Anda di halaman 1dari 55

Akut Abdomen Secara Umum

Istilah akut abdomen merupakan tanda dan gejala yang disebabkan penyakit intra
abdominal dan biasanya membutuhkan terapi pembedahan. Banyak penyakit yang menimbulkan
gejala di perut, beberapa di antaranya tidak memerlukan terapi pembedahan, sehingga evaluasi
pasien dengan nyeri abdomen harus cermat. Manajemen yang benar dari pasien dengan akut ab
abdomen memerlukan keputusan yang tepat terkait dengan waktu tentang perlunya untuk
melakukan operasi pembedahan. Keputusan ini membutuhkan evaluasi dari riwayat pasien dan
pemeriksaan fisik, data laboratorium, dan tes pencitraan. Sindrom acute abdominal pain
menyebabkan sejumlah besar kunjungan ke rumah sakit dan dapat terjadi pada mereka yang sangat
muda, sangat tua, laki-laki maupun perempuan, dan semua tingkatan sosioekonomi (Brewer BJ,
Golden GT,1999). Semua pasien dengan nyeri abdomen harus menjalani evaluasi untuk menegakkan
diagnosis sehingga pengobatan tepat waktu dan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Kasus
abdominal pain tercatat 5% sampai 10% dari semua kunjungan gawat darurat atau 5 sampai 10 juta
pasien di Amerika Serikat (Graff LG, Robinson D, 2001). Studi lain menunjukkan bahwa 25% dari pasien
yang datang ke gawat darurat mengeluh nyeri perut (Cordell WH et all, 2002). Diagnosis bervariasi
sesuai untuk kelompok usia, yaitu anak dan geriatri. Sebagai contoh nyeri perut pada anak-anak
lebih sering disebabkan oleh apendisitis , sedangkan penyakit empedu, usus diverticulitis, dan infark
usus lebih umum terjadi pada bayi.

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Perkembangan dari anatomi rongga perut dan organ-organ visera mempengaruhi


manifestasi, patogenesis dan klinis dari penyakit abdominal peritoneum dan persarafan sensoris
viseral sangat penting untuk evaluasi acute abdominal disease (Gray SW, 1997). Setelah 3 minggu
perkembangan janin, usus primitif terbagi menjadi foregut, midgut, dan hindgut. Arteri
mesenterika superior menyuplai dari ke midgut (bagian keempat duodenum sampai midtransversal
kolon). Foregut meliputi faring, esofagus, lambung, dan proksimal duodenum, sedangkan hindgut
terdiri dari kolon distal dan rektum. Serabut aferen yang menyertai suplai vaskuler memberikan
persarafan sensoris pada usus dan terkait peritoneum viseral. Sehingga, penyakit pada proksimal
duodenum (foregut) merangsang serabut aferen celiac axis menghasilkan nyeri epigastrium.
Rangsangan di sekum atau apendiks (midgut) mengaktifkan saraf aferen yang menyertai arteri
mesenterika superior menyebabkan rasa nyeri di periumbilikalis, dan penyakit kolon distal
menginduksi serabut saraf aferen sekitar arteri mesenterika inferior menyebabkan nyeri suprapubik.
Saraf prenikus dan serabut saraf aferen setinggi C3, C4, dan C5 sesuai dermatom bersama-sama
dengan arteri prenikus mempersarafi otot-otot diafragma dan peritoneum sekitar diafragma.
Rangsangan pada diafragma menyebabkan nyeri yang menjalar ke bahu. Peritoneum parietalis,
dinding abdomen, dan jaringan lunak retroperitoneal menerima persarafan somatik sesuai dengan
segmen nerve roots.( . Diethelm et al,1997)

Peritoneum parietalis kaya akan inervasi saraf sehingga sensitif terhadap rangsangan.
Rangsangan pada permukaan peritoneum parietal akan menghasilkan sensasi yang tajam dan
terlokalisir di area stimulus. Ketika peradangan pada viseral mengiritasi pada peritoneum parietal
maka akan timbul nyeri yang terlokalisir. Banyak "peritoneal signs" yang berguna dalam diagnosis
klinis dari acute abdominal pain. Inervasi dual-sensorik dari kavum abdomen yaitu serabut aferen
viseral dan saraf somatik menghasilkan pola nyeri yang khas yang membantu dalam diagnosis.
Misalnya, nyeri pada apendisitis akut nyeri akan muncul pada area periumbilikalis dan nyeri akan
semakin jelas terlokalisir ke kuadran kanan bawah saat peradangan melibatkan peritoneum parietal.
Stimulasi pada saraf perifer akan menghasilkan sensasi yang tajam, tiba-tiba, dan terlokalisir dengan
baik. Rangsangan pada saraf sensorik aferen intraperitoneal pada acute abdominal pain
menimbulkan nyeri yang tumpul (tidak jelas pusat nyerinya), nyeri tidak terlokalisasi dengan baik,
dengan onset gradual/ bertahap dan durasi yang lebih lama. Nervus vagus tidak mengirimkan
impuls nyeri dari usus. Sistem saraf aferen simpatik mengirimkan nyeri dari esofagus ke spinal cord.
Saraf aferen dari kapsul hepar, ligamen hepar, bagian central dari diafragma, kapsul lien, dan
perikardium memasuki sistem saraf pusat dari C3 sampai C5. Spinal cord dari T6 sampai T9
menerima serabut nyeri dari bagian diafragma perifer, kantong empedu, pankreas, dan usus halus.
Serabut nyeri dari colon, appendik, dan visera dari pelvis memasuki sistem saraf pusat pada segmen
T10 sampai L11. Kolon sigmoid, rektum, pelvic renalis beserta kapsulnya, ureter dan testis memasuki
sistem saraf pusat pada T11 dan L1. Kandung kemih dan kolon rektosigmoid dipersarafi saraf aferen
dari S2 sampai S4. Pemotongan, robek, hancur, atau terbakar biasanya tidak menghasilkan nyeri di
visera pada abdomen. Namun, peregangan atau distensi dari peritoneum akan menghasilkan sensasi
nyeri. Peradangan peritoneum akan menghasilkan nyeri viseral, seperti halnya iskemia. Kanker dapat
menyebabkan intraabdominal pain jika mengenai saraf sensorik. Abdominal pain dapat berupa
viseral pain, parietal pain, atau reffered pain. Visceral pain bersifat tumpul dan kurang terlokalisir
dengan baik, biasanya di epigastrium, regio periumbilikalis atau regio suprapubik. Pasien dengan
nyeri viseral mungkin juga mengalami gejala berkeringat, gelisah, dan mual. Nyeri parietal atau nyeri
somatik yang terkait dengan gangguan intraabdominal akan menyebabkan nyeri yang lebih inten
dan terlokalisir dengan baik. Referred pain merupakan sensasi nyeri dirasakan jauh dari lokasi
sumber stimulus yang sebenarnya. Misalnya, iritasi pada diafragma dapat menghasilkan rasa sakit di
bahu. Penyakit saluran empedu atau kantong empedu dapat menghasilkan nyeri bahu.
Distensi dari small bowel dapat menghasilkan rasa sakit ke bagian punggung bawah. Selama minggu
ke-5 perkembangan janin, usus berkembang diluar rongga peritoneal, menonjol melalui dasar
umbilical cord, dan mengalami rotasi 180○ berlawanan dengan arah jarum jam. Selama proses ini,
usus tetap berada di luar rongga peritoneal sampai kira-kira minggu 10, rotasi embryologik
menempatkan organ-oragan visera pada posisi anatomis dewasa, dan pengetahuan tentang proses
rotasi semasa embriologis penting secara klinis untuk evaluasi pasien dengan acute abdominal pain
karena variasi dalam posisi ( misalnya, pelvic atau retrocecal appendix) (Buschard K, Kjaeldgaard
A,1993).

Jenis Nyeri perut

Keluhan yang paling menonjol pada gawat perut adalah nyeri. Nyeri perut ini dapat
berupa nyeri viseral maupun nyeri somatik, dan dapat berasal dari berbagai proses pada
berbagai organ di rongga perut atau diluar rongga perut, misalnya di rongga dada.

Nyeri viseral

Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur dalam rongga
perut, misalnya cedera atau radang. Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut
dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak peka terhadap perabaan, atau pemotongan.
Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa rasa nyeri pada
pasien. Akan tetapi bila dilakukan penarikan atau peregangan organ atau terjadi kontraksi
yang berlebihan pada otot sehingga menimbulkan iskemik, misalnya pada kolik atau radang
pada appendisitis maka akan timbul nyeri. Pasien yang mengalami nyeri viseral biasanya
tidak dapat menunjukkan secara tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan
seluruh telapak tangannya untuk menunjuk daerah yang nyeri. Nyeri viseral kadang disebut
juga nyeri sentral (Sjamsuhidajat et all,2004).

Penderita memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan persarafan embrional


organ yang terlibat. Saluran cerna berasal dari foregut yaitu lambung, duodenum, sistem
hepatobilier dan pankreas yang menyebabkan nyeri di ulu hati atau epigastrium. Bagian
saluran cerna yang berasal dari midgut yaitu usus halus usus besar sampai pertengahan
kolon transversum yang menyebabkan nyeri di sekitar umbilikus. Bagian saluran cerna yang
lainnya adalah hindgut yaitu pertengahan kolon transversum sampai dengan kolon sigmoid
yang menimbulkan nyeri pada bagian perut bawah. Jika tidak disertai dengan rangsangan
peritoneum nyeri tidak dipengaruhi oleh gerakan sehingga penderita biasanya dapat aktif
bergerak(Sjamsuhidajat , dkk., 2004).

Nyeri somatik

Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi saraf tepi,
misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada dinding perut. Nyeri dirasakan
seperti disayat atau ditusuk, dan pasien dapat menunjuk dengan tepat dengan jari lokasi
nyeri. Rangsang yang menimbulkan nyeri dapat berupa tekanan, rangsang kimiawi atau
proses radang (Sjamsuhidajat dkk., 2004).

Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsang peritoneum dan
dapat menimbulkan nyeri. Perdangannya sendiri maupun gesekan antara kedua peritoneum
dapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri. Gesekan inilah yang menjelaskan nyeri
kontralateral pada appendisitis akut. Setiap gerakan penderita, baik gerakan tubuh maupun
gerakan nafas yang dalam atau batuk, juga akan menambah intensitas nyeri sehingga
penderita pada akut abdomen berusaha untuk tidak bergerak, bernafas dangkal dan
menahan batuk (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Letak nyeri perut

Nyeri viseral dari suatu organ biasanya sesuai letaknya sama dengan asal organ
tersebut pada masa embrional, sedangkan letak nyeri somatik biasanya dekat dengan organ
sumber nyeri sehingga relatif mudah menentukan penyebabnya. Nyeri pada anak
presekolah sulit ditentukan letaknya karena mereka selalu menunjuk daerah sekitar pusat
bila ditanya tentang nyerinya. Anak yang lebih besar baru dapat menentukan letak nyeri
(Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Sifat nyeri

Berdasarkan letak atau penyebarannya nyeri dapat bersifat nyeri alih, dan nyeri yang
diproyeksikan. Untuk penyakit tertentu, meluasnya rasa nyeri dapat membantu menegakkan
diagnosis. Nyeri bilier khas menjalar ke pinggang dan ke arah belikat, nyeri pankreatitis
dirasakan menembus ke bagian pinggang. Nyeri pada bahu kemungkinan terdapat
rangsangan pada diafragma (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Nyeri alih

Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu daerah.
Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah ke bawah pada masa
embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh perdarahan atau peradangan akan
dirasakan di bahu. Demikian juga pada kolestitis akut, nyeri dirasakan pada daerah ujung
belikat. Abses dibawah diafragma atau rangsangan karena radang atau trauma pada
permukaan limpa atau hati juga dapat menyebabkan nyeri di bahu. Kolik ureter atau kolik
pielum ginjal, biasanya dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti labia mayora pada
wanita atau testis pada pria (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Nyeri proyeksi

Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf sensoris akibat
cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal adalah nyeri phantom setelah
amputasi, atau nyeri perifer setempat akibat herpes zooster. Radang saraf pada herpes
zooster dapat menyebabkan nyeri yang hebat di dinding perut sebelum gejala tau tanda
herpes menjadi jelas (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Hiperestesia

Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika ada peradangan pada
rongga di bawahnya. Pada gawat perut, tanda ini sering ditemukan pada peritonitis
setempat maupun peritonitis umum. Nyeri peritoneum parietalis dirasakan tepat pada tempat
terangsangnya peritoneum sehingga penderita dapat menunjuk dengan tepat lokasi
nyerinya, dan pada tempat itu terdapat nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri batuk serta tanpa
rangsangan peritoneum lain dan defans muskuler yang sering disertai hipersetesi kulit
setempat. Nyeri yang timbul pada pasien akut abdomen dapat berupa nyeri kontinyu atau
nyeri kolik (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Nyeri kontinyu

Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus menerus
karena berlangsung terus menerus, misalnya pada reaksi radang. Pada saat pemeriksaan
penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan
defans muskuler secara refleks untuk melindungi bagian yang meraadang dan menghindari
gerakan atau tekanan setempat (Sjamsuhidaja, dkk., 2004).

