadari
hal ini, karena yang disebut sebagai bangsa Indonesia pada awalnya belum ada. Yang ada
adalah kelompok-kelompok besar berdasar etnis dan kelompok berbasis keagamaan
(Sutanto, 2013: 57-62). Untuk itu, dari berbagai cara untuk membangun kesatuan dalam
kelompok besar atau bangsa, diajukan pola yang dianggap sama dan dapat diterima oleh
semua pihak. Dikarenakan ikatan-ikatan primordial seperti etnis dan agama tidak dapat
dikenakan pada Indonesia, dibutuhkan ikatan lain yang dianggap umum sekaligus
berbeda dengan bangsa lain. Akhirnya, para pendiri bangsa khususnya Soekarno
mencetuskan ide bahwa nilailah yang dapat menimbulkan rasa kesatuan itu. Berdasar hal
itu, nilai yang sama harus diadakan sebagai konsekuensi logis persekutuan dari banyak
masyarakat. Hal inilah yang kemudian oleh disebut sebagai core value (Swasono, 2015:
7) atau dalam istilah saat ini adalah Pancasila. Upaya ini adalah sebuah bentuk kreasi
sosial yang bermanfaat bagi pengembangan dan pembedaan kelompok (Tajfel, 1974: 84).

Tumbuh dalam Situasi Sosial yang Dinamis


Sejak masa awal kemerdekaan, perubahan bentuk Negara dan konflik politik tetap
memposisikan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, mulai dari
perubahan bentuk negara (kesatuan menjadi federasi, serikat, kemudian kembali menjadi
kesatuan), dan pergantian bentuk pemerintahan (presidensial ke parlementer dan kembali
ke presidensial). Pancasila juga telah bertahan dan terus tumbuh dari lingkungan dunia
yang berubah. Pancasila lahir saat menjelang akhir Perang Dunia II, kemudian masuk
dalam kondisi Perang Dingin, hingga saat ini masuk ke dalam era multipolar.

14
Menjadi Mitos
Pergantian rezim pemerintahan di manapun akan membuat kebijakan dan arahan
baru bagi bangsa dan negaranya. Begitu pula nasib ideologi satu negara. Hal yang sama
juga terjadi pada Pancasila. Keberhasilan rezim baru mengalahkan lawannya perlahan
menempatkan Pancasila sebagai ideologi ampuh melawan ideologi lain. Pancasila
digunakan sebagai alat kekuasaan, bukan menjadi pengarah kekuasaan.
Agar masyarakat tunduk ada rezim Orde Baru, Pancasila tidak semata menjadi
ideologi negara, tapi malah menjadi alat untuk mengatur gerak-gerik warga. Tidak
mengherankan jika kemudian Pancasila hanya hadir di ruang wacana, khususnya pada
area militer dan politik. Pancasila ditarik terlalu jauh dari masyarakat sehingga tidak
efektif lagi, bahkan karena terlalu jauh, peneliti juga tak mampu meraihnya hanya
sekadar untuk ditekuni. Ini merupakan pola untuk memposisikan Pancasila sebagai
sesuatu yang tak terjangkau oleh bangsanya sendiri (Pabottinggi, 1977: 119) atau
tepatnya dijadikan mitos (Somantri, 2006: 18). Sebagai contoh, bagaimana Darmodiharjo
menuliskan bahwa pernyataan “Pancasila merupakan sarana yang ampuh sekali untuk
mempersatukan bangsa” Indonesia adalah salah satu bentuk posisi Pancasila menjadi
mitos(Darmodiharjo, 1991: 19).
Pancasila sempat diajarkan dengan cara-cara yang justru membuat masyarakat
tidak nyaman, bahkan untuk menyampaikannya digunakan cara-cara yang bernuansa
indoktrinasi (Azra, 2010: 10; Kaelan, 2009: 247; Pabottinggi, 1977: 119). Melalui
program yang disebut sebagai penataran Pendidikan, Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) oleh pemerintah Orde Baru, nyaris tak ada institusi yang tidak tersentuh
oleh Pancasila. Walau terlihat sukses, Pancasila justrudianggap tidak lagi menjadi bagian
bangsa Indonesia. Sebaliknya, Pancasila justru menjadi produk milik penguasa yang lebih
berorientasi pada pemaksaan kehendak daripada pengembangan dari nilai berkehidupan
dan bermasyarakat bangsa Indonesia (Magnis Suseno, 2009: 58; Wirutomo, 2012: 298)
padahal pancasila sejatinya adalah nilai (Kusuma, 2010: 23).

Kembali Menjadi Milik Bangsa

15
Memasuki era Reformasi, Pancasila seakan kembali pada pemiliknya, yakni
rakyat Indonesia. Pancasila mulai dilihat kembali sebagai buah pikir yang baik bagi
bangsa Indonesia. Hal ini terlihat pada upaya para cendekiawan khususnya cendekiawan
muda untuk melakukan pemaknaan Pancasila yang jauh lebih manusiawi, tanpa dibebani
masalah politik. Pancasila di era sekarang diharapkan mampu menjadi acuan bagi
individu mulai dari perasaan, olah kognitif, dan psikomotornya.

Merasa Menjadi Bangsa Indonesia


Pada bagian ini pembaca diajak untuk mengingat kembali ikatan dasar dari
bangsa Indonesia. Awalnya bangsa ini merupakan kelompok yang memiliki ciri-ciri dasar
khusus. Beberapa diantaranya adalah mempersepsi dan dipersepsi sebagai satu kesatuan,
memiliki tujuan yang sama, dan anggota merasa dirinya sebagai bagian kelompok
(Halida, 2009: 168). Dengan demikian, bergabungnya individu dalam satu kelompok
kecil atau besar karena adanya kesamaan-kesamaan tertentu yang dianggapnya akan
dapat meningkatkan rasa percaya diri dan tujuan yang dapat diraih bersama.
Sebagaimana tahapan perkembangan kelompok, perkembangan bangsa Indonesia
dapat disetarakan dengan analogi dari tahapan perkembangan kelompok yang diajukan
oleh Tuckman (2009 dalam Singgih, Diponegoro, Solihat, Moeis, 2015). Tahapan dalam
pembentukan kelompok adalah pembentukan, goncangan, membangun norma,
melakukan, dan yang terakhir adalah pengangguhan. Terbentuknya bangsa Indonesia
modern dimulai dari Kebangkitan Nasional, 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928 hingga
Proklamasi 1945. tahap goncangan terjadi sejak menyatakan merdeka tahun 1945 hingga
1965. Warna dari goncangan itu mulai dari luar negeri (aksi Belanda 1947 misalnya)
hingga pergolakan dalam negeri (beberapa pemberontakan yang terjadi di nyaris seluruh
nusantara).
Tahap membangun norma terjadi 1965-1978. Penyelesaian dari segala goncangan
dimulai pada era pascapemerintahan Orde Lama. Kehidupan politik, sosial, ekonomi
mulai tenang. Pancasila dijadikan norma secara eksplisit. Secara khusus terbit TAP MPR
No. II/MPR/1978 yang disebut sebagai Ekaprasetya Pancakarsa). Sejak itu hingga 1998
adalah tahap melaksanakan. Akan tetapi, pada tahun 1998 sampai setidaknya 2004 kita
mengalami penangguhan. Baru kemudian tahun 2009 hingga sekarang secara perlahan

16
menjalani kembali tahap ketiga yakni membangun norma. Norma yang lahir dari nilai
bangsa tetap sama, yakni Pancasila. Akan tetapi, penekanan kali ini adalah upaya untuk
mewujudkannya adalah dengan hasil kerja keras, bukan retorika politik.
Menjadi Indonesia adalah suatu yang khas. Hal ini tidak terlepas dari sejarah
Indonesia yang bukan merupakanbagian dari perpanjangan sejarah sebuah kelompok
etnis atau satu golongan agama tertentu. Keadaan ini mirip dengan yang diajukan oleh
Pilsudzki bahwa negaralah yang membentuk bangsa dan bukan sebaliknya sebagaimana
umumnya (Simbolon, 2001 dalam Wirutomo, 2012: 7). Untuk itu, ketika para pendiri
bangsa (founding fathers) bersepakat untuk secara perlahan membangun sebuah bangsa.
Salah satu langkah persiapan itu adalah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ada tiga isu
yang mengemuka dalam Sumpah Pemuda, yakni bangsa, tanah air dan bahasa persatuan.
Dari ketiga isu ini, yang dapat dikategorikan sebagai sebuah kreativitas sosial dalam
membangun identitas baru bangsa Indonesia adalah adanya bahasa Indonesia.
Keberadaan bahasa bagi sebuah bangsa menjadi penting karena hubungan antarkelompok
di dalamnya dimulai dengan bahasa yang dapat dipahami bersama. Pemimpin Uni Soviet,
Joseph Stalin menempatkan bahasa sebagai unsur dasar penting dari terbangunnya
identitas nasional (Oomen, 2009: 199; Reicher & Hopkins, 2001: 8; Simpson, 2007: 333).
Nilai Pancasila sering dikaitkan dengan identitas nasional. Hal ini dapat
dimengerti karena Pancasila adalah produk dari masyarakat baru yang mengupayakan
adanya pola kesamaan di dalamnya. Penelitian menunjukkan adanya pola hubungan yang
positif antara identitas nasional dan nilai Pancasila (Meinarno dan Suwartono, 2011).
Penelitian yang dilakukan terhadap 165 remaja menujukkan bahwa adanya hubungan
positif antara nilai Pancasila dan identitas nasional. Hasil penelitian lanjutan malah
menunjukkan bahwa nilai Pancasila berkontribusi terhadap terbentuknya identitas
nasional Indonesia dari para partisipan remaja (Meinarno & Suwartono, 2013: 108).
Secara khusus penelitian ini dilanjutkan pada remaja Aceh. Hasilnya, identitas nasional
dan nilai dari Pancasila mereka cukup tinggi. Secara khusus, nilai ketiga dan keempat
berkorelasi dengan identitas nasional pada remaja Aceh (Meinarno, 2014).Hasil
penelitian ini dapat menjadi awal pemahaman bahwa nilai Pancasila penting bagi bangsa
Indonesia. Langkah selanjutnya adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai tadi di
masyarakat agar tidak sekadar menjadi wacana sehari-hari.

17
Kesamaan nilai
Hal mendasar dari nilai adalah suatu konsep yang dianggap baik atau buruk, tepat
atau tidak tepat yang disepakati oleh masyarakat. Nilai di satu sisi adalah rujukan
individu dalam berpikir. Nilai juga terkait dengan tujuan akhir atau tingkah laku yang
dinginkan. Suatu nilai mendorong seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu
yang sesuai dengan nilai itu dan menjauhkan seseorang dari tingkah laku yang tidak
sesuai dengan nilai itu. Nilai tersebutdapat menjadi cita-cita atau harapan dan dapat juga
sebagai tujuan (Darmodihardjo, 1991: 19) atau dalam istilah lain yang dijabarkan oleh
Kaelan disebut sebagai nilai dasar, nilai praksis, dan nilai instrumental (Kaelan, 2012: 66-
68).
Salah satu pendiri bangsa, Soekarno juga mempunyai pemikiran bahwa nilai itu
berupa tujuan yang harus diraih. Sebagaimana pidato di depan BPUPKI, bahwa setiap
bangsa harus mempunyai pandangan hidup. Hal ini berguna untuk mengarahkan tujuan
dan perilaku bangsanya. Pandangan hidup tak sekedar ada, tapi juga perlu diwujudkan.
Pandangan hidup atau nilai itu harus menjadi realitas (Soekarno, 1945/2008).
Dalam konteks bangsa, masing-masing bangsa mempunyai nilai-nilai yang
dianggap paling utama sebagai pandangan hidup bangsa (Rinjin, 2010: 59). Sebagai
contoh, nilai yang utama (core value) bangsa Amerika Serikat (AS) tidak sama dengan
nilai utama India dan nilai utama dari kedua bangsa tadi tidak sama dengan bangsa
Indonesia (Kusuma, 2010: 26-27).
Terkait dengan fungsi nilai sebagai praktik contoh yang paling mengena adalah
penelitian tentang nilai dan etos kerja. Salah satunya adalah kisah sukses bangsa-bangsa
Asia Timur menjadi Macan Asia. Yang menjadi pertanyaan mengapa mereka sedemikan
majunya? Kajian ilmiah yang dilakukan oleh Schermerhorn Jr, (2013) dari sudut pandang
manajemen menemukan bahwa ada pola-pola khusus dari masyarakat Asia Timur.
Setidaknya ada lima nilai yang diyakini dan dijalankan yakni harmoni, hirarki,
benevolence/kebajikan, loyalitas, dan mau belajar. Tampaknya nilai yang dianut tersebut
dijalankan dengan ajeg sehingga negara-negara Asia Timur mampu mengejar ketinggalan
mereka dari bangsa barat.

18
Keselarasan Perilaku sebagai Bangsa:Fondasi Berperilaku sebagai Bangsa
Nilai pertama dari Pancasila adalah ketuhanan. Nilai utama ini mengacu pada
keyakinan pada Tuhan dan hidup dengan menjalankan perintahNya tanpa mengganggu
urusan (utamanya) agama masing-masing. Ironisnya, data menunjukkan perusakan rumah
ibadah semakin meningkat (Dhakidae, 2003 dalam Kusumadewi, 2012: 155), padahal
sejarah mencatat kenyataan yang berbeda. Sejarah membuktikan bahwa masyarakat
Indonesia sejak zaman Majapahit telah menerima perbedaan dalam satu wadah
masyarakat. Dalam menjalankan pemerintahan di kerajaan Majapahit, Raja Hayam
Wuruk menempatkan pejabat urusan agama yang kemudian secara garis besar
membawahi urusan dua agama besar di Majapahit yakni Budha dan Hindu
(Poseponegoro & Notosusanto, 1993: 232). Catatan ini penting untuk menjadi contoh
bahwa berabad-abad lalu di Indonesia telah dikenal pemahaman toleransi di bidang
keagamaan. Berdirinya menara masjid Kudus dan makanan sate kerbau (umat Hindu
mengharamkan makan sapi, sebaliknya Muslim mengadakan kurban dengan hewan
ternak selain sapi) adalah bagian dari sejarah yang menunjukkan keberbedaan dapat
hidup dalam kesatuan.
Nilai kedua pada Pancasila pada prinsipnya mengakui persamaan hak dan
kewajiban, sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasar sikap
saling menghormati. Oleh karena itu, harapan utamanya adalah akan tercermin dalam
perilaku sebagi individu dan masyarakat sebagai bangsa. Cerminan tingkah laku dari nilai
kedua sebagai bangsa adalah ketika mengakui bangsa-bangsa lain yang menyatakan diri
merdeka dan berdaulat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ketika ada sebuah
kedaulatan yang berbasis penjajahan atas bangsa lain, Indonesia belum dapat menerima
hal itu.
Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari nilai ini dapat mewujud dalam
keberanian untuk menyatakan sesuatu hal yang benar di tengah situasi yang kurang
selaras. Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat bahwa perokok tidak mengidahkan
hak dasar dari orang-orang di sekitarnya. Saat ia menghembuskan asap rokok, orang lain
yang tidak merokok “dipaksa merokok bersama”. Akan tetapi, menjadi aneh ketika para
perokok mendengung-dengungkan hak untuk merokok sebagai hal utama daripada hak
menghirup udara bersih bagi nonperokok dan bahkan untuk perokok itu sendiri.

19
Dari lima nilai Pancasila, nilai ketiga berupaya untuk mengutamakan kepentingan
bangsa daripada kepentingan diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa dan
mengembangkan rasa persatuan bagi bangsa. Berbagai bentuk tingkah laku dapat
dilakukan untuk membuat konkret nilai ini hadir di masyarakat. Salah satu
pengejawantahan nilai patriotisme juga dapat dilihat dalam produksi film tentang
kebangsaan. Amerika Serikat dengan industri film Hollywood menjadi buktinya. Mereka
memberi slot atau bagian khusus untuk film bertema perjuangan dengan latar Amerika
Serikat, misalnya The Patriot,Indepence Day dan sebagainya. Uniknya mereka merilis
film-film tersebut pada bulan Juli atau menjelang Juli. Industri pertelevisian dan film
Indonesia juga mulai melakukan hal yang sama. Acara-acara yang menggugah
patriotisme disuguhkan dan bahkan film-film layar lebar dengan tema yang sama mulai
berani rilis dengan film-film bertema umum lainnya.

Gambar 3.1. Poster dari film‐film yang dibuat untuk menunjukkan jati diri bangsa.

Nilai keempat dari Pancasila mengetengahkan tema demokrasi. Pada dasarnya
demokrasi memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh atas dirinya. Jauh
sebelum merdeka, bangsa Indonesia sudah mengenal pola demokrasi yang hidup di
masyarakat. Misalnya, ada mekanisme rapat desa di berbagai komunitas di pulau-pulau
nusantara. Tan Malaka pernah mengklaim bahwa demokrasi yang merupakan wujud
kedaulatan rakyat sudah dikenal sekitar abad XIV, setidaknya di Minangkabau. Di sana,
seorang raja tidak bisa semena-mena pada rakyatnya karena secara prinsip raja dibatasi

20
oleh sistem yang mengutamakan logika dan keadilan. Jika tidak dipenuhi, perintah raja
akan ditolak (Malaka dalam Latif, 2011: 387).
Upaya untuk mengejawantahkan nilai kelima sebagai bangsa Indonesia telah
diupayakan jauh-jauh hari sebelumnya. Dalam keseharian kita sering mendengar istilah
gotong-royong, sebuah aktivitas bantuan kepada pihak lain yang meminta secara santun
untuk menyelesaikan satu tugas agar tercapai tujuan bersama (Koentjaraningrat, 1977: 6;
Marzali, 2005: 159). Pada masyarakat desa yang agraris, membangun saluran air untuk
sawah pribadinya jelas bukan sekedar pekerjaan pribadi, tetapi terkait pula dengan warga
lain. Dengan demikian, hak untuk mendapat air seiring dengan kewajiban menjaga
sumber dan saluran air untuk pertaniannya. Masih banyak contoh yang menunjukkan
bahwa mewujudan nilai kelima untuk membangun karakter. Isu plagiarisme
menunjukkan kurang mawas diri dalam melihat hak dari kewajiban menjalankan
tanggung jawab sebagai peneliti.


Manusia Indonesia
Karakter
Bagi masyarakat Indonesia Pancasila sebagai nilai merupakan fondasi dari
pembentukan karakter. Karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar
dari dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu (Allport, 1937 dalam Takwin, 2011:
117). Merujuk pada definisi ini, karakter dapat dipengaruhi setidaknya oleh dua faktor
yakni nilai dan norma. Kedua faktor ini yang secara alami ada di lingkungan sosial dari
individu. Secara khusus dalam konteks bermasyarakat dan bernegara di Indonesia nilai
yang menjadi rujukan adalah nilai yang terkandung dalam Pancasila.

21
Pembicaraan tentang karakter telah dilakukan pada materi sebelumnya. Tentu
bagi sebagian besar pembaca bertanya-tanya, apakah karakter dan Pancasila sebagai nilai
bangsa saling berhubungan? Penelitian yang dilakukan oleh Juneman, Putra, dan
Meinarno (2012) terhadap 1.000 mahasiswa Universitas Indonesia yang telah menjalani
pendidikan karakter dapat menjawab pertanyaan tersebut. Hasil penelitian itu
menemukan pola hubungan positif antara Pancasila dan karakter yang diajukan oleh
Peterson dan Seligman (2004). Hubungan positif terlihat pada nilai pertama dan keempat
dari Pancasila dan karakter transedensi, yang menempatkan individu sebagai makhluk
yang mampu melihat hubungan dirinya dengan semesta dan kembali menjadi manusia
yang fitrah. Nilai kedua dan nilai kelima berhubungan positif dengan karakter adil. Kedua
nilai dan karakter adil merujuk pada konsep adil. tidak heran jika kemudian ketiga hal ini
berhubungan. Secara khusus nilai kelima mempunyai hubungan positif yang lebih tinggi
daripada hubungan nilai kedua dengan karakter adil.

Wujud Perilaku Sehari-hari:Mengapa Nilai Pancasila sebagai Fondasi Bertingkah


Laku?
Keinginan para pendiri bangsa saat mengemukakan ide Indonesia tentu harus
didasari pemahaman tentang keberagaman yang ada. Keberagaman ini harus dihargai dan
dihormati dalam bentuk toleransi yang cukup tinggi. Hal lainnya yang dipertimbangkan
adalah pilihan terbaik untuk membangun negara-bangsa yang khas seperti Indonesia
adalah dengan menemukenali kesamaaan nilai dari beragam nilai yang dianut oleh
kelompok-kelompok yang ada. Ketika itu tercetus menjelang kemerdekaan, nilai-nilai
umum itu mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan
sosial. Untuk selanjutnya nila-nilai itu disebut sebagai Pancasila yang justru menekankan
toleransi (Somantri, 2006: 23; Ramage, 1995: 1).
Nilai Pancasila juga saling berhubungan positif sehingga kecenderungan masing-
masing nilai saling menguatkan dapat dipahami. Adapun nilai Pancasila yang selama ini
dikenal adalah yang tertulis dalam butir-butir Pancasila. Menurut Somantri, nilai di dalam
Pancasila tidak terpisahkan satu sama lain. Di sisi lain, dengan sudut pandang psikologi
diketahui bahwa secara empirik nilai dalam Pancasila adalah lima nilai dasar dengan di
dalamnya terdapat sub-subnilai yang berdiri sendiri (Suwartono & Meinarno, 2010;

22
Suwartono & Meinarno, 2011; Markum, Meinarno & Juneman, 2011). Akan tetapi,
secara empiris dipastikan bahwa masing-masing nilai berhubungan satu sama lain.
Temuan ini menjadi awal pembuktian hubungan antarnilai bukan semata wacana yang
sifatnya mengawang-awang,sehingga menjadi yakin bahwa nilai-nilai ini penting bagi
bangsa Indonesia.

