Anda di halaman 1dari 17

BAB II

KEHIDUPAN KABUPATEN BOYOLALI ABAD XX

A. Awal Terbentuknya Kabupaten Boyolali

1. Sejarah Kabupaten Boyolali

Awal berdirinya Kabupaten Boyolali tidak dapat dilepaskan dari

campur tangan pemerintahan kolonial, terhadap pemerintah Kasunanan

Surakarta. Boyolali pertama kali adalah bagian dari desa – desa yang berdiri di

sepanjang jalan utama Surakarta – Semarang, desa tersebut merupakan pos

sementara yang didirikan dengan tujuan supaya pengiriman barang dan jasa

dari Surakarta ke Semarang maupun sebaliknya dapat berjalan dengan aman.

Pos sementara tersebut adalah Pos Tundhan. Kabupaten Boyolali berdiri pada

masa Pos Tundhan1.

Pos Tundhan dikepalai oleh Tumenggung Gunung dibantu oleh Abdi

Dalem Gunung bermukim di pinggir jalan raya utama, di Ampel dan Boyolali

yang merupakan ruas utama Surakarta – Semarang. Urusan pemerintahan dan

masyarakat tetap dipegang oleh Tumenggung tetapi masih di bawah

pengawasan Patih Surakarta.Pos Tundhan ini berlangsung sejak tanggal 12

Oktober 1840 hingga perubahan status menjadi Kabupaten Gunung Pulisi

Boyolali pada tahun 1847.

1
Kabupaten Boyolali awalnya merupakan sebuah desa di sebelah barat
Surakarta, dan berada tepat di jalur utama Semarang – Solo. Lihat : Serat Angger
Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoeboewono VII (Serat Angger
Goenoeng). Bab. 1.

21
22

Keadaan Pos Tundhan yang masih terjadi beberapa kekacauan,

membuat Sunan dan pemerintah Belanda membuat peraturan baru mengenai

pemerintahan dhusun atau pemerintahan luar negara. Keluarnya peraturan

tersebut atas dasar pemerintah Bale Mangoe sudah tidak dapa tmengurusi

masalah pemerintahan. Tanggung jawab pemerintahan di tangan Sunan tetapi

dipercayakan kepada Patih dibantu dengan Bupati. Peraturan tersebut muncul

tahun 18472.

Seiring berjalanya waktu, status Pos Tundhan tersebut digantikan

dengan Gunung Pulisi. Perubahan tersebut ditetapkan oleh Sunan dengan

persetujuan Residen Belanda. Gunung Pulisi dipimpin Bupati Gunung dibantu

dengan Priyayi Gunung pada tanggal 5 Juni 1847. Tahun 1847 pemerintahan

Bale Mangoe secara resmi dihapuskan, secara otomatis Pemerintah

Kasunanan Surakarta membentuk enam daerah Kabupaten Gunung untuk

membantu pemerintahan di daerah.

Enam daerah tersebut, yakni : Kabupaten Gunung Kota Surakarta,

Kartosuro, Klaten, Boyolali, Ampel dan Sragen. Pengangkatan Bupati Gunung

harus mendapatkan persetujuan dari Residen Surakarta. Dengan adanya

persetujuan tersebut, maka diangkatlah Bupati pertama Boyolali, yakni RT.

Sutonagoro. Berdasarkan ketentuan tersebut maka status Pos Tundhan

2
Untuk mengurusi desa – desa di wilayah Surakarta dikeluarkanlah
peraturan yang tertuang pada staatsblad yang bersiskan tentang pemerinahan
dhusun. Lihat : Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1847 No. 30
23

berubah menjadi Kabupaten Gunung Pulisi pada tanggal 5 Juni 1847, dan

Bupati berada di bawah Patih Surakarta3.

