Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan sejak zaman dahulu hingga
sekarang, baik di negara maju maupun yang sedang berkembang. Menurut World
Healthy Organization (WHO), hampir 80 % umat manusia, menggantungkan dirinya
pada tumbuh-tumbuhan sebagai bahan obat dalam memelihara kesehatannya (Choirul,
2003).

Pemakaian bahan herbal alami untuk menangani penyakit dipercaya dapat


membantu memberikan efek kesembuhan dengan memanfaatkan metabolit sekunder
yang dihasilkan seperti, flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang
mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya yang tersusun dalam konfigurasi
C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang
dapat atau tak dapat membentuk cincin ketiga (Markham, 1988).

Menurut penelitian Artanti et al., (2006) menyatakan bahwa sejumlah


tanaman obat yang mengandung flavonoid telah di laporkan memiliki aktivitas
antioksidan, antibakteri, antivirus, antiradang, antialergi dan antikanker, di antaranya
benalu mangga. Benalu merupakan salah satu tumbuhan yang cukup menjanjikan dan
masih membutuhkan eksplorasi lebih lanjut. Selain dapat digunakan dalam sediaan
tradisional (jamu), benalu juga berpeluang dijadikan sebagai fitofarmaka (Artanti et
al., 2006).

Benalu yang merupakan tumbuhan parasit, ternyata berpotensi sebagai


antikanker. Salah satu senyawa yang terkandung dalam benalu dan beraktivitas
antikanker adalah flavonoid (Ikawati, et al., 2008). Pada penelitian sebelumnya,
ekstrak etanolik daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L. Miq) memiliki
aktivitas antiradikal bebas (Fajriah, et al., 2007).

Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang lebih


intensif mengenai pengujian kadar flavonoid total dari ekstrak etanolik daun benalu
mangga, sehingga potensi tumbuhan ini sebagai bahan baku obat untuk pencegahan
maupun pengobatan berbagai penyakit dapat lebih dikembangkan dengan maksimal.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud Flavonoid ?


2. Bagaimana klasifikasi Flavonoid ?
3. Bagaimana ciri struktur Flavonoid ?
4. Bagaimana sifat Flavonoid ?
5. Apa pengertian Kromatografi Lapis Tipis ?
6. Bagaimana prinsip kerja Kromatografi Lapis Tipis ?
7. Bagaimana prosedur kerja pada pemisahan sampel menggunakan kromatografi
lapis tipis?
8. Bagaimana aplikasi metode KLT dalam bidang farmasi ?

C. TUJUAN

1. Memahami pengertian Flavonoid


2. Mengetahui klasifikasi Flavonoid
3. Mengetahui ciri struktur Flavonoid
4. Mengetahui sifat Flavonoid
5. Memahami pengertian Kromatografi Lapis Tipis
6. Mengetahui prinsip kerja Kromatografi Lapis Tipis
7. Mengetahui prosedur kerja KLT
8. Mengetahui aplikasi metode KLT dalam bidang far
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN FLAVONOID

Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang
umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Senyawa flavanoid merupakan suatu kelompok
senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini
merupakan zat warna merah, ungu, dan biru serta sebagai zat warna kuning yang
ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.
Pada tumbuhan tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetative
maupun dalam bunga. Senyawa ini berperan penting dalam menentukan warna, rasa,
bau, serta kualitas nutrisi makanan. Tumbuhan umumnya hanya menghasilkan
senyawa flavonoid tertentu. Keberadaan flavonoid pada tingkat spesies, genus atau
familia menunjukkan proses evolusi yang terjadi sepanjang sejarah hidupnya. Bagi
tumbuhan, senyawa flavonoid berperan dalam pertahanan diri terhadap hama,
penyakit, herbivori, kompetisi, interaksi dengan mikrobia, dormansi biji, pelindung
terhadap radiasi sinar UV, molekul sinyal pada berbagai jalur transduksi, serta
molekul sinyal pada polinasi dan fertilitas jantan.
Flavanoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom
karbon, dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane (C3)
sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6.

