BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
bebas, rapat, dan pendek. Daun yang makrofil (berdaun besar) dengan posisi yang
berseling serta daun yang menyerupai kipas. Bentuk daunnya bulat telur
(membulat), persegi panjang,delta,jajar genjang,dan belah ketupat. Susunan daun
tumpang tindih,bersirip tunggal, bersirip ganda, ada juga susunan daunnya pada
bagian bawah besar sedang pada bagian ujungnya mengecil sehingga mirip ekor.
Tekstur daun biasanya lembut dan tipis,tetapi ada juga yang keras dan kaku,dan
umumnya berwarna hijau mengkilap. Pada bagian daun terdapat tulang daun dan
telah mempunyai mesofil (daging daun). Tangkai daun gundul sekitar 10-20 cm.
Anak daun penempatannya bersaing sepanjang poros sirip. Daun memiliki mesofil
(daging buah),jaringan bunga karang, jaringan tiang dan jaringan daun
(Sulisetijono.2010).
gamet normal (haploid) maka zigot yang terbentuk tergolong triploid (Corebima,
2000).
Faktor ketinggian tempat berpengaruh pada tumbuhan paku karena adanya
kecenderungan sitologi tumbuhan paku yang memiliki tingkat ploidi diploid yang
tersebar di daerah yang hangat, sedangkan yang tetraploid tersebar di daerah yang
lebih dingin (Nakato dalam Setyawati, 2000). Faktor lingkungan utama yang
berpengaruh adalah suhu dan kelembapan yang mempengaruhi tumbuhan paku
pada perkembangan siklus hidup sejak germinasi spora sampai maturasi sporofit
(Masahiro dan Iwatsuki dalam Setyawati, 2000).
2.1.5 Pembelahan Mitosis
Mitosis adalah pembelahan sel somatik, dimana terdapat beberapa tahap
didalamnya, yaitu: profase, metafase, anafase, dan telofase (Sastrosumarjo,2006).
Pembelahan mitosis ini terjadi pada jaringan meristematik atau jaringan yang aktif
membelah seperti tunas dan ujung akar. Pembelahan sel bekerja di bawah kontrol
gen, dimana gen adalah pengatur proses pembelahan tersebut. Mitosis pada
tanaman terjadi selama 30 menit sampai beberapa jam. Ini merupakan bagian dari
suatu proses yang berputar dan terus-menerus (Crowder, 1990).
Mitosis hanya terjadi pada sel eukariot, dimana sel somatik mengalami
mitosis, sedangkan sel kelamin (sperma atau sel telur) membelah diri melalui proses
yang berbeda yaitu meiosis. Sedangkan sel prokariot yang tidak memiliki nukleus
menjalani pembelahan yang disebut pembelahan biner (Suryo, 2010). Menurut
Suryo (2010) secara garis besar pembelahan mitosis terjadi melalui tahap-tahap
berikut:
1. Interfase
Interfase atau stadium istirahat dalam siklus sel termasuk fase yang
berlangsung lama karena pada tahap ini berlangsung fungsi metabolisme
dan pembentukan dan sintesis DNA.
2. Profase
Pada profase, terjadi pemadatan (kondensasi) dan penebalan kromosom.
Kromosom memendek dan menebal, bentuknya memanjang dan
letaknya acak di bagian tengah sel, terlihat menjadi dua untai kromatid
yang yang letaknya sangat berdekatan dan dihubungkan oleh sebuah
10
Waktu terjadinya mitosis pada masing-masing sel tumbuhan berbeda dan setiap
harinya pun belum tentu tepat sama. Lamanya proses mitosis juga berbeda-beda,
hal ini disebabkan karena perbedaan kondisi lingkungan seperti suhu dan nutrisi
(Yadav, 2007). Sehingga untuk memperoleh waktu yang tepat dalam pemotongan
sehingga didapat preparat dengan fase mitosis, maka diperlukan pengamatan yang
berulang-ulang dan pada waktu yang berbeda-beda (Jurcak, 1999)
2.1.6 Poliplodi
Poliploidi terjadi karena adanya penggandaan perangkat kromosom secara
keseluruhan. Crowder (1988) menyatakan bahwa poliploidi adalah perubahan
jumlah yang terjadi dengan penambahan atau pengurangan kromosom-kromosom
utuh atau satu set kromosom lengkap. Dalam hal ini dari individu yang tergolong
diploid dapat muncul turunan triploid maupun tetraploid. Poliploidi juga dapat
menghasilkan individu-individu yang pentaploid, heksaploid dan sebagainya
(Ayala dkk, 1984) dalam (Corebima, 2000).