Nyeri kolik

Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga dan
biasanya diakibatkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut (obstruksi usus, batu
ureter, batu empedu, peningkatan tekanan intraluminer). Nyeri ini timbul karena hipoksia
yang dialami oleh jaringan dinding saluran. Karena kontraksi berbeda maka kolik dirasakan
hilang timbul (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Kolik biasanya disertai dengan gejala mual sampai muntah. Dalam serangan,
penderita sangat gelisah. Yang khas ialah trias kolik yang terdiri dari serangan nyeri perut
yang hilang timbul mual atau muntah dan gerak paksa.

Nyeri iskemik

Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap, dan tidak
mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang terancam nekrosis. Lebih lanjut akan
tampak tanda intoksikasi umum seperti takikardia, keadaan umum yang jelek dan syok
karena resorbsi toksin dari jaringan nekrosis.
Nyeri pindah

Nyeri dapat berubah sesuai dengan perkembangan patologi. Misalnya pada tahap
awal appendisitis, sebelum radang mencapai permukaan peritoneum, nyeri viseral dirasakan
di sekitar pusat disertai rasa mual. Setelah radang mencapai diseluruh dinding termasuk
peritoneum viserale, terjadi nyeri akibat rangsangan yang merupakan nyeri somatik. Nyeri
pada saat itu dirasakan tepat pada peritoneum yang meradang, yaitu perut kuadran kanan
bawah. Jika appendiks mengalami nekrosis dan ganggren nyeri berubah lagi menjadi nyeri
yang hebat menetap dan tidak mereda. Penderita dapat jatuh pada keadaan yang toksis.

Pada perforasi tukak peptikduodenum, isi duodenum yang terdiri dari cairan asam garam
empedu masuk ke rongga abdomen sehingga merangsang peritoneum setempat. Pasien
akan merasakan nyeri pada bagian epigastrium. Setelah beberapa saat cairan duodenum
mengalir ke kanan bawah, melalui jalan di sebelah lateral kolon ascendens sampai sekitar
caecum. Nyeri akan berkurang karena terjadi pengenceran. Pasien sering mengeluh nyeri
berpindah dari ulu hati pindah ke kanan bawah.proses ini berbeda dengan yang terjadi pada
appendisitis akut. Akan tetapi kedua keadaan ini, appendisitis akut maupun perforasi
duodeum akan mengakibatkan general peritonitis jika tidak segera ditangani dengan baik.

Permulaan nyeri dan intensitas nyeri

Bagaimana bermulanya nyeri pada akut abdomen dapat menggambarkan sumber


nyeri. Nyeri dapat tiba-tiba hebat atau secara cepat berubah menjadi hebat, tetapi dapat
pula bertahap menjadi semakin nyeri. Misalnya pada perforasi organ berongga, rangsangan
peritoneum akibat zat kimia akan dirasakan lebih cepat dibandingkan proses inflamasi.
Demikian juga intensitas nyerinya. Sesorang yang sehat dapat pula tiba-tiba langsung
merasakan nyeri perut hebat yang disebabkan oleh adanya sumbatan, perforasi atau
pluntiran. Nyeri yang bertahap biasanya disebabkan oleh proses radang, misalnya pada
kolesistitis atau pankreatitis.

Posisi pasien

Posisi pasien dalam mengurangi nyeri dapat menjadi petunjuk. Pada pankreatitis akut
pasien akan berbaring ke sebelah kiri dengan fleksi pada tulang belakang, panggul dan
lutut. Kadang penderita akan duduk bungkuk dengan fleksi sendi panggul dan lutut. Pasien
dengan abses hati biasanya berjalan sedikit membungkuk dengan menekan daerah perut
bagian atas seakan-akan menggendong absesnya. Appendisitis akut yang letaknya
retrosaekum mendorong penderitanya untuk berbaring dengan fleksi pada sendi panggul
sehingga melemaskan otot psoas yang teriritasi. Gawat perut yang menyebabkan diafragma
teritasi akan menyebabkan pasien lebih nyaman pada posisi setengah duduk yang
memudahkan bernafas. Penderita pada peritonitis lokal maupun umum tidak dapat bergerak
karena nyeri, sedangkan pasien dengan kolik terpaksa bergerak karena nyerinya
(Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Pemeriksaan

Anamnesis

Dalam anamnesis penderita akut abdomen, perlu ditanyakan dahulu permulaan


nyerinya (kapa mulai, mendadak atau berangsur), letaknya (menetap, berpindah),
keparahannya dan sifatnya (seperti ditusuk, tekanan, terbakar, irisan atau bersifat kolik),
perubahannya (bandingkan dengan permulaanya), lamanya dan faktor yang
mempengaruhinya (memperingan atau memperberat seperti sikap tubuh, makanan,
minuman, nafas dalam, batuk, bersin, defekasi, miksi). Apakah pasien pernah mengalami
nyeri seperti ini.

Muntah sering didapatkan pada pasien akut abdomen. Pada obstruksi usus tinggi,
muntah tidak akan berhenti dan bertambah berat. Konstipasi didapatkan pada obstruksi
usus besar dan pada peritonitis umum. Nyeri tekan didapatkan pada iritasi peritoneum. Jika
ada radang peritoneum setempat ditemukan tanda rangsang peritoneum yang sering
disertai defans muskuler. Pertanyaan mengenai defekasi, miksi daur haid, dan gejala lain
seperti keadaan sebelum serangan akut abdomen harus dimasukkan dalam anamnesis
(Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan keadaan umum, wajah, denyut nadi,
pernafasan, suhu badan dan sikap berbaring. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok
dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan. Pada pemeriksaan perut inspeksi
merupakan bagian yang penting. Auskultasi dilakukan sebelum perkusi dan palpasi. Lipat
paha dan tempat hernia lain diperiksa secara khusus. Umumnya diperlukan colok dubur
untuk membantu penegakan diagnosis.

Pemeriksaan perut yang sukar dicapai seperti daerah retoperitoneal, regio subfrenik
dan panggul dapat dicapai secara tidak langsung dengan uji tertentu. Dengan uji iliopsoas
diperoleh informasi mengenai regio retroperitoneal, dengan uji obturator diperoleh informasi
mengenai panggul dan dengan perkusi tinju didapat informasi dari subfrenik. Dengan
menarik testis ke arah kaudal dapat dicapai daerah dasar panggul.
Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum douglas kurang memberikan
informasi pada peritonitis murni, nyeri pada satu sisi menunjukan kelainan di daerah
panggul. Colok dubur dapat membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus
karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus
ampulanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi kemungkinan kelainan di
organ ginekologis (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Pemeriksaan fisik meluputi inspeksi auskultasi perkusi dan palpasi. Tanda-tanda


khusus pada trauma daerah abdomen adalah penderita kesakitan. Pernafasan dangkal
karena nyeri didaerah abdomen. Penderita pucat, keringat dingin. Bekas-bekas trauma pada
dinding abdomen, memar, luka, prolaps omentum atau usus. Kadang-kadang pada trauma
tumpul abdomen sukar ditemukan tanda-tanda khusus, maka harus dilakukan pemeriksaan
berulang oleh dokter yang sama untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perubahan pada
pemeriksaan fisik. Pada ileus obstruksi terlihat distensi abdomen bila obstruksinya letak
rendah, dan bila orangnya kurus kadang-kadang terlihat peristalsis usus (Darm-steifung).
Palpasi pada kasus akut abdomen memberikan rangsangan peritoneum melalui
peradangan atau iritasi peritoneum secara lokal atau umum tergantung dari luasnya daerah
yang terkena iritasi. Palpasi akan menunjukkan 2 gejala yaitu nyeri dan muscular rigidity/
defense musculaire. Nyeri yang memang sudah dan akan bertambah saat palpasi sehingga
dikenal gejala nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada peitonitis lokal akan timbul rasa nyeri di
daerah peradangan dan daerah penekanan dinding abdomen. defense musculaire/
muscular rigidity ditimbulkan karena rasa nyeri peritonitis diffusa dan rangsangan palpasi
bertambah sehingga terjadi defense musculaire. Perkusi pada akut abdomen dapat
menunjukkan 2 hal yaitu perasaan nyeri oleh ketokan jari yang disebut sebagai nyeri ketok
dan bunyi timpani karena meteorismus disebabkan distensi usus yang berisikan gas karena
ileus obstruksi letak rendah. Auskultasi tidak memberikan gejala karena pada akut
abdomen. Pemeriksaan rectal toucher atau perabaan rektum dengan jari telunjuk juga
merupakan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi adanya trauma rektum atau keadaan
ampulla recti apakah berisi faeces atau teraba tumor.

Pemerikasaan Penunjang

Setelah data-data pemeriksaan fisik terkumpul diperlukan juga pemeriksaan


tambahan berupa Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan Hb
diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus menerus. Demikian pula
dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa
terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak terutama pada
kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan
adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan
kemungkinan trauma pads hepar. Pemeriksaan urine rutin menunjukkan adanya trauma
pads saluran kemih bila dijumpai hematuria. Urin yang jernih belum dapat menyingkirkan
adanya trauma pada saluran urogenital. Pemeriksaan radiologi foto thorak Selalu harus
diusahakan pembuatan foto thorak dalam posisi tegak untuk menyingkirkan adanya kelainan
pada thoraks atau trauma pads thoraks. Harus juga diperhatikan adanya udara bebas di
bawah diafragma atau adanya gambaran usus dalam rongga thoraks pada hernia
diafragmatika.

Plain abdomen akan memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara
bebas retroperitoneal dekat duodenum, corpus alienum, perubahan gambaran usus.
Intravenous Pyelogram karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada
persangkaan trauma pada ginjal. Pemeriksaan Ultrasonografi dan CT-scan Bereuna sebagai
pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan adanya
trauma pada hepar dan retroperitoneum. Pemeriksaan khusus abdominal paracentesis
Merupalcan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan adanya
perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm dalam larutan NaCl
yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100-200 ml larutan NaCl 0.9%
selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi. Pemeriksaan laparoskopi
Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber penyebabnya.
Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rektosigmoidoskopi. Pemasangan
nasogastric tube (NGT) untuk memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma
abdomen. Dari data yang diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
tambahan dan pemeriksaan khusus dapat diadakan analisis data untuk memperoleh
diagnosis kerja dan masalah-masalah sampingan yang perlu diperhatikan. Dengan demikian
dapat ditentukan tujuan pengobatan bagi penderita dan langkah-langkah yang diperlukan
untuk mencapai tujuan pengobatan.
1. Penyakit Crohn

Definisi
Penyakit Crohn’s adalah sebuah penyakit di mana terjadi inflamasi (peradangan) pada
saluran cerna sehingga mempengaruhi saluran cerna. Penyakit Crohn’s ini menyebabkan
peradangan dan pembengkakan pada saluran pencernaan dan paling umum
mempengaruhi ileum terminal, namun penyakit ini dapat pula terjadi pada seluruh saluran
pencernaan dari mulut sampai ke anus. Penyakit Crohn adalah penyakit kronis yang
idiopatik dimana terjadi peradangan transmural usus yang sering mengakibatkan fibrosis
dan gejala obstruktif. Kondisi ini diduga akibat ketidakseimbangan antara mediator pro-
inflamasi dan anti-inflamasi. Sekitar 30 % dari kasus terjadi pada usus halus terutama
ileum terminal, 30 % di colon, dan 40 % di usus halus dan kolon (Tierney, 2001).

Epidemiologi
Prevalensi penyakit Crohn di Amerika Serikat adalah sekitar 7 kasus per 100.000
populasi. Sedangkan insiden penyakit Crohn di Asia berkisar antara 0,5 – 4,2 per
100.000 populasi. Perbandingan antara wanita dan pria berkisar antara 1,1 - 1,8 : 1.
Sebagian besar kasus terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Pasien yang berusia tua lebih
sering mengalami penyakit Crohn pada segmen colon. Sedangkan pasien yang berusia
muda memiliki predominan penyakit di segmen ileum (Panes, 2007).

Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab pasti penyakit Crohn masih belum diketahui pasti. Faktor - faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyakit ini antara lain (Thoreson, 2007):
1. Genetik, ras Kaukasia lebih sering menderita penyakit Crohn dibandingkan ras Negroid
dan Hispanik dengan perbandingan 25 % dan 2 %. Hal ini diduga akibat mutasi pada gen
yang mengatur respon imun intraseluler terhadap infeksi bakteri (CARD15) dan gen yang
mengatur autofagositosis (komponen respon imunitas awal yang melawan derivat protein
bakteri patogen) ( gen ATG16L1).
2. Infeksi bakteri, meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga
merupakan penyebab potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua agen infeksi yang
paling menarik perhatian yaitu mycobacteria, khususnya Mycobacterium paratuberculosis
dan virus measles. Infeksi lain yang diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s disease
adalah Chlamydia, Listeria monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus seperti
Mycobacterium paratuberculosis, spesies Pseudomonas, dan spesies Listeria.
3. Faktor imunologis, yang mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan seluler yang
menyerang sel-sel saluran cerna, yang menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-
faktor yang diduga berperanan pada respons inflamasi saluran cerna pada Crohn’s
disease mencakup sitokin-sitokin, seperti interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor
necroting factor). Peranan respons imun pada Crohn’s disease masih kontroversial, dan
mungkin timbul sebagai akibat dari proses penyakit dan bukan merupakan penyebab
penyakit.
4. Faktor lain, seperti pemberian ASI yang merupakan faktor protektif terhadap penyakit
Crohn, kebiasaan merokok, penggunaan kontrasepsi oral, obat NSAID

Patofisiologi
Peradangan kronis dari aktivasi sel T menyebabkan kerusakan jaringan. Setelah aktivasi
oleh presentasi antigen, timbul respon yang tidak dapat dikendalikan dari limfosit Th1, hal
ini terjadi akibat kelainan pada regulasi respon imun. Sitokin Th1 seperti IL-12 dan TNF
alpha menstimulasi respon inflamasi. Sel-sel radang yang dirangsang oleh sitokin ini
mege;uarkan substansi inflamasi non spesifik, seperti asam arakidonat, protease, platelet
activating factor, dan radikal bebas, yang menghasilkan kerusakan langsung pada usus.
Secara mikroskopik, lesi awal bermula sebagai infiltrasi inflamasi fokal di sekitar kripta-
kripta, kemudian diikuti oleh ulserasi mukosa superfisial. Selanjutnya sel-sel radang
menginvasi lapisan mukosa dalam, dan dalam prosesnya mulai membentuk granuloma
non caseosa. Granuloma-granuloma ini menyebar melalui semua lapisan dinding usus,
ke dalam mesenterium, dan limfonodi regional. Infiltrasi netrofil; ke dalam kripta
membentuk abses kripta, menyebabkan hancurnya kripta dan atrofi kolon. Kerusakan
kronis dapat terlihat dalam bentuk pembengkakan vili-vili pada usus halus. Ulserasi juga
sering tampak di balik mukosa yang normal. Meskipun pembentukan granuloma
merupakan patognomonis pada penyakit Crohn, ketidakberadaannya tidak dapat
menyingkirkan diagnosis (Thoreson, 2007).
Gambar 1 . Gambaran histologis colitis kronis dengan atropfi kripta dan infiltrasi limfosit

Gambar 2. Granuloma kolon pada penyakit Crohn

Gambar 3. Gambaran kolonoskopi menujukkan ulserasi dan inflamasi kolon descenden


pada penyakit Crohn

Secara makroskopis, kelainan awal berupa hiperemi dan edema pada mukosa usus. Lalu
terjadi ulser superfisial yang terbentuk di atas agregat limfoid dan tampak sebagai titik-
titik kemerahan atau pendangkalan mukosa. Lama kelamaan bentukan ini dapat menjadi
ulser dalam yang terbentuk secara transversal dan longitudinal di atas mukosa yang
meradang, membuat bentukan “cobblestone”. Lesi sering terbentuk segmental, dibatasi
oleh area sehat yang biasa disebut “skip lesion” (Thoreson, 2007).
Radang transmural mengakibatkan penebalan dinding usus dan penyempitan lumen.
Ketika penyakit Crohn semakin memberat, akan terjadi komplikasi akibat obstruksi atau
ulserasi dalam berupa fistulisasi dimana terdapat saluran yang menembus lapisan
serosa, mikroperforasi, pembentukan abses, adhesi, dan malabsorbsi. Obstruksi
disebabkan oleh edema mukosa dan spasme usus. Sifatnya intermiten dan reversibel
dengan pemberian obat anti inflamasi. Namun obstruksi menjadi kondisi kronis bila sudah
terjadi pembentukan scar fibrosis, penyempitan lumen, dan pembentukan striktur. Fistula
dapat terjadi enteroenteral, enterovesical, enterovaginal, atau enterokutan. Inflamasi
yang menyebar sepanjang dnding usus dapat mempengaruhi mesentrerium dan
limfonodi di sekitar. Bentukan “creeping fat” dapat terlihat ketika mesenterium
membungkus disekitar permukaan usus. Inflamasi serosa menyebabkan adhesi sehingga
perforasi bebas jarang ditemui pada penyakit Crohn dibanding pada penyakit peradangan
usus lainnya (Thoreson, 2007).
Radang transmural mengakibatkan penebalan dinding usus dan penyempitan lumen.
Ketika penyakit Crohn semakin memberat, akan terjadi komplikasi akibat obstruksi atau
ulserasi dalam berupa fistulisasi dimana terdapat saluran yang menembus lapisan
serosa, mikroperforasi, pembentukan abses, adhesi, dan malabsorbsi. Obstruksi
disebabkan oleh edema mukosa dan spasme usus. Sifatnya intermiten dan reversibel
dengan pemberian obat anti inflamasi. Namun obstruksi menjadi kondisi kronis bila sudah
terjadi pembentukan scar fibrosis, penyempitan lumen, dan pembentukan striktur. Fistula
dapat terjadi enteroenteral, enterovesical, enterovaginal, atau enterokutan. Inflamasi
yang menyebar sepanjang dnding usus dapat mempengaruhi mesentrerium dan
limfonodi di sekitar. Bentukan “creeping fat” dapat terlihat ketika mesenterium
membungkus disekitar permukaan usus. Inflamasi serosa menyebabkan adhesi sehingga
perforasi bebas jarang ditemui pada penyakit Crohn dibanding pada penyakit peradangan
usus lainnya (Thoreson, 2007).
Malabsorbsi dapat terjadi akibat hilangnya permukaan mukosa absorptif yang fungsional.
Keadaan ini menyebabkan malnutrisi protein dan kalori, dehidrasi, dan defisiensi nutrisi
multipel. Bila segmen ileum terminal ikut terserang maka akan terjadi malabsorbsi asam
empedu yang mengakibatkan steatorhea, defisiensi vitamin ADEK, dan pembentukan
batu empedu. Malabsorbsi lemak dapat menyebabkan peningkatan ekskresi oksalat
menyebabkan pembentukan batu ginjal. Steatorhea dan defisiensi vitamin ADEK dapat
juga menyebabkan kelainan pembekuan darah, defisiensi kalsium, dan osteomalasia
yang berkembang menjadi osteoporosis. Defisiensi vitamin B12 dapat juga terjadi akibat
reseksi ileum (Thoreson, 2007).

Gejala Klinis
Gambaran klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri abdomen, diare, dan
penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan gejala utama keterlibatan
colon. Perdarahan per rektal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat
nyeri yang menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen (Tierney,
2001).

Diagnosa
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen yang
dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat menderita anemia
ringan, leukositosis, dan peningkatan LED
Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada stadium
dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi bersifat reversibel.
Sejalan dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat
menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat
penyempitan lumen usus
Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi, fistula
cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia. Meskipun jarang,
dapat terjadi perforasi usus sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari penyakit ini
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto kontras tunggal
saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atau enteroclysis dengan CT,
dan pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai
penunjang jika terdapat masalah dengan penggunaan kontras.
Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna dalam
diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis penyakit.

Terapi
Tujuan utama dari pengobatan penyakit Crohn adalah mencapai kondisi klinis,
laboratoris, dan histologis sebaik mungkin dengan menekan respon inflamasi. Pada
anak-anak juga diperhatikan bagaimana cara agar pasien mendapat nutrisi yang adekuat
untuk pertumbuhan. Terapi diberikan secara bertahap. Pasien dengan kondisi ringan
diobati dengan aminosalicylic acid (5-ASA), antibiotik, dan terapi nutrisi. Bila tidak ada
respon atau bila kondisi semakin memburuk maka dapat diberikan kortikosteroid dan
terapi imunomudalsi dengan 6-mercaptopurine (6-MP; Purinethol) atau methotrexate
(Folex PFS, Rheumatrex). Tindakan operasi memainkan peran penting dalam mengontrol
gejala dan mengobati komplikasi penyakit Crohn (D’Haens, 2008).

Prognosa
Angka harapan hidup 15 tahun untuk populasi luas adalah sebesar 93,7 %, namun angka
kematian dan komplikasi dapat semakin bertambah seiring perjalanan penyakit. Pada
tahun pertama setelah diagnosis, angka kekambuhan mencapai 50 %, dengan 10 %
pasien mengalami episode kekambuhan kronis. Rata-rata timbulnya komplikasi pada
pasien dengan Crohn’s disease yang sudah menjalani terapi bedah adalah antara 15 –
30%. Komplikasi bedah yang paling sering terjadi adalah infeksi luka operasi,
pembentukkan abses-abses intraabdominal, dan kebocoran anastomosis. Sebagian
besar pasien yang telah menjalani reseksi usus mengalami kekambuhan penyakit, yaitu
70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi dan 85% dalam waktu 3 tahun setelah operasi.
Kekambuhan klinis ditandai dengan berulangnya gejala-gejala Crohn’s disease. Sekitar
⅓ pasien membutuhkan operasi ulang dalam waktu 5 tahun setelah operasi yang
pertama (Cornbluth, 1998).
Meskipun penyakit Crohn adalah penyakit kronis dengan kekambuhan yang sering,
namun pengobatan medis dan operasi dapat membantu pasien dalam mendapatkan
kualitas hidup yang baik. Secara umum, penyakit Crohn memiliki prognosis yang baik
dan resiko kematian rendah (Cornbluth, 1998).

2. Sistitis

Definisi

Sistitis akut adalah inflamasi akut pada mukosa buli - buli yang sering disebabkan oleh
infeksi bakteri. Kuman penyebab infeksi ini terutama adalah Escherichia colli,
Enterococci, Proteus, dan Stafilokokus aureus yang masuk ke buli - buli terutama melalui
uretra. Sistitis akut sangat mudah terjadi jika pertahanan lokal tubuh menurun, yaitu pada
diabetes melitus atau trauma lokal minor pada saat sanggama (Tessy, 2003).

Peradangan pada buli - buli juga dapat disebabkan oleh bahan kimia, seperti detergen,
yang dicampur ke dalam air untuk rendam duduk, deodorant yang dimasukkan ke vulva,
atau obat - obat sitostastika yang dimasukan intrevesika untuk terapi kanker buli – buli
(Tessy, 2003).

Epidemiologi
Wanita sangat sering mengalami sistitis karena uretra wanita lebih pendek dibanding
pria. Selain itu sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar prostat bersifat bakterisidal
sehingga pria relatif tahan terhadap infeksi. Kurang lebih sekitar 10 - 20% wanita pernah
mengalami sistitis selama hidupnya dan kurang lebih 5% dalam satu tahun pernah
mengalami serangan ini (Tessy, 2003).