B. KLASIFIKASI FLAVONOID

Jika dilihat dari struktur dasarnya flavonoid terdiri dari dua cincin benzen
yang terikat dengan 3 atom carbon (propana). Dari kerangka ini flavonoid dapat
dibagi menjadi 3 struktur dasar yaitu Flavonoid atau 1,3-diarilpropana,
isoflavonoidatau 1,2-diarilpropana, dan neoflafonoid atau 1,1-diarilpropana
C. CIRI STRUKTUR FLAVONOID

Masing-masing jenis Flavonoid mempunyai struktur dasar tertentu. Di


samping itu, Flavonoid mempunyai beberapa ciri struktur yang lain. Pada umumnya
cincin A dari struktur flavonoid mempunyai pola oksigenasi yang berselang-seling,
yakni pada posisi 2’, 4’ dan 6’ dari struktur terbuka calkon. Cincin B flavonoid
mempunyai 1 gugus fungsi oksigen pada posisi para atau 2 pada posisi para dan meta
atau 3 pada posisi 1 di para dan 2 di meta.
OH OH OH

HO O HO O
HO OH

OH

OH O OH O OH O

apigenin kaemferol
floretin

OH
OH
+
HO O HO
HO O O
OH C OH
H
OH
OH
OH O OH
OH
pelargonidin sulfuretin
epikatecin

D. SIFAT FLAVONOID

Flavonoid merupakan golongan filifenol sehingga memiliki sifat kimia


senyawa fenol, yaitu
1. Bersifat asam sehingga dapat larut dalam basa.
2. Merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil.
3. Sebagai antibakteri karena flavonoid sebagai derivat dari fenol dapat
menyebabkan rusaknya susunan dan perubahan mekanisme permeabilitas dari
dinding sel bakteri.
4. Sebagai antioksidan yaitu kemampuan flavonoid untuk menjalankan fungsi
antioksidan, bergantung pada struktur molekkulnya, posisi gugus hidroksil
memiliki peranan dalam fungsi antioksidan dan aktivitas menyingkirkan radikal
bebas.

E. PENGERTIAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS


Pengertian dari Kromatografi adalah cara pemisahan zat berkhasiat dan zat
yang lain yang ada dalam bahan atau sediaan dengan jalan penyarian
berfraksi, penyerapan atau penukaran ion pada zat berpori, menggunakan cairan atau
gas yang mengalir. Zat yang diperoleh dapat digunakan untuk uji identifikasi atau
penetapan kadar.
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah suatu metode analisis yang digunakan
untuk memisahkan suatu campuran senyawa secara cepat dan sederhana. Prinsipnya
didasarkan atas partisi dan adsorpsi. Zat penjerap merupakan fase stasioner, berupa
bubuk halus dibuat serba rata dan tipis diatas lempeng kaca. Fase diam yang umum
digunakan adalah silika gel, baik yang normal fase maupun reversed fase.
Suatu metode pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip partisi dan
adsorpsi antara fase diam (adsorben) dan fase gerak (eluen), komponen kimia
bergerak naik mengikuti cairan pengembang karena daya serap adsorben (silika gel)
terhadap komponen-komponen kimia tidak sama sehingga komponen dapat bergerak
dengan kecepatan yang berbeda-beda berdasarkan tingkat kepolarannya dan hal inilah
yang menyebabkan terjadinya pemisahan.
Mekanisme panampakan noda pada UV yaitu suatu molekul yang
mengabsorbsi cahaya ultraviolet akan mencapai suatu keadaan tereksitasi dan
kemudian memancarkan cahaya ultraviolet atau cahaya tampak pada waktu kembali
ke tingkat dasar (emisi), emisi inilah yang digambarkan sebagai fluoresensi.