Fenomena poliploidi lebih sering dijumpai pada tumbuhan dibanding
hewan. Berkenaan dengan poliploidi pada spesies tumbuhan, informasi lain
menyebutkan bahwa spesies-spesies poliploidi dijumpai pada seluruh kelompok
besar tumbuhan (Ayala dkk, 1984) dalam (Corebima, 2000). Fenomena poliploidi
umum dijumpai pada paku-pakuan tetapi jarang dijumpai pada Gymnospermae
(Ayala dkk, 1984) dalam (Corebima, 2000).
Poliploidi dapat terjadi secara spontan maupun sebagai akibat adanya
perlakuan (Russel, 1992) dalam (Corebima 2000). Dinyatakan lebih lanjut bahwa
poliploidi sering terjadi sebagai akibat rusaknya apparatus spindle selama satu atau
lebih pembelahan meiosis, ataupun selama pembelahan mitosis (Corebima, 2000).
Pada keadaan normal jumlah kromosom yang dimiliki oleh suatu individu stabil
tidak mudah berubah, namun karena adanya kelainan seperti non-disjunction atau
karena induksi yang disengaja seperti perlakuan dengan menggunakan zat tertentu
maka jumlah kromosom dalam satu spesies berubah.
Poliploidi yang terjadi pada tanaman secara spontan disebabkan oleh adanya
dua proses yang tak teratur sehingga poliploidi dapat terjadi dari tanaman diploid.
Dua proses yang tak teratur tersebut menurut Zubaidah (1998) disebabkan oleh :
12
BAB III
METODE PENELITIAN
2. Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah Pteris vitata, Dryopteris sparsa, dan
Adiantum pedatum yang masing-masing diambil 3 tanaman dari ketinggian yang
berbeda yaitu ketinggian rendah (483 mdpl) diambil di Kec.Klojen Kota Malang ,
sedang (950 mdpl) diambil di Coban talun desa Bumiaji , dan tinggi (1807 mdpl)
diambil di Cangar Kota Batu.
C. Dicari literatur mengenai kromosom dasar pada ketiga jenis tumbuhan paku
dan waktu mitosis maksimum pada masing-masing jenis paku.
D. Pembuatan Preparat
3.5.1 Pengambilan sampel tumbuhan paku
1) Diambil tumbuhan paku spesies Pteris vittata, Addiantum Pedatum, dan
Dryopteris sparsa yang diambil dari daerah Malang dengan tiga ketinggian
yang berbeda, yaitu 483 mdpl (daerah rendah), 950 mdpl (daerah sedang), dan
1807 mdpl (daerah tinggi).
2) Ditanam di dalam wadah sesudah diambil dari tempat tumbuhnya.
3.5.2 Perhitungan jumlah sel yang mengalami metafase atau anafase pada bagian ujung
akar yang berwarna hijau
1) Dipotong akar yang berwarna hijau pada masing-masing tumbuhan paku
sepanjang ± 1,5 cm sampai 2 cm pada pukul 09.00 WIB.
2) Dimasukkan ke dalam botol vial yang telah berisi larutan FAA.
3) Dicuci sebanyak 8 kali pencucian.
4) Dimasukkan HCl 1 N ke dalam botol vial kemudian ditutup dengan plastik
yang diberi karet.
5) Dipanaskan selama 15 menit dengan suhu 60C menggunakan alat
waterbath.
6) Setelah 15 menit, akar dibersihkan dari HCl 1 N dengan cara dicuci.
7) Diletakkan akar tumbuhan paku di atas kaca benda.
8) Diberi larutan asetokarmin pada bagian akar yang berwarna putih.
9) Ditutup dengan kaca benda dan digilas menggunakan pulpen berdiameter
bundar.
10) Diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 x.
11) Dihitung kromosom pada sel-sel yang mengalami tahap metafase atau
anafase dengan tiga kali perhitungsn dan kemudian dirata-rata.
12) Dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.