Etiologi dan Faktor Resiko


Beberapa penyebab sistitis diantaranya adalah (Tessy, 2003) :
1. Aliran balik urine dari uretra ke dalam kandung kemih ( Refluks Uretrovesikal)
2. Adanya kontaminasi fekal pada meatus uretra
3. Pemakaian kateter atau sistoskop
4. Mikroorganisme : E.coli, Enterococci, Proteus, Staphylococcus aureus.
5. Bahan kimia : Detergent yang dicampurkan ke dalam air untuk rendam duduk, deodorant
yang disemprotkan pada vulva, obat-obatan (misalnya: siklofosfamid) yang dimasukkan
intravesika untuk terapi kanker buli-buli.
6. Infeksi ginjal
7. Prostat hipertrofi karena adanya urine sisa
8. Infeksi usus
9. Infeksi kronis dari traktus bagian atas
10. Adanya sisa urine
11. Stenosis dari traktus bagian bawah

Patofisiologi
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran kemih dapat melalui (Tessy, 2003) :
a.Penyebaran endogen yaitu kontak langsung daro tempat terdekat.
b.Hematogen.
c.Limfogen.
d.Eksogen sebagai akibat pemakaian alat berupa kateter atau sistoskopi.
Infeksi tractus urinarius terutama berasal dari mikroorganisme pada faeces yang naik dari
perineum ke uretra dan kandung kemih serta menempel pada permukaan mukosa. Agar
infeksi dapat terjadi, bakteri harus mencapai kandung kemih, melekat pada dan
mengkolonisasi epitelium traktus urinarius untuk menghindari pembilasan melalui
berkemih, mekanisme pertahan penjamu dan cetusan inflamasi.
Inflamasi, abrasi mukosa uretral, pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap,
gangguan status metabolisme (diabetes, kehamilan, gout) dan imunosupresi
meningkatkan resiko infeksi saluran kemih dengan cara mengganggu mekanisme
normal.

Gejala Klinis
Inflamasi menyebabkan mukosa buli - buli menjadi eritema, edema, dan hipersensitif. Bila
buli - buli terisi urin, akan mudah terangsang untuk mengeluarkan isinya segera, ini
mengakibatkan gejala frekuensi. Kontraksi buli - buli menimbulkan nyeri pada daerah
suprapubik serta eritema mukosa buli - buli mudah berdarah dan menyebabkan
hematuria. Air kemih tampak berawan dan mengandung darah. Infeksi kandung kemih
biasanya menyebabkan rasa terbakar atau nyeri selama berkemih. Nyeri biasanya
dirasakan diatas tulang kemaluan dan sering juga dirasakan di punggung sebelah bawah.
Gejala lainnya adalah nokturia (sering berkemih di malam hari). Pasien mengalami
demam, mual, muntah, badan lemah, kondisi umum menurun. Jika ada demam dan nyeri
pinggang, perlu dipikirkan adanya penjalaran infeksi ke saluran kemih bagian atas
(Tessy, 2003).
Kadang infeksi kandung kemih tidak menimbulkan gejala dan diketahui pada saat
pemeriksaan air kemih (urinalisis untuk alasan lain). Sistitis tanpa gejala terutama sering
terjadi pada usia lanjut, yang bisa menderita inkontinensia urin sebagai akibatnya.
Inkontenensia urine adalah eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau
terjadi di luar keinginan (Tessy, 2003).

Diagnosis
Pemeriksaan Lab dan Radiologi
 Jika sistitis sering kambuh, perlu dipikirkan adanya kelainan pada kandung kemih
(misalnya: keganasan, batu di saluran kemih/urolithiasis) sehingga diperlukan
pemeriksaan pencitraan (PIV, USG) atau sistoskopi (Tessy, 2003).
 Urinalisis
a. Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK.
Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB)
sediment air kemih
b. Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih.
Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan
glomerulus ataupun urolitiasis (Tessy, 2003).
 Bakteriologis
a. Mikroskopis
b. Biakan bakteri
c. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
d. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung
aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya
infeksi.
 Metode tes
1. Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk
pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami piuria. Tes
pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal
menjadi nitrit.
2. Tes Penyakit Menular Seksual (PMS): Uretritia akut akibat organisme menular secara
seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek) (Tessy,
2003).
 Radiografi:
Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat
dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius,
adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram
IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten (Tessy, 2003).

Terapi

 Pada sistitis tanpa komplikasi dapat diberikan antibiotik Cotrimoksasol 2 x 1,


Ciprofloksasin 2 x 1, selama 5 hari terapi
 Karena keadaan nyeri yang sangat menganggu karena kontraksi buli - buli dapat
diberikan antispasmodik seperti papaverin, atau hyoscine butil-bromide
 Jika nyeri tidak teratasi dapat diberikan analgetik
 Pasien disarankan banyak minum, jangan minum alkohol, kopi, soda, yang
menyebabkan iritasi pada buli - buli (Tessy, 2003)
Prognosis
Dengan pemakaian antibiotik yang tepat, prognosis sistitis baik namun sering
menyebabkan rekurensi. Pada kasus sistitis dengan komplikasi dibutuhkan pengulangan
urinalisis dan kultur urin untuk memastikan hilangnya infeksi (Tessy, 2003).

3. Retensi Urin

Definisi
Retensi urin adalah keadaan dimana penderita tidak dapat mengeluarkan urin yang
terkumpulndidalam buli-buli sehingga kapasitas maksimal dari buli-buli dilampaui
(Swierzewski, 2011) .

Epidemiologi
Retensi urin dapat terjadi pada semua orang dan pada semua usia. Laki-laki cenderung
mengalami retensi urin dibandingkan wanita, terutama saat menginjak dekade ke-6,
penyebab yang paling sering adalah BPH (Swierzewski, 2011).

Etiologi dan Faktor Resiko


- Kelemahan detrusor.
cedera /gangguan pada sumsum tulang belakang, kerusakan serat saraf (diabetes
melitus),
detrusor yang mengalami peregangan/dilatasi yang berlebihan untuk waktu lama
- Gangguan koordinasi detrusor-sfingter (dis-sinergi)
cedera /gangguan sumsum tulang belakang di daerah cauda equina.
- Hambatan pada jalan keluar:
kelainan kelenjar prostat (BPH, Ca)
striktura uretra
batu uretra
kerusakan uretra (trauma)
gumpalan darah didalam lumen buli-buli (clot retention) (Swierzewski, 2011).

Patofisiologi
Proses Miksi:
Buli-buli berfungsi ganda
1. Menampung urin sebagai "reservoir". Pada fase ini otot buli-buli (detrusor) dalam
keadaan
relaksasi sedangkan sfmgter dalam keadaan tegang (menutup). Bila volume urin
mencapai
kapasitas fisiologis (pada orang dewasa berkisar antara 250-400 ml), akan timbul
rangsangan untuk miksi, namun proses miksi masih bisa ditangguhkan karena ditahan
oleh yang bersangkutan. Bila volume urin mencapai kapasitas maksimal (pada orang
dewasa berkisar antara 500-600 ml), rangsangan untuk miksi makin meningkat, sehingga
menimbulkan rasa tidak nyaman dan proses miksi masih bisa ditahan sementara dengan
menegangkan sfingter uretra eksternum secara sadar (otot bergaris).
2. Mengosongkan isinya, disebut proses miksi. Peristiwa ini memerlukan kerja sama yang
terkoordinir secara harmonis antara detrusor yang berkontraksi dan sfmgter yang
mengalami
relaksasi sehingga urin memancar keluar sampai buli-buli kosong.
Pada kedua fase tersebut diatas, buli-buli mencegah pengaliran urin kembali kedalam
ureter
(mencegah terjadinya refluks).
Proses miksi akan berlangsung lancar bila detrusor dan sfingter dalam keadaan baik,
berfungsi normal (terkoordinir secara harmonis) dan tidak terdapat hambatan di uretra
(Swierzewski, 2011)
.
Akibat retensi urin
- Buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga tekanan didalam
lumennya dan tegangan dari dindingnya akan meningkat.
- Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam lumen akan
menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi hidroureter dan
hidronefrosis dan lambat laun terjadi gagal ginjal.
- Bila tekanan didalam buli-buli meningkat dan melebihi besarnya hambatan di daerah
uretra, urin akan memancar berulang-ulang (dalam jumlah sedikit) tanpa bisa ditahan
oleh penderita, sementara itu buli-buli tetap penuh dengan urin. Keadaan ini disebut :
inkontinensi paradoksa atau "overflow incontinence"
- Tegangan dari dinding buli-buli terns meningkat sampai tercapai batas toleransi dan
setelah batas ini dilewati, otot buli-buli akan mengalami dilatasi sehingga kapasitas buli-
buli melebihi kapasitas maksimumnya, dengan akibat kekuatan kontraksi otot buli-buli
akan menyusut.
- Retensi urin merupakan predileksi untuk terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) dan bila
ini
terjadi, dapat menimbulkan keadaan gawat yang serius seperti pielonefritis, urosepsis,
khususnya pada penderita usia lanjut (Swierzewski, 2011).

Gejala Klinis
- Rasa tidak nyaman hingga rasa nyeri yang hebat pada perut bagian bawah hingga
daerah genital.
- Tumor pada perut bagian bawah.
- Tidak dapat kencing.
- Kadang-kadang urin keluar sedikit-sedikit, sering, tanpa disadari, tanpa bisa ditahan
(inkontinensi paradoksa) (Swierzewski, 2011).
Diagnosis
Tidak bisa kencing atau kencing menetes /sedikit-sedikit
Nyeri dan benjolan/massa pada perut bagian bawah
Riwayat trauma: "straddle", perut bagian bawah/panggul, ruas tulang belakang.
Pada kasus kronis, keluhan uremia (Swierzewski, 2011).

Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi:
Penderita gelisah
Benjolan/massa perut bagian bawah
Tergantung penyebab : batu dimeatus eksternum, pembengkakan dengan/tanpa
fistulae didaerah penis dan skrotum akibat striktura uretra, perdarahan per uretra pada
kerobekan akibat trauma (Swierzewski, 2011).
Palpasi dan perkusi
Teraba benjolan/massa kistik-kenyal (undulasi) pada perut bagian bawah.
Bila ditekan menimbulkan perasaan nyeri pada pangkal penis atau menimbulkan
perasaan
ingin kencing yang sangat mengganggu.
Terdapat keredupan pada perkusi. Dari palpasi dan perkusi dapat ditetapkan batas
atas buli-buli yang penuh, dikaitkan dengan jarak antara simfisis-umbilikus.
Tergantung penyebab
- teraba batu di uretra anterior sampai dengan meatus eksternum.
- teraba dengan keras (indurasi) dari uretra pada striktura yang panjang
- teraba pembesaran kelenjar prostat pada pemeriksaan colok dubur.
- teraba kelenjar prostat letaknya tinggi bila terdapat ruptur total uretra posterior.
Kepastian diagnosis
Foto polos abdomen dan genitalia
- terlihat bayangan buli-buli yang penuh dan membesar.
- adanya batu (opaque) di uretra atau orifisium internum.
Uretrografi untuk melihat adanya striktura, kerobekan uretra, tumor uretra.
Ultrasonografi untuk melihat volume buli-buli, adanya batu, adanya pembesaran
kelenjar
Prostat (Swierzewski, 2011).

Terapi
Bila diagnosis retensi urin sudah ditegakkan secara benar, penatalaksanaan ditetapkan
berdasarkan masalah yang berkaitan dengan penyebab retensi urinnya.
Pilihannya adalah
1. Kateterisasi
2. Sistostomi suprapubik
- trokar
- terbuka
3. Pungsi suprapubik (Swierzewski, 2011).

1. Kateterisasi
Syarat-syarat
- dilakukan dengan prinsip aseptik
- digunakan kateter nelaton/sejenis yang tidak terlalu besar, jenis Foley
- diusahakan tidak nyeri agar tidak terjadi spasme dari sfingter.
- diusahakan dengan sistem tertutup bila dipasang kateter tetap.
- diberikan antibiotika profilaksis sebelum pemasangan kateter 1 X saja (biasanya tidak
diperlukan antibiotika sama sekali). Kateter tetap dipertahankan sesingkat mungkin,
hanya sepanjang masih dibutuhkan (Swierzewski, 2011).
Perawatan Kateter tetap
Penderita dengan kateter tetap harus
- Minum banyak untuk menjamin diuresis
- Melaksanakan kegiatan sehari-hari secepatnya bila keadaan mengijinkan
Membersihkan ujung uretra dari sekrit dan darah yang mengering agar pengaliran sekrit
dan lumen uretra terjamin.
- Mengusahakan kantong penampung urin tidak melampaui ketinggian buli-buli agar urin
tidak mengalir kembali kedalamnya
- Mengganti kateter (nelaton) setiap dua minggu bila memang masih diperlukan untuk
mencegah pembentukan batu (kateter silikon : penggantian setiap 6-8 minggu sekali)
(Swierzewski, 2011).
2. Sistostomi Trokar
Indikasi
1. Kateterisasi gagal : striktura, batu uretra yang menancap (impacted).
2. Kateterisasi tidak dibenarkan : kerobekan uretra path trauma.
Sebagian ahli berpendapat bahwa sistostomi pada pria lebih aman daripada kateter tetap
karena penyulit akibat pemakaian kateter pada uretra dapat ditiadakan (uretritis, striktura,
fistula)
Syarat-syarat:
- Retensi urin dan bull-buli penuh, kutub atas lebih tinggi pertengahan jarak antara
simfisis -
umbilikus
- Ukuran kateter Foley lebih kecil daripada celah dalam trokar (< - > 20F) (Swierzewski,
2011).
Sistostomi Terbuka
Indikasi
- lihat sistostomi trokar
- bila sistostomi trokar gagal
- bila akan melakukan tindakan tambahan seperti mengambil batu di dalam bull-buli,
evaluasi
gumpalan darah, memasang "drain" di rongga Retzii, dan sebagainya.
Perawatan kateter sistostomi jauh lebih sederhana daripada kateter tetap melalui uretra.
Demikian
pula penggantian kateter sistostomi setiap dua minggu, lebih mudah dan tidak
menimbulkan nyeri
yang berarti. Kadang-kadang saja urin merembes di sekitar kateter (Swierzewski, 2011).