Meskipun sudah terbentuk Kabupaten Gunung Pulisi, akan tetapi

kerusuhan masih terjadi maka untuk mentertibkan pelaksanaan pemerintah

dhusun disyahkan peraturan baru. Pada tanggal 18April 1854 munculah

Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1854 No 32, yang berisikan pendirian

Pengadilan Pradata di setiap kabupaten salah satunya Kabupaten Pulisi

Boyolali4.Selain mendirikan pengadilan pradhata, peraturan tersebut juga

memunculkan distrik-distrik dan wilayahnya.

Dengan dikeluarkanya peraturan tentang pembagian wilayah tersebut,

maka tugas kepala distrik menjadi bertambah. Kepala distrik kemudian

mengangkat pembantu, yakni carik. Selain abdi dalem yang diangkat Sunan

dengan perjanjian Residen, Belanda juga menempatkan beberapa wakilnya

berpangkat Asisten Residen di beberapa wilayah salah satunya

Boyolali5.Dengan adanya jabatan asisten residen ini untuk membantu

kelancaran pemerintahan daerah, dan mengakibatkan bupati memiliki dua

pemimpin yakni : patih dalem dan asisten residen. Seiring berjalanya waktu

3
Serat Angger Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan
Pakoeboewono VII (Serat Angger Goenoeng). Bab. 4.
4
Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1854 No.32. Berisi tentang
pendirian pengadilan pradata disetiap Kabupaten Pulisi di wilayah Surakarta.
5
Staatsblaad van Nedherlandsch-Indie 1874 No.209.Tentang pembagian
wilayah distrik di Kabupaten Pulisi Boyolali.
24

status asisten residen dan stafnya disebut dengan abdi dalem Pangreh Praja,

dan abdi dalem kasunanan disebut dengan abdi dalem gunung.

Tahun 1918 merupakan tahun perubahan status Kabupaten Pulisi

Boyolali menjadi Kabupaten Pangreh Praja Boyolali, dengan struktur

pemerintahan : Bupati Pangreh Praja, Bupati Anom Pangreh Praja, Wedana

dan Asisten Wedana Pangreh Praja. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 12

Oktober 19186. Sebelum berubah status menjadi Kabupaten Pangreh Praja

Boyolali, terjadi prubahan status dari Bupati Pulisidan stafnya menjadi Abdi

Dalem Pangreh Praja. Untuk mengatur tugas dan wewenang abdi dalem

Pangreh Praja, dikeluarkanlah peraturan yang wajib dipatuhi abdi dalem

panewu distrik dan onderdistrik7.

Kabupaten Boyolali pada awalnya merupakan Tanah Lungguh bagi

abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta. Untuk menghapus sistem tanah

lungguh maka Belanda mengadakan kompleit yang memberikan hak kepada

rakyat untuk memiliki tanah secara perseorangan. Peristiwa tersebut

berhubungan dengan program pengembangan pengaruh pemerintah Belanda

di bidang ekonomi kepada daerah Kasunanan Surakarta, dan bidang

perusahaan perkebunan.

6
Rijksblaad Soerakarta 1918 No.23. Tentang perubahan status dari
Kabupaten Gunung Pulisi menjadi Kabupaten Pangreh Praja.
7
Rijksblaad Soerakarta 1918 No. 24. Tentang tugas dan kewajiban abdi
dalem distrik dan onder distrik.
25

2. Demografi Kota Boyolali

Kabupaten Boyolali yang notabene berada di bawah Kasunanan

Surakarta dalam pemerintahan dijalankan dan diawasi oleh Residen dibantu

dengan Patih sebagai koordinator dan pengontrol pemerintahan daerah.

Residen membawahi seorang Asisten Residen yang berada di daerah,

selanjutnya Asisten Residen membawahi Bupati sebagai pemimpin daerah

dibantu Wedana untuk mengawasi setiap distrik. Tujuan penetapan Bupati

adalah selain pengontrol distrik juga menjaga keamanan dalam masyarakat

Eropa, Cina dan pribumi.