18
1 3
2 3
3 1
19
4
5
X
n = 2,5-3,4 (bertipe triploid)
X
n = 3,5-4,4 (bertipe tetraploid)
BAB IV
DATA DAN ANALISIS DATA
2 A 54 55 58 167 55,667
262,301/ 5
1 3 A 55 58 51 164 51 1,80 2n
= 52,4602
4 A 57 53 55 165 50,667
5 A 56 54 58 168 49,3
1 M 60 56 57 173 57,6667
2 M 53 55 51 159 53,0000
272,3335/5
2 3 M 49 55 52 156 52,0000 = 1,87816092 2n
4 M 56 56 54 166 55,3333 54,4667
5 M 52 57 54 163 54,3333
1 M 56 58 57 171 57,0000
2 M 55 58 54 167 55,6667
278,335 /5
3 3 M 57 57 53 167 55,6667 1,898850575 2n
= 55,0667
4 M 54 55 58 167 55,6667
5 M 54 49 51 154 51,3333
4 M 54 55 58 167 55,0000
5 M 54 49 51 167 50,6667
1 M 49 52 51 152 50,6667
2 A 53 53 55 161 53,6667
267,6665/ 5
2 3 M 55 57 54 166 55,3333 = 1,845977011 2n
4 M 58 57 55 170 56,6667 53,5333
5 M 51 52 51 154 51,3333
1 M 58 55 55 168 56,0000
2 M 48 51 52 151 50,3333
272,3335 / 5
3. 3 A 57 54 56 167 55,6667 = 1,87816092 2n
4 A 58 57 57 172 57,3333 54,4667
5 M 55 53 51 159 53,0000
2 A 87 90 88 265 88,3
408,1 /5 = 3n
3 A 83 85 87 255 85 2,81
81,62
4 A 86 85 83 254 84,6
5 A 69 71 72 212 70,6
2 1 A 87 86 89 255 85,00
2 A 90 85 86 261 87,00
3n
3 A 87 81 89 257 85,667 84,2000 2,8667
4 A 88 85 87 260 86,667
5 A 79 81 86 246 82,000
3 1 A 83 86 82 251 83,6667
2 M 78 83 84 245 81,6667
3n
3 A 78 79 82 239 79,667 83,1333 2,86667
4 A 85 87 86 258 86,000
5 A 85 83 86 254 84,667
23
5 A 55 53 53 161 53,667
1807 1 1 A 83 86 82 238 79,3
2 A 78 83 84 265 88,3
415,598 /5 =
3 A 78 79 82 246 82 2,7 3n
83,1196
4 A 85 87 86 244 81,3
5 A 85 83 86 221 74
2 1 A 87 86 89 255 85,00
2 A 90 85 86 261 87,00
3 A 87 81 89 257 85,667 83,03 2,76 3n
4 A 88 85 87 260 86,667
5 A 79 81 86 246 82,000
3 1 A 81 87 82 250 83,3
2 A 80 86 84 250 83,3
3 A 80 79 82 239 80,3 84 2,78 3n
4 A 85 87 84 256 85,33
5 A 85 86 86 257 85,667
4 A 53 47 48 148 49,33
5 A 48 48 48 144 48
950 1 A 56 58 57 171 57,00
2 A 55 58 54 167 55,67
1 3 A 57 57 53 167 55,67 55,0667 1,89885 2n
4 A 54 55 58 167 55,67
5 A 54 49 51 154 51,33
1 A 53 55 51 159 53,00
2 A 58 57 55 170 56,67
2 3 A 49 54 51 154 51,33 53,33 1,83908 2n
4 A 58 53 54 165 55,00
5 A 53 49 50 152 50,67
1 A 49 52 51 152 50,67
2 A 53 53 55 161 53,67
3 3 A 55 57 54 166 55,33 53,33 1,84597 2n
4 A 58 57 55 170 56,67
5 A 51 52 51 154 51,3
1807 1 1 A 70 73 74 217 72,3
2 A 82 83 84 249 83
415,598 /5 =
3 A 83 83 84 246 82 2,6 3n
77,12
4 A 60 61 63 184 61,3
5 A 90 89 87 266 87
2 1 A 87 90 88 265 88,333
2 A 83 85 87 255 85 3n
3 A 83 89 87 255 85 81,667 2,81
4 A 86 85 83 254 84,667
5 A 69 71 72 212 70,67
3 1 A 87 85 84 256 85,3
2 A 84 89 85 258 86,00
3 A 79 82 84 245 81,667 84,600 2,91 3n
4 A 80 83 87 250 83,333
5 A 85 87 88 260 86,667
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis
deskriptif untuk menentukan tingkat ploidi dengan cara penentuan tingkat ploidi yaitu
lima sel ditahap metafase atau anafase dari masing-masing objek di masing-masing
paku diamati. Setiap sel dihitung sebanyak tiga kali, dan kemudian hasil perhitungan
ini dirata-rata. Rerata dari masing-masing sel kemudian dijumlahkan dan kemudian
dibagi lima untuk mendapatkan rata-rata total jumlah kromosom dari paku itu.
