Anda di halaman 1dari 31

17

BAB 2
TINJAUAN TEORITIS BENTUK INSENTIF dan DISINSENTIF UNTUK
MELESTARIKAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA

Dalam merumuskan bentuk insentif dan disinsentif terhadap


keberlanjutan RTH yang akan direkomendasikan terlebih dahulu
perlu diketahui mengenai pengertian-pengertian yang terkait
mengenai ruang terbuka hijau dan pengertian yang berkaitan
mengenai insentif dan disinsentif. Sehingga akan didapatkan
suatu kejelasan dalam memahami pembahasan studi selanjutnya.

2.1 Tinjauan Teoritis Ruang Terbuka Hijau


2.1.1 Pengertian Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka (open spaces) merupakan ruang yang
direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan
aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang terbuka (open
spaces), Ruang Terbuka Hijau (RTH), Ruang publik (public
spaces) mempunyai pengertian yang hampir sama. Secara teoritis
yang dimaksud dengan ruang terbuka (open spaces) adalah:
 Ruang yang berfungsi sebagai wadah (container) untuk
kehidupan manusia, baik secara individu maupun berkelompok,
serta wadah makhluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara
berkelanjutan (UUPR no.24/1992)
 Suatu wadah yang menampung aktivitas manusia dalam suatu
lingkungan yang tidak mempunyai penutup dalam bentuk fisik
(Budihardjo, 1999; 90)
 Ruang yang berfungsi antara lain sebagai tempat bermain aktif
untuk anak-anak dan dewasa, tempat bersantai pasif untuk
orang dewasa, dan sebagai areal konservasi lingkungan hijau
(Gallion, 1959; 282)
 Ruang yang berdasarkan fungsinya sebagai ruang terbuka hijau
yaitu dalam bentuk taman, lapangan atletik dan taman bermain
(Adams, 1952; 156)
18

 Lahan yang belum dibangun atau sebagian besar belum dibangun


di wilayah perkotaan yang mempunyai nilai untuk keperluan
taman dan rekreasi; konservasi lahan dan sumber daya alam
lainnya; atau keperluan sejarah dan keindahan
(Green, 1962)

Beberapa pengertian tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH)


diantaranya adalah:
 Ruang yang didominasi oleh lingkungan alami di luar maupun
didalam kota, dalam bentuk taman, halaman, areal rekreasi
kota dan jalur hijau (Trancik, 1986; 61)
 Ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik
dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area
memanjang/jalur yang dalam penggunaannya lebih bersifat
terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan yang berfungsi
sebagai kawasan pertamanan kota, hutan kota, rekreasi kota,
kegiatan Olah Raga, pemakaman, pertanian, jalur hijau dan
kawasan hijau pekarangan (Inmendagri no.14/1988)
 Fasilitas yang memberikan kontribusi penting dalam
meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, dan merupakan
suatu unsur yang sangat penting dalam kegiatan rekreasi
(Rooden Van FC dalam Grove dan Gresswell, 1983).

Dan pengertian ruang publik (public spaces) adalah suatu


ruang dimana seluruh masyarakat mempunyai akses untuk
menggunakannya. Ciri-ciri utama dari public spaces adalah:
terbuka mudah dicapai oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan-
kegiatan kelompok dan tidak selalu harus ada unsur hijau,
bentuknya berupa malls, plazas dan taman bermain (Carr, 1992).
Jadi RTH lebih menonjolkan unsur hijau (vegetasi)dalam
setiap bentuknya sedangkan public spaces dan ruang terbuka
hanya berupa lahan terbuka belum dibangun yang tanpa tanaman.
Public spaces adalah ruang yang dapat dinikmati oleh seluruh
masyarakat sedangkan RTH dan ruang terbuka tidak selalu dapat
digunakan dan dinikmati oleh seluruh masyarakat.
19

Ruang terbuka hijau membutuhkan perencanaan yang lebih


baik lagi untuk menjaga keseimbangan kualitas lingkungan
perkotaan. Mempertahankan lingkungan perkotaan agar tetap
berkualitas merupakan penjabaran dari GBHN 1993 dengan asas
trilogi pembangunannya yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, dan stabilitas nasional melalui
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup (GBHN, 1993; 94)

2.1.2 Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Kota


Dinas Pertamanan mengkalasifikasikan ruang terbuka hijau
berdasarkan pada kepentingan pengelolaannya adalah sebagai
berikut :
 Kawasan Hijau Pertamanan Kota, berupa sebidang tanah yang
sekelilingnya ditata secara teratur dan artistik, ditanami
pohon pelindung, semak/perdu, tanaman penutup tanah serta
memiliki fungsi relaksasi.
 Kawassan Hijau Hutan Kota, yaitu ruang terbuka hijau dengan
fungsi utama sebagai hutan raya.
 Kawasan Hijau Rekreasi Kota, sebagai sarana rekreasi dalam
kota yang memanfaatkan ruang terbuka hijau.
 Kawasan Hijau kegiatan Olahraga, tergolong ruang terbuka
hijau area lapangan, yaitu lapangan, lahan datar atau
pelataran yang cukup luas. Bentuk dari ruang terbuka ini
yaitu lapangan olahraga, stadion, lintasan lari atau lapangan
golf.
 Kawasan Hijau Pemakaman.
 Kawasan Hijau Pertanian, tergolong ruang terbuka hijau areal
produktif, yaitu lahan sawah dan tegalan yang masih ada di
kota yang menghasilkan padi, sayuran, palawija, tanaman hias
dan buah-buahan.
 Kawasan Jalur Hijau, yang terdiri dari jalur hijau sepanjang
jalan, taman di persimpangan jalan, taman pulau jalan dan
sejenisnya.
20

 Kawasan Hijau Pekarangan, yaitu halaman rumah di kawasan


perumahan, perkantoran, perdagangan dan kawasan industri.

Sementara klasifikasi RTH menurut Inmendagri No.14 tahun


1988, yaitu: taman kota, lapangan O.R, kawasan hutan kota,
jalur hijau kota, perkuburan, pekarangan, dan RTH produktif.
Bentuk RTH yang memiliki fungsi paling penting bagi
perkotaan saat ini adalah kawasan hijau taman kota dan kawasan
hijau lapangan olah raga. Taman kota dibutuhkan karena memiliki
hampir semua fungsi RTH, sedangkan lapangan olah raga hijau
memiliki fungsi sebagai sarana untuk menciptakan kesehatan
masyarakat selain itu bisa difungsikan sebagian dari fungsi RTH
lainnya.

2.1.3 Fungsi Ruang Terbuka Hijau


Kegiatan–kegiatan manusia yang tidak memperhatikan
kelestarian lingkungan hijau mengakibatkan perubahan pada
lingkungan yang akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan
perkotaan. Kesadaran menjaga kelestarian lingkungan hijau pasti
akan lebih baik jika setiap orang mengetahui fungsi RTH bagi
lingkungan perkotaan. fungsi dari RTH bagi kota yaitu: untuk
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan dalam kota
dengan sasaran untuk memaksimumkan tingkat kesejahteraan warga
kota dengan menciptakan lingkungan yang lebih baik dan sehat.
Berdasarkan fungsinya menurut Rencana Pengembangan Ruang
terbuka hijau tahun 1989 yaitu :
1. RTH yang berfungsi sebagai tempat rekreasi dimana penduduk
dapat melaksanakan kegiatan berbentuk rekreasi, berupa
kegiatan rekreasi aktif seperti lapangan olahraga, dan
rekreasi pasif seperti taman.
2. RTH yang berfungsi sebagai tempat berkarya, yaitu tempat
penduduk bermata pencaharian dari sektor pemanfaatan tanah
secara langsung seperti pertanian pangan, kebun bunga dan
usaha tanaman hias.
21

3. RTH yang berfungsi sebagai ruang pemeliharaan, yaitu ruang


yang memungkinkan pengelola kota melakukan pemeliharaan
unusur-unsur perkotaan seperti jalur pemeliharaan sepanjang
sungai dan selokan sebagai koridor kota.
4. RTH yang berfungsi sebagai ruang pengaman, yaitu untuk
melindungi suatu objek vital atau untuk mengamankan manusia
dari suatu unsur yang dapat membahayakan seperti jalur hijau
disepanjang jaringan listrik tegangan tinggi, jalur
sekeliling instalasi militer atau pembangkit tenaga atau
wilayah penyangga.
5. RTH yang berfungsi sebagai ruang untuk menunjang pelestarian
dan pengamanan lingkungan alam, yaitu sebagai wilayah
konservasi atau preservasi alam untuk mengamankan kemungkinan
terjadinya erosi dan longsoran pengamanan tepi sungai,
pelestarian wilayah resapan air.
6. RTH yang berfungsi sebagai cadangan pengembangan wilayah
terbangun kota di masa mendatang.

