Anda di halaman 1dari 18

Etiologi aneurisma intrakranial adalah multifaktorial.

Faktor genetik terlibat dalam aneurisma


intrakranial, dengan peningkatan risiko tujuh kali lipat yang tercatat pada keluarga tingkat
pertama pasien. Merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko yang mengejutkan yaitu sebelas
kali lipat, sedangkan hipertensi hanya menyebabkan peningkatan risiko tiga kali lipat. Bersama
dengan penyalahgunaan alkohol, semua faktor ini berkontribusi untuk memperlemah tunika
media arteri. Kerentanan kronis terhadap shear stress intravaskular membentuk kantung pada
dinding yang melemah, terutama di sekitar bifurkasi di mana aliran turbulen menonjol. Hukum
La Place berlaku pada ketegangan dinding aneurisma dan menjadi predisposisi terhadap
pertumbuhan lanjutan dalam ukuran aneurisma. Risiko tahunan untuk ruptur meningkat dengan
ukuran aneurisma, dari 0,05% pada aneurisma berukuran kurang dari 10 mm, menjadi 6% untuk
aneurisma yang lebih besar dari 25 mm (Daniel, 2010).

Ruptur aneurisma intrakranial bertanggung jawab terhadap sekitar 85% dari SAH; 10% diwakili
oleh kondisi non-aneurisma; 5% diwakili oleh kondisi medis lain seperti lesi inflamasi atau non-
inflamasi dari arteri cerebri, koagulopati, neoplasma atau penyalahgunaan obat (Ventidkk, 2011).

Aneurisma serebri dijumpai pada 2-3% dari populasi. Mereka sebagian besar berada pada
bifurkasi pembuluh darah poligon Willis atau cabangnya (Gambar. 2). Risiko ruptur cukup
rendah, diperkirakan sekitar 0,05% per tahun, tetapi dapat meningkat bila diameternya > 10 mm
atau jika berada dalam sirkulasi posterior otak. Sebuah penelitian internasional telah melaporkan
bahwa risiko kumulatif untuk ruptur dalam 5 tahun adalah nol untuk aneurisma yang lebih kecil
dari 7 mm, 2,6% untuk dimensi antara 7 - 12 mm, 14,5% untuk dimensi antara 13 - 24 mm dan
40% untuk aneurisma yang lebih besar dari 25 mm. Tingkat tersebut masing-masing meningkat
sebesar 2,5%, 14,5%, 18,4% dan 50% untuk aneurisma yang terletak pada sirkulasi posterior.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk ruptur aneurisma termasuk hipertensi arteri,
merokok, penyalahgunaan alkohol dan penggunaan kokain. Faktor genetik merupakan
determinan seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan risiko pada keluarga tingkat pertama.
Penyakit jaringan ikat herediter seperti ginjal polikistik, sindrom Ehlers Danlos (Tipe IV),
displasia pseudoxantomaelastikum dan fibromuskular adalah kondisi yang berhubungan dengan
aneurisma intrakranial dan SAH. Perdarahan subarachnoid perimesensefalik non-aneurisma
ditandai dengan ekstravasasi darah ke sisterna di sekitar otak tengah, pons atau pada level
sisterna quadrigemina, tanpa mencapai fisura Sylvian atau fisura interhemisferik atau sistem
ventrikel. SAH perimesensefalik biasanya bukan karena malformasi aneurisma dan berhubungan
dengan luaran yang baik. Normalitas temuan angiografi mendukung asal perdarahan dari vena
akibat ruptur vena prepontin atau interpeduncular. Pada pasien ini vena perimesensefalik sering
berdrainase langsung ke dalam sinus dura ketimbang ke vena Galen, yang menjadi predisposisi
untuk kongesti vena (Ventidkk, 2011).

Setelah ruptur dinding aneurisma, darah terus dipompa ke dalam ruang subarachnoid sampai
gradien tekanan telah sama, dengan tekanan di dalam ruang subarachnoid saat ini menyamai
tekanan arteri sistemik. Fase ini berlangsung singkat, yang berlangsung beberapa menit saja.
Peningkatan tekanan mendadak menyebabkan sakit kepala yang menyiksa yang menyertai SAH.
Sekuele penting lainnya yaitu edema serebral dan hidrosefalus, dimana hidrosefalus dihasilkan
dari penurunan absorpsi cairan cerebrospinal (CSF) karena bekuan darah pada granulasi
subarachnoid, dan / atau obstruksi bekuan darah pada drainase CSF dari ventrikel. Adanya darah
dalam ruang subarachnoid dikaitkan dengan iritasi meningeal dan meningisme. Darah dan
produk penghancuran hemoglobin dalam ruang subarachnoid diduga memberikan stimulus untuk
vasospasme. Tingkat vasospasme tampaknya terkait dengan volume dan lokasi darah dalam
ruang subarachnoid. Pada sepertiga pasien SAH, terbentuknya haematoma intraserebral dan
intraventrikular berkontribusi terhadap peningkatan tekanan intrakranial (ICP) lebih lanjut
(Daniel, 2010).

Selama SAH aneurisma, ekstravasasi darah arteri bertekanan tinggi dalam ruang subarachnoid
(dan sering ke parenkim otak dan ventrikel) dikaitkan dengan peningkatan ICP secara tiba-tiba,
jika parah dan berkelanjutan, ia dapat membahayakan perfusi serebral, yang menyebabkan
iskemia serebral global dan EBI. Jika perdarahan tidak berhenti, ketidakstabilan kardiopulmonal
akut bersama dengan hipertensi intrakranial atau gangguan aliran darah otak (CBF)
menyebabkan kematian pasien sebelum masuk rumah sakit. Pada pasien yang bertahan hidup
pada perdarahan awal, pendarahan berulang merupakan komplikasi awal yang paling berat;
insidennya dilaporkan hingga 15% dalam 24 jam pertama, dan tingkat kematiannya adalah
sekitar 70%. Pasien dengan SAH poor-grade berisiko tinggi untuk perdarahan ulang. Oleh
karena itu manajemen awal harus fokus pada strategi yang bertujuan untuk mencegah
pendarahan ulang dan untuk mengontrol ICP. Perbaikan aneurisma segera umumnya dianggap
sebagai strategi yang paling penting untuk mengurangi risiko ruptur aneurisma berulang. Namun,
bukti dari waktu terapi yang optimum masih terbatas, dan tidak jelas apakah pengobatan yang
sangat dini (kurang dari 24 jam) lebih unggul daripada perbaikan aneurisma dini (dalam waktu
72 jam). Sebuah analisis data retrospektif yang baru-baru ini diterbitkan yang membandingkan
pengobatan sangat dini dengan perbaikan yang dilakukan dalam waktu 24-72 jam setelah
perdarahan menunjukkan bahwa oklusi aneurisma dapat dilakukan dengan aman dalam waktu 72
jam setelah ruptur aneurisma. American Heart Association / American Stroke Association
merekomendasikannya sebagai Rekomendasi Kelas IB yaitu “bedah clipping atau endovascular
coiling dari ruptur aneurisma harus dilakukan sedini mungkin pada sebagian besar pasien untuk
mengurangi tingkat pendarahan ulang setelah SAH”. Rekomendasi waktu intervensi aneurisma
ini diperkuat oleh European Stroke Organization Guidelines for the Management of Intracranial
Aneurysms and Subarachnoid Haemorrhage, yang menyatakan bahwa “aneurisma harus dirawat
sedini mungkin secara logistik dan teknis untuk mengurangi risiko perdarahan ulang; jika
memungkinkan harus ditujukan untuk mengintervensi setidaknya dalam waktu 72 jam setelah
onset gejala pertama” (Manoeldkk 2016).

