Anda di halaman 1dari 4

10/22/2018 SEJARAH KULON PROGO | Cerita Progo | PPKP

BERANDA PROFILE PENGURUS KEGIATAN AD/ART ANGGOTA GALERI AGENDA

PPKP adalah Paguyuban Polr

27 SERBA SERBI
Feb Cerita Misteri Sun
27
Feb

Monumen Nyi Age


27 Wates, Kulon Prog
Feb

Melihat Tradisi W
27 Progo
Feb

SEJARAH KULON
SEJARAH KULON PROGO 27
Daerah yang saat ini termasuk wilayah Kabupaten Kulon Progo hingga berakhirnya pemerintahan kolonial Feb
Hindia Belanda merupakan wilayah dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kulon Progo yang merupakan wilayah
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarto yang merupakan wilayah Kadipaten
Pakualaman. Kedua kabupaten ini digabung administrasinya menjadi Kabupaten Kulon Progo pada tanggal
OUR ADDRESS
15 Oktober 1951. Nama Kulon Progo asal usulnya adalah sesuai namanya, karena letak lokasi daerah ini
berada di barat Sungai Progo. WILAYAH KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT (KABUPATEN
KULON PROGO) Sebelum Perang Diponegoro di daerah Negaragung, termasuk di dalamnya wilayah Kulon
Progo, belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda
pemerintahan dijalankan oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah
Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo sekarang yang masuk wilayah Kasultanan terbentuk
empat kabupaten yaitu: Kabupaten Pengasih, tahun 1831 Kabupaten Sentolo, tahun 1831 Kabupaten
Nanggulan, tahun 1851 Kabupaten Kalibawang, tahun 1855 Masing-masing kabupaten tersebut dipimpin
oleh para Tumenggung. Menurut buku 'Prodjo Kejawen' pada tahun 1912 Kabupaten Pengasih, Sentolo,
Nanggulan dan Kalibawang digabung menjadi satu dan diberi nama Kabupaten Kulon Progo, dengan
ibukota di Pengasih. Bupati pertama dijabat oleh Raden Tumenggung Poerbowinoto. Dalam perjalanannya,
sejak 16 Februari 1927 Kabupaten Kulon Progo dibagi atas dua Kawedanan dengan delapan Kapanewon,
sedangkan ibukotanya dipindahkan ke Sentolo. Dua Kawedanan tersebut adalah Kawedanan Pengasih yang
meliputi kepanewon Lendah, Sentolo, Pengasih dan Kokap/sermo. Kawedanan Nanggulan meliputi
kapanewon Watumurah/Girimulyo, Kalibawang dan Samigaluh. Yang menjabat bupati di Kabupaten Kulon
Progo sampai dengan tahun 1951 adalah sebagai berikut: RT. Poerbowinoto KRT. Notoprajarto KRT.
Harjodiningrat KRT. Djojodiningrat KRT. Pringgodiningrat KRT. Setjodiningrat KRT. Poerwoningrat WILAYAH
KADIPATEN PAKUALAMAN ( KABUPATEN ADIKARTA) Di daerah selatan Kulon Progo ada suatu wilayah yang
masuk Keprajan Kejawen yang bernama Karang Kemuning yang selanjutnya dikenal dengan nama
Kabupaten Adikarta. Menurut buku 'Vorstenlanden' disebutkan bahwa pada tahun 1813 Pangeran
Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ario Paku Alam I dan mendapat palungguh di sebelah barat Sungai
Progo sepanjang pantai selatan yang dikenal dengan nama Pasir Urut Sewu. Oleh karena tanah pelungguh
itu letaknya berpencaran, maka sentono ndalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawirejo I menasehatkan
agar tanah pelungguh tersebut disatukan letaknya. Dengan satukannya pelungguh tersebut, maka menjadi
satu daerah kesatuan yang setingkat kabupaten. Daerah ini kemudian diberi nama Kabupaten Karang
Kemuning dengan ibukota Brosot. Sebagai Bupati yang pertama adalah Tumenggung Sosrodigdoyo. Bupati
kedua, R. Rio Wasadirdjo, mendapat perintah dari KGPAA Paku Alam V agar mengusahakan pengeringan
Rawa di Karang Kemuning. Rawa-rawa yang dikeringkan itu kemudian dijadikan tanah persawahan yang Adi
(Linuwih) dan Karta (Subur) atau daerah yang sangat subur. Oleh karena itu, maka Sri Paduka Paku Alam V
lalu berkenan menggantikan nama Karang Kemuning menjadi Adikarta pada tahun 1877 yang beribukota di
Bendungan. Kemudian pada tahun 1903 bukotanya dipindahkan ke Wates. Kabupaten Adikarta terdiri dua
kawedanan (distrik) yaitu kawedanan Sogan dan kawedanan Galur. Kawedanan Sogan meliputi kapanewon
(onder distrik) Wates dan Temon, sedangkan Kawedanan Galur meliputi kapanewon Brosot dan Panjatan.
Bupati di Kabupaten Adikarta sampai dengan tahun 1951 berturut-turut sebagai berikut: Tumenggung
Sosrodigdoyo R. Rio Wasadirdjo RT. Surotani RMT. Djayengirawan RMT. Notosubroto KRMT. Suryaningrat
Mr. KRT. Brotodiningrat KRT. Suryaningrat (Sungkono) PENGGABUNGAN KABUPATEN KULON PROGO
DENGAN KABUPATEN ADIKARTA Pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam
VIII mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah beliau yaitu Kasultanan dan Pakualaman adalah