Fungsi RTH kota berdasarkan Inmendagri no.14/1998 yaitu


sebagai:
1. Areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan
penyangga kehidupan
2. Sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian
dan keindahan lingkungan
3. Sarana rekreasi
4. Pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai
macam pencemaran baik darat, perairan maupun udara
5. Sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi
masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan
6. Tempat perlindungan plasma nutfah
7. Sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro
8. Pengatur tata air
22

Melihat beberapa fungsi tersebut diatas bisa disimpulkan


pada dasarnya RTH kota mempunyai 3 fungsi dasar yaitu:
 Berfungsi secara sosial yaitu fasilitas untuk umum dengan
fungsi rekreasi, pendidikan dan olahraga. Dan menjalin
komunikasi antar warga kota.
 Berfungsi secara fisik yaitu sebagai paru-paru kota,
melindungi sistem air, peredam bunyi, pemenuhan kebutuhan
visual, menahan perkembangan lahan terbangun/sebagai
penyangga, melindungi warga kota dari polusi udara
 Berfungsi sebagai estetika yaitu pengikat antar elemen gedung
dalam kota, pemberi ciri dalam membentuk wajah kota dan unsur
dalam penataan arsitektur perkotaan.

Sangat penting untuk diingat bahwa tumbuhan merupakan


kehidupan pelopor yang menyediakan bahan makanan dan
perlindungan kepada hewan maupun manusia. Sementara untuk kota
di luar negeri taman identik dengan peradaban suatu bangsa,
sehingga mereka sangat memperhatikan masalah pembanguan fungsi,
misalnya Di Italia; terkenal sebagai tempat asal pemusik kelas
dunia memiliki taman dengan ciri khas permainan musik lewat
water orchestra, Di Yunani; orang terkenal gemar memasak dan
mengobati memiliki taman dengan ciri khas kitchen garden, Di
Mesir; taman memiliki ciri khas tanaman herba, rempah-rempah
dan wewangian, di Inggris; taman dengan rumput terpangkas rapi
dengan seni pemangkasan yang terkenal yaitu topiary, di Cina
dan Jepang; dengan tradisi Buddhisme, taoisme merancang taman
yang berfungsi spirit kerohanian dengan ciri khas taman adalah
air, batu dan bukit-bukitan (Kompas, April, 2001) dan di Sydney
yang berpenduduk asli suku Aborigin menganggap tanah dan alam
bagian dari hidup mereka, jadi pemerintah membangun taman
nasional (suaka alam) dengan mempekerjakan masyarakat sekitar
sebagai pengelola taman dan setelah itu mengembalikannya kepada
penduduk tradisional sepenuhnya, lalu pemerintah menyewa taman
tersebut dari penduduk, sehingga sehingga kedua pihak
mengelolanya bersama (Kompas, September, 2000).
23

2.1.4 Kebutuhan Lahan RTH Kota


Untuk menciptakan kota yang ramah terhadap lingkungan di
butuhkan suatu usaha untuk menciptakan keseimbangan pembangunan
kebutuhan lahan RTH yang disesuaikan dengan kepadatan penduduk
dan aktivitas kota. Dengan mempertimbangkan bahwa penduduk
adalah merupakan isi(content) objek dan subjek pembangunan,
maka ada baiknya merencanakan RTH disesuaikan dengan jumlah
penduduk dan aktivitas kota. Pedoman di dalam memenuhi
kebutuhan akan RTH kota antara lain:
Pedoman PU Cipta Karya, yaitu:
 Setiap 250 penduduk, minimal 1 taman, luas sekurang-kurangnya
250 m2 (1 m2/p)
 Kelompok masyarakat berpenduduk 2.550 jiwa, dibutuhkan
aktivitas olah raga, voli, dengan standar 0,5 m2/p
 Taman untuk 3.000 penduduk di butuhkan lapangan olah raga,
upacara, untuk peneduh ditanam pepohonan, standar 0,3 m2/p
 Taman Olah Raga untuk 120.000 penduduk, minimal satu lapangan
hijau terbuka, yang lengkap seperti tenis, basket, kamar
pengganti, WC umum, standar 0,2 m2/p
 Taman Olah Raga 480.000 penduduk, berbentuk stadion, taman
bermain, area parkir, bangunan fungsional, standar 0,3 m2/p
 Jalur hijau, loaksinya menyebar, sebagai filter industri,
kawasan penyangga, dengan standar 15 m2/p
 Lahan perkuburan, ditentukan berdasarakan tingkat kematian
dan menurut kebutuhan sesuai dengan agama/kepercayaan

Dengan pedoman tersebut rata-rata kebutuhan RTH kurang


lebih 17,3 m2/p. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
2.1 sebagai berikut:
24

Tabel 2.1
Kebutuhan RTH menurut PU Cipta Karya
Penduduk Jenis RTH Luas X
(orang) (m2) (m2)
250 1 taman 250 1.0
2.500 1 sarana Olah raga 1.250 0.5
30.000 taman dan Lap. O.R 9.000 0.3
120.000 Taman dan Lap.O.R 24.000 0.2
480.000 Taman dan Lap.O.R 144.000 0.3
Jalur hijau 15.0
Perkuburan
TOTAL 17,3
Sumber: Standar PU,1987

2.1.5 Ruang Terbuka Hijau sebagai Barang Publik


Pada umumnya barang dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
barang publik (public goods) dan barang pribadi (private
goods). Barang publik adalah barang yang disediakan oleh
pemerintah yang dibiayai melalui anggaran belanja negara tanpa
melihat siapa yang melaksanakan pekerjaannya (Mangkoesoebroto,
1994: 3). Barang ini tidak disediakan oleh sistem pasar. Barang
publik memiliki ciri sebagai berikut:
1. Dalam penggunaanya tidak dapat dikecualikan.
2. Tidak ada persaingan dalam memperolehnya
3. Tidak dapat ditentukan nilai kesukaanya sehingga tidak ada
yang mau menyediakanya (disediakan oleh pemerintah).

Barang publik ada dua yaitu barang publik murni dan barang
publik campuran. Barang publik murni yaitu jika barang tersebut
dalam penggunaanya tidak ada pengecualian dan tidak ada
persaingan. Barang publik campuran yaitu bila barang dalam
penggunaannya tidak ada pengecualian, namun dalam mengkonsumsi
bersama dapat terjadi kepadatan, contohnya taman dan taman olah
raga.
Jumlah penduduk yang meningkat dengan pesat terutama di
kota-kota besar berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan
barang publik (Sidarta, 1993: 20). Barang publik yang dimaksud
dalam hal ini adalah prasarana dan sarana, fasilitas sosial dan
fasilitas umum yang dibutuhkan oleh suatu kota. Peningkatan
25

kebutuhan tersebut sering kali tidak dapat dipenuhi secara baik


oleh pemerintah setempat mengingat keterbatasan yang dimiliki
terutama dalam masalah pendanaannya.

