Anda di halaman 1dari 7

Rangkuman PKB SAH, IVH

DEFINISI
Subarachnoid hemorrhage atau perdarahan subarachnoid (PSA) adalah extravasasi
darah menuju ruang subarachnoid di antara membran araknoid dan piameter.
Perdarahan dapat terdistribusi di sistem ventrikel, sisterna, dan fisura. Istilah PSA ini
dapat digunakan untuk kasus traumatik ataupun non traumatik.
EPIDEMIOLO  Insiden tahunan PSA di Amerika Serikat adalah 6 - 16 kasus per 100.000 populasi,
GI dengan sekitar 30.000 episode terjadi setiap tahun. Tidak seperti subkategori stroke
lainnya, kejadian SAH tidak menurun dari waktu ke waktu. Insiden perdarahan
subaraknoid yang dilaporkan tinggi di Amerika Serikat, Finlandia, dan Jepang,
sementara itu rendah di Selandia Baru dan Timur Tengah. Di Finlandia, perkiraan
insiden berdasarkan berbagai studi adalah 14,4-19,6 kasus per 100.000 populasi.
 Di Timur Tengah, angkanya juga sangat rendah adalah 5,1 kasus per 100.000
populasi di Qatar. Demografi terkait ras, jenis kelamin, dan usia. Risiko lebih
tinggi pada orang kulit hitam daripada pada orang kulit putih. Angka kejadian fatal
PSA akibat aneurisma sekitar 50%, sebanyak 10 – 20 % nya meninggal sebelum
tiba di RS, sementara 20 % yang akan bertahan mengalami ketergantungan dalam
aktivitas sehari – hari
ETIOLOGI Penyebab tersering PSA adalah rupture aneurisma (85%). Aneurisma sakular
intrakranial ("berry aneurisma") merupakan etiologi SAH nontraumatic yang paling
umum; sekitar 80% kasus SAH terjadi akibat aneurisma yang pecah. Diikuti
perdarahan perimesensefalik nonaneurisma (10%), dan 5 % sisanya akibat kondisi lain.
PSA disebabkan oleh berbagai macam etilogi, sehingga mekanisme terjadinya
perdarahan berbeda juga. Berikut dibahas patofisiologi dari berbagai etiologi, yakni
aneurisma intrakranial, perdarahan perimesensefalik non aneurismal, dan diseksi arteri
intrakranial.

KLASIFIKASI Perdarahan subaraknoid terbagi atas:


1. Perdarahan Subaraknoidal spontan primer (spontan non-trauma dan non-
hipertensif), yakni perdarahan bukan akibat trauma atau dari perdarahan
intraserebral.
2. Perdarahan Subaraknoidal sekunder, adalah perdarahan yang berasal dari luar
subaraknoid, seperti dari perdarahan intraserebral atau dari tumor otak.

PATOFISIOL
OGI
1. Sakit Kepala
GEJALA
2. Penurunan Kesadaran
KLINIS
3. Kejang
4. Riwayat Tambahan
5. Kaku Kuduk
6. Perdarahan Subhialoid
7. Demam
8. Peningkatan Tekanan Darah
9. Defisit Neurologis Fokal
PSA dapat menimbulkan berbagai defisit neurologis fokal dengan mekanisme yang
beragam, yaitu:
 Paresis nervus kranialis akibat penekanan aneursima
 Defisit neurologis fokal akibat hasil dari decompresi lokal jaringan otak
 Defisit neurologis fokal akibat iskemik jaringan oleh emboli
 Epilepsi fokal hasil reorganisasi sel glia akibat kompresi lokal iskemik jaringan
oleh penekanan aneurisma
 Hemiparesis akibat PSA yang besar di fisura sylvii
 Ataksia serebelas akibat diseksi arteri vertebralis
 Paraparesis akibat penekanan aneurisma arteri komunikans anterior atau
malformasi arteriovena (AVM) spinal.
 Gangguan melirik ke atas yang disebabkan oleh hidrocefalus atau penekanan
pada bagian proksimal atau aquaduktus sylvii.
Kriteria Diagnosis Skor Hunt and Hess
DIAGNOSIS