Selanjutnya, rerata jumlah total kromosom dibagi dengan jumlah dasar kromosom paku
untuk menentukan tingkat ploidi. Penentuan tingkat ploidi dengan membagi jumlah
kromosom yang diamati dengan jumlah kromosom dasar dari mereka pakis sesuai
dengan penelitian sebelumnya yang mempelajari tingkat ploidi pada tumbuhan paku,
seperti dalam Jurnal The Utilization of Ferns as a Model Organism for Studying
Natural Polyploidization Concept in Genetics Course
Kisaran yang digunakan untuk menentukan tingkat ploidi adalah sebagai berikut:
X
= 0,5-2,4 (bertipe diploid)
n
X
= 2,5-3,4 (bertipe triploid)
n
X
= 3,5-4,4 (bertipe tetraploid)
n
Ketinggian (mdpl)
1 3n 2n 2n
2 3n 2n 2n
3 3n 2n 2n
Ketinggian (mdpl)
Ulangan Tinggi Sedang Rendah
(1807) (950) (483)
1 3n 2n 2n
2 3n 2n 2n
3 3n 2n 2n
3.5
3
Tipe ploidi (n)
2.5
Addiantum
2
1.5
1 Pteris vitata
0.5
0
483 950 1807 Dryopteris sparsa
Dari grafik tentang sebaran ploidi Adiantum pedatum, Pteris vitata, dan Dryopteris
sparsa dapat dilihat bahwa pada dataran tinggi memiliki tipe ploidi triploid sedangkan
pada dataran sedang dan rendah tipe ploidi yang ditemukan adalah diploid.
4.3 Analisis Statistik
- Analisis Variasi Ganda
Pengujian data dengan menggunakan analisis variasi ganda dimaksudkan untuk
mengetahui adanya pengaruh perbedaan ketinggian, jenis Pteris dan interaksi antara
ketinggian dan jenis tanaman paku yaitu Pteris vitata, Dryopteris sparsa dan Adiantum
pedatum terhadap tingkatan ploidi. Teknik analisis data dengan menggunakan analisis
deskriptif kuantitatif yaitu dengan menghitung modus jumlah kromosom dari masing-
masing ketinggian dan menggunakan analisis varian ganda dengan transformasi akar,
yaitu menggunakan rumus √(x+0,5)
29
4.4.1 Tabel data hasil transformasi akar (x`= x 0,5 ) tipe diploid
Ketinggian Jenis Ulanagan Jumlah Rerata
1 2 3
1807 Pterris Vittata 0,707106781 0,707106781 0,707106781 2,12132 0,707106781
Dryopteris sparsa 0,707106781 0,707106781 0,707106781 2,12132 0,707106781
Adiantum pedatum 0,707106781 0,707106781 0,707106781 2,12132 0,707106781
950 Pterris Vittata 1,224744871 1,224744871 1,224744871 3,674235 1,224744871
Dryopteris sparsa 1,224744871 1,224744871 1,224744871 3,674235 1,224744871
Adiantum pedatum 1,224744871 1,224744871 1,224744871 3,674235 1,224744871
483 Pterris Vittata 1,224744871 1,224744871 1,224744871 3,674235 1,224744871
Dryopteris sparsa 1,224744871 1,224744871 1,224744871 3,674235 1,224744871
Adiantum pedatum 1,224744871 1,224744871 1,224744871 3,674235 1,224744871
Total 28,40937
9,469789569 9,469789569 9,469789569 9,469789569
32
( x) 2 28,40937 2
FK =
N 27
= 29,8923
JK total = x 2
FK
= (0,707106781)2 + (0,707106781)2 + (0,707106781)2+...........+ (1,224744871)2
= 31,5 - 29,8923
= 1,687695155
(6,123724355)2 + {3,535533905)2+⋯…………+(6,123724355) 2
JK perlakuan kombinasi = 5
– - FK
= 1,65795155
(9,469789569) 2 (9,469789569) 2 ... (9,469789569) 2
JK ulangan = FK =
9
= 0,008038655
4.4.2 Tabel Dua Arah Diploid
Ketinggian(mdpl)
Jenis Pteris Jumlah
1807 950 483
Pterris Vittata 2,1213 3,6742 3,6742 9,4697
Dryopteris sparsa 2,1213 3,6742 3,6742 9,4697
Adiantum radianum 2,1213 3,6742 3,6742 9,4697
Total 6,3639 11,0226 11,0226 28,4091
JK jenis = FK
9
= 0,002695
33
JK tinggi = FK
9
= 31,4994 – 29,8923 = 1,6071
JK interaksi = JK perl. komb. - JK tinggi - JK jenis
= 1,65795155- 1,6071- 0,002695
= 0,048156
JK galat = JK total - JK ulangan - JK perl. komb.