2.2 Perubahan Pemanfaatan Lahan Perkotaan


Perkembangan kota yang cepat menyebabkan kebutuhan akan
lahan perkotaan meningkat, ini sering ditandai dengan perubahan
terhadap pemanfaatan lahan di perkotaan. Perubahan pemanfaatan
lahan dapat mengacu kepada kedua hal, yaitu perubahan
pemanfaatan lahan sebelumnya, atau perubahan pemanfaatan yang
mengacu kepada rencana tata ruang. Perubahan yang mengacu pada
pemanfaatan lahan sebelumnya adalah suatu pemanfaatan baru atas
lahan yang berbeda dengan pemanfaatan lahan yang sebelumnya,
sedangkan perubahan yang mengacu pada rencana tata ruang adalah
pemanfaatan baru atas lahan tidak sesuai dengan yang ditentukan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah disahkan
(Permendagri No.4/1996 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Kota,
Psl 1.f).

2.2.1 Jenis Perubahan Pemanfaatan Lahan


Gejala perubahan pemanfaatan lahan perkotaan terdiri atas
beberapa jenis perubahan. Jenis perubahan pemanfaatan lahan
(Zulkaidi, 1999; hal.) antara lain yaitu:
1. perubahan fungsi(use); perubahan fungsi adalah perubahan
jenis kegiatan
2. perubahan intensitas mencakup perubahan KDB, KLB, kepadatan
bangunan, dan
3. perubahan teknis massa bangunan (bulk) mencakup perubahan
Garis Sempadan Bangunan (GSB), tinggi bangunan, dan perubahan
minor lainnya yang tanpa mengubah fungsi dan intensitasnya.

2.2.2 Faktor Penyebab Perubahan Pemanfaatan Lahan di Perkotaan.


Perkembangan manusia mengalami evolusi sama halnya dengan
kota. Kota mengalami proses evolusi melibatkan yang modifikasi
dari fungsi yang sudah lama maupun melibatkan penambahan fungsi
26

baru (Colby; 1959: 287). Pada proses evolusi ini Colby (Nelson,
dalam Bourne, 1971: 77-78) dan Daldjoeni N. (1987: 161)
mengidentifikasi 2 gaya berlawanan yang mempengaruhi
pembentukan dan perubahan pemanfaatan lahan yaitu:
A. Gaya Sentrifugal, yaitu gaya yang mendorong gerak keluar
dari penduduk dan berbagai usahanya, lalu terjadi dispersi
kegiatan manusia dan relokasi sektor-sektor dan zone-zone
kota (fungsi-fungsi berpindah dari pusat kota menuju
pinggiran); Yang mendorong gerak sentripugal ini adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatnya kemacetan lalu lintas, polusi dan gangguan
bunyi menjadikan penduduk kota merasa tak enak bertempat
tinggal dan bekerja di kota
2. Industri modern di kota memerlukan tanah-tanah yang
relatif kosong di pinggiran kota dimana dimungkinkan
pemukiman yang tak padat penghuninya, kelancaran lalu
lintas kenderaan, kemudahan parkir mobil.
3. Nilai lahan yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan
di tengah kota, pajak dan keterbatasan berkembang.
4. Gedung-gedung bertingkat di tengah kota tak mungkin lagi
di perluas; hal ini berlaku juga untuk perindustrian
terutama dengan biaya yang sangat tinggi.
5. Perumahan di dalam kota pada umumnya serba sempit, kuno
dan tak sehat; sebaiknya rumah dapat dibangun lebih luas,
sehat dan bermodel di luar kota.
6. Keinginan penduduk kota untuk menghuni wilayah luar kota
yang terasa serba alami.

B. Gaya Sentripetal, yaitu mendorong gerak kedalam dari


penduduk dan berbagai usahanya sehingga terjadilah pemusatan
(konsentrasi) kegiatan manusia. Hal yang mendorong gerak
sentripetal adalah sebagai berikut:
1. Daya tarik (fisik) tapak (kualitas lansekap alami)
misalnya lokasi dekat pelabuhan atau persimpangan jalan
27

amat strategis bagi industri yang bertempat umumnya di


tengah kota.
2. Kenyamanan fungsional (aksesibilitas maksimum), misalnya
berbagai perusahaan dan bisnis akan menyukai lokasi yang
jauh dari stasiun kereta api dan terminal
3. Daya tarik fungsional (satu fungsi menarik fungsi
lainnya), misalnya kecenderungan tempat praktek ahli
hukum, penjahit, pedagang, pengecer saling berdekatan,
adany tempat untuk olah raga, hiburan dan seni budaya yang
dapat dikunjung1 pada waktu senggang menjadikan orang suka
bertempat tinggal di daerah tersebut, keinginan untuk
berumah tangga dan bekerja di dalam kota dengan
mempertimbangkan jarak tempuhnya.
4. Gengsi fungsional (reputasi jalan atau lokasi untuk fungsi
tertentu), misalnya terjadi pusat-pusat khusus untuk
macam-macam pertokoan yang membuat orang bangga bertempat
tinggal di dekat daerah tersebut.
5. Kelompok gedung yang sejenis fungsinya seperti perumahan
flat, perkantoran ikut menurunkan harga tanah atau pajak
serta sewa

Colby menyadari selain kedua gaya tersebut, ada faktor


lain yang merupakan hak manusia untuk memilih, yaitu faktor
persamaan manusiawi (human equation). Faktor ini dapat bekerja
sebagai gaya sentripetal maupun sentripugal, misalnya: pajak
bumi dan bangunan (PBB) di pusat kota yang tinggi dapat membuat
seseorang pindah dari pusat kota (gaya sentripugal) karena
kegiatannya yang tidak ekonomis tetapi dapat menahan atau
menarik orang lainnya untuk tinggal (gaya sentripetal) karena
kuntungan yang diperoleh dari kegiatannya masih lebih besar
dari pajak yang harus dibayar.
28

Berdasarkan hasil studi yang pernah dilakukan Suryadini


(1994) terhadap perubahan RTH di Bandung, maka faktor penyebab
perubahan RTH adalah sebagai berikut:
1. Terbatasnya lahan yang hendak dibangun pada daerah RTH
yang mengalami perubahan.
2. Kebutuhan akan pemenuhan fasilitas yang ingin dibangun
untuk melayani penduduk
3. Kurangnya pengawasan dari pemerintah terhadap perubahan
RTH
4. Tingkat pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap
tingkat kebutuhan akan RTH, seperti penjelasan berikut:
 Masyarakat tingkat pendapatan rendah: membutuhkan RTH
sebagai sarana membina hubungan sosial antar keluarga
karena keterbatasan luas rumah yang sempit, kebuthan RTH
bukan merupakan kebuthan langsung yang dapat dirasakan
sehingga menimbulkan ketidak pedulian terhadap ada atau
tidak adanya penyediaan RTH
 Masyarakat tingkat pendapatan sedang: membutuhkan RTH
untuk kenyamanan terhadap lingkungannya, sehingga
kebutuhan RTH sudah menjadi kebutuhan yang dipentingkan
 Masyarakat tingkat pendapatan tinggi: membutuhkan RTH
karena sebagai kepentingan aspek visual dan estetika,
sehingga kebutuhan akan RTH sudah menjadi kebutuhan utama
untuk kegunaan spiritual, keindahan dan kenyamanan
(Erowati, 1988).
5. Konsekuensi dari lokasi yang strategis secara ekonomis
dan produktif yang dapat meningkatkan nilai lahan.

