Anda di halaman 1dari 15

Definisi preeklampsia

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai


dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan
berdasarkan adanya hipertensi dan proteinuria pada usia kehamilan diatas 20
minggu. Edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal. (POGI, 2014). Sedangkan
Cunningham et al., (2005) mendefinisikan preeklampsia adalah sindrom kehamilan
spesifik yang ditandai dengan penurunan perfusi organ secara sekunder hingga
terjadinya aktivasi vasospasme dan endotel.

Etiologi Preeklampsia

Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi dari preeklampsia,


meliputi (Pribadi, A., et al., 2015) :

1) Abnormalitas invasi tropoblas

Invasi tropoblas yang tidak terjadi atau kurang sempurna, maka akan terjadi
kegagalan remodeling a. spiralis. Hal ini mengakibatkan darah menuju lakuna
hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan bila jangka waktu lama
mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksia plasenta. Hipoksia dalam jangka lama
menyebabkan kerusakan endotel pada plasenta yang menambah berat hipoksia.
Produk dari kerusakan vaskuler selanjutknya akan terlepas dan memasuki darah ibu
yang memicu gejala klinis preeklampsia. (Pribadi, A, et al, 2015).

2) Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)-fetal

Berawal pada awal trimester kedua pada wanita yang kemungkinan akan
terjadi preeklampsia, Th1 akan meningkat dan rasio Th1/Th2 berubah. Hal ini
disebabkan karena reaksi inflamasi yang distimulasi oleh mikropartikel plasenta
dan adiposit (Redman, 2014).

3) Maladaptasi kadiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses


kehamilan normal.
4) Faktor genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara mekanisme epigenetik.

Dari sudut pandang herediter, preeklampsia adalah penyakit multifaktorial


dan poligenik. Predisposisi herediter untuk preeklampsia mungkin merupakan hasil
interaksi dari ratusan gen yang diwariskan baik secara maternal ataupun paternal
yang mengontrol fungsi enzimatik dan metabolism pada setiap sistem organ. Faktor
plasma yang diturunkan dapat menyebabkan preeklampsia. (McKenzie, 2012).
Pada ulasan komprehensifnya, Ward dan Taylor (2014) menyatakan bahwa
insidensi preeklampsia bisa terjadi 20 sampai 40 persen pada anak perempuan yang
ibunya mengalami preeklampsia; 11 sampai 37 persen saudara perempuan yang
mengalami preeklampsia dan 22 sampai 47 persen pada orang kembar.

5) Faktor nutrisi, kurangnya intake antioksidan

John et al (2002) menunjukan pada populasi umumnya konsumsi sayuran


dan buah-buahan yang tinggi antioksidan dihubungkan dengan turunnya tekanan
darah. Penelitian yang dilakukan Zhang et al (2002) menyatakan insidensi
preeklampsia meningkat dua kali pada wanita yang mengkonsumsi asam askorbat
kurang dari 85 mg.

Etiologi preeklampsia tidak diketahui secara pasti. Diketahui ada beberapa faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia.
Faktor Resiko Pre eklampsi menurut riwayat keluarga preeklampsia :
a) Hipertensi kronis
b) Diabetes melitus
c) Penyakit ginjal
d) Riwayat preeklampsia onset dini pada kehamilan
e) sebelumnya (<34 minggu)
f) Riwayat sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver
g) enzymes, low platelet)
h) Obesitas
i) Mola hidatidos
Faktor resiko

Faktor resiko dan berpengaruh terhadap progresifitas preeklampsia (Pribadi, A. et


al, 2015) :

1) Faktor usia ibu

2) Paritas

3) Usia kehamilan

4) Indeks Massa Tubuh (IMT). Nilai IMT diatas 30 dengan kategori obesitas,
resiko preeklampsia meningkat menjadi 4 kali lipat.