http://www.ppkp.or.id/Serba-Serbi/Cerita-Progo/SEJARAH-KULON-PROGO.html 1/4
10/22/2018 SEJARAH KULON PROGO | Cerita Progo | PPKP
daerah yang bersifat kerajaan dan daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya penggabungan antara wilayah
Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto. Atas dasar
kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, maka oleh pemerintah pusat
dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15
Oktober 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950 untuk
penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarto dalam lingkungan DIY menjadi satu
kabupaten dengan nama Kulon Progo yang selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tanganya
sendiri. Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951. Secara yuridis formal Hari
Jadi Kabupaten Kulon Progo adalah 15 Oktober 1951, yaitu saat diundangkannya UU No. 18 tahun 1951 oleh
Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 1951 proses administrasi
penggabungan telah selesai dan pada tanggal 1 Januari 1952, administrasi pemerintahan baru, mulai
dilaksanakan dengan pusat pemerintahan di Wates. Nama-nama yang menjabat Bupati Kulonprogo sejak
tahun 1951 sampai sekarang adalah sbb: KRT.Suryoningrat (1951-1959) R.Prodjo Suparno (1959-1962)
KRT.Kertodiningrat(1963-1969) R.Soetedjo (1969-1975) R.Soeparno (1975-1980) KRT.Wijoyo Hadiningrat
(1981-1991) Drs.H.Suratidjo (1991-2001) H.Toyo Santoso Dipo(2001-2011) dr.H.Hasto Wardoyo,Sp.OG(K)
(2011-sekarang) Cerita Rakyat Goa Kiskenda Menurut cerita rakyat Nusantara yang berkembang di
Kulonprogo, Yogyakarta, dipercaya bahwa Goa Kiskenda pernah terjadi suatu peristiwa legendaris. Yaitu,
pertarungan antara Mahesa Sura dengan Subali. Alur cerita dari pertarungan itu digambarkan pada dua
relief yang terdapat di mulut goa. Sedangkan, ada dua buah batu yang menyerupai lidah dan usus (babat
kandel) Mahesa Sura yang dipotong Subali. Bagaimana kisah selengkapnya? 1. Mahesa Sura Menculik Dewi
Tara Dikisahkan dalam cerita rakyat Yogyakarta bahwa dulu pernah hidup dua siluman bernama Mahesa
Sura dan Lembu Sura. Keduanya berilmu tinggi. Suatu malam, Mahesa Sura bermimpi bersanding dengan
Dewi Tara, putri Bathara Indra yang tinggal di Kahyangan. Mimpi itu membuat Mahesa Sura ingin
menjadikan Dewi Tara sebagai istri. Maka, dia mengutus Lembu Sura untuk memintakan Dewi Tara
untuknya. Mendengar keinginan Kakaknya itu, Lembu Sura terkejut. Dia tidak menyangka keinginan
Kakaknya itu. “Apakah keinginan Kanda tidak berlebihan? Kita ini hanyalah siluman. Mana cocok dengan
seorang dewi kahyangan?” tanya Lembu Sura, memastikan. “Walau kita berasal dari golongan siluman dan
mereka berasal dari golongan dewa, aku rasa kekuatanku sebanding dengan kekuatan mereka. Bahkan,
bisa dikatakan lebih tinggi,” jawab Mahesa Sura dengan jumawa. “Lalu, bagaimana jika mereka menolak
lamaran Kanda?” Lembu Sura bertanya kembali. “Akan kuhancurkan kahyangan!” Mendengar tekad
Kakaknya, Lembu Sura segera berangkat ke Kahyangan. Di negeri para dewata itu, kedatangan Lembu Sura
memunculkan sikap curiga masyarakat Kahyangan. Namun, sebagai utusan, Lembu Sura tidak boleh