Hasil dari uji coba yang sedang berlangsung yang hanya mendaftarkan pasien dengan SAH porr-
grade dapat membantu menjawab pertanyaan apakah pengobatan dini (dalam waktu 3 hari)
dikaitkan dengan peningkatan luaran dibandingkan dengan pengobatan intermediet (hari 4-7)
atau lambat (setelah hari 7). Pilihan modalitas pengobatan antara surgical clipping dan
endovascular coiling merupakan upaya yang kompleks, yang membutuhkan keahlian tim
interdisipliner, termasuk neurointensivists, interventional neuroradiologists dan ahli bedah
neurovaskular. Untuk aneurisma yang dianggap sama-sama dapat diobati dengan kedua
modalitas, pendekatan endovaskular lebih unggul, yang dikaitkan dengan luaran jangka panjang
yang lebih baik. Uji coba acak dari clipping versus coiling sebagian besar melibatkan pasien
dengan grade yang baik, yang mengarah pada kontroversi mengenai apakah luaran mereka juga
berlaku untuk pasien poor-grade. Data retrospektif mengenai clipping dan coiling pada pasien
poor-grade tampaknya menyarankan bahwa surgical clipping dan endovaskular sama-sama
efektif. Pemberian awal dan singkat dari obat anti-fibrinolitik seperti asam traneksamat, yang
dimulai segera setelah diagnosis radiologis SAH ditegakkan dan dihentikan dalam waktu 24-72
jam, telah dikaitkan dengan penurunan tingkat perdarahan awal yang sangat dini dan perbaikan
yang non-signifikan dalam luaran fungsional jangka panjang. Pendekatan ini masih
kontroversial, dan pemberian asam traneksamat jangka pendek untuk mencegah perdarahan
ulang diteliti lebih lanjut dalam uji coba multicenter acak (nomor Dutch Trial Registry
NTR3272)]. Intervensi medis lainnya yang digunakan untuk mencegah ruptur aneurisma
berulang adalah menghindari tekanan darah yang ekstrem. American Heart Association /
American Stroke Association dan pedoman Neurocritical Care menyarankan untuk menjaga rata-
rata tekanan darah arteri di bawah 110 mm Hg atau tekanan darah sistolik di bawah 160 mm Hg
(atau keduanya) dengan adanya ruptur aneurisma. Pedoman Eropa kurang agresif dan
menyarankan untuk menjaga tekanan darah sistolik di bawah 180 mm Hg. Parameter ini
sebaiknya tidak digunakan setelah pengobatan aneurisma, dimana tekanan darah yang tinggi
secara spontan mungkin bermanfaat. Hipertensi intrakranial (ICP minimal 20 mm Hg)
merupakan komplikasi yang relatif umum dari SAH, terutama pada pasien dengan kondisi
neurologis yang buruk. Beberapa faktor seperti edema serebral, haematoma intraparenkim,
hidrosefalus komunikans akut, perdarahan intraventrikular, ruptur aneurisma ulang, komplikasi
yang berhubungan dengan pengobatan aneurisma, EBI, dan DCI dapat berkontribusi terhadap
perkembangan hipertensi intrakranial. ICP yang tinggi dikaitkan dengan gangguan berat dalam
metabolisme serebral, peningkatan risiko kerusakan neurologis, dan luaran yang buruk, terutama
jika refrakter terhadap pengobatan. ICP yang lebih besar dari 20 mmHg merupakan prediktor
independen dari disabilitas berat dan kematian pada SAH aneurisma (Manoeldkk 2016).