3. Pungsi Buli-Buli
Merupakan tindakan darurat sementara bila keteterisasi tidak berhasil dan fasilitas /
sarana untuk sistostomi baik trokar maupun terbuka tidak tersedia. Digunakan jarum
pungsi dan penderita segera dirujuk ke pusat pelayanan dimana dapat dilakukan
sistostomi.
Penderita dan keluarga harus drberi informasi yang jelas tentang prosedur ini karena
tanpa
tindakan susulan sistostomi, buli-buli akan terisi penuh kembali dan sebagian urin
merembes
melalui lubang bekas pungsi (Swierzewski, 2011).

Prognosis
Prognosis retensi urin tergantung dari penyakiit dasarnya, pada BPH sebanyak 70 %
pasien mengalami rekurensi dalam 1 minggu setelah terapi (Swierzewski, 2011).

4. Dysmenorrhea
Definisi
Dismenorhea adalah kumpulan gejala nyeri yang dialami saat menstruasi. Dismenorhea
dapat dibagi menjadi dua kelompok, primer dan sekunder. Dismenorhea primer tidak
memiliki etiologi yang jelas dan tidak ditemukan adanya kelainan pada organ panggul,
sedangkan dismenorhea sekunder memiliki penyebab organik yang jelas (Holder, 2011).

Epidemiologi
Prevalensi dismenorhea adalah sebesar 25 % pada wanita dewasa, dan mencapai 90 %
pada remaja wanita. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara prevalensi dan insiden
di antara semua ras (Holder, 2011).

Etiologi dan Faktor Resiko

1. Dismenore Primer
Etiologinya belum jelas tetapi umumnya berhubungan dengan siklus ovulatorik.
Beberapa faktor yang diduga berperan dalam timbulnya dismenore primer yaitu (Holder,
2011):
a. Peningkatan prostaglandin
b. Peningkatan hormon steroid seks
c. Perangsangan saraf simpatis
d. Peningkatan kadar vasopresin
e. Perubahan psikis

2. Dismenore Sekunder
Dapat disebabkan oleh antara lain (Holder, 2011):
a) Endometriosis
b) Stenosis kanalis servikalis
c) Adanya AKDR
d) Tumor ovarium

Patofisologi
Patofisiologi terjadinya dismenorea hingga kini masih belum jelas. Beberapa faktor
diduga berperan dalam timbulnya dismenorea primer yaitu (Holder, 2011):
1. Faktor psikis dan konstitusi
Pada wanita yang secara emosional tidak stabil, dismenorea primer mudah terjadi. Faktor
konstitusi erat kaitannya dengan faktor psikis, faktor ini dapat menurunkan ketahanan
terhadap rasa nyeri. Seringkali segera setelah perkawinan dismenorea hilang, dan jarang
sekali dismenorea menetap setelah melahirkan. Mungkin kedua keadaan tersebut
(perkawinan dan melahirkan) membawa perubahan fisiologis pada genitalia maupun
perubahan psikis. Disamping itu, psikoterapi terkadang mampu menghilangkan
dismenorea primer.
2. Faktor obstruksi canalis cervicalis
Dismenorea sering terjadi pada wanita yang memiliki uterus posisi hiperantefleksi dengan
stenosis pada canalis servicalis. Namun, hal ini tidak dianggap sebagai faktor yang
penting dalam terjadinya dismenorea sebab banyak wanita yang mengalami dismenorea
tanpa adanya stenosis canalis cervicalis ataupun uterus hiperantefleksi.
3. Faktor alergi
Teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya hubungan antara dismenorea
dengan urtikaria, migrain atau asma bronkiale.
4. Faktor neurologis
Uterus dipersarafi oleh sistem syaraf otonom yang terdiri dari syaraf simpatis dan
parasimpatis. Jeffcoate mengemukakan bahwa dismenorea ditimbulkan oleh
ketidakseimbangan pengendalian sistem syaraf otonom terhadap miometrium. Pada
keadaan ini terjadi perangsangan yang berlebihan oleh syaraf simpatis sehingga serabut-
serabut sirkuler pada istmus dan ostium uteri internum menjadi hipertonik.
5. Vasopresin
Kadar vasopresin pada wanita dengan dismenorea primer sangat tinggi dibandingkan
dengan wanita tanpa dismenorea. Pemberian vasopresin pada saat menstruasi
menyebabkan meningkatnya kontraksi uterus, menurunnya aliran darah pada uterus, dan
menimbulkan nyeri. Namun, hingga kini peranan pasti vasopresin dalam mekanisme
terjadinya dismenorea masih belum jelas.
6. Prostaglandin
Penelitian pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa prostaglandin memegang
peranan penting dalam terjadinya dismenorea. Prostaglandin yang berperan disini yaitu
prostaglandin E2 (PGE2) dan F2α (PGF2α). Pelepasan prostaglandin diinduksi oleh
adanya lisis endometrium dan rusaknya membran sel akibat pelepasan lisosim.
Prostaglandin menyebabkan peningkatan aktivitas uterus dan serabut-serabut syaraf
terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara peningkatan kadar prostaglandin dan
peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan tekanan intrauterus hingga 400 mmHg
dan menyebabkan kontraksi miometrium yang hebat. Selanjutnya, kontraksi miometrium
yang disebabkan oleh prostaglandin akan mengurangi aliran darah, sehingga terjadi
iskemia sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri spasmodik. Jika
prostaglandin dilepaskan dalam jumlah berlebihan ke dalam peredaran darah, maka
selain dismenorea timbul pula diare, mual, dan muntah.
7. Faktor hormonal
Umumnya kejang yang terjadi pada dismenorea primer dianggap terjadi akibat kontraksi
uterus yang berlebihan. Dalam penelitian Novak dan Reynolds terhadap uterus kelinci
didapatkan kesimpulan bahwa hormon estrogen merangsang kontraktilitas uterus,
sedang hormon progesteron menghambatnya. Tetapi teori ini tidak menerangkan
mengapa dismenorea tidak terjadi pada perdarahan disfungsi anovulatoar, yang biasanya
disertai tingginya kadar estrogen tanpa adanya progesteron.
Kadar progesteron yang rendah menyebabkan terbentuknya PGF2α dalam jumlah
banyak. Kadar progesteron yang rendah akibat regresi korpus luteum menyebabkan
terganggunya stabilitas membran lisosom dan juga meningkatkan pelepasan enzim
fosfolipase-A2 yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis prostaglandin melalui
perubahan fosfolipid menjadi asam archidonat. Peningkatan prostaglandin pada
endometrium yang mengikuti turunnya kadar progesteron pada fase luteal akhir
menyebabkan peningkatan tonus miometrium dan kontraksi uterus.
8. Leukotren
Sebuah penelitian mengemukakan bahwa leukotren meningkatkan sensitivitas serabut
nyeri pada uterus. Leukotren dalam jumlah besar ditemukan dalam uterus wanita dengan
dismenorea primer yang tidak memberi respon terhadap pemberian antagonis
prostaglandin.
Sama seperti dismenorea primer, penyebab dismenorea sekunder juga belum diketahui
dengan pasti. Dismenorea sekunder diduga disebabkan oleh peningkatan prostaglandin
yang merupakan mediator dalam reaksi radang yang jumlahnya akan tinggi pada
keadaan adanya penyakit radang panggul seperti endometriosis, fibromioma, serta
kelainan ginekologis lainnya. Namun, pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid dan
kontrasepsi oral untuk mengatasi dismenorea sekunder kurang memberi respon yang
memuaskan.

Gejala Klinis
1. Dismenore primer
Onset dimulai sekitar 6 bulan setelah menarke. Rasa nyeri di perut bagian bawah,
menjalar ke daerah pinggang dan paha. Kadang-kadang disertai mual, muntah, diare,
sakit kepala dan emosi yang labil. Nyeri timbul sebelum haid dan berangsur hilang
setelah darah haid keluar, biasanya berlangsung selama 8 -72 jam. (Holder, 2011).

2. Dismenore sekunder
Onset terjadi di usia 20 – 30 tahunan. Nyeri mulai pada saat haid dan meningkat
bersamaan dengan keluarnya darah haid. Ada riwayat haid yang tidak teratur atau
berlebihan, nyeri saat berhubungan badan, riwayat keputihan. Nyeri mungkin tidak
berkurang dengan penggunaan NSAID (Holder, 2011).

Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pada kasus yang dicurigai sebagai dismenore sekunder maka pemeriksaan abdomen
dan pemeriksaan panggul dalam perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab dismenore.
Pemeriksaan meliputi inspeksi genetalia eksterna untuk melihat tanda peradangan dan
massa, pemeriksaan vagina untuk melihat adanya keputihan, massa, dan perdarahan,
pemeriksaan servik untuk melihat massa atau tanda-tanda infeksi, peemriksaan bimanual
untuk mengetahui pergerakan servik. Ultrasonografi servik dapat dilakukan sebagai
pemeriksaan penunjang (Holder, 2011).

Dismenore primer
- Abdomen bawah teraba lunak
- Pemeriksaan pelvis normal
Dismenore sekunder
- Teraba massa pada uterus
- Adneksa parametrium teraba massa
- Discharge vagina +
- Tampak kelainan pada vagina (massa, erosi mukosa, atau prolaps)
- Pemeriksaan pelvis dan abdomen yang normal tidak menyingkitkan diagnosis oleh
karena itu perlu dilakukan ultrasonografi bila memang besar kecurigaan diagnosa
dismenore sekunder
Terapi
1) Dismenore Primer
a. Psikoterapi
b. Medikamentosa
- Analgetika:
Nyeri ringan: aspirin, asetaminofen, propoksifen.
Nyeri berat: prometazin, oksikodon, butalbital
- Sediaan hormonal: progestin, pil kontrasepsi (estrogen rendah dan progesteron tinggi).
- Antiprostaglandin (Holder, 2011).

2) Dismenore Sekunder
Pengobatan terutama ditujukan mencari dan menghilangkan penyebabnya, di samping
pemberian obat-obat bersifat simtomatik (Holder, 2011).
Prognosis
Meskipun tidak mengancam nyawa, teteapi dismenorhea sangat menggangu psikologis
wanita. Beberapa orang lebih memilih untuk mengobati sendiri tanpa pertolongan medis.
Prognosis dismenore secara umum baik dengan penggunaan obat (Holder, 2011).

6. Endometriosis

Definisi
Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan mirip dengan dinding rahim
(endometrium) ditemukan di tempat lain dalam tubuh. Endometriosis juga dapat berupa
suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar
kavum uteri dan diluar miometrium (Widjanarko, 2009).

Epidemiologi

Prevalensi endometriosis cenderung meningkat setiap tahun, walaupun data pastinya


belum dapat diketahui. Menurut Jacoeb (2007), angka kejadian di Indonesia belum dapat
diperkirakan karena belum ada studi epidemiologik, tapi dari data temuan di rumah sakit,
angkanya berkisar 13,6-69,5% pada kelompok infertilitas. Penyakit endometriosis
umumnya muncul pada usia reproduktif. Angka kejadian endometriosis mencapai 5-10%
pada wanita umumnya dan lebih dari 50% terjadi pada wanita perimenopause. Tetapi
ada juga yang melaporkan pernah terjadi pada masa menopause dan bahkan ada yang
melaporkan terjadi pada 40% pasien histerektomi (pengangkatan rahim). Selain itu juga
10% endometriosis ini dapat muncul pada mereka yang mempunyai riwayat
endometriosis dalam keluarganya (Widjanarko, 2009).