Nilai Definisi Rincian
Nilai pertama, Percaya padaTuhan dan menjalankan faithfulness, toleransi pada
Ketuhanan Yang perintah‐Nya sesuai keyakinan dan tidak kelompok yang berbeda
Maha Esa memaksakan kepercayaan pada orang lain keyakinan, spirituality and
religiousness
Nilai kedua, Mengakui persamaan hak dan kewajiban, respek, fair, courage
Kemanusiaan sayang pada sesama, menjalin hubungan
yang adil dan dengan bangsa lain berdasar sikap saling
beradab menghormati
Nilai ketiga, mengutamakan kepentingan bangsa daripada loyalitas, kewarganegaraan
Persatuan diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa dan (memiliki pendirian yang
Indonesia mengembangkan rasa persatuan bagi bangsa. kuat terhadap kewajibannya,
setia kawan)
Nilai keempat, mengambil keputusan berdasar musyawarah tanggung jawab, harmoni
Kerakyatan yang untuk kepentingan bersama dengan tidak
dipimpin oleh memaksakan kehendak kepada orang lain,
hikmat dapat dipertanggungjawabkan dan
kebijaksanaan melaksanakan keputusan yang diambil.
dalam
permusyawaratan
perwakilan
Nilai kelima, menjaga keseimbangan hak‐kewajiban sosial persahabatan, keadilan dan
Keadilan sosial dengan mawas diri (dalam bentuk kualitas kerendahatian, menolong
bagi seluruh luhur manusia) dan pengembangan diri yang
rakyat Indonesia bertujuan untuk memajukan kehidupan sosial.
Tabel 1. Nilai Pancasila (Markum, Meinarno& Juneman, 2011)

Menghadapi Tantangan Nasional dan Global


Warga negara
Bagaimana Pancasila berhubungan dengan kewarganegaraan yang khas
Indonesia? Secara konseptual ideologi atau pandangan hidup sudah seharusnya
berhubungan dengan hal-hal yang terkait dengan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Puragabaya (2012) misalnya menemukan bahwas kewarganegaraan
berhubungan positif terhadap variabel sosial lainnya yakni patriotisme (cinta pada
negara) dan nasionalisme (kebanggaan pada bangsa sendiri). Dengan penghayatan

23
terhadap nilai-nilai Pancasila, diharapkan selaku warga Negara Indonesia, seseorang
mampu memahami apa yang menjadi kewajiban dan haknya. Menjalankan kewajiban
serta memenuhi hak tersebut dilakukan sebagai implementasi status kewarganegaraan
yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia.
Dalam hal kewarganegaraan, Pancasila secara konseptual juga berhubungan.
Menjadi warga negara Indonesia tentunya berbasis nilai yang diterima secara bersama.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mashoedi dan Meinarno (2012) ditemukan pola
tertentu antara kewarganegaraan dan Pancasila. Hal yang menarik adalah kelima nilai
Pancasila mempunyai hubungan positif dengan rasa kewarganegaraan. Dengan demikian,
semakin tinggi penghayatan nilai Pancasila semakin tinggi pula rasa kewarganegaraan
individu.
UUD 1945 yang didasari Pancasila juga telah berupa mewujudkan hak dan
kewajiban. Hak-hak dan kewajiban ini yang membuat hubungan individu dan negara
mencapai keselarasan. Rida (1988: 124-125) menyatakan bahwa nilai (Pancasila) yang
diamalkan dianggap memenuhi tanggung jawab individu sebagai warga negara. Sejalan
dengan itu, Mashoedi, Mahardini & Carolina (2012) meneliti kaitan antara nilai Pancasila
dan kewarganegaraan. Mereka meneliti 53 remaja SMU Negeri di Depok dan
menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara empat nilai Pancasila yakni
nilai kedua, ketiga, keempat dan kelima dan kewarganegaraan. Temuan mereka
menunjukkan bahwa semakin nilai Pancasila dianggap positif, rasa kewarganegaraan
Indonesia dari para remaja juga tinggi.
Nilai pertama dari Pancasila yang menekankan untuk menjalankan perintahNya
sesuai keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain bagi masyarakat
Indonesia tampaknya menjadi hal alami. Walaupun Islam menjadi agama dari mayoritas
penduduk, tetapi masih terdapat kelompok agama lain yang penganutnya adalah sesama
warga Indonesia. Keyakinan masing-masing umat amat dihargai, malah dalam UUD
1945 diberikan porsi khusus yakni dalam Bab XI pasal 29. Sebagai warga negara, nilai
ini mendasari tingkah laku umat agama tertentu ke umat agama lainnya. Konsekuensinya
adalah dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan ibadah masing-masing agama bukan
urusan yang bisa dicampuri oleh umat lain. Di sisi lain pemerintah juga menjaga
kehidupan bertoleransi ini dengan membuat peraturan-peraturan yang mengakomodasi

24
nilai ini daripada peraturan yang bersifat memaksa atau memiliki kecenderungan-
kecenderungan mengabaikan hak dasar suatu kelompok agama. Kejadian-kejadian seperti
penolakan pendirian rumah ibadah dari satu kelompok agama jelas tidak sesuai dengan
nilai pertama dari Pancasila.
Pola menegakkan nilai kedua dari Pancasila bagi warga Indonesia dapat terlihat
sejak awal kemerdekaan. Upaya mendasar dilakukan, misalnya dengan tidak membeda-
bedakan perlakuan atas ras atau warna kulit. Agak berbeda dengan Amerika Serikat (AS)
yang sejak merdeka hingga tahun 1960-an, melakukan kebijakan segregrasi khususnya
dalam hal warna kulit berlaku di segala aspek kehidupan (Meinarno, Widianto, Halida,
2011: 78). Mereka melakukan kebijakan segregrasi mulai dari kebijakan publik yang
berdampak pada layanan publik. Sebagai perbandingan, Indonesia tidak membedakan
hak suara dalam pemilu, pada kelompok perempuan atau kelompok etnis tertentu sejak
merdeka hingga sekarang.
Akan tetapi, harus didiakui pula bahwa masih terdapat kesenjangan dalam
mewujudkan nilai kedua ini. Ini dapat dilihat diantaranya pada kebijakan pemerintah atas
pendidikan juga masih belum diterjemahkan dengan baik, oleh pemerintah maupun
masyarakat. Masih terjadi ketimpangan akses pendidikan bagi warga secara khusus pada
kelompok masyarakat tertentu. Seda, Febriana, Agustin dan Shakuntala menemukan
bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan masih di bawah lelaki sejak 1971 hingga
2004. Salah satu penyebab keadaan ini adalah kecenderungan masyarakat mengutamakan
anak lelaki untuk bersekolah daripada anak perempuan. Tidak hanya akses sekolah, untuk
angka buta huruf juga masih lebih tinggi perempuan dua kali lipat daripada lelaki. Alasan
yang mengemuka masih sama, yakni pembedaan perlakuan berbasis jenis kelamin (Seda,
Febriana, Agustin dan Shakuntala, 2012: 187-189). Kejadian ini amat berlawanan dengan
upaya mewujudkan nilai kedua dari Pancasila. Jika pola ini bertahan, bukan tidak
mungkin akan merembet pada penurunan kesejahteraan di aspek lainnya, semisal
tingginya angka kematian ibu (AKI) karena kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi
pada kelompok perempuan yang umumnya diberikan di sekolah.
Sebagai warga negara, upaya untuk mewujudkan nilai ketiga dapat dikatakan
cukup mudah. Menjadi warga negara yang berbahasa Indonesia adalah salah satunya,

25
karena merupakan amanat dari UUD 19451. Dengan tidak menafikan keberadaan 742
bahasa daerah (Summer Institute of Linguistic, 2006 dalam Lauder, 2007: 9) di seluruh
Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia dilakukan dalam konteks keseharian di dalam
lingkungan akademis. Penulisan ilmiah dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar
memupuk rasa persatuan bagi para penulisnya karena adanya kebakuan yang dipahami
sama secara bersama-sama. Dengan demikian, komunikasi antarilmuwan nasional juga
mencapai keselarasan yang pada akhirnya menunjang rasa kesatuan sebagai ilmuwan dan
warga negara Indonesia.
Keseharian kita sebagai warga negara dan secara khusus menjadi warga di tempat
kita berinteraksi sosial dapat menjadi ajang mengekspresikan nilai keempat. Bagi
masyarakat di lingkungan rumah, pemilihan ketua RT yang demokratis, tanpa adanya
pemaksaan kehendak dari pihak lain dapat menjadi ekspresi nilai keempat. Ketua RT
terpilih melakukan pengambilan keputusan-keputusan yang mengacu pada kepentingan
bersama, seperti keamanan dan kebersihan lingkungan. Tentunya ini dilakukan agar
langkah yang diambil dapat dipertangungjawabkan, secara individu maupun sebagai
keputusan bersama. Nilai keempat inilah yang mendasari kita sebagai warga dapat
memahami keputusan yang diambil dari pemimpin (yang dipilih bersama) bertujuan
untuk kemaslahatan bersama. Dengan pemahaman ini, setidaknya dapat mengurangi
potensi konflik yang didasari pada ketidakpuasan dalam berpendapat dan oposisional
terhadap langkah yang diambil pemimpin.
Nilai kelima dari Pancasila terlihat hanya dapat dimaknai sebagai nilai sosial
semata padahal dalam penjabarannya, dimungkinkan peningkatan kualitas manusia
Indonesia berdasar nilai ini. Peningkatan kreativitas diri yang menjadikan kehidupan
masayarakat menuju yang lebih baik saat ini amat dibutuhkan. Dalam keseharian kita
melihat jumlah pengangguran berlatar pendidikan tinggi malah perlahan meningkat dari
tahun ke tahun. Dengan demikian, membicarakan nilai kelima dalam konteks mahasiswa
dan sarjana menjadi relevan. Sesunguhnya sarjana merupakan harapan masyarakat,
dikarenakan proses pendidikan di perguruan tinggi membekali mahasiswa berupa pola
pikir yang berbasis ilmu pengetahuan, maka diharapkan muncul ide-ide kreatif yang

1
UUD 1945, Bab XV, pasal 36

26
dapat membantu masyarakat memecahkan masalah. Bagi para sarjana, upaya membuat
peluang kerja menjadi prioritas daripada mencari pekerjaan.

Berlaku sebagai Warga Global


Sebagai warga dunia, masyarakat Indonesia juga ikut dalam dinamika dunia.
Keikutsertaan ini tidak selalu bersifat politis, tetapi masih banyak hal lainnya. Untuk itu,
di masa depan kesiapan warga negara Indonesia untuk lebih dapat berkiprah di dunia
nyaris tanpa batas ini akan semakin dibutuhkan. Catatan terpentingnya adalah perilaku
dari individu Indonesia tetap harus didasari nilai-nilai dasar masyarakat Indonesia.
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mengupayakan kehidupan
beragama yang toleran. Nilai pancasila bahkan dianggap sebagai religiously friendly
ideology oleh Juergensmeyer (2010 dalam Azra, 2010: 11). Walau pernyataan
Juergensmeyer dikaitkan dengan ideologi, pancasila sebagai nilai juga mendasari corak
kehidupan interaksi umat beragama Indonesia. Mengacu nilai pancasila khususnya nilai
pertama, warga Indonesia akan menjadi bagian dari aksi yang toleran. Keadaan ini tidak
dapat dinafikan karena Indonesia secara pasti menjadi tempat perlintasan beragam
kebudayaan. Mulder (1999 dalam Kusumadewi, 2012: 135-136) melihat bahwa Indonesia
menjadi model yang khas dari tumbuhnya semangat keagamaan yang bercorak
kebudayaan lokal. Ini dapat diartikan bahwa masyarakat Indonesia berkontribusi dalam
memaknai agama-agama yang hadir di Indonesia. Kontribusi ini penting bagi masyarakat
dunia sehingga dapat menjadi model dari toleransi antar-umat beragama di dunia.
Upaya menselaraskan perilaku dengan nilai kedua dalam konteks global
sebenarnya juga ada dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat mulai untuk tidak
melakukan pembedaan-pembedaan yang didasari prasangka. Pemahaman lanjut dari
situasi ini adalah terciptanya tatanan sosial yang lebih baik. Sebagai contoh, penerapan
kewarganegaraan khususnya pada anak hasil pernikahan WNI dan WNA sampai usia 18
tahun dinyatakan sebagai WNI. Hal ini membuat anak terlindungi dari masalah tanpa
kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda. Bagi negara lain berfokus pada asal dari
salah satu orangtua anak tadi, juga bermakna sebagai perlindungan manusia untuk
mendapatkan hak-hak dasar kewarganegaraan. Ini merupakan kesepakatan universal yang
diakui bersama, sehingga negara itu pada akhirnya memandang Indonesia sebagai negara

27
yang mengakui hak azasi manusia. Pada akhirnya terbangun hubungan saling
menghormati antarnegara.
Pengejawantahan nilai ketiga dari Pancasila dalam konteks global adalah dengan
menjadi bagian kegiatan ekonomi dunia yang berorientasi nasional. Sejak memasuki
krisis moneter 1997, pintu impor semakin terbuka yang memungkinkan segala produk
masuk ke dalam negeri. Akibatnya konsumen disuguhkan banyak pilihan. Kondisi ini
secara prinsip tidak salah, tapi di sisi lain produk dalam negeri perlahan tersisih. Hanya
dengan alasan harganya tidak kompetitif, konsumen membeli produk impor yang bukan
hanya menyisihkan produk dalam negeri, tapi juga menghancurkan perusahaan lokal.
Untuk itu, nilai ketiga dari Pancasila yang menekankan cinta tanah air perlu diangkat
kembali untuk mempertahankan ketahanan ekonomi nasional. Hal ini tidak hanya berlaku
di Indonesia. Langkah mengutamakan produk yang dapat dihasilkan dalam negeri
sebelum membeli produk buatan luar negeri juga dilakukan oleh negara-negara maju.
Negara-negara maju menyelubungi kepentingan dalam negeri melalui mekanisme
perdaganagn dunia seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka berupaya
menjaga agar produk asing tidak membanjiri pasar lokalnya sehingga
petani/pengusaha/masyarakat tetap sejahtera. Dengan demikian, nilai ketiga Pancasila
masih relevan untuk diangkat menjadi dasar bagi peningkatan ketahanan nasional.

Gambar 3.3 Produk bangsa sendiri siap bersaing dengan produk asing.

Pengejawantahan nilai keempat dalam kehidupan global bagi negara dan


masyarakat terlihat dalam kebijakan dan tingkah laku. Dalam konteks pemerintah,
Indonesia mengambil peran yang sesuai dengan nilai tadi. Sebagai anggota ASEAN

28
sekaligus ketua tahun 2011, Indonesia mengambil posisi tidak mengucilkan Myanmar.
Pada saat yang sama, hampir semua negara barat mengembargo Myanmar dan meminta
ASEAN ikut menekan. Langkah Indonesia cukup mengejutkan. Dengan tidak
mengisolasi, Myanmar justru intensif membuka jalur diplomatik. Terbukanya jalur
diplomatik justru membuat Myanmar lebih membuka diri hingga akhirnya embargo
negara-negara barat mulai berkurang. Indonesia memahami bahwa cara tersebut tidak
populer di mata bangsa-bangsa barat, tetapi diplomasi ala Indonesia mampu membuat
Myanmar mengambil kebijakan-kebijakan dalam dan luar negeri yang cenderung terbuka
dan dapat diterima masyarakat internasional.
Kontribusi Indonesia untuk masalah pembangunan dunia yang berkeadilan sosial
semestinya dapat dilakukan dengan kemampuan dasar ekonomi kerakyatan Indonesia.
Salah satu bentuknya adalah koperasi. Koperasi sebagai pengejawantahan pembangunan
ekonomi yang memiliki wajah sosial dapat menjadi solusi bagi pola pembangunan
negara-negara dunia ketiga yang jumlahnya lebih banyak daripada negara maju. Hal ini
penting karena muncul gejala kegagalan ekonomi kapitalis sejak 2008 yang dimulai di
AS dan menjalar ke Eropa sampai tulisan ini dibuat (2012). Model ekonomi komunis
sudah roboh terlebih dahulu, yakni saat bubarnya Uni Soviet tahun 1991. Di sinilah
peluang Indonesia untuk ikut dalam mendesain ulang tatanan mekanisme ekonomi,
karena koperasi bertujuan mensejahterakan anggota bukan menguatkan kapital dari
investor atau pemodal. Setidaknya peraih nobel 2006, Muhammad Yunus dari
Bangladesh berbekal konsep arisan amat menekankan kesejahteraan anggotanya.
Kemudian model ini dianggap baik oleh dunia. Dengan demikian, dibutuhkan sedikit
sentuhan dari para sarjana agar nilai kelima dari Pancasila dapat menjadi bagian dari
solusi atas masalah ekonomi dunia saat ini dan masa depan.

Gaya hidup
Sebagaimana perkembangan zaman, manusia Indonesia juga tidak lepas dari
perubahan yang terjadi di lingkungan global. Salah satu gejala yang cukup
menghebohkan adalah tembusnya budaya Asia ke tingkat Global dan menular ke seantero
dunia termasuk Indonesia. Bentuknya berupa kebudayaan pop Korea atau yang dikenal
sebagai K-Pop.

29
Lantas bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Gaya hidup masyarakat juga
berubah. Pancasila diharapkan menjadi acuan berperilaku masyarakat termasuk memilih
gaya hidup. Dari lima nilai dalam Pancasila yang berhubungan dengan identifikasi diri
dengan uang adalah nilai keempat.
Nilai dijunjung oleh masyarakat karena memberikan arahan dalam pengambilan
keputusan dan bentuk kegiatannya (Rinjin, 2010: 59). Dengan mengetahui nilai yang
dianut individu, dapat diperkirakan tingkah lakunya dalam situasi berbagai situasi
(Rokeach, 1973: 122). Berdasar hal itu, hampir dapat dipastikan adanya keselarasan
antara nilai dan tingkah laku individu/masyarakat. Misalnya, ditemukan nilai kesetaraan
(equality) lebih tinggi dan berbeda secara cukup berarti pada kelompok mahasiswa yang
menjadi anggota dari asosiasi nasional untuk kemajuan orang dari kelompok berwarna
dibandingkan dengan yang bukan anggota (Rokeach, 1973: 123). Nilai yang spesifik,
seperti nilai menolong, juga berhubungan positif dengan sikap untuk mendonasikan uang
untuk penelitian kanker (Maio dan Olson, 1995: 280).
Akan tetapi, pada kenyataannya terdapat banyak hal yang tidak menunjukkan
keselarasan antara nilai, karakter dan tingkah laku individu atau masyarakat di
masyarakat itu sendiri. Dapat saja seseorang yang menjunjung nilai kejujuran melakukan
tindakan tidak terpuji seperti mencuri atau korupsi, atau dapat terjadi, tindakan yang baik
seperti menyeberangkan lansia di jalan raya oleh seseorang belum tentu didasari nilai
hormat pada lansia tadi. Dengan demikian, antara nilai dan tingkah laku belum tentu
sejalan. Oleh karena itu, terlepas dari hubungan nilai dengan tingkah laku, nilai amat
diyakini sebagai bagian dari diri dan penghubung antara individu dengan masyarakatnya
(Hitlin, 2003: 119).
Harapan bahwa nilai menjadi dasar tingkah laku tidak terlepas dari adanya
kekuatan sosial di sekitar individu. Penguatan nilai yang dipegang individu mewujud
pada tingkah-tingkah laku yang disepakati bersama oleh lingkungan sosial. Yang perlu
ditambahkan ialah amat mungkin terjadi sebuah nilai yang dianggap penting dalam satu
kelompok, tidak diterapkan terhadap kelompok lainnya. Sejarah mencatat pada sekitar
1200 SM, suku Doria di kawasan Mediterania amat mempedulikan terhadap sesama
mereka. Akan tetapi, perlakuan mereka terhadap kelompok lain justru sebaliknya, mereka
berlaku kejam dengan melakukan ekspansi terhadap kelompok lain (Gonick, 2006: 226).

30
Penelitian menarik yang menggunakan Pancasila dilakukan oleh Juneman, Meinarno &
Rahardjo (2012: 110). Ketika lima nilai dikaitkan dengan makna simbolik uang. Hasilnya
adalah semakin menjunjung tinggi nilai keempat, maka semakin rendah pemaknaan
simbolik atas uang. Dengan demikian uang bukan alat untuk kebebasan semata,
sebaliknya kebebasan itu diatur oleh keberadaan orang lain, sehingga penggunaan uang
justru harus memperhatikan lingkungan sekitar.

Kesenjangan
Kesenjangan antara nilai dalam Pancasila dengan perilaku dan kenyataan
membawa dampak bagi sebagian individu. Bagi sebagian orang, hal itu memacu untuk
semakin mewujudkan Pancasila, sebagian lain mungkin tidak peduli. Namun yang tidak
terduga adalah ada sebagian yang mengupayakan perlawanan fisik dan ideologis terhadap
Pancasila. Salah satu bentuknya adalah bentuk perlawanan tidak membayar pajak padahal
pajak merupakan salah satu cara untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraan. Saat ini
pendapatan negara didominasi pendapatan dari pajak (Tim Edukasi Pajak, 2016).
Pendapatan inilah yang kemudian dialokasikan untuk semua sektor pembangunan. Hal ini
selaras dengan temuan Juneman, Meinarno, & Rahardjo (2012: 112) bahwa nilai keempat
Pancasila berhubungan negatif dengan pemaknaan uang. Uang tidak semata untuk
individu, nilai keempat menekankan harmoni, kesejahteraan bersama. Berdasar riset itu
pajak dapat menjadi instrumen kesejahteraan bersama sejalan dengan Pancasila.

Terorisme
Bentuk tantangan lain yang muncul di dalam negeri adalah aksi terorisme.
Temuan dari Prisma Resource Center (2013) menunjukkan kekhawatiran partisipan
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu bentuk kekhawatiran itu adalah
munculnya terorisme dengan latar agama tertentu. Hal ini tak jauh berbeda dengan situasi
dunia yang sering menghadapi teroris dengan latar agama semisal NIIS.

Penutup
Nilai bagi semua individu dan kelompok adalah bagian dari pembentukan tingkah
laku yang diharapkan dalam masyarakatnya, dari tingkat individu hingga bangsa. Nilai

31
yang ada dalam Pancasila merupakan nilai dasar untuk aktivitas bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara serta menjadi warga dunia. Dengan demikian, Pancasila
menjadi penentu dari corak kehidupan masyakat Indonesia.

Gambar 3.4 Indonesia adalah warga dunia.



Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila oleh sebagian orang dianggap universal.
Artinya, nilai-nilai tersebut dapat berlaku atau hadir di semua masyarakat di dunia. Jika
asumsi ini digunakan, nilai Pancasila juga dapat diacu oleh warga dunia pula. Setidaknya,
Pancasila sebagai nilai yang mendasari tingkah laku warga Indonesia memiliki tingkah
laku yang juga selaras dengan warga dunia.
Hal yang terpenting dari Pancasila adalah ketika kita mencoba menerapkannya
dalam kehidupan. Ketika nilai tidak menjadi rujukan tingkah laku, perlahan nilai akan
memudar dan hilang. Kondisi ini analog dengan ketika Pancasila tidak menjadi acuan
perilaku, ia akan tergantikan oleh nilai lain atau bahkan hilang. Hilangnya Pancasila
memudarkan pula semangat ikatan nasional sebagai bangsa Indonesia, yang dapat
berujung pada rubuhnya rumah nusantara yakni Indonesia. Bukankah itu berarti
mengkhianati mimpi para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia?

32
Daftar Pustaka

Anderson, B. 2001. Komunitas-komunitas Terbayang (terjemahan). Yogyakarta. Insist


Press dan Pustaka Pelajar.

Azra, A. 2010. “Revisitasi Pancasila:, dalam Rindu Pancasila. Penyunting: Mulyawan


Karim. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Bolo, AD. 2015. “Antara Tritangtu (Tangtutilu) dan Demokrasi: Membaca Demokrasi
dalam Rima Urang Sunda”, dalam Kearifan Lokal Pancasila: Butir-butir Filsafat
Keindonesiaan. Penyunting: Armada Riyanto, Johanis Ohoitimur, CB Mulyatno,
dan Otto Gusti Madung. Yogyakarta: Kanisius.

Darmodiharjo. D. 1991. “Orientasi singkat Pancasila”, dalam Santiaji Pancasila.


Surabaya: Usaha Nasional.

Gonick, L. 2006. Kartun Riwayat Peradaban. Jiid 1. Jakarta: Kepustakaan Populer


Gramedia.

Halida, R. 2009. “Individu dalam Kelompok”. dalam Psikologi Sosial. Penyunting:


Sarlito W Sarwono dan Eko A. Meinarno. Jakarta. Salemba Humanika.

Hitlin, S. 2003. “Values as the Core of Personal Identity: Drawing Links Between Two
Theories of Self” dalam Social Psychology Quarterly; Jun 2003; 66; 2.

Juneman, Meinarno, EA., Rahardjo, W. (2012). “Symbolic Meaning of Money, Self-


esteem, and Identification with Pancasila Values”, Journal of Procedia. Vol. 65.
No. 3. Hlm. 106-115

Juneman., Putra, F., Meinarno, EA. “Kompatibilitas Keutamaan Karakter dengan Nilai-
nilai Pancasila: Perspektif Kontrak Psikologis dan Kontrak Sosial. Prosiding
SNaPP 2012: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora. Bandung: UNISBA.
http://prosiding.lppm.unisba.ac.id/index.php/sosial/article/view/386#.Va8msfApqz
U

Kaelan. 2009. “Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Filsafat Pancasila”. Prosiding
kongres Pancasila I. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI.

Kaelan. 2012. Problem Epistimologis Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Yogyakarta:
Paradigma

Tim Edukasi Perpajakan. 2016. Kesadaran Pajak dalam Pendidikan Tinggi. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pajak.

33
Koentjaraningrat. 1977. “Sistem Gotong-Royong dan Jiwa Gotong Royong”. Berita
Antropologi. Terbitan khusus, th. IX No. 30, Pebruari 1977.

Kusuma, RMAB. 2010. “Konsistensi Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Negara”,


dalam Konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya.
Yogyakarta: PSP-Press.

Kusumadewi, LR. 2012. “Relasi Sosial Antarkelompok Agama di Indonesia: Integrasi


atau Disintegrasi?” dalam Sistem Sosial Indonesia, penyunting: Paulus Wirutomo.
Jakarta. UI Press.

Latif, Y. 2011. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.


Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Latif, Y. “Soekarno sebagai Penggali Pancasila”, Prisma Vol. 32, No. 2 & 3, 2013, hlm.
17-42.

Lauder, MRMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Fakultas Ilmu
Budaya Indonesia-Akbar Media Eka Sarana.

Magnis-Suseno, F. “Kita Butuh ‘Proyeksi Besar’ Cita-Cita Bangsa”, Prisma. Vol. 28. No.
2, September 2009, hlm. 54-60.

Maio, GR., Olson, JM. “Relations between Values, Attitudes, and Behavioral Intentions:
The Moderating Role of Attitude Function”, Journal of Experimental Social
Psychology. No. 31, 1995, hlm. 266-285..

Markum, ME., Meinarno, EA., Juneman. 2011. “Hubungan Pancasila dan Identitas
Nasional: Masihkah Remaja Kita Mengingatnya?” Laporan Penelitian Hibah
Riset Pascasarjana Universitas Indonesia Tahun 2011.

Marzali, A. 2005. Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta. Prenada Media.

Mashoedi, SF., Meinarno, EA. (2012). “Hubungan Prasangka-Toleransi dan Pancasila


dalam Membentuk Rasa Kewarganegaraan Remaja”. Penelitian DRPM UI. Tidak
dipublikasikan.

Mashoedi, SF., Mahardini, G., Carolina, C. (2012). “Nilai Pancasila dan Kewargaan
Indonesia: Adakah Hubungannya?” Prosiding Seminar Nasional Psikologi
Universitas Paramadina. Jakarta, 6 September 2012.

Meinarno, EA. “Nilai-nilai Pancasila: Konteks Sumatra dan Jawa”. Prosiding Kongres
HIMPSI di Surakarta 2010.

34
Meinarno, EA. 2011. “How Pancasila form the National Identity of Indonesian People?”
Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. Yogyakarta, 21-
24 Juli, 2011.

Meinarno, EA., Widianto, B., Halida, R. 2011, 2015. Manusia dalam Kebudayaan dan
Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi. Jakarta. Salemba Humanika.

Meinarno, EA., Suwartono, C. 2013. “Identitas Etnis, Pancasila dan Identitas Nasional:
Remaja Indonesia Menatap Masa Depan”, Dalam Menongkah arus globalisasi:
Isu-isu psikologi di Malaysia dan Indonesia, Penyunting Jas Laile Suzana,
Yahaya Mahamood dan Zahari Ishak. Kuala Lumpur: Jabatan Psikologi
Pendidikan dan Kaunseling Fakulti Pendidikan Universiti Malaya.

Meinarno, EA. “Pancasila dan Merah Putih di Serambi Mekah”. Jurnal Pancasila,
Februari 2014. Vol. 1., No. 1, hlm. 52-59.

Muhrotein, A. 2015. “Tabik-tabik Tolak Ilik, Ampun-Ampun Totak (Kemanusiaan dan


Keadilan dalam Hidup Dayak Linoh)”, dalam Kearifan Lokal Pancasila: Butir-
Butir Filsafat Keindonesiaan, penyunting: Armada Riyanto, Johanis Ohoitimur,
CB Mulyatno, dan Otto Gusti Madung. Yogyakarta: Kanisius.

Ohoitimur, J. 2015. “Sin Ni Ain: Paham Persatuan Orang Kei”, dalam Kearifan Lokal
Pancasila: Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan, penyunting: Armada Riyanto,
Johanis Ohoitimur, CB Mulyatno, dan Otto Gusti Madung. Yogyakarta: Kanisius.

Oomen, TK. (2009). Kewarganegaraan, Kebangsaan, & Etnisitas: Mendamaikan


Persaingan Identitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Pabottinggi, M. “Pancasila dan Demitologi”, Prisma 8, Agustus 1977.

Pandor, P. 2015. “Menyambut dan Memuliakan Sesama dalam Ritus Inisiasi Sosial Tiba
Meka Orang Manggarai”, dalam Kearifan Lokal Pancasila: Butir-Butir Filsafat
Keindonesiaan, penyunting: Armada Riyanto, Johanis Ohoitimur, CB Mulyatno,
dan Otto Gusti Madung. Yogyakarta: Kanisius.

Poesponegoro, MD., Notosusanto, N. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta. Balai
Pustaka.

Ramage, DE. 1995. Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of
Tolerance. London. Routledge.

Reicher, S., Hopkins, N. 2001. Self and Nation: Categorization, Contestation and
Mobilization. London. Sage Publication.

35
Rida, Z. 1988. “Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
Mewujudkan Masyarakat Berbudaya Pancasila”. Tesis strata dua Program Studi
Pengkajian Ketahanan Nasional. Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.

Rinjin, K. 2010. “Pandangan Hidup Bangsa Indonesia dan Dasar Falsafah Negara
Kesatuan Republik Indonesia”, dalam Konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam
UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta: PSP-Press.

Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values. New York: The Free Press.

Schermerhorn Jr, JR. 2013. Introduction to management. 12th, ed. Singapore: John Wiley
& Sons.

Seda, FSSE., Febriana, E., Agustin, SM., Shakuntala, RRS. 2012. “Relasi Gender dalam
Masyarakat Indonesia” dalam Sistem Sosial Indonesia, penyunting: Paulus
Wirutomo. Jakarta: UI Press.

Simpson, A. 2007. “Indonesia”, dalam Language & National Identity in Asia,


penyunting: Andrew Simpson. Oxford: Oxford University Press.

Singgih, EE., Diponegoro, M., Solihat, A., Moeis, JP. 2013. Buku Ajar II Manusia
sebagai Individu, Kelompok, dan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.

Somantri, GR. 2006. “Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern,


dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,
penyunting: Irfan Nasution dan Ronny Agustinus. Jakarta.

Sutanto, J. “Kembalinya Nasionalisme Kewargaan: Rujuk Kebangsaan dan Demokrasi


dalam Reformasi, Prisma. 2013, Vol. 32. No. 4, Hlm. 56-76.

Suwartono, C., Meinarno, EA. 2010. ‘The Measurement of Pancasila: An Effort to Make
Psychological Measurement from Pancasila Values.Dipaparkan dalam Seminar CICP,
Yogyakarta, Juli 2010

Suwartono, C., Meinarno, EA. 2011. “Construct Validation of Pancasila Scale: An


Empirical Report”. Proceeding International Conference of Revisited Asian
Society. Yogyakarta, 21-24 Juli.

Swasono, SE. 2015. Keindonesiaan: Demokrasi Ekonomi, Keberdaulatan dan


Kemandirian. Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Press.

Tajfel, H. 1974. “Social Identity and Intergroup Behavior”. Social Science Information.
No.13, 65, hlm. 65-93.

Takwin, B. 2011. “Kekuatan dan Keutamaan Karakter sebagai Hasil dari Daya-daya
Spiritual”, dalam Buku ajar 1: Filsafat, Logika, Etika, dan Kekuatan dan

36
Keutamaan Karakter, penyunting: Bagus Takwin, Lamuddin Finoza, H Zakky
Mubarak. Depok: Universitas Indonesia.

Takwin B. 2013. “Kekuatan dan Keutamaan Karakter”, dalam Buku Ajar I Kekuatan dan
Keutamaan Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika, penyunting: Bagus Takwin,
Fristian Hadinata, Saraswati Putri. Depok: Universitas Indonesia.

Tinambunan, L. 2015. “Sila Ketuhanan dalam Penghayatan Orang Batak Toba” dalam
Kearifan Lokal Pancasila: Butir-butir filsafat Keindonesiaan, Penyunting:
Armada Riyanto, Johanis Ohoitimur, CB Mulyatno, dan Otto Gusti Madung.
Yogyakarta: Kanisius.

Wirutomo, P. 2012. “Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep”, dalam
Sistem Sosial Indonesia, penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta: UI Press.

Wiratama, RT. “Survei Ideologi, Negara, dan Bangsa, Prisma Resource Center”. Prisma.
2013, Vol. 32. No. 4, Hlm. 103-117.

Wirutomo, P. 2012. “Menyongsong Masa Depan Integrasi Masyarakat Indonesia”, dalam


Sistem Sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press.

37
Indeks
A
Aceh
Agustin, SM
Amerika Serikat
ampun-ampun totak
Anderson, B
Antara tritangtu
Asia Timur
Azra, A

B
Batak Toba
Bolo, AD

C
Carolina, C.

D
Darmodiharjo. D
Dayak Linoh
Diponegoro, M
Doria

F
Febriana, E.

G
Gonick, L.
gotong royong

H
Halida, R.
Hitlin, S.
Hopkins, N.

I
India

J
Jawa
Juneman.

K
Kaelan
karakter

38
Kei
Koentjaraningrat
Kusuma, RMAB.
Kusumadewi, LR.

L
Latif, Y.
Lauder, MRMT.

M
Magnis-Suseno, F
Mahardini, G.
Maio, GR.
Manggarai.
Markum, ME
Marzali, A.
Mashoedi, SF
Meinarno, EA
Moeis, JP
Muhrotein, A

N
Notosusanto, N.

O
Ohoitimur, J.
Olson, JM.
Oomen, TK.

P
Pabottinggi, M.
Pajak
Pandor, P
Perang Dunia II
Poesponegoro, MD.
Proklamasi
Prisma Resource Center
Putra, F

R
Rahardjo, W
Ramage, DE
Reicher, S
Rida, Z
Rinjin, K
Rokeach, M

39
S
Schermerhorn Jr, JR
Seda, FSSE
Shakuntala, RRS
Simpson, A.
Sin ni ain
Singgih, EE
Solihat, A.
Somantri, GR
Sumatra
Sumpah Pemuda
Sunda
Sutanto, J.
Suwartono, C
Swasono, SE

T
Tabik-tabik tolak ilik
Tajfel, H.
Takwin, B
tangtutilu
Tiba meka
Tinambunan, L

W
Widianto, B.
Wiratama, RT.
Wirutomo, P.

40
BAB IV
KEWARGANEGARAAN

Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan


saling pengaruh antara hak dan kewajiban Negara dan Warga Negara,
dan pelaksanaan hak dan kewajiban Negara dan Warga Negara tersebut
di masyarakat.

Ketika Bung Hatta kuliah di Belanda pada tahun 1920-an, ia merasakan pedihnya
menjadi penduduk di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Dalam pergaulan
internasional ia merasa tersisih karena masalah kebangsaan. Ia merasa, sebagai penduduk
di wilayah jajahan, ia direndahkan. Bertolak dari pengalaman itu, Bung Hatta
menyimpulkan, “Jika satu bangsa mulia, individu-individunya juga dihargai, tetapi jika
tidak memiliki kebangsaan, seseorang tidak dipandang di dunia internasional” (Hatta,
1953: 51). Pengalaman Bung Hatta tersebut merupakan pengalaman tentang pentingnya
arti kebangsaan (nationality). Kebangsaan sering kali diidentikkan dengan
kewarganegaraan, dan keduanya tidak dapat dipisahkan ketika kita mengkaji tentang
negara maupun pemerintahan.
Kewarganegaraan (dalam bahasa Inggris, citizenship dan Latin, civis) telah lama
menjadi objek pemikiran. Kajian ini telah muncul sejak masa Yunani Kuno (± 400 SM)
dan masa Kerajaan Romawi (± 1 M). Kata civis sendiri pertama kali digunakan pada
masa kerajaan Romawi untuk merujuk kepada orang-orang kaya dan para tuan tanah.
Merekalah yang memperoleh hak-hak istimewa. Hak-hak sebagai civis tidak diberikan
kepada rakyat biasa maupun rakyat di wilayah kekuasaan kerajaan (Poole, 1999: 85—
86).

41
Apa yang dialami rakyat biasa di kerajaan Romawi juga pernah dialami bangsa
Indonesia, tepatnya ketika bangsa ini berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda.
Kebijakan-kebijakan Belanda tidak hanya melahirkan sistem pembedaan status
(diskriminasi) yang dilandasi perbedaan warna kulit, antara bangsa kulit putih dan
pribumi, tetapi juga melanggengkan stratifikasi sosial yang merupakan warisan sistem
kerajaan, yakni antara golongan priyayi dan rakyat biasa.
Ketidaksetaraan dan penindasan Belanda terhadap rakyat biasa akhirnya menjadi
pemicu gerakan nasionalisme Indonesia, hingga akhirnya berdirilah negara Indonesia
pada tahun 1945. Di dalam proses penyiapan negara yang merdeka dan berdaulat itu, para
tokoh pergerakan mengadakan sidang-sidang di BPUPKI dan PPKI untuk menyusun
UUD. Hasil sidang-sidang itu adalah UUD 1945 yang di dalamnya dinyatakan, antara
lain, pengakuan kesetaraan bagi seluruh rakyat atau warga negara, seperti tercermin
dalam hak dan kewajiban bagi setiap warga negara.
Untuk memahami hak dan kewajiban warga negara, pokok-pokok bahasan dalam
bab ini dibagi menjadi empat bagian sebagai berikut. 1) Apa yang dimaksud dengan
kewarganegaraan dan siapakah warga negara Indonesia? 2) Prinsip-prinsip dasar apa
yang melandasi hubungan timbal-balik antara negara dan warga negara? 3) Bagaimana
implementasi hak dan kewajiban warga negara? 4) Bagaimana evaluasi kritis terhadap
pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara.

1. Apa yang Dimaksud dengan Kewarganegaraan?


Secara umum kewarganegaraan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang
menyangkut warga negara. Akan tetapi, pemahaman yang sederhana ini memiliki sejarah
panjang dan kompleks. Sebagai objek pemikiran, kewarganegaraan telah muncul sejak
masa Yunani Kuno (± 400 SM). Pada masa itu, warga negara diidentikkan dengan orang
bebas. Sebaliknya, para budak dan—dalam konteks saat itu—kaum perempuan serta
anak-anak tidak dikategorikan sebagai orang bebas sehingga mereka tidak dapat disebut
sebagai warga negara.
Orang-orang bebas yang dikategorikan sebagai warga negara memiliki status
istimewa dapat berpartisipasi antara lain dalam penyusunan undang-undang dan dalam
pelaksanaan administrasi negara, dalam aktivitas keagamaan dan budaya, serta dapat

42
masuk dinas militer—yang penting artinya bagi pertahanan negara. Aktivitas-aktivitas
tersebut menunjukkan bahwa pusat kehidupan warga negara mencakup setiap aspek
kehidupan, mulai dari politik, agama, budaya, hingga pertahanan negara. Warga negara
dalam pengertian masa Yunani Kuno juga dapat dikatakan lebih menekankan
kemampuan seseorang untuk mengemban tanggung jawab negara (Poole, 1999: 25).
Pada masa kerajaan Romawi (± 1 M), kewarganegaraan pada awalnya dimaknai
sebagai pemilikan atas status istimewa bagi para tuan tanah dan orang-orang kaya.
Selanjutnya, seiring dengan meluasnya imperium Romawi, timbullah tuntutan-tuntutan
rakyat di wilayah-wilayah taklukan. Rakyat yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda menuntut diperlakukan secara terhormat seperti warga kerajaan Roma. Selain itu
mereka juga menuntut perlindungan dari kerajaan. Jadi kewarganegaraan tidak lagi
diartikan sebagai rasa tanggung jawab terhadap negara, melainkan lebih merupakan
tuntutan legal agar rakyat di wilayah taklukan diperlakukan setara dengan rakyat/warga
kerajaan.
Perubahan penting mengenai pengertian kewarganegaraan terjadi di abad XVIII
dan XIX. Pada abad XVIII, khususnya di Eropa Barat, terjadi perubahan luar biasa dalam
hal bentuk negara, ketika model monarki absolut secara berangsur-angsur digantikan
dengan bentuk negara-bangsa modern. Bila dalam monarki absolut rakyat biasa menjadi
abdi raja, maka dalam negara modern, rakyat merupakan warga negara. Perubahan
radikal itu dimungkinkan oleh terjadinya pelembagaan prinsip-prinsip nasionalisme,
demokrasi, republik, dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia di negara-bangsa modern
(Habermas, 1996: 185—289.)
Sumbangan prinsip nasionalisme adalah terciptanya kesadaran nasional dan
solidaritas rakyat yang berlandaskanfaktor-faktor budaya, bahasa, sejarah, dan kesamaan
keturunan. Rakyat yang telah bersatu karena faktor-faktor tersebut semakin diperkuat
oleh kesadaran nasionalnya karena negara pun mulai melembagakan 1) nilai HAM yang
menghargai kebebasan individu dan menjunjung kesetaraan bagi seluruh warga negara,
2) prinsip negara republik yang mengakui otonomi politik warga negara, dan 3) prinsip
demokrasi yang mendorong partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik.
Ketiga prinsip tersebut memberikan pengakuan bahwa warga negara memiliki status legal
yang kemudian terwujud dalam hak-hak sipil.

43
Status legal yang dimiliki tiap warga negara memiliki konsekuensi terhadap
pendefinisian bangsa. Bangsa yang semula dianggap sebagai komunitas yang disatukan
oleh faktor budaya, bahasa, kesamaan nasib, dan sejarah, kini mendapat pengakuan baru
sebagai kesatuan warga negara yang setara dan memiliki status legal. Dengan status legal
itu, hubungan negara dan warga negara dikonsepsikan sebagai hubungan timbal-balik dan
membuat warga negara melihat negara sebagai organisasi untuk mengejar kesejahteraan
dan kebahagiaan. Status legal dalam wujud hak-hak sipil merupakan seperangkat hak
bagi individu untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Pemenuhan tujuan ini bagi warga
negara merupakan bentuk tanggung jawab dan kewajiban negara (Habermas, 1996:
285—289).
Sementara itu, di pihak warga negara pun terdapat kesadaran bahwa mereka wajib
berkorban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara-bangsa. Mereka
sadar bahwa hanya dalam negara yang merdeka dan berdaulatlah kebebasan dan otonomi
politik mereka terjamin. Hubungan negara dan warga negara dalam arti kesetaraan dan
status legal itu yang kini menjadi kata kunci dalam pembahasan tentang
kewarganegaraan. Dikatakan demikian karena memasuki abad XXI, tidak ada satu negara
pun yang tidak mendefiniskan batas-batas sosialnya tanpa mengacu kepada hak-hak
warga negara untuk membatasi siapa yang menjadi warga negaranya dan siapa yang
bukan.