F. PRINSIP KERJA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

Pada proses pemisahan dengan kromatografi lapis tipis, terjadi hubungan


kesetimbangan antara fase diam dan fase gerak, dimana ada interaksi antara
permukaan fase diam dengan gugus fungsi senyawa organik yang akan diidentifikasi
yang telah berinteraksi dengan fasa geraknya. Kesetimbangan ini dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu : kepolaran fase diam, kepolaran fase gerak, serta kepolaran dan ukuran
molekul.
Pada kromatografi lapis tipis, eluent adalah fase gerak yang berperan penting
pada proses elusi bagi larutan umpan (feed) untuk melewati fase diam (adsorbent).
Interaksi antara adsorbent dengan eluent sangat menentukan terjadinya pemisahan
komponen. Oleh sebab itu pemisahan komponen secara kromatografi dipengaruhi
oleh laju alir eluent dan jumlah umpan. Eluent dapat digolongkan menurut ukuran
kekuatan teradsorpsinya pelarut atau campuran pelarut tersebut pada adsorben dan
dalam hal ini yang banyak digunakan adalah jenis adsorben alumina atau sebuah
lapis tipis silika. Suatu pelarut yang bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir
pelarut yang tak polar dari ikatannya dengan alumina (gel silika). Semakin dekat
kepolaran antara senyawa dengan eluen maka senyawa akan semakin terbawa oleh
fase gerak tersebut. Hal ini berdasarkan prinsip “like dissolved like”.

G. PROSEDUR KERJA KLT

Pelaksaanan kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika


atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang
keras. Jel silika (atau alumina) merupakan fase diam. Fase diam untuk kromatografi
lapis tipis seringkali juga mengandung substansi yang mana dapat berpendarflour
dalam sinar ultra violet. Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang
sesuai.Pelaksanaan ini biasanya dalam pemisahan warna yang merupakan gabungan
dari beberapa zat pewarna atau pemisahan dan isolasi pigment tanaman yang
berwarna hijau dan kuning.

1. Kromatogram
Pelaksanaan kromatografi biasanya digunakan dalam pemisahan pewarna
yang merupakan sebuah campuran dari beberapa zat pewarna.
Contoh pelaksanaan kromatografi lapis tipis:Sebuah garis menggunakan pinsil
digambar dekat bagian bawah lempengan dan setetes pelarut dari campuran pewarna
ditempatkan pada garis itu. Diberikan penandaan pada garis di lempengan untuk
menunjukkan posisi awal dari tetesan. Jika ini dilakukan menggunakan tinta,
pewarna dari tinta akan bergerak selayaknya kromatogramdibentuk.Ketika bercak
dari campuran itu mengering, lempengan ditempatkan dalam sebuah gelas kimia
bertutup berisi pelarut dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Perlu diperhatikan
bahwa batas pelarut berada di bawah garis dimana posisi bercak berada.
Alasan untuk menutup gelas kimia adalah untuk meyakinkan bawah kondisi
dalam gelas kimia terjenuhkan oleh uap dari pelarut. Untuk mendapatkan kondisi
ini, dalam gelas kimia biasanya ditempatkan beberapa kertas saring yang terbasahi
oleh pelarut. Kondisi jenuh dalam gelas kimia dengan uap
mencegahpenguapanpelarut.Karena pelarut bergerak lambat pada lempengan,
komponen-komponen yang berbeda dari campuran pewarna akan bergerak pada
kecepatan yang berbeda dan akan tampak sebagai perbedaan bercak warna.

2. Perhitungan nilai Rf

Perbedaan warna yang telah terbentuk dari campuran, pengukuran diperoleh


dari lempengan untuk memudahkan identifikasi senyawa-senyawa yang
muncul.Pengukuran ini berdasarkan pada jarak yang ditempuh oleh pelarut dan jarak
yang tempuh oleh bercak warna masing-masing.