= 1,687695155–0,0080385655-1,65795155
= 0,021705
4.4.3 Tabel Anava Diploid
Ftab
SK Db JK KT Fhit
0,05 0,01
Ulangan 2 1,65795155
Perlakuan 8 0,008038655
0,80355 666,5392
Ketinggian 2 1,6071 2,51 3,71
Jenis 2 0,0027 0,00135 1,119816 2,51 3,71
Interaksi 2 0,0482 0,0241 19,99078 2,51 3,71
Galat 18 0,0217 0,001205556
Total 50 3,345690205
F hit jenis < F tab (0,05), H1 ditolak, tidak ada pengaruh perbedaan jenis 3 jenis paku terhadap
tingkat ploidi.
F hit tinggi > F tab (0,05), H1 diterima, ada pengaruh tingkat ploidi pada 3 daerah dengan
ketinggian yang berbeda.
F hit interaksi > F tab (0,05), H1 diterima, ada interaksi antara 3 jenis paku dan ketinggian terhadap
tingkat ploidi.
34
2 𝑥 0,001205556
=𝑡(0,05) 18 𝑥 √ 3
= 0,081602
Selisih rerata (950 mdpl - 1807 m dpl)= 3,674333- 2,1213= 1,553033. Nilai
1,553033>0,081602diberi notasi a.
Selisih rerata (483 mdpl -950 m dpl)= 3,674333- 3,674333=0. Nilai 0 <0,081602diberi notasi
b.
Berdasarkan uji BNT, dapat diketahui bahwa ketinggian 483m dpl dan 950 memiliki pengaruh
yang sama terhadap tingkat ploidi diploid pada Pterris vittata, Dryopteris sparsa, Adiantum
radianum.
Dryopteris
sparsa 0,707106781 0,707106781 0,707106781 2,121320344 4,5
Adiantum
1807 pedatum 0,707106781 0,707106781 0,707106781 2,121320344 4,5
Total 7,916875301 7,916875301 7,916875301 23,7506259 67,5
( x ) 2 23,75062592
FK =
N 27
= 20,89230485
JK total = x 2
FK
= {(13,5)2+(13,5)2+...+(4,52)} – FK
= - 20,89230485
= 1,99977
(7,916875301) 2 (7,916875301) 2 .(7,916875301) 2
JK ulangan = FK
9
=0
(3,6742343) 2 (3,6742343) 2 ... (2,121320344) 2
JK perl. komb. = FK
3
= 1,607695
Tabel dua arah triploid
Ketinggian
Jenis paku Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Pteris vitata 2,12132 2,12132 4 7,9168746
Dryopteris
sparsa 2,12132 2,12132 4 7,9168746
36
Adiantum
pedatum 2,12132 2,12132 4 7,9168746
total 6,36396 6,36396 11 23,7506238
= 0,333329631
JK tinggi = FK
9
= 1,607692135
SK db JK KT Fhit Ftabel
Ulangan 2 0
perlakuan 8 1,9997695
ketinggian 2 1,6071 0,80355 36,89070755 2,51 3,71
jenis 2 0,333329631 0,166664816 7,651525067
interaksi 2 0,058747734 0,029373867 1,348544256
galat 18 0,392074345 0,021781908
F hit jenis > F tab (0,05), H1diterima ada pengaruh perbedaan jenis 3 paku terhadap tingkat ploidi.
F hit tinggi > F tab (0,05), H1 diterima, ada pengaruh perbedaan tingkat ploidi pada 3 daerah
dengan ketinggian yang berbeda.
F hit interaksi < F tab (0,05), H1 ditolak, tidak ada interaksi antara jenis 3 paku dan ketinggian
terhadap tingkat ploidi
Uji BNT untuk ketinggian
2 𝑥 𝐾𝑡 𝑔𝑎𝑙𝑎𝑡
BNT = 𝑡∝ (db galat) x √ 𝑟
2 𝑥 0,021781908
=𝑡(0,05) 24 𝑥 √ 3
= 2,0639𝑥 √0,014521272
Selisih rerata (950 mdpl-483 m dpl)= 2,12132- 2,12132= 0. Nilai 0 <0,346859407 diberi notasi
a.
Selisih rerata (1807 mdpl-483 m dpl)= 4 - 2,12132 = 1,87868 . Nilai 1,87868 >0,346859407
diberi notasi b.