Gangguan neurologis lambat sering terjadi pada 2 minggu pertama setelah SAH. Penyebab
umum dari gangguan ini mencakup peristiwa neurologis seperti perkembangan EBI,
hidrosefalus, kejang, iskemia, dan kondisi sistemik, seperti demam dan infeksi, gagal napas, dan
gangguan elektrolit. Setiap gangguan neurologis lambat yang diduga berhubungan dengan
iskemia yang berlangsung selama lebih dari 1 jam dan tidak dapat dijelaskan secara berbeda
telah didefinisikan sebagai DCI. (Tabel 1). DCI terjadi pada 30% dar pasien SAH yang selamat
dari perdarahan awal. Hal ini dapat dijumpai sebagai perubahan akut atau ringan dalam tingkat
kesadaran atau sebagai gejala neurologis fokal, seperti afasia atau hemiparesis, atau karena
keduanya. Gejala-gejala ini dapat reversibel jika diobati dengan segera dan agresif; jika tidak,
DCI cenderung berprogresi menjadi infark serebral, yang dikaitkan dengan tingkat kecacatan dan
kematian yang lebih tinggi. Secara tradisional, DCI telah dianggap berhubungan dengan
vasokonstriksi serebral (vasospasme angiografik) yang dimulai sekitar 3 hari dan memuncak 1
minggu setelah perdarahan dan mulai menghilang setelah 2 minggu. Namun, bukti terbaru
menunjukkan bahwa DCI merupakan sindrom yang kompleks dan multifaktorial, yang dapat
mencakup proses patofisiologis lainnya di luar vasospasme angiografik atau sonografik. DCI
juga dapat terjadi di wilayah otak tanpa bukti vasospasme angiografik. EBI (yang didefinisikan
sebagai cedera otak yang berkembang dalam 72 jam pertama setelah perdarahan) memiliki
dampak yang signifikan terhadap kemungkinan dan keparahan perubahan iskemik selanjutnya.
Sebagai contoh, pasien poor-grade, yang megalami EBI yang lebih buruk, serta pasien yang
kehilangan kesadaran pada saat SAH (dan karena itu setidaknya memiliki episode singkat
iskemia serebral global transien) mengalami peningkatan risiko DCI. Cortical spreading
ischaemia (CSI) merupakan gelombang depolarisasi dalam substansia grisea yang menyebar di
seluruh otak dengan kecepatan 2-5 mm / menit, yang mengarah pada depresi dalam potensial
yang dibangkitkan dan aktivitas elektroensefalogram spontan. Penggunaan pemantauan
elektrokortikografik subdural invasif yang dikombinasikan dengan pengukuran CBF regional
telah menunjukkan bahwa CSI dapat terjadi secara terisolasi atau dalam kelompok, dan
gelombang depolarisasi berhubungan dengan hipoperfusi korteks dalam akibat vasokonstriksi.
Sebagian besar gelombang cortical spreading depolarisations biasanya terjadi dalam 2 minggu
pertama setelah ruptur aneurisma, dan 75% dari semua CSI yang tercatat terjadi antara hari
kelima dan ketujuh pasca-perdarahan. Dalam sebuah penelitian multisenter prospektif, Dreier
dkk. menilai insiden dan waktu penyebaran depolarisasi dan DCI setelah SAH. Delapan belas
pasien SAH memerlukan kraniotomi untuk pengobatan aneurisma yang dipantau hingga 10 hari
dengan elektroda subdural. Cortical spreading depolarisations terdeteksi pada 13 pasien (72%).
DCI terdeteksi pada tujuh pasien dan terlibat dalam sekuens penyebaran depolarisasi berulang
dalam tujuh kasus. Selain itu, stroke iskemik lambat diverifikasi dengan computed tomography
(CT) scan atau magnetic resonance imaging serial yang terjadi di area perekaman pada empat
pasien. Dalam penelitian prospektif lainnya, digunakan teknologi opto-elektroda subdural baru
untuk simultaneous laser-Doppler flowmetry dan direct current-electrocorticography, yang
dikombinasikan dengan pengukuran tekanan parsial oksigen jaringan. Penyebaran depolarisasi
terisolasi terdeteksi pada 12. Gelombang depolarisasi ini dikaitkan dengan respon CBF regional
fisiologis, yang tidak ada, atau terbalik. Respon hemodinamik normal dikaitkan dengan
hiperoksia jaringan, sedangkan respon terbalik menyebabkan hipoksia jaringan. Lima pasien
menunjukkan kluster penyebaran depolarisasi yang memanjang dengan depresi persisten. Kluster
penyebaran depolarisasi ini terkait erat dengan kerusakan otak struktural seperti yang diamati
dengan neuroimaging. Demikian pula, Bosche dkk telah melaporkan pengukuran tekanan parsial
oksigen jaringan otak yang rendah yang terjadi selama kluster penyebaran depolarisasi.
Mikrotrombosis umum terjadi setelah SAH. Darah dan produk darah subarachnoid mengaktifkan
jalur inflamasi, bersama dengan faktor jaringan dalam mikrosirkulasi dari dinding pembuluh
otak, yang menyebabkan aktivasi dan kerusakan sel endotel, yang pada gilirannya menyebabkan
pembentukan trombus mural dan pelepasan mikroemboli. Penanda peningkatan aktivitas kaskade
koagulasi telah dikaitkan dengan DCI, infark serebral, dan luaran yang buruk. (Manoeldkk,
2016).

Sementara sekitar 10 sampai 15% dari sakit kepala telah ditemukan terkait dengan SAH,
sebagian besar pasien SAH memanifestasikan gejala sakit kepala yang tiba-tiba dan berat.
Sekitar dua-pertiga dari SAH dijumpai dengan sakit kepala yang terisolasi tanpa adanya defisit
neurologis. Tiga-perempat dari SAH berhubungan dengan onset “thunderclap”. Tampilan
historis tertentu yang mungkin berguna dalam membedakan SAH dari penyebab lain dari sakit
kepala adalah onset, keparahan, kualitas, dan gejala terkait. Onset mendadak dari sakit kepala
dan keparahan yang digambarkan sebagai “sakit kepala yang terburuk yang pernah dialami”
menyarankan SAH. Sakit kepala terlateralisasi pada 30% dari pasien, sering ipsilateral pada sisi
aneurisma. Dalam satu penelitian ED, 12% dari pasien sakit kepala yang merespon, “Ya,” untuk
pertanyaan, “Apakah ini adalah sakit kepala yang paling buruk dalam hidup Anda?” atau menilai
10 untuk sakit kepala mereka dengan skala 1 hingga 10, memiliki SAH. Jika presentasi sakit
kepala digambarkan sebagai unik atau berbeda kualitasnya dari sakit kepala lainnya, perhatian
juga harus lebih diberikan. Anamnesis yang memadai juga akan menentukan apakah ada gejala
fokal terkait, seperti sinkop kekakuan leher, penglihatan ganda, atau kejang. Sementara ia
dijumpai pada 75% dari SAH, muntah juga terjadi hingga pada setengah dari penyebab jinak
sakit kepala. Dengan demikian, adanya muntah merupakan diskriminator yang buruk. Kejang
menyertai SAH pada 6% sampai 9%. Usia muda (<40 tahun), entitas pendarahan, adanya
hidrosefalus dan perdarahan ulang dini merupakan faktor risiko utama untuk kejang onset dini
sementara vasospasme dengan iskemia kortikal, perdarahan intraparenkim dan terapi bedah saraf
ketimbang endovaskular merupakan faktor risiko untuk kejang onset lambat. Lima puluh persen
dari pasien dengan SAH ditemukan mengalami kejang, kehilangan kesadaran sementara, atau
perubahan tingkat kesadaran. Defisit neurologis fokal bukan merupakan temuan khas pada fase
akut dari perdarahan subaracnhoid tetapi mereka dapat terjadi dalam kasus perluasan
intraparenkim dari perdarahan, kompresi saraf kranial atau lesi iskemik karena vasospasme awal.
Fotofobia dan gangguan penglihatan juga dapat dilaporkan. Sekitar 14% dari pasien dapat datang
dengan perdarahan intraokular: peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak dapat
menyebabkan oklusi vena retina sentralis dengan ekstravasasi darah preretina (subhialoid)
selanjutnya. Dalam kasus pendarahan berat, emovitreous dapat terjadi (Sndrom Terson).
Kekakuan leher, peningkatan resistensi terhadap fleksi / ekstensi pasif dari leher, merupakan
tanda klinis iritasi meningeal karena ekstravasasi darah ke dalam ruang subarachnoid. Tanda-
tanda lain dari iritasi meningeal termasuk tanda Lasegue atau tanda Kernig dan Brudziski yang
positif. Tanda-tanda meningeal dapat memakan waktu dari 3 hingga 12 jam untuk berkembang
dan dapat benar-benar tidak dijumpai dalam kasus koma atau ekstravasasi darah yang minimal.
Dengan demikian, tidak adanya kekakuan leher tidak dapat menyingkirkan diagnosis perdarahan
subarachnoid. Perubahan kardiovaskular, terutama hipertensi dan takikardi karena tonus
adrenergik, dapat dijumpai pada fase akut; serangan jantung mendadak dapat terjadi pada dalam
3% kasus. Tampilan historis dari SAH diringkas dalam Tabel 4. Dalam satu penelitian prospektif
dari 102 pasien gawat darurat dengan sakit kepala berat akut yang sugestif SAH, hanya dua
karakteristik, yaitu kejang dan diplopia, yang hanya ada pada pasien dengan SAH. Ini jarang
terjadi pada SAH, sehingga mereka sedikit atau tidak digunakan untuk stratifikasi risiko
(Lemonick, 2010; venti, 2011).