Ketika pelarut mendekati bagian atas lempengan, lempengan dipindahkan dari


gelas kimia dan posisi pelarut ditandai dengan sebuah garis, sebelum mengalami
proses penguapan.Pengukuran berlangsung sebagai berikut:Nilai Rf untuk setiap
warna dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Rf=jarak yang ditempuh oleh komponenjarak yang ditempuh oleh pelarut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatrografi lapis


tipis yang juga mempengaruhi harga Rf :

 Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan


 Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya.
Biasanya aktifitas dicapai dengan pemanasan dalam oven, hal ini akan
mengeringkan molekul-molekul air yang menempati pusat pusat serapan dari
penyerap. Perbedaan penyerap akan memberikan perbedaan yang besar terhadap
harga Rf meskipun menggunakan fase bergerak dan zat terlarut yang sama tetapi
hasil akan dapat diulang dengan hasil yang sama, jika menggunakan penyerap yang
sama, ukuran partikel tetap dan jika pengikatdicampur hingga homogen.
a. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap.
Pada prakteknya tebal lapisan tidak dapat dilihat pengaruhnya, tetapi perlu
diusahakan tebal lapisan yang rata. Ketidakrataan akan menyebabkan aliran
pelarut menjadi tak rata pula dalam daerah yang kecil dari plat.
b. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase bergerak.
Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fase bergerak dalam
kromatografi lapisan tipis adalah sangat penting dan bila campuran pelarut
digunakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul
diperhatikan.Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang
digunakan.
c. Teknik percobaan.
Arah pelarut bergerak di atas plat. (Metoda aliran penaikan yang hanya
diperhatikan, karena cara ini yang paling umum meskipun teknik aliran
penurunan dan mendatar juga digunakan
d. Jumlah cuplikan yang digunakan.
Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan hasil
penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan efek tak
kesetimbangan lainnya, hingga akan mengakibatkan kesalahan-kesalahan
pada harga-harga Rf.
e. Suhu.
Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini terutama
untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang
disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan fase
f. Kesetimbangan.
Ternyata bahwa kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih penting dalam
kromatografi kertas, hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam bejana
jenuh dengan uap pelarut. Suatu gejala bila atmosfer dalam bejana tidak
jenuh dengan uap pelarut, bila digunakan pelarut campuran, akan terjadi
pengembangan dengan permukaan pelarut yang berbentuk cekung dan fase
bergerak lebih cepat pada bagian tepi-tepi dan keadaan ini harus dicegah.
digunakan pelarut campuran, akan terjadi pengembangan dengan permukaan
pelarut yang berbentuk cekung dan fase bergerak lebih cepat pada bagian
tepi-tepi dan keadaan ini harus dicegah.
Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan, atau
kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak
mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat
dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang
berbeda.Sedangkan fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga
mengandung substansi yang mana dapat berpendar flour dalam sinar ultra violet.
Pendaran ini ditutupi pada posisi dimana bercak pada kromatogram berada,
meskipun bercak-bercak itu tidak tampak berwarna jika dilihat dengan mata.
Namun, apabila di sinarkan dengan sinar UV pada lempengan, akan timbul pendaran
dari posisi yang berbeda dengan posisi bercak-bercak. Bercak tampak sebagai
bidang kecil yang gelap.Sementara UV tetap di sinarkan pada lempengan, harus
dilakukan penandaan posisi-posisi dari bercak-bercak dengan menggunakan pensil
dan melingkari daerah bercak-bercak itu. Ketika sinar UV dimatikan, bercak-bercak
tidak tampak kembali.

Prinsip pemisahan noda adalah berdasarkan kepolarannya sehingga


menghasilkan kecepatan yang berbeda-beda saat terpartisi dan terjadilah
pemisahan.Untuk memisahkan noda dengan sebaik-baiknya maka digunakan
kombinasi eluen non polar dengan polar. Apabila noda yang diperoleh terlalu tinggi,
maka kecepatannya dapat dikurangi dengan mengurangi kepolaran. Namun apabila
nodanya lambat bergerak atau hanya ditempat, maka kepolaran dapat ditambah.