1. CT scan
CT scan adalah pemeriksaan penunjang diagnostik lini pertama untuk PSA,
kerena kemudahannya untuk menilai extravasasi arah serta memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik (masing masing 92,9% dan
100%). CT scan juga dapat membantu melihat pola perdarahan dan
memperkirakan lokasi aneurisma.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pada fase akut, terutama dalam 24 jam pertama, darah dapat diidentifikasi
dengan adanya hiperintensitas pada sekuenspin echo T2 weighted images
(WI) dan bahkan lebih baik pada sekuens T2 gradient echo dengan
gambaran hipointesitas yang dapat menetap hingga 2 minggu. Hal ini
kadang tidak membantu menunjukkan lokasi aneurisma, walaupun dapat
menunjang dugaan PSA sudah terjadi. Oleh karena kerumitan penilaian
gambaran hiperintens tersebut sebagai PSA atau bukan, maka pada pasien
PSA onset 2 minggu, pemeriksaan lumbal pungsi bisa jadi lebih sensitif
daripada MRI untuk mendeteksi adanya PSA.
3. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis pada pasien
dengan klinis PSA tetapi tidak ditemukan perdarahan pada CT scan. Untuk
membedakan darah pada CSS akibat PSA dengan darah akibat trauma
jarum pungsi, maka CSS dikumpulkan dalam beberapa tabung, biasanya
menjadi 3 tabung. Apabila warna darah di CSS menetap pada semua
tabung maka dapat dipastikan diagnosa PSA.
4. CT Angiografi
Angiografi diperlukan tidak hanya untuk mengidentifikasi ruptur
aneurisma ataupun aneurisma yang belum ruptur, tetapi juga memberikan
konfigurasi anatomi untuk membantu menentukan pilihan tatalaksana
optimal. Sensitivitas CT angiografi sudah mencapai 90 % di tahun 1998 dan
meningkat menjadi 98% pada era teknik CT scan multislice. Sensitivitas
bahkan mencapai 97% pada arteri serebri media.
5. Magnetic Resonance Angiography (MRA)
Sensitivitas MRA biasanya sekitar 75% dan meningkat menjadi 80-95% jika
dilakukan dengan teknik tiga dimensi. Pada aneurisma kecil (diameter <3
mm), angka deteksi turun menjadi 38%. Keuntungan MRA terutama pada
pasien follow up pascacoiling dan pasien dengan aneurisma
asimtomatisyang dapat dideteksi tanpa kontras.
6. Digital Substraction Angiography (DSA)
Terdapat justifikasi bahwa untuk mendiagnosis dengan tepat, maka DSA
wajib diperiksa pada semua kasus PSA. Meskipun demikian, pemeriksaan
ini membutuhkan pertimbangan manfaat dan resiko, karena DSA bukan
tanpa bahaya. Resiko komplikasi transien atau permanen mencapai 1,8%.
Selain itu terdapat resiko ruptur aneurisma selama prosedur, yakni sebesar
1-2% dan 6 jam pasca prosedur meningkat menjadi 5%.
Pada prinsipnya terdapat tata laksana umum dan tata laksana komplikasi
TATALAKSA
Secara umum, tata laksana PSA sama dengan tata laksana stroke perdarahan. Sebagai
NA
berikut:
a. Hipertensi
Tata laksana hipertensi biasanya dimasukkan dalam tata laksana tradisional yang
disebut triple H, yaitu hipertensi, hipervolemik, dan hemodilusi. Hipertensi dibuat
untuk menjaga tekanan darah tetap tinggi agar otak mendapat perfusi yang cukup,
tetapi tidak boleh terlalu tinggi untuk mencegah rebleeding. Rekomendasi tekanan
darah adalah diturunkan jika mean arterial pressure (MAP) mencapai 130 mmHg
dengan antihipertensi golongan penyekat beta secara intravena (IV). Agen ini
memiliki waktu paruh pendek, dapat dititrasi dengan mudah, dan tidak
meningkatkan tekanan intrakranial (TIK). Sebaiknya hindari golongan nitrat
(nitroprusid atau nitrogliserin), karena dapat menyebabkan peningkatan TIK.
b. Peningkatan Tekanan Intrakranial
 Perawatan di ICU dengan tirah baring total dan intubasi. Pasien dapat dilakukan
hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30-35 mmHG untuk mengurangi resiko
vasospasme dan iskemik.
 Elevasi kepala 30 derajat untuk memastikan drainase vena berjalan baik.
 Pemasangan akses arteri, kateter vena sentral, dan kateter urin untuk
menurunkan TIK.