2. Siapakah Warga Negara Indonesia?


Berikut ini dipaparkan sejarah singkat status penduduk Indonesia pada masa
pemerintahan kolonial Belanda dan masa pascakemerdekaan.

a. Status Rakyat Indonesia pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (Kasus:


Status Rakyat di Jawa)
Sebelum bangsa Belanda menguasai Indonesia, khususnya Pulau Jawa, situasi
masyarakat saat itu sudah tersusun secara hierarkis. Puncak hierarki terletak pada raja dan
keluarganya. Anak tangga di bawahnya diduduki oleh para pejabat tinggi yang mengabdi
raja, anak tangga di bawahnya lagi diduduki kaum ulama, militer, dan elit politik lain
yang memiliki kekuasaan legal. Dalam masyarakat yang memiliki hierarkis demikian,

44
raja berhak menuntut kebaktian dari rakyat. Rakyat biasa adalah abdi raja yang tidak
memiliki kebebasan individu, apalagi otonomi politik. Jadi, konsep kewarganegaraan
belum dikenal.
Pada abad XVII, Belanda mulai meneguhkan kedaulatannya di Jawa, dan
kekuasaan raja-raja di Jawa pun mulai melemah. Secara berangsur-angsur Belanda
memisahkan staf administrasi kerajaan dari pengawasan raja dan kemudian mengubahnya
menjadi dinas sipil. Dengan kebijakan itu, Belanda telah membangun pemerintahan tidak
langsung, yaitu memerintah rakyat dengan perantaraan elit birokrat Jawa yang dikenal
sebagai golongan priyayi. Setelah struktur politik berubah, struktur masyarakat pun ikut
berubah dengan munculnya hubungan kolonial yang mirip dengan sistem kasta, yaitu
keanggotaan dalam masyarakat ditentukan oleh kelahiran dan stratifikasi sosial yang
ditentukan oleh ras. Diskriminasi rasial tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, hanya orang Belanda yang dapat menduduki jabatan puncak, sementara
penduduk pribumi hanya mendapat jabatan rendahan. Dalam pergaulan sosial pun
terdapat pemisahan fisik. Orang-orang Jawa dilarang memasuki perkumpulan, lapangan
olah raga, sekolah, dan permukiman orang Belanda (Kartodirdjo, 1999: 206, 209, 211).
Hubungan kolonial tidak hanya menciptakan diskriminasi rasial, melainkan juga
melanggengkan sistem masyarakat yang bercorak feodal. Belanda tidak menghapus
kekuasaan raja-raja sama sekali sehingga keluarga raja dan kaum bangsawan masih
mendapat tempat yang tinggi dalam hierarki masyarakat. Hierarki masyarakat tradisional
ini diperkuat lagi dengan kebijakan kolonial untuk mengangkat elit administrasi atau
birokrasi yang dahulu adalah abdi raja. Kaum elit yang diangkat di tiap kabupaten
kemudian melahirkan kelas tersendiri di masyarakat, yang disebut golongan priyayi. Elit
priyayi tersusun sebagai berikut: para bupati berada di puncak birokrasi, disusul oleh
patih, wedana, mantri, dan juru tulis. Jenjang-jenjang jabatan tersebut kemudian
digolongkan atas “priyayi gedhe” dan “priyayi cilik.” Barulah lapisan di bawah priyayi
cilik diisi mayoritas rakyat kecil yang disebut “wong cilik” (Kartodirdjo, 1999: 83).
Wong cilik merupakan massa terbesar yang tidak memiliki kesempatan, baik
dalam pendidikan maupun dalam politik. Pada masa kolonial terdapat empat kategori
sekolah, yaitu: sekolah Eropa dengan model sekolah di negeri Belanda, sekolah bagi
pribumi dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah pribumi dengan

45
pengantar bahasa daerah, dan sekolah dengan sistem pribumi. Kategori sekolah yang
demikian ketat menyebabkan terbatasnya kesempatan penduduk pribumi, khususnya
wong cilik. Untuk dapat diterima masuk ke sekolah dengan sistem Belanda, harus
dipenuhi syarat berikut: orang tua adalah elit yang memiliki kedudukan tinggi dalam
birokrasi kolonial. Untuk memasuki sekolah dengan pengantar bahasa Belanda pun, calon
murid harus berasal dari keluarga dengan status pegawai negeri tertentu dan dengan gaji
tertentu pula.
Terbatasnya kesempatan untuk memasuki sekolah berstandar Eropa dan sekolah
dengan pengantar bahasa Belanda menyebabkan terbatas pula kesempatan kaum
terpelajar pribumi mendapat pekerjaan di birokrasi pemerintahan kolonial. Lulusan
sekolah-sekolah tersebut yang berhasil memperoleh kedudukan dalam birokrasi, memiliki
status terhormat di masyarakat dan mereka hidup dengan gaya hidup priyayi. Sementara
itu, mereka yang tidak memilih bekerja di birokrasi di kemudian hari banyak yang
menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional.
Di bidang politik, pemerintah kolonial sangat otokratis dan menerapkan
sentralisasi dengan birokrasi yang amat ketat. Pejabat-pejabat Belanda ditempatkan di
tingkat keresidenan hingga distrik. Mereka menjabat sebagai penasihat merangkap
pengawas pejabat-pejabat pribumi.
Baru pada tahun 1903, yakni setelah diberlakukannya Undang-undang
desentralisasi dan otonomi penduduk, lembaga politik berupa Badan Perwakilan
didirikan. Dalam pelaksanaannya, UU desentralisasi hanya mewujudkan demokratisasi
dalam arti minimal, karena dewan daerah tidak mampu mencapai seluruh rakyat.
Anggota-anggotanya hanya terdiri dari orang Belanda dan elit pribumi yang terpilih
karena mekanisme penunjukan dan pemilihan tidak langsung. Pendek kata, desentralisasi
tidak mampu mendorong partisipasi politik rakyat dan bahkan organisasi atau pertemuan
politik dilarang oleh pemerintah (Kartodirdjo, 1999: 43—44).
Pada tahun 1916 pemerintah kolonial memberi angin segar dengan membentuk
volksraad atau dewan rakyat. Akan tetapi, keberadaannya tidak dapat disamakan dengan
parlemen. Volksraad hanya berfungsi sebagai penasihat yang tidak memiliki kekuasaan
untuk merancang anggaran dan membuat undang-undang. Hal tersebut terjadi karena

46
parlemen di Belandalah yang sesungguhnya memegang kekuasaan legislatif di Hindia
Belanda.
Perubahan besar terjadi pada tahun 1925, yaitu terbitnya UU Tata Pemerintahan
Belanda. Volksraad diubah menjadi badan ko-legislatif dengan kekuasaan untuk
mengajukan petisi mengubah UU serta mengundangkannya. Akan tetapi, sejauh itu,
volksraad masih juga belum mampu mendorong demokratisasi. Sebagai contoh,
komposisi keanggotaan masih didominasi orang Belanda, sistem pemilihan dilakukan
secara tidak langsung, hak pilih rakyat dibatasi dengan syarat bahwa hanya mereka yang
berpenghasilan sedikitnya f300 (tiga ratus gulden)/tahunlah yang boleh memilih, padahal
massa rakyat hanya berpenghasilan rata-rata f40—f50/tahun.
Kebijakan pendidikan dan politik tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan
kolonial tidak berkehendak membangun kesetaraan dan otonomi politik bagi penduduk
Indonesia. Bangsa Indonesia—khususnya masyarakat Jawa—semakin terpilah-pilah, baik
karena diskriminasi rasial maupun karena sistem masyarakat yang feodalistis. Pemerintah
Belanda memang telah mengatur status penduduk Indonesia dalam Nederlandsch
Onderdaan. Akan tetapi, status penduduk belum menunjukkan status kewarganegaraan
yang sesungguhnya. Di tanah jajahan, tetap dibedakan status warga negara Belanda dan
status penduduk pribumi. Menurut perundang-undangan yang berlaku (tahun 1854, 1892,
1910), di Hindia Belanda terdapat tiga kategori kewargaan, yakni Belanda, pribumi
(dengan status sebagai bawahan Belanda), dan bangsa Timur Asing (Kartodirdjo, 1999:
48, 192).

b. Status Rakyat Indonesia Pascakemerdekaan


Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tertulis, “. . . pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia. . .” Siapa saja yang tercakup
dalam pengertian bangsa Indonesia di sini? UUD 1945 dirumuskan oleh tokoh-tokoh
pergerakan nasional dengan latar belakang yang beragam. Mereka mempunyai latar
belakang agama yang berbeda, demikian pula suku dan ras serta daerah asal. Ada yang
berasal dari Jawa, Sumatera, Ambon, Sulawesi, Arab, Tionghoa, dan lain-lain. Perumus
UUD juga bukan hanya laki-laki, melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan perempuan.
Kesemuanya mewakili berbagai golongan dan aliran politik. Sejak awal, keberagaman

47
masyarakat telah menjiwai perumusan UUD 1945, dan keberagaman tersebut dapat
disatukan karena kepedulian yang luar biasa dari para tokoh akan kepentingan rakyat.
Sumbangan pemikiran mereka antara lain adalah rumusan tentang bangsa Indonesia.
Yang ditetapkan sebagai bangsa Indonesia adalah bangsa Indonesia asli atau bangsa lain
yang disahkan dengan UU sebagai warga negara.2 Ketentuan terakhir ini menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia menerima keturunan Arab, Tionghoa, atau bangsa lain—yang
telah lama menetap di Indonesia—sebagai warga negara Indonesia.
Satu hal yang patut ditekankan di sini adalah bahwa menurut UUD 1945 warga
negara memiliki status legal yang sama, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat
di dalamnya. Sebagai tambahan, dalam UUD 1945, Pasal 26, tertera pula kata-kata
penduduk selain warganegara. Yang dimaksud dengan penduduk adalah WNI dan orang
asing yang tinggal di Indonesia. Orang asing tentu tidak dapat menikmati hak dan
melaksanakan kewajiban yang sama dengan WNI. Kata penduduk disebutkan karena
terkait dengan kedaulatan negara-negara lain.

c. Menjadi Warga Negara Indonesia


Secara prosedural, kewarganegaraan Indonesia diatur dalam undang-undang
tentang kewarganegaraan. Sejak kemerdekaan ada beberapa UU tentang
kewarganegaraan yang telah dikeluarkan, yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 1946, UU RI
Nomor 62 Tahun 1958, UU RI Nomor 4 Tahun 1969, UU RI Nomor 3 Tahun 1976, dan
UU RI Nomor 12 Tahun 2006. Selain UU juga terdapat peraturan-peraturan lain berupa
Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan
Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri. Perubahan-perubahan UU
tersebut mencerminkan adanya dinamika dalam masyarakat maupun interaksi penduduk
antarbangsa yang begitu cepat. Pelarian orang-orang yang mencari suaka politik,
perkawinan antarbangsa, masalah kriminal oleh pelaku kejahatan lintas negara, dsb.
merupakan beberapa fenomena yang dapat menggambarkan semakin peliknya masalah
kewarganegaraan sehingga hampir setiap negara harus mampu mendefinisikan kembali
siapa yang dimaksud dengan warga negaranya.

2
Lihat UUD 1945, Pasal 26.

48
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan empat asas yang digunakan untuk
menentukan kewarganegaraan yakni ius sanguinis, ius solii, kewarganegaraan tunggal,
dan kewarganegaraan ganda. Asas ius sanguinis merupakan asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan. Asas ius soli merupakan asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran
(diberlakukan terbatas bagi anak-anak dan diatur dalam UU). Asas kewarganegaraan
tunggal merupakan asas yang menetapkan satu kewaraganegaraan bagi setiap orang. Asas
kewarganegaraan ganda merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi
anak-anak yang diatur dalam UU.3 Indonesia tidak mengakui penduduk dengan
kewarganegaraan ganda (bipatride), kecuali anak-anak dan penduduk tanpa
kewarganegaraan.
Kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh atas dasar: 1) kelahiran, 2)
pemberian status, 3) pengangkatan, 4) permohonan, 5) naturalisasi, 6) perkawinan, dan 7)
kehormatan. Dengan dasar kelahiran, seseorang secara otomatis menjadi WNI karena
ayah dan ibunya adalah WNI. Ketentuan ini merupakan implementasi dari asas keturunan
(ius sanguinis): anak tetap WNI, walau dia dilahirkan di luar negeri. Tujuannya adalah
untuk mencegah apatride.
Untuk menghindari kasus tanpa kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda,
negara dapat memberikan status warga negara bagi anak yang dilahirkan di luar negeri
dengan salah satu orang tua (ayah atau ibu) adalah WNI, sedangkan yang satu lagi bukan
WNI. Atas dasar pengangkatan, seorang anak WNA—yang berumur 5 tahun (atau
kurang)—yang diangkat anak oleh WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Atas dasar permohonan, kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada anak berusia
18 tahun, yang ayah dan ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda, WNI dan
asing (WNA). Pada awalnya ia menjadi WNA, namun kemudian ingin menjadi WNI
untuk mengikuti ayah atau ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia. Pemerintah dapat
mengabulkan permohonannya setelah ia meninggalkan kewarganegaraan sebelumnya,
agar tidak terjadi kewarganegaan ganda. Kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan
kepada orang asing yang sungguh-sungguh ingin menjadi WNI melalui naturalisasi.

3
Lihat Penjelasan UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dalam UU
Nomor 12 Tahun 2006(Jakarta: Visimedia)hlm. 27-28.

49
Dengan perkawinan, demi kesatuan kewarganegaraan dalam keluarga, pihak suami atau
istri yang berstatus WNA dapat mengikuti pasangannya yang berstatus WNI dengan
syarat bahwa ia harus melepaskan kewarganegaraan sebelumnya terlebih dahulu.
Negara dapat memberikan kewarganegaraan kehormatan kepada orang-orang asing
tertentu yang telah berjasa kepada negara, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan yang
bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan
kehormatan itu dilakukan oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR.

d. Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia


Bila seseorang telah menjadi WNI, negara akan mengakuinya untuk seumur
hidupnya, sekalipun ia bertempat tinggal di luar negeri. Akan tetapi, WNI dapat
kehilangan kewarganegaraannya karena hal-hal berikut ini:4a) atas kemauan sendiri
menjadi WNA; b) melanggar asas kewarganegaraan tunggal (ketentuan ini berlaku bagi
WNI yang memiliki kewarganegaraan asing dan tidak mau melepaskan status WNA-
nya); c) masuk dinas tentara asing tanpa seizin Presiden; d) tinggal di luar wilayah negara
Indonesia, tidak dalam rangka dinas negara selama 5 tahun berturut-turut dan, sebelum
jangka 5 tahun berakhir, dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk
mempertahankan kewarganegaraannya, serta setiap 5 tahun berikutnya yang
bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi WNI; dan e) perkawinan
dengan WNA (kententuan ini berlaku bagi, WNI, perempuan atau laki-laki yang menikah
dengan pasangan dari negara yang memiliki peraturan bahwa orang asing yang menikah
dengan warga negaranya harus menjadi warga negaranya pula). Oleh negara,
kewarganegaraan seseorang dapat dinyatakan hilang karena pada prinsipnya negara tidak
menginginkan warga negaranya memiliki loyalitas ganda, terhadap Indonesia dan
terhadap negara lain. WNI yang telah kehilangan kewarganegaraannya secara otomatis
membebaskan dirinya dari hak dan kewajiban sebagai WNI.
WNI yang telah kehilangan kewarganegaraanya karena mengikuti orang lain
(status suami/istri yang WNA) pada prinsipnya dapat diberi kesempatan untuk kembali
menjadi WNI, dengan syarat bahwa ia tidak lagi mengikuti status suami/istrinya.

4
Lihat UU Nomor 12 Tahun 2000, Bab IV, tentang Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia,
Pasal 23, 26, dan 28.

50
Demikian pula dengan anak-anak yang sebelumnya mengikuti status ayah/ibu yang
berkewarganegaraan asing.5

3. Prinsip-Prinsip dalam Hubungan Timbal-Balik: Negara dan Warga Negara


Hubungan antara negara dan warga negara merupakan hubungan timbal-balik yang
melibatkan unsur hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hubungan itu secara
mendasar terbangun dari tujuan awal terbentuknya negara Indonesia, sebagaimana
tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945: 1) melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2) memajukan kesejahteraan umum, 3)
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan tersebut, UUD telah menetapkan prinsip-prinsip dasar6 yang
menjadi pedoman berbangsa dan bernegara bagi pemerintahan maupun rakyat. Prinsip-
prinsip itu meliputi sila-sila Pancasila, prinsip negara kesatuan yang berbentuk republik,
prinsip kedaulatan rakyat, dan prinsip negara hukum.7
Prinsip negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan bentuk negara di mana
wewenang legislatif dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan
terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat
memiliki wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah
berdasarkan hak otonomi (sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir, kekuasaan
tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat.
Dalam negara kesatuan, kedaulatan tak terbagi karena pemerintah pusat memegang
kedaulatan ke luar maupun ke dalam. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan
legislatif lain selain badan legislatif pusat. Jika pemerintah daerah mengeluarkan
peraturan bagi daerahnya, hal itu tidak berarti bahwa daerah itu berdaulat sebab
pengawasan kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian, bagi

5
Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, bab V, tentang Syarat dan Tata Cara
Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 31 dan 37.
6
Lihat sila-sila Pancasila dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
7
Lihat UUD 1945 (sebelum dan sesudah amandemen), Pasal 1, tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara.

51
warga negara di dalam negara yang berbentuk kesatuan, hanya ada satu pemerintahan
saja (Strong, sebagaimana dikutip Budiardjo, 2008: 269—270).
Pertimbangan para pendiri bangsa atas bentuk negara kesatuan adalah agar di
bawah pemerintah pusat tidak ada negara lagi, seperti di negara federal atau konfederasi.
Hakikat dari pertimbangan tersebut adalah upaya untuk menghindari terjadinya
perpecahan bangsa dan negara; atau, dengan kata lain, untuk mencegah timbulnya
provinsialisme yang memberi peluang kepada gerakan separatisme. Namun ketetapan
atas bentuk negara kesatuan juga diiringi oleh satu ketentuan pula, yakni bahwa
pemerintah pusat tetap memperhatikan kepentingan daerah.
Prinsip Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan merupakan hak atau kekuasaan tertinggi
untuk memerintah. Kedaulatan rakyat berarti rakyat memiliki hak atau kekuasaan
tertinggi untuk memerintah diri mereka sendiri. Bangsa Indonesia memiliki sejarah
panjang dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam sidang-sidang BPUPKI
dikemukakan pertimbangan bahwa kedaulatan rakyat merupakan bentuk kedaulatan yang
dianggap dapat mencegah terjadinya negara kekuasaan yang absolut atau negara
penindas. Agar negara tidak menjadi negara penindas, para perumus UUD 1945,
khususnya Bung Hatta, menekankan pentingnya jaminan pada rakyat dalam bentuk
kemerdekaan untuk berpikir. Usulan para perumus kemudian tertuang dalam Pasal 28
UUD 1945 (sebelum amandemen). Hasil rumusan BPUPKI kemudian tertuang dalam
UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dalam MPR dicerminkan dalam
komposisi keanggotaan yang terdiri dari wakil-wakil golongan (seperti serikat pekerja,
golongan tani, dsb.) dan wakil-wakil daerah. Kekuasaan MPR adalah menetapkan UUD
dan GBHN, serta mengangkat Presiden dan wakil Presiden. Dalam UUD 1945 (sebelum
amandemen), MPR memegang kekuasaan tertinggi dan Presiden adalah penyelenggara
pemerintahan negara.
MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat mengalami ujian berat khususnya pada
masa Orde Baru. Dalam negara telah terjadi penyelewengan kekuasaan yang diawali oleh
dominasi mutlak dalam kehidupan politik, yang telah menyulut Gerakan Reformasi dan
berakhir dengan pengunduran diri Presiden Soeharto (Budiardjo, 2008: 313). Setelah itu,
terjadi perubahan politik yang signifikan yaitu berlangsungnya demokratisasi untuk

52
mewujudkan kedaulatan rakyat. Perubahan diawali dengan melakukan empat kali
amandemen terhadap UUD 1945;dua di antaranya ialah masa jabatan Presiden dibatasi
dan warga negara berhak memilih pasangan Presiden dan wakil Presiden secara langsung.
Pemilihan langsung juga dilakukan terhadap anggota DPR dan kepala daerah. Selain itu,
juga diberlakukan desentralisasi—yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat pada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah. Pemerintah
daerah juga mengalami demokratisasi dengan dihilangkannya kedudukan kepala daerah
sebagai penguasa tunggal dan DPRD menjadi lembaga legislatif daerah.
Dalam UUD 1945 (sesudah amandemen), perubahan terbesar menyangkut MPR
adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan
pelaksana kedaulatan rakyat. Keanggotaan MPR kini mencakup unsur DPR dan DPD.
MPR kini berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang setara dengan DPR,
DPD, BPK, MA dan MK, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan
GBHN, mengeluarkan Ketetapan (TAP) MPR (kecuali untuk menetapkan Wakil Presiden
menjadi Presiden bila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat
melakukan kewajibannya) (Budiardjo, 2008: 350). Lantas siapa pemegang kedaulatan
rakyat saat ini?
UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal yang menjamin
kedaulatan rakyat dapat terwujud (lihat perubahan pasal tentang masa jabatan Presiden,
penetapan pemilihan Presiden secara langsung dan desentralisasi). Namun, yang paling
mendasar dalam amandemen UUD adalah kedaulatan tersebut diwujudkan melalui
pemilu, yaitu dengan memilih wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD serta memilih Presiden
dan kepala daerah secara langsung. Jika pejabat-pejabat terpilih tersebut gagal
mengemban amanat rakyat, UUD memberi hak kepada rakyat (melalui MPR dan atas
usul DPR) untuk memberhentikan Presiden8 serta hak untuk tidak memilih kembali
anggota-anggota DPR/DPRD yang tidak dapat melayani rakyat.
Prinsip Negara Republik. Ide republik secara teoretis mendukung kedaulatan
rakyat. Prinsip ini mengisyaratkan adanya kebebasan—bukan dalam arti liberal, yaitu
kebebasan dari intervensi pihak (negara) lain, tetapi dalam arti independensi, yaitu
kebebasan dari dominasi pihak lain. Kebebasan rakyat dalam negara republik selalu

8
Lihat UUD 1945 sesudah amandemen, pasal 7A.

53
disertai oleh tanggung jawab rakyat untuk mempertahankan independensi negara. Bentuk
tanggung jawab ini merupakan aktivitas politik atau partisipasi warga negara untuk
membentuk diri sekaligus membangun negara (Poole, 1999: 83). Jadi, dengan adanya
prinsip independensi, maka dalam negara yang berbentuk republik diharapkan tidak ada
lagi dominasi dari negara lain dan di tingkat warga negara tidak ada lagi perbudakan atau
ketergantungan kepada orang lain.
Bentuk negara republik merupakan ketetapan yang dipilih oleh semua tokoh bangsa
yang merumuskan UUD. Keputusan tersebut dilandasi oleh pengalaman bangsa yang
pernah hidup dalam bentuk kerajaan yang despotis dan feodalis serta pemerintahan
kolonial Belanda yang menindas. Republik merupakan bentuk yang dapat mencerminkan
kedaulatan rakyat ketimbang bentuk negara lainnya seperti monarki yang melanggengkan
dinasti (kekuasaan turun-temurun). Dalam negara republik, negara akan merumuskan
kesejahteraan dan kemerdekaan rakyat dalam berpendapat, berkumpul, dsb.
Prinsip Negara Hukum. Prinsip ini menuntut pemerintahan agar berjalan dengan
tuntunan hukum dan bukan dengan kekuasaan. Hukum, khususnya UUD, merupakan
sumber norma yang mengatur pemerintahan maupun rakyat. Dalam UUD terkandung
cita-cita bangsa, sistem pemerintahan dan kerangka kerja bagi pemerintah. UUD berisi
otoritas tertinggi yang daripadanya seluruh kekuasaan cabang-cabang pemerintahan dan
pejabat-pejabat terpilih berasal dan diatur. Begitu pentingnya UUD sehingga setiap
Presiden yang dilantik harus mengucapkan sumpah untuk memegang teguh UUD dan
menjalankan segala UU dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya.9
Dalam UUD terkandung pula prinsip-prinsip dasar yang mengikat negara dan
warga negara yaitu Pancasila, negara kesatuan dengan bentuk republik, kedaulatan rakyat
dan negara hukum.10Prinsip-prinsip dasar tersebut selanjutnya tercermin dalam pasal-
pasal menyangkut hak dan kewajiban warga negara—yang tidak dapat terpenuhi tanpa
kehadiran institusi politik/negara; sebaliknya, kemerdekaan suatu negara tidak dapat
dipertahankan tanpa kesadaran nasional (nasionalisme) warga negara. Hubungan inilah
yang melahirkan kewajiban bagi tiap warga negara untuk memelihara dan
mempertahankan negara. Sementara itu, untuk mendapatkan hak itu negara harus
9
Lihat Lafal Sumpah Presiden selengkapnya dalam UUD 1945 sesudah amandemen, Pasal 9.
10
Di sini tidak hanya dalam konteks warga negara sebagai individu yang memiliki otonomi politik tetapi
juga sebagai manusia yang memiliki otonomi pribadi.