3. Mengidentifikasi senyawa-senyawa
Dimisalkan campuran asam amino yang ingin diketahui senyawa. Caranya :
Setetes campuran ditempatkan pada garis dasar lempengan lapis tipis dan bercak-
bercak kecil yang serupa dari asam amino yang telah diketahui juga ditempatkan
pada disamping tetesan yang akan diidentifikasi. Lempengan lalu ditempatkan pada
posisi berdiri dalam pelarut yang sesuai dan dibiarkan seperti sebelumnya. Dalam
gambar, campuran adalah M dan asam amino yang telah diketahui ditandai 1-
5.Bagian kiri gambar menunjukkan lempengan setelah pelarut hampir mencapai
bagian atas dari lempengan. Bercak-bercak masih belum tampak. Gambar kedua
menunjukkan apa yang terjadi setelah lempengan disemprotkan ninhidrin.Tidak
diperlukan menghitung nilai Rf karena anda dengan mudah dapat membandingkan
bercak-bercak pada campuran dengan bercak dari asam amino yang telah diketahui
melalui posisi dan warnanya.
Kromatografi Lapis Tipis Pada Substansi Tidak Berwarna
1) Menggunakan pendarflourfase diam
Pada sebuah lempengan lapis tipis seringkali memiliki substansi yang
ditambahkan kedalamnya, supaya menghasilkan pendaran flour ketika
diberikan sinar ultraviolet (UV). Itu berarti jika menyinarkannya dengan sinar
UV, akan berpendar.Pendaran ini ditutupi pada posisi dimana bercak pada
kromatogram berada, meskipun bercak-bercak itu tidak tampak berwarna jika
dilihat dengan mata. Itu berarti bahwa menyinarkan sinar UV pada
lempengan, akan timbul pendaran dari posisi yang berbeda dengan posisi
bercak-bercak. Bercak tampak sebagai bidang kecil yang gelap.Sementara UV
tetap disinarkan pada lempengan, dan tandai posisi-posisi dari bercak-bercak
dengan menggunakan pinsil dan melingkari daerah bercak-bercak itu. Seketika
anda mematikan sinar UV, bercak-bercak tersebut tidak tampak kembali.
2) Menggunakan bercak secara kimia
Untuk membuat bercak-bercak menjadi tampak dengan jalan mereaksikannya
dengan zat kimia sehingga menghasilkan produk yang berwarna. Sebuah
contoh yang baik adalah kromatogram yang dihasilkan dari campuran asam
amino.Kromatogram dapat dikeringkan dan disemprotkan dengan larutan
ninhidrin. Ninhidrin bereaksi dengan asam amino menghasilkan senyawa-
senyawa berwarna, umumnya coklat atau ungu.Dalam metode lain,
kromatogram dikeringkan kembali dan kemudian ditempatkan pada wadah
bertutup (seperti gelas kimia dengan tutupan gelas arloji) bersama dengan
kristal iodium. Uap iodium dalam wadah dapat berekasi dengan bercak pada
kromatogram, atau dapat dilekatkan lebih dekat pada bercak daripada
lempengan. Substansi yang dianalisis tampak sebagai bercak-bercak
kecoklatan.