Faktor resiko preeklampsia (Cunningham, et al., 2014) antara lain :

1) Obesitas

2) Kehamilan multifetal

3) Usia ibu

4) Hiperhomosisteinemia

5) Sindrom metabolik
Faktor resiko lain melliputi lingkungan, sosioekonomi, dan bisa juga pengaruh
musim. (Cunningham et al., 2014)

Patofisiologi preeklampsia

(Moffet, 2015)
Preeklampsia merupakan two stage disorder. Awal mula terjadinya
preeklampsia sebenarnya sejak masa awal terbentuknya plasenta. Saat itu, terjadi
invasi tropoblastik yang abnormal. Semestinya, pada kondisi normal, terjadi
remodeling arteriol spiralis uterin pada saat diinvasi oleh tropoblas endovaskular.
Sel-sel tersebut menggantikan endotel pembuluh darah dan garis otot sehingga
diameter pembuluh darah membesar. Vena diinvasi secara superfisial. Sementara
itu, pada preeklampsia terjadi invasi tropoblas yang tidak lengkap. Invasi terjadi
secara dangkal terbatas pada pembuluh darah desidua tetapi tidak mencapai
pembuluh darah miometrium. Padahal normalnya, invasi tropoblas mencapai
miometrium. Pada preeklampisa, arteriol pada miometrium hanya memiliki
diameter berukuran setengah lebih kecil dari yang plasentanya normal. Ditambah
lagi, pada awal preeklampsia, terdapat juga kerusakan endotel, insudasi dari plasma
ke dinding pembuluh darah, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis medial. Lipid
dapat terkumpul pada sel miointimal dan di dalam makrofag. Akibat dari gangguan
pembuluh darah tersebut, terjadi peningkatan tekanan darah serta kurangnya
pasokan oksigen dan nutrisi ke plasenta. Kondisi iskemia tersebut membuat
plasenta mengeluarkan faktor-faktor tertentu yang dapat memicu inflamasi secara
sistemik (Moffet, 2015).

Patofisiologi terjadinya preeklampsia dapat dijelaskan sebagai berikut


(Cunningham et al., 2010):

1) Sistem Kardiovaskuler
Pada preeklampsia, endotel mengeluarkan vasoaktif yang didominasi oleh
vasokontriktor, seperti endotelin dan tromboksan A2. Selain itu, terjadi
penurunan kadar renin, angiotensin I, dan angiotensin II dibandingkan
kehamilan normal.

2) Perubahan Metabolisme
Pada perubahan metabolisme terjadi hal-hal sebagai berikut :

a) Penurunan reproduksi prostaglandin yang dikeluarkan oleh plasenta.

b) Perubahan keseimbangan produksi prostaglandin yang menjurus pada


peningkatan tromboksan yang merupakan vasokonstriktor yang kuat,
penurunan produksi prostasiklin yang berfungsi sebagai vasodilator dan
menurunnya produksi angiotensin II-III yang menyebabkan makin
meningkatnya sensitivitas otot pembuluh darah terhadap vasopressor.
c) Perubahan ini menimbulkan vasokontriksi pembuluh darah dan vasavasorum
sehingga terjadi kerusakan, nekrosis pembuluh darah, dan mengakibatkan
permeabilitas meningkat serta kenaikan darah.

d) Kerusakan dinding pembuluh darah, menimbulkan dan memudahkan


trombosit mengadakan agregasi dan adhesi serta akhirnya mempersempit
lumen dan makin mengganggu aliran darah ke organ vital.

e) Upaya mengatasi timbunan trombosit ini terjadi lisis,sehingga dapat


menurunkan jumlah trombosit darah serta memudahkan jadi perdarahan.
(Manuaba, 2001)

3) Sistem Darah dan Koagulasi


Pada perempuan dengan preeklampsia terjadi trombositopenia, penurunan
kadar beberapa faktor pembekuan, dan eritrosit dapat memiliki bentuk yang
tidak normal sehingga mudah mengalami hemolisis. Jejas pada endotel dapat
menyebabkan peningkatan agregasi trombosit, menurunkan lama hidupnya,
serta menekan kadar antitrombin III. (Cunningham et al., 2014).

4) Homeostasis Cairan Tubuh


Pada preeklampsia terjadi retensi natrium karena meningkatnya sekresi
deoksikortikosteron yang merupakan hasil konversi progesteron. Pada wanita hamil
yang mengalami preeklampsia berat, volume ekstraseluler akan meningkat dan
bermanifestasi menjadi edema yang lebih berat daripada wanita hamil yang normal.
Mekanisme terjadinya retensi air disebabkan karena endothelial injury.
(Cunningham et al, 2014).