54
menjalankan kewajibannya, yaitu memberikan kondisi bagi terpenuhinya hak-hak warga
negara. Kewajiban negara, dalam UUD 1945, telah termaktub dalam tujuan negara
sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 (sebelum dan sesudah
amandemen).

4. Hak dan Kewajiban Warga Negara


Secara umum, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang
satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Klaim atau tuntutan tersebut adalah
klaim yang sah atau dapat dibenarkan, karena orang yang mempunyai hak bisa menuntut
bahwa orang lain akan memenuhi atau menghormati hak itu (Bertens, 2000: 178—179).
Ada beberapa jenis hak yang kita kenal, yaitu a) hak legal dan moral, b) hak khusus dan
umum, c) hak positif dan hak negatif, d) hak individual dan sosial (Bertens, 2000: 179—
187).
Hak legal adalah hak yang berdasarkan hukum, berasal dari undang-undang,
peraturan hukum, atau dokumen legal lainnya. Umpamanya, ketika pemerintah
mengeluarkan peraturan tentang kenaikan gaji pegawai negeri, maka setiap pegawai
negeri berhak mendapat tunjangan itu. Hak moral adalah hak yang berfungsi dalam
sistem moral. Contohnya ialah sepasang suami istri yang berjanji untuk saling setia, atau
seseorang peminjam uang berjanji untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya dari
orang lain. Hak moral belum tentu merupakan hak legal, tetapi banyak hak moral yang
sekaligus juga merupakan hak legal. Misalnya, janji antarteman, yang dilakukan secara
pribadi, hanya terbatas pada hak moral saja. Sedangkan hak legal belum tentu
menampilkan nilai etis sehingga harus dikritik dengan norma moral. Sebagai contoh,
negara-negara kolonial di masa silam sering mengetengahkan hak-hak legal mereka
untuk menguasai wilayah jajahan, namun tentu dipertanyakan nilai etis dari penjajahan
itu sendiri.
Hak khusus timbul karena relasi khusus antara beberapa orang atau karena fungsi
khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain, misalnya hak orang tua untuk
dihormati anak-anaknya, hak untuk menggunakan gelar doktor setelah menyelesaikan
persyaratan untuk mendapat gelar tersebut, dsb. Hak umum diperoleh seseorang bukan

55
karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak ini
sering disebut hak asasi manusia.
Dengan hak negatif, seseorang bebas melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu;
dengan kata lain, siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang melakukan atau memiliki
sesuatu. Contohnya ialah hak atas kehidupan, kesehatan, keamanan, kepemilikan, hak
beragama, berkumpul, mengemukakan pendapat, dan mengikuti hati nurani. Konkretnya
ialah bahwa, antara lain, negara atau siapa pun tidak boleh menghalangi seseorang
menulis pendapatnya di surat kabar. Hak positif adalah hak seseorang yang membolehkan
orang lain berbuat sesuatu untuknya. Sebagai contoh, semua orang yang terancam bahaya
berhak bahwa orang lain membantu menyelamatkannya. Contoh lainnya adalah hak atas
makanan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak.
Hak individual dan hak sosial sering disebut dalam Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hak individual ialah hak yang dimiliki individu terhadap
negara; negara tidak dapat menghalangi individu mewujudkan hak ini. Contohnya ialah
hak mengikuti hati nurani, hak beragama, hak berserikat, dan hak mengemukakan
pendapat. Hak individual termasuk hak-hak negatif. Sementara yang dimaksud dengan
hak sosial adalah hak yang dimiliki seseorang sebagai anggota masyarakat seperti hak
atas pekerjaan yang layak dan hak atas pendidikan. Hak ini bersifat positif.
Apakah hak selalu memiliki hubungan timbal-balik dengan kewajiban? Kewajiban
memang sering kali memiliki hubungan timbal-balik dengan hak, namun hubungan itu
tidak bisa dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian.Dalam konteks kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, kita lihat bahwa pemenuhan hak-hak negatif atau hak-hak
individual hampir selalu sesuai dengan kewajiban seseorang untuk menghormati orang
lain yang sedang menikmati hak-haknya. Pemenuhan hak-hak sosial memang agak rumit.
Sebagai contoh, setiap orang memiliki hak atas pendidikan. Akan tetapi itu tidak berarti
bahwa saya sebagai guru memberi pengajaran kepada orang-orang tertentu. Hak sosial
semacam ini sesuai dengan kewajiban masyarakat, atau negara, untuk mengatur
kehidupan sedemikian rupa sehingga setiap warga negara memperoleh apa yang menjadi
haknya. Hak-hak sosial ekuivalen dengan keadilan sosial.

56
a. Hak Asasi Manusia
Pembahasan tentang hak dan kewajiban tidak akan lengkap bila hak asasi manusia
tidak dimasukkan. Pengetahuan tentang sejarah penegakan HAM dapat membantu
memahami arti penting HAM dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sejarah penegakan HAM merupakan sejarah perjuangan manusia untuk
menjadi manusia dan untuk melepaskan diri dari penyiksaan, penindasan, perbudakan,
genosida, dsb. Dari perspektif sejarah, kesadaran atas HAM dalam diri manusia dan pada
bangsa-bangsa dapat dikelompokkan ke dalam tiga generasi (Budiardjo, 2008: 212).
Generasi pertama lahir di negara-negara Barat, yaitu generasi yang melahirkan kesadaran
akan hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua merupakan generasi dengan kesadaran
akan hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang diperjuangkan oleh negara-negara sosialis
pada masa Perang Dingin (tahun 1945—1970-an). Pemikiran tentang HAM pada
generasi kedua ini didukung oleh banyak pemikir Barat serta negara-negara yang baru
merdeka di Asia-Afrika. Generasi ketiga ialah generasi yang memiliki kesadaran untuk
memperjuangkan hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan di negara-negara
Dunia Ketiga.
Perjuangan HAM dari generasi pertama yang lahir di Eropa Barat ditandai oleh
penandatanganan Magna Charta di Inggris pada tahun 1215. Ketika itu, Raja John
“dipaksa” untuk mengakui hak kelompok aristokrat yaitu hak untuk diperiksa di muka
hakim (habeas corpus). Hak ini sendiri dituntut sebagai imbalan atas dukungan kaum
aristokrat dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang.
Perumusan HAM semakin berkembang seiring dengan munculnya pemikiran-
pemikiran tentang hak alamiah manusia yang digaungkan untuk menentang pemikiran
bahwa hak memerintah berasal dari wahyu ilahi yang pada waktu itu dianut oleh raja-
raja. Hak alamiah, sebagaimana dikemukakan oleh John Locke (1632—1704) dan
pemikir lain seperti Jean Jacque Rousseau, meliputi hak atas hidup, hak akan kebebasan,
dan hak untuk memiliki harta benda. Di samping itu juga muncul pemikiran bahwa
penguasa yang memerintah harus mendapat persetujuan rakyat. Hasil pemikiran dan
perjuangan HAM terbesar pada XVII dan XVIII itu adalah hancurnya monarki absolut
yang memberi kewenangan kepada raja untuk bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyatnya. Namun demikian, pada masa itu hanya kelompok aristokrat dan kelas

57
menengah saja yang dapat menikmati HAM, sementara rakyat biasa tetap dipandang
sebagai abdi yang harus menerima perintah dari penguasa. Hak asasi yang berhasil
mereka perjuangkan itu masih terbatas pada hak politik seperti hak atas kebebasan dan
kesetaraan serta hak untuk menyatakan pendapat. Hak-hak tersebut dituangkan dalam Bill
of Rights di Inggris pada tahun 1689 dan satu abad kemudian dalam Billof Rights di AS
(1783) dan Declaration des droits de l’homme et du citoyen di Prancis (1789).
Menginjak awal abad XX, terjadi banyak peristiwa penting di dunia yang
mempengaruhi generasi kedua perjuangan HAM, yaitu 1) Depresi Besar yang bermula di
AS dan kemudian menjalar ke penjuru dunia pada tahun 1929—1934; 2) tampilnya Hitler
sebagai pemimpin Jerman yang menyebabkan pembunuhan jutaan orang Yahudi di kamp
konsentrasi; 3) meletusnya dua Perang Dunia; dan 4) tampilnya blok negara sosialis dan
komunis. Peristiwa-peristiwa tersebut menyebabkan penderitaan yang luar biasa pada
jutaan manusia: mati karena kelaparan, peperangan, dan genosida.
Rumusan HAM warisan liberalisme yang menekankan hak-hak alamiah ternyata
tidak memadai sehingga perlu semakin dipertajam dan bahkan direinterpretasikan. Hak-
hak yang semula disebut hak alamiah diubah menjadi HAM (human rights) yang
menekankan kebebasan individu yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dan hak
untuk mendirikan, dan bergabung dalam organisasi. Perubahan paling signifikan
dibandingkan dengan keadaan pada abad XVII dan XVIII adalah bahwa hak-hak politik
diberikan kepada seluruh rakyat dengan tujuan untuk melindungi setiap individu dari
penyalahgunaan kekuasaan pemerintah. Tokoh-tokoh yang memperjuangkan hak-hak
tersebut antara lain ialah Presiden F.D. Roosevelt dari AS yang merumuskan empat
kebebasan, yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama,
kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari kemiskinan.
Kemajuan HAM pada generasi kedua juga ditandai oleh kesadaran untuk
merumuskan HAM yang diakui di seluruh dunia sebagai standar universal bagi tingkah
laku manusia (Budiardjo, 2008: 218). PBB telah merintis upaya ini dengan
mencanangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948 dan
kemudian diperkuat dengan dua kovenan internasional tentang hak politik dan sipil dan
hak ekonomi, sosial, dan budaya.

58
Yang menarik dari generasi kedua ini adalah upaya-upaya negara-negara blok
sosialis dan negara-negara yang baru merdeka (negara-negara “Dunia Ketiga”) untuk
mengembangkan hak-hak sosial dan ekonomi yang meliputi hak atas pekerjaan, hak atas
penghidupan yang layak, dan hak atas pendidikan. Mencuatnya tuntutan akan hak-hak
tersebut antara lain adalah sebagai reaksi terhadap rumusan HAM negara-negara Barat
yang lebih menonjolkan kebebasan individu dan hak politik ketimbang hak-hak sosial
dan ekonomi yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu, berbeda
dengan pelaksanaan hak politik dalam pemikiran liberal yang membatasi peran
pemerintah, maka pelaksanaan hak-hak sosial dan ekonomi justru mendorong pemerintah
untuk terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Generasi ketiga dimotori oleh Dunia Ketiga (negara-negara berkembang yang
tersebar di Asia-Afrika dan baru merdeka setelah PD II) sehingga hak-hak yang diajukan
pun mencerminkan kepentingan masyarakat di wilayah itu. Upaya mereka mulai
menonjol pada tahun 1980-an, dengan tekanan pada hak atas perdamaian dan hak atas
pembangunan. Selain itu, konsep kekhasan nasional, wilayah, latar belakang budaya dan
agama juga diterima sebagai bahan pertimbangan. Penerimaan terhadap upaya negara-
negara Dunia Ketiga ini dinyatakan dalam Deklarasi Wina (Juni 1993). Isi deklarasi itu
merupakan kompromi antara negara-negara Barat dan negara-negara Dunia Ketiga.
Sumbangan Indonesia dalam forum itu adalah penekanan pada perlunya hak asasi
ditingkatkan dalam konteks kerja sama internasional atas dasar penghormatan terhadap
kesetaraan negara-negara yang berdaulat dan terhadap identitas nasional masing-masing
(Budiardjo, 2008: 244—245).

b. HAM dalam UUD 1945


Pembicaraan tentang hak dan kewajiban WNI tentu harus melibatkan UUD sebagai
sumber atau landasan otoritas bagi rakyat untuk menikmati hak dan memenuhi
kewajibannya sebagai warga negara. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan,
khususnya menyangkut pasal-pasal berisi HAM, dalam UUD 1945 sebelum amandemen
dan yang sesudah amandemen. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, pasal tentang
HAM tidak dicantumkan secara khusus sehingga timbul pertanyaan, apa yang
melatarbelakangi para perumus UUD 1945 sehingga mereka tidak memasukkan pasal-

59
pasal tersebut? Perdebatan di antara para tokoh bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI
bermuara pada rumusan hak-hak warga negara. Secara historis, sebagian besar pemikiran
para tokoh itu dilatarbelakangi oleh antikolonialisme dan antiliberalisme. Mereka pun
telah melihat bahwa rumusan HAM dari negara-negara Barat sendiri sangat bercorak
liberal dan individualistis, dan gagal menghapuskan kemiskinan di negara-negara Barat
yang saat itu diguncang depresi. Di samping itu, alam liberalisme juga ditandai oleh
semakin tajamnya konflik buruh–majikan dan juga timbulnya persaingan antarnegara.
Dampak persaingan antarnegara inilah yang kemudian melahirkan kolonialisme dan
imperalisme.
Melihat dampak-dampak tersebut, para tokoh tersebut menjadi yakin bahwa untuk
mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur, maka nilai keadilan sosial,
kekeluargaan, dan gotong-royong merupakan nilai yang tepat untuk menjiwai
pembentukan pasal-pasal mengenai hak warga negara. Nilai keadilan sosial, khususnya,
juga diyakini dapat membawa perdamaian dunia bila diterapkan oleh bangsa-bangsa lain.
Dengan latar belakang sejarah tersebut, para tokoh bangsa yang merumuskan hak-hak
warga negara sependapat bahwa HAM tidak perlu dimasukkan secara khusus. Namun,
mereka tetap berpegang pada prinsip kedaulatan rakyat, sehingga rakyat tetap diberi hak
untuk mengeluarkan pendapat dan bersidang, serta hak kesetaraan di hadapan hukum
dan dalam pemerintahan. Kemerdekaan atau hak tersebut harus diberikan untuk
mencegah terjadinya negara kekuasaan. Selain prinsip kedaulatan rakyat, sila-sila
Pancasila juga sangat mewarnai perumusan hak-hak warga negara seperti terlihat dari sila
keadilan sosial dalam perumusan hak pendidikan, pemeliharaan fakir miskin dan anak
terlantar oleh negara, dan dari sila pertama yang menjiwai pasal tentang kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya.11
Pasal-pasal tentang hak warga negara tetap tak berubah hingga terjadinya
amandemen UUD 1945. Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia menempuh jalan
gelap pada masa Orde Baru. Sejumlah peristiwa atau kasus yang terjadi, seperti Daerah
Operasi Militer (DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus

11
Lihat UUD 1945 (sebelum amandemen) Pasal 27, 29, 31 dan 34. Lihat juga perdebatan para tokoh
bangsa Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992: 206—209, 222—223.

60
Marsinah, kasus Semanggi I dan II, kasus Trisakti, dan kerusuhan di Ambon dan
Posotelah menimbulkan jatuhnya banyak korban. Hal ini menyadarkan anggota
masyarakat untuk berjuang menegakkan HAM di Indonesia. Tuntutan mereka bergaung
dalam Gerakan Reformasi pada tahun 1998. Akhirnya, di bawah pemerintahan Megawati
ditetapkankanlah TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang kemudian menjadi
UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di dalamnya juga ditetapkan hak perempuan dan anak.
Secara formal, perjuangan penegakan HAM mencapai puncaknya dengan masuknya
pasal-pasal khusus mengenai HAM dalam UUD 1945 sesudah amandemen. HAM
melengkapi hak-hak sosial warga negara yang sangat ditekankan dalam UUD
1945sebelum amandemen. Secara umum, HAM dalam UUD meliputi hak untuk hidup,
hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk
perlindungan diri dan bebas dari penyiksaan, serta hak untuk memperoleh suaka politik
dari negara lain. Hak-hak sosial pun semakin dijamin dengan penegasan atas hak atau
jaminan sosial.12 Perubahan signifikan lainnya adalah pencantuman batasan-batasan
terhadap hak warga negara.

c. Hak Konstitusional Warga Negara


Para Bapak Bangsa Indonesia telah bekerja keras dalam menyusun UUD NRI
1945, agar UUD ini dapat melindungi seluruh warga negara. Oleh karena itu, kedudukan
UUD NRI 1945 adalah sebagai sumber hokum bagi Undang-Undang (UU) maupun
segala peraturan yang berada di bawahnya. Sebagai contoh di sini adalah:
UUPembebasan Tanah untuk KepentinganUmum, UU Rahasia Negara, UU
ketenagalistrikan, UU Guru danDosen, UU Ketengakerjaan,dsb.
Dalam praktik kehidupan bernegara, UU (dapat berupa produk hukum yang
berasal dari DPR dan Presiden, semua UU (tidak terbatas sesudah Perubahan Pertama
UUD NRi 1945), dan Perppu) dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu.
Oleh karena itu, pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan atau berpotens idirugikan oleh berlakunya UU tersebut dapat mengajukan
permohonan pengujian UU terhadap UUD NRI 1945.

12
Selengkapnya, lihat pasal 28 A–J, UUD 1945 (sesudah amandemen).

61
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian UU (selanjutnya
disebut pemohon) adalah 1.Perorangan warganegara Indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan yang sama, 2. Kesatuan masyarakat hokum adat, sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam UU, 3.Badan Hukum Publik atau Badan Hukum
Privat, 4.Lembaga Negara (DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, Pemda, atau lembaga
negara lain yang kewenangannya diberikan UUD NRI 1945), 5.Lembaga-lembaga yang
peduli terhadap masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergiat dalam
perjuangan HAM, ketenagalistrikan, hak ekonomi masyarakat miskin, dll.
Dalam perkara pengujian UU, pihak yang terlibat selain pemohon (seperti
diuraikan di atas), juga melibatkan pihak terkait yaitu 1.pihak yang dirugikan dengan
adanya permohonan yang diajukan oleh Pemohon, 2. Pemberi keterangan, yaitu pihak
yang menyampaikan keterangan dan/atau risalah rapat dalam persidangan berdasarkan
permintaan dari MahkamahKonsitusi. Untuk mengajukan pengujian UU terhadap UUD
NRI 1945, pemohon dan/atau kuasanya harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Mahkamah Konstitusi, yangs elanjutnya akan memproses sesuai dengan
mekanisme pengajuan permohonan pemohon dalam perkara pengujian UU.

d. Implementasi Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari


Secara formal, hak dan kewajiban penduduk Indonesia telah ditetapkan dalam
UUD. Hak-hak itu meliputi hak umum, hak negatif dan positif, serta hak individual dan
sosial. Bagaimana implementasi hak dan kewajiban tersebut dalam kehidupan sehari-hari
secara praktis? Untuk melihat aspek praktis dari pasal-pasal tentang hak warga negara,
maka berikut ini hak-hak itu akan diuraikan dalam tiga kategori, yakni keamanan,
kesetaraan, dan kemerdekaan.

(1) Keamanan
Dalam Pembukaan UUD disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini
tentu akan diemban sebagai kewajiban tiap pemerintah untuk menjamin keamanan negara
dan keselamatan penduduk yang tinggal di wilayah Indonesia. Perlindungan dan jaminan

62
pemerintah atas keamanan ini diperlukan oleh setiap orang karena ancaman terhadap
penduduk bisa datang dari luar yaitu serangan bangsa lain, dan secara internal berupa
tindakan kriminal. UUD 1945 sesudah amandemen telah menetapkan pasal-pasal tentang
HAM. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang juga dijamin
keamanannya terhadap tindakan negara yang tidak adil, misalnya tindakan penangkapan
tanpa alasan yang mencukupi. Bila terjadi kekeliruan dalam penangkapan, penahanan,
atau penuntutan, maka seseorang dapat meminta ganti rugi. UU tentang prosedur ini
secara khusus diatur dalam KUHAP.13

(2) Kesetaraan
Seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, aliran politik,
profesi dan status sosial-ekonomi diperlakukan setara. Kesetaraan ini menempatkan
setiap warga negara mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil,
dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.14

(3) Kemerdekaan (indepedensi)


Kata kemerdekaan kita jumpai pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemerdekaan negara-bangsa merupakan
prasyarat bagi kemerdekaan tiap-tiap warga negara. Kemerdekaan di sini bermakna lebih
dari kebebasan dalam pengertian liberal, karena kemerdekaan menempatkan individu
sebagai “persona” atau pribadi yang bermartabat di dalam negara. Inilah hakikat individu
sebagai warga negara yang tidak hanya diposisikan di hadapan lembaga-lembaga hukum
dalam negara, melainkanjuga memiliki hak untuk mengajukan tuntutan terhadap negara.
Bersamaan dengan itu, pengakuan terhadap hak itu juga menuntut tanggung jawab untuk
memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara. Tanggung jawab untuk ini
sendiri bukanlah bentuk paksaan melainkan merupakan bentuk aktivitas bebas warga
negara, yang dilakukan dengan penuh kesadaran (Poole, 1999: 83).