Pemeriksaan fisik dimulai dengan penilaian tanda-tanda vital dan status jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi pasien. Setelah stabil, pasien dinilai dengan pemeriksaan neurologis terfokus.
Pemeriksaan ini harus mencari keberadaan perubahan status mental, meningismus, kelumpuhan
saraf kranial, nystagmus, kelemahan kaki, abulia, anisocoria, ataksia, pusing, hemiparesis, afasia,
kelalaian, papilledema, dan perdarahan retina. Proporsi pasien dengan SAH yang datang dengan
temuan fisik tertentu yang signifikan diringkas dalam Tabel 5. Kelainan neurologis global atau
fokal ditemukan pada lebih dari 25% pasien, sementara tanpa tanda lokalisasi dijumpai pada
40%. Kekakuan leher ditemukan pada 60% dari pasien dengan SAH, dibandingkan dengan 10%
dari sakit kepala thunderclap jinak dalam satu penelitian kecil. Seperempat memiliki defisit
motorik, kelainan berbicara, atau repon yang tidak sesuai dengan perintah. Temuan fisik tertentu
dalam SAH mungkin menyarankan lokasi aneurisma. Kelemahan kaki bilateral dan abulia
berhubungan dengan lesi arteri komunikans anterior. Hemiparesis dengan afasia atau kelalaian
dijumpai pada aneurisma arteri serebri pada 15% kasus. Nistagmus, ataksia, pusing, dan
kelumpuhan saraf ketiga dijumpai pada aneurisma komunikans posterior. Kelumpuhan saraf
kranialis ketiga terisolasi dijumpai pada beberapa aneurisma yang dekat dengan persimpangan
arteri karotis interna dan arteri komunikans posterior dan merupakan palsi saraf kranialis yang
paling umum dijumpai pada SAH. Neuropati aneurisma biasanya menyebabkan pupil berdilatasi
karena kompresi serabut saraf parasimpatis yang berjalan di sepanjang bagian luar saraf.
Sebaliknya, disfungsi saraf ketiga paling sering disebabkan oleh infark saraf dari diabetes
daripada kompresi aneurisma. Dalam neuropati diabetik ada aliran dari pembuluh darah kolateral
yang menghasilkan sparing serat saraf parasimpatis dan, oleh karena itu, pupilnya reaktif.
Kelumpuhan saraf abducens dan kehilangan penglihatan monocular juga dapat dijumpai. Sebagai
catatan, pemeriksaan fisik sepenuhnya normal dalam banyak kasus SAH dan dengan demikian
merupakan temuan diskriminatif (Lemonic, 2010) .

Dua skala yang banyak digunakan untuk menilai keparahan SAH adalah skala Hunt dan Hess
dan skala World Federation of Neurological Surgeons. Dalam kedua skala, ada korelasi yang
berguna antara skor yang tinggi dan luaran pasien yang buruk. Skala ini harus digunakan dalam
hubungannya dengan informasi klinis lain untuk memandu manajemen. Informasi ini mencakup
ukuran dan lokasi aneurisma dan kondisi keseluruhan dari pasien. Setelah resusitasi awal dan
pembentukan monitoring yang tepat, pasien harusmenjalani pemeriksaan khusus untuk
mengkonfirmasi diagnosis klinis SAH. Computed tomography (CT) scan otak adalah
pemeriksaan instrumental tingkat pertama jika SAH dicurigai. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan hiperdensitas darah ekstravasasi darah dalam ruang subarachnoid dengan
sensitivitas yang tergantung pada jumlah perdarahan dan interval setelah onset gejala. CT scan
akan positif dalam 97% kasus jika dilakukan dalam waktu 12 jam; persentase ini menurun
menjadi 93% dalam 24 jam dan 50% satu minggu setelah onset gejala. Selain itu, CT scan dapat
membuktikan perluasan perdarahan ke intraparenkim atau intraventrikular, hidrosefalus, edema
serebral atau lesi iskemik karena vasospasme. Keterbatasan lain untuk CT termasuk
penggunaannya pada pasien dengan pemeriksaan neurologis yang normal dan volume
perdarahan yang lebih kecil yang kurang cenderung memiliki kelainan CT. Anemia juga dapat
mengurangi sensitivitas CT, dan pasien dengan hematokrit kurang dari 30% kemungkinan dapat
memiliki perdarahan yang tidak terdeteksi karena darah isodense dengan jaringan otak.
Keterbatasan teknis dari scan, seperti gerakan, artefak tulang, dan interpretasi ahli, juga dapat
menurunkan sensitivitas. Lokasi darah pada CT dapat menyarankan etiologi SAH. Darah dari
ruptur aneurisma biasanya terletak di sekitar sisterna basalis, sementara darah biasanya lebih
tinggi dalam konveksitas otak pada SAH traumatis. (Dkk Wilson, 2005; Lemonick, 2010; venti,
2011).

Magnetic resonance imaging (MRI) dengan densitas proton, FLAIR dan gambar echo gradien,
sensitif seperti CT pada fase akut sementara ia menjadi lebih sensitif daripada CT setelah hari-
hari awal. MRI dapat memungkinkan evaluasi awal pembuluh darah otak tanpa media kontras
dengan magnetic resonance angiography (MRA) sedangkan dengan gambar difusi ia
memungkinkan untuk mendeteksi lesi iskemik. Sebaliknya MRI membutuhkan waktu lebih lama
untuk memperoleh gambar dan kebutuhan kolaborasi dari pasien; ini membatasi penggunaan
yang luas pada fase akut. (Wilson dkk, 2005; venti, 2011).