Berdasarkan teori-teori tentang perubahan terhadap


pemanfaatan lahan termasuk perubahan terhadap pemanfaatan lahan
RTH dan berdasarkan hasil survey sementara yang dilakukan
dilapangan maka faktor-faktor yang menyebabkan perubahan RTH
adalah seperti terlihat pada tabel 2.2:
29

Tabel 2.2
Faktor Yang Menyebabkan Perubahan RTH
Sumber Literatur Survey Sementara di Lapangan Keputusan Faktor Penyebab
Perubahan RTH
1. Menurut Colby Berdasarkan survey di lapangan:  Lokasi RTH yang
(1959)  Luas RTH yang potensial Strategis
 Daya tarik (lebih besar dari 1000 m2);  Luas RTH yang
lokasi Yang untuk dapat melakukan Potensial
Strategis berbagai kegiatan-kegiatan.  Akses untuk mencapai
 Aksesibilitas  Hubungan dengan Harga lahan ke lokasi
maksimum ke di lingkungan sekitar RTH;  Ketidakadaan lahan
lokasi untuk mengetahui apakah kosong
 Keuntungan yang harga lahan mempengaruhi  Kebutuhan akan
didapatkan dari dalam melakukan perubahan pemenuhan fasilitas
perubahan lebih terhadap RTH  Pengawasan Pemerintah
besar dari  Kegiatan yang berlangsung di terhadap perubahan
pajak yang RTH; ada tidaknya kegiatan  Keuntungan yang
dikenakan yang berlangsung di RTH didapatkan dari
2. Menurut untuk berbagai kegiatan oleh perubahan pemanfaatan
Suryadini masyarakat berpengaruh lahan
(1994) terhadap keinginan untuk  Harga lahan yang
 Lokasi RTH yang melakukan perubahan. tinggi
strategis  Status lahan RTH; untuk  Kegiatan yang
 Keterbatasan mengetahui apakah status berlangsung di RTH
Lahan kosong kepemilikan lahan  Status kepemilikan
 Kebutuhan mempengaruhi pelaku dalam lahan
Pemenuhan melakukan perubahan  Kebijakan pemerintah
fasilitas untuk  Kebijakan Pemerintah yang terkait dengan
melayani terkait dengan perubahan; perubahan
masyarakat untuk melihat apakah  Pengetahuan akan
 Kurangnya perubahan dipengaruhi oleh fungsi RTH
pengawasan adanya kebijakan pemerintah
 Motivasi melakukan
Pemerintah terhadap kegiatan
perubahan
terhadap  Pengetahuan akan fungsi RTH;
perubahan untuk melihat pengetahuan
pelaku akan fungsi RTH
mempengaruhi dalam melakukan
perubahan RTH
 Motivasi dalam melakukan
perubahan; untuk mengetahui
yang menjadi motivasi pelaku
dalam melakukan perubahan
terhadap RTH

Sumber: Literatur dan Survey Lapangan, 2002

2.2.3 Permasalahan dalam Perubahan Pemanfaatan Lahan


Permasalahan dalam perubahan pemanfaatan lahan dapat
ditimbulkan oleh peran pasar dan pelaku pembangunan. Keadaan
ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Permasalahan Yang Ditimbulkan Oleh Peran Pasar
Permasalahan yang sering timbul adalah bahwa perubahan
pemanfaatan lahan cenderung didominasi oleh peran pasar
(market forces) pada suatu perkembangan kota (Kivell,
1993:33). Permasalahan yang terjadi antara lain:
30

 Penggunaan lahan terkesan sembarangan dan tidak terencana


sehingga penggunaannya tidak optimal
 Bila mekanisme pasar dipengaruhi oleh tekanan pasar, maka
hal itu akan menghambat pemerintah dalam penyediaan barang
publik.
 Adanya kelompok-kelompok pemilik lahan yang bermodal besar
akan mendominasi kelompok-kelompok yang lebih lemah
lainnya.
 Dampak eksternalitas negatif dibebankan pada pemerintah
daerah dan masyarakat luas, seperti kemacetan lalu lintas,
menurunnya kualitas lingkungan akibat polusi udara dan
suara.
2. Permasalahan Yang Ditimbulkan Pelaku Pembangunan
Perubahan pemanfaatan lahan sering menimbulkan konflik
antar pihak yang berkepentingan; konflik yang di maksud adalah
ketidak sesuaian dan ketidaksetujuan antara dua pihak atau
lebih terhadap suatu atau lebih masalah (David, 1995: 246).
Pihak yang menuntut perubahan pemanfaatan lahan
(developer/swasta) biasanya telah memperhitungkan keuntungan
yang akan diperolehnya, tetapi sering tidak memperhitungkan
dampak eksternalitas negatif terhadap pihak lain, atau bila
disadaripun pihak swasta tidak mau menanggunganya. Di sisi lain
pemerintah kota sangat berkepentingan terhadap perubahan
pemanfaatan lahan karena harus berhadapan langsung terhadap
dampak negatif perubahan pemanfaatan lahan terhadap penataan
dan pelayanan kota secara keseluruhan. Pihak lain yang yang
sering kali menderita terkena dampak/eksternalitas negatif
perubahan pemanfaatan lahan ini adalah masyarakat, seperti
kesemerawutan wajah kota, berkurangnya kenyamanan dan privasi.
Berubahnya pemanfaatan lahan kota, baik yang direncanakan
maupun yang tidak direncanakan, dapat menimbulkan beberapa
persoalan perkotaan. Bila terdapat kesesuaian antara
kebijaksanaan rencana tata ruang dengan kebutuhan pasar, maka
perubahan pemanfaatan lahan yang direncanakan dapat berjalan
dengan baik, bila yang terjadi sebaliknya akan menimbulkan
31

persoalan, kemungkinan persoalan perubahan atau pergeseran


pemanfaatan lahan yang dapat terjadi dapat di lihat pada tabel
2.3:

Tabel 2.3
Hubungan Rencana Pemanfaatan Lahan dan Tuntutan Pelaku Pasar dalam Perubahan Pemanfaatan Lahan
Rencana Tuntutan Pemanfaatan Lahan dari Pelaku Pasar
Peruntukan Berubah Tidak berubah
Lahan
Kasus tipe 1a: Kasus tipe 2:
Ada perubahan peruntukan Ada perubahan peruntukan lahan,
B e r u b a h

lahan yang sesuai dengan tetapi tidak sesuai dengan


tuntutan perubahan pemanfatan keinginan pelaku yang ingin
lahan dari pelaku mempertahankan pemanfaatan
Kasus tipe 1b: lahan yang ada
Ada perubahan peruntukan
lahan tetapi tidak sesuai
dengan tuntutan perubahan
pemanfaatan lahan dari pelaku
Kasus tipe 3: Kasus tipe 4:
Ada tuntutan perubahan Tidak ada tuntutan perubahan
Berubah

pemanfaatan lahan dari pelaku pemanfaatan lahan maupun


Tidak

yang tidak sesuai dengan rencana perubahan peruntukan


(rencana) peruntukan lahan lahan

Sumber: Zulkaidi, 1999

2.3 Pengendalian Perubahan Pemanfaatan Lahan Perkotaan


Pergeseran pemanfaatan lahan merupakan proses alamiah yang
dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan ekonomis dalam memilih
lokasi. Seringkali pertimbangan individu tidak mempertimbangkan
kepentingan umum atau peraturan yang berlaku. Dalam hal
perubahan pemanfaatan tersebut maka pemerintah harus mempunyai
prosedur yang jelas dan efektif untuk mengendalikan perubahan
lahan tersebut. Pergeseran pemanfaatan lahan pada dasarnya
dapat terjadi akibat kurang tegasnya pengendalian pemanfaatan
lahan.