13
UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 95.
14
Lihat Pasal 27 UUD 1945 (sesudah amandemen).

63
Bila ditinjau lebih jauh, aktivitas politik yang dilakukan tiap-tiap warga negara
sebenarnya juga merupakan sarana untuk memenuhi hak-haknya. Hal ini dijelaskan
berikut ini.
Hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi.15Dalam
kehidupan sehari-hari kita melihat pemerintah membuat kebijakan-kebijakn yang
berpengaruh luas seperti menaikkan harga dasar listrik (TDL), mencabut subsidi bahan
bakar minyak (BBM), meningkatkan pajak penjualan, jaminan sosial, dsb. Dalam
menghadapi keijakan-kebijakan tersebut, hak untuk mengeluarkan pendapat dan
mendapat informasi tentu harus dipergunakan untuk mengawal pemerintah agar bertindak
untuk kepentingan seluruh rakyat. Rakyat harus mengetahui apa yang dikerjakan
pemerintah, dapat menyuarakan pendapat mereka, dan bersikap kritis bila ternyata
dampak kebijakan tersebut tidak untuk kepentingan seluruh rakyat. Hak untuk
mendapatkan informasi juga berarti mengetahui hak-hak, dan menggunakannya bila
diperlukan. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari sering kali aparat negara
melakukan salah tangkap terhadap seseorang yang tidak bersalah. Jika warga negara
tersebut sadar akan hak-haknya maka ia pun dapat terhindar dari perlakuan yang tidak
adil tersebut. Kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan memperoleh informasi
juga terkait erat dengan kebebasan pers karena pemenuhan akan hak tersebut akan
mengacu kepada sarana-sarana untuk mengeluarkan pendapat dalam wujud tulisan,
seperti koran, majalah, buku, dsb., serta sumber-sumber informasi modern seperti radio,
televisi, dan internet.
Hak berserikat. Dengan kemerdekaan berserikat, rakyat dapat membentuk
organisasi-organisasi, mulai dari klub olah raga, asosiasi profesi, hingga partai politik.
Rakyat juga dijamin haknya untuk hadir dalam rapat umum, kampanye, dsb.
Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing.Dengan hak yang telah ditetapkan dalam pasal 29 ini16
pemerintah menjamin rakyat untuk menjalankan ajaran agama mereka. Sesuai dengan
prinsip kesetaraan, maka pemerintah tidak akan memperlakukan rakyat secara berbeda
karena agama yang dipeluknya.

15
Lihat Pasal 28 dan 28 F, UUD 1945 (sesudah amandemen).
16
Lihat Pasal 29, UUD 1945.

64
Hak untuk memilih dalam pemilu. Hak untuk memilih merupakan salah satu
hak yang penting sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab warga negara. Dalam
pemilihan umum, warga negara memilih orang-orang yang akan duduk dalam
pemerintahan dan suara pemilih merupakan mandat bagi pemerintah yang terpilih. Jadi,
kalau ternyata bahwa mereka yang terpilih tidak mampu menjalankan tugasnya dengan
baik maka warga negara berhak untuk tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya.
Pemenuhan hak ini secara bertanggung jawab akan memastikan pergantian
kepemimpinan secara tertib dan damai.
Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dalam kehidupan
bermasyarakat kita menjumpai persoalan-persoalan yang begitu kompleks dan tidak
dapat diatasi oleh pemerintah semata-mata. Masalah itu antara lain ialah kemiskinan,
pengangguran, dan kekerasan dalam rumah tangga. Penyelesaian masalah-masalah
tersebut mengundang partisipasi aktif warga negara, baik secara individu maupun melalui
organisasi semacam lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga bantuan hukum, atau
bentuk lembaga lain untuk membantu meringankan beban masyarakat. Dengan demikian
partisipasi dalam pemerintahan tidak hanya berupa hak untuk memilih atau dipilih untuk
menduduki jabatan-jabatan pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif dalam kehidupan
masyarakat.

e. Batasan-batasan terhadap Hak dan Kebebasan Warga Negara


Dengan pemenuhan hak-hak warga negara tidak dapat diartikan bahwa warga
negara dapat melaksanakan haknya tanpa batasan. Dalam kehidupan sehari-hari kita
mengenal bahwa kebebasan manusia memiliki batasan-batasan. Seiring dengan itu maka
Pasal 73 dan 74 UU Nomor 39 Tahun 1999, dan Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM telah
mengatur batasan-batasan tentang hak dan kebebasan warga negara. Hal itu dilakukan
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Hak atau kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat sangat penting dalam
negara yang menganut sistem demokrasi karena dengan itu warga negara dapat
memperoleh informasi, menyuarakan pendapat, berdiskusi, dsb. Demokrasi akan
berkembang bila warga negara dapat menggunakan hak berpendapat itu tanpa rasa takut.

65
Namun, warga negara tidak boleh menyalahgunakan hak untuk berpendapat dan
berbicara serta kebebasan pers dengan tujuan untuk mencemarkan nama baik orang lain,
menghasut, berbohong, atau membocorkan rahasia negara yang dapat membahayakan
negara. Pihak yang nama baiknya dicemarkan berhak meminta perlindungan dari yang
berwajib. Hal ini diatur dalam KUHP Pasal 310.
Menyuarakan pendapat dengan cara unjuk rasa juga diatur agar tidak mengganggu
ketertiban umum. Sebagai contoh, pengunjuk rasa wajib memberitahukan rencananya
kepada aparat negara terlebih dahulu agar unjuk rasa itu berjalan tertib dan tidak
menggangu hak orang lain, misalnya pengguna jalan raya. Kebebasan berserikat pun
memiliki batasan-batasan, misalnya kegiatan kelompok tidak akan ditoleransi bila
melanggar ketertiban umum atau menggunakan cara-cara kekerasan untuk menekan
kelompok-kelompok lain.
Dari batasan-batasan terhadap kebebasan warga negara dapat dilihat bahwa hak
warga negara bukanlah tak terbatas, karena hak warga negara, sebagai seorang individu,
harus berhadapan dengan hak orang lain dan hak masyarakat. Pihak negara (pemerintah)
dapat menetapkan UU atau peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak warga negara.
Hal itu dilakukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan warga negara dan ketertiban
masyarakat secara umum. Dengan kesadaran bahwa orang lain dan masyarakat juga
memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, maka tiap warga negara diharapkan menyadari
bahwa untuk memenuhi hak-haknya secara penuh ia pun wajib menghargai hak-hak
orang lain pula.

f. Kewajiban Warga Negara


Pembicaraan tentang hak warga negara selalu berbarengan dengan kewajiban
warga negara. Kewajiban warga negara menuntutnya melakukan sesuatu dan jika dia
tidak melakukannya maka dia dapat dikenai denda atau, dalam kasus tertentu, bahkan
dapat dipenjara. Kewajiban menuntut pemenuhannya walaupun warga negara (mungkin)
enggan melakukannya. Berbeda dengan kewajiban, warga negara juga memiliki tanggung
jawab, yaitu apa yang seharusnya dilakukan. Tanggung jawab sebenarnya merupakan
bentuk kewajiban juga, tetapi pemenuhannya hanya secara sukarela atau tanpa paksaan.

66
Seperti halnya pemenuhan hak-hak warga negara, pemenuhan kewajiban warga negara
juga merupakan tindakan yang memastikan penyelenggaraan negara berjalan baik.
Beberapa kewajiban yang harus dijalankan setiap warga negara, antara lain ialah 1)
menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan, 2) membela negara, 3) membayar
pajak, 4) mengikuti pendidikan dasar (wajib sekolah), dan 5) menghormati hak asasi
orang lain.

(1) Menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan17


Kalau negara menerapkan prinsip hukum, maka konsekuensinya adalah bahwa
hukum harus dijunjung, baik oleh pemerintah maupun oleh warga negara. Bilamana
hukum tidak dipatuhi, maka sulit bagi pemerintah untuk menegakkan ketertiban,
melindungi keamanan dan keselamatan warga negara, serta melindungi harta milik
mereka. Hukum dapat berupa peraturan lalu lintas, hukum pidana—yang mengatur agar
tindakan seseorang/sekelompok orang tidak merugikan pihak lain—dan berbagai
peraturan yang ditujukan agar masyarakat dapat hidup bersama dengan rukun.

(2) Membela negara


Membela negara merupakan salah satu kewajiban warga negara yang penting.18
Pemenuhan kewajiban ini akan memastikan keamanan negara dan bangsa, dan dengan
demikian juga keamanan warga negara.

(3) Membayar pajak


Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang penting. Penggunaannya
antara lain ialah untuk membangun fasilitas yang amat vital seperti pembangunan jalan,
gedung-gedung pemerintah dan berbagai fasilitas lain. Pajak juga digunakan untuk gaji
aparat negara, seperti tentara dan polisi yang bertugas untuk mempertahankan keamanan
negara dan menjaga ketertiban rakyat, serta pegawai birokrasi yang bertugas melayani
rakyat.

17
Lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (sesudah amandemen).
18
Lihat Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 (sesudah amandemen).

67
(4) Mengikuti pendidikan dasar (wajib sekolah)19
Bagi warga negara, sekolah merupakan sarana yang penting untuk
mempersiapkannya menjadi warga negara yang baik. Melalui sekolah seseorang
mendapatkan pendidikan yang bukan hanya berupa pengetahuan melainkan juga
keterampilan dan kemampuan dasar sebagai warga negara—seperti kemampuan
menyuarakan pendapat dalam bentuk lisan dan tulisan, kemampuan untuk mencari dan
memilah informasi, dsb. Di Indonesia, sejauh ini, yang diwajibkan bagi warga negara
adalah mengikuti pendidikan dasar.

(5) Menghormati hak asasi orang lain20


Menghormati hak asasi orang lain merupakan syarat agar hak kita sendiri juga
dihormati orang lain. Rasa saling hormat mengarah kepada terciptanya ketertiban dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kehidupan sehari-hari,
interaksi sosial merupakan peristiwa yang tidak dapat dihindari, misalnya di dalam
keluarga, tempat kerja, dan kampus. Dalam interaksi-interaksi tersebut tidak jarang
dijumpai adanya perbedaan pendapat atau bahkan konflik. Solusi dari konflik disebut
menghormati hak asasi bila tidak melibatkan tindak kekerasan, tidak menghasut, tidak
menjarah harta milik orang lain, tidak melarang orang beribadah menurut agama atau
kepercayaannya atau, dalam hal perusahaan, pimpinan perusahaan tidak melakukan
tindakan seperti tidak membayar gaji pegawai, dan dalam hal yang melibatkan kaum
muda, tidak melakukan keributan yang menggangu kenyamanan orang lain.
Bersamaan dengan kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, warga
negara juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain yang tidak
sependapat dengannya. Warga negara diharapkan mampu menghargai dan menerima
pendapat orang lain tanpa memandang latar belakang budaya, agama, aliran politik, dsb.
Tingkah laku menghormati dan menerima pendapat orang lain ini disebut toleransi.
Toleransi sangat dibutuhkan dalam negara dengan sistem demokrasi, karena di alam
demokrasi, tiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Bila pertukaran ide
tidak disertai oleh toleransi maka akan terjadi kebuntuan. Kebuntuan berpotensi terjadi di

19
Lihat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (sesudah amandemen).
20
Lihat Pasal 28 J, UUD 1945 (sesudah amandemen).

68
masyarakat yang memiliki keberagaman latar belakang. Dalam konteks ini, tiap warga
negara memiliki tanggung jawab untuk menghargai pendapat orang lain. Di samping
menghargai keberagaman, warga negara juga wajib menghargai hak orang lain dengan
cara ikut memelihara berbagai fasilitas umum yang digunakan banyak orang, seperti
memelihara kebersihan halte bus, tidak merusak peralatan telepon umum, dsb.

5. Kewajiban dan Hak Negara


Di atas telah dikemukakan bahwa negara dan warga negara memiliki hubungan
timbal-balik, seperti yang tercermin dalam hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak
dan kewajiban negara (pemerintah) dan warga negara bersumber dari, dan diatur dalam
UUD. Kewajiban negara secara implisit termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yakni
pada alinea keempat yang berisi tujuan negara yang harus dilaksanakan setiap
pemerintahan yaknimelindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Keempat tujuan tersebut yang menjiwai kewajiban dan tanggung jawab
negara sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal UUD,21 yaitu bahwa negara harus
membuat kebijakan-kebijakan untuk dapat memenuhi hak-hak warga negara, yaitu hak
atas kehidupan, hak beragama, hak mengemukakan pendapat, hak untuk mendapat
pekerjaan yang layak, pendidikan, dan seterusnya.
Pemenuhan kewajiban negara tentu memiliki konsekuensi bagi warga negara—
yang pada gilirannya menjadi hak negara. Warga negara wajib memelihara dan
mempertahankan kemerdekaan negara dan sejumlah kewajiban warga negara yang lain
sebagaimana telah diuraikan pada subbab sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa
upaya bela negara, mematuhi hukum, membayar pajak, dan lain-lain merupakan
aktivitas-aktivitas warga negara untuk memenuhi hak negara. Hanya melalui tindakan
timbal-balik dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak—negara dan
warga negara—tujuan negara akan tercapai, dan, sebaliknya, hak-hak warga negara akan
terpenuhi pula.

21
Lihat Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28; Pasal 28 A–J; Pasal 29 ayat (2); Pasal 30 ayat(1); Pasal 31
ayat (1)dan (2); Pasal 32 ayat (1) dan (2); Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), UUD 1945 (sesudah
amandemen).

69
6. Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal-balik antara Negara dan Warga
Negara
Bila negara lain seperti AS memiliki piagam hak asasi yang terpisah dari UUD,
Indonesia tidak demikian. UUD 1945 (sebelum amandemen) telah mencakup hak asasi di
dalamnya. Hak-hak tersebut termuat dalam Pasal 27—31 yaitu tentang hak di bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Budiardjo, 2008: 248).
Pencantuman hak-hak tersebut memiliki latar belakang sejarah yang menarik.
Penjajahan Belanda di Indonesia telah menyebabkan para pendiri bangsa bersikap kritis
terhadap paham-paham seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan
individualisme. Liberalisme misalnya telah digunakan negara-negara Barat untuk
merumuskan hak asasi. Liberalisme pula yang mendorong adanya kompetisi bebas
antarnegara sehingga timbul benih-benih kolonialisme yang berakibat pada penjajahan,
terutama di Asia dan Afrika. Liberalisme dan kapitalisme yang dipraktikkan tanpa batas,
pada masa tahun 1930-an juga menyebabkan krisis ekonomi di negara-negara Barat dan
memicu terjadinya perang antarnegara. Dampak penerapan liberalisme dan kapitalisme
tersebut telah menyadarkan tokoh-tokoh bangsa bahwa hak-hak politik seperti hak
mengeluarkan pendapat dan berserikat yang ditekankan di alam liberalisme tidak mampu
mengangkat kesejahteraan masyarakat atau kesetaraan di bidang ekonomi, padahal
kesejahteraan merupakan masalah krusial bagi negara-negara yang baru merdeka seperti
Indonesia. Sebagai jawaban atas masalah tersebut, maka dalam perumusan UUD,
keadilan sosial lebih ditekankan.22 Namun, di tengah kuatnya arus pemikiran untuk lebih
menekankan hak atau kemerdekaan warga negara di bidang sosial dan ekonomi, ada
tokoh seperti Hatta yang tetap kokoh untuk mencantumkan hak rakyat untuk
mengeluarkan pendapat dan berserikat. Tujuan pencantuman hak tersebut tidak lain untuk
mencegah timbulnya negara kekuasaan yang berpotensi menindas rakyat.
Dengan diterimanya usulan-usulan tentang pencantuman hak mengeluarkan
pendapat dan berserikat, maka UUD 1945 sebelum amandemen telah mencantumkan
hak-hak politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Ada satu hal yang membanggakan dan
patut diketengahkan di sini, yakni bahwa UUD 1945 memuat hak-hak kolektif, seperti

22
Lihat Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34 UUD 1945 (sebelum amandemen).

70
hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri (lihat Pembukaan UUD 1945), hak ekonomi
dan sosial seperti hak mendapat pengajaran, hak atas penghidupan yang layak, hak untuk
fakir miskin dan anak terlantar, dst. Pencantuman hak-hak tersebut dilakukan mendahului
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang baru diundangkan tiga tahun
kemudian, yakni pada tahun 1948 (Budiardjo, 2008: 244). Dengan demikian, dari sudut
sejarah pemikiran, kita patut menghargai pemikiran-pemikiran tokoh pendiri bangsa kita.
Pembicaraan tentang pemikiran tentu tidak akan lengkap bila tidak mencakup aspek
tindakan dalam bentuk kebijakan negara di bidang pemenuhan hak-hak warga negara
sebagaimana tercantum dalam UUD. Dari sejarah perjalanan bangsa terlihat bahwa
kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan pers tidak dapat
dinikmati sepenuhnya oleh warga negara, karena adanya batasan-batasan seperti
pembubaran partai politik dan pembredelan pers, dan tindakan sewenang-wenang seperti
kekerasan militer (pemberlakuan daerah operasi militer /DOM) di Aceh, kasus Tanjung
Priok, dan kasus Trisakti. Faktor-faktor tersebut, bersama-sama dengan keterpurukan
ekonomi dan masalah-masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang kronis, telah
mendorong berbagai elemen masyarakat melakukan gerakan reformasi untuk mengakhiri
pemerintahan Soeharto.
Satu hal yang menarik dan patut dipelajari dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah
bahwa ketika negara menjadi negara kekuasaan maka negara (dalam hal ini pemerintah)
memakai kekuasaan untuk menafsirkan UUD demi kepentingan kekuasaan itu sendiri
sehingga dalam praktik rakyat menjadi pihak yang tertindas. Pada masa Orde Baru,
sering kali terjadi ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang
konsep “kepentingan umum” dan “keamanan nasional”. Dalam tafsiran pemerintah, tidak
jelas kapan kepentingan individu berakhir dan kepentingan umum mulai. Sebagai contoh,
dalam kasus penggusuran, penduduk diminta menyerahkan lahannya untuk pendirian
fasilitas rumah sakit. Dalam kasus seperti ini, masyarakat biasanya tidak
mempersoalkannya, tetapi dalam kasus penggusuran untuk pendirian pusat komersial,
interpretasi tentang “kepentingan umum” dapat bertolak belakang karena dapat
dipandang sebagai pelanggaran hak asasi. Demikian pula interpretasi tentang
“keamanan”, tidak pernah jelas kapan keamanan terancam dan kapan unjuk rasa masih
dapat ditoleransi sebagai upaya untuk mengeluarkan pendapat. Kekuasaan menafsir

71
“kepentingan umum”, “keamanan umum” dan “stabilitas nasional” merupakan monopoli
negara (Budiardjo, 2008: 251—253). Negara dengan demikian telah menampilkan diri
sebagai negara kekuasaan.
Menghadapi situasi demikian, maka memasuki era Reformasi, berbagai elemen
masyarakat menuntut penguatan hak asasi. Upaya ini berhasil dengan diundangkannya
UU RI Nomor 39 Tahun 1999. Pemberlakuan dan pelaksanaan UU itu merupakan
kemajuan hak-hak asasi politik, seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat,
dan kebebasan pers yang kini dapat dinikmati rakyat secara bebas. Selain itu, terbitnya
UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga telah
menguatkan hak asasi perempuan. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan RI terdapat pasal yang mengesahkan status anak yang terlahir dari ibu
WNI dan ayah WNA. Dengan UU ini, status anak yang terlahir dari ibu WNI adalah
mengikuti kewarganegaraan ibunya sampai ia dapat menentukan statusnya sendiri pada
usia 18 tahun. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang diterbitkan agar bila perkawinan berakhir dengan perceraian, hak
asuh anak tetap pada ibu.
Adapun pemenuhan hak-hak politik ternyata tidak diimbangi dengan pemenuhan
hak warga negara di bidang sosial-ekonomi dan budaya. Saat ini Indonesia masih terbelit
oleh masalah pengangguran, pendidikan dan kesehatan yang mahal, kemiskinan, dan
korupsi. Kebijakan-kebijakan pemerintah ternyata belum mampu memenuhi tujuan-
tujuan yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kesejahteraan dan keadilan sosial
masih jauh dari harapan. Masalah kesetaraan di hadapan hukum pun masih menjadi
persoalan sehingga timbul rasa ketidakadilan di kalangan rakyat.
Di pihak warga negara,yang juga patut mendapat perhatian khusus adalah bahwa
perilaku kebebasan tanpa batas seperti tindak anarki, amuk massa, tindakan-tindakan
yang tidak mencerminkan toleransi dalam hidup beragama, perilaku korupsi, dsb.
merupakan cermin melemahnya kesadaran akan pentingnya hukum untuk ketertiban
bersama dan menciptakan keadilan.
Dengan melihat keadaan yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa masalah
keamanan, kesetaraan, dan kebebasan tetap menjadi masalah penting dalam hidup
berbangsa dan bernegara. Pemenuhan hak-hak warga negara di ketiga bidang tersebut

72
memerlukan peran negara. Namun, mengingat permasalahan dalam masyarakat begitu
rumit dan beragam, negara juga membutuhkan partisipasi warga negara. Partisipasi
politik warga negara merupakan kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan negara. Melalui
hubungan kerja sama atau hubungan timbal-balik antara negara dan warga
negaralahpenyelenggaraan negara dapat terarah pada cita-cita bersama sebagaimana
tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

73
BAB V
INDONESIA DAN DUNIA INTERNASIONAL

Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami dinamika


hubungan antarbangsa di dunia, serta mampu membangun sikap
terbuka dan kritis terhadap peran politik Indonesia di dunia
internasional.