disentuh barang secuil pun. Lembu Sura menyampaikan maksud kedatangannya. “Tidak bisa, Mahesa Sura
dengan Dewi Tara tidaklah sebanding! Katakan pada Kakakmu, kami menolak lamarannya!” tukas Bathara
Indra. Lembu Sura menemui Mahesa Sura dengan tangan hampa. Dia menceritakan apa yang terjadi saat
dia meminta Dewi Tara untuk dipinang Kakaknya secara mendetail. Murka-lah Mahesa Sura mendengar
penjelasan Lembu Sura. “Kurang ajar para dewata itu! Akan kuhancurkan Kahyangan seperti janjiku dulu!
Jika tidak bisa diminta baik-baik, maka akan kuambil dengan jalan apapun!” pekik Mahesa Sura. “Apa kamu
ada pada barisanku, Lembu Sura?!” Sang adik mengangguk, tanda dia berada di barisan Mahesa Sura.
Berangkatlah kedua kakak beradik itu ke Kahyangan. Dalam waktu singkat, Mahesa Sura dan Lembu Sura
berhasil mengosak-asik Kahyangan. Banyak di antara masyarakat Kahyangan terluka akibat ulah kedua
siluman itu. Dewi Tara pun berhasil berada di tangan Mahesa Sura. Gadis paling cantik di Kahyangan itu
dibawa ke Goa Kiskenda, tempat bersemayam mereka berdua. *** Bathara Guru dan Bathara Dewa
kemudian merunding mengenai masalah ini. Kedua dewata itu memikirkan bagaimana cara untuk merebut
Dewi Tara kembali. Satu kesempatan yang dimiliki adalah dengan memakai Aji Pancasoka. Hanya senjata
pamungkas itu yang sanggup mencabut nyawa Mahesa Sura. Permasalahannya, Aji Pancasoka cuma bisa
digunakan manusia berhati mulia, berbudi luhur, dan mampu mengalahkan nafsu angkara. “Siapakah orang
yang tepat?” begitulah Bathara Guru berpikir. “Apakah Subali tepat?” Ide itu terlontar begitu saja dari
Bathara Dewa. “Subali?” tanya Bathara Guru sambil mengelus jenggotnya. Subali, putra Resi Gotama,
memang mempunyai karakter yang tepat untuk menggunakan Aji Pancasoka. Kedua dewata itu sepakat
bahwa Subali adalah orang yang tepat. Dipanggillah Subali menghadap mereka berdua. *** Subali
menghadap Bathara Dewa dan Bathara Guru di tempatnya. Dia duduk bersimpuh di harapan kedua dewata
itu. “Ngger Subali, tahukah apa yang membuatmu dipanggil menghadap ke sini?” tanya Bathara Dewa.
“Mohon maaf, hamba tidak mengetahui tujuan pemanggilan hamba ke sini,” sahut Subali. Bathara Dewa
menjelaskan panjang lebar mengenai masalah yang tengah terjadi. “Kamu kan tahu, belum lama ini
Kahyangan di-osak-asik dan Dewi Tara diculik oleh dua siluman, Mahesa Sura dan Lembu Sura. Walaupun,
kedua makhluk itu berasal dari golongan siluman, namun kesaktian mereka setingkat dewa. Mereka hanya
bisa dikalahkan dengan Aji Pancasoka. Permasalahannya, Aji Pancasoka hanya bisa digunakan orang yang
memiliki hati yang bersih, berbudi luhur, dan mampu mengalahkan nafsu angkara. Karakter yang diinginkan
Aji Pancasoka ada pada dirimu, Ngger. Nah, maukah kamu menolong kami dan menyelamatkan Dewi Tara?”
“Apabila hamba memang dirasa sanggup, hamba bersedia melakukannya,” timpal Subali. Bathara Guru
segera mentransfer ilmu Aji Pancasoka kepada Subali. Sesudah itu, Subali mengajak adiknya, Sugriwa, untuk
membantunya. Berdasarkan cerita rakyat Indonesia yang disampaikan secara turun-temurun, turunlah