2.3.1 Bentuk Pengendalian Terhadap Perubahan Pemanfaatan Lahan


1. Pengendalian Pemanfaatan Lahan Menurut Pasal 17 UUPR No. 24
Tahun 1992
Penjelasan pasal 17 UUPR no. 24 tahun 1992, pengendalian
pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan
dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang serta melalui
32

mekanisme perijinan bagi wilayah daerah tingkat II. Kegiatan


pengendalian adalah merupakan salah satu piranti manajemen.
Untuk lebih jelasnya pengertian dari penjelasan pasal 17 UU no.
24/1992 (Ibrahim, 1998) adalah:
A. PENGAWASAN:
Bentuk kegiatan dalam menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang
dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang
yang dilakukan dalam bentuk:
 Pelaporan: Dilakukan memberikan informasi secara objektif dan
berkala tentang pemanfaatan ruang yang dapat juga dilakukan
oleh masyarakat sebagai kontrol sosial.
 Pemantauan: Dilakukan dengan mengamati, mengawasi dan
memeriksa dengan cermat perubahan kualitas ruang dan
lingkungan termasuk penilaian perijinan yang telah diberikan
kepada pelaku pembangunan.
 Evaluasi: Dilakukan dengan menilai kemajuan kegiatan
pemanfaatan ruang dikaitkan dengan kondisi rencana tata ruang
yang ada.
B. PENERTIBAN:
Kegiatan penertiban yang dilakukan di kawasan perkotaan
adalah:
 Membuat surat peringatan/teguran dalam hal pelaksanaan
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
kawasan perkotaan
 Memeberikan sanksi dalam hal tidak efektifnya surat teguran
melalui prosedur hukum yang berlaku.

2. Pengendalian Bentuk Insentif dan Disinsentif Menurut UUPR


No. 24 Tahun 1992
Bentuk insentif yang disebutkan dalam UUPR adalah insentif
ekonomi dilakukan melalui tata cara pemberian kompensasi atau
imbalan dan insentif fisik melalui pembangunan atau pengadaan
prasarana dan sarana untuk melayani pengembangan kawasan sesuai
dengan rencana tata ruang. Sedangkan bentuk disinsentif yang
33

disebutkan dalam UUPR adalah pengenaan pajak yang tinggi atau


pembatasan ketersediaan prasana (penjelasan Ps.16: 1).
Insentif dan disinsentif merupakan salah satu mekanisme
pengendalian yang dapat diterapkan dalam pembangunan. Kelemahan
mekanisme pengendalian pembangunan (Development Control), hal
ini disebabkan:
Pemda tidak mempunyai akses terhadap rencana-rencana
pembangunan sektoral yang dibuat dan ditentuka oleh pusat.
Rencana-rencana yang telah disusun bisa berubah total akibat
adanya investasi berskala besar yang tidak diduga sebelumnya.
Pelanggaran terhadap Rencana Tata Ruang yang ada, jarang
sekali dkenai teguran, paksaan (enforcement) dan sanksi. Bagi
yang mentaati peraturan tidak diberi penghargaan, akibatnya
para pelaku pembangunan cenderung untuk membangun sesuai dengan
kehendak dan kepentingan sendiri yang mengabaikan kepentingan
umum, dengan tidak adanya sistem insentif dan disinsentif
kecendrungan tersebut semakin merebak dari waktu ke waktu.

3. Pengendalian Perubahan Pemanfaatan Lahan Berdasarkan Teori


Para Ahli
Pengendalian terhadap perubahan RTH yang dapat dilakukan
sebelum perubahan tersebut terjadi adalah dengan melakukan
tindakan pencegahan terhadap perusakan lingkungan (Philips,
1995:67) yaitu:
 Merancang suatu benteng beton dan benteng baja didaerah yang
sering mengalami tindakan pengerusakan.
 Membersihkan daerah yang terkesan kumuh melalui pemerintah
harus menyediakan perumahan bagi masyarakat.
 Memberikan fasilitas penerangan pada daerah yang gelap yang
dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan pengerusakan.
 Membuat suatu laporan perusakan lingkungan sebagai
dokumentasi terhadap tindakan perusakan ang dapat dilaporkan
kepada pihak keamanan dan pihak asuransi terkait.
 Membentuk akses keamanan seperti alaram, penjaga, pemagaran
dan akses terhadap patroli keamanan
34

 Publisitas, mempublikasikan nama pelaku perusak pada koran


lokal tentang tindakan yang dilakukan tersebut, jika
memungkinkan beserta dengan nama keluarga sehingga mencegah
tindakan perubahan
 Membentuk suatu program di akademis seperti sekolah yang
melibatkan pihak akademis untuk melakukan pembinaan terhadap
pelaku perusakan.

Bentuk pengendalian lain terhadap perubahan akibat


pembangunan adalah adalah memberikan denda terhadap pembangunan
(Development Charge). Umumnya Development Charge dapat di
bayarkan pada keadaan sebagai berikut (Yuan, 1987:4):
 Jika ada peningkatan pembangunan kawasan terbangun diatas
maksimum kepadatan yang direncanakan dalam rencana induk kota
(Master Plan)
 Jika ada peningkatan rasio pembangunan kawasan tidak
terbangun diatas ratio yang ditetapkan dalam renca induk kota
 Ketika ada kegiatan pembangunan peremajaan kembali, suatu
kawasan menjadi kawasan yang nilai lahannya lebih tinggi
 jika terjadi kombinasi dari ketiga contoh diatas.

Bentuk pengendalian Pembangunan di kawasan perkotaan yang


sering digunakan antara lain adalah plot ratio dan ketinggian
bangunan. Plot ratio digunakan sebagai alat untuk regulasi
insentif dan disinsentif pembangunan melalui ketentuan bonus
dan ketinggian bangunan. Kriteria tertentu yang harus dipenuhi
dalam penerapan plot ratio dan ketinggian bangunan yaitu:
 Tidak melanggar ketentuan yang ada, seperti masterplan dan
kebijaksanaan yang ada
 Berusaha mewujudkan konsep rencana yang telah ditetapkan
 Mengoptimalkan lahan
 Selaras dengan perkembangan lingkungan
 Memperhatikan kendala teknis, seperti misalnya kendala
airport, jalur microwave, zone bebas polusi
35

 Memperhatikan aspek urban design, seperti karakteristik dan


daerah konservasi.

2.4 Bentuk Pelanggaran Pemanfaatan Tata Ruang


Perubahan pemanfaatan guna lahan yang terjadi sering
merupakan hal penyimpangan dari pemanfaatan guna lahan yang
telah di tentukan dalam rencana tata ruang. Tindakan
penyimpangan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh masyarakat
dan swasta merupakan pelanggaran peraturan pemanfaatan tata
ruang.
1. Pelanggaran Karena Regulasi/Peraturan
Bentuk-bentuk pelanggaran dalam pemanfaatan tata ruang
(Ariyanti, 2000:18), dengan bentuk yaitu:
 Pelanggaran fungsi, yaitu pemanfaatan lahan atau persil dan
bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi yang telah
ditetapkan dalam rencana tata ruang.
 Pelangggaran luas peruntukan, yaitu pemanfaatan ruang telah
sesuai dengan fungsinya, tetapi luas pemanfaatan tidak sesuai
dengan luas peruntukan yang telah ditetapkan dalam rencana
tata ruang.
 Pelanggaran persyaratan teknis, yaitu pemanfaatan lahan yang
telah sesuai dengan fungsi, tetapi persyaratan teknis tidak
sesuai dengan luas peruntukan yang telah ditetapkan dalam
rencana tata ruang.
 Pelanggaran bentuk pemanfaatan, yaitu pemanfaatan ruang yang
telah sesuai dengan fungsi, tetapi bentuk (untuk penggunaan
berupa bangunan) pemanfaatan tidak sesuai dengan arahan
rencana tata ruang (bentuk umum bangunan).
2. Pelanggaran Karena Pelaku
Penyimpangan atau pelanggaran pemanfaatan lahan yang
mengakibatkan perubahan pemanfaatan mungkin disebabkan oleh
beberapa kelompok pelaku, yaitu:
 Masyarakat pengguna langsung, karena ketidaktahuan atau
ketidaksengajaan, karena kebutuhan yang mendesak atau
36