Cairan serebrospinal (CSF) yang diperoleh dengan LP harus dinilai akan adanya sel-sel darah
merah (RBC) dan untuk xantokromia. Jumlah absolut dari sel darah merah yang menetapkan
diagnosis SAH belum pernah ditentukan. Traumatic tap diperkirakan terjadi pada 10-15% dari
LP. Biasanya, pembersihan darah progresif dalam setiap tabung CSF dari empat yang
dikumpulkan merupakan bukti bahwa ia adalah traumatic tap. Idealnya, jka tabung terakhir
memiliki nol sel darah merah, ia dapat disimpulkan dengan yakin bahwa tap tersebut traumatis.
Ketika pembersihan sel darah merah yang kurang lengkap ditunjukkan, semakin tinggi jumlah
RBC dalam tabung akhir, semakin besar kemungkinan ia adalah positif sejati (yaitu, SAH).
Dalam situasi ini, tes diagnostik tambahan dapat diindikasikan dan termasuk computed
tomographic angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), atau angiografi
serebral konvensional. xantokromia mengacu pada perubahan warna kuning yang dapat dideteksi
dalam CSF yang menunjukkan adanya SAH. Perubahan warna ini dihasilkan dari pemecahan
enzimatik sel darah merah dalam CSF, dan ia jarang terlihat dalam empat jam pertama SAH.
Xantokromia biasanya membutuhkan setidaknya enam jam, dan kadang-kadang sampai 12 jam,
untuk berkembang setelah SAH. Xantokromiasis terdeteksi dengan baik oleh spektrofotometri
atau dengan perbandingan visual sederhana dari sampel CSF dengan volume air yang sama
dengan latar belakang putih. Meskipun spektrofotometri yang lebih umum digunakan di Eropa,
merupakan metode yang paling sensitif untuk deteksi xantokromia, banyak laboratorium rumah
sakit di Amerika Serikat mengandalkan inspeksi visual sederhana dari sampel CSF. Tidak
adanya xantokromia dengan analisis visual atau spektrofotometri memiliki nilai prediktif negatif
yang tinggi untuk SAH, dengan satu penelitian memperkirakan 99%. (Lemonick, 2010)
Perdarahan subarakhnoid merupakan kegawatdaruratan klinis dengan angka kematian yang
tinggi dari onset. Pertama kali, stabilitas fungsi pernapasan dan kardiovaskular perlu dievaluasi
dan diobati jika diperlukan. Setelah fungsi vital stabil langkah kedua adalah untuk mencegah
perdarahan ulang dan komplikasi lain yang mungkin dapat membahayakan prognosis pasien.
(Venti, 2011).

Setelah diagnosis SAH dikonfirmasi, prioritasnya adalah: 1) manajemen jalan nafas, 2)


analgesik, 3) monitoring aritmia, 4) kontrol tekanan darah, 5) profilaksis kejang, 6) profilaksis
vasospasme, 7) hidrasi, dan 8) manajemen hidrosefalus. (Lemonick, 2010).

Pemantauan rutin dari semua pasien SAH akut harus mencakup pemeriksaan neurologis serial,
pemantauan EKG kontinyu, dan penentuan yang sering dari tekanan darah, elektrolit, berat
badan, keseimbangan cairan, dan, di banyak pusat, transcranial doppler (TCD). Status volume
harus dimonitor dan hidrasi yang adekuat dengan saline isotonik diberikan untuk menghindari
kontraksi volume. (Diringer, 2009).

Secara bersamaan, panggilan langsung harus dilakukan ke ahli bedah saraf. Dengan cara ini,
pencitraan lebih lanjut dan manajemen pasien dapat dikoordinasikan sementara perawatan
definitif diatur. Selanjutnya, beberapa bentuk pencitraan serebrovaskular dilakukan melalui
konsultasi dengan bedah saraf (misalnya, magnetic resonance angiography [MRA], CT
angiogram [CTA], atau traditional cerebral angiography - lihat “Cerebrovascular Imaging,” di
atas) (Lemonick, 2010) .