Kabupaten Boyolali dihuni oleh beberapa golongan masyarakat dari

berbagai negara dan tujuan diantaranya : Eropa, Cina dan Arab. Golongan

masyarakat tersebut berada di Boyolali dengan tujuan mayoritas berdagang

dan berkoloni satu sama lain. pembagian wilayah tempat tinggal didasarkan

atas status sosial, mata pencaharian dan kedudukan. Masyarakat Eropa berada

di Districthoodft (pusat kota), masyarakat Cina berada di Chineesekamp (Jalan

Pandanaran), dan masyarakat pribumi berada di pinggir Kota Boyolali.

Masyarakat di Kabupaten Pangreh Praja Boyolali berjumlah 286.763 ribu

jiwa terdiri dari 479 jiwa masyarakat Eropa, 285.765 jiwa masyarakat

Inlanders, 517 jiwa masyarakat Cina dan 2 jiwa masyarakat Arab.

Kemajemukan masyarakat di Boyolali mengakibatkan terjadinya

stratifikasi sosial masyarakat, yang dipengaruhi oleh status, jabatan dan


26

golongan masyarakat yang ada di Boyolali. Adapun pembagian jumlah

penduduk di Boyolali sebagai berikut :

Tabel. I.
PENDUDUK KOTA BOYOLALI TAHUN 1920

Administrat Europeanen Inlanders Vreemde Oosterlingen


ieve
Indeeling Chineezen Arabieren

Bojolali 181 20. 717 416 2


Modjosongo 2 13. 523
Moesoek 36 12. 634
Singosari 17 14. 797
Banjoedono 44 25. 481 8
Teras 14 14. 458
Sawit 23 12. 626 1
Ampel 56 16. 532 41
Tjepogo 31 14.706
Selo 7 8. 403
Karanggede 8 16.527 10
Klego 15. 473
Andong 1 19. 039
Simo 23 16. 527 25
Tari 7 10. 376
Sambi 14. 239
Djoewangi 27 11. 784 16
Kemoesoe 10. 294
Wonosegoro 14. 147
Repaking 2 3. 482
479 285. 765 517 2
Sumber :Uitkomsten Der In De Maand 1920 Gehouden Volkstelling Deel
1.Batavia : Drukkerijen Ruygrok & Co, 1982, hlm 98-99.
27

Berdasarkan data tersebut perlu dijelaskan yakni : golongan

Europeanen adalah masyarakat Eropa, Indlander adalah pribumi, Chineezen

adalah masyarakat Cina dan Arabieren adalah masyarakat Arab. Dominasi

penduduk di Kota Boyolali tetap didominasi oleh penduduk Eropa yang

mengontrol segala aktifitas di Kota Boyolali, baik di bidang pemerintahan

maupun masyarakat.

B. Stratifikasi Masyarakat Boyolali Awal Abad XX

1. Stratifikasi sosial

Periode di tahun 1900 mulai diciptakan sistem kelas sosial pada

masyarakat Kotamadya Surakarta, hal tersebut membuat masyarakat

Kabupaten Boyolali juga dicanangkan stratifikasi sosial. Adapaun golongan

masyarakat Kabupaten Boyolali yakni golongan Eropa, Timur Asing (Cina

dan Arab) dan pribumi. Penggolongan kedudukan masyarakat dijabarkan

dalam skema berikut :

Bagan I. Stratifikasi masyarakat Boyolali

Golongan Eropa dan Belanda

Golongan Indo dan Timur Asing

Golongan Bumiputra

Sumber : Wahyuningsih., Jejak-Jejak Arsitektur Bangunan Indis di Kota Salatiga


Awal Abad XX.
28

Bagan di atas menggambarkan bahwa, masyarakat Eropa memiliki

kedudukan lebih tinggi dalam segala bidang baik pemerintahan maupun non

pemerintahan dan mendapat perlakuan istimewa. Golongan masyarakat timur

asing berkedudukan lebih tinggi daripada pribumi, tetapi tidak lebih tinggi

dari Eropa8. Masyarakat pribumi berada di posisi terendah dengan hak dan

kedudukan terbatas tetapi berkewajiban besar. Stratifikasi masyarakat

tersebut juga berlaku di Kabupaten Boyolali.

