Etiologi Preeklampsia
Invasi tropoblas yang tidak terjadi atau kurang sempurna, maka akan terjadi
kegagalan remodeling a. spiralis. Hal ini mengakibatkan darah menuju lakuna
hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan bila jangka waktu lama
mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksia plasenta. Hipoksia dalam jangka lama
menyebabkan kerusakan endotel pada plasenta yang menambah berat hipoksia.
Produk dari kerusakan vaskuler selanjutknya akan terlepas dan memasuki darah ibu
yang memicu gejala klinis preeklampsia. (Pribadi, A, et al, 2015).
Berawal pada awal trimester kedua pada wanita yang kemungkinan akan
terjadi preeklampsia, Th1 akan meningkat dan rasio Th1/Th2 berubah. Hal ini
disebabkan karena reaksi inflamasi yang distimulasi oleh mikropartikel plasenta
dan adiposit (Redman, 2014).
Etiologi preeklampsia tidak diketahui secara pasti. Diketahui ada beberapa faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia.
Faktor Resiko Pre eklampsi menurut riwayat keluarga preeklampsia :
a) Hipertensi kronis
b) Diabetes melitus
c) Penyakit ginjal
d) Riwayat preeklampsia onset dini pada kehamilan
e) sebelumnya (<34 minggu)
f) Riwayat sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver
g) enzymes, low platelet)
h) Obesitas
i) Mola hidatidos
Faktor resiko
2) Paritas
3) Usia kehamilan
4) Indeks Massa Tubuh (IMT). Nilai IMT diatas 30 dengan kategori obesitas,
resiko preeklampsia meningkat menjadi 4 kali lipat.
1) Obesitas
2) Kehamilan multifetal
3) Usia ibu
4) Hiperhomosisteinemia
5) Sindrom metabolik
Faktor resiko lain melliputi lingkungan, sosioekonomi, dan bisa juga pengaruh
musim. (Cunningham et al., 2014)
Patofisiologi preeklampsia
(Moffet, 2015)
Preeklampsia merupakan two stage disorder. Awal mula terjadinya
preeklampsia sebenarnya sejak masa awal terbentuknya plasenta. Saat itu, terjadi
invasi tropoblastik yang abnormal. Semestinya, pada kondisi normal, terjadi
remodeling arteriol spiralis uterin pada saat diinvasi oleh tropoblas endovaskular.
Sel-sel tersebut menggantikan endotel pembuluh darah dan garis otot sehingga
diameter pembuluh darah membesar. Vena diinvasi secara superfisial. Sementara
itu, pada preeklampsia terjadi invasi tropoblas yang tidak lengkap. Invasi terjadi
secara dangkal terbatas pada pembuluh darah desidua tetapi tidak mencapai
pembuluh darah miometrium. Padahal normalnya, invasi tropoblas mencapai
miometrium. Pada preeklampisa, arteriol pada miometrium hanya memiliki
diameter berukuran setengah lebih kecil dari yang plasentanya normal. Ditambah
lagi, pada awal preeklampsia, terdapat juga kerusakan endotel, insudasi dari plasma
ke dinding pembuluh darah, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis medial. Lipid
dapat terkumpul pada sel miointimal dan di dalam makrofag. Akibat dari gangguan
pembuluh darah tersebut, terjadi peningkatan tekanan darah serta kurangnya
pasokan oksigen dan nutrisi ke plasenta. Kondisi iskemia tersebut membuat
plasenta mengeluarkan faktor-faktor tertentu yang dapat memicu inflamasi secara
sistemik (Moffet, 2015).
1) Sistem Kardiovaskuler
Pada preeklampsia, endotel mengeluarkan vasoaktif yang didominasi oleh
vasokontriktor, seperti endotelin dan tromboksan A2. Selain itu, terjadi
penurunan kadar renin, angiotensin I, dan angiotensin II dibandingkan
kehamilan normal.
2) Perubahan Metabolisme
Pada perubahan metabolisme terjadi hal-hal sebagai berikut :
5) Ginjal
Selama kehamilan normal terjadi penurunan aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi
glomerulus. Pada preeklampsia terjadi perubahan seperti peningkatan resistensi
arteri aferen ginjal dan perubahan bentuk endotel glomerulus. Filtrasi yang semakin
menurun menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat. Terjadi penurunan aliran
darah ke ginjal, menimbulkan perfusi dan filtrasi ginjal menurun menimbulkan
oliguria. Kerusakan pembuluh darah glomerulus dalam bentuk “gromerulo-
capilary endhotelial” menimbulkan proteinuria. (Cunningham et al, 2014).