1. Manajemen Jalan Napas


Tergantung pada status neurologis pasien, mereka harus ditangani di High Dependency
Unit, atau diintubasi dan mendapatkan ventilasi di Intensive Care Unit. Strategi
neuroprotektif umum harus digunakan di ICU, khususnya; sedasi yang memadai, kontrol
oksigenasi dan ventilasi (kadar CO2), menghindari hipotensi, pencegahan hipertermia,
dan normoglikemia. (Davies, 2009).
Manajemen jalan napas dipilih berdasarkan pada kriteria klinis biasa. Intubasi
endotrakeal hampir tidak pernah diperlukan pada pasien dengan SAH ringan (grade 1-3),
sedangkan untuk pasien yang lebih berat (grade 4 dan 5 atau Glasgow Coma Scale <8),
sebagian besar akan memerlukan intubasi untuk proteksi jalan nafas, oksigenasi dan /
atau ventilasi. Rapid sequence intubation harus digunakan. Sementara efikasi lidocaine
dan / atau fentanyl untuk menumpulkan peningkatan tekanan intrakranial dalam
pengaturan ini tidak jelas, penulis masih menggunakannya. Agen short-acting dengan
memperhatikan sedasi yang memadai harus digunakan untuk protokol rapid-sequence,
sehingga pemeriksaan neurologis dapat diikuti oleh konsultan bedah saraf. Dalam
sebagian besar keadaan, pemeriksaan cepat neurologis dasar sebelum pemberian obat
harus dilakukan dan didokumentasikan. Thiopental dan etomidate adalah agen induksi
yang optimal pada SAH; Thiopental memiliki efek sitoprotektif, namun penggunaannya
terbatas pada pasien hipertensi karena kecenderungannya untuk menurunkan TD sistolik
(Lemonick, 2010).
Saat ini, peran terapi seperti agen hiperosmolar, hipotermia, barbiturat, dan kraniotomi
dekompresif tidak pasti pada pasien SAH dengan hipertensi intracranial yang refrakter
terhadap pengobatan lini pertama. Pendekatan awal untuk peningkatan ICP termasuk
elevasi kepala tempat tidur (antara 30 ° - 45 °) untuk mengoptimalkan drainase vena
serebral, normoventilasi (tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2): 35-40 mm Hg),
penggunaan sedasi dan analgesia untuk mencapai keadaan tenang dan tenang (skor
Richmond Agitation Sedation Scale 5 atau skor Sedation-Agitation Scale 1), dan
intervensi bedah dengan adanya mass-occupying lesions. Pemeriksaan cepat dari
neurologis dasar harus dilakukan dan didokumentasikan sebelum pemberian obat, dan
sedasi berlebihan selanjutnya diminimalkan sehingga memungkinkan pemeriksaan
neurologis serial. Sedasi yang berlebihan juga telah dilaporkan dapat meningkatkan ICP
secara langsung. (Manoeldkk 2016; Lemonick, 2010) .
2. Analgesia
Analgesia diberikan untuk sakit kepala berat dan untuk prosedur yang menyakitkan,
dengan menggunakan dosis kecil agen short-acting reversibel. Sakit kepala dapat
memerlukan terapi medikamentosa. Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID)
harus dihindari karena mereka dapat meningkatkan risiko perdarahan ulang dan opioid
harus dihindari karena mereka dapat mengganggu tingkat kesadaran. Obat pilihan
pertama adalah parasetamol per os atau intravena. Hiperpireksia harus ditangani (suhu
tubuh yang dianjurkan ≥37.2 ° C) dan hiperglikemia harus dikoreksi (kadar glukosa darah
yang direkomendasikan 80-120 mg / dl) karena mereka prediktif luaran yang buruk.
Proton pump inhibitors diindikasikan untuk mencegah stress peptic ulcers. Profilaksis
trombosis vena dalam dengan low molecular weight heparin dapat digunakan setelah
pengobatan aneurisma (venti, 2011). Sedasi diberikan kepada pasien yang diintubasi,
sebaiknya dengan obat short-acting dan dapat dititrasi atau obat reversibel yang
memungkinkan pemeriksaan neurologis berulang. (Lemonick, 2010).
Pemantauan ICP diindikasikan untuk beberapa pasien dengan grade klinis yang buruk
atau hidrosefalus. Pengetahuan tentang ICP, dan kemampuan untuk mendrainase CSF
untuk mengontrol ICP, sangat berguna pada periode pasca bedah untuk pasien yang
diventilasi. Drainase ventrikel menyediakan cara yang efektif untuk mengurangi curah
otak dengan drainase CSF perioperatif. Perhatian harus ditujukan untuk tidak
mendrainase volume CSF yang terlalu besar karena dapat menyebabkan pengerutan otak
karena penurunan ICP akut. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan kardiovaskular,
dan akan meningkatkan gradien tekanan transmural di dinding aneurisma, sehingga
meningkatkan kemungkinan ruptur aneurisma dengan perdarahan berat. (Davies, 2009).
Manipulasi farmakologis dari ICP juga digunakan. Manitol, suatu diuretik osmotik,
biasanya merupakan pilihan pertama, dan sering diberikan pasca induksi anestesi untuk
surgical clipping. Ia meningkatkan osmolalitas plasma, sehingga menciptakan gradien
tekanan osmotik yang melintasi sawar darah otak yang intak, yang menghasilkan
keluarnya air dari sel. Jika BBB rusak, seperti yang terjadi dengan kerusakan otak, maka
manitol dapat mengikuti gradien tekanan dan memperburuk edema serebral. Mekanisme
aksi lengkapnya bersifat kompleks, dan berada di luar pembahasan tutorial ini, namun
pengguna harus menyadari bahwa ia dapat menyebabkan gangguan elektrolit dan asidosis
metabolik. Manitol biasanya diberikan sebagai larutan 20%, dengan dosis 0.5- 1.0 g.kg-1
selama 20 menit. Jika diberikan terlalu cepat, dapat menyebabkan penurunan ICP
mendadak, yang dapat meningkatkan risiko ruptur aneurisma. Furosemide (5-20mg)
kadang-kadang diberikan dalam kombinasi dengan manitol (atau digunakan sendiri
dalam dosis tinggi) untuk meningkatkan efeknya, tapi perhatian harus diberikan untuk
menghindari over-diuresis dan hipovolemia. Mekanisme aksi utama dari furosemide
dalam mengurangi ICP tidak sepenuhnya dipahami (Davies, 2009).
Thiopentone kadang-kadang digunakan untuk efek serebroprotektifnya, terutama jika
temporary proximal clips diperlukan untuk mengoklusi aneurisma. Ia biasanya diberikan
sebagai bolus 500mg, dan mungkin perlu disertai dengan penggunaan vasopresor untuk
melawan hipotensi yang ditimbulkan. Jika diberikan sebagai infus, kemunculan lambat
dari anestesi harusnya dapat diperkirakan. Penggunaan obat-obatan dan drainase CSF
tidak harus mengganti pemberian anestesi yang seimbang, dengan oksigenasi yang
memadai, ventilasi, tekanan perfusi serebral dan drainase vena yang tak terhambat (posisi
kepala dan ekstensi kepala, menghindari hubungan tabung dan central lines jugularis
interna). Hindari hipertermia, hiperglikemia dan ketidakseimbangan asam-basa.
Hiperventilasi ringan sementara (dengan tujuan PaCO2 4.0kPa) dapat mengurangi curah