kedua pendekar itu menuju persemayaman Mahesa Sura dan Lembu Sura. Subali meminta Sugriwa untuk
melepaskan Dewi Tara, dan kalau sudah menyelamatkannya Sugriwa harus membawanya ke pintu Goa
Kiskenda menunggu dirinya. Sementara dia sendiri akan membunuh Mahesa Sura dan saudaranya. Subali
mengatakan jika darah yang keluar adalah merah, maka yang kalah adalah Mahesa Sura. Jika darah yang
keluar adalah putih, maka yang kalah adalah dirinya. Dan kalau hal itu terjadi, Sugriwa diperintahkan untuk
menutup pintu goa dengan batu yang besar. Dengan gagah berani, Subali masuk ke Goa Kiskenda. Di
dalamnya, Subali bertemu Mahesa Sura dan Lembu Sura yang petantang-petenteng menjaga Dewi Tara.
“H i S b li l k D iT ! Jik tid k j l hk k b b tk k d !” “L k hi d l
http://www.ppkp.or.id/Serba-Serbi/Cerita-Progo/SEJARAH-KULON-PROGO.html 2/4
10/22/2018 SEJARAH KULON PROGO | Cerita Progo | PPKP
“Hei, Subali, lepaskan Dewi Tara! Jika tidak, jangan salahkan aku berbuat kekerasan padamu!” “Langkahi dulu
mayatku!” sahut Mahesa Sura. “Baiklah, jika itu maumu!” Berkelahilah mereka dengan jurus-jurus tingkat
tinggi. Di sela-sela itu, Sugriwa menyusup dan menyelamatkan Dewi Tara, kemudian mereka menunggu di
luar. Mereka menunggu darah yang keluar berwarna apa. Di dalam, Subali berpikir cara untuk membunuh
kedua siluman itu. Walaupun sudah dihajar hingga tubuh mereka hancur, mereka dapat hidup kembali. Ini
merupakan kehebatan ilmu yang dimiliki kedua siluman itu. Akhirnya, Subali mempunyai ide untuk
menghancurkan kepala keduanya dengan cara membenturkannya. Darah yang keluar pun berwarna merah
dan putih, yang mengalir keluar. Di luar, Sugriwa menduga Kakaknya telah meninggal langsung menutup
pintu goa dengan batu besar, sesuai petunjuk yang diberikan Kakaknya. Selesai membunuh Mahesa Sura
dan Lembu Sura, Subali terkejut melihat pintu goa sudah ditutup. Dia murka ternyata Sugriwa
mengkhianatinya. Dengan kesaktian yang dimiliki, batu penutup pintu goa itu dihancurkan Subali.
Terbanglah dia menyusul Sugriwa. 2. Kutukan Resi Gotama Cerita rakyat Nusantara ini tidak berhenti
sampai di sini. Sugriwa yang sampai ke Kahyangan langsung diberi ucapan selamat oleh masyarakat
Kahyangan. Setelah melaporkan semua kejadian kepada Bathara Guru dan Bathara Dewa, Sugriwa diminta
Bathara Indra, ayah dari Dewi Tara. Sugriwa sebenarnya hendak menolak hal ini, karena yang lebih berhak
adalah Subali, Kakaknya. Namun, Subali telah meninggal. Akhirnya, dia setuju menikahi Dewi Tara. Tepat
ketika pesta pernikahan digelar, Subali datang dan menantang duel Sugriwa. Perkelahian keduanya tidak
terelakkan lagi. Tidak ada yang bisa memisahkan hingga datang Resi Gotama, ayah keduanya. Resi Gotama
mengatakan bahwa Subali telah melampaui batas. Tidak ada di dunia ini manusia berdarah putih. Dan
karena kesombongannya itu, Subali dikutuk ayahnya sendiri akan mati di tangan ksatria titisan Bathara
Wisnu bernama Prabu Rama Wijaya (kisah mengenai Prabu Rama Wijaya bisa dibaca di dalam cerita
Ramayana). Kutukan itu kelak terbukti dengan matinya Subali terkena panah sakti Prabu Rama Wijaya.
Menurut cerita, sebelum menghembuskan nafas terakhir, Subali sempat mengucapkan terima kasih kepada