Etiologi dan Faktor Risiko


Wanita yang beresiko terkena penyakit endometriosis, yaitu (Widjanarko, 2009):
 Wanita yang ibu atau saudara perempuannya pernah menderita endometriosis
 Memiliki siklus menstruasi kurang atau lebih dari 27 hari
 Menarke (menstruasi yang pertama) terjadi pada usia relatif muda (< 11 thn)
 Masa menstruasi berlangsung selama 7 hari atau lebih
Patofisiologi
Ada teori penyebab endometriosis yang dinyatakan oleh para ahli sebagai berikut
(Widjanarko, 2009)):
1. Metaplasia
Metaplasia yaitu perubahan dari satu tipe jaringan normal menjadi tipe jaringan
normal lainnya. Beberapa jaringan endometrium memiliki kemampuan dalam beberapa
kasus untuk menggantikan jenis jaringan lain di luar rahim. Beberapa peneliti percaya hal
ini terjadi pada embrio, ketika pembentukan rahim pertama. Lainnya percaya bahwa
beberapa sel dewasa mempertahankan kemampuan mereka dalam tahap embrionik
untuk berubah menjadi jaringan reproduksi.
2. Menstruasi Mundur dan Transplantasi
Sampson (1920) mengatakan bahwa aliran menstruasi mundur mengalir melalui saluran
tuba (disebut "aliran mundur") dan tersimpan pada organ panggul dan tumbuh menjadi
kista. Namun, ada sedikit bukti bahwa sel-sel endometrium dapat benar-benar melekat
dan tumbuh ke organ panggul perempuan. Bertahun-tahun kemudian, para peneliti
menemukan bahwa 90% wanita memiliki aliran mundur.
3. Predisposisi genetik
Penelitian telah menunjukkan bahwa wanita dengan riwayat keluarga menderita
endometriosis lebih mungkin untuk terkena penyakit ini. Dan ketika diturunkan maka
penyakit ini cenderung menjadi lebih buruk pada generasi berikutnya. Studi di seluruh
dunia yang sedang berlangsung yaitu studi Endogene International mengadakan
penelitian berdasarkan sampel darah dari wanita dengan endometriosis dengan harapan
mengisolasi sebuah gen endometriosis.
Gambar 5. Menstruasi Mundur dan Transplantasi (Widjanarko, 2009).

4. Pengaruh lingkungan
Beberapa studi telah menunjuk bahwa faktor lingkungan dapat menjadi kontributor
terhadap perkembangan endometriosis, khususnya senyawa-senyawa yang bersifat
racun memiliki efek pada hormon-hormon reproduksi dan respon sistem kekebalan
tubuh, walaupun teori ini tidak terbukti dan masih kontroversial.
Hipotesis berbeda tersebut telah diajukan sebagai penyebab endometriosis. Sayangnya,
tak satu pun dari teori-teori ini sepenuhnya terbukti, juga tidak sepenuhnya menjelaskan
semua mekanisme yang berhubungan dengan perkembangan penyakit. Dengan
demikian, penyebab endometriosis masih belum diketahui. Sebagian besar peneliti,
berpendapat bahwa endometriosis ini diperparah oleh estrogen. Selanjutnya, sebagian
besar pengobatan untuk endometriosis saat ini hanya berupaya untuk mengurangi
produksi estrogen dalam tubuh wanita untuk meringankan gejala.

Organ yang biasa terkena endometriosis adalah ovarium, organ tuba dan salah satu atau
kedua ligamentum sakrouterinum, Cavum Douglasi, dan permukaan uterus bagian
belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil yang
berwarna kebiru-biruan.
Gambar. Kista coklat yang pecah dari ovarium kiri (Widjanarko, 2009).

Gejala Klinis
Rasa sakit sering berkorelasi dengan siklus menstruasi, namun seorang wanita dengan
endometriosis juga dapat mengalami rasa sakit pada waktu lain selama siklus bulanan.
Bagi banyak wanita, tapi tidak semua, rasa sakit endometriosis dapat menjadi begitu
parah dan berdampak signifikan dengan hidupnya. Nyeri yang dirasakan saat
endometriosis terjadi sebelum, selama, dan setelah menstruasi, selama ovulasi, dalam
usus selama menstruasi, ketika buang air kecil, selama atau setelah hubungan seksual,
dan didaerah punggung bawah serta gejala lain mungkin dapat terjadi adalah diare atau
sembelit (khususnya dalam kaitannya dengan menstruasi), perut kembung (sehubungan
dengan menstruasi), perdarahan berat atau tidak teratur, dan kelelahan (Widjanarko,
2009).
Namun perlu ditekankan disini bahwa rasa sakit pada saat menstruasi atau
dysmenorrhea tidak selalu berhubungan dengan gejala endometriosis. Kadar hormone
prostaglandin yang tinggi akan cenderung menyebabkan terjadinya dysmenorrhea
(Widjanarko, 2009).

Diagnosa

Pemeriksaan Fisik
Diagnosa klinik endometriosis diperkuat dengan adanya temuan :
 Penebalan ligamen panggul khususnya pada ligamentum sacrouterina
 Uterus retroversi
 Pembesaran uterus dan ovarium
 Fornik lateral dan posterior kaku
 Nyeri saat uterus ditekan ( seperti keluhan dispareunia ) (Widjanarko, 2009).

Pemeriksaan Penunjang
Visualisasi endometriosis diperlukan untuk memastikan diagnosis. Cara-cara yang biasa
dilakukan untuk mendiagnosis adalah dengan melakukan pemeriksaan laparoskopi untuk
melihat les. Diagnosa laparoskiopi dilakukan setiap hari dari siklus menstruasi dengan
pasien dibawah pengaruh anestesia (obat bius). Diagnostik endometriosis dibutuhkan
untuk melihat keberadaan dari satu atau lebih lesi kebiru-biruan atau hitam. Pendapat
klinik saat ini bahwa prosedur pembedahan seperti laparoskopi dibutuhkan untuk
menentukan diagnosa endometriosis. Laparoskopi dilakukan untuk melihat keberadaan
endometriosis. Pemeriksaan riwayat dan pemeriksaan badan dapat menemukan nyeri
pelvik kronik dan dysmenorrheal, pemunduran uterus, penebalan ligamen uterosakral
tidak sama sekali terdiagnostik (Widjanarko, 2009).

Gambar 1. Gambar laparoskopi organ reproduksi internal wanita (Widjanarko, 2009).

Gambar 2. Diagnosa laparoskopi (Widjanarko, 2009).

Proses diagnosa lain dilakukan pada kasus yang lebih khusus, menggunakan teknik
pengambilan gambar yang khusus seperti ultrasound, Computerized Tomography (CT
scan), atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk menambah informasi tentang
pelvis. Prosedur ini dapat mengidentifikasi kista dan mengetahui karekteristik cairan
dengan kista ovarium, kista endometrioma dan kista korpus luteum mungkin serupa
kelihatannya. Uji ini digunakan bila menilai seorang wanita infertil atau nyeri pelvis kronis
(Widjanarko, 2009).

Terapi

Penanganan endometriosis di bagi menjadi 2 jenis terapi yaitu terapi medik dan terapi
pembedahan.
a. Terapi medik diindikasikan kepada pasien yang ingin mempertahankan
kesuburannya atau yang gejala ringan Jenis-jenis terapi medik seperti terlampir pada
Tabel. 3 dibawah ini (Widjanarko, 2009):
Tabel 4. Jenis-jenis terapi medik endometriosis
Jenis Kandung Fungsi Mekanisme Dosis Efek
an samping
Proge Progester Menciptak Menurunkan Medroxyprog Depresi,
stin on an kadar FSH, esteron peningka
kehamilan LH, dan acetate: 10 – tan berat
palsu estrogen 30 mg/hari; badan
Depo-
Provera®
150 mg
setiap 3
bulan
Dana Androgen Menciptak Mencegah 800 mg/hari Jerawat,
zol lemah an keluarnya selama 6 berat
menopaus FSH, LH, dan bulan badan
e palsu pertumbuhan meningk
endometrium at,
perubah
an suara
GnRH Analog Menciptak Menekan Leuprolide Penurun
agoni GnRH an sekresi 3.75 mg / an
s menopaus hormon bulan; densitas
e palsu GnRH dan Nafareline tulang,
endometrium 200 mg 2 kali rasa
sehari; kering
Goserelin mulut,
3.75 mg / ganggua
bulan n emosi

b. Terapi pembedahan dapat dilaksanakan dengan laparoskopi untuk mengangkat


kista-kista, melepaskan adhesi, dan melenyapkan implantasi dengan sinar laser atau
elektrokauter. Tujuan pembedahan untuk mengembalikan kesuburan dan menghilangkan
gejala (Widjanarko, 2009).
Terapi bedah konservatif dilakukan pada kasus infertilitas, penyakit berat dengan
perlekatan hebat, usia tua. Terapi bedah konservatif antara lain meliputi pelepasan
perlekatan, merusak jaringan endometriotik, dan rekonstruksi anatomis sebaik mungkin
(Widjanarko, 2009).

Prognosis
Pada pasien yang mengalami pembedahan radikal, 3% akan mengalami endometriosis
kembali. Sedangkan pasien yang mengalami pembedahan konservatif, 10% akan
menderita kembali pada 3 tahun pertama dan 35% pada 5 tahun pertama (Widjanarko,
2009).
7. Abses Tubo Ovarian

Definisi
Radang bernanah yang terjadi pada ovarium dan atau tuba fallopii pada satu sisi atau
kedua sisi adneksa (Mudgil, 2009).

Epidemiologi
Abses tubo ovarian sering terjadi pada wanita fase seksual aktif yakni antara usia 20-40
tahun (Mudgil, 2009).

Etiologi dan Faktor Resiko


Abses tubo ovarian disebabkan oleh infeksi berbagai bakteri seperti spesies
Streptococcus, E.Coli, spesies Bacteroides, spesies Prevotella, spesies
Peptostreptococcuss (Mudgil, 2009)..
Beberapa faktor resiko yang terkait adalah (Mudgil, 2009):
1. Pasangan seksual multipel
2. Riwayat penyakit peradangan panggul
3. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR)
4. Status sosioekonomi bawah
5. Riwayat terkena penyakit menular seksual seperti gonorhea dan chlamidia

Patofisiologi
Dengan adanya penyebaran bakteri dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan atau
parametrium, terjadilah salpingitis dengan atau tanpa ooforitis, keadaan ini bisa terjadi
pada pasca abortus, pasca persalinan atau setelah tindakan genekologik sebelumnya
(Mudgil, 2009).
Mekanisme pembentukan ATO yang pasti sukar ditentukan, tergantung sampai
dimana keterlibatan tuba infeksinya sendiri. Pada permulaan proses penyakit, lumen tuba
masih terbuka mengeluarkan eksudat yang purulent dari febriae dan menyebabkan
peritonitis, ovarium sebagaimana struktur lain dalam pelvis mengalami keradangan,
tempat ovulasi dapat sebagai tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai
tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tuba dan ovarium saja, dapat
pula melibatkan struktur pelvis yang lain seperti usus besar, buli-buli atau adneksa yang
lain.
Proses peradangan dapat mereda spontan atau sebagai respon pengobatan, keadaan ini
biasanya memberi perubahan anatomi disertai perlekatan fibrin terhadap organ
terdekatnya. Apabila prosesnya menhebat dapat terjadi pecahnya abses (Mudgil, 2009).

Gejala Klinis
Bervariasi bisa tanpa keluhan bisa tampak sakit, dari ringan sampai berat disertai suhu
badan naik, bisa akut abdomen sampai syok septic. Nyeri panggul dan perut bawah
disertai pula nyeri tekan, febris (60-80 % kasus), takhirkardi, mual dan muntah, bisa pula
terjadi ileus. Adanya masa pada perut bawah dan aneksa lebih memastikan suatu abses
tubo ovarian (Mudgil, 2009).

Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Toucher :
- Nyeri kalau portio digoyangkan.
- Nyeri kiri dan kanan dari uterus.
- Kadang-kadang ada penebalan dari tuba. Tuba yang sehat tak teraba.
- Nyeri pada ovarium karena meradang (Mudgil, 2009).