5) Ginjal
Selama kehamilan normal terjadi penurunan aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi
glomerulus. Pada preeklampsia terjadi perubahan seperti peningkatan resistensi
arteri aferen ginjal dan perubahan bentuk endotel glomerulus. Filtrasi yang semakin
menurun menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat. Terjadi penurunan aliran
darah ke ginjal, menimbulkan perfusi dan filtrasi ginjal menurun menimbulkan
oliguria. Kerusakan pembuluh darah glomerulus dalam bentuk “gromerulo-
capilary endhotelial” menimbulkan proteinuria. (Cunningham et al, 2014).

6) Serebrovaskular dan gejala neurologis lain

Gangguan seperti sakit kepala dan gangguan pengelihatan. Mekanisme pasti


penyebab kejang belum jelas. Kejang diperkirakan terjadi akibat vasospasme
serebral, edema, dan kemungkinan hipertensi mengganggu autoregulasi serta sawar
darah otak.

7) Hepar
Pada preeklampsia ditemukan infark hepar dan nekrosis. Infark hepar dapat
berlanjut menjadi perdarahan sampai hematom. Apaabila hematom meluas dapat
terjadi rupture subscapular. Nyeri perut kuadran kanan atas atau nyeri epigastrium
disebabkan oleh teregangnya kapsula Glisson.

8) Mata
Dapat terjadi vasospasme retina, edema retina, ablasio retina, sampai kebutaan.
Preeklampsia sekarang diklasifikasikan menjadi :

2) Preeklampsia tanpa tanda bahaya; serta

3) Preeklampsia dengan tanda bahaya, apabila ditemukan salah satu dari

Gejala atau tanda pre eklampsia berat :

a) TD sistol ≥ 160 mmhg atau TD diastole ≥110 mmHg pada dua pengukuran
dengan selang 4 jam saat pasien berada dalam posisi tirah baring;

b) Trombositopenia <100.000/μL;

c) Gangguan fungsi hati yang ditandai dengan meningkatnya transaminase dua kali
dari nilai normal, nyeri perut kanan atas persisten berat atau nyeri epigastrium
yang tidak membaik dengan pengobatan atau keduanya

d) Insufisiensi renal yang progresif (konsentrasi kreatinin serum >1.1 mg/dL)

e) Edema paru

f) Gangguan serbral dan pengelihatan

Penanganan preeklampsia

Pengobatan pada preeklampsia hanya dapat dilakukan secara simtomatis karena


etiologi preeklampsia dan faktor-faktor apa dalam kehamilan yang
menyebabkannya, belum diketahui.

Tujuan utama penanganan adalah (Wibowo dan Rachimhadhi, 2006) :

1) Mencegah terjadinya preeklampsia berat dan eklampsia

2) Melahirkan janin hidup

3) Melahirkan janin hidup dengan trauma sekecil-kecilnya.


Algoritma terapi PEB
Pada pasien dengan tekanan darah > 160/110 mmHg disertai proteinurea
dapat didiagnosa pre eklampsia berat. Terapi yang dapat diberikan yani metildopa,
lebetolol, oxprenolol, hydralazine,nifedipin, prazosin, dan clonidin.