Stratifikasi sosial yang dibuat oleh Belanda tersebut mengakibatkan

terjadinya diskriminasi ras yang diterima oleh pribumi, diskriminasi tersebut

tidak hanya dibidang sosial dan budaya melainkan di bidang ekonomi. Dalam

bidang ekonomi masyarakat pribumi untuk mendapatkan sesuatunya harus

melalui pengorbanan yang cukup berat dengan hasil yang tidak seberapa dan

sistem penggajian para pegawai pemerintahan dan non pemerintahan yang

didasarkan atas golongan.

Pertumbuhan perusahaan perkebunan, pelayaran, perbankan, dan

perkeretaapian memerlukan tenaga kerja berpendidikan rendah hingga

pekerja terampil. Tenaga kerja tidak berpendidikan dipekerjakan untuk

pembuatan saluran irigasi dan jalan raya, sedangkan tenaga kerja

berpendidikan dipekerjakan di sektor perkantoran. Tenaga kerja berpangkat

tinggi didatangkan langsung dari Belanda untuk bekerja di sektor

pemerintahan.

8
Peter Carey., Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825. (Jakarta :
Pustaka Offset, 1984), hlm : 16.
29

Pegawai pemerintahan pada masa kolonial disebut dengan

Binenlandsbestuur, pegawai-pegawai tersebut disebar ke seluruh pedalaman

Jawa untuk mendirikan koloni mereka. Ketika penyebaran pegawai BB inilah

percampuran budaya Eropa dengan Jawa terjadi, hal ini dikarenakan para

pegwai tersebut tidak diperkenankan membawa istri kecuali pejabat tinggi.

Kondisi tersebut mengakibatkan percampuran darah dengan wanita Jawa dan

melahirkan anak-anak campuran, sehingga melahirkan budaya Indis.

Pemerintahan masyarakat di Boyolali pada masa kolonial sebelumnya

dikuasai secara penuh oleh kerajaan akan tetapi dengan banyaknya kericuhan

yang terjadi di dalam kerajaan dan kedatangan Belanda, maka pemerintahan

dipegang oleh Pemerintah Belanda dibantu dengan raja berpusat di kantor

pemerintahan kerajaan. Belanda dalam mencampuri urusan pemerintahan

Jawa dengan cara intervensi militer9.

2. Kelompok Masyarakat Eropa dan Masyarakat Pribumi

Masyarakat Eropa disini yakni kolonial Belanda yang menempati suatu

wilayah di Indonesia. Kedudukan masyarakat Eropa berada pada posisi

tertinggi dan berkedudukan sejajar dengan raja10. Suatu daerah yang dikuasai

oleh masyarakat Eropa, cenderung terjadi diskriminasi golongan yang

9
Akhmad Setiawan., Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham
Kekuasaan Jawa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm 86.
10
Wahyuningsih., Jejak-Jejak Arsitektur Bangunan Indis di Kota Salatiga
Awal Abad XX, (Skripsi UNS : Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu
Sejarah, 2006), hlm. 24.
30

didasarkan atas jabatan rendahan dan stratifikasi masyarakat dimana

golongan Eropa berada di posisi teratas dan pribumi berada di lapisan bawah.

Diskriminasi lainya yakni pembatasan dalam kegiatan sosial antar golongan,

golongan pribumi tidak diperkenankan memasuki areal golongan Eropa

begitupun sebaliknya. Bentuk diskriminasi atas dasar golongan yakni

dilarangnya masyarakat pribumi memasuki daerah tempat bermukimnya

Belanda, kecuali pejabat setempat yang sejajar dengan golongan asing.