kenginan tertentu, masyarakat secara sadar membangun


persilnya melanggar ketentuan ijin yang telah ada.
 Instansi pemberi ijin, dalam pemberian ijin pembangunan.
Instansi yang berwenang menerbitkan ijin harus mengacu pada
rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Disesabkan oleh
suatu hal, pemberi ijin menerbitkan ijin pembangunan yang
tidak sesuai dengan pemanfaatan ruang telah direncanakan.
Dalam hal ini kegiatan pembangunan oleh masyarakat tidak
dapat disalahkan dan diberikan sanksi yang merugikan
masyarakat pembangunan. Pengaturan pemanfaatan ruang atau
rencana tata ruang; kurang jelasnya atau ketiadaan aturan
yang rinci dan tegas dari rencana tata ruang yang ditetapkan.
Hal ini mengakibatkan kesalahan dalam pemberian ijin
pembangunan sehingga ijin yang diberikan kadang tidak dapat
memberikan ketegasan aturan.

2.5 Faktor Pendorong Meningkatnya Kebutuhan Ruang Terbuka


Suatu tendensi umum bahwa peranan ruang-ruang terbuka
sebagai tempat rekreasi semakin penting bagi kehidupan kota,
dan kebutuhan akan fasilitas-fasilitas tersebut terus
meningkat. Banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi
tendensi tersebut (Pribadi, 1968), yaitu:
1) Faktor Pertambahan jumlah penduduk
Proses urbanisasi yang tinggi menyebabkan meningkatnya
jumlah fasilitas-fasilitas yang harus disediakan bagi
masyarakat termasuk ruang-ruang terbuka. Marion Clowsor
mengatakan bahwa efek multiplikatif daripada pertambahan
penduduk itu terhadap pertambahan ruang-ruang terbuka lebih
kurang ekivalen, artinya setiap kelipatan jumlah penduduk
akan mengakibatkan kelipatan yang sama pada jumlah ruang
terbuka yang di butuhkan.
2) Bertambahnya waktu-waktu luang
Bertambahnya waktu luang mengakibatkan semakin besarnya
kesempatan untuk berekreasi. Waktu luang yang tren digunakan
saat ini adalah bersifat outdoor (di luar ruangan), tetapi
37

karena keterbatasan ruang terbuka maka cenderung yang


terjadi indoor (di dalam ruangan).
3) Kemampuan penduduk yang menurun untuk meyediakan fasilitas-
fasilitas rekreasi di luar sendiri
Mayoritas masyarakat Indonesia mengalami penurunan real
income menyebabkan kemampuan untuk mengeluarkan biaya
rekreasi otomatis juga menurun. Harga lahan yang terus
meningkat di dalam kota, menyebabkan penduduk tidak mampu
menyediakan fasilitas-fasilitas rekreasi di luar bagi
dirinya sendiri. Jadi pemerintaah kota harus dapat
menyediakan lebih banyak ruang terbuka untuk umum.
4) Intensifikasi pembangunan kota
Daerah perumahan yang padat dan kondisi buruk, mendesak
untuk berekreasi di rumah berkurang dan penduduk
menginginkan untuk banyak variasi/rekreasi di luar rumah
mereka.
5) Bertambahnya bentuk-bentuk rekreasi yang di
butuhkan/dilakukan penduduk
Bentuk rekreasi yang semula di rumah berkembang menjadi
rekreasi keluar lingkungan rumah hingga menjadi suatu
kebutuhan untuk menikmati lingkungan yang asri dan indah.
6) Mobilitas penduduk yang semakin besar.
Pergerakan yang mudah dalam mencapai tempat rekreasi di
dalam kota menyebabkan keinginan masyarakat melakukan
perjalanan ketempat-tempat yang mereka inginkan.

Berdasarkan teori yang menekankan pentingnya RTH dan


perlunya peningkatan akan ruang terbuka serta berangkat dari
hasil survei sementara yang dilakukan di lapangan maka
beberapa faktor yang mendukung terhadap tindakan mempertahankan
RTH adalah seperti terlihat pada tabel 2.4:
38

Tabel 2.4
Faktor Pendukung Mempertahankan RTH
Literatur Survey Sementara di Lapangan Keputusan Faktor
Pendukung
Mempertahankan RTH
1)Menurut De Berdasarkan survey di Lapangan:  Lokasi RTH yang
Chiara (1982)  Lokasi RTH yang strategis; lokasi strategis
Luas RTH ; yang berada dekat lingkungan  Kondisi RTH
Luas RTH masyarakat dan mudah dicapai  Status Kepemilikan
dianggap  Kondisi RTH; kondisi RTH yang lahan RTH
penting dalam terpelihara dan terawat merupakan  Pemanfaatan taman
pengembangan gambaran adanya keinginan RTH di masyarakat
untuk kegiatan mempertahankan RTH  Pengetahuan akan
di RTH  Status Kepemilikan lahan RTH fungsi RTH
2)Menurut  Pemanfaatan taman atau RTH di  Kegiatan yang
Pribadi (1968) lingkungan masyarakat berlangsung di RTH
Pemenuhan  Pengetahuan akan fungsi RTH  Pendanaan
kebutuhan  Kegiatan yang berlangsung di RTH; pemeliharaan
masyarakat; dengan adanya kegiatan di RTH sepeti terhadap RTH
bentuk untuk taman bermain, berolah raga,  Keuntungan ekonomi
kebutuhan bersantai atau kegiatan seremonial dari mempertahankan
untuk tertentu merupakan bentuk adanya RTH
menikmati perhatian akan terhadap keberadaan  Usaha pemenuhan
lingkungan RTH tersebut kebutuhan
yang asri dan  Pendanaan pemeliharaan terhadap RTH; masyarakat
indah, tempat adanya dana untuk memelihara RTH
berekreasi.  Pengetahuan
 Keuntungan ekonomi yang didapatkan mengenai peraturan
dari tindakan mempertahankan RTH; pelestarian
untuk melihat apakah ada keuntungan  Bentuk perhatian
yang didapatkan dari tindakan pemerintah terhadap
mempertahankan RTH mempertahankan RTH
 Usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat  Keinginan melakukan
 Pengetahuan mengenai peraturan perubahan RTH suatu
pelestarian saat
 Bentuk perhatian pemerintah terhadap
tindakan mempertahankan
 Keinginan melakukan perubahan RTH
suatu saat

Sumber: Literatur dan Survey Lapangan, 2002

2.6 Pengertian Insentif dan Disinsentif dalam Pelestarian Ruang


Terbuka Hijau
Bandung dalam melaksanakan kegiatan penghijauan adalah
merupakan bentuk partisipasi pemerintah, peran swasta dan peran
serta masyarakat. Pemikiran tersebut berkembang didasarkan GBHN
1993 bahwa dalam pembangunan jangka panjang tahap ke II semakin
diarahkan dan ditumbuh kembangkan melalui kegiatan dunia usaha.
Berkaitan dengan itu merupakan pendorong bagi setiap orang
untuk dapat mengembangkan usahanya diberbagai bidang yang
mendukung terhadap peningkatan pendapatan daerah.
39