Pada pasien pre eklampsia untuk penatalaksanaan terapinya dapat diberikan


profilaksis antikejang yakni MgSO4 selama 24 jam
PEMBAHASAN

Ny. S berusia 33 tahun masuk rumah sakit (MRS) melalui IGD pada tanggal
30 agustus 2018 dengan keluhan merasa kenceng-kenceng disertai pusing dan
pandangan mata kabur. Berdasrkan kegiatan rekonsiliasi obat, pasien tidak
memiliki riwayat alergi terhadap obat, makanan, dan tidak mengkonsumsi obat
apapun sebelum MRS. Pasien didiagnosa G4p3003Ab000 part 39-40 minggu T/H
+ kala 1 fase aktif + riwayat prom + peb + HT Emergency + fetal compromised +
impending eclampsia pada awalnya. Penegakan diagnosa tersebut berdasarkan
tanda dan gejala yang dialami pasien beserta hasil data laboraturium. Pada saat di
IGD tanda-tanda vital Ny. S seperti suhu, respiratory rate dalam rentang normal
namun pada tekanan darah dan heart rate pasien berada di atas rentang yaitu
192/112 mmHg dan 92x/m. Data laboraturium pasien saat MRS terdapat
peningkatan nilai protein sebesar 1+ dan ureum pada faal hemostatis sebesar 11,60
mg/dl atau dapat dikatakan mengalami penurunan. Kemudian saat masuk ruangan
obgyn pasien mendapat rekomendasi untuk daftar ke bagian OK untuk segera
dilakukan tindakan operasi sectio caesar dan pemasangan IUD dengan terapi
preeklampsia berat yakni nifedipin diberikan terlebih dahulu untuk mengatasi
tekanan darah yang melonjak. Dokter menuliskan daftar terapi resusitasi
intrauterine seperti O2 NRBM 10 lpm kemudian injeksi SM full dose yakni
diantaranya injeksi Mgso4 20% 4g iv bolus, lalu diikuti dengan pemberian iv drip
Mgso4 40% + RD 5% dengan mekanisme menurunkan asetilkolin di terminal saraf
motorik dan bekerja pada miokardium dengan memperlambat laju pembentukan
impuls nodus S-A dan memperpanjang waktu konduksi, yang mana indikasi dari
SM disini ialah profilaksis anti kejang pasien dengan kasus PEB dan eklampsia.
MgSo4 lebih diberikan kepada pasien pre-eklampsia dibandingkan antikonvulsan
lain salah satu contohnya yakni fenitoin dan diazepam. Fenitoin melewati sawar
plasenta dimana akan meningkatkan kelainan pada janin (henderson, 2003).
Disamping adanya laporan yang menunjukkan peningkatan insidensi kelainan
kongenital seperti bibir sumbing, langit-langit yang tidak menutup, kelainan
jantung pada bayi, sindroma hidantoin fetal berupa defisiensi pertumbuhan
prenatal, mikrosefali dan defisiensi mental serta timbulnya keganasan seperti
neuroblastoma pada ibu yang mendapat fenitoin (Budipranot, H. P.2002).

Duley dkk mendapatkan bahwa terjadi pengurangan kematian maternal dan


kejang ulangan pada pasien yang mempergunakan magnesium sulfat dibandingkan
dengan diazepam (Buhimschi, C.,2004). Pemakaian diazepam dapat menyebabkan
terjadinya depresi pernafasan baik pada neonatal ataupun ibu (Saifudin,2001).
Depresi pada neonatal ini terjadi terutama pada neonatus yang tidak memiliki
kemampuan dalam metabolisme diazepam dimana akan ditemukan gejala-gejala
sedasi, hipotoni dan sianosis (Buhimschi, C.,2004)

kemudian untuk terapi premednya dberikan injeksi cefazolin, injeksi


metoklopramide dan injeksi ranitidine. Pada terapi injeksi cefazolin dengan dosis
1x2 gram diiindikasikan untuk terapi antibiotik profilaksis bedah dengan
mekanisme mensintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih protein
penicillin-binding (PBPs) yg akhirnya menghambat bagian transpeptidation akhir
pada sintesis peptidoglycan di dinding sel bakteri, sehingga menghambat
biosintesis dinding sel. Bakteri akhirnya melisis karena aktivitas berkelanjutan dari
enzim autolytic dinding sel (autolysin dan murein hidrolase) sementara perakitan
dinding sel ditangkap. Kemudian injeksi metoklopramide sebesar 3x10 mg
digunakan untuk mempercepat pengosongan lambung dengan mekanisme
memblok reseptor dopamin dan (bila diberikan dalam dosis yang lebih tinggi) juga
memblokir reseptor serotonin di zona pemicu kemoreseptor dari SSP;
meningkatkan respon terhadap asetilkolin jaringan di saluran pencernaan atas
menyebabkan peningkatan motilitas dan mempercepat pengosongan lambung tanpa
merangsang lambung, biliaris, atau sekresi pankreas; meningkatkan nada sfingter
esofagus bagian bawah.