Masyarakat Eropa tinggal di pusat Kota Kabupaten Boyolali dan dekat

dengan pusat pemerintahan, sekolah, dan villa. Kemudian dalam bidang

keamanan di masyarakat, pemerintah Belanda mendirikan Landraad.

Masyarakat Belanda pada dasarnya adalah golongan Indo Eropa yang

merupakan keturunan dari perkawinan campuran Belanda totok dan wanita

pribumi11.

Masyarakat pribumi yakni penduduk asli suatu daerah yang

mendiami desa-desa pada masa pemerintah kerajaan, dan tinggal jauh dari

pusat kota. Masyarakat yang bermukim di dekat kota cenderung memiliki

hubungan dengan masyarakat Belanda, yakni priyayi yang dijadikan pekerja

di pusat kota12. lihat gambar 2. kondisi masyarakat Eropa dan pribumi di

Kabupaten Boyolali berbeda dalam segala aktifitas, hal tersebut dapat dilihat

pada gambar 1 dan 2 yang memberikan gambaran bahwa masyarakat Eropa

11
Sartono Kartodirjo., Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional. (Jakarta : Ombak, 1993), hlm 97.
12
Kuntowijoyo., Raja, Priyayi dan Kawula : Surakarta 1900 – 1915,
(Yogyakarta : Ombak, 2000), hlm 8.
31

mendapatkan hak yang istimewa sedangkan pribumi terbatas dalam

mendapatkan fasilitas.

Gambar 1.

Masyarakat Eropa di Boyolali.


Sumber : KITLV.nl

Gambar 2.

Masyarakat pribumi di Boyolali


Sumber : KITLV.nl
32

C. Kebudayaan Indis di Boyolali

1. Budaya Indis awal abad XX di Boyolali

Kebudayaan Indis muncul dan berkembang dilatarbelakangi oleh

bercampurnya dua budaya yang berkomunikasi satu sama lain, antara budaya

Belanda / Eropa dengan budaya Jawa dan menghasilkan budaya baru yakni

budaya Indis. Kebudayaan Indis di Indonesia berkembang pada Awal Abad

ke-20, awal mula berada di pesisir Jawa yakni Batavia dan kemudian

menyebar ke daerah pedalaman yang dihuni oleh masyarakat Belanda.

Munculnya budaya Indis ini tidak dapat dilepaskan dari politik, sosial dan

ekonomi pada masyarakat.

Kehadiran bangsa Belanda dengan budaya Eropa mengakibatkan

masyarakat pribumi harus beradaptasi dengan budaya Eropa tanpa

meninggalkan budaya Jawa. Dengan kedatangan Belanda di Jawa, maka gaya

hidup dalam masyarakat Jawa juga turut berubah seiring berjalanya waktu.

Budaya Eropa ini dibawa oleh para pedagang dan pejabat Belanda dalam

rangka ekspansi ke negara-negara penghasil rempah-rempah yang laku dijual

di dunia.

Kondisi iklim pulau Jawa yang berbeda dengan negara di Eropa,

mengakibatkan munculnya bentuk arsitktur tempat tinggal, gaya hidup, mata

pencaharian dan sebagainya hasil dari budaya Indis. Wujud dari hasil

percampuran budaya tersebut yakni :


33

a. Sistem budaya yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-

nilai, norma, pandangan dan undang-undang yang dimiliki

pemangku kebudayaan yang bersangkutan.

b. Aktivitas para pelaku seperti tingkah laku, upacara yang berwujud

nyata dan dapat diamati masyarakat.

c. Berwujud benda yakni hasil karya manusia yang berupa benda13.

Wujud kebuyaan tersebut mempengaruhi tujuh unsur kebudayaan

Indonesia yang universal, tujuh unsur tersebut yakni bahasa, gaya hidup, mata

pencaharian, sistem sosial, kesenian, ilmu pengetahuan dan keagamaan14.