2. APLIKASI METODE KLT DALAM BIDANG FARMASI

Contoh penggunaan metode pemisahan secara Kromatografi Lapis Tipis


(KLT) dapat diterapkan dalam menganalisis adanya senyawa paracetamol dan kafein
dalam sediaan obat paten seperti poldanmig yang beredar di pasaran apakah
memenuhi persyaratan mutu obat atau tidak. Sehingga dengan kadar yang tepat obat
dapat memberikan efek terapi yang dikehendaki.
Setiap komponen memiliki harga Rf sendiri-sendiri, dengan bantuan dari sinar
ultraviolet maka dapat ditentukan noda yang tidak tampak oleh kasat mata. Cara yang
biasa dilakukan dengan menyemprotkan KMNO4 dalam H2SO4 yang kemudian akan
berinteraksi dengan komponen-komponen sampel baik secara kimia maupun
berdasarkan kelarutan membentuk warna-warna tertentu.
Noda kemudian dihitung harga Rf-nya. Harga Rf dihitung dengan
menggunakan perbandingan jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh
fase gerak. Nilai maksimum Rf adalah 1 dan nilai minimumnya 0. Dengan
menggunakan silika gel sebagai fase diam, harga Rf 1 menunjukkan jika senyawa
tersebut sangat nonpolar sedangkan harga Rf 0 menunjukkan bahwa senyawa tersebut
sangat polar.
Adapun manfaat dari Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yaitu :
1. Pemeriksaan kualitatif dan kemurnian senyawa obat.
2. Pemeriksaan simplisia hewan dan tanaman.
3. Pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat.
4. Penentuan kualitatif masing-masing senyawa aktif campuran senyawa obat.
Keburukan dari teknik ini mungkin hanya pada prosedur pembuatan lempengnya
yang memerlukan tambahan waktu, kecuali bila telah tersedia lempeng yang
diproduksi secara komersial.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

PENETAPAN KADAR FLAVONOID TOTAL DARI EKSTRAK ETANOLIK


DAUN BENALU MANGGA

1. Pengambilan Sampel
Sampel daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L. Miq) diambil
dari inangnya, dikumpulkan kemudian dipisahkan daunnya. Setelah itu dilakukan
sortasi basah untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang masih
menempel pada sampel.

2. Pengolahan Sampel
Daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L. Miq) yang telah diambil
dilakukan pengubahan bentuk dengan cara dipotong-potong kecil, selanjutnya
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan selama beberapa hari pada udara terbuka
dengan tidak terkena sinar matahari langsung. Setelah kering sampel ditimbang dan
dicatat berat keringnya kemudian diserbukkan setelah itu ditimbang kembali berat
serbuk, berat sampel serbuk yang diperoleh yaitu 650 gram.

3. Ekstraksi Sampel
Sebanyak 650 gram serbuk daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.
Miq) dimasukkan ke dalam wadah maserasi, ditambahkan pelarut etanol 96% hingga
serbuk simplisia terendam dengan volume etanol 2 liter, dibiarkan selama 3-4 hari.
Setelah proses ekstraksi selesai diperoleh ekstrak kental sebanyak 800 mL untuk
hasil saringan pertama kemudian hasil remaserasi yaitu 600 mL. Ekstrak kental yang
telah dikumpulkan lalu diuapkan dengan menggunakan alat water bath dan hair
drayer hingga diperoleh ekstrak etanolik kering, hasil ekstrak etanolik kering yang
diperoleh sebanyak 39,713 gram.

4. Uji Kualitatif Flavonoid


Untuk uji kualitatif flavonoid, dilakukan analisis KLT. Ekstrak etanolik daun
benalu mangga dilarutkan dengan etanol 96% kemudian ditotolkan pada lempeng
KLT. Lempeng dimasukkan dalam chamber yang berisi eluen n-heksan : etil asetat
(1 : 9). Bercak diamati dibawah sinar UV366 nm. Kemudian disemprot dengan reagen
atau pereaksi spesifik. Pereaksi yang sering digunakan untuk identifikasi flavonoid
sebagai pereaksi semprot dalam KLT adalah AlCl3dan sitroborat yang akan
memberikan warna kuning (Mabry et al., 1970).