Rama karena telah membebaskan nafsu amarah yang melekat pada dirinya. Sementara itu, Sugriwa
mendapat restu dari Resi Gotama untuk tetap menikah dengan Dewi Tara. Setelah menikah, Sugriwa
membangun kerajaan yang diberi nama Pancawati di Gua Kiskenda. Raden Mas Sodewo Ki Sodewo,
Pahlawan Mataram yang terlupakan. Dalam dinasti Mataram, dikenal beberapa tokoh sebagai Pahlawan
Nasional, antara lain Sultan Agung, Pangeran Diponegoro dan Pangeran Sambernyowo. Dari sekian banyak
raja, ratu, pangeran dan tokoh-tokoh Mataram mungkin sebetulnya terdapat banyak cerita kepahlawanan
yang belum terungkap. Penyebab utamanya bisa karena dokumen sejarah pendukung yang kurang.
Sebagian besar kisah kepahlawanan hanya beredar dari mulut ke mulut. Lain halnya tokoh yang rajin
menulis seperti Raden Mas Said (Pangeran Sambernyowo) misalnya yang mendokumentasikan sendiri
perjuangannya melalui tulisan-tulisannya. Oleh karenanya ajaran Pangeran Sambernyowo mengenai Tri
Dharma ( handarbeni, hangrungkepi, mulat sarira hangrosowani) menjadi populer. Cukup sulit
membedakan mana yang merupakan fakta sejarah obyektif dan mana yang subyektif atau bahkan sekedar
dongeng. Belum banyak masyarakat yang tahu kisah kepahlawanan Ki Sodewo, Putra kandung Pangeran
Diponegoro yang berjuang di wilayah Bagelen dan Kulonprogo pada masa Perang Diponegoro atau yang
dikenal Belanda sebagai Perang Jawa. Hanya sedikit penduduk di sekitar kota Wates yang tahu lokasi
makam tubuh Ki Sodewo. Bahkan makam ini tidak terletak di Taman Makam Pahlawan Giripeni yang
berjarak hanya beberapa ratus meter dari pemakaman umum Sideman, tempat dimana Ki Sodewo
dimakamkan. Sungguh ironis bagi Ki Sodewo yang asli 1000% seorang pahlawan. Dan mungkin tinggal
tersisa sangat sedikit orang yang tahu bahwa di daerah Jrangking, dekat pemandian Clereng Kulon Progo
ada daerah bernama Gunung Songgo yang merupakan petilasan tempat disangganya kepala Ki Sodewo
dengan bambu. Belanda sengaja memisahkan kepala dari makam tubuhnya karena menurut cerita apabila
kepala dan tubuh Ki Sodewo masih menyatu Belanda khawatir Ki Sodewo bisa hidup kembali karena
kesaktiannya yang luar biasa. Ki Sodewo terlahir di wilayah Madiun pada tahun 1810, bernama Bagus
Singlon. Putera Pangeran Diponegoro dengan R. Ayu Citrowati (dari Madiun) ini pada masa kecilnya
dititipkan pada seorang kyai bernama Ki Tembi di Madiun. Hal ini untuk menghindari penangkapan yang
dilakukan Belanda terhadap anak turun Pangeran Diponegoro. Ketika berumur 15 tahun pada tahun 1825
setelah mulai mengenal asal usul dan jati dirinya, Bagus Singlon mencari ayahnya. Bersama dengan Ki
Tembi, Bagus Singlon menuju Tegal Rejo, Goa Selarong dan route perjuangan Diponegoro lainnya. Sambil
menunggu saat perjumpaan dengan ayahandanya, Bagus Singlon tinggal bersama Kyai Gothak di daerah
Panjatan Kulon Progo. Bagus Singlon rajin menempa ilmu kanuragan dari Kyai Gothak maupun para guru
lain. Bahkan Bagus Singlon belajar ilmu Pancasona sampai ke daerah Bagelen. Dengan bantuan telik sandi,
Bagus Singlon akhirnya berjumpa dengan ayahandanya Pangeran Diponegoro. Oleh ayahandanya Bagus