Selisih rerata (1807 mdpl-950 m dpl)= 4 - 2,12132 = 1,87868 . Nilai 1,87868 >0,346859407
diberi notasi b.
38
Berdasarkan uji BNT, dapat diketahui bahwa ketinggia 1807 mdpl memiliki pengaruh yang paling
tinggi terhadap tingkat ploidi triploid pada Pteris vittata, Adiantum Peddatum, dan Dryopteris
sparsa. .
39
BAB V
PEMBAHASAN
Pada penelitian proyek ini diteliti pengaruh ketinggian tempat (dataran rendah, dataran
sedang dan dataran tinggi) terhadap tingkat ploidi tumbuhan paku di daerah Malang . tumbuhan
paku yang diteliti tingkat ploidinya adalah jenis Pteris vittata, Adiantum Pedatum dan Dryopteris
sparsa. Tumbuhan paku tersebut diperoleh dari tiga daerah dengan ketinggian yang berbeda yaitu
Kota Malang (UB) kecamatan klojen dengan ketinggian tempat 483 mdpl yang mewakili dataran
rendah‚ Kota Batu (Coban talun, Desa bumiaji) dengan ketinggian tempat 950 mdpl yang
mewakili dataran sedang dan Kota Batu (daerah Cangar ) dengan ketinggian 1807 mdpl yang
mewakili dataran tinggi.
Pemotongan akar dilakukan pada pukul 09.00 WIB atau siang karena pada waktu inilah
fase pembelahan sel pada tudung akar tumbuhan paku aktif membelah. Akar yang telah dipotong
sepanjang kurang lebih 1 cm‚ kemudian dimasukkan ke dalam larutan FAA yang berfungsi untuk
menghentikan aktivitas pembelahan, sehingga kondisi akar saat pemotongan (fase mitosis) masih
dapat dipertahankan hingga tahap penelitian selanjutnya yaitu pengamatan di bawah mikroskop.
Selanjutnya, potongan akar pada botol vial berisi FAA dicuci sebanyak delapan kali dan
dimasukkan dalam botol vial berisi HCl 1 N dan dilanjutkan dimasukkan dalam waterbath yang
bertujuan untuk melunakkan dinding sel atau jaringan. Setelah dari waterbath, batas antara tudung
akar dengan sel-sel diatasnya akan tampak jelas. Tudung akar akan berwarna lebih putih dibanding
bagian di atasnya dan lebih lunak sehingga mudah dipotong. Dengan lunaknya dinding ini
sehingga zat pewarna (acetocarmin) akan mudah terserap. Dalam penelitian ini dilakukan dengan
perhitungan kromosom pada tahap anafase atau metafase saja. Pemilihan sel dalam pada tahap
metafase atau anafase saja hal ini dimaksudkan agar memudahkan dalam perhitungan jumlah
kromosom. Hal ini dikarenakan bahwa kromosom akan tampak jelas diamati pada fase tersebut.
Menurut Suryo (2010) pada metafase terjadi kondensasi dan penebalan yang maksimal sehingga
kromosom terlihat lebih pendek dan tebal dibandingkan pada fase lainnya serta posisi kromosom
berjajar pada equator, sehingga sangat jelas saat diamati. Sedangkan pada anafase setiap kromatid
dari tiap pasang kromosom berpisah, kemudian bergerak menuju ke kutub yang berlawanan
(Suryo, 2010).
40
Pada penelitian ketiga jenis paku mengalami poliploidi dikarenakan proses penggandaan
kromosom sehingga kromosom meningkat dari jumlah kromosom dasarnya masing – masing yaitu
Pteris vittata sebanyak 29 kromosom Adiantum pedatum sebanyak 30 kromosom dan Dryopteris
sparsa sebanyak 41 kromosom. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, diketahui bahwa
tingkat ploidi pada paku jenis Pteris vittata, Adiantum pedatum, dan Dryopteris sparsa
dipengaruhi oleh ketinggian.. Pada tanaman yang berada di daerah dataran rendah dan sedang,
tingkat ploidinya adalah diploid, sedangkan pada daerah dataran tinggi tingkat ploidinya adalah
triploid . Nakato dalam Setyawati (2000) menjelaskan bahwa faktor ketinggian tempat
berpengaruh pada tumbuhan paku karena adanya kecenderungan sitologi pada tumbuhan paku
yang memiliki tingkat ploidi diploid yang tersebar di daerah yang hangat, sedangkan yang triploid
tersebar di daerah yang lebih dingin.