otak dalam situasi kritis, tetapi harus seimbang dengan risiko iskemia serebral (Davies,
2009).
Prinsip pemberian anestesi dibahas di atas. Penekanan dalam hal ini, berkaitan dengan
induksi adalah untuk memberikan kedalaman anestesi yang memadai, sementara
mempertahankan tekanan arteri 20% dari dasar, dan menghindari peningkatan tiba-tiba
yang dapat meningkatkan TMPG dan dengan demikian menyebabkan ruptur aneurisma.
Induksi anestesi biasanya intravena, dengan penggunaan relaksan otot non-depolarising
dan opiat. Propofol adalah agen yang paling umum digunakan, namun etomidate atau
thiopentone adalah alternatif yang cocok jika ini tidak tersedia. Ketamine telah dihindari
di masa lalu karena dampaknya pada ICP, namun bukti baru-baru ini mengenai
penggunaan yang aman dalam cedera kepala telah muncul. Remifentanil, yang diberikan
sebagai infus, dapat dititrasi terhadap tekanan darah dan digunakan untuk menumpulkan
respon pressor dalam intubasi. Obat alternatif yang dapat diberikan untuk menumpulkan
respon ini adalah lignocaine dan esmolol. Endotracheal tube harus ditempelkan daripada
diikat, dan mata dilindungi. Anestesi dapat dipertahankan dengan volatil atau total
intravenous anaesthesia. Sevofluran adalah agen volatil pilihan pertama di Inggris,
karena ia menyebabkan perubahan minimal dalam aliran darah otak (dan dengan
demikian ICP) dengan konsentrasi 1 MAC. Pada tingkat anestesi yang lebih dalam,
vasodilatasi serebral akan terjadi. Agen intravena memiliki keuntungan dalam
mengurangi aliran darah otak dan tingkat metabolisme, sehingga memberikan beberapa
efek serebroprotektif, yang mungkin penting pada pasien dengan peningkatan ICP.
Ventilasi mekanik diindikasikan, dengan perhatian untuk mempertahankan
normoventilasi. Manfaat tekanan ekspirasi akhir positif pada fungsi pernapasan harus
seimbang terhadap risiko gangguan drainase vena serebral yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan vena sentral (Davies, 2009).
Ada beberapa poin stimulatif penting pada perioperatif, termasuk insersi head-pins dan
memunculkan bone flap yang mungkin memerlukan bolus remifentanil untuk melawan
respon pressor. Demikian pula, akan ada waktu yang cukup ketika stimulasi bedah
minimal, terutama setelah membuka dura selama bedah diseksi, ketika mungkin perlu
untuk membberikan vasopressor seperti fenilefrin atau norepinefrin untuk menjaga MAP.
Lebih baik untuk mengurangi kedalaman anestesi, yang dapat mengakibatkan pasien
batuk (Davies, 2009) .
3. Pemantauan aritmia dan kontrol tekanan darah
Perdarahan subarachnoid dikaitkan dengan bradikardia simtomatik, takikardia ventrikel,
dan fibrilasi ventrikel. Berbagai perubahan elektrokardiogram dua belas lead juga telah
dijelaskan, termasuk elevasi atau depresi segmen ST, pemanjangan interval QT, dan
kelainan gelombang T, yang sering meniru iskemia atau infark miokard.
Pada pedoman tahun 2009 mengenai manajemen SAH, American Heart Association telah
merekomendasikan bahwa semua pasien dengan SAH harus dirawat di intensive care unit
dengan memantau jantung dan tekanan darah. Tekanan darah ditangani, dengan target
tekanan darah dipilih dengan konsultasi dengan tim perawatan kritis bedah saraf.
Penelitian yang tersedia mengenai kontrol tekanan darah pada SAH tidak meyakinkan
dan bertentangan, dan praktek individual bervariasi. Kontrol tekanan darah mengurangi
tingkat perdarahan ulang, tetapi pengurangan ini dicapai dengan mengorbankan
peningkatan angka infark serebral; tingkat perdarahan ulang adalah 15% pada pasien
yang diobati dengan antihipertensi, dibandingkan dengan 33% pada kelompok yang tidak
diterapi. Tetapi tingkat infark serebral dua kali lipat pada kelompok yang diterapi
dibandingkan dengan kelompok tanpa terapi (40% vs 22%). Sebagian besar pusat mulai
menangani tekanan darah dengan mengobati nyeri, kecemasan, dan mual. Pelunak feses
juga sering diberikan (Lemonick, 2010).
Tidak ada konsensus mengenai tingkat tekanan darah yang harus dikurangi. Suarez dkk.
telah merekomendasikan tekanan darah sistolik (SBP) untuk dipertahankan pada 90-140
mm Hg sebelum terapi aneurisma, dimana SBP <200 mm Hg diperbolehkan. Jika
penurunan tekanan darah dipilih, ini sering dicapai dengan agen intravena short-acting,
seperti labetalol, nicardipine, dan esmolol.Nitroprusside dan nitrogliserin umumnya
dihindari karena potensi mereka untuk meningkatkan tekanan intrakranial (ICP). Agen
vasopressor dan preload yang optimal; yaitu, tekanan vena sentral (CVP) 5-8 mm Hg,
mungkin diperlukan untuk mempertahankan SBP lebih dari 120 mm Hg untuk
menghindari kerusakan SSP lebih lanjut dalam penumbra iskemik akibat vasospasme
yang terlihat pada SAH (lihat bagian bawah dalam manajemen vasospasme ). Dalam hal
vasospasme, CVP lebih tinggi dari 8-12 mm Hg, atau tekanan kapiler paru (PCWP) 12-
12 mm Hg, dianjurkan (Lemonick, 2010) .
4. Profilaksis kejang
Obat antiepilepsi (AED) secara luas diberikan untuk mencegah kejang pada pasien
dengan SAH, tetapi penggunaannya terus menjadi subyek perdebatan. Loading dose
fenitoin, atau yang setara, sering diberikan di awal perjalanan stabilisasi ICU. Barbiturat
atau benzodiazepin dihindari sebagai AED lini pertama, karena mereka cenderung
menyebabkan over-sedasi pasien, yang menyamarkan potensi temuan pemeriksaan
neurologis. Sementara pencegahan aktivitas kejang dan cedera otak sekunder yang
dihasilkan adalah wajar, salah satu serial besar telah menemukan bahwa paparan AED
dapat berkorelasi dengan luaran kognitif dan neurologis yang buruk. Dalam pengaturan
darah perimesensefalik tanpa lapisan korteks; yaitu, darah hanya di dasar otak, yang
memberikan prognosis yang baik, menunda AED tampaknya masuk akal. Setelah
pengobatan definitif dari aneurisma pada pasien tanpa kejang akut dan dengan SAH
grade rendah, penghentian AED sering direkomendasikan (Lemonick, 2010)
5. Profilaksis Vasospasme
Vasospasme terjadi pada 30% dari pasien dengan SAH, dan merupakan penyebab utama
kematian dan kecacatan setelah ruptur aneurisma. Hal ini dimanifestasikan dengan
penurunan status neurologis, biasanya terjadi setelah 72 jam dari ictus, dan memuncak
pada hari kedelapan. Vasospasme dapat berkembang hingga dua minggu setelah SAH,
dan ia membawa risiko morbiditas dari infark serebral yang signifikan. Beberapa penulis