Terapi
a. Curiga ATO utuh tanpa gejala
- Antibotika dengan masih dipertimbangkan pemakaian golongan : doksiklin 2x / 100 mg /
hari selama 1 minggu atau ampisilin 4 x 500 mg / hari, selama 1 minggu.
- Pengawasan lanjut, bila masa tak mengecil dalam 14 hari atau mungkin membesar adalah
indikasi untuk penanganan lebih lanjut dengan kemungkinan untuk laparatomi
b. ATO utuh dengan gejala :
- Masuk rumah sakit, tirah baring posisi “semi fowler”, observasi ketat tanda vital dan
produksi urine, perksa lingkar abdmen, jika perlu pasang infuse P2
- Antibiotika massif (bila mungkin gol beta lactar) minimal 48-72 jam
Gol ampisilin 4 x 1-2 gram selama / hari, IV 5-7 hari dan gentamisin 5 mg / kg BB / hari,
IV/im terbagi dalam 2x1 hari selama 5-7 hari dan metronida xole 1 gr reksup 2x / hari
atau kloramfinekol 50 mg / kb BB / hari, IV selama 5 hari metronidzal atau sefaloosporin
generasi III 2-3 x /1 gr / sehari dan metronidazol 2 x1 gr selama 5-7 hari
- Pengawasan ketat mengenai keberhasilan terapi
- Jika perlu dilanjutkan laparatomi, SO unilateral, atau pengangkatan seluruh organ genetalia
interna
c. ATO yang pecah, merupakan kasus darurat : dilakukan laporatomi pasang drain kultur
nanah
- Setelah dilakukan laparatomi, diberikan sefalosporin generasi III dan metronidazol 2 x 1 gr
selama 7 hari (1 minggu) (Mudgil, 2009).

Prognosis
a. ATO yang utuh
- Pada umumnya prognosa baik, apabila dengan pengobatan medidinaslis tidak ada
perbaikan keluhan dan gejalanya maupun pengecilan tumornya lebih baik dikerjakan
laparatomi jangan ditunggu abses menjadi pecah yang mungkin perlu tindakan lebih luas
Kemampuan fertilitas jelas menurun kemungkinan reinfeksi harus diperhitungan apabila
terapi pembedahan tak dikerjakan
b. ATO yang pecah
Kemungkinan septisemia besar oleh karenanya perlu penanganan dini dan tindakan
pembedahan untuk menurunkan angka mortalitasnya (Mudgil, 2009).
Kolik bilier

Definisi

Kolik bilier merupakan penyakit pada kandung empedu yang disebabkan oleh kontraksi kuat

otot dinding kandung empedu untuk mengeluarkan impaksi batu empedu pada leher atau

saluran empedu. Batu empede dapat terbentuk di mana saja sepanjang saluran yang

menghubungkan kandung empedu dengan hepar dan duodenum. Hal ini menimbulkan nyeri

akut abdomen yang dimulai dari epigastrium, menyebar ke punggung dan antara kedua

scapula. Nyeri ini berlangsung terus-menerus selama 20 menit sampai 2 jam, dapat disertai

dengan gelisah, berkeringat, mual muntah, dan ikterus.

Faktor risiko

1. Wanita

2. Gemuk

3. Fertile

4. Usia 40-an

5. Ras Eropa

6. Penurunan berat badan tiba-tiba


7. Puasa lama

8. Kehamilan

9. Penyakit crohn

10. Cystic fibrosis

11. Diabetes

12. Liver cirrhosis

13. Sickle disease

14. Thalassamia

15. Usia tua

16. Reseksi usus ekstensif

17. Penggunaan kontraseptif dan obat-obatan seperti largactil, octreotide, dan clofibrate

Gejala

Nyeri kolik bilier dimulai dari epigastrium dan menyebar ke kuadran tangan atas. Nyeri ini

dapat menyebar ke punggung seperti kolesistitis, dan sebagian besar orang

mendeskripsikan nyeri seperti tertusuk, terikat, dan dapat juga menyebar ke lengan atas

kanan. Tidak seperti nyeri karena penyakit jantung, kolik bilier tidak menyebar ke lengan kiri.

Salah satu perbedaan kolik bilier dengan kolesistitis adalah nyeri kolikbilier dapat hilang

sendiri dan tidak terdapat demam. Selama periode antar nyeri, pasien merasa baik-baik

saja. Pada puncak nyeri, pasien dapat mengalami mual muntah, berubah-ubah posisi, dan

bergulung-gulung di lantai untuk mengurangi nyerinya. Bila batu dapat dikeluarkan dari

saluran empedu, nyerinya hilang dan tidak kembali lagi.

Diagnosis

Diagnosis kolik bilier terutama berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Dari

anamnesa didapatkan nyeri abdomen kuadran kanan atas yang timbul mendadak, biasanya

1-2 jam setelah makan makanan berlemak. Pasien tampak berkeringat, gelisah, muntah,

dan ikterus. Apabila terdapat demam, berarti telah terjadi kolesistitis. Apabila terdapat
kecurigaan kolik bilier, pemeriksaan yang paling tepat adalah USG abdomen. Di samping

itu, dapat dilakukan foto polos abdomen, ERCP, MRCP, atau oral cholecystography.

Terapi

Terapi utama kolik bilier adalah menggunakan analgesic kuat seperti diklofenak 3x50 mg

atau ibuprofen. Walaupun secara teoritis pemberian analgesic opioid seperti morfin dapat

meningkatkan nyeri karena menyebabkan spasme otot sphincter Odii, pemberian opioid

sangat efektif dalam menghilangkan nyeri pada kondisi akut. Pada kasus berat, pasien

harus rawat inap, diberi analgesic intravena dan cairan untuk menggantikan kehilangan

melalui muntah.

Terapi definitive batu empedu termasuk:

 Kolesistektomi (open surgical atau dengan endoskopi)

 Menggunakan terapi oral untuk melarutkan garam empedu dan mengeluarkan batu,

seperti ursodeoxycholic acid (UDCA), bila operasi dianggap tidak aman. Terapi ini

dapat juga digunakan sebelum operasi.

 Menggunakan teknik keyhole untuk membuka sphincter Odii dan mengambil batu,

atau mengalirkan batu keluar dengan endoscopic retrograde

choliangiopancreatography (ERCP). Bila terdapat striktur atau penyempitan saluran

empedu, dapat dilakukan sphincterotomi.

Sigmoid diverticulitis

Definisi

Diverticulitis adalah kondisi di mana divertikulum kolon rupture. Hal ini menyebabkan infeksi

jaringan sekitar kolon.

Gejala

Sebagian besar pasien diverticulitis tidak mengalami atau hanya sedikit gejala. Diverticulitis

pada pasien sering ditemukan secara tidak sengaja saat pemeriksaan pada kelainan saluran
cerna lainnya. Gejala umum diverticulitis antara lain nyeri abdomen, konstipasi, dan diare.

Gejala ini berkaitan dengan kesulitan pengeluaran feses melalui kolon bagian kiri, yang

menyempit pada diverticulitis.

Komplikasi

Diverticulum yang rupture menyebabkan bakteri kolon dapat menyebar ke jaringan sekitar

kolon dan menyebabkan diverticulitis. Konstipasi dan diare juga dapat terjadi. Pengumpulan

pus dapat terjadi di sekitar divertikulum yang mengalami inflamasi, menyebabkan

pembentukan abses di dalam pelvis. Pada kasus yang jarang, divertikulum yang mengalami

inflamasi dapat menembus ke kandung kemih, menyebabkan infeksi kandung kemih dan

keluarnya gas usus ke dalam urin. Inflamasi kolon juga dapat menyebabkan obstruksi usus.

Rupturnya divertikulum ke kavum abdomen menimbulkan kondisi mengancam nyawa yang

disebut peritonitis.

Pendarahan divertikulum terjadi ketika divertikulum mengalami ekspansi ke pembuluh darah

di dasar divertikulum. Terjadi pengeluaran darah berwarna merah, gelap, atau maron tanpa

disertai nyeri abdomen. Darah dari divertikulum pada kolon bagian kanan dapat berwarna

hitam. Perdarahan dapat berlangsung terus-menerus atau intermiten selama beberapa hari.

Pasien dengan perdarahan aktif biasanya dirawat inap untuk monitoring. Cairan intravena

diberikan untuk mempertahankan tekanan darah. Transfusi diperlukan untuk pasien dengan

kehilangan darah sedang-berat. Pada perdarahan hebat, tekanan darah pasien dapat

menurun, menyebabkan pusing, syok, dan hilangnya kesadaran. Pada sebagian besar

pasien, perdarahan berhenti secara spontan dan pasien dipulangkan setelah beberapa hari

di rumah sakit. Pasien dengan perdarahan hebat dan persisten memerlukan

divertikulektomi.

Diagnosis

Diagnosis diverticulitis dapat ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan. Barium enema

dapat dilakukan untuk melihat kolon. Divertikulum tampak sebagai kantung yang terisi

barium dan menonjol dari dinding kolon. Visualisasi langsung dari usus dapat dilakukan

dengan sigmoidoskopi atau kolonoskopi. Apabila pasien dicurigai mengalami abses


divertikulum yang menyebabkan nyeri persisten dan demam, perlu dilakukan USG dan CT

scan abdomen dan pelvis untuk mendeteksi pengumpulan pus.

Terapi

Sebagian besar pasien divertikulosis hanya mengalami gejala minimal atau tidak sama

sekali dan tidak memerlukan terapi spesifik. Diet tinggi serat disarankan untuk mencegah

konstipasi dan pembentukan divertikulum lainnya. Pasien dengan gejala ringan nyeri

abdomen karena spasme otot pada area divertikulum dapat diberi obat anti spasmodic

seperti klordiazepoxid, dicyclomin, atropine, scopolamine, fenobarbital, atau hyoscyamin.

Pasien juga diberi antibiotic seperti ciprofloksasin, metronidazol, cephalexin, atau doksisiklin.

Cairan dan makanan berserat rendah disarankan selama serangan akut diverticulitis

sehingga dapat mengurangi jumlah yang dikeluarkan melalui kolon yang dapat

memperparah diverticulitis. Pada diverticulitis berat dengan demam tinggi dan nyeri, pasien

dirawat inap dan diberi antibiotic intravena.

Operasi dilakukan pada:

 Pasien dengan obstruksi usus persisten dan abses yang tidak berespon pada

antibiotic. Operasi biasanya dilakukan dengan drainase pus dan reseksi segmen

kolon yang mengandung divertkulum, biasanya kolon sigmoid.

 Pendarahan divertikulum persisten.

 Komplikasi divertikulum pada kandung kemih, seperti infeksi saluran kemih berulang

dan keluarnya gas usus selama urinasi.

 Pasien dengan serangan diverticulitis berulang yang sering dan menyebabkan

penggunaan berbagai antibiotic, kebutuhan rawat inap, dan cuti bekerja.

Operasi dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi untuk membatasi nyeri post

operasi dan waktu penyembuhan.

Kolesistitis

Definisi
Kolesistitis adalah inflamasi kandung empedu. Kandung empedu membantu proses

pencernaan dengan menyimpan dan melepaskan zat empedu ke duodenum, yang

membantu memecah makanan. Kolesistitis sering disebabkan oleh obstruksi pada saluran

empedu. Batu empedu merupakan penyebab terbanyak obstruksi kandung empedu. Bila

tidak dirawat, inflamasi dapat menyebabkan infeksi. Penyebab kolesistitis lainnya adalah

infeksi, trauma, dan tumor.

Kolesistitis lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria, dan banyak terjadi setelah usia

40 tahun. Terdapat dua macam kolesistitis: akut dan kronis. Episode batu empedu rekuren

menyebabkan penebalan dinding kandung empedu sehingga kandung empedu kurang

efektif dalam mengekskresikan empedu dan zat lainnya.

Tanda dan gejala kolesistitis dapat hilang timbul atau konstan. Spectrum penyakitnya

bervariasi antarindividu. Beberapa pasien kolesistitis tidak mengalami gejala sama sekali,

sementara pasien lainnya mengalami nyeri abdomen, mual muntah, dan penyumbatan

saluran empedu yang dapat menyebabkan infeksi.

Serangan batu empedu akut dapat diatasi dengan terapi intravena. Jika terjadi episode

berulang yang menyebabkan kolesistitis kronis, terapi pilihannya adalah kolesistektomi. Bila

tidak diterapi, kolesistitis dapat menyebabkan komplikasi serius, seperti kerusakan jaringan,

rupture kandung empedu, dan infeksi yang dapat menyebar ke bagian tubuh lain.