Menetapnya Belanda di Indonesia secara perlahan menyebabkan budaya Jawa

dan Belanda bercampur dan mempengaruhi gaya arsitektur tempat tinggal. Hal

tersebut dikarenakan perbedaan kondisi iklim yang berbeda antara Belanda

dan Jawa.

2. Arsitektur Indis

Arsitektur sebuah kota dipengaruhi atas kondisi geografis wilayah

setmpat dan budaya masyarakat. Budaya tersebut selain melahirkan

kebudayaan pada masyarakat juga melahirkan seni arsiektur Indis. Arsitektur

Indis di Indonesia berawal dari pesisir Batavia pada Abad ke-18, dan

merupakan gambaran kedudukan orang-orang Eropa di Indonesia. Gaya

13
Djoko Soekiman.,Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat
Pendukungnya di Jawa Abad XVIII – Medio Abad XX, (Yogyakarta: Bentang,
2000), hlm. 4
14
Ibid, hlm. 42.
34

arsitektur rumah Indis ini berbeda dengan rumah di daerah pedalaman

maupun pesisir pulau Jawa.

Seni arsitektur yang menojol pada Abad ke-18 di Indonesia yakni

arsitektur Indische Empire Style15. Gaya arsitektur ini muncul sekitar

pertengahan abad ke-18 di Eropa, dan berkembang seiring kedatangan

Gubernur Jendral H.W. Daendels tahun 1808-1811 di Indonesia16. Berdirinya

kota maupun kabupaten tidak dapat dilepaskan dari gaya arsitektur sebagai

pembentuk sekaligus landmark kota. Kota-kota di Indonesia cenderung

menggunakan konsep kota radial atau memusat pada suatu area tertentu,

biasanya memusat pada jalan raya utama maupun pusat pemerintahan17.

Di beberapa kota kabupaten dan karesidenan di Indonesia, terdapat

bermacam-macam gaya bangunan yang mewakili zamanya salah satunya

yakni gaya Indis dengan ciri khas tersendiri. Kabupaten Boyolali yang

notabene kota militer, dalam hal gaya arsitektur tempat tinggal dan

pemerintahan berbeda dengan gaya arsitektur tempat tinggal dan

pemerintahan pribumi. Perbedaan tersebut merupakan hasil campuran dari

arsitektur bergaya Eropa dan Jawa atau arsitektur Indis, dengan ciri khas yang

menonjol yakni : pemakaian kaca patri atau Stainledglass sebagai penghias

15
Indische Empire Style meruapakan gaya arsitektur Indis pertama di
Hindia Belanda. Lihat :Hadinoto., Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada Masa
Kolonial, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), hlm. 47.
16
Ibid, hlm. 51.
17
Hadi Sabari Yunus., Struktur Tata Ruang Kota, (Yogyakarta: Ombak,
2004)., hlm. 119.
35

bagian dalam rumah, penggunaan hiasan Kemuncak, pemakaian Timpanon

(hiasan berupa papan bermotif lingkaran ditengah diapit segitiga terbalik),

penggunaan Console dan bagian dalam rumah cenderung berlangit-langit

tinggi dan tembok yang tinggi dan tebal.

Perbedaan lainya yakni, penggunaan konsep tata ruang pada rumah

tradisional dengan pemisahan ruang yang seara jelas tidak berlaku pada

bangunan Indis. Percampuran rumah tradisional dengan bangunan Eropa

hanya tampak pada penggunaan rangka atap, bukaan rumah (pintu dan

jendela yang didesain besar dan banyak), dan konstruksi bangunan yang

tinggi dan besar18. Rumah tradisonal jawa diaplikasikan dalam rumah Eropa

karena dirasa sangat cocok untuk mengatasi berubahnya musim di Hindia

Belanda.