2.6.1 Landasan Teori Insentif dan Disinsentif


Untuk mengantisipasi perkembangan yang tidak terkendali
dalam pembangunan perkotaan yang mengambil lahan RTH perlu
dilakukan pengembangan perangkat disinsentif, yaitu: untuk
mengurangi dan menghambat perkembangan kegiatan yang
bertentangan dengan rencana tata ruang dalam bentuk tidak
diberikan ijin lokasi dan ijin pendirian bangunan, serta ijin
usaha, pengenaan pajak yang tinggi, tidak dibangun fasilitas
umum berupa jalan, jaringan listrik, air minum, telepon dan
fasilitas kota lainnya (Aliusin, 1996).
Untuk tujuan jangka panjang yang ideal dalam peningkatan
kualitas perencanaan dengan menegakkan development control
perlu dilengkapi dengan perangkat sanksi (disinsentif) buat
yang melanggar dan bonus (insentif) bagi mereka yang taat pada
peraturan. Hal ini cukup ampuh untuk membenahi kembali
pembangunan perkotaan yang semula jungkir balik, sistem
penghargaan dan sanksi ini mesti diterapkan. Para pengembang
yang melanggar peraturan dikenai sanksi, dan yang patuh diberi
penghargaan, misalnya: kemudahan perijinan, tambahan fasilitas
pendukung dan keringanan pajak (Budiharjo, 1997: 18).
Dalam Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan
Ruang dikenal istilah insentif dan disinsentif bagi penataan
ruang. Disesuaikan dengan kasus pelestarian, maka yang dimaksud
dengan perangkat insentif adalah pengaturan yang bertujuan
memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan
tujuan pelestarian Ruang Terbuka Hijau, sedangkan yang dimaksud
dengan disinsentif adalah pengaturan yang bertujuan membatasi
pertumbuhan atau kegiatan yang tidak sejalan dengan tujuan
pelestarian RTH.
Bentuk insentif yang disebutkan dalam UUPR adalah insentif
ekonomi dilakukan melalui tata cara pemberian kompensasi atau
imbalan dan insentif fisik melalui pembangunan atau pengadaan
prasarana dan sarana untuk melayani pengembangan kawasan sesuai
dengan rencana tata ruang. Sedangkan bentuk disinsentif yang
40

disebutkan dalam UUPR adalah pengenaan pajak yang tinggi atau


pembatasan ketersediaan prasana (penjelasan Ps.16: 1).
Sehingga apabila disimpulkan, dapat dikatakan bahwa
insentif pelestarian Ruang Terbuka Hijau adalah instrumen untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan untuk melestarikan ruang
terbuka hijau sedangkan disinsentif adalah instrumen untuk
mencegah perubahan yang menyebabkan berkurangnya RTH.
Contoh insentif dan disinsentif yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap pelaku perubahan seperti di Kota Sao Paolo,
yaitu pemerintah menciptakan insentif agar kota berkembang di
bagian kota yang memang sudah diurbankan dan memberikan
disinsentif berupa penerapan pajak yang amat tinggi pada tanah
yang dimiliki pengembang sekedar untuk spekulasi, jika tanah
tersebut tidak dibangun dalam waktu 2 tahun, maka pengembang
diwajibkan untuk menjual tanah kepada pemerintah dengan harga
yang jauh dibawah harga pasar, memberikan pajak yang tinggi
terhadap pembangunan di area-area tanpa infrastruktur,
pemerintah kemudian memanfaatkan lahan tersebut untuk daerah
hijua, kepentingan umum atau untuk perumahan padat yang
berpendapatan berbeda-beda (Budiharjo, 1999: 44)

2.6.2 Bentuk Dukungan Dalam Melestarikan RTH


Bentuk dukungan dalam melestarikan RTH terdiri dari dua
bagian yaitu:
1. Dukungan Manajemen Program Melestarikan RTH
Untuk mendukung diterapkannya insentif dan disinsentif
dalam menjaga keberlanjutan RTH perlu dilakukan beberapa
pembenahan, salah satunya adalah memanajemen RTH dengan baik.
Manajemen RTH bukan hanya merupakan program milik pemerintah
atau milik Dinas Pertamanan saja tetapi menjadikan program RTH
milik masyarakat umum. Program RTH yang melibatkan masyarakat
dapat mendukung untuk menjaga pertamanan dan dapat membantu
meringankan kerja Departemen Pertamanan. Bentuk program yang
perlu dimanajemen untuk mendukung bentuk insentif dalam
41

melestarikan keberlanjutan RTH (Phillips, 1995;59) adalah


sebagai berikut:
 Menggelar suatu acara oleh Departemen yang bertanggung jawab
terhadap penghijauan kota, yang bertujuan menjelaskan tugas,
informasi, program kerja yang dicantumkan dalam selebaran
kertas yang dibagikan, dalam bentuk papan iklan lengkap
dengan ilustrasi foto taman yang didisain semenarik mungkin.
 Mengadakan perlombaan dalam bentuk parade lokal yang
melibatkan pemerintah dan masyarakat, ikut dalam perlombaan
menghias dan menciptakan taman diatas kenderaan, yang
berjalan mengelilingi kota.
 Daya Tarik Penampilan, yaitu penampilan yang bersih dan rapi,
mulai dari pakaian pekerja yang bertugas mengurusi
pertamanan, peralatan dan perlengkapan taman, untuk
menunjukkan pentingnya pekerjaan itu dan masyarakat dapat
mencontohnya.
 Membentuk proyek-proyek baru dapat mendorong setiap orang
menjadi respon untuk bekerja dan ambil bagian bertanggung
jawab dalam masalah kesehatan kota.
 Menggali sumber-sumber pendanaan, misalnya dengan
menggunakan penerimaan pembayaran parkir (parking-meter)
untuk mendukung proyek-proyek keindahan taman, mengajak
masyarakat untuk memiliki taman, menjaga kerusakan
tanaman/pohon, bekerja untuk membantu pendanaan Departemen
Pertamanan, melalui proyek milik pemerintah seperti proyek
perumahan, sekolah, taman kota, proyek jalan tol, bangunan
utilitas dan lainnya
 Membentuk klub pencinta tanaman, mendukung mereka dengan
menyediakan fasilitas seperti rumah hijau, menyediakan bibit
tanaman bunga, dengan klub ini dapat membantu mengajarkan
kepada masyrakat dan mengajak anak-anak mencintai tanaman dan
bagaimana cara menanamnya.
 Pameran, seperti pameran dalam bentuk papan reklame dan slide
yang dikirim ke perpustakaan dan gedung kota untuk dipamerkan
pada waktu tertentu, atau saat menggelar proyek pertamanan
42