Singlon diberi julukan Ki Sodewo karena kesaktian dan kehebatannya dalam bertempur. Nama itu berasal
dari kata Laksono Dewo (bagaikan dewa), dewa yang maha sakti dalam berperang. Ki Sodewo lalu
membantu pertempuran bersama para pengikut Diponegoro. Salah satu bukti kedidayaan Ki Sodewo
adalah kemampuannya membunuh Jendral Van De Cohlir, salah satu jendral andalan Jendral Van De Kock,
panglima perang Hindia Belanda. Ki Sodewo membangun persaudaraan dengan tokoh-tokoh seperti Kyai
Gothak dan Kyai Josuto untuk mendapatkan bala tentara. Sebuah benteng pertahanan dibangun di wilayah
dusun Bosol. Benteng tersebut terbuat dari pohon bambu ori yang ditanam di sepanjang sungai serang di
wilayah dusun Bosol. Wilayah tersebut lalu terkenal dengan Jeron Dabag (dalam dabag atau benteng).
Bersama pengikutnya yang disebut Laskar Sodewo beliau melakukan perlawanan secara gerilya melawan
Belanda. Rute gerilya yang pernah dilewati Ki Sodewo antara lain Panjatan, Milir, Beji, Sentolo, Pengasih,
Brosot, Lendah, Nanggulan, Kalibawang, Bagelen dan Wates. Bagi rakyat Kulon progo pada masa itu Ki
Sodewo adalah pahlawan, namun Belanda melakukan propaganda bahwa Ki Sodewo adalah pemimpin
gerombolan perampok. Salah satunya tercatat dalam sejarah kabupaten Purworejo bahwa Ki Sodewo
adalah sekutu penjahat bernama Amat Sleman pada tahun 1838 yang merupakan musuh dari Bupati
Cakranegoro yang pro Belanda. Darah Biru Darah yang mengalir dalam diri Bagus Singlon memang penuh
dengan kisah yang mewarnai babad para raja di tanah Jawa mulai abad 12 dari masa kerajaan Singasari
sampai dengan ayahandanya Diponegoro Menurut sejarah Mahisa Wongateleng salah satu anak dari Ken
http://www.ppkp.or.id/Serba-Serbi/Cerita-Progo/SEJARAH-KULON-PROGO.html 3/4
10/22/2018 SEJARAH KULON PROGO | Cerita Progo | PPKP
sampai dengan ayahandanya Diponegoro. Menurut sejarah, Mahisa Wongateleng, salah satu anak dari Ken
Dedes dan Ken Arok-lah yang menurunkan raja-raja penerus Singasari, Raja-raja Majapahit, Raja-raja Demak
sampai Raja-Raja Mataram. Dari Raden Wijaya , Tribuwana Tunggadewi, Brawijaya, Ki Ageng Selo, Ki Ageng
Pemanahan, Panembahan Senopati, Hamengku Buwono I, Hamengku Buwono II, Hamengkubuwono III
adalah para simbah dan leluhur Ki Sodewo. Mungkin sangat sedikit literature tentang Ibu Bagus Singlon, R.
Ay. Citrowati yang menurunkan Bagus Singlon sebagai hasil pernikahan dengan Pangeran Diponegoro.
Hanya sedikit diceritakan bahwa Ibu Bagus Singlon, turut dibunuh Belanda pada masa perjuangan. Sehingga
Bagus Singlon dititipkan kepada Ki Tembi di Madiun. Kematian Ibunya dan semangat para simbah dan
leluhur Bagus Singlonlah mungkin yang membakar jiwa kepahlawanan Bagus Singlon dalam membantu
Pangeran Diponegoro mempertahankan martabat keluarga dan bangsanya. Makam Seorang Pahlawan ?
Seperti diceritakan turun-temurun keluarga trah Ki Sodewo maupun buku dongeng rakyat Kulon Progo,
kesaktian ilmu ‘pancasona bumi’ Ki Sodewo mampu membuatnya hidup kembali meskipun terbunuh
selama raganya masih menyentuh bumi. Perjuangan Ki Sodewo berakhir ketika dikhianati, yaitu ketika