Selanjutnya terapi injeksi ranitidine dosis 2 x 50 mg diindikasikan untuk


mencegah hipersekresi asam lambung karena rasa cemas dari pasien saat
menghadapi operasi sehingga kemungkinan sekresi asam lambung pasien
meningkat. Kemudian karena pasien disini akan dilakukan tindakan SC maka
kemungkinan perdarahan terjadi di dalam rahim atau jaringan abdomen cukup besar
maka perlu diberikan injeksi oxytosin + RL sebesar 20 IU + 500 cc dengan
mekanisme melepas sisa-sisa plasenta yang masih menempel di dinding rahim
sehingga akhirnya perdarahan berkurang. Kemudian setelah operasi selesai kira-
kira pukul 07.30 pasien diberikan injeksi kalnex dengan dosis 3x500 mg sebagai
terapi perdarahan untuk mengatasi pendarahan pada jaringan diluar abdomen atau
kulit pasien, dengan mekanisme secara reversibel Membentuk kompleks yang
menggantikan plasminogen dari fibrin yang mengakibatkan penghambatan
fibrinolisis itu juga menghambat aktivitas proteolitik dari plasmin. Selanjutnya
untuk mengatasi nyeri pada pasien maka diberikan ketorolak injeksi sebesar 3 x 30
mg dengan mekanisme menghambat enzim (COX-1 dan 2), yang menghasilkan
penurunan pembentukan prekursor prostaglandin, memiliki sifat antipiretik,
analgesik, dan anti-inflamasi. Pada saat pasien keluar dari ruang OK untuk
maintenence terapi aintihipertensinya diberikan metil dopa sebesar 3 x 500 mg
dengan mekanisme menstimulasi reseptor alfa-adrenergik yang menghasilkan
penurunan simpatis keluar ke jantung, ginjal, dan pembuluh darah perifer.

Pada tanggal 31 agustus 2018 didapatkan tanda-tanda vital pasien terkait


suhu, nadi, dan RR berada pada nilai normal namun pada tekanan darah pasien
mengalami penurunan yakni 142/82 mmHg. Pada tanda-tanda klinis pasien
terdapat hasil analisa nyeri pasien yakni vas :1/10 atau dapat dikatakan sedikit
nyeri sehingga pasien diberikan terapi per-oral yakni asam mefenamat dosis
5x300 mg hal ini pula dikarenakan asam mefenamat memiliki efek penenang
pada rahim pada blok prostaglandin di bagian otot polos. Sehingga terdapat
kesesuaian terapi namun perlu diberikan KIE kepada pasien untuk menelan obat
jika nyeri muncul untuk mengurangi keminimalan dosis yang masuk pada ASI.
Kemudian dikarenakan sebelum dan sesudah operasi dilakukan tes leukosit dan
terjadi peningkatan maka pasien diberikan terapi lanjutan untuk antibiotuk dalam
bentuk per oral yakni cefadroxil 2 x 500 hal ini dikarenakan injeksi cefazolin
tidak memiliki sediaan berbentuk oral sehingga diganti dengan cefadroxil yang
memiliki golongan dan generasi yang sama dengan inj. cefazolin dan juga dari
segi farmakoekonomi lebih baik dilanjutkan dengan menggunakan sediaan tablet.
Kemudian pasien mendapatkan terapi lebih lanjut sebagai terapi antihipertensinya
yakni metildopa 3 x 500 mg kemudian di kombinasi dengan adalat oros yakni 1 x
30 mg. Penggantian terapi dari bentuk nifedipin oral ke bentuk SR karena lama
kerja dari kedua sediaan tersebut berbeda. Ketika digunakan adalat oros lebih
dapat dikatakan meningkatkan kepatuhan minum obat pasien. Untuk terapi
anemia dikarenakan pasien ini nerupakan pasien pasca operasi diberikan tablet
tambah darah 1x1 hari