Belanda dalam menerapkan pola ruang rumah tradisional Jawa juga

tidak dapat dilepaskan dengan unsur keselarasan terhadap alam, terlihat pada

munculnya rumah Indis dengan halaman yang luas dan besar. Munculnya

bangunan dengan halaman besar dan luas dengan segala kekuatan pemilik

rumah mengakibatkan, rumah tersebut berubah fungsi mejadi simbol

golongan. Simbol tidak dapat dipisahkan dengan budaya masyarakat Jawa

awalnya, dan berkembang setelah kolonial Belanda menetap di Jawa. Rumah

tradisional Jawa merupakan perpaduan antara arsitektur dan budaya,

18
Antonius Indro Nursito., Perubahan Bentuk dan Tata Nilai dalam
Arsitetur Rumah Tradisional Jawa di Surakarta, Skripsi. (Surakarta : Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, 2005), hlm : 108.
36

arsitektur lebih cenderung terhadap bagaimana cara melindungi diri dari alam

sedangkan budaya lebih cenderung kosmologi masyarakat Jawa. Arsitektur

dan budaya rumah tradisional Jawa oleh Belanda ditambahkan dengan sistem

teknologi dalam berbagai unsur19.

Konsep tata ruang rumah tradisional Jawa yang didasarkan atas dasar

privasi pemilik rumah, juga diaplikasikan pada tata ruang rumah Indis oleh

Belanda. Tata ruang rumah tradisional dengan konsep joglo, pringgitan,

gandok, sentong kamar kiwo dan kamar tengen juga digunakan oleh Belanda

untuk mengatur privasi mereka dari masyarakat luar. Akan tetapi, tata ruang

tersebut tidak diaplikasikan secara keseluruhan. Masyarakat Belanda dengan

segala teknologi dari Eropa dapat merubah tata ruang rumah tradisional

sesuai dengan kebutuhan mereka, teknologi tersebut lebih ditekankan pada

konstruksi rumah dengan segala sistem yang dibutuhkan.

Teknologi yang digunakan Belanda dalam mendirikan gedung juga

merupakan simbolisme hubungan antara masyarakat pendukungya dengan

lingkungan alam. Sehingga memunculkan suatu konsep tata kota tradisional

dengan alun-alun sebagai pusat kegiatan masyarakat dan dekat dengan

keraton atau bangunan pemerintahan dan rumah pribumi20. Akan tetapi

konsep tersebut berubah semenjak kolonial Belanda menetap di pedalaman

Jawa, dimana alun-alun berubah menjadi pusat masyarakat Eropa dan elite

19
Arya Ronald., Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa.
(Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005), hlm : 29.
20
Santoso Suryadi., Dinamika Perkembangan Arsitektur Jaman Pra
Kolonial di Pulau Jawa. (Dalam Majalah Dimensi No. 5, 1981), hlm 35.
37

pribumi. Akhirnya konsep tata ruang kota pedalaman di Hindia Belanda pada

masa kolonial cenderung memusat di pusat kota, dengan bangunan-bangunan

pendukung pemerintahan dan tempat tinggal Eropa dan priyayi21

Tata ruang Kabupaten Boyolali berbeda dengan kota lain akan tetapi

masih satu konsep yakni memusat di pusat kota dan bangunan-bangunan yang

didirikan di Kabupaten Boyolali di antaranya, yakni : Tangsi Militer, Asisten

Residen, Landraad, Poostkantor, Hospitaal, Telefoonkantor,

Hulppostkantoor, Gouvt. Pandhuis, Opiumverkooplast, Stanplaat, Station

Bojolali, Zoutpakhuis, Villa Merapi, Hotel Bojolali dan lain sebagainya. Di

samping bangunan untuk pemerintahan dan umum juga didirikan bangunan

sebagai tempat tinggal dan sekolahan, diantaranya : Hollandsch Inlande

School, Europe School, rumah distrik, mess bayangkari rumah tinggal pribadi

milik pastur Gereja Kristen dan Oemah Leo.

21
Robert Van Neil., Munculnya Elite Modern Indonesia. (Jakarta : PT
Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm : 35.

Anda mungkin juga menyukai