7) Hepar
Pada preeklampsia ditemukan infark hepar dan nekrosis. Infark hepar dapat
berlanjut menjadi perdarahan sampai hematom. Apaabila hematom meluas dapat
terjadi rupture subscapular. Nyeri perut kuadran kanan atas atau nyeri epigastrium
disebabkan oleh teregangnya kapsula Glisson.
8) Mata
Dapat terjadi vasospasme retina, edema retina, ablasio retina, sampai kebutaan.
Preeklampsia sekarang diklasifikasikan menjadi :
a) TD sistol ≥ 160 mmhg atau TD diastole ≥110 mmHg pada dua pengukuran
dengan selang 4 jam saat pasien berada dalam posisi tirah baring;
b) Trombositopenia <100.000/μL;
c) Gangguan fungsi hati yang ditandai dengan meningkatnya transaminase dua kali
dari nilai normal, nyeri perut kanan atas persisten berat atau nyeri epigastrium
yang tidak membaik dengan pengobatan atau keduanya
e) Edema paru
Penanganan preeklampsia
Ny. S berusia 33 tahun masuk rumah sakit (MRS) melalui IGD pada tanggal
30 agustus 2018 dengan keluhan merasa kenceng-kenceng disertai pusing dan
pandangan mata kabur. Berdasrkan kegiatan rekonsiliasi obat, pasien tidak
memiliki riwayat alergi terhadap obat, makanan, dan tidak mengkonsumsi obat
apapun sebelum MRS. Pasien didiagnosa G4p3003Ab000 part 39-40 minggu T/H
+ kala 1 fase aktif + riwayat prom + peb + HT Emergency + fetal compromised +
impending eclampsia pada awalnya. Penegakan diagnosa tersebut berdasarkan
tanda dan gejala yang dialami pasien beserta hasil data laboraturium. Pada saat di
IGD tanda-tanda vital Ny. S seperti suhu, respiratory rate dalam rentang normal
namun pada tekanan darah dan heart rate pasien berada di atas rentang yaitu
192/112 mmHg dan 92x/m. Data laboraturium pasien saat MRS terdapat
peningkatan nilai protein sebesar 1+ dan ureum pada faal hemostatis sebesar 11,60
mg/dl atau dapat dikatakan mengalami penurunan. Kemudian saat masuk ruangan
obgyn pasien mendapat rekomendasi untuk daftar ke bagian OK untuk segera
dilakukan tindakan operasi sectio caesar dan pemasangan IUD dengan terapi
preeklampsia berat yakni nifedipin diberikan terlebih dahulu untuk mengatasi
tekanan darah yang melonjak. Dokter menuliskan daftar terapi resusitasi
intrauterine seperti O2 NRBM 10 lpm kemudian injeksi SM full dose yakni
diantaranya injeksi Mgso4 20% 4g iv bolus, lalu diikuti dengan pemberian iv drip
Mgso4 40% + RD 5% dengan mekanisme menurunkan asetilkolin di terminal saraf
motorik dan bekerja pada miokardium dengan memperlambat laju pembentukan
impuls nodus S-A dan memperpanjang waktu konduksi, yang mana indikasi dari
SM disini ialah profilaksis anti kejang pasien dengan kasus PEB dan eklampsia.
MgSo4 lebih diberikan kepada pasien pre-eklampsia dibandingkan antikonvulsan
lain salah satu contohnya yakni fenitoin dan diazepam. Fenitoin melewati sawar
plasenta dimana akan meningkatkan kelainan pada janin (henderson, 2003).
Disamping adanya laporan yang menunjukkan peningkatan insidensi kelainan
kongenital seperti bibir sumbing, langit-langit yang tidak menutup, kelainan
jantung pada bayi, sindroma hidantoin fetal berupa defisiensi pertumbuhan
prenatal, mikrosefali dan defisiensi mental serta timbulnya keganasan seperti
neuroblastoma pada ibu yang mendapat fenitoin (Budipranot, H. P.2002).
Saran
Disarankan untuk para petugas medis untuk melakukan tes esbach pada uji
lab pasien untuk mengetahui kevalidan diagnosa pre eklampsia. Disarankan pula
untuk pasien melakukan diet rendah garam atau mengurangi konsumsi
garamMenjaga luka setelah operasi agar tetap kering dan kembali kontrol pada
waktu yang sudah ditetapkan. Apabila merasa pusing, disarankan untuk cek tekanan
darah pada bidan atau tenaga medis terdekat kemudian meningkatkan asupan nutrisi
berupa sayuran dan buah serta makanan mengandung protein tinggi untuk
mempercepat penyembuhan luka bekas sc.
Menghabiskan obat antibiotik yang diberikan ketika sudah pulang dari RS,
dan rutin mengkonsumi obat lain yang sudah diberikan dan meminum obat anti
nyeri jika nyeri timbul saja.