 Brosur atau selebaran yang disediakan oleh pemerintah lokal


yang berisikan tentang diskusi lokal, harus terlihat
profesional, pembahasan yang lengkap, subjeknya disesuaikan
dengan waktu dan masalah umum, atau menyangkut proyek baru.
 Koran lokal, dapat digunakan untuk mengindikasi berita yang
terjadi, siapa, apa, dimana, kapan dan mengapa.Koran dapat
membuatnya singkat dan menyediakan informasi yang dibutuhkan,
termasuk jawaban siapa pelaku, apa yang membuat itu terjadi,
kemana dampaknya dan kapan akan terjadi, mengapa sampai
terjadi. Kesimpulannya berisi informasi siapa yang dapat
dihubungi untuk permasalahan tersebut, termasuk alamat,
no.telepon, dan reporter lokal diharapkan jadi penggagasn
untuk mengangkat berbagai berita ke dalam koran.
 TV kabel, seharusnya dimanfaatkan juga sama seperti koran
lokal, dapat dimanfaatkan untuk memberikan obrolan yang
populer tentang lingkungan. Pembicaraan bisa menyangkut
lingkup regional atau nasional, sehingga reputasi Departemen
Pertamanan bisa menjadi besar.
 Melakukan survei pendapat umum, dapat mengetahui persepsi
masyarakat tentang Dinas Pertamanan, ini berguna untuk
mengetahui bagaimana kedepannya dan sejauh mana Departemen
Pertamanan berperan.
 Melakukan kompetisi, yang menang mendapat penghargaan,
penyelenggaraan acara bisa dilakukan dengan sponsor seperti
koran lokal agar positif.
 Menghadirkan logo-logo yang mewakili image pesan publik, logo
untuk taman yang spesifik dan identitas yang jelas dan
keterangan yang kuat.
 Menghadirkan papan promosi, untuk mempromosikan taman dan
program rekreasi.
 Maskot, digunakan untuk mempromosikan program taman dan
mengajarkan kepada masyarakat dan anak-anak tentang prinsip
pelestarian lingkungan, contohnya Woodsy Owl yang mendukung
tanda bersih dan menggunakan slogan “ Give a hoot, don’t
43

pollute”. Banyak kota telah memiliki maskot dan slogan yang


membantu menjalankan program pemerintah.
 Fungsi/tema taman, dalam ukuran beberapa Ha, seperti Disney
Land, tema taman akan menambah reputasi kota dalam skala yang
propesional untuk sebuah taman. Departemen Pertamanan dapat
mengembangkan tema taman tersebut.

Pemda kota Bandung mengantisipasi perkembangan pergeseran


pemanfaatan lahan perdagangan, misalnya dengan membatasi
perkembangan kegiatan komersial, hanya perkantoran baru yang
dijinkan berkembang. Beberapa pelajaran yang dapat diamabil
dari kasus pergeseran pemanfaatan lahan untuk kawasan
perdagangan (Zulkaidi, 1999) antara lain:
1. Perlunya pengendalian pemanfaatan lahan yang tegas.
Tindakan tegas terhadap semua permohonan pemanfaatan lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukkan harus ditolak. Setiap
perubahan lahan yang terjadi tanpa prosedur yang benar, harus
dikenakan sanksi secara tegas dan transparan.
2. Perlunya konsistensi dalam pelaksanaan kebijaksanaan
pengembangan kota.
Pemda merupakan perangkat utama yang harus konsisten terhadap
kebijaksaan pengembangan kota yang dibuat. Kebijaksanaan
pemerintah harus merupakan pertimbangan dan keputusan lembaga
tersebut.
3. Perlunya kualitas daya tarik bagi lokasi baru yang akan
dikembangkan.
Membuat suatu kegiatan di lokasi yang direncanakan semenarik
mungkin, perlunya kualitas daya tarik tapak yang kondusif untuk
kegiatan terakit dan mempertimbangkan keberhasilan dan resiko
usaha, kemudahan pengembangan usaha, dan insentif kegiatan.
4. Perlu dikembangkan insentif dan disinsentif untuk
pengendalian pemanfaatan lahan .
Mengembangkan berbagai insentif dan disinsentif yang
transparan dan tegas. Disinsentif dikenakan pada kawasan yang
pemanfaatan lahannya berkembang tidak sesuai dengan peruntukan
44

sebagai gaya sentripugal, yaitu gaya yang mendorong kegiatan


keluar dari kawasan tersebut. Untuk menarik kegiatan ke lokasi
yang direncanakan , dipertimbangkan berbagai insentif sebagai
gaya sentripetal bagi kawasan tersebut.

2. Kerjasama Dalam Mengelola RTH


Peningkatan jumlah penduduk berakibat pada peningkatan
kebutuhan akan barang publik (Sidarta, 1993:20). Barang publik
dalam hal ini adalah sarana dan prasarana, fasilits sosial dan
fasilitas umum yang dibutuhkan oleh masyarakat kota.
Peningkatan kebutuhan sering tidak dapat dipenuhi secara baik
oleh pemerintah karena keterbatasan yang dimilikinya. Untuk
itulah perlu dilakukan kerjasama pemerintah dan warga kota
dalam penyediaan barang publik.
Bentuk kerjasama yang pernah dilakukan di Perancis
(Sidarta, 1993: 21) yaitu:
a. Konsesi (concesions), swasta diberi hak membangun sarana ,
mengoprasikannya, dan menarik retribusi dengan tarif
ditentukan pemerintah (concesions umumnya dalam rangka waktu
lebih dari 10 tahun)
b. After-Marge, suatu bentuk kerjasama antara swasta-
pemerintah, misalnya sarana dibangun pemerintah, swasta
mengoperasikannya, jumlah presentase pembiayaan bergantung
pada sarana yang akan di after-marge.

Mengingat fungsinya sebagai fasilitas umum yang digunakan


untuk kepentingan umum, taman tidak dapat dijadikan objek
kerjasama yang berorientasi ekonomis. Pengelolaan taman oleh
swata tidak dapat dijadikan sumber pendapatan bagi swasta
tersebut. Imbalan yang dapat diberikan sebagai hasil kerjasama
adalah imbalan yang tidak berupa uang, seperti media promosi,
kemudahan dalam pekerjaan atau penghargaan, cara lainnya dengan
memberi nama taman tersebut dengan nama donatur pemeliharaan
taman. Hal ini berfungsi sebagai salah satu kontrol sosial
45

pelaku bisnis yang menjadi donatur (Suara Pembaharuan, 20 Juli


1997)
Penerapan Pemberian bonus dikaitkan dengan kesulitan
penyediaan lahan untuk fasilitas umum (fasum). Bentuk bonus
yang dapat diberikan atas penyediaan lahan untuk fasilitas umum
berupa kelonggaran penambahan luas lantai bangunan dari
ketentuan yang ada. Pemberian bonus lantai bangunan diberikan
kepada aktivitas (Majalah Kota, Vol.4, hal 30, Oktober 1993)
seperti:
 Klub, tempat ibadah, toko, teater, restaurant, hotel, motel,
penggunaan untuk tempat tinggal
 Ruang terbuka, plaza atau teras yang didisain untuk
menginteraksikan jalur pedestrian dan ruang-ruang yang dapat
dinimati oleh publik
 Fasilitas yang dibutuhkan oleh publik seperti perpustakaan,
publik toilet, atau rest area.

Menurut Nazaruddin (1996:14) Bentuk kerjasama yang


dilakukan dalam pengelolaan taman adalah pelibatan masyarakat
dalam bentuk partisipasi. Bentuk partisipasi yang dapat
dilakukan adalah menjaga lingkungan taman dengan tidak merusak
dan mencabut tanaman.

3. Kriteria Pengembangan RTH


Beberapa kriteria yang dianggap penting dalam pengembangan
RTH (De Chiara, 1982) antara lain:
 Memiliki fungsi penggunaan utama
 Memiliki nilai hubungan dalam penggunaannya
 Ukuran dari lahan
 Mempertimbangkan antara desa dan kota
 Intensitas penggunaan
 Karakteristik lahan
 Kondisi-kondisi lainnya
46

2.6.3 Peraturan Yang Mendukung Pelestarian Ruang Terbuka Hijau


di Indonesia
Tindakan untuk melestarikan RTH telah ada di Indonesia,
terlihat dengan adanya peraturan-peraturan yang mengatur
tentang kegiatan pelestarian lingkungan hijau yang berusaha
mempertahankan keberadaan RTH. Beberapa peraturan yang
mendukung untuk kelestarian RTH yang ada di Indonesia dapat
dilihat dalam tabel 2.3:
47

Tabel 2.3 Bentuk PERaturan Yang Mendukung Pelestarian RTH Kota


sampai dengan hal.47

Anda mungkin juga menyukai