telah merekomendasikan agar pengukuran ultrasonografi transcranial Doppler (TCD)
dilakukan di awal dan selama pengobatan untuk memantau vasospasme (Lemonick,
2010).
Terapi dengan nimodipin telah ditunjukkan dapat meningkatkan luaran SAH jika dimulai
saat penerimaan pasien dan dilanjutkan selama 21 hari. Meskipun nimodipin dapat
diberikan secara oral atau intravena, rute pemberian yang disukai adalah per os atau
nasogastric tube. Dosis oral / nasogastric yang direkomendasikan adalah 60 mg setiap 4
jam, dengan dosis harian maksimum 360 mg. Nimodipin harus diberikan untuk selama 21
hari penuh. Pemberian nimodipin secara intravena sebagai infus kontinyu dikaitkan
dengan tingginya insiden hipotensi, dan tidak lebih efektif daripada jika diberikan secara
oral. Dosis intravena yang dianjurkan adalah 1 mg per jam selama 6 jam pertama.
(Daniel, 2010).
Triple H mengacu pada hipertensi, hipervolemia, dan hemodilusi. Hal ini didasarkan pada
konsep bahwa aliran darah otak menjadi tergantung pada tekanan ketika autoregulasi
terganggu, oleh karena itu peningkatan tekanan darah, dan penurunan viskositas darah,
dapat membalikkan vasospasme. Tujuannya adalah untuk mencapai tekanan darah
sistolik 120-150mmHg pada aneurisma yang tidak diobati dan sampai 200mmHg pada
aneurisma yang telah di-klip atau coiled, dengan menggunakan hipervolemia dengan obat
vasoaktif jika diperlukan. Ini merupakan teknik yang diterima, meskipun belum terbukti.
Komplikasi yang serius telah diakui, termasuk edema paru, insufisiensi pernapasan,
iskemia miokard, dan penggunaannya dalam aneurisma yang tidak diterapi adalah
kontroversial karena potensinya untuk menyebabkan perdarahan ulang (Davies, 2009).
Magnesium sulfat telah dipelajari dalam pencegahan vasospasme mengingat bahwa
hipomagnesemia dijumpai dalam 50% dari pasien dengan SAH dan secara signifikan
berhubungan dengan iskemia serebral lambat. Sebuah penelitian fase II telah
menghasilkan hasil positif tetapi hasil uji coba fase III tidak mendukung manfaat klinis
infus magnesium sulfat intravena melebhi plasebo pada pasien dengan perdarahan
subarachnoid aneurisma akut. (Venti, 2011)
6. Hidrasi
Status hidrasi pasien telah disebut di atas pada bagian Manajemen Tekanan Darah. Terapi
hipotensi dengan tujuan mengoptimalkan tekanan perfusi serebral memerlukan
pemantauan invasif yang tepat; misalnya, swan-ganz, ventrikulostomi, central venous
pressure monitor, monitor tekanan arteri. CVP 5-8 mm Hg mungkin diperlukan untuk
mempertahankan SBP lebih dari 120 mm Hg. untuk menghindari kerusakan SSP lebih
lanjut pada SAH. Dalam hal vasospasme, CVP lebih dari 8-12 mm Hg atau tekanan
kapiler paru (PCWP) 12-12 mm Hg dianjurkan Sebaliknya, over-hidrasi pasien dihindari
karena hal ini meningkatkan risiko hidrosefalus, yang dibahas di bawah (Lemonick,
2010)
7. Hidrosefalus
Hidrosefalus dapat terjadi dalam 24 jam pertama dari SAH, baik sebagai akibat dari
bekuan produk darah yang menghalangi aliran CSF atau penurunan absorpsi CSF pada
granulasi arakhnoid. Dalam satu penelitian, hidrosefalus didokumentasikan pada 15%
dari pasien dengan CT scan, dimanna hampir satu setengah di antaranya asimptomatik.
Faktor-faktor yang berkorelasi dengan perkembangan hidrosefalus termasuk perdarahan
intraventrikular, terapi dengan agen antifibrinolitik, SAH sirkulasi posterior, GCS rendah
pada saat presentasi, riwayat hipertensi pada pasien dengan hiponatremia. Setengah dari
pasien hidrosefalus akut dan penurunan tingkat kesadaran akan secara spontan membaik,
sementara separuh lainnya akan mengalami perdarahan ulang, infark, dan peningkatan
morbiditas dan mortalitas. Penempatan drainase ventrikel dipertimbangkan pada pasien
dengan hidrosefalus dan penurunan tingkat kesadaran dan bagi mereka yang
hidrosefalusnya tidak membaik dalam waktu 24 jam. (Lemonick, 2010)
8. Agen antifibrinolitik
Antifibrinolitik dapat mengurangi tingkat perdarahan ulang bahkan ketika mereka
meningkatkan risiko iskemia otak atau trombosis sistemik. Asam traneksamat
mengurangi tingkat perdarahan ulang dari 11-2,4% tetapi manfaat ini diimbangi oleh
komplikasi iskemiknya.
9. Manajemen Definitif
Manajemen definitif SAH akibat ruptur aneurisma melibatkan surgical clipping atau
ablasi endovaskular. Berbeda dengan protokol sebelumnya, perbaikan definitif saat ini
biasanya terjadi dalam waktu 72 jam dari perdarahan. Luaran yang lebih baik telah
dicapai untuk pasien yang memenuhi syarat yang menjalani endovascular coiling,
dibandingkan dengan surgical clipping. Setiap pasien paling baik dievaluasi secara
clipping versus coiling, berdasarkan pada karakteristik anatomi dari aneurisma,
pengalaman dokter yang merawat serta status klinis pasien ini. Apakah mereka diterapi
dengan surgical clipping atau endovascular coiling, pasien dengan SAH memiliki luaran
yang lebih baik saat dirawat di pusat dengan volume tinggi. Setiap kali memungkinkan,
pasien SAH harus ditransfer ke pusat neuroscience khusus, dan transfer tersebut telah
ditemukan dalam satu penelitian prospektif sebagai aman dan cepat. Dalam penelitian
tersebut, rata-rata waktu hingga transfer efek (diukur dari saat diagnosis SAH hingga
kedatangan di fasilitas penerima) adalah lima jam. Hanya 10% dari pasien ini yang
mengalami penurunan yang signifikan dalam Glasgow coma scale (GCS). Persetujuan
transfer yang telah diatur sebelumnya antara rumah sakit dan pusat rujukan cenderung
memudahkan dan mempercepat transfer tersebut. (Lemonick, 2010) .
Sepuluh sampai 15% dari pasien dengan SAH meninggal sebelum mendapatkan
perawatan medis. Mortalitas di rumah sakit untuk SAH adalah sekitar 30%. Kematian
dalam tiga puluh hari dari SAH mendekati 50%. Kejadian perdarahan ulang setelah SAH
adalah satu faktor yang paling prognostik, yang memberikan angka 80% dari kematian
atau kecacatan serius. Faktor prognostik penting lainnya adalah usia, komorbiditas,
komplikasi perioperatif, vasospasme, tingkat kesadaran dan grade klinis perdarahan pada
saat presentasi, dan jumlah darah pada CT kepala awal. Kondisi lain yang terkait dengan
prognosis yang buruk adalah hiperglikemia, demam (baik infeksius dan non-infeksius),
infark serebral dan vasospasme simptomatik, dan insufisiensi ginjal. Disabilitas jangka
panjang terjadi pada sampai setengah dari semua pasien SAH dan termasuk defisit
kognitif dan neurologis lainnya serta epilepsi.

Anda mungkin juga menyukai