rahasia kesaktiannya dibocorkan oleh adik seperguruan di Bagelen. Karena khawatir akan kesaktian Ki
Sodewo, Belanda kemudian memenggal kepala Ki Sodewo dan kemudian tubuh dan kepalanya
dimakamkan secara terpisah. Makam tubuh Ki Sodewo berada di kota Wates. Namun pada saat Kota Wates
dibangun, makam tersebut sempat dipindahkan. Pada saat hendak dipindahkan terdapat kendala ketika
tidak seorangpun mampu memindahkan makam tersebut. Sehingga dicarilah keturunan Ki Sodewo untuk
dimintai tolong memindahkan makam. Akhirnya salah satu keturunan Ki Sodewo yang bernama Resosemito
mampu memindahkannya ke makam Sideman. Adapun petilasan makam kepala Ki Sodewo saat ini
sungguh memprihatinkan. Menurut cerita turun temurun pada zaman Belanda kepala Ki Sodewo tidak
dikebumikan namun disangga dengan bambu-bambu di atas perbukitan, yang kemudian dinamakan
Gunung Songgo. Saat ini terdapat 2 versi cerita mengenai makam kepala Ki Sodewo. Versi pertama
menyebutkan setelah dirasa aman kemudian Belanda memindahkan makam kepala tersebut menyatu
dengan tubuhnya. Versi lainnya menyebutkan kepala telah dimakamkan di lokasi Gunung Songgo tersebut
dengan hanya ditandai dengan beberapa buah batu bata. Sungguh memprihatinkan untuk ukuran seorang
Putra Diponegoro yang ikut berjuang menjaga martabat Mataram. Wisata Sejarah Kulon Progo Makam Nyi
Ageng Serang Makam ini terletak di desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang. Jarak sekitar 32 km dari
Yogyakarta. Kompleks makam Nyi Ageng Serang memiliki nilai sejarah yang tinggi untuk mengenang
perjuangan beliau dalam melawan penjajahan. Pemandian Clereng Berada di Desa Sendangsari, Kecamatan
Pengasih. Pemandian ini merupakan salah satu obyek wisata tirta dengan keberadaan kolam alami
bersumber mata air Clereng dan didukung fasilitas kolam renang. Lingkungan sekitar Pemandian Clereng
merupakan perbukitan yang dibawahnya mengalir mata air jernih yang juga dimanfaatkan untuk air minum
dan irigasi pertanian. Pemandian Clereng terdiri dari kolam mata air alami serta dua buah kolam renang
buatan manusia dengan kedalaman 0,5 - 2 meter. Oleh masyarakat sekitar, mata air pemandian Clereng
kemudian dipercaya dapat membuat awet muda, serta dapat mendatangkan keselamatan dan ketentraman
bagi siapa saja yang membasuh muka atau mandi di tempat ini. Makam Girigondo Terletak di Dusun
Girigondo, Kaligintung, Temon, Kulon Progo. merupakan makam keluarga Paku Alam. Di sini telah
dimakamkan Almarhum Paku Alam ke V, VI, dan VII beserta keluarganya. Makam ini terletak di atas bukit,
seperti halnya makam raja-raja Mataram dan keturunannya yang ada di Imogiri.

Sumber Artikel : https://sclm17.blogspot.co.id/2016/03/sejarah-kulon-progo.html


Sejarah, Cerita, Legenda, Mitos, TOKOH, Situs

Bagikan 0 LINE it! Tweet

Abirama Bhayangkara Adhikerta


Polri Putra Putri Kulon Progo
Asrama Brimob, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
021-4567890 marketing@ikt-mail.com +021 123 456 78

Copyright © 2018 - PPKP All Rights Reserved, Jasa Pembuatan Website by IKT

http://www.ppkp.or.id/Serba-Serbi/Cerita-Progo/SEJARAH-KULON-PROGO.html 4/4

Anda mungkin juga menyukai