Ketinggian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi suhu lingkungan. Hal ini
disebabkan adanya suhu rendah pada daerah yang lebih tinggi mampu menghambat pembentukan
benang-benang spindel sehingga kromosom gagal memisah pada saat anafase. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, tipe poliploidi yang dijumpai pada daerah yang memiliki dataran tinggi
adalah triploid. Hal ini sesuai dengan pendapat Perwati (2009), meningkatnya peristiwa poliploidi
dan teradaptasinya tumbuhan berderajat ploidi tinggi pada daerah yang berelevasi tinggi diduga
karena turunnya temperatur. Temperatur dan faktor lingkungan lain yang terkait dengan ketinggian
tempat berperan dalam poliploidisasi tumbuhan .
Menurut Albert, et all dalam Khotimah 2002 proses terjadinya poliploidi diawali dengan
tidak terbentuknya spindel mitotik. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak terjadinya
pembentukan benang spindel terkait dengan perubahan molekul tubulin menjadi mikrotubula yaitu
suhu rendah. Pada akhir pembelahan dihasilkan sel dengan jumlah kromosom yang banyak. Hal
ini sesuai dengan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tumbuhan paku yang berada
didataran rendah dan sedang memiliki tingkat ploidi diploid sedangkan pada dataran tinggi
memiliki tingkat ploidi triploid
Menurut Yadav (2007) terjadinya poliploidi diawali dengan tidak terbentuknya benang
spindel. Mikrotubul yang terdiri dari unit monomer tubulin alfa dan tubulin beta yang akan
berikatan dengan GTP membentuk dimer. Dimer alfa tubulin tidak dapat berikatan dengan GTP
mengalami hidrolisis ,sedangkan dimer beta tubulin dapat berikatan dengan GTP karena setelah
terhidrolisis membentuk GDP dibantu oleh GTP -ase, GDP akan membntuk protofilamen,
41
kumpulan protfilamen ini akan membentuk benang spindel. Tubulin ini akan mengalami
polimerisasi untuk membentuk benang spindel, namun hal itu tidak terjadi karena enzim yang
mengkatalis polimerisasi menjadi tidak aktif. Hal ini terjadi karena seperti yang diketahui bahwa
enzim bekerja pada suhu optimum dan menjadi inaktif pada suhu yang terlalu rendah dan
mengalami denaturasi pada suhu tinggi. Pengaruh suhu pada reaksi enzimatis merupakan suatu
fenomena yang kompleks. Bertambahnya suhu sampai dengan suhu tertentu akan menyebabkan
kenaikan kecepatan reaksi enzim karena bertambahnya energi kinetik yang mempercepat gerak
vibrasi, translasi dan rotasi enzim serta substrat, sehingga memperbesar peluang keduanya untuk
bereaksi. Suhu yang lebih besar dari suhu maksimum akan menyebabkan protein enzim mengalami
perubahanpada substrat juga dapat sehingga gugus reaktifnya mengalami hambatan dalam
memasuki sisi aktif enzim (Suhartono, 1989). Dengan tidak terbentuknya gelendong pembelahan
maka jumlah kromosom mengganda sehingga terjadi poliploidi.
mengalami reduksi (pada individu diploid) maka zigot yang terbentuk tergolong tetraploid (Ayala,
et.al., 1984 dalam Corebima, 2000).
Poliploidi dapat juga terjadi akibat penggandaan jumlah perangkat kromosom di dalam sel-
sel somatik secara spontan. Dalam hal ini replikasi kromosom berlangsung tanpa diikuti oleh
pembelahan sel. Pada individu diploid, kondisi ini dapat menyebabkan terbentuknya kelompok sel
(jaringan) tetraploid yang pada akhirnya akan menghasilkan zigot tetraploid. Tetapi apabila terjadi
pembuahan yang melibatkan suatu gamet haploid, maka akan terbentuk zigot triploid (Ayala,
et.al., 1984 dalam Corebima, 2000).
43
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tidak ada pengaruh perbedaan jenis Pteris vitata, Dryopteris sparsa, Adiantum pedatum
terhadap sebaran individu ploidi tumbuhan paku dari jenis Pteris yang diambil dari tiga
ketinggian berbeda.
2. Ada pengaruh perbedaan ketinggian terhadap sebaran individu ploidi tumbuhan paku dari
jenis Pteris vitata,Dryopteris sparsa, Adiantum pedatum yang diambil dari tiga ketinggian
berbeda.
3. Ada interaksi antara jenis paku (Pteris vittata, Dryopteris sparsa dan Adiantum pedattum)
dengan tempat yang berbeda di daerah Malang.