1. Hubungan Antarbangsa
Hubungan antarbangsa tidak selamanya serasi karena menyangkut kepentingan
nasional masing-masing. Kepentingan nasional antara dua bangsa/negara dapat berbeda,
malah saling berbenturan. Perbedaan kepentingan yang menimbulkan pertentangan
biasanya disebut konflik. Dalam perkembangannya konflik dapat meruncing dan
berlanjut dengan penggunaan senjata. Keadaan terakhir itu disebut perang.
Gambaran plastis hubungan antara dua negara dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, integrasi (kerja sama); hal ini dapat terjadi karena kepentingan dua negara
sejalan. Kedua, konflik (pertentangan); hal ini dapat terjadi karena kepentingan masing-
masing negara saling bertentangan. Untuk persoalan yang kedua ini, ada beberapa cara
penyelesaiannya yaitu melalui cara tindak kekerasan, penekanan atau pemaksaan
(coersion), dan akomodasi. Tindak kekerasan biasanya berupa penyelesaian dengan
perang bersenjata. Dalam cara penyelesaian kedua (penekanan atau pemaksaan), biasanya
salah satu negara melakukan gerakan provokasi agar negara lainnya takut/tunduk,
misalnya dengan mengadakan latihan militer di daerah perbatasan. Cara akomodasi
digunakan apabila kedua bangsa saling menghormati dengan cara koeksistensi (saling
mengakui kesederajatan), ditindaklanjuti dengan kompromi, dan diakhiri dengan
kompetisi kepentingan secara sehat.
Peningkatan atau eskalasi konflik antarnegara bagaikan sebuah spektrum. Eskalasi
dimulai apabila salah satu negara merasa dirugikan, umpamanya: upaya menggalakkan

74
pemakaian produksi dalam negeri terganggu dengan membanjirnya produk negara lain
yang lebih murah. Agar masyarakat umum tetap menggunakan produk dalam negeri,
barang impor yang lebih murah dan bermutu dikenai biaya yang lebih tinggi,. Keadaan
ini biasanya berlanjut dengan peningkatan tarif bea masuk, kuota perdagangan,
pembatasan peredaran valuta asing, konsesi dagang dengan negara (mitra) tertentu, hal
yang sudah barang tentu akan dibalas oleh negara yang tidak mendapat konsesi dengan
cara boikot dan/atau sabotase atas barang negara “lawan”. Keadaan ini, yang mirip
dengan keadaan perang, tetapi tanpa penggunaan senjata, dikenal sebagai“perang dingin”.

5. INDONESIA & DUNIA  INTERNASIONAL

Eccles,
1959:13

Spektrum Konflik
Soemiarno, 2011 3
S. Soemiarno, 2012

Dalam perang dingin dapat terjadi “perang terbatas” dengan tanda-tanda seperti
penahanan kapal “lawan” dengan muatannya, nsiden perbatasan, dan huru-hara yang
dikendalikan dari luar. Perang panas atau perang terbuka dimulai dengan pencaplokan
atau aneksasi teritorial, kemudian pernyataan perang yang dilanjutkan denganpenggunaan
satuan-satuan Angkatan Perang (Darat, Laut, dan Udara). Bahkan perang dapat menjadi
tidak terkendali apabila tidak segera diselesaikan. Perang tidak terkendali apabila kedua
pihak menggunakan senjata nuklir, biologi, dan kimia, populer sebagai perang nubika
(Eccles, 1959: 13). Sebahagian besar masyarakat masih yakin bahwa perang nubika tidak
akan terjadi selama para ilmuwan belum mampu mengendalikan “fall out” partikel
nubika.

75
Untuk mengatasi eskalasi seperti itu masing-masing negara biasanya menyiapkan
warganegaranya untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara maupun upaya
pertahanan kea-manan. Seperti ketahui bersama bahwa. sejarah upaya pembelaan negara
secara spontan oleh rakyat baharu dimulai pada awal perang dunia II, saat rakyat negara
Eropa Barat bangkit melawan invasi tentara Jerman. Bagi bangsa Indonesia kedua upaya
ini merupakan hak dan kewajiban. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30
ayat (1) UUD NRI 1945. Pasal 27 ayat (3) untuk memperteguh bahwa upaya pembelaan
negara bukan monopoli TNI tetapi merupakan hak dan sekaligus kewajiban bagi setiap
warga negara. Sedangkan pasal 30 ayat (1) menegaskan kembali bahwa sistem
pertahanan keamanan yang dianut negara Indonesia adalah pertahanan keamanan rakyat
semesta. Dengan demikian seluruh komponen/elemen kekuatan bangsa ikut terlibat. Ini
merupakan keunikan hukum tentang hak dan kewajiban warga negara di Indonesia.
Sejarah konflik antarmanusia, antarmasyarakat maupun antarbangsa selalu
melibatkan masyarakat atau bangsa lain sehingga terbentuk blok-blok. Pada abad XVII
dua blok yang saling berhadapan adalah dinasti Bourbon di Eropa Barat dengan dinasti
Habsburg di Eropa Tengah. Rakyat tidak ikut perang kecuali mereka yang tergabung
dalam tentara dinasti. PascaPerang Dunia I, sekitar tahun 1920-an dunia seolah-olah
dibagi hanya atas duasebagai dunia Barat (the West) dan sisanya (the Rest), yaitu negara-
negara yang dianggap tidak dipengaruhi oleh Barat(Huntington, 1998: 183). Dalam
pengertian ini negara koloni dianggap masuk ke blok Barat. Pada pertengahan abad XX,
pasca-Perang Dunia II (masa perang dingin), di samping blok Barat dan blok Timur
muncul pula blok lain yaitu negara-negara yang baru merdeka. Blok-blok baru
merupakan persatuan kebudayaan yang sejenis yang awaknya dipengaruhi ajaran agama
yang disesuaikan dengan adat setempat,

2. Peran Indonesia dalam Hubungan Antarbangsa


Butir keempat dari tujuan nasional Indonesia sebagaimana tertulis pada Alinea
keempat Pembukaan UUD NRI 1945 merupakan politik bebas aktif. Kebijakan politik
bebas aktif dilakukan untuk menghadapi kenyataan adanya dua blok negara pemenang
Perang Dunia II. Pembentukan kedua blok didasarkan pada ideologi yang berkembang
pada abad XX, masing-masing blok liberal (blok Barat) dan blok sosialis (blok Timur).

76
Rakyat (suku-suku) Jerman yang bercita-cita membangun Jerman sebagai negara
bangsa (nation state) yang besar, terhalang dan dipecah menjadi dua oleh negara-negara
pemenang perang. Tragisnya ibu kota Berlin yang berada di kawasan Timurpun harus
dibagi dua, sehingga wilayah Berlin Barat merupakan enclave dari Jerman Timur. Nasib
suku-suku Jerman lain yang tinggal eks wilayah dinasti Habsburg (sebelah Timur Jerman)
dan orang-orang Balkan (kecuali Yunani) memiliki negara nasional baru dan harus
bergabung dalam blok Timur di bawah hegomoni Rusia.
Kedua blok itu berupaya menyelesaikan konflik melalui perang dingin, yang
sebenarnya merupakan upaya koersi kedua blok yang bertikai. Blok Barat merangkul
Jerman (Barat), Italia dan Jepang—mantan musuh, yang dilucuti tentaranya dan tidak
boleh beroperasi di luar negaranya—untuk bergabung. Jerman Barat dan Italia
dimasukkandalam pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO). Jepang dirangkul dan
dipayungi oleh Amerika Serikat selama Jepang bersedia menjadi negara demokrasi
liberal, termasuk sistem agraria dan pendidikan (Robert, 2004: 1062). Konsekwensi
lainnya pada ketiga negara tersebut digelar pangkalan militer asing yaitu pangkalan
tentara Sekutu (terutama di Jerman) dan AS di Jepang. Konsekwensi yang berat bagi
negara penerima AP asing di negaranya adalah kehilangan karakter dan moral nasional
(Chandra, 1982: 74). Namun Jepang telah memiliki akar budaya yang “lebih kuat” maka
pengaruh gegar budaya tidak tampak serta karakter dan moral bangsanya tidak hilang
sehingga tetap dominan dalam percaturan politik dunia (Morgenthau, 1962: 110-133).
Akibat kebijakan sekutu (yang takut akan timbulnya fasisme), Jepang dan Jerman Barat
menjadi raksasa ekonomi baru dengan tingkat kesejahteraan tinggi. Kedua negara itu
mengalahkan negara-negara pemenang perang (sekutu). Jerman Barat, misalnya, lebih
pesat perekonomiannya daripada Prancis. Ini tidak lain karena Jerman Barat dan Jepang
meminimalkan biaya pertahanan dan keamanan nasionalnya yang telah dipayungi oleh
blok Barat (sekutu). Kedua blok (Barat dan Timur) berupaya menarik negara-negara
merdeka baru ke dalam blok mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Indonesia bersama India, Pakistan, Sri Lanka dan Myanmar
(dahulu Birma) berupaya agar negara baru tidak terseret ke dalam salah satu kubu, dengan
maksud agar dapat meredakan ketegangan dunia. Gerakan yang dipelopori Indonesia itu
mendapat respons dari Mesir pascatergulingnya monarki dan berhasil mengadakan

77
Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang menjadi cikal-bakal Gerakan
Non-Blok. Pada era Perang Dingin 1960-an ke dalam blok baru itu kemudian bergabung
Yugoslavia yang sedikit merenggang dengan blok negara-negara demokrasi sosialis.
Negara-negara Amerika Latin yang sebelumnya pro Barat, pada era ini bergabung
dengan negara-negara Asia dan Afrika. Negara-negara yang tergabung dalan gerakan
non-blok dikenal sebagai negara dunia ketiga atau negara sedang berkembang (NSB).
Dalam gerakan ini Indonesia termasuk negara pemrakasa (Huntington, 1998: 24—25).
Gerakan Nonblok berperan penting dalam meredam konflik atau perang dingin.
Namun, sangat disayangkan bahwa pimpinan (elit politik) negara-negara pemrakasa
kurang memberi kesempatan kepada generasi yang lebih muda sehingga terkesan kurang
demokratis. Sepeninggal mereka, Gerakan Nonblok menjadi kurang efektif, apalagi
setelah krisis ekonomi, sosial, budaya, dan politik melanda negara-negara anggotanya,
mengingat bahwa syarat utama gerakan ini adalah kestabilan politik pada masing-masing
negara peserta.
Pada era “Perang Dingin 1960-an” juga terjadi krisis politik di Indonesia.
Presiden Soeharto sebagai kepala pemerintahan memprioritaskan pengamanan dalam
negeri dan sekaligus pembangunan ekonomi dalam negeri. Secara tidak langsung arah
politik kita cenderung ke demokrasi liberal. Gerakan selanjutnya berupaya melakukan
pemurnian ideologi Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan merumuskan
paradigma tata kehidupan nasional dengan menyusun doktrin-doktrin dasar. Legitimasi
doktrin-doktrin dasar adalah Wawasan Nusantara sebagai geopolitik dan Ketahanan
Nasional sebagai geostrategi melalui ketetapan MPR. Implementasi kedua doktrin itu
dalam politik luar negeri dimulai dengan upaya pembangunan stabilitas politik dan
ekonomi di kawasan regional. Hubungan dengan negara tetangga yang selama itu
“kurang baik” dibangun kembali dengan mendirikan perhimpunan negara Asia Tenggara
(Association of South East Asia Nations, ASEAN).

3. Berbagai Kecenderungan di Era Globalisasi


Dekade akhir abad XX dan awal abad XXI disebut masa (era) globalisasi. Pada
masa ini setiap negara menjadi negara terbuka untuk perdagangan bebas. Era globalisasi
ditandai oleh kemajuan teknologi dalam bidang transportasi—terutama setelah pesawat

78
terbang digunakan sebagai angkutan masal, baik untuk penumpang maupun barang—
telekomunikasi—yang kini telah berkembang menjadi teknologi informatika—serta
semangat perdagangan bebas. Pada era ini pula orang terdorong menjadi warga negara
dunia (kosmopolit). Negara maju dan kaya mencita-citakan dunia tanpa batas. Dunia
tanpa batas akan merugikan bangsa yang sedang berkembang apabila bangsa itu tidak
memiliki karakter nasional yang kuat dan intelektual yang tinggi. Tidaklah
mengherankan apabila akan terjadi konflik antarnegara maupun interen negara nasional
yang dipicu oleh perbedaan persepsi mengenai nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Konflik fisik masih terjadi baik dalam rangka perebutan wilayah secara fisik
maupun melalui maya, yaitu melalui pengaruh budaya, ekonomi dan sebagainya, yang
berawal dari perebutan sumber daya alam. Oleh karena itu, tidaklah salah apabila Wright
berkata bahwa perang fisik dipicu oleh 1) dunia yang “menciut” sebagai akibat kemajuan
teknologi transportasi, 2) “percepatan” jalannya sejarah sebagai akibat kemajuan
teknologi tele-komunikasi, 3) penemuan persenjataan baru (yang lebih modern), dan 4)
kebangkitan demokrasi. Dari keempat penyebab perang itu, tiga di antaranya
menyebabkan penggunaan sumber daya alam—terutama yang tidak dapat diperbaharui—
yang berlebihan. Oleh karena itu isu era globalisasi diidentikkan dengan pemanasan
global dan perebutan wilayah sumber daya alam (Wright, 1942: 4—7).
Di era ini muncul konsep “dunia tanpa batas” yang pada hakikatnya adalah perkem-
bangan dari berdirinya perusahaan-perusahaan multinasional (multinational
corporations), yang tidak lain merupakan bentuk liberalisasi ekonomi dunia. Dalam
konsep ini seorang pembeli dianggap sebagai raja, tetapi dalam kenyataannya dia
terpaksa membeli barang hanya demi menjaga gengsi—memakai merek tertentu.
Persaingan penjualan hasil produk akan dimenangkan oleh perusahaan yang mampu
merakit barang berkat penyebaran teknologi (dispersion of technology). Perusahaan besar
akan tetap membina perusahaan kecil dan mungkin ikut membiayai penelitian dan
pengembangan sehingga produknya dijadikan modal tetap sebagai biaya tetap (fixed
cost). Masalah mata uang dan negara (currencyandcountry) akan menjadi kendala apabila
perusahaan itu dimiliki oleh satu negara. Oleh karena itu perusahaan yang berupaya

79
mempengaruhi konsumen menjadi perusahaan multi-nasional yang didirikan oleh
beberapa negara (Ohmae, 1991: 34—71).
Berdasarkan uraian di atas, tidaklah salah apabila dikatakan bahwa era globalisasi
meru-pakan bentuk kolonialisasi perusahaan multinasional melalui dunia maya, yang
mengarah kepada penjajahan sosial, budaya, ekonomi, dan ideologi, dan tidak mustahil
juga akan mengarah kepada tindak-tindak kriminal antarnegara. Sudah barang tentu
konsep ini akan ditolak oleh negarawan dan politisi nasional yang patriotik. Akibat
lanjutannya, tidak mustahil terjadi tindak-tindak kriminal yang diikuti oleh gerakan
politik yang akan berakhir dengan kejatuhan negara “nasional baru”. Kejatuhan negara
nasional baru hampir dipatikan karena belum siapnya berdemokrasi dan ideologi nasional
yang belum mantap. Misalnya pecahnya Sudan menjadi Sudan dan Sudan Selatan.
Pada awal era globalisasi, blok demokrasi sosialis mendapat bencana multi-
dimensiyang berawal dengan krisis ekonomi—akibat biaya AP yang tinggi karena tidak
mengenal sistem wajib militer—berlanjut dengan krisis politik, dan berakhir dengan
kebangkitan demo-krasi liberal, terutama sejak runtuhnya tembok Berlin. Akibatnya,
banyak negara demokrasi sosialis terpaksa harus segera melakukan perubahan dengan
menyesuaikan diri dengan mitra dan lingkungan strategisnya. Semangat untuk
mengadakan perubahan segera dan cepat juga melanda banyak negara lain, termasuk
negara maju.
Euforia runtuhnya tembok Berlin dan keinginan terbentuknya dunia tanpa batas
menja-dikan banyak negara menjadi tidak aman dan damai.Timbul konflik, baik
antarnegara maupun di dalam negara nasional sendiri. Konflik-konflik yang semula
berbasis ekonomi banyak diselesaikan melalui politik sambil menunjukkan identitas
masyarakat (Huntington, 1998: 21). Banyak negara nasional (baik baru dan lama) pecah
menjadi negara kecil yang berbasis etnik. Kelompok-kelompok etnik saling berhadapan
dan berjuang untuk kepentingan etniknya dan tidak jarang diselesaikan dengan
kekerasan.
Kecenderungan politik sebenarnya menjadi penyebab awal kebangkitan demokrasi,
terutama di negara-negara blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Krisis
ekonomi dianggap sebagai penyebab awal kecenderungan ekonomi global. Dalam hal ini
sistem politik negara-negara Barat dianggap “lebih baik” daripada yang dilaksanakan di

80
negara-negara blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu isu-
isu demokrasi dan hak asasi manusia yang didengung-dengungkan Barat menjadi
mendunia.
Kecenderungan ekonomi terjadi karena pergeseran pusat perekonomian dunia ke
arah kawasan negara-negara Pasifik. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan
Kanada bergeser ke Barat karena melihat kesempatan yang lebih besar. Jepang muncul
menjadi raksasa ekonomi. Negara-negara Eropa yang takut ditinggalkan berupaya
“tampak” ikut berperan. Rusia juga bereaksi dengan berusaha menampakkan
kekuatannya di kawasan Pasifik,
Kecenderungan sosial budaya juga diakibatkan oleh kemajuan teknologi
telekomuni-kasi dengan makin berkembangnya teknik informatika. Apa yang terjadi di
dunia pada saat yang bersamaan dapat diketahui melalui media elektronik di rumah-
rumah masyarakat lainnya. Budaya dan kearifan lokal bersaing ketat dengan budaya pop
yang mendunia. Kecenderungan yang mengutamakan hak daripada kewajiban mulai
ditinggalkan sehingga muncul Gerakan Tanggung Jawab Insani (Human Responsibilities
Movement). Oleh karena itu, pendidikan kepribadian dan karakter perlu dibangun dengan
baik dan terus-menerus.
Kecenderungan bentuk pertahanan keamanan dipengaruhi oleh runtuhnya blok
Timur yang merupakan isyarat perubahan pada visi, misi, strategi, dan konsep politik
nasional. Konsep visi dan misi pertahanan keamanan diciptakan oleh masing-masing
negara. Namun yang patut diwaspadai adalah keinginan Barat, terutama negara-negara
Anglo-Sakson (Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru) untuk
tetap menguasai dunia. Kalau pada abad pertengahan kolonialismeberbentuk fisik, maka
kini berbentuk demokrasi dan ekonomi liberal. Isu-isu yang mereka kembangkan adalah
perang melawan terorisme internasional dan penegakan demokrasi.

81
Dunia Akhir Abad XX : 9 (Sembilan) Budaya Saling Berhadapan

Pada era ini, dunia seolah-olah pecah karena pengaruh perkembangan kebangkitan
budaya bangsa (Huntington, 1998: 207). Timbul benturan budaya yang berlanjut dengan
pecahnya negara nasional menjadi negara yang bersifat etnik atau agama. Sudan menjadi
negara terakhir (sampai dengan tahun 2011) yang pecah menjadi negara nasional yang
bersifat etnik dengan menjadi Sudan (dengan mayoritas penduduk beragama Islam) dan
Sudan Selatan (dengan mayoritas penduduk Kristen dan yang belum beragama).
Berdirinya negara-negara nasional baru dengan pendekatan budaya/etnik dan agama
me-nambah pengelompokan satuanbudaya. Banyaknya satuan budaya dapat
dikelompokkan menjadi satuan budaya besar yang merupakan garis perbatasan (frontier)
budaya. Menurut Huntington kini ada sembilan satuan budaya besar atau utama.
Kesembilan garis perbatasan budaya tersebut adalah 1) budaya Barat yang meliputi
negara-negara dengan mayoritas penduduk Kristen Barat yang juga dikenal sebagai
negara-negara Barat modern sekuler; 2) budaya Amerika Latin, mulai dari Mexico hingga
Argentina (kecuali tiga negara Guyana (eks jajahan Inggris, Belanda, dan Perancis); 3)
budaya Afrika, mulai dari Afrika Tengah sampai ke Selatan; 4) budaya Islam di wilayah
yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang mencakup a) Afrika Utara, b)
sebagian Balkan, c) Somalia, d) sebagian wilayah eks Uni Sovyet, dane) Indonesia; 5)
budaya Sinik yang meliputi wilayah Cina, Vietnam, dan Korea; 6) budaya Hindu; 7)
budaya Kristen Ortodoks yang meliputi wilayah dengan mayoritas penganut agama
Kristen Ortodoks di perbatasan sebelah Timur dari Eropa Tengah hingga eks Uni Sovyet;
8) budaya Buddha di daerah Asia Tenggara; dan 9) budaya Jepang (Sinto) yang meliputi

82
Jepang, termasuk Sachalin Utara. Garis perbatasanini saling mempengaruhi melalui
budaya, sosial, ajaran agama, etnik, dan perdagangan dan mungkin dapat mengarah ke
politik kekuatan (Huntington, 1998: 27, 28,193).