5. Uji Kuantitatif Flavonoid


a. Pembuatan larutan standar kuersetin
Ditimbang sebanyak 25 mg baku standar kuersetin dan dilarutkan dalam
25 mL etanol 96%. Larutan stok dipipet sebayak 1 mL dan dicukupkan volumenya
sampai 10 mL dengan etanol 96% untuk 1000 ppm. Dipipet kembali 5 mL
kemudian dicukupkan volumenya sampai 50 mL dengan etanol 96%. Dari larutan
standar kuersetin 100 ppm, kemudian dibuat beberapa konsentrasi yaitu 2 ppm, 4
ppm, 6 ppm, 8 ppm, dan 10 ppm. Dari masing-masing konsentrasi larutan standar
kuersetin ditambahkan 3 mL etanol 96%, 0,2 mL AlCl3, 0,2 mL kalium asetat 1 M,
dan 5,6 mL aquabidestillata. Setelah itu diinkubasi selama 30 menit pada suhu
kamar dan diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Visible dengan
panjang gelombang 440 nm.
b. Pembuatan larutan sampel
Kandungan flavonoid total merujuk pada prosedur Chang et al., (2002)
dengan beberapa konsentrasi menggunakan kuersetin sebagai standar. Ditimbang
ekstrak etanolik daun benalu mangga sebanyak 25 mg dan dilarutkan dalam 25 mL
etanol 96%. Dari larutan stok dipipet sebayak 1 mL dan dicukupkan volumenya
sampai 10 mL dengan etanol 96%. Kemudian dipipet 1 mL dan ditambahkan 3 mL
etanol 96%, 0,2 mL AlCl3, 0,2 mL kalium asetat 1 M, dan 5,6 mL aquabidestillata.
Setelah itu diinkubasi selama 30 menit pada suhu kamar dan diukur absorbansinya
pada spektrofotometer UV-Visible dengan panjang gelombang 440 nm. Larutan
sampel dibuat dalam tiga kali replikasi.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel daun benalu manga 650 gram diekstraksi secara maserasi yaitu
menggunakan pelarut etanol sebanyak 2 L, menghasilkan ekstrak kental etanol yaitu
39,713 gram dengan persen rendamen sebesar 6,109%.

Identifikasi golongan senyawa kimia menggunakan KLT F254 dengan fase


gerak n-heksan:etil asetat (1:9). Kemudian disemprot pereaksi spesifik sitroborat
dan AlCl3, tampak 2 bercak berpendar kuning kehijauan dibawah UV366 nm
dengan nilai Rf1 0,9 dan Rf2 0,6. Hasil skrining fitokimia pada ekstrak etanolik
daun benalu mangga, menunjukkan bahwa sampel positif mengandung senyawa
flavonoid. pembanding dalam analisis kuantitatif pada pengukuran kandungan
senyawa flavonoid kuersetin terhadap ekstrak etanolik daun benalu mangga

Gambar 1. Profil KLT ekstrak etanolik daun benalu mangga

Keterangan :

Fase diam : Silika gel 60 F254

Fase gerak : n-heksan-etil asetat (1:9)

(a) Deteksi UV366 dan pereaksi semprot AlCl3


(b) Deteksi UV366 dan pereaksi semprot Sitroborat
Tabel 1. Hasil Uji Kualitatif senyawa flavonoid ekstrak etanolik daun benalu mangga

Sampel AlCl3 Sitroborat Hasil Pengamatan


Ekstrak UV366 nm UV366 nm Flavonoid
Etanolik
Daun Warna Warna
Benalu Kuning Kuning
Mangga

Penentuan kadar flavonoid dengan menggunakan metode Chang pada tahun


2002 dan sebagai pembanding digunakan baku standar kuersetin. Kemudian
dilakukan optimasi panjang gelombang untuk menentukan panjang gelombang
maksimum yang akan digunakan dalam pengukuran pada spektofotometri UV-Vis.
Hasil pengukuran diperoleh panjang gelombang maksimum yaitu 440nm.