INTRAVENTRICULAR HAEMORHAGE

DEFINISI
Perdarahan intraventrikular primer disebut juga sebagai perdarahan intraserebral
non-traumatik yang terbatas pada sistem ventrikel, sedangkan perdarahan
intraventrikular sekunder muncul akibat perdarahan yang berasal dari parenkim
maupun rongga subarakhnoid yang meluas ke sistem ventrikel
EPIDEMIOLOGI Perdarahan intraventrikular terjadi pada 30%-50% kasus perdarahan intraserebral
spontan. Perdarahan intraventrikular primer merupakan kasus yang jarang dan
dilaporkan sebesar 3% dari semua perdarahan intraserebral. Sebuah penelitian yang
dilakukan di Thailand didapatkan rata-rata usia penderita perdarahan
intraventrikular adalah 52 ± 24 dengan perbandingan antara wanita : pria adalah 1 :
3. Stroke perdarahan memiliki morbiditas dan mortalitas tertinggi pada setiap
subtipe stroke. Dari 750.000 kasus stroke di AS, 15% diantaranya adalah
perdarahan intraserebral dan 5% merupakan perdarahan subarakhnoid. Sekitar 45%
merupakan perdarahan intraserebral spontan dan 25% dari perdarahan
subarakhnoid meluas ke ventrikel. Pasien dengan perdarahan intraserebral dan
perdarahan intraventrikular memiliki tingkat mortalitas sebesar 50%-80%.
ETIOLOGI
Perdarahan intraventrikular primer merupakan perdarahan yang terbatas pada
PATOFISIOLOGI
sistem ventrikuler yang bersumber dari intraventrikel atau lesi yang bersebelahan
dengan ventrikel, contohnya trauma intraventrikular, aneurisma, malformasi
pembuluh darah dan tumor yang biasanya melibatkan pleksus koroideus. Sekitar
70% dari perdarahan intraventrikular sekunder terjadi akibat perluasan dari
perdarahan intraparenkim atau perdarahan subarakhnoid ke dalam sistem ventrikel.
Sistem ventrikel otak merupakan low-pressure pathway yang berfungsi dalam
pergerakan cairan serebrospinal. Sistem ini sering pecah akibat darah yang masuk
melalui defek pada dinding arteri dan akibat tindakan pembedahan pada kasus
perdarahan intraserebral spontan. IVH dikaitkan dengan peningkatan mortalitas.
Darah dalam sistem ventrikel berkontribusi terhadap morbiditas dalam berbagai
cara. Kerusakan aktivasi reticular sistem dan thalamus selama fase akut perdarahan
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran. Dapat terjadi koma bila volume darah
yang besar di ventrikel dan paparan yang lebih lama karena gumpalan darah di
ventrikel dapat menghalangi saluran cairan serebrospinal (CSF) menyebabkan
hidrosefalus obstruktif akut, suatu kondisi yang mengancam kehidupan dan
membatasi perfusi otak. Defek pada pembuluh darah yang dapat menyebabkan
perdarahan pada otak diantaranya adalah aneurisma, arteriovenous malformation,
small vessel microaneurysm, koagulopati atau peningkatan tekanan darah. Setelah
perdarahan terjadi, tiga risiko utama yang akan mempengaruhi kejadian selanjutnya
yaitu rebleeding, vasokonstriksi dan hidrosefalus. Sekali dinding luar pembuluh
darah yang abnormal rusak, pembuluh darah ini akan rentan terhadap rebleeding
Sindroma klinis perdarahan intraventrikular menyerupai gejala perdarahan
GEJALA KLINIS
subarakhnoid yaitu nyeri kepala yang mendadak, kaku kuduk, muntah dan letargi.
Pada saat yang sama didapatkan peningkatan refleks dan respon plantar yang
simetris. Bila perdarahan terutama terdapat pada satu ventrikel, akan dijumpai
tanda fokal yang asimetris. Gambaran klinis pada perdarahan intraventrikular dapat
berbeda tergantung dari jumlah perdarahan dan daerah kerusakan otak disekitarnya.
Pada perdarahan intraventrikular yang berat dijumpai tanda penurunan kesadaran,
kejang baik fokal maupun general dan tanda-tanda kompresi batang otak
Pemeriksaan CT Scan merupakan strategi utama yang efektif pada pencitraan
DIAGNOSIS
pasien stroke akut tetapi tidak sensitif untuk perdarahan lama. Secara umum, CT
Scan kurang sensitif dibandingkan MRI, tetapi keduanya sama-sama spesifik untuk
mendeteksi adanya perdarahan atau tidak. Perdarahan intraventrikular pada
gambaran CT Scan kepala menunjukkan gambaran hiperdens dalam sistem
ventrikel, bisa juga tampak pelebaran pada sistem ventrikel bila telah terjadi
hidrosefalus
Terapi konvensional perdarahan intraventrikular berpusat pada tatalaksana
TATALAKSANA
hipertensi dan peningkatan tekanan intrakranial bersamaan dengan koreksi
koagulopati dan mencegah komplikasi seperti perdarahan ulang dan hidrosefalus.
Apabila tekanan darah sistolik > 200 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) >
150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena secara kontinu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. Apabila
tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan pemantauan tekanan
intrakranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi
serebral ≥ 60 mmHg

KOMPLIKASI

Anda mungkin juga menyukai