B. Saran
1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap faktor – faktor lain yang mungkin
dapat mempengaruhi tingkat ploidi Pteris vittata, Dryopteris sparsa dan Adiantum
pedattum
2. Sebaiknya dilakukan penelitian tentang perbedaan ketinggian tempat terhadap variasi
jenis dari Pteris.
3. Untuk menambah pengetahuan tentang tipe kromosom pada tumbuhan paku, maka
perlu dilakukan penelitian yang lebih luas lagi yaitu dengan menggunakan tumbuhan
paku lain selain Pteris vittata, Dryopteris sparsa dan Adiantum pedattum.
4. Untuk menganalisis, sebaiknya lebih teliti karena akan sangat berpengaruh terhadap
hasil yang diperoleh.
44
Daftar Rujukan
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2018. Cuaca Provinsi Daerah Jawa Timur.
(Online) (http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/propinsi/16), diakses tanggal 15 April
2018.
Corebima, A.D. 2000. Genetika Mutasi dan Rekombinasi. Malang: Universitas Negeri Malang.
Corebima , A.D. Fauzi Ahmad.Zubaidah Siti.2016. The Utilization of Ferns as a Model Organism
for Studying Natural Polyploidization Concept in Genetics Course. (Online),
(https://www.researchgate.net/publication/316919646_The_Utilization_of_Ferns_as_a_
Model_Organism_for_Studying_Natural_Polyploidization_Concept_in_Genetics_Cours
e), diakses pada 10 April 2018
Crowder, L.V. 1990. Genetika Tumbuhan. Terjemahan oleh Lilik Kusdiarti. 1988. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Darnaedi. 1995. Survai Kromosom Tumbuhan Paku Liar Di Kebun Raya Bogor. (Online),
(http://Fkatalog.pdii.lipi.go.id/), diakses pada 16 April 2018
Dinas Komunikasi dan Informatika. 2018. Sekilas Malang: Geografis. (Online),
(http://malangkota.go.id/sekilas-malang/geografis/), diakses tanggal 28 April 2018.
Gardner, dkk. 1991. Principle of Genetic. New York : John Wiley and Sons.
Jurcak, J. 1999. A Modification to the Acetocarmin Methode of Chromosome Colouring in the
School Practice. Journal of Biologica, 37(2): 7-14
Khotimah, Husnol. 2002. Studi Tipe Sitologi pada Pteris Tripartita di Daerah Dataran Rendah.
Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang
Moertolo, A. 2004. Keanekaragaman tumbuhan Berpembuluh Tumbuhan Paku. Malang: UGM
Press.
Perwati, L.K. 2009. Analisis Derajat Ploidi dan Pengaruhnya Terhadap Variasi Ukuran Stomata
dan Spora pada Adiantum raddianum. BIOMA, Vol. 11, No. 2, Hal. 39-44
Ritonga. 2010. Analisis Mitosis. (Online) (http://jurnalitb.analisis.mitosis/ritonga.
wordpress.html), diakses tanggal 10 April 2018.
Sastrosumarjo, S. 2006. Panduan Laboratorium. Bogor: IPB Press.
Setyawati, Titim Yudha. 2000. Study Tentang Sebaran Ploidi Pteris Tripartita di Daerah Dataran
Rendah dan Dataran Tinggi. Skripsi tidak diterbitkan. malang : Universitas Negeri
Malang.
45
Suhartono, M.T. 1989. Enzim dan bioteknologi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Antar Universitas Bioteknologi, Institut
Pertanian Bogor.
Sulisetjono. 2010. Taksonomi Tumbuhan. Malang: UM Press.
Suryo. 2010. Genetika Strata I. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Widiyono, dkk. 2004. Kajian Pemanfaatan Lahan DAS Ciliwung dan Cisadane. (Online)
(http://jurnal.kajianpemanfaatan.lahan.das.ciliwung.dancisa dane/widiyono.html),
diakses tanggal 17 April 2018.
Yadav, P.R. 2007. A Text Book of Genetics. New Delhi: Campus Book International.
Zubaidah, S. 1998. Kajian Sitologi Tipe Reproduksi dan Ciri-ciri Morfologi Pteris biaurita Di
Daerah Berketinggian Berbeda. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri
Malang.
46
LAMPIRAN
Tahap Mitosis
Fase Anafase
Dengan Perbesaran
40x10
Dokumen Pribadi
Fase Metafase
Dengan Perbesaran
40x10
Dokumen Pribadi
47