Hasil pengukuran absorbansi larutan standar kuersetin pada beberapa


konsentrasi (ppm) yaitu 2, 4, 6, 8 dan 10 diperoleh hubungan yang linear antara
absorbansi dengan konsentrasi yaitu sebesar 0,9983. Dari hasil perhitungan, diperoleh
nilai intersept sebesar 0,0065 dan nilai slope sebesar 0,0532 sehingga persamaan
kurva baku adalah y= 0,0065x + 0,0532. Persamaan tersebut digunakan sebagai
pembanding dalam analisis kuantitatif pada pengukuran kandungan senyawa
flavonoid kuersetin terhadap ekstrak etanolik daun benalu mangga
Tabel 2. Hasil Pengukuran standar kuersetin

Konsentrasi Absorbansi (λ)


(µg/mL) 440 nm
2,0 0,067
4,0 0,078
6,0 0,092
8,0 0,106
10,0 0,118

Gambar 2. Kurva linier konsentrasi kuersetin pada λ440 nm

Tabel 3. Hasil pengukuran absorbansi ekstrak etanolik daun benalu manga

Sampel Absorbansi
Ekstrak Replikasi I Replikasi II Replikasi III
Etanolik
Daun Benalu
Mangga 0,0903
0,0946 0,0967

Fitokimia 16
Tabel 4. Hasil Pengukuran kadar flavonoid Total ekstrak etanolik daun benalu
mangga

Replikasi Kandungan Flavonoid Total % kadar


Flavonoid awal (g.QE/g.eks) flavonoid
(mg/mL)
1 0,0057 0,0228

2 0,0063 0,0252 2,48 %

3 0,0066 0,0264

Flavonoid total pada ekstrak etanolik daun benalu mangga diperoleh


dengan cara memasukkan nilai absorbansi pada kurva standar kuersetin
sehingga hasil dari besar flavonoid total ekstrak etanolik daun benalu
mangga yaitu sebesar 2,48%.

Pada penelitian yang dilakukan Fajriah tahun 2007 menunjukkan


adanya korelasi linear antara flavonoid dengan aktivitas antioksidan.
Sehingga tingginya kadar flavonoid ekstrak etanolik daun benalu mangga,
sejalan dengan aktivitas antioksidan yang diperoleh nilai IC50 yaitu 25,40
µg/mL.

Fitokimia 17
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat


disimpulkan bahwa daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L. Miq)
mengandung senyawa flavonoid total sebesar 2,48% dihitung terhadap atau
sebagai kuersetin. Pada penelitian yang dilakukan Fajriah tahun 2007
menunjukkan adanya korelasi linear antara flavonoid dengan aktivitas
antioksidan. Sehingga tingginya kadar flavonoid ekstrak etanolik daun benalu
mangga, sejalan dengan aktivitas antioksidan yang diperoleh nilai IC50 yaitu
25,40 µg/mL.

Fitokimia 18
DAFTAR PUSTAKA

Artanti, N. M., Hanafi, M. Y. 2006. Isolation and identification of active


antioxsidant compound from star fruitmistletoe Dendrophthoe pentandra
(Ethanol extract, Journal of aplied sciences 6(8) 1659-1663) (online),
diakses 10 september 2013.
Chang, C. C., Yang, M. H., Wen, H. M., Chern, J. C., 2002. Estimation of total
flavonoid content in propolis by two complementary colorimetric methods. J
Food Drug Ana. 10:178-182.
Choirul. 2003. Berita Biologi : Jurnal Ilmiah Nasional. Pusat Penelitian Biologi,
Vol. 6 No. 4.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional. 2000. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Jakarta:
Depkes RI.
Latifah. 2015. Identifikasi golongan senyawa flavonoid dan uji aktivitas antioksidan
pada ekstrak rimpang kencur. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negri Maulana Malik Ibrahim. Malang
Yusluanti, Euis Reni. 2017. Pengantar radikal bebas dan Antioksidan. Yogyakarta.
Penerbit CV budi utama
Achmad, Sjamsul Arifin. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta
Chintia, Gadis. 2015. Flavonoid. Universitas Negri Medan. Medan

Fitokimia 19

Anda mungkin juga menyukai