4. Indonesia dan Globalisasi


Indonesia pada awal era ini juga dilanda bencana nasional, yang berawal dari krisis
ekonomi dan moneter dan kemudian berkembang menjadi krisis budaya yang menyentuh
segenap sendi kehidupan bangsa. Masyarakat kita berpikir dan bertindak cepat atas dasar
intuisi tanpa memperhitungkan akibat perilakunya. Salah satu akibatnya adalah budaya
ke-kerasan menjadi menonjol. Penggunaan kekerasan yang menonjol ini juga merupakan
salah satu cerminan dari kebangkitan demokrasi (Wright, 1942: 4—7).
Pascarobohnya Federasi Uni Sovyet, blok Barat—terutama negara-negara dengan
latar belakang mayoritas etnik Anglo-Sakson—kehilangan musuh. Mereka tetap berusaha
melebarkan pengaruhnya ke arah negara yang lemah sebagai perwujudan konsep
ruangnya. Apabila pada masa lalu (awal abad XX) konsep ruang diwujudkan melalui
mekanisme politik dan militer, maka pada masa pasca-Perang Dingin hal itu diwujudkan
melalui kekuatan ekonomi. Pada era globalisasi upaya mereka itu dilakukan dengan dalih
demokratisasi di negara yang kurang demokratis, upaya melindungi dan membantu
gerakan hak asasi manusia, dan memerangi terorisme. Negara-negara itu memiliki
kekuasaan mutlak sehingga Lord Acton (1834—1902) mengatakan “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (Cohen, 1980: 1).
Untuk menghadapi kondisi ini, kerja sama bilateral saja tidak cukup sehingga harus
dikembangkan kerja sama regional dan internasional. Kerja sama itu tidak dalam bentuk
pakta pertahanan, karena hal itu akan mengarah kepada perlombaan pengembangan
kesenjataan. Kerja sama regional dan internasional hendaknya merupakan implikasi
doktrim geopolitik dan geostrategi dalam dimensi internasional dan ditujukan untuk
meningkatkan daya tawar untuk menghadapi negara-negara adidaya.
Dimensi internasional doktrim ketahanan nasional dijabarkan melalui konsep
ketahanan regional. Wilayah regional diartikan sebagai daerah sekitar negara dengan
penekanan pada wilayah yang homogen atas dasar ciri geostrategis dan dapat berupa
persamaan ras, budaya, dan sumber daya. Pembentukan kesatuan negara regional

83
diharapkan meningkatkan ketahanan nasional masing-masing negara anggota. Oleh
karena itu ketahanan regional sangat tergantung pada semangat kebersamaan di antara
anggotadan adaptasi sesama anggota, dengan komponen stabilitas politik, kekuatan
ekonomi, dan kesiagaan militer.
Kerja sama regional merupakan strategi untuk menghadapi negara yang lebih kuat
sehingga negara-negara anggota mempunyai posisi tawar yang lebih kuat pada era perda-
gangan global. Pada kasus ini Indonesia telah memprakarsai pembentukan Perhimpunan
Negara Asia Tenggara(Association of South East Asia Nations, ASEAN) pada tahun
1967, yang pada awalnya terdiri dari lima negara, yakni Filipina, Indonesia, Malaysia,
Singapura, dan Thailand. Jumlah negara anggota ASEAN pada saat ini telah berkembang
menjadi sepuluh negara yaitu setelah Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar
(dahulu Burma), dan Vietnam bergabung.
Konsep pembentukan ASEAN ini merupakan konsep geostrategi berlapis. Bagi
Indonesia ASEAN merupakan lapis pertama geostrategi, sedangkan keikutsertaan
Indonesia dalam Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) merupakan konsep
geostrategis lapis kedua. Kerja sama regional lapis pertama sesungguhnya merupakan
posisi garis perbatasan budaya karena terbentuk berdasarkan kesamaan budaya.
Konsep ASEAN kini banyak dikembangkan pada era globalisai dengan
pembentukan badan atau forum seperti 1) South East Asia Association for Regional
Cooperation (SAARC), 2) South-Pacific Forum (SPF), dan 3) Gulf Countries Council.
Bahkan kini negara-negara Eropa daratan membentuk Uni Eropa, meskipun sebelumnya
telah terbentuk pesatuan negara-negara Skandinavia yaitu Swedia, Norwegia, dan
Denmark, dan persatuan negara-negara BENELUX (Belgia, Nederlan, dan Luksemburg),
Ini menunjukkan bahwa proksimitas geografi lebih diutamakan untuk mempermudah
kohesi dan respon bersama menghadapi perubahan global yang tidak menentu.
Untuk menghadapi negara-negara sedang berkembang, negara maju—baik adidaya
maupun negara “kecil”—menciptakan hambatan yang seolah-olah “wajar” dengan
ketentuan-ketentuan seperti: 1) Eco-labeling, 2) International Standard
OrganizationCode, dan 3) International Safety ManagementCode. Untuk itu diperlukan
daya tawar kolektif (collective bargaining power) dari negara-negara sedang berkembang

84
sekawasan. Konsep inilah yang merupakan konsep ketahanan nasional Indonesia yang
disebut ketahanan berlapis.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Makalah
Basry, M. Hasan. 1995. Untuk Apa Kita Merdeka: Kumpulan Amanat Bung Karno di
Sumatera dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945--1948. Jakarta: KOPKAR PTP.
Basrie, Chaidir. 1995. Wawasan Nusantara. Jakarta: LIH ITI.
Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chandra, Prakash. 1982, InternationalPolitics. New Delhi: Vikas Publishing House PVT
Cohen, J. M.& M.J. Cohen, 1980. The Pinguin Dictionary of Quotations. Middlesex.
Collins, John M. 1973. Grand Strategy: Principle and Practices. Annapolis, Ma: US
Naval Institute.
Departemen Luar Negeri. 1983. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut. Jakarta: Direktorat Perjanjian Internasional.
Djalal, Hasjim. 1995. Indonesia and the Law of the Sea. Jakarta: CSIS.
Eccles, Henry E. 1959. Logistics in the National Defense. Harrisburg, Pa: Stackpole Coy.
Huntington, Samuel T. 1998. The Clash of Civilization and the Remaking of World
Order, London: Tochtone Books.
Kusumaatmadja, Mochtar. 2003. Konsep Hukum Negara Nusantara pada Konvensi
Hukum Laut III. Bandung: Alumni.
Lembaga Pertahanan Nasional. 1995. Wawasan Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka–
Lemhannas.
Morgenthau, Hans J. 2006 (direvisi oleh Thompson dan Clinton). Polititcs among
Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Mc Graw Hill.
Ohmae, Kenichi. 1991. The Borderless World, Power and Strategy in the Interlined
Economy. London: Fontana.
Panitia Lemhannas. 1980. Bunga Rampai Ketahanan Nasional: Konsepsi dan Teori.
Jakarta: Ripers Utama.

85
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Robert, J. M. 2004. The New Peguin History of the World. London: . . . .
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1992. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Simbolon, Parakitri T. 1995. Menjadi Indonesia, Buku I: Akar-akar Kebangsaan
Indonesia. Jakarta: Kompas.
Sunardi, R.M. 2004. Pembinaan Ketahanan Bangsadalam Rangka Memperkokoh
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Kuaternita Adidarma.
Wright, Quincy. 1942. Study of War. Chicago: The University of Chicago Press.

B. Undang-undang
Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah Amandemen I sampai dengan IV).
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

86
DAFTAR PUSTAKA

C. Buku dan Makalah

Anderson, B. 2001. Komunitas-komunitas Terbayang (terjemahan). Yogyakarta. Insist


Press dan Pustaka Pelajar.
Asshiddiqie, Jimly. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Azra, A. 2010. Revisitasi Pancasila. Dalam Rindu Pancasila. Penyunting: Mulyawan
Karim. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Basry, M. Hasan. 1995. Untuk Apa Kita Merdeka: Kumpulan Amanat Bung Karno di
Sumatera dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945--1948. Jakarta: KOPKAR
PTP.
Basrie, Chaidir. 1995. Wawasan Nusantara. Jakarta: LIH ITI.
Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Budhiarto, Triyono Edy, 2015. Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah Konstitusi
(Ppt narasumber dalam “Sosialisasi Pemahaman Hak Konstitusional Warga
Negara bagi Asosiasi Dosen Pendidikan Kewarganegaraan DKI Jakarta dan
Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi di Jakarta, 12 November
2015)

Chandra, Prakash. 1982, InternationalPolitics. New Delhi, Vikas Publishing House PVT

Cohen, J,M & M.J,. 1980. The Pinguin Dictionary of Quotations. Middlesex.

Collins, John M. 1973. Grand Strategy: Principle and Practices. Annapolis, Ma: US
Naval Institute.

Departemen Luar Negeri. 1983. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum


Laut. Jakarta: Direktorat Perjanjian Internasional.

87
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. 2001. Kapita Selekta Pendidikan
Kewarganegaraan (untuk Mahasiswa):Bagian I & II. Jakarta: Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Djalal, Hasjim. 1995. Indonesia and the Law of the Sea. Jakarta: CSIS.
Eccles, Henry E. 1959. Logistics in the National Defense. Harrisburg, Pa: Stackpole Coy.
Ember, Carol R. dan Ember, Melvin. 1996. Anthropology (edisi ke-9). New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Erliyana, Anna. 2005. Keputusan Presiden: Analisis Keppres RI 1987—1998. Jakarta:
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Front Pembela Proklamasi ‘45. 2002. Evaluasi ST MPR 2002 Perubahan UUD 1945.
Jakarta: FPP ‘45.
Gonick, L. 2006. Kartun Riwayat Peradaban. Jiid 1. Jakarta. Kepustakaan Populer
Gramedia.
Habermas, Jurgen. 1996. “The European Nation State: Its Achievements and Its Limits,
on the Past and Future of Sovereignty and Citizenship”, dalam Gopal
Balakrishnan (ed.), Mapping the Nation. London: Verso.
Halida, R. 2009. Individu dalam Kelompok. Dalam Psikologi sosial. Penyunting: Sarlito
W Sarwono dan Eko A Meinarno. Jakarta. Salemba Humanika.
Hardi. Lasmidjah. 1984. Samudera Merah Putih 19 September 1945. Jilid 1. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Hatta, Muhammad. 1953. Kumpulan Karangan s.v. Tudjuan dan Politik Pergerakan
Nasional di Indonesia. Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
Haviland, W. A. 1995. Antropologi. Jakarta: Erlangga.
____________. 2000. Anthropology (ed. ke-9). Orlando: Harcourt, Inc.
Hitlin, S. 2003. Values as the Core of Personal Identity: Drawing Links Between Two
Theories of Self. Social Psychology Quarterly; Jun 2003; 66; 2.
Huntington, Samuel T. 1998. The Clash of Civilization and the Remaking of World
Order, London: Tochtone Books.
Ihromi, T.O. 1986.Bianglala Hukum. Bandung: Tarsito.
__________, (ed.). 1993.Bunga Rampai Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Kaelan, M. S. 2002. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

88
Koentjaraningrat. 1977. “Sistem Gotong-Royong dan Jiwa Gotong Royong”, Berita
Antropologi. Terbitan khusus, th. IX No. 30, Pebruari 1977.
______________. 1985. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia.
______________. 1987a. “Kebudayaan Nasional Indonesia,” Kompas, 9 Maret 1987.
______________. 1987b. “Orientasi Nilai Budaya dalam Kebudayaan Nasional
Indonesia,” Kompas, 11 Maret 1987.
_______________. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kusuma, A. B. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Kusuma, RMAB. 2010. “Konsistensi Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Negara”,
dalam Konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya.
Yogyakarta: PSP-Press.
Kusumaatmadja, Mochtar. 2003. Konsep Hukum Negara Nusantara pada Konvensi
Hukum Laut III. Bandung: Alumni.
Kusumadewi, LR. 2012. “Relasi Sosial Antarkelompok Agama di Indonesia: Integrasi
atau Disintegrasi?”, dalam Sistem Sosial Indonesia, penyunting: Paulus Wirutomo.
Jakarta: UI Press.
Latif, Y. 2011. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Lauder, MRMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta. Fakultas Ilmu
Budaya Indonesia-Akbar Media Eka Sarana.
Lembaga Pertahanan Nasional. 1995. Wawasan Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka–
Lemhannas.
Loebis, Ali Basja. 1979. Asas-asas Ilmu Bangsa-Bangsa. Jakarta: Erlangga.
Mahfud MD, Moh. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Maio, GR., Olson, JM. “Relations between Values, Attitudes, and Behavioral Intentions:
The Moderating Role of Attitude Function”, Journal of Experimental Social
Psychology, 1995, No. 31, hlm. 266-285.
Markum, ME., Meinarno, EA., Juneman. 2011. “Hubungan Pancasila dan Identitas
Nasional: Masihkah Remaja Kita Mengingatnya?” Laporan Penelitian Hibah
Riset Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 2011.
Marzali, A. 2005. Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta. Prenada Media.
Meinarno, EA. 2011. “How Pancasila Form the National Identity of Indonesian People?
Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. Yogyakarta, 21-
24 Juli.

89
Meinarno, EA., Widianto, B., Halida, R. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan
Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi. Jakarta. Salemba Humanika.
Mirhad, R. P., Purnomo. 1973. Geopolitik dan Geostrategi Indonesia, (diktat untuk
KRA) Jakarta: Lembaga pertahanan Nasional.
Morgenthau, Hans J. 2006 (direvisi oleh Thompson dan Clinton). Polititcs among
Nations:The Struggle for Power and Peace. New York: Mc Graw Hill.
Ohmae, Kenichi. 1991. The Borderless World, Power and Strategy in the Interlined
Economy. London: Fontana.
Oomen, TK. (2009). Kewarganegaraan, Kebangsaan, & Etnisitas: Mendamaikan
Persaingan Identitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Panitia Lemhannas. 1980. Bunga Rampai Ketahanan Nasional: Konsepsi dan Teori.
Jakarta: Ripers Utama.
Poesponegoro, MD., Notosusanto, N. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta. Balai
Pustaka
Poole, Ross. 1999. Nation and Identity. New York: Routledge.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ramage, DE. 1995. Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of
Tolerance. London. Routledge.
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Reicher, S., Hopkins, N. 2001. Self and Nation: Categorization, Contestation and
Mobilization. London. Sage Publication.
Rida, Z. 1988. “Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
Mewujudkan Masyarakat Berbudaya Pancasila”. Tesis Strata Dua Program Studi
Pengkajian Ketahanan Nasional. Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Rinjin, K. 2010. “Pandangan Hidup Bangsa Indonesia dan Dasar Falsafah Negara
Kesatuan Republik Indonesia”, dalam Konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam
UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta: PSP-Press.
Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values. The Free Press. New York.
Robert, J. M. 2004. The New Peguin History of the World. London.
Seda, FSSE., Febriana, E., Agustin, SM., Shakuntala, RRS. 2012. “Relasi Gender dalam
Masyarakat Indonesia”, dalam Sistem Sosial Indonesia, penyunting: Paulus
Wirutomo. Jakarta: UI Press.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1992. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Simbolon, Parakitri T. 1995. Menjadi Indonesia, Buku I: Akar-akar Kebangsaan
Indonesia. Jakarta: Kompas.

90
Simpson, A. 2007. “Indonesia”, dalam Language & National Identity in Asia,
penyunting: Andrew Simpson. Oxford. Oxford University Press.
Somantri, GR. 2006. “Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern”,
dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,
penyunting: Irfan Nasution dan Ronny Agustinus. Jakarta.

Sunardi, R.M. 2004. Pembinaan Ketahanan Bangsadalam Rangka Memperkokoh


Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Kuaternita Adidarma.
Suparlan, Parsudi. 2005. Suku Bangsa dan Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta:
Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Suwartono, C., Meinarno, EA. 2010. “The Measurement of Pancasila: An Effort to make
Psychological Measurement from Pancasila Values”, dipaparkan dalam Seminar
CICP, Yogyakarta, Juli 2010.
-----------. 2011. “Construct Validation of Pancasila Scale: An Empirical Report”,
Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. Yogyakarta, 21-
24 Juli.
Tajfel, H. 1974. “Social Identity and Intergroup Behavior”, Social Science Information.
No. 13, 65, hlm. 65-93.
Takwin, B. 2011. “Kekuatan dan Keutamaan Karakter sebagai Hasil dari Daya-daya
Spiritual”, dalam Buku ajar 1: Filsafat, Logika, Etika, dan Kekuatan dan
Keutamaan Karakter, Penyunting: Bagus Takwin, Lamuddin Finoza, H Zakky
Mubarak. Depok: Universitas Indonesia.
Tim Pengajar Antropologi Budaya Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2000. Buku
Ajar Antropologi Budaya. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Wirutomo, P. 2012. “Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep”, dalam
Sistem Sosial Indonesia, penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta: UI Press.
Wirutomo, P. 2012. “Menyongsong Masa Depan Integrasi Masyarakat Indonesia”, dalam
Sistem Sosial Indonesia, penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta: UI Press.
Wright, Quincy. 1942. Study of War. Chicago: The University of Chicago Press.

D. Undang-undang
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah Amandemen I
sampai dengan IV).
_________. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
_________. Undang-Undang Nomor 24 Tahun1992 tentang Penataan Ruang.
_________. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
_________. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

91
_________. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
_________. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
_________. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
_________. Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035.

Daftar Rujukan Gambar

Gambar The Patriot:


http://www.swotti.com/tmp/swotti/cacheDGHLIHBHDHJPB3Q=RW50ZXJ0YWLUBWV
UDC1NB3ZPZXM=/imgthe%20patriot3.jpg

Gambar wafer Tango:


http://www.google.co.id/imgres?q=wafer+tango&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbnid=exce
nsyo8KZYhM:&imgrefurl=http://www.indowebster.web.id/showthread.php%3Ft%3D160
748%26page%3D91&docid=JZLESngNxFZcgM&imgurl=http://img51.imageshack.us/i
mg51/8526/tangovanillasugarfree.jpg&w=200&h=165&ei=06TeT-
PgMM_jrAfehZ3IDQ&zoom=1&iact=hc&vpx=165&vpy=244&dur=2182&hovh=132&
hovw=160&tx=81&ty=98&sig=110374437010778634995&page=1&tbnh=132&tbnw=
160&start=0&ndsp=12&ved=1t:429,r:6,s:0,i:88&biw=1366&bih=558

Gambar wafer Loacker:


http://www.google.co.id/imgres?q=wafer+loacker&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbnid=1_
lf60mhSPmISM:&imgrefurl=http://caloriecount.about.com/calories-loacker-wafers-
i183107&docid=Fo5jl3JxNikwQM&imgurl=http://static.caloriecount.about.com/images/
medium/loacker-wafers-sandwich-hazelnut-
101966.jpg&w=200&h=200&ei=P6beT637AsXsrAfwweGsDQ&zoom=1&iact=hc&vpx
=335&vpy=249&dur=1064&hovh=160&hovw=160&tx=60&ty=104&sig=1103744370
10778634995&page=4&tbnh=160&tbnw=160&start=57&ndsp=18&ved=1t:429,r:1,s:
57,i:254&biw=1366&bih=558

Gambar poster film Garuda di dadaku:


http://www.google.co.id/imgres?q=garuda+di+dadaku&hl=id&gbv=2&tbm=isch&tbni
d=VLacUBdcY2u90M:&imgrefurl=http://bicarafilm.com/baca/2011/07/13/yuk-nonton-
shooting-garuda-di-dadaku-
2.html&docid=Jufl8WJ9zzhvUM&imgurl=http://bicarafilm.com/images/medium/2325-
poster.jpg&w=400&h=300&ei=j6feT8vXDofOrQfhldXGDQ&zoom=1&biw=1366&bih
=558

Gambar peta Indonesia:

92
Gambar peta dunia: gambar dunia:
http://www.google.co.id/imglanding?q=world+map&hl=id&gbv=2&tbs=isch:1&tbnid=
wJmeQu2avHIOMM:&imgrefurl=http://vectorya.com/freevectors/art-designs/free-
vector-world-
map/&imgurl=http://vectorya.com/gallery/data/media/8/A_large_blank_world_map_wit
h_oceans_marked_in_blue.gif&zoom=1&w=4500&h=2234&iact=hc&ei=zP7hTLH-
CcPQceTg8YsM&oei=wP7hTLzEEYq8vgOE9KjVDg&esq=2&page=2&tbnh=80&tbnw
=161&start=8&ndsp=10&ved=1t:429,r:7,s:8&biw=1024&bih=388 (Nov. 2010)

93
DATA PENULIS

R. Ismala Dewiadalah tenaga pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Program Sarjana (S1) untuk Mata Kuliah Hukum dan Masyarakat, Manusia dan
Masyarakat Indonesia, Antropologi Budaya, Antropologi Hukum, dan Ilmu Budaya
Dasar; dan di Program Pascasarjana (S2) untuk Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Air.
Kemudian sebagai Tim Pengembang MPKT A (2002 sd sekarang); Koordinator Pusat
MPKT A UI (2007-2015); Koordinator Fakultas MPKT A di FHUI (2004-2007); serta
Dosen MPKT di lingkungan UI. Selain di UI, Juga pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu
Kepolisian (STIK/PTIK), Akademi Ilmu Pemasyarakat (AKIP), dan Akademi Imigrasi
(AIM). Latar belakang pendidikan adalah Sarjana Hukum (S1) dari Fakultas Hukum UI,
Magister Hukum (S2) dan Doktor (S3) dari Program Pascasarjana FHUI. Selain sebagai
tenaga pengajar, juga sebagai anggota Senat Akademik FHUI, yang sebelumnya pernah
menjabat juga sebagai Anggota Badan penjaminan Mutu Akademik (BPMA) UI dan
Ketua Unit Penjaminan Mutu Akademik (UPMA) FHUI,penulis beberapa buku dan
karya ilmiah lain, aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan disiplin ilmu
hukum, serta kegiatan pengabdian pada masyarakat.

Slamet Soemiarno, pengajar luar biasa UI, Mk Pendidikan Kewarganegaraan sejak


1995. Pendikab S-1 Administrasi Negara di Sekolah Tinggi Ilmu Admininistrasi,
Lembaga Adminstrasi Negara R.I. dan S-2 Pengkajian Ketahaan Nasional di Fakultas
Pacasarjana Universitas Indonesia. Pendidikan jenjang diawali AAU hingga SESKOAU.
Sebelum bergabung dengan UI (MKU dan Tim PDPT), sebagai dosen/widyaiswara luar
biasa pada Proyek Pendidikan Latihan Departemen Keuangan R.I dan SESPANAS
Lembaga Addministrasi Negara dengan bahan ajar Administrasi Perlengkapan
Pemerintah., di samping tetap sebagai anggota TNI AU di kesatuan wilayah,
pemeliharaan, pendidikan dan keanggotaan Legislatif

Agnes Sri Poerbasari, adalah Dosen dan Anggota Tim Pengembang PPKPT – MPKT A
di Univesitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 jurusan Hubungan
Internasional di FISIP Universitas Airlangga, dan S2 di Program Studi Kajian Wilayah
Amerika, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Eko A. Meinarno, adalah pengajar tetap di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.


Minatnya terhadap kondisi sosial membuatnya berkecimpung di Psikologi dengan
peminatan Psikologi Sosial. Bentuk konkretnya adalah menjadi anggota tim ajar
Psikologi Lintas Budaya (2004–2009), Psikologi Sosial (2001-sekarang), Antropologi
(2001–2007) dan Individu, Kebudayaan, dan Masyarakat (2008-2012). Latar pendidikan
strata dua (S-2) adalah Antropologi dari FISIP UI dan strata satu (S-1) Psikologi UI.
Beberapa bentuk karyanya adalah dalam bentuk artikel dalam jurnal nasional, tulisan
dalam buku nasional dan internasional. Aktivitas lain adalah menjadi anggota APsyA
(Asian Psychological Association) dan anggota dewan editor pada beberapa jurnal
psikologi nasional.

94

Anda mungkin juga menyukai