Etiologi

Kolesistitis disebabkan oleh berbagai factor, termasuk obstruksi saluran empedu oleh batu,

infeksi, trauma, atau tumor. Penyebab kolesistitis paling umum adalah kolelitiasis, yang

menyebabkan obstruksi saluran empedu. Kolesistitis disebabkan oleh infeksi, trauma, dan

tumor yang menyebabkan sumbatan dan perforasi kandung empedu.

Kolesistitis akut dapat mempengaruhi aliran empedu dan menyebabkan cairan empedu

terperangkap dalam kandung empedu, yang menyebabkan inflamasi dan infeksi bakteri.

Pada kasus jarang, dapat terjadi perforasi kandung empedu. Kolesistitis kronis sering

ditimbulkan oleh episode berulang kolesistitis akut yang menyebabkan penebalan dinding

kandung empedu dan hilangnya fungsi kandung empedu.


Factor risiko

 Usia di atas 40 tahun

 Diabetes

 Wanita

 Batu empedu

 Trauma kandung empedu

 Overweight atau obesitas

Gejala

Gejala umum:

 Nyeri abdomen

 Gejala abdomen yang timbul beberapa menit setelah makan

 Nyeri tekan abdomen

 Feses berwarna dempul

 Demam dan menggigil

 Kehilangan nafsu makan

 Mual dengan atau tanpa muntah

 Nyeri yang menjalar dari abdomen ke bahu kanan atau punggung

 Berkeringat

 Ikterus

Gejala serius:

 Distensi abdomen

 Demam tinggi

 Mual dengan atau tanpa muntah

 Nyeri abdomen hebat

Diagnosis

Anamnesa

 Nyeri perut kanan atas/epigastrium


 Nyeri bertambah bila makan 50g lemak

 Yang khas nyeri menjalar kebahu kanan atau subskapula

 Mual-muntah

 Demam tinggi disertai menggigil

Pemeriksaan fisik

 Peritonitis local

 Tanda Murphy positif (Ketika hipokondrium kanan ditekan, inspirasi dihentikan

karena adanya rasa nyeri)

 Bila ikterus disertai demam mungkin ada batu dalam kandung empedu

 Ikterus ringan

Pemeriksaan laboratorium

 Lekositosis

 Bilirubin total meningkat

 Alkali fosfatase naik

 Enzim transiminase (SGPT/SGOT) meningkat

Pemeriksaan khusus

 USG abdomen

 CT Scan abdomen

 Kolesistografi

Terapi

Kolesistitis akut dapat sembuh sendiri, namun pasien kolesistitis perlu rawat inap dan

pemberian antibiotic untuk mencegah infeksi. Intake oral dihentikan dan diberikan cairan

intravena untuk mengistirahatkan pencernaan. Di samping itu, dapat diberikan obat-obatan

untuk mengatasi nyeri abdomen hebat. Sebagian besar pasien kolesistitis memerlukan

kolesistektomi. Karena kandung empedu bukan organ esensial, pasien masih dapat hidup

normal setelah kolesistektomi.

Hepatitis akut
Definisi

Hepatitis adalah inflamasi hepar yang ditandai dengan destruksi sel hepar dan adanya sel

inflamasi di jaringan hepar.

Etiologi

 Infeksi virus hepatitis A, B, C, D, E

 Infeksi virus lain, seperti glandular fever dan cytomegalovirus.

 Infeksi bakteri berat

 Infeksi amuba

 Obat-obatan seperti paracetamol dan halotan

 Toksin: alcohol dan fungal toksin

Gejala

 Malaise, demam subfebris

 Nausea, anorexia

 Nyeri abdomen di kuadran kanan atas

 Nyeri otot dan sendi, nyeri kepala, ruam kulit

 Ikterus

 Urin berwarna gelap

 Feces berwarna pucat

Diagnosis

Anamnesis

Gejala non spesifik (prodromal) yaitu anoreksia, mual, muntah dan demam. Dalam beberapa

hari-minggu timbul ikterus, tinja pucat dan urin yang berwarna gelap. Saat ini, gejala

prodromal berkurang. Perlu ditanyakan riwayat kontak dengan penderita hepatitis

sebelumnya dan riwayat pemakaian obat-obat hepatotoksik.

Pemeriksaan fisis

Keadaan umum: sebagian besar sakit ringan.


Kulit, sklera ikterik, nyeri tekan di daerah hati, hepatomegali; perhatikan tepi, permukaan,

dan konsistensinya.

Pemeriksaan penunjang

 Darah tepi : dapat ditemukan pansitopenia: infeksi virus, eosinofilia : infestasi cacing,

leukositosis : infeksi bakteri.

 Urin : bilirubin urin

 Biokimia :

o Serum bilirubin direk dan indirek

o ALT (SGPT) dan AST (SGOT)

o Albumin, globulin

o Glukosa darah

 Koagulasi : faal hemostasis terutama waktu protrombin

 Petanda serologis :

o IgM antiHAV, HbsAg, IgM anti HBc, Anti HDV, Anti HCV, IgM Leptospira,

kultur urin untuk leptospira, kultur darah-empedu (Gal)

 USG hati dan saluran empedu : Apakah terdapat kista duktus koledokus, batu

saluran empedu, kolesistitis ; parenkim hati, besar limpa.

Terapi

Infeksi virus hepatitis A akan mengalami penyembuhan sendiri apabila tubuh cukup kuat

sehingga pengobatan hanya untuk mengurangi keluhan yang ada, disertai pemberian

vitamin dan istirahat yang cukup. Infeksi virus hepatitis B pada dewasa sehat 99% akan

mengalami perbaikan, tetapi apabila infeksi berlanjut dan menjadi kronis pemberian analog

nukleosida (lamivudin) dapat memberikan hasil yang baik. Infeksi virus hepatitis C jarang

mengalami penyembuhan spontan, sehingga diperlukan pemberian antivirus dengan

interferon monoterapi memberikan hasil yang baik hingga 70%. Perawatan di rumah sakit

atau dengan isolasi diperlukan apabila penderita mengalami komplikasi dari hepatitis ini.
Terapi suportif dilakukan dengan pembatasan aktivitas, pemberian makanan terutama

harus cukup kalori. Hindari obat hepatotoksik seperti parasetamol, INH, Rifampisin.

Terapi medikamentosa :

 Ursedeoksikolikasid (UDCA)

 Obat anti virus : interferon, lamivudin, ribavirin.

 Prednison khusus untuk VHA bentuk kolestatik.

 Kolestasis berkepanjangan diberi vitamin larut dalam lemak dan terapi simptomatis

untuk menghilangkan rasa gatal yaitu kolestiramin.

 Hepatitis fulminan dirawat intensif.

Pneumonia lobus bawah

Definisi

Pneumonia adalah infeksi paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau fungi.

Sebelum penemuan antibiotic sepertiga dari penderita pneumonia akan meninggal. Saat ini

di Amerika Serikat sekitar 3 juta orang mengalami pneumonia setiap tahun. Dari penderita

pneumonia tersebut sekitar setengah juta memerlukan rawat inap di rumah sakit. Walaupun

sebagian besar penderita sembuh sempurna, sekitar 5% akan meninggal karena

pneumonia.

Gejala

 Demam dan menggigil akibat proses peradangan

 Batuk yang sering produktif dan purulen

 Sputum berwarna merah karat atau kehijauan dengan bau khas

 Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.

Diagnosis

Anamnesis

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang
melebihi 400C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum

mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagiam yang sakit tertinggal waktu bernafas dengan

suara napas bronchial kadang-kadang melemah. Didapatkan ronkhi halus, yang kemudian

menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.

Pemeriksaan radiologis

 Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis.

 Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.

 Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak

tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.

 Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi dengan

jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus

medius kanan.

 Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.

 Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir

terkena.

 Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.

 Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign.

Terapi

Penderita yang tidak dirawat di RS:

 Istirahat ditempat tidur, bila panas tinggi di kompres

 Minum banyak

 Obat-obat penurunan panas, mukolitik, ekspektoran

 Antibiotika

Penderita yang dirawat di Rumah Sakit, penanganannya di bagi 2 :


Penatalaksanaan Umum

 Pemberian Oksigen

 Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit

 Mukolitik dan ekspektoran, bila perlu dilakukan pembersihan jalan nafas

 Obat penurunan panas hanya diberikan bila suhu > 400C, takikardi atau kelainan

jantung.

 Bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri.

Pengobatan Kausal

Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan

mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan :

 Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan nyawa dipertimbangkan

pemberian antibiotika walaupun kuman belum dapat diisolasi.

 Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab sakit, oleh

karena itu diputuskan pemberian antibiotika secara empiric. Pewarnaan gram

sebaiknya dilakukan.

 Perlu diketahui riwayat antibiotika sebelumnya pada penderita.

Pengobatan awal biasanya adalah antibiotic, yang cukup manjur mengatasi pneumonia oleh

bakteri., mikoplasma, dan beberapa kasus ricketsia. Kebanyakan pasien juga bisa diobati di

rumah. Selain antibiotika, pasien juga akan mendapat pengobatan tambahan berupa

pengaturan pola makan dan oksigen untuk meningkatkan jumlah oksigen dalam darah.

Pada pasien yang berusia pertengahan, diperlukan istirahat lebih panjang untuk

mengembalikan kondisi tubuh. Namun, mereka yang sudah sembuh dari pneumonia

mikoplasma akan letih lesu dalam waktu yang panjang.


DAFTAR PUSTAKA

Cornbluth A, Sachar DB, Salomon P. 1998. Crohn's disease. Sleisenger & Fordtran's
Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Vol 2.
6th. Philadelphia, Pa: WB Saunders Co.

D'Haens G, Baert F, van Assche G, et al. 2008. Early combined immunosuppression or


conventional management in patients with newly diagnosed Crohn's disease: an open
randomised trial (http://www.ncbi..nlm.nih.gov/pubmed/18295023, diakses pada tanggal
25 Juni 2011)

Holder, Andre. 2011. Dysmenorrhea in Emergency Medicine


(http://emedicine.medscape.com/ article/795677, diakses pada tanggal 27 Juni 2011)

Mudgil, Shikha. 2009. Tubo Ovarian Abscess ( http://emedicine.medscape.com/article/


404537-overview, diakses pada tanggal 28 Juni 2011)

Panes J, Gomollon F, Taxonera C, et al. 2007. Crohn's disease: a review of current


treatment with a focus on biologics (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18034589,
diakses pada tanggal 25 Juni 2011)
Swierzewski, Stanley J. 2011. Acute Urinary Retention
(http://www.healthcommunities.com/ acute-urinary-retention/overview-of-acute-urinary-
retention.shtml, diakses pada tanggal 27 Juni 2011)

Tessy, Agus dkk. 2003. Sistitis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.

Thoreson R, Cullen JJ.2007. Pathophysiology of inflammatory bowel disease: an


overview (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17560413, diakses pada tanggal 25 Juni
2011).

Tierney LM. 2001. Crohn's disease. Current Medical Diagnosis and Treatment. 40th ed.
New York, NY: McGraw-Hill Professional Publishing.

Widjarnako, B. 2009. Endometriosis. (http://obfkumj.blogspot.com/ Endometriosis.html,


diakses pada tanggal 27 Juni 2011).

Daftar pustaka

R,Sjamsuhidajat, Wim de jong. Buku ajar ilmu bedah.Jakarta: EGC,2004

Brewer BJ, Golden GT, Hitch DC, et al: Abdominal pain: An analysis of 1,000 consecutive
cases in a University Hospital emergency room. Am J Surg 131:219-223, 1999.

Graff LG, Robinson D: Abdominal pain and emergency department evaluation. Emerg Med
Clin North Am 19:123-136, 2001.

Cordell WH, Keene KK, Giles BK, et al: The high prevalence of pain in emergency medical
care. Am J Emerg Med 20:165-169, 2002.

Gray SW, Skandalakis JE: Embryology for Surgeons: The Embryological Basis for the
Treatment of Congenital Defects. Philadelphia, WB Saunders, 1997).

Diethelm AG, Stanley RJ, Robbin ML: The acute abdomen. In Sabiston DC (ed): Textbook of
Surgery: The Biological Basis of Modern Surgical Practice, 15th ed. Philadelphia, WB
Saunders, 1997, pp 825-846.

Buschard K, Kjaeldgaard A: Investigation and analysis of the position, fixation, length, and
embryology of the vermiform appendix. Acta Chir Scand 139:293-298, 1993.

Anda mungkin juga menyukai