Pada tanggal 1 september 2018 didapatkan tanda-tanda vital pasien terkait


suhu, nadi, dan RR berada pada nilai normal namun pada tekanan darah pasien
mengalami penurunan yakni 130/80 mmHg. Pada tanda-tanda klinis pasien
terdapat hasil analisa nyeri pasien yakni dapat dikatakan tidak terlalu nyeri a
sehingga pasien diberikan terapi per-oral yakni asam mefenamat dosis 5x300 mg
hal ini pula dikarenakan asam mefenamat memiliki efek penenang pada rahim di
blok prostaglandin di bagian otot polos. Sehingga terdapat kesesuaian terapi
namun perlu diberikan KIE kepada pasien untuk menelan obat jika nyeri muncul
untuk mengurangi keminimalan dosis yang masuk pada ASI. Kemudian
dikarenakan sebelum dan sesudah operasi dilakukan tes leukosit dan terjadi
peningkatan maka pasien diberikan terapi lanjutan untuk antibiotuk dalam bentuk
per oral yakni cefadroxil 2 x 500 hal ini dikarenakan injeksi cefazolin tidak
memiliki sediaan berbentuk oral sehingga diganti dengan cefadroxil yang
memiliki golongan dan generasi yang sama dengan inj. cefazolin dan juga dari
segi farmakoekonomi lebih baik dilanjutkan dengan menggunakan sediaan tablet.
Kemudian pasien mendapatkan terapi lebih lanjut sebagai terapi antihipertensinya
yakni metildopa 3 x 500 mg kemudian di kombinasi dengan adalat oros yakni 1 x
30 mg. Penggantian terapi dari bentuk nifedipin oral ke bentuk SR karena lama
kerja dari kedua sediaan tersebut berbeda. Ketika digunakan adalat oros lebih
dapat dikatakan meningkatkan kepatuhan minum obat pasien. Untuk terapi
anemia dikarenakan pasien ini nerupakan pasien pasca operasi diberikan tablet
tambah darah 1x1 hari
Kesimpulan

Diagnosis akhir pasien : P4004Ab000 SC + IUD + K 1 F A + riwayat prom +


PEB. Terapi obat yang diberikan sudah sesuai dosis dan indikasi dan juga terapi
obat yang diberikan tidak terdapat DRP aktual. Obat yang di bawa KRS oleh
pasien yakni Asam mefenamat 3x 500 mg, Metildopa 3x 500 mg, Cefadroxil 2 x
500 mg, Tablet tambah darah 1x1 dan Adalat oros 1x30 mg.

Saran

Disarankan untuk para petugas medis untuk melakukan tes esbach pada uji
lab pasien untuk mengetahui kevalidan diagnosa pre eklampsia. Disarankan pula
untuk pasien melakukan diet rendah garam atau mengurangi konsumsi
garamMenjaga luka setelah operasi agar tetap kering dan kembali kontrol pada
waktu yang sudah ditetapkan. Apabila merasa pusing, disarankan untuk cek tekanan
darah pada bidan atau tenaga medis terdekat kemudian meningkatkan asupan nutrisi
berupa sayuran dan buah serta makanan mengandung protein tinggi untuk
mempercepat penyembuhan luka bekas sc.

Menghabiskan obat antibiotik yang diberikan ketika sudah pulang dari RS,
dan rutin mengkonsumi obat lain yang sudah diberikan dan meminum obat anti
nyeri jika nyeri timbul saja.

(TAMBAHIN KIE OBAT KRS YANG LENGKAP


LIF, DISINI)
Saifuddin AB. Hipertensi dalam kehamilan, nyeri kepala, gangguan penglihatan,
kejang dan/atau koma. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta 2001;206-217
Duley L, Henderson S. Magnesium sulphate versus phenytoin for eclampsia. The
Cochrane Database of Systematic Reviews 2003
Weiner C, Buhimschi C. Phenytoin in Drugs for Pregnant and Lactating Women.
Elsevier Inc.2004
Hardjasaputra P, Budipranoto G. Keterangan Obat Standar. Dalam DOI. Edisi 10.
Grafidian Medipress 2002
Duley L, Henderson S. Magnesium sulphate versus diazepam for eclampsia. The
Cochrane Database of Systematic Reviews 2003

Anda